Anda di halaman 1dari 22

Kasus pelanggaran HAM di Indonesia

)konflik poso(

:Disusun oleh

:Kelompok 4

Amelia sekar utami -

Aninda rospianita -

Irma maulia -

Laila qodri raya -

Muhhajirin -

Rulita zaefia utami -

Kelas : XI IPA 4

Man 2 Model Mataram

Tahun 2020/2021
Kata pengantar

Assalamualaikum wr.wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul (kasus pelanggaran HAM di
Indonesia)  ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata
pelajaran PPKN. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
kasus pelanggaran HAM di Indonesia  bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak guru selaku mata pelajaran ppkn yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan kami.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Wassalamualaikum wr.wb

Mataram ,15 september 2020 

Penulis
DAFTAR ISI
Bab I

Pendahuluan

a. Latar belakang

Sulawesi Tengah adalah sebuah provinsi yang didominasi dataran tinggi, yang
terletak di antara wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara di pulau Sulawesi. Poso
adalah salah satu dari delapan kabupaten —kabupaten lain baru berdiri setelah tahun 2002
— di provinsi ini. Ibu kota kabupaten Poso (kota Poso) terletak di teluk, sekitar enam jam
perjalanan sebelah tenggara dari ibu kota provinsi Palu. Kabupaten Poso memiliki populasi
mayoritas Muslim di kota dan desa-desa pesisir, dan masyarakat adat mayoritas Kristen di
dataran tinggi. Selain penduduk Muslim asli, ada banyak pendatang dari Sulawesi Selatan,
terutama suku Bugis, dan juga dari daerah Gorontalo di utara. Tradisi panjang
pedagang Arab yang menetap di wilayah ini sudah lama terjadi, dan keturunan mereka
memainkan peran penting dalam lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan Islam.
Kabupaten ini juga merupakan sasaran program transmigrasi pemerintah, yang
memindahkan warga dari daerah padat penduduk, seperti pulau-pulau yang didominasi
Muslim termasuk Jawa dan Lombok, dan juga pulau mayoritas Hindu seperti Bali. Warga
Muslim Poso terdiri dari masyarakat adat, transmigran resmi, dan para imigran ekonomi
dari berbagai etnis. Banyak imigran yang telah menetap di kabupaten ini selama beberapa
dekade. Pada akhir tahun 1990-an, penduduk Muslim menjadi mayoritas di Poso dengan
angka di atas 60 persen.

Kelompok etno-linguistik yang meliputi Pamona, Mori, Napu, Besoa dan Bada mendiami
pedalaman dan dataran tinggi kabupaten. Banyak dari kelompok suku ini, dulunya
berbentuk kerajaan dan memiliki sejarah perang antar suku.
Kegiatan misionaris Belanda dimulai pada pergantian abad ke-20. Kota Tentena merupakan
pusat ekonomi dan religius untuk warga Kristen Poso, dan merupakan pusat dari Gereja
Kristen Sulawesi Tengah. Kota kecil ini terletak di sebelah utara Danau Poso di
kecamatan Pamona Puselemba, salah satu dari beberapa kecamatan dengan mayoritas etnis
Pamona. Meskipun konflik pada awalnya berpusat pada ketegangan antara pendatang Bugis
beragama Muslim dan etnis Pamona yang mayoritas Kristen, banyak kelompok lain yang
ditarik melalui ikatan etnis, budaya, atau ekonomi mereka.
b. Rumusan masalah
1. Bagaimana kronologi kasus atau penyebab konflik poso?
2. Apakah konflik poso terjadi dari faktor internal atau eksternal?
3. Bagaimana cara penyelesaian konflik poso?
4. Bagaimana agar konflik itu tidak terjadi lagi?
c. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu konflik poso.
2. Untuk mengetahui kronologi kasus konflik poso.
3. Mengetahui dan memahami cara menyelesaikan konflik poso.
4. Untuk menghindari kasus pelanggaran HAM seperti konflik poso.
Bab II

Pembahasan

a. Kronologi kasus Konflik poso

Kerusuhan Poso atau konflik komunal Poso adalah sebutan bagi serangkaian kerusuhan yang


terjadi di Poso, Sulawesi Tengah, Indonesia. Peristiwa ini melibatkan
kelompok Muslim dan Kristen. Kerusuhan ini umumnya terbagi menjadi beberapa fase. Fase
pertama berlangsung pada bulan Desember 1998, kemudian berlanjut pada bulan April 2000,
dan yang terbesar terjadi pada bulan Mei hingga Juni 2000.

Fase pertama dan kedua berawal dari serangkaian bentrokan antara kelompok pemuda Islam
dan Kristen. Beberapa faktor berkontribusi terhadap pecahnya kekerasan, termasuk
persaingan ekonomi antara penduduk asli Poso yang mayoritas Kristen dan para pendatang
seperti pedagang Bugis Muslim dan transmigran dari Jawa, ketidakstabilan politik dan
ekonomi menyusul jatuhnya Orde Baru, persaingan antarpejabat pemerintah mengenai posisi
birokrasi, dan pembagian kekuasaan daerah antara pihak Kristen dan Islam. Situasi dan
kondisi yang tidak stabil, dikombinasikan dengan penegakan hukum yang lemah,
menciptakan lingkungan yang menjanjikan untuk terjadinya kekerasan.

Bulan Mei menandai dimulainya fase ketiga, yang secara luas dipandang sebagai periode
kekerasan terburuk dalam hal kerusakan dan jumlah korban. Fase ini merupakan ajang balas
dendam oleh kelompok Kristen setelah dua fase sebelumnya yang sebagian besar didominasi
oleh serangan dari pihak Muslim, dan berlangsung sampai bulan Juli 2000. Fase ketiga ini
memuncak dalam sebuah peristiwa pembantaian di sebuah pesantren yang terjadi di
Desa Sintuwu Lemba yang mayoritas penduduknya Islam. Dalam fase ketiga ini, ratusan
orang jatuh menjadi korban, umumnya dari pihak Muslim.[1]

Pada tanggal 20 Desember 2001, Deklarasi Malino ditandatangani antara kedua belah pihak


yang bertikai di Malino, Sulawesi Selatan, dan diinisiasi oleh Jusuf Kalla. Kesepakatan ini
sekaligus mengurangi kekerasan frontal secara bertahap, dan angka kriminal mulai menurun
dalan beberapa tahun sesudahnya.

 Kerusuhan poso I

Fase pertama termasuk singkat dan terbatas pada beberapa lingkungan di kota Poso,
meskipun iring-iringan truk yang mengangkut kelompok tertentu dari daerah lain bergabung
dalam keributan. Para pendukung teori provokator menunjukkan bahwa kekerasan dimulai
tepat setelah pengumuman Arief Patanga pada tanggal 13 Desember 1998, yang menyatakan
bahwa dirinya tidak akan mengikuti pemilihan ulang sebagai Bupati Poso, sekaligus
membuka peluang bagi sejumlah kandidat yang ambisius. Secara kebetulan, fase ini juga
bertepatan dengan pecahnya rangkaian kekerasan dan unjuk rasa yang terjadi di seluruh
Indonesia pasca kejatuhan Orde Baru.

- Sebab khusus

Pada malam Natal tanggal 24 Desember 1998, yang secara kebetulan bertepatan dengan


bulan Ramadan, seorang pemuda yang berasal dari kelurahan mayoritas Protestan
di Lombogia bernama Roy Runtu Bisalemba menikam Ahmad Ridwan, seorang pemuda
Muslim dari kelurahan Kayamanya. Informasi yang beredar di pihak Kristen menyebutkan
bahwa Ridwan melarikan diri ke masjid setelah ditikam. Sedangkan versi Muslim
menggambarkannya sebagai serangan terhadap seorang pemuda Muslim yang tertidur di
halaman masjid, dan dalam beberapa versi menyebutkan bahwa korban sedang shalat atau
bahkan menjadi imam. Para tokoh dan pemuka agama dari kedua belah pihak kemudian
bertemu, dan menyepakati bahwa alkohol-lah yang merupakan sumber masalah dan setuju
untuk melarangnya selama bulan Ramadan. Polres Poso berikutnya mulai menyita ribuan
minuman keras untuk kemudian dihancurkan. Dalam sebuah kesempatan, saat para pemuda
Kristen berusaha melindungi sebuah toko miras milik orang Tionghoa Kristen, mereka
bertemu dengan para pemuda Muslim yang awalnya berniat untuk menyegel toko tersebut,
dan bentrokan antar kelompok pun tidak dapat dihindari. [4] Rumor beserta kabar burung yang
beredar di pihak Kristen pada umumnya menyatakan bahwa ada sebuah gereja yang dibakar.
Pada tanggal 27 Desember, sekelompok orang Kristen bersenjata yang menaiki truk
dari Tentena tiba, dipimpin oleh seorang anggota DPRD Poso, Herman Parimo. Parimo
diketahui merupakan anggota dari Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST), bekas milisi
pro-pemerintah yang bertempur melawan Permesta dan DI/TII pada periode tahun 1950-an
hingga 1960-an di Poso. Di sisi lain, sedikitnya sembilan truk Muslim tiba dari ibu
kota Palu, Parigi, dan Ampana. Laporan dari seorang narasumber Muslim memperkirakan
bahwa 1000 orang Muslim tiba dengan menggunakan 27 truk, mobil pikap, dan kapal
motor. Bentrokan meningkat, dan polisi tidak mampu berbuat banyak, meskipun mereka
mengaku telah menutup jalur-jalur yang menuju ke Poso. Setelah seminggu, bentrokan
kembali meruncing di tengah hujan deras, dan mereka yang kehilangan tempat tinggal
memilih mengungsi di Tentena, Parigi, dan Ampana.
Spanduk, surat kaleng, dan grafiti yang menyerang para pejabat pemerintah kabupaten Poso
yang beragama Kristen mulai menjamur, terutama menargetkan Parimo dan orang yang
diduga mendukungnya, Yahya Patiro yang juga mencalonkan diri sebagai Bupati.Panglima
Komando Militer Daerah Wirabuana menyatakan bahwa yang mengobarkan kerusuhan
adalah delapan pengacau Kristen yang telah mereka tahan. Anggota Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan hasil penyelidikan mereka menunjukkan bahwa
kerusuhan di Poso terjadi bukan karena ketegangan agama atau etnis. Mereka menyebut
kekerasan terjadi karena "miskomunikasi" dan mengklaim bahwa tidak ada pejabat lokal
yang terlibat dalam upaya untuk mengembalikan kedamaian. Pemerintah Provinsi Sulawesi
Tengah membentuk "Tim Klarifikasi" yang mewawancarai empat puluh saksi dan juga
menyimpulkan bahwa tidak ada pejabat daerah Poso yang bertindak sebagai provokator.

Parimo, yang disebut-sebut sebagai pemimpin iring-iringan kendaraan Kristen yang


berangkat dari Tentena, ditangkap. Desas-desus terus berlanjut bahwa ada pejabat tinggi di
Poso yang berada di balik kekerasan ini, seperti Bupati Arief Patanga yang beragama Islam,
atau Sekretaris Kabupaten Yahya Patiro yang beragama Kristen. Patiro diberi jabatan di
pemerintahan provinsi di Palu, meyebabkan kemarahan umat Islam Poso. Pada bulan
Februari 1999, polisi menahan adik laki-laki Bupati, Agfar Patanga, dengan tuduhan
memberikan hasutan untuk melakukan kekerasan. Pada bulan Juni 1999, Gubernur H.B.
Paliudju mencopot Arief sebagai bupati. Laboratorium forensik di Sulawesi Selatan
kemudian menyimpulkan bahwa Agfar Patanga adalah penulis dari surat tanpa nama yang
isinya menuduh para pejabat Kristen Poso sebagai pihak yang memulai kerusuhan.

- Pemilihan kepala daerah

Setelah undang-undang baru tentang desentralisasi disahkan, posisi bupati harus diisi bukan


melalui pengangkatan tapi oleh pemilihan di DPRD Poso. Beberapa kandidat termasuk
Patiro, seorang Protestan, dan Damsyik Ladjalani dari partai Muslim PPP, dicoret. Keadaan
ini menyisakan tiga calon: seorang anggota Muslim dari Partai Golkar yang berkuasa
sebelumnya bernama Muin Pusadan; seorang Muslim bernama Ismail Kasim; dan seorang
politikus Kristen bernama Eddy Bungkundapu. Pada bulan Juni 1999, pemilihan
umum secara demokratis untuk yang pertama kali dalam lebih dari empat dekade pasca
kejatuhan Orde Baru, dilaksanakan secara nasional untuk memilih anggota DPRD di tingkat
pusat, provinsi, dan kabupaten. Berbanding terbalik dengan partai oposisi seperti Partai
Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) yang menang di Jawa, partai Golkar yang berkuasa
mampu meraih kemenangan di Sulawesi, dan di pulau-pulau terluar lainnya. Keberhasilan
mereka memastikan bahwa calon dari Golkar, Muin Pusadan, terpilih sebagai Bupati Poso
dalam sebuah pemungutan suara yang ketat pada bulan Oktober 1999, meskipun hasil ini
mengecewakan para pendukung Muslim dan Protestan dari kandidat lainnya.

 Kerusuhan Poso II

Setelah lebih dari satu tahun masa tenang, rangkaian peristiwa politik dan hukum pada bulan
April 2000 menimbulkan ketegangan. Fase kedua berlanjut di sepanjang garis pertempuran
yang sama dengan fase pertama, kali ini wilayah Kristen yang menderita kerusakan.
Persidangan saudara mantan bupati Agfar Patanga telah dimulai. Dalam persidangan korupsi
lainnya, seorang pengusaha lokal bernama Aliansa Tompo didakwa telah menyalahgunakan
dana dari program kredit pedesaan (Kredit Usaha Tani, KUT). Ada desas-desus bahwa
sebagian dari uang ini digunakan untuk menyewa massa untuk menyerang gedung pengadilan
dan membakar dokumen-dokumen perihal keterlibatannya, yang memaksa penangguhan
kedua kasus tersebut. Pengadilan Patanga kemudian kembali diadakan di Palu. Selain itu,
posisi tertinggi kedua di Poso, sekretaris wilayah atau sekwilda sedang dipertimbangkan, dan
persaingannya sangat ketat. Sebuah surat kabar yang dicetak pada tanggal 15 April memuat
pernyataan oleh Chaelani Umar, seorang anggota DPRD provinsi dari Partai Persatuan
Pembangunan, yang memprediksi bahwa akan ada lebih banyak kekerasan yang terjadi
apabila mantan calon bupati, Damsik Ladjalani, tidak dipilih.

- Bentrokan April-Mei

Keesokan harinya, seorang pemuda Muslim mengklaim telah diserang oleh sekelompok
pemuda Kristen, dan menunjukkan luka di lengannya sebagai bukti. Pihak Islam membalas,
dan pertarungan antara pemuda-pemuda dari kelurahan mayoritas Kristen Lombogia dan para
pemuda Islam dari kelurahan Kayamanya dan Sayo meningkat menjadi kekerasan yang
meluas. Selama beberapa hari berikutnya, rumah-rumah yang dimiliki umat Kristen Poso di
dekat terminal bus dan di Lombogia dibakar. Peristiwa ini memaksa Kapolres Poso saat itu
untuk mendatangkan pasukan Brigade Mobil (BRIMOB) dari Palu.

- Kedatangan BRIMOB

Pada tanggal 17 April, anggota BRIMOB secara tidak sengaja menembaki kerumunan massa,
menewaskan Mohammad Yusni (23) dan Yanto (13) dan melukai delapan orang Muslim
lainnya, termasuk seorang pria bernama Rozal Machmud yang dilaporkan meninggal
kemudian karena luka-lukanya. Setelah penguburan korban pada siang yang sama, Muslim
yang marah menyerang Lombogia dan membakar rumah, gereja, dan sekolah. Keesokan
harinya, Gubernur Paliudju mengunjungi Poso dan disambut oleh sekelompok Muslim yang
dipimpin oleh pengusaha dan tersangka penipuan Aliansa Tompo. Mereka menuntut agar
Ladjalani menerima posisi sekwilda, agar kasus melawan Agfar Patanga ditutup, agar
Kapolres dipecat, dan agar pasukan BRIMOB dikirim kembali ke Palu. Human Rights Watch
menilai tuntutan tersebut mencerminkan tema konflik yang mendasar: persaingan politik,
sistem peradilan yang dipolitisir, dan ketidakpuasan terhadap para penegak hukum. BRIMOB
dikirim pulang, namun pembakaran rumah berlanjut setelah sebuah mayat tak dikenal
ditemukan di samping sejenis topi yang biasanya dikenakan oleh pihak Islam. Muslim dari
kota dan sekitarnya membakar rumah, gereja, dan kantor cabang PDI-P, meninggalkan
Lombogia dan Kasintuwu dalam kondisi hancur. Razia dalam bentuk pengecekan identitas —
terutama terkait agama— dimulai di wilayah mayoritas Muslim. Beberapa orang Kristen
dilaporkan ditarik paksa untuk keluar dari mobil dan dibunuh.

Pangdam Wirabuana Mayor Jenderal TNI Slamet Kirbiantoro di Makassar, Sulawesi Selatan,


akhirnya mengirim 600 tentara dan pertempuran mereda. Gubernur meminta masyarakat
Kristen Poso, yang banyak di antaranya telah melarikan diri ke Tentena atau bukit-bukit di
sekitar kota Poso, untuk tidak membalas dendam namun menyerahkannya kepada Tuhan.
Polisi mengumumkan tahap kedua selesai pada tanggal 3 Mei 2000. Selama fase kedua,
kedua belah pihak mulai menggunakan ikat kepala berwarna dan ban lengan untuk
membedakan diri. Para pejuang Kristen dikenal sebagai pasukan merah atau kelompok
merah, dan kelompok Islam sebagai pasukan putih atau kelompok putih. Meskipun
pentingnya agama tidak boleh diabaikan, kedua kelompok ini juga mengatur jalur sosial,
etnis, dan ekonomi, dan dengan demikian istilah pejuang Protestan atau Muslim berisiko
terlalu menyederhanakan konflik.

 Kerusuhan Poso III

Baru tiga minggu sejak fase kedua selesai, fase ketiga —yang menurut beberapa pengamat,
merupakan yang terbesar dan terparah— dimulai. Periode ini didominasi oleh gelombang
serangan balasan oleh kelompok merah Kristen terhadap warga Muslim.Di samping
bentrokan langsung dengan kelompok putih Islam, ada juga penculikan dan pembunuhan
orang-orang yang tidak berkepentingan. Hasil wawancara yang dilakukan Human Rights
Watch mengonfirmasi bahwa para migran dari Sulawesi Selatan dan Gorontalo yang
umumnya menjadi korban atas tindakan tersebut, namun kelompok etnis dan suku lainnya
juga menderita.
Pada awal bulan Mei, muncul desas-desus bahwa banyak pemuda Kristen yang mengungsi
telah melarikan diri ke sebuah kamp pelatihan kelompok merah di Kelei. Pasukan Kristen
yang beroperasi pada fase ini disebut "kelelawar merah" dan "kelelawar hitam". Kelelawar
hitam yang bertopeng seperti "ninja" ini, disebut-sebut menargetkan para Muslim di
Kayamanya yang dianggap bertanggung jawab atas serangan di Lombogia pada fase
sebelumnya.Pasukan ninja ini disebut-sebut dipimpin oleh Fabianus Tibo, seorang imigran
sekaligus pekerja perkebunan beragama Katolik yang datang dari pulau Flores (Nusa
Tenggara Timur), yang pernah dipenjara atas kasus pembunuhan seorang pria bertahun-tahun
sebelumnya. Selain itu, seorang tokoh Kristen bernama Adven Lateka digambarkan oleh pers
dan kepolisian sebagai otak, pemodal keuangan, atau "aktor intelektual" di balik kekerasan
tersebut.

- Pembalasan dendam

Pergerakan kelompok Tibo dari Kelei hingga ke Tentena pada bulan Mei 2000

Pada pagi hari tanggal 23 Mei, sekelompok pasukan bertopeng ala ninja membunuh seorang
polisi, Sersan Mayor Kamaruddin Ali, dan dua warga sipil Muslim, yang masing-masing
bernama Abdul Syukur dan Baba. Kelompok ninja ini kemudian dilaporkan bersembunyi di
sebuah gereja Katolik di Kelurahan Moengko. Kelompok tersebut, termasuk Tibo, mulai
bernegosiasi dengan polisi untuk menyerah. Kerumunan warga Muslim mulai berkumpul di
depan gereja, dan bukannya menyerahkan diri, Tibo serta yang lainnya justru melarikan diri
ke perbukitan di belakang kompleks gereja. Gereja tersebut dibakar pada pukul 10.00 pagi
dan pertempuran terjadi di seluruh kota, yang paling parah di Sayo, dimana sepuluh orang
terluka terkena panah dan lemparan batu. Gubernur kembali mengisyaratkan bahwa ada
pihak-pihak luar —merujuk kepada status imigran Tibo— yang menjadi provokator,
sementara kepolisian mengumumkan bahwa tiga tersangka dari kelompok ninja telah ditahan
dan dibawa ke Palu setelah dikeroyok oleh massa Muslim. Dua minggu kemudian tiga orang
yang diduga sebagai provokator, diidentifikasi sebagai Yen, Raf, dan Leo, ditahan atas
tuduhan menghasut kerusuhan pada tanggal 23 Mei.

- Meluasnya pertempuran

Pada tanggal 28 Mei, serangan meluas terhadap warga Islam terjadi di beberapa desa di
kabupaten ini. Dalam sebuah peristiwa yang paling terkenal, sekelompok orang Kristen —
beberapa sumber menyebut bahwa Tibo dan kelompoknya ikut berpartisipasi— mengelilingi
Desa Sintuwu Lemba, yang juga dikenal sebagai Kilo Sembilan Para wanita dan anak-anak
ditangkap dan beberapa di antaranya mengalami pelecehan seksual. Sekitar tujuh puluh orang
berlari ke pesantren terdekat —Pesantren Walisongo— dimana banyak warga Muslim
dibunuh dengan senjata api dan parang, tanpa peduli mereka menyerah atau tidak. Mereka
yang kabur, berhasil ditangkap untuk kemudian dieksekusi dan mayatnya dilemparkan
ke Sungai Poso. Tiga puluh sembilan mayat kemudian ditemukan di tiga kuburan massal,
meskipun sebuah sumber Islam memperkirakan total 191 kematian dalam serangan tersebut.
Seorang warga yang selamat dari serangan tersebut mengatakan kepada wartawan bahwa
dirinya kembali ditangkap empat hari kemudian dan dibawa ke sungai untuk dieksekusi,
namun ia sekali lagi berhasil lolos dan selamat.

Dalam kekerasan dan kerusuhan yang terjadi antara masyarakat Kristen dan Islam di ibu kota
Poso, kedua belah pihak didukung oleh massa seiman dari luar kota. Masyarakat Muslim
dibantu oleh orang-orang yang berasal dari Ampana yang termasuk wilayah Tojo Una-Una
dan terletak di sebelah timur laut kota Poso, dan Parigi yang berada di sebelah barat
Kabupaten Poso. Di sisi lain, masyarakat Kristen dibantu oleh orang-orang Lage dari desa-
desa seperti Sepe dan Silanca di Kecamatan Lage, sebelah tenggara ibu kota Poso.[25]

Islam
Milisi yang datang dari luar Poso dan Palu yang sudah berada di Poso pada akhir tahun 2001
meliputi:

 Jemaah Islamiyah
 Mujahidin KOMPAK
 Laskar Jundullah, dipimpin oleh Agus Dwikarna dengan markas lokal
di Pendolo, Pamona Selatan.
 Laskar Wahdah Islamiyah, sebuah kelompok yang berbasis di Makassar dan
berafiliasi dengan Wahdah Islamiyah dan dipimpin oleh Zaitun Rusmin.
 Laskar Bulan Sabit Merah, dipimpin oleh seorang tokoh Darul Islam dari Jawa
Barat dan menjalin hubungan erat dengan Laskar Jundullah.
 Laskar Jihad, dengan pemimpin lokal Mohamed Harits dan Abu Ibrahim, dan dikirim
ke Poso sekitar bulan Juli tahun 2001.
 Laskar Khalid bin Walid, sebuah milisi kecil yang berasosiasi dengan Partai
Keadilan dan dipimpin oleh Sugianto Kaimudin.

Milisi dan organisasi lokal yang berpihak pada Muslim meliputi:

 Forum Perjuangan Ummat Islam, dipimpin oleh Adnan Arsal dan merupakan
organisasi dimana banyak anggota Jundullah direkrut.
 Majelis Dzikir Nurkhaerat Poso, dipimpin oleh Habib Saleh al-Idrus.
 Gerakan Anak Monginsidi, dipimpin oleh Mohammed Dong.
 Anak Tanah Runtuh, sebuah milisi kecil yang dipimpin oleh Adnan Arsal dan
berbasis di kelurahan Gebangrejo, Poso Kota.
 Brigade Pemuda Hisbullah Sulteng, sebuah pasukan kecil yang berkaitan dengan
cabang lokal dari Partai Bulan Bintang.

Kristen

Berbeda dengan milisi Islam, milisi Kristen sedikit sulit untuk diidentifikasi. Salah satu di
antara beberapa kelompok milisi yang berhasil diidentifikasi adalah Brigade Manguni. Milisi
ini berpusat di Manado, Sulawesi Utara dengan jumlah personel sekitar 700 orang. Dalam
kerusuhan Poso, pasukan ini diduga berbasis di daerah Sepe dan Silanca, Lage. Brigade
Manguni memiliki divisi di masing-masing daerah yang membawahi cabang satuan. Pada
fase ketiga yang berlangsung pada bulan Mei 2000, muncul milisi dengan nama Laskar
Kristus. Kelompok ini disebut-sebut terdiri dari tiga kelompok, yaitu pasukan Macan,
pasukan Kelelawar, dan pasukan kipas (sisiru).

Kelompok lain yang terorganisir oleh warga Kristen di Poso adalah Angkatan Muda Sintuwu
Maroso (ANSIMAR). Kelompok ini pada umumnya terdiri dari para kaum muda terpelajar di
kota Poso. Para anggota ANSIMAR sebagian besar terdiri dari warga kelurahan Lombogia.
Rumah-rumah mereka dibakar massa Islam saat fase kedua kerusuhan yang terjadi bulan
April tahun 2000, sehingga sebagian besar dari mereka terpaksa mengungsi ke Tentena.
Mereka tidak berpartisipasi dalam bentrokan fisik, melainkan lebih kepada upaya untuk
mencari penyelesaian konflik.

b. Penyebab terjadinya konflik poso.

Faktor penyebab terjadinya konflik poso termasuk dalam faktor eksternal diantaranya ada
agama,politik, dan penegak hokum yang tidak adil.

1. Agama

Tidak diragukan lagi, Poso dulunya memiliki mayoritas masyarakat yang menganut agama
Islam. Namun sejak bersatunya beberapa daerah bergabung dalam rangka pemekaran poso,
agam kristenlah yang menjadi dominan. Bukan hanya agama kristen saja, agama yang berada
dalam suku-suku juga ada. Perbedaan agama yang signifikan inilah yang membuat ketidak
cocokan antara masyarakat satu dengan lainnya. Didukung dengan rasa kurang toleransi,
konflik pun dapat dengan mudah terjadi. Agama juga dijadikan alasan untuk menghancurkan
masyarakat lain yang memiliki konflik pribadi dengan masyarakat tertentu, apalagi juga
dengan perbedaan kepentingan yang membuat mereka dibutakan oleh amarah dan akhirnya
berujung dengan tumpah darah.

Sebetulnya, konflik sudah ada jauh sebelum tahun 1998, yaitu pada saat 1992 dimana ada
seorang pemuda kristen bernama Roy Rantu yang melakukan pembacokan kepada Ahmad
Riwan, salah satu pemoda Islam di Poso. Aksi ini tentunya membuat orang Islam di Poso
marah, dan mengajukan protes terhadap tindakan orang kristen yang dianggap meresahkan
warga dan merugikan masyarakat luas. Hal itulah yang menyebabkan aksi balas dendam dari
beberapa warga kristen yang akhirnya melakukan pengrusakan dengan melempari batu ke
beberapa masjid di Poso. Mereka tidak terima lantaran agama mereka dianggap jelek dan
tidak baik. Namun, ternyata konflik tidak berhenti di situ saja, pihak islam juga melakukan
aksi balas dendam. Aksi terjadi pada 1995 dimana 3 rumah orang kristen dirusak oleh
pemuda Islam, lantaran mereka juga tidak terima perlakuan keji masyarakat kristen dulu.
Konflik ini terus berlanjut dan tidak berhenti dikarenakan rasa tidak terima berkepanjangan.
Tidak ada pihak yang mengalah, tidak ada yang sabar menerima kenyataan. Semua pihak
harus melakukan perlawanan, setidaknya itulah yang ada di pikiran mereka.

2. Politik

Bukan hanya agama, berbagai faktor kemanusiaan manusia seperti politik menjadi salah satu
Penyebab Konflik Poso. Seperti yang kita tahu, politik tidakhanya dipenuhi oleh berbagai
cara seseorang untuk menang dengan jalan kebijaksanaan dan faktor kepemimpinan saja, tapi
ada beragam cara yang busuk di dalamnya. Seperti halnya yang dilakukan oleh pihak yang
tidak bertanggung jawab bernama Herman Parimo yang menjadi tersangka karena
meletusnya kerusuhan Poso 1. Penyerangan ini dilakukan untuk membuat Poso “damai”
kembali, melalui jalan yang tidak damai. Segala musuh disingkirkan demi memenangkan si
calon agar tidak ada lagi calon lain yang berani untuk menyaingi. Cara yang dilakukan tadi
berbuah menjadi konflik yang amat besar, dengan diprovokasi manusia yang tidak
bertanggung jawab. Kemungkinan terjadi, dalang dari konflik ini berujung pada DPRD
tingkat 1 Poso, mengapa? Karena adanya ancaman yang berada dalam surat kabar yang isinya
apabila Damsyik Jaelani tidak diangkat, maka akan timbul kerusuhan Poso 2 yang lebih
dahsyat dari kerusuhan Poso 1. Semua itu masih menjadi bayang-bayang,siapakah
sebenarnya oknum di DPRD yang mengeluarkan ancaman itu. Apakah itu semua keinginan
dari DPRD sendiri, atau memang ada oknum jelek yang sedang bersarang di DPRD itu
sendiri? Kita tidak tahu.

Selain dua faktor di atas, ada satu lagi sekaligus faktor yang terakhir adalah dari aparat
hukumnya di sini. Bukan karena malas menegakkan hukum, tapi kepada hukuman yang
diberikan kepada pelaku. Sikap Simpati nampaknya sudah lenyap, yang tinggal hanyalah
kebencian terhadap masyarakat itu sendiri. Tindakan yang keji kerap dilakukan hanya untuk
sekedar menghukum para pelaku supaya jera. Padahal tidak. Apalagi sewaktu penggeledahan,
yang berhasil menemukan berbagai senjata milik masyarakat. Aparat yang berwajib,
langsung menghukum mereka tanpa ampun. Semua pelaku kejahatan dihukum rata, tidak
memandang pelanggaran itu berat atau ringan. Semua masyarakat yang entah bersalah atau
tidak, mendapatkan hukuman berat yang sama. Satu sama dengan lainnya. Karena inilah,
masyarakat menganggap bahwa penegak hukum tidak ada lagi. Yang ada cuman penghukum
saja. Tidak ada hukum yang ditegakkan. Masyarakatpun menderita tanpa alasan yang jelas.
Karena hal itulah, daripada bersusah-susah berurusan dengan penegak hukum yang dinggap
tidak benar itulah, bila ada konflik di daerah seperti Poso, mereka berusahan
menyelesaikannya dengan cara mereka sendiri. Mereka sendirilah yang turun tangan. Jadilah,
mereka menggunakan apa yang mereka anggap “benar” dalam menyelesaikan masalah.
Padahal, solusi mereka juga berujung konflik.

3. Penegak Hukum yang Tidak Adil

Selain dua faktor di atas, ada satu lagi sekaligus faktor yang terakhir adalah dari aparat
hukumnya di sini. Bukan karena malas menegakkan hukum, tapi kepada hukuman yang
diberikan kepada pelaku. Sikap Simpati nampaknya sudah lenyap, yang tinggal hanyalah
kebencian terhadap masyarakat itu sendiri. Tindakan yang keji kerap dilakukan hanya untuk
sekedar menghukum para pelaku supaya jera. Padahal tidak. Apalagi sewaktu penggeledahan,
yang berhasil menemukan berbagai senjata milik masyarakat. Aparat yang berwajib,
langsung menghukum mereka tanpa ampun. Semua pelaku kejahatan dihukum rata, tidak
memandang pelanggaran itu berat atau ringan. Semua masyarakat yang entah bersalah atau
tidak, mendapatkan hukuman berat yang sama. Satu sama dengan lainnya. Karena inilah,
masyarakat menganggap bahwa penegak hukum tidak ada lagi. Yang ada cuman penghukum
saja. Tidak ada hukum yang ditegakkan. Masyarakatpun menderita tanpa alasan yang jelas.
Karena hal itulah, daripada bersusah-susah berurusan dengan penegak hukum yang dinggap 
tidak benar itulah, bila ada konflik di daerah seperti Poso, mereka berusahan
menyelesaikannya dengan cara mereka sendiri. Mereka sendirilah yang turun tangan. Jadilah,
mereka menggunakan apa yang mereka anggap “benar” dalam menyelesaikan masalah.
Padahal, solusi mereka juga berujung konflik.

c. Penyelesaian konflik poso

Untuk menyelesaikan konflik ini, dilakukan perundingan damai yang berlangsung di Malino
sebuah kota di dekat Makassar, Sulawesi Selatan. Perundingan ini difasilitasi Menteri
Koordinator Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla, Majelis Ulama Indonesia, Dewan Gereja
Indonesia dan Gubernur Sulawesi Selatan H.Z.B Palaguna.  

Upaya penyelesaian ini melibatkan seluruh elemen masyarakat Poso, baik yang beragama
Islam maupun Kristen.Pembicaraan damai ini berlangsung pada bulan Desember 2001, dan
menghasilkan Deklarasi untuk penghentian konflik bersenjata, toleransi beragama dan hak
orang warga negara untuk hidup damai di Poso. Dokumen ini kemudian dikenal dengan nama
Deklarasi Malino.

Deklarasi ini menyepakati pengembalikan hak-hak dan kepemilikan seperti sebelum konflik
berlangsung. Pengungsi Poso dikembalikan ke tempat asal masing-masing. Bersama-sama
pemerintah, kedua belah pihak akan merehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara
menyeluruh. Realisasi dari pernyataan kesepakatan tersebut akan dilaksanakan dengan
agenda-agenda serta rencana yang meliputi bidang keamanan dan penegakan hukum, dan
bidang sosial ekonomi.

d. Solusi konflik di poso

Konflik poso adalah konflik antara muslim dengan Kristen. Cara agar konflikk poso tidak
terulang kkembali pemerintah telah mendamaikan pihak yang terkait selain itu korban dalam
konflik ditangani dengan baik agar tidak ada dendam di antara mereka. Cara yang paling
efektif untuk menghindari terulangnya konflik ini adalah membangun sifat saling toleransi
dan meghargai perbedaan keyakinan agar hidup rukun antar masyarakat beragama semakin
kuat.
Bab III

Penutup

a. Kesimpulan

Konflik Poso sebenarnya adalah konflik realistik yaitu, perebutan kekuasaan

politik antar elit politik lokal di Poso yang kemudian massa dilibatkan dengan

identitas agama dan etnis dengan tujuan untuk memobilisasi massa dalam

memperoleh kekuasaan. Ketika konflik menyentuh ranah agama membuat

pertikaian menjadi konflik non realistik bernuansa SARA dan menjadikan konflik

terjadi berkepanjangan. Mudahnya massa termobilisasi dalam konflik komunal di

Poso, dipengaruhi juga oleh permasalahan historis yang dimanfaatkan oleh elit

politik lokal melalui isu berupa kecemburuan sosial-ekonomi dan sosial-politik

antara penduduk pribumi yaitu etnis Pamona, Mori dan Lore (mayoritas beragama

Kristen) yang merasa termarjinalkan terhadap kehadiran dari etnis Jawa, Bugis

dan Makkasar (mayoritas beragama Islam). Penduduk pendatang ini yang

menguasai perekonomian di Poso dan mendomininasi jabatan-jabatan politik di

Pemerintahan Kabupaten Poso. Ketika ideologis agama dijadikan isu utama

sebagai perekat kelompok membuat konflik yang awalnya berupa tawuran antar

pemuda kemudian berubah menjadi perang saudara bernuasa SARA.

Pada peristiwa awal konflik kerusuhan pertama yang terjadi di bulan

Desember 1998 dan kerusuhan kedua pada bulan April 2000 bisa disebut sebagai

tawuran, karena penyebabnya bermula pada bentrokan antar pemuda berbeda

agama dan wilayah konflik kerusuhan terjadi sebatas hanya di Kecamatan Kota

Poso. Kemudian karena momentumnya bertepatan dengan pemilihan umum dan


pemilihan Bupati Poso membuat persoalan ini akhirnya dipolitisasi oleh elit

politik lokal untuk dijadikan alat untuk menghimpun dan memobilisasi massa

berdasarkan identitas agama dan etnis, sehingga isu yang muncul adalah konflik

bernuansa SARA. Selanjutnya ketika konflik yang berlangsung dari bulan Mei

2000 – Desember 2001, fenomena konflik telah mengarah pada perang saudara

yang membuat eskalasi konflik semakin meluas ke wilayah lain di luar Kota Poso.

Masing-masing kelompok yang bertikai semakin memperkuat struktur in group

dan solidaritas kelompoknya melalui konflik berdasarkan isu agama dan etnisitas.

Ketika sudah jelas mengenai siapa kawan dan lawan kedua komunitas agama

saling berupaya untuk menghilangkan eksistensi lawannya dengan melakukan

kekerasaan langsu terhadap siapa pun yang dianggap sebagi lawan. Bahkan pada

perkembangan selanjutnya konflik menjadi semakin rumit setelah adanya

keterlibatan dari pihak luar Poso yang memberikan dukungan bantuan dana,

persenjataan dan dukungan milisi dari berbagai jaringan keagamaan dari luar

Poso.

Dalam konflik Poso sebenarnya telah diupayakan usaha untuk mengakhiri

pertikaian yang dilakukan oleh pemerintah daerah Poso pada awal konflik 1998,

salah satunya dengan menjatuhi hukuman kepada salah satu aktor utama

kerusuhan, yaitu Herman Parimo dan Afgar Patanga. Namun aktor-aktor lain yang

terlibat dibelakang layar belum ditindak tegas dengan aturan hukum yang berlaku,

ditambah isu-isu persoalan konflik yang sebenarnya tidak ditangani secara tuntas

oleh pemerintahan daerah, seperti permasalahan seputar perekonomian dan

perimbangan jabatan kekuasaan politik antara kelompok Islam dan Kristen tetap
diabaikan. Kemudian upaya perdamaian yang dilakukan oleh pemerintah daerah

ini dilakukan hanya bersifat elitis dan serimonial terjadi di antara tokoh adat dan

pemerintah, sedangkan para tokoh elit sosial yaitu pemimpin tokoh agama yang

bertikai tidak dilibatkan. hal itu tentu membuat upaya perdamaian tidak

berpengaruh dalam menghentikan konflik, karena dianggap tidak mewakili basis

kelompok massa yang berkonflik. Akibatnya berbagai penanganan yang dilakukan

oleh pemerintah daerah hanya sebatas memadamkan api konflik pada

permukaannya saja, sedangkan bara konflik yang jadi akar penyebab utama

konflik tidak tersentuh dan terpadamkan. Untuk peranan aparat keamanan di Poso

pada awalnya tidak efektif karena pendekatan yang dilakukan adalah bersifat

kekuasaan yang militeristik, ditambah citra militer bertambah buruk dengan

penembakkan secara langsung yang memakan korban jiwa beserta beredarnya

senjata api dan amunisi di wilayah konflik yang tidak dapat dikontrol oleh aparat

keamanan. Mencermati hal itu aparat keamanan harus lebih bertindak secara

profesional dengan selalu menjaga komitmen dan netralitasnya untuk

mewujudkan Poso yang aman dan damai.

Adapun upaya perdamaian yang sangat berpengaruh hasilnya dalam

menghentikan konflik Poso adalah setelah turun tangannya pemerintah pusat

melalui Menko Kesra Jusuf Kalla yang ditunjuk menjadi pemimpin mediator

dalam upaya damai di Poso. Dalam upaya perdamaian di Poso ini pemerintah

pusat berperan sebagai fasilitator dan mediator bagi upaya perdamaian di Poso

dan bukan penentu penyelesaian konflik, karena yang memegang kendali

penyelesaian adalah masyarakat yang bertikai itu sendiri. peran dari tokoh
masyarakat seperti tokoh agama, tokoh adat dan tokoh pemimpin masyarakat

setempat sangatlah penting dalam menjalin perdamaian dan penyelesaian konflik.

Karena berdasarkan inisiatif perdamaian yang berasal dari masyarakat sendirilah

akan membuat upaya damai akan berlangsung efektif bagi penyelesaian konflik

secara lebih mengakar. Kemudian para pemimpin elit sosial ini mempunyai

kapasitas yang lebih besar untuk memainkan peran dalam upaya menjaga

perdamaian setelah Deklarasi Malino I, karena diharapkan melalui para tokoh elit

sosial ini dapat memberikan pengarahan dan sosialisasi kepada komunitas

kelompoknya agar selalu menjunjung tinggi perdamaian sesuai hasil kesepakatan

damai dalam Deklarasi Malino I.

Terjadinya konflik Poso ini berdampak sangat merugikan tatanan bidang

ekonomi, politik dan sosial budaya serta meninggalkan beban trauma psikologis

karena hilang atau meninggalnya salah satu anggota keluarganya. Mereka juga

harus kehilangan harta benda dan mata pencariannya yang berakibat

memunculkan pengangguran dan bertambahnya jumlah penduduk miskin yang

semakin banyak di Poso. Untuk itu diperlukan dukungan dari berbagai pihak baik

dari pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat yang diharapkan memberikan

bantuan berupa program-program ataupun penyediaan lapangan kerja bagi

masyarakat Poso agar membangkitkan dan berkembangnya kembali usaha sektor

ekonomi yang sempat terhenti akibat adanya konflik. Masyarakat Poso yang dulu

dapat hidup damai berdampingan dengan antar etnis dan agama, kini yang

membekas dalam kehidupan masyarakat hanyalah rasa kepedihan dan ketakutan.

Beban trauma psikis ini membuat kerukunan dan toleransi antar umat beragama
yang sempat terjalin kini telah hilang, masyarakat hidup dalam prasangka saling

tidak percaya satu sama lain, padahal posisi mereka adalah sama sebagai korban

akibat konflik. Oleh karena itu untuk memulihkan kerukunan antar masyarakat

Poso diperlukan kerja sama dari pemerintah pusat, daerah dan segenap tokoh

masyarakat untuk mengembalikkan kerukunan dan kedamaian di Poso. Selain itu

diperlukan kesadaran dari berbagai pihak masyarakat Poso untuk berbesar hati

saling menyadari kesalahannya dan saling memaafkan untuk menghapus luka

lama, karena pada dasarnya mereka dapat hidup berdampingan dengan berbagai

perbedaan agama dan etnis di Poso melalui semboyan Sintuwu Maroso yang
berarti hidup bersama-sama dalam susah dan senang.

Anda mungkin juga menyukai