Anda di halaman 1dari 17

TUGAS KELOMPOK DOSEN PENGAMPU

Sejarah Islam Asia Tenggara Mutasir, S.Hi, M.Sy

Islam Di Filipina

DISUSUN OLEH
KELOMPOK IX

Fajar Ridwansyah (11920714366)


Nikmah Sholichah (11920724536)

ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................................1
1.3 Batasan Masalah..................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................3
2.1 Tradisi dan Kebudayaan Filipina........................................................................................3
2.2 Sejarah Masuk dan Perkembangan Islam di Filipina...........................................................3
2.3 Sejarah Kerajaan Besar Islam di Filipina............................................................................5
2.4 Sosial Politik dan Hukum di Filipina..................................................................................6
2.5 Problematika Islam di Filipina.............................................................................................8
2.6 Perkembangan Filipina Hingga Sampai Sekarang..............................................................8
2.7 Sistem Pemerintahan Filipina............................................................................................10
2.8 Konsep Toleransi di Filipina.............................................................................................12
BAB III PENUTUP...............................................................................................................13
3.1 Kesimpulan........................................................................................................................13
3.2 Saran..................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................14

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Islam di Filipina” ini tepat
waktu.

Kami mengucapkan terimakasih kepada bapak Mutasir, S.HI, M.Sy yang telah
memberikan tugas ini. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas pada mata kuliah “Sejarah Islam Asia Tenggara”. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat
kami harapkan demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi untuk masa mendatang.

Pekanbaru, 22 Maret 2020

Hormat kami,

Kelompok 9

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Melihat sejarah masa lalu, terlihat bahwa islam bukanlah agama pertama yang tumbuh
pesat, akan tetapi islam masuk kelapisan masyarakat yang waktu itu telah memiliki
peradaban, budaya, dan agama. Filipina adalah negari kepulauan yang terdiri dari 7.109
pulau tropis dengan luas total wilayah 29.629.000 hektar dan terdiri dari beragam etnis,
bahasa dan agama. Meskipun lebih dikenal sebagai sebuah negara yang mayoritas
penduduknya menganut Katolik, wilayah Filipina sekarang ini meliputi beberapa kawasan
yang berpenduduk muslim. Mayoritas dari mereka bertempat tinggal di kawasam Filipina
Selatan, khususnya di Pulau Mindanao dan kepulauan Sulu. Meskipun menyandang status
minoritas dalam konteks Filipina, masyarakat islam adalah komunitas agama terbesar kedua
setelah masyarakat Katolik.

Minoritas muslim di Filipina menghadapi masalah yang sama dengan minoritas


muslim di Muangthai. Problem yang dihadapi muslim Filipina dan Muangthai adalah
problem kelompok minoritas, yang harus hidup berdampingan secara damai dengan
nonmuslim dalam negara yang sama. Mereka berada dalam dilema bagaimana melakukan
rekonsiliasi antara keyakinan islam fundamental mereka dengan perlunya menjadi
warganegara yang baik di negara-negara yang didominasi oleh nonmuslim.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Tradisi dan Kebudayaan Filipina
2. Bagaimana Sejarah Masuk dan Perkembangan Islam di Filipina
3. Bagaimana Sejarah Kerajaan Besar Islam di Filipina
4. Bagaimana Sosial Politik dan Hukum di Filipina
5. Bagaimana Problematika Islam di Filipina
6. Bagaimana Perkembangan Filipina Hingga Sampai Sekarang
7. Bagaimana Sistem Pemerintahan Filipina
8. Bagaimana Konsep Toleransi di Filipina

1
1.3 Batasan Masalah

Di dalam makalah ini hanya membahas tentang :

1. Tradisi dan Kebudayaan Filipina


2. Sejarah Masuk dan Perkembangan Islam di Filipina
3. Sejarah Kerajaan Besar Islam di Filipina
4. Sosial Politik dan Hukum di Filipina
5. Problematika Islam di Filipina
6. Perkembangan Filipina Hingga Sampai Sekarang
7. Sistem Pemerintahan Filipina
8. Konsep Toleransi di Filipina

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tradisi dan Kebudayaan Filipina

Budaya Filipina telah sangat dipengaruhi oleh migran yang datang ke negara pulau
sepanjang waktu. Sebagian besar orang yang menyebut diri Filipina sebenarnya turun dari
suku Austonesian yang paling mungkin bermigrasi dari Taiwan ke Filipina ribuan tahun
yang lalu. Hal ini diduga bahwa orang Filipina pertama yang terkait dengan suku Ami.

Setidaknya ada 15 kelompok etnis yang saat menelpon rumah Filipina. Kelompok-
kelompok ini meliputi Tagalogs Moro yang Bicolanos Igorot tersebut Mangyan para
Chabacano para Ivantan para Visayan para Ilokano yang Kampampangans para Pangasinese
para Lumad Ibanag tersebut Badjao dan suku-suku Palawan. Masing-masing suku memiliki
seperangkat unik dari tradisi kepercayaan dan bahasa. Namun sementara bahasa berbeda dari
suku kesuku bahasa resmi Filipina adalah bahasa Inggris dan Filipina. Bahasa ini digunakan
untuk perdagangan dan bisnis dan bahasa suku digunakan untuk komunikasi pribadi antara
anggota suku upacara keagamaan dan komunikasi rekreasi.

2.2 Sejarah Masuk dan Perkembangan Islam di Filipina

Islam masuk ke wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao
pada tahun 1380. Orang pertama yang memperkenalkan Islam ke Sulu adalah Tuan Mashaika
yang di duga telah sampai di Sulu pada abad ke-13. Keturunannya kemudian menjadi inti
komunitas Muslim di Sulu. Berikutnya yang datang menyebarkan Islam di Sulu adalah ulama
Arab bernama Karimul Makhdum pada paroh kedua abad ke-14. Ia diterima dengan baik oleh
komunitas Muslim Buansa. Aktivitas keagamaan yang digerakkannya memperkuat
pertumbuhan komunitas Islam yang dibentuk oleh pendahulunya, Tuan Mashaika.1

Pada awal abad ke-15, penyebar Islam lainnya datang ke sulu, yaitu Raja Baginda.
Menurut catatan sejarah, Raja Baginda adalah seorang pangeran dari Minangkabau. Menurut
cerita, ketika ia baru tiba di kepulauan Sulu, masyarakat setempat bermaksud mengaramkan
kapalnya, namun sikap mereka secara dramatis berubah ketika mereka tahu bahwa Raja
Baginda seorang Muslim. Di sini menjadi patut dicatat bahwa proses islamisasi sudah

1
Carmen Abu Bakar, “ Tha Advent and Growth of Islam in the Philippines” dalam hlm. 48.

3
mencapai tahap dimana menjadi Muslim telah menjadi paspor untuk dapat diterima dalam
sebuah komunitas.2

Sumber lain menyebutkan bahwa Raja Baginda tiba di kepulauan Sulu sepuluh tahun
setelah berhasil menyebarkan Islam di kepulauan Zamboanga dan Barsilan. Atas hasil kerja
kerasnya, Kabungsuwan Magindanao, raja terkenal dari Magindanao, memeluk Islam. Islam
kemudian tersebar ke pulau Lanao dan bagian utara Zamboanga serta daerah pantai lainnya.
Sepanjang garis pantai kepulauan Filipina semuanya berada di bawah kekuasaan pemimpin
pemimpin Islam yang bergelar Datu atau Raja.3

Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini mulai dirintis. Pada masa itu, sudah
dikenal sistem pemerintahan dan kodifikasi hukum yaitu Manguindanao Code of Law atau
Luwaran yang didasarkan atas Minhaj dan Fath al-Qarrib al-Intifa dan Mirat al-Thullab. Satu
hal yang patut dicatat adalah bahwa Raja Baginda yang mengembara bersama dengan
pengikutnya berhasil memperkenalkan unsur politik ke dalam proses islamisasi. Ia bahkan
menunjuk menantunya, Syarif Abu Bakar, seorang ulama Arab untuk melanjutkan misinya
dalam penyebaran Islam. Syarif Abu Bakar merupakan orang Arab kedua yang datang
menyebarkan Islam ke Sulu pada tahun 1450. Ia mencapai Sulu melalui Palembang dan
Brunei. Ia diangkat oleh Raja Baginda sebagai kadi dan imam.4 Syarif Abu Bakar
memperkuat kekuasaan politik dengan memperkenalkan sistem politik kesultanan, di mana ia
sendiri bertindak selaku sultan pertama di kesultanan itu. Pada tiga puluh tahun pertama
pemerintahannya ia berhasil membangun sejumlah mesjid dan madrasah. Ia juga berhasil
mengislamkan orang Buranun, satu suku masyarakat pegunungan di Sulu.

Penyebaran Islam di Magindanao dan Lanao pada umumnya dikaitkan dengan Syarif
Kabungsuwan. Ia diduga sampai di Mindanao pada awal abad ke-16. Sama halnya dengan
Raja Baginda,ia juga seorang pangeran yang datang bersama para pengawal dan pengikutnya.
Ketika ia berlabuh di sungai Pulangi, ia sudah menemukan komunitas Muslim di wilayah ini.
Mereka kemudian membangun kota Cotabato dan Maguindana (Silangan). Ekspansi Islam ke
Lanao tak dapat dipisahkan dari upaya bersama yang dilakukan oleh Raja Kabungsuwan dan
sejumlah keluarga penguasa daerah itu, termasuk keluarga kerajaan Sulu, Borneo dan

2
Camer Abu Bakar, ibid., hlm. 49.
3
Sumber lain menyebutkan bahwa proses islamisasi di wilayah ini diperkuat oleh Syarif Awliya dan Syarif
Maraja. Syarif Awliya diduga sampai di Magindanao sekitar tahun 1460.
4
D.A. Sarangani, “Islamic Penetration in Mindanao Sulu”, Mindanao Jurnal No.1, 1974.

4
Ternate. Sementara itu, Islam di Luzon datang melalui Brunei. Dilaporkan bahwa salah
seorang keluarga bangsawan Brunei menikah dengan anak bangsawan Luzon.

Dengan demikian, setakat ini terlihat bahwa proses islamisasi dilakukan oleh para
ulama dan pedagang yang menikah dengan wanita lokal, melahirkan generasi Muslimyang
pada gilirannya membentuk komunitas Muslim. Sosok pemimpin politik Muslim datang
belakangan dan memperkenalkan sistem politik Islam, pendidikan, hukum dan institusi Islam.
Karena itu, proses islamisasi tidak hanya terbatas pada aspek ideologi dan hukum semata
tetapi sekaligus meliputi bidang pendidikan dan politik. Juga terlihat adanya aliansi antara
keluarga kerajaan Sulu, Maguindanao, Lanao, Borneo dan Maluku dalam memperkuat syiar
dan kesadaran Islam dalam masyarakat Filipina Selatan.5

2.3 Sejarah Kerajaan Besar Islam di Filipina

Islam pernah menjadi agama mayoritas di Filipina dengan ditandai dengan kehadiran
kerajaan kerajaan Islam yang berkuasa seperti Kerajaan Manila (1500-1571) di bagian utara
Filipina atau di Pulau Luzon, kerajaan Sulu dan Kerajaan Manguindanau di bagian Selatan
Filipina. Kehadiran kolonialisme di Filipina (khususnya Spanyol) telah menggeser pengaruh
Islam di negeri itu dan menggantinya dengan agama Katolik. Sejak itu jumlah umat Islam di
Filipina tergerus hingga saat ini tinggal kurang lebih 5%. Kerajaannya sebagai berikut:

Pertama, Kerajaan Islam Manila (1500-1571) (juga disebut Kota Seludong),


yang merupakan ibukota Filipina sekarang. Kerajaan ini merupakan gabungan kerajaan
kerajaan Islam yang pernah memerintah kawasan Manila, Filipina. Carmen A. Abubakar
menyebutkan bahwa Islam di Pulau Luzon dikenalkan melalui peran kerajaan Brunai.6 Pada
pertengahan abad ke 16, terdapat tiga raja yang memerintah kawasan ini. Mereka adalah Raja
Sulaeman, Raja Matanda dan Raja Lakandula. Manila saat itu adalah negeri Islam paling
utara di Nusantara dan telah menjalin hubungan dengan kesultanan Brunei, Kesultanan Sulu
dan Kesultanan Ternate. Mengingat kerjaan Islam Manila adalah kerajaan Islam yang paling
muda di antara kerajaan Islam yang lain di wilayah Filipina, nampaknya Spanyol nantinya
mengincar menaklukkan kerajaan ini terlebih dahulu dalam menguasai Filipina. Maka pada
tahun 1571. Kerajaan Islam Manila hancur dan berakhir. Semenjak itu Filipina bagian utara

5
Carmen Abu Bakar, “ Tha Advent and Growth of Islam in the Philippines”, hlm. 51.
6
Carmen A Abubakar. “The Advent and Growth of Islam in The Philippines” dalam Islam in Southeast Asia.
(Singapore: Iseas, 2005). h. 50-51.

5
dijadikan wilayah basis yang selanjutnya orang lokal yang berhasil dikristenkan diajak
memerangi Muslim di Filipina Selatan.

Kedua, Kerajaan Sulu (1450-1917). Kerajaan ini berada di Filipina bagian Selatan
yang berdiri pada tahun 1450. Pada waktu itu, seorang Arab dari Johor yaitu Sharif
ulHashim Syed Abu Bakr tiba di Sulu. Ia kemudian menikah dengan Paramisuli, putri Raja
Bagindo. Setelah kematian Raja Bagindo, Abu Bakr melanjutkan pengislaman di wilayah ini.
Pada tahun 1457, ia memproklamirkan berdirinya Kesultanan Sulu dan memakai gelar
“Paduka Maulana Mahasari Sharif Sultan Hashim Abu Bakr”. Gelar “Paduka” adalah gelar
setempat yang berarti tuan sedangkan “Mahasari” bermaksud Yang Dipertuan. Pada zaman
kegemilangannya, negeri ini telah meluaskan perbatasannya dari Mindanao hingga bagian
timur negeri Sabah. Dalam Kakawin Nagarakertagama, negeri Sulu disebut Solot, salah satu
negeri di kepulauan Tanjungnagara (KalimantanFilipina) yaitu salah satu kawasan yang
menjadi daerah pengaruh mandala kerajaan Majapahit di Nusantara. Negeri Sulu terletak di
lepas pantai timur laut pulau Kalimantan.

Ketiga, Kesultanan Manguindanau (1203-1888). Sebuah pemerintahan Melayu


Islam yang memerintah sebagian Mindanao diFilipina selatan. Pengaruh kesultanan ini
berkembang dari semenanjung Zamboanga ke teluk Sarangani. Di masa keemasannya,
kesultanan ini memerintah seluruh Mindanaon dan juga pulau-pulau yang berdekatan. Shariff
Mohammed Kabung suwan dari Johor memperkenalkan agama Islam di tanah ini pada abad
ke-12. Ia kemudian menikah dengan puteri setempat dan mendirikan Kesultanan
Maguindanao pada sekitar tahun 1203 hingga 1205. Kesultanan ini pada mulanya beribukota
di kawasan Cotabato. Kesultanan ini jatuh ke tangan Spanyol dan akhirnya menjadi
sebagian dari Filipina.

2.4 Sosial Politik dan Hukum di Filipina

Bangsa Moro adalah tanah muslim yang penduduknya mengikuti madzhab Syafi’i.
Selama periode pra-Islam, yang bangsa berbeda atau Barangay (masyarakat) yang burik
kepulauan tidak memiliki hukum tertulis dan dipimpin oleh Datus (kepala suku) dengan hak
atas tanah leluhur.

Menjelang akhir abad ke-13, pulau Sulu pemukim Muslim terlindung dari Arab,
Kalimantan, Sumatera dan Malaya yang bekerja sebagai pedagang dan misionaris, beberapa

6
di antaranya perempuan lokal menikah, berbagi keyakinan agama mereka, dan menjalin
aliansi politik. Islam kemudian disebarkan di Filipina selatan pra-kolonial melalui sarana
ekonomi dan relasional sebagai pengganti penaklukan, yang mengakibatkan integrasi hukum
adat baru dan yang sudah ada. Ketika datus masuk Islam, kesultanan didirikan di Magindanao
dan Sulu. Menurut Justin Holbrook (2009): "berfungsi seperti" Mini-Negara ", dengan
pemerintah memiliki kekuatan baik dan peradilan administrasi ... Agama pengadilan Moro
diterapkan hukum adat, atau adat, serta hukum syariah ..." ini didefinisikan sifat
komprehensif dari sistem hukum Islam (juga disebut sebagai Agama Sara System) yang
mencakup, sosio-politik, dan hubungan-hubungan hukum sipil. Holbrook catatan lebih lanjut
bahwa Muslim awal dilaksanakan "pluralisme hukum untuk menjalin hubungan dengan
orang-orang dari keyakinan yang berbeda ...", menunjukkan bahwa mereka tinggal di ko-
eksistensi damai dengan dan tidak memaksakan iman mereka terhadap non-Muslim.

Pada masa itu, sudah dikenal sistem pemerintahan dan peraturan hukum yaitu
Manguindanao Code of Law atau Luwaran yang didasarkan atas Minhaj dan Fathu-i-Qareeb,
Taqreebu-i-Intifa dan Mir-atu-Thullab. Manguindanao kemudian menjadi seorang Datuk
yang berkuasa di propinsi Davao di bagian tenggara pulau Mindanao. Setelah itu, Islam
disebarkan ke pulau Lanao dan bagian utara Zamboanga serta daerah pantai lainnya.
Sepanjang garis pantai kepulauan Filipina semuanya berada dibawah kekuasaan pemimpin-
pemimpin Islam yang bergelar Datuk atau Raja. Istilah luwaran, yang dipakaai oleh orang
Moro Mindanao dalam kitab hokum, berarti “pilihan” atau “terpilih”. Undang-undang yang
terkandung didalam kitab Luwaran merupakan pilihan dari hukum Arab lama yang kemudian
diterjemaahkan dan dikompilasikan untu digunakan sebagai pegangan serta informasi bagi
para datu, hakim dan pandita di Mindanao yang tidak mengerti bahasa Arab. Kitab luwaran
dari Mindanao tidak ada taanggalnya sama sekali, tak ada seorangpun yang mengetahui
kapan kitab ini di b uat. Sebagian orang berpendapat bahwa kitab Mindanao ini disusun
beberapa waktu yang lalu oleh para hakim di Mindanaao. Kitab utama yang dirujuk oleh
kitab luwaran adalah Minhaj Al Thalibin karya ahli hukum mazhab Syafi’I Zakaria yahya bin
syaraf Al Nawawi.

2.5 Problematika Islam di Filipina

7
Kota Marawi dan Jolo dapat dianggap sebagai pusat keagamaan bagi komunitas
muslim. Kitab suci Al-Qur’an telah diterjemahkan oleh dr. Ahmad Domacao Alonto
kedalaam bahasa Maranao, bahasa yang paling utama dikalangan muslim kebanyakan
muslim di Moro adalah petani dan nelayan. Dijabatan tinggi pemerintah Filipina tidak berarti.

Asosiasi islam yang paling aktif adalah Asosiasi Muslim Filipina (Manila), Ansar Al-
Islam(Kota Marawi), Masyarakat Islam Mualaf (Manila) dan yayasan Islam Sulu (jolo) dan
sebagainya. Tahun 1983, Dewan Dakwah Islam Filipina telah dibentuk untuk mempersatukan
organisasi-organisasi Muslim di utara dan selatan.

Menurut Majul, ada tiga alasan yang menjadi penyebab sulitnya bangsa Moro
berintegerasi secara penuh kepada republik Filipina. Pertama, bangsa Moro sulit menghargai
undang-undang Nasional, khususnya yang mengenai hubungan pribadi daan keluarga, karena
undang-undang tersebut berasal daari Barat dan Katolik, seperti larangan bercerai dan
poligami yang sangat bertentangan dengan hukum Islam yang membolehkannya.

Kedua, system sekolah yang menetapkan kurikulum yang sama, bagi setiap anak Filipina
disemua daerah, tanpa membedakan perbedaan agama dan kultur, membuat bangsa Moro
malas untuk belajar disekolah yang didirikan pemerintah. Mereka menghendaki dalam
kurikulum itu adanya perbedaan khusus bagi bangsa Moro, karena adanya perbedaan agama
dan kultur.

Ketiga, bangsa Moro masih trauma dan kebencian yang mendalam terhadap program
perpindahan penduduk yang dilakukan oleh pemerintah Filipina kewilayah mereka di
Mindanao, karena program ini telah mengubah posisi mereka dari mayoritas menjadi
minoritas hampir disegala bidang kehidupan.7

2.6 Perkembangan Filipina Hingga Sekarang

Kemerdekaan yang didapatkan Filipina (1946) dari Amerika Serikat ternyata tidak
memiliki arti khusus bagi Bangsa Moro. Hengkangnya A.S dari Filipina ternyata
memunculkan penjajah lainnya (pemerintah Filipina). Tekanan semakin terasa hebat dan
berat ketika Ferdinand Marcos berkuasa (1965-1986). Dibandingkan dengan masa
pemerintahan semua presiden Filipina dari Jose Rizal sampai Fidel Ramos maka masa
pemerintahan Ferdinand Marcos merupakan masa pemerintahan paling refresif bagi bangsa
7
Drs. Asep Ahmad Hidayat,dkk. Studi Islam di Asia Tenggara. Hal.76

8
Moro. Pembentukan Muslim Independent Movement (MIM) pada 1968 dan Moro Liberation
Front (MLF) pada 1971 tak bisa dilepaskan dari sikap politik Marcos yang lebih dikenal
dengan Presidential Proclamation No.1081 itu.

Pada masa perjuangan Bangsa Moro memasuki babak baru dengan dibentuknya front
perlawanan yang lebih terorganisir dan maju, seperti MIM, Anshar-el-Islam, MNLF, MILF,
MNLF-Reformis, BMIF. Namun pada saat yang sama juga sebagai masa terpecahnya
kekuatan Bangsa Moro menjadi faksi-faksi yang melemahkan perjuangan mereka secara
keseluruhan.

Oleh karena itu strategi umum pemerintah terhadap kaum Muslim adalah
mengintegrasikan kaum Muslim, ke dalam proses demokrasi nasional. Semua program
pembangunan pemerintah yang ditujukan kepada kaum Muslim pada dasarnya dikaitkan
dengan falsafah integrasi dan asimilasi kaum Muslim pada budaya nasional (Kristen
Katholik).

Peningkatan penduduk bukan Islam di Cotabato dan bagian-bagain Lanao


menyebabkan banyak orang Islam berkesimpulan bahwa, ada rencana jahat pemerintah
yang disengaja untuk membubarkan orang Islam, atau memastikan bahwa mereka tetap
merupakan minoritas dalam wilayah mereka sendiri. Mereka melihat dengan frustasi,
kalau tidak iri hati, bahwa daerah-daerah yang didiami orang Kristen sekarang
mempunyai jalan-jalan yang lebih baik dan proyek-proyek irigasi yang lebih efektif, kantor-
kantor pusat dan sekolah-sekolah, dibandingkan dengan fasilitas-fasilitas mereka sendiri
yang terbelakang. Dengan demikian mereka percaya bahwa mereka menjadi korban
diskriminasi pemerintah dan disia-siakan oleh para pemimpin mereka sendiri. Pada
gilirannya, para pemimpin Islam menyalahkan timbulnya semua penyakit ini pada apa yang
dinamakan pemerintah Kristen di Manila.

Sebaliknya pandangan pemerintah bahwa masalah Moro tidak lain hanyalah


masalah integrasi yaitu bagaimana mengintegrasikan mereka dalam arus utama di tubuh
nasional. Dalam kerangka itu, maka dalam menyelesaikan masalah Moro, Manila
mengambil kebijakan strategis antara lain : Pertama, militerisasi. Kedua, kebijakan
pemerintah untuk memindahkan orang-orang Kristen dari Luzon, dan Propinsi Visayan ke
daerah Muslim, serta mengubah komposisi dan demografi di wilayah Muslim tersebut.326

9
Ketiga, Kebijakan pemerintah untuk mencap kegiatan kaum Muslim sebagai
“Fundamentalis Muslim”. Keempat, kebijakan pemusnahan.

Kebijakan-kebijakan pemerintah ini telah mengundang sejumlah protes dan


perlawanan dari kaum Muslim. Dari sinilah kemudian muncul dan terbentuk frontfront
perlawanan seperti Muslim Independent Movement (MIM) pada 1968, Anshar el-Islam,
dan Moro Liberation Front (MLF) pada 1971. Pertengahan tahun 2006, kaum Muslim
Moro yang diwakili oleh MILF kembali melakukan perundingan damai dengan pemerintah
Filipina. Nampaknya perdamaian antara Muslim dan nonMuslim Filipina masih akan
sulit tercapai bila kedua belah pihak tidak saling mau bertarik ulur.

Berita tanggal 18 Oktober 2008 melaporkan bahwa Presiden Filipina, Gloria


Macapagal Arroyo, berikrar tidak akan berhenti melakukan serangan militer terhadap
para gerilyawan Muslim yang menduduki desa-desa dan menyerang kota-kota di
wilayah Mindanao, selatan negara itu. Ia bahkan mendesak tentara terus melakukan
operasioperasi terhadap gerilyawan Front Pembebasan Islam Moro (MILF).

Dari yang terlihat perjuangan Muslim Moro untuk menjaga keimanan dan
identitas mereka serta merebut kemerdekaan mereka yang terampasbelum kunjung
berakhir, meski telah berperang selama 469. Kaum Muslim di bagian Selatan
Filipinavdengan mayoritas pemeluk Islam ini sejak 1972 menuntut kemerdekaan dan
ingin menentukan sendiri nasibnya. Namun, pemerintah setempat menjawabnya dengan
senjata. Sudah ratusan masjid hancur oleh serangan militer, ribuan kaum Muslimjadi
korban. Menurut catatan, lebih dari 120.000 umat Islam telah menjadi korban.

2.7 Sistem Pemerintahan Filipina

Kebijakan umum pemerintah Filipina terhadap kaum muslim pada dasarnya tidak
berubah, hanya berbeda intensitasnya dari satu presiden ke presiden lainnya. Pemerintah
Manila mempunyai empat titik pandang terhadap kaum muslim. Pertama, pemerintah masih
memegang padangan kolonial yaitu “Moro yang baik, adalah moro yang mati. Kedua, kaum
muslim adalah warga kelas dua di Filipina. Ketiga, kaum muslim adalah penghambat
pembangunan. Keempat, masalah moron adalah masalah integrasi yaitu bagaimana
mengintegrasikan mereka dalam arus pertama (mainstream) tubuh politik nasional.

10
Oleh karena itu, strategi umum pemerintah terhadap kaum muslim adalah
mengitegrasikan kaum muslim, kedalam proses demokrasi nasional. Semua program
pembangunan pemerintah yang ditunjukkan kepada kaum muslim pada dasarnya dikaitkan
dengan falsafah inte grasi dan asimilasi kaum muslim pada budaya nasional (kristen katolik).

Sementara bagian terbesar kaum muslim Filipina tidak memiliki rasa identitas
nasional disebabkan oleh : Pertama, orang-orang islam merasa sulit untuk menghargai
udang-undang nasional, khsusnya yang mengenai hubungan-hubungan pribadi dan keluarga,
karena undang-undang jelas berasal dari nilai-nilai moral Barat dan Katolik.

Kedua, sistem sekolah umum dibawah republik tidak berbeda dengan yang
diperkenalkan oleh kolonial amerika dan yang dikembangkan persemakmuran.

Ketiga, ketidakmampuan orang islam untuk menggap diri mereka sendiri sebagai
warga negara republik dan yang kemudian menjadi reaksi kekerasan adalah disebabkan oleh
kebencian mreka yang mendalam terhadap gelombang kaum penetap yang terus menerus
kebagian-bagian mindanao. Lebih dari 200.000 orang kristen telah datang di Cotabatu pada
sekitar 40 tahun yang lalu, hingga mengurangi jumlah orang islam yang pernah sebagai
mayoritas, menjadi minorits sebesar 30%.8

Sebaliknya padangan pemerintah bahwa masalah Moro tidak lain hanyalah masalah
integrasi yaitu bagaimana mengintegrasikan mereka dalam arus utama ditubuh nasional.
Dalam kerangka itu, maka dalam menyelesaikan masalah Moro, Manilla mengambil
kebijakan strategis antara lain : Pertama, militerisasi. Kebijakan ini biasanya diterapkan
dalam kasus-kasus kriminal yang dilaporkan dilakukan oleh orang islam, dan ini dilakukan
tanpa memperhatikan hak-hak sipil warga negara dan batas-batas konstitusional. Kedua,
kebijakan pemerintah untuk memindahkan orang-orang kristen dari Luzon, dan provinsi
Visayan ke daerah muslim, serta mengubah komposisi dan demografi di wilayah muslim
tersebut. Ketiga, kebijakan pemerintah untuk mencap kegiatan kaum muslim sebagai
“Fundamentalis Muslim”. Keempat, kebijakan pemusnahan, seperti pembunuhan membabi
buta dan pembantaian penduduk sipil sebagaimana yang terjadi dalam pembantaian Kawit,
Jabidah,Masjid Mannili, pembakaran kota Jolo dsb.

8
Cesar Adib Majul, Op.cit., hlm. 24-6.

11
Perjuangan muslim Moro untuk menjaga keimanan dan identitas mereka serta
merebut kemerdekaan mereka yang terampas belum kunjung berakhir, meski telah berperang
selama 469. Kaum muslim dibagian selatan Filipina dengan mayoritas pemeluk islam ini
sejak 1972 menuntut kemerdekaan dan ingin menentukan sendiri nasibnya. Namun,
pemerintah setempat menjawabnya dengan senjata sudah ratusan masjid hancur orang
serangan militer, ribuan kaum muslim jadi korban. Menurut catatan lebih dari 120.000 umat
islam telah menjadi korban.

2.8 Konsep Toleransi di Filipina

Mayoritas penduduk Filipina beragama Katolik, walaupun katolik menjadi agama


mayoritas, tetapi di Filipina terdapat tiga ribu masjid, terutama di selatan. Dahulu di Filipina
memiliki konsep toleransi yang justru menemukan penduduk wilayah selatan melakukan
perlawanan sangat gigih, berani, dan pantang menyerah. Tentara kolonial Spanyol harus
bertempur mati-matian dengan jarak kilometer demi kilometer untuk mencapai Mindanao-
Sulu. Kesultanan Sulu pada akhirnya takluk pada 1876 M. Sampai diberi nama “minoritas di
negeri sendiri”. Tetapi, sekarang Filipina memiliki konsep toleransi yang mengutamakan
“kekuatan menuju kedamaian,buang kekerasan” toleransi di Filipina sangat luar biasa karena
yang “mayoritas” sedang berduka, namun menjadi pionir dan pelindung bagi semua insan
manusia dalam mengkampanyekan keadilan dan perdamaian serta bersama melawan segala
bentuk kekerasan.

12
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Islam di Filipina berkembang disebarkan oleh da’i pengembara di kawasan Filipina


Selatan. Umat islam di Filipina yang kemudian dikenal dengan bangsa “Moro”, pada
akhirnya menghadapi berbagai hambatan baik pada masa kolonial maupun pasca
kemerdekaan. Bila direntang ke belakang, perjuangan bangsa Moro dapat dibagi menjadi 3
fase: Pertama, Moro berjuang melawan penguasa Spanyol selama lebih dari 375 tahun (1521-
1898). Kedua, Moro berusaha bebas dari kolonialisme Amerika selama 47 tahun (1898-
1946). Ketiga, Moro melawan pemerintah Filipina (1947-sekarang).

Minimal ada tiga alasan yang menjadi penyebab sulitnya bangsa Moro berintegrasi
secara penuh kepada pemerintah republik Filipina. Pertama, bangsa Moro sulit menerima UU
Nasional karena jelas UU tersebut berasal dari Barat dan Katolik dan bertentangan dengan
ajaran islam. Kedua, sistem sekolah yang menetapkan kurikulum yang sama tanpa
membedakan perbedaan agama dan kultur membuat bangsa Moro malas untuk belajar di
sekolah yang didirikan oleh pemerintah. Ketiga, adanya trauma dan kebencian yang
mendalam pada bangsa Moro atas program perpindahan penduduk yang dilakukan oleh
pemerintah Filipina ke wilayah mereka di Mindanao, karena program ini telah mengubah
mereka dari mayoritas menjadi minoritas disegala bidang kehidupan.

3.2 Saran

Inilah makalah singkat yang kami kaji dan tulis secara sistematis. Dan kami sangat
berharap banyak untuk para pembaca agar kiranya memahami makalah yang tidak seberapa
ini atas segala kekurangan ataupun kesalahan yang ada. Kami menyadari bahwa kami adalah
manusia biasa yang tak luput dari salah dan khilaf. Dan kami juga mengharapkan kritikan dan
saran yang bersifat membangun terhadap makalah ini. Serta tak lupa rasa terima kasih kami
ucapkan kepada dosen pengampu mata kuliah “Sejarah Islam Asia Tenggara” bapak Mutasir,
S.Hi, M,Sy atas ilmunya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Arisman. 2017. Historikal Islam Asia Tenggara. Depok Sleman Yogyakarta: Kalimedia.

Helmiati. 2014. Sejarah Islam Asia Tenggara. Pekanbaru: Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat.

Murtadlo Muhamad.2015.Islam dalam Lintasan Sejarah Filipina. Islam dan Pendidikan


Madrasah di Filipina.13(1): 49-50.

Saifullah. 2010. Sejarah & Kebudayaan Islam di Asia Tenggara. : Pustaka Pelajar.

Sasongko Agung. 2018. Muslim di Filipina Minoritas di Negeri Sendiri. [Internet]. Tersedia
di: https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/dunia/18/03/22/p5ziea313-muslim-di-
filipina-minoritas-di-negeri-sendiri

14

Anda mungkin juga menyukai