Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

PERKEMBANGAN ISLAM DI BRUNEI DARUSSALAM DAN


FILIPINA
Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Islam Nusantara
Dosen Pengampu: Samsir, S.Ag., M.Hum.

Disusun oleh kelompok 2:


Shofiyyatu Urfa Rosyida 2142115079
Nabila Ulfa 2142115053
Jamuna Aprilliya Salsabila 2142115089
Siti Nurkholishah 2142115044
Dahlia 2142115080
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USULUDIN, ADAB DAN DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD
IDRIS SAMARINDA
TAHUN 2024
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim..
Pertama-tama marilah kita panjatkan puja dan puji syukur kita ke hadirat
Allah Subhanahu wa ta’ala yang mana berkat rahmat dan hidayah-Nya lah penulis
mampu menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Tak lupa shalawat serta
salam kita haturkan kepada junjungan nabi agung kita, Nabi Muhammad
Shallahu’alaihi wa sallam yang telah membawa kita keluar dari zaman kegelapan
menuju zaman yang terang benderang.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dari bapak Samsir, S.Ag., M.Hum. pada mata kuliah Sejarah Islam Nusantara yang
berjudul “Perkembangan Islam di Brunei Darussalam dan Filipina”.
Terima kasih kepada:
1. Bapak Samsir, S.Ag., M.Hum. selaku dosen pengampu Sejarah Islam
Nusantara.
2. Kelompok 2 yang telah menyelesaikan makalah ini sampai akhir.
3. Teman-teman lokal 2.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima dengan senang hati.
Penulis berharap makalah ini bisa membawa manfaat bagi para pembaca dan bisa
memperluas khazanah ilmu pengetahuan kita dalam mata kuliah Sejarah Islam
Nusantara.
Samarinda, 23 Maret 2024
12 Ramadhan 1445 H

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
A. Sejarah Perkembangan Islam di Brunei Darussalam ............................ 3
B. Sejarah Perkembangan Islam di Filipina .............................................. 14
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 23
A. Kesimpulan ............................................................................................... 23
B. Saran ......................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 24

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam telah memainkan peran penting dalam membentuk dan memengaruhi
sejarah serta budaya di berbagai negara di seluruh dunia. Dua negara di Asia
Tenggara yang menunjukkan peran yang signifikan dalam sejarah perkembangan
Islam adalah Brunei Darussalam dan Filipina. Meskipun memiliki perbedaan dalam
hal ukuran, geografi, dan pengaruh sejarah, keduanya memiliki warisan Islam yang
kaya yang mencerminkan keragaman dan kompleksitas Islam di wilayah tersebut.
Brunei Darussalam, sebuah negara kerajaan yang relatif kecil di kawasan
Asia Tenggara, telah memainkan peran yang menonjol dalam mempertahankan
nilai-nilai Islam di tengah-tengah masyarakatnya. Dikenal juga sebagai Monarki
Islam Melayu (MIB), Brunei secara konsisten telah menjadikan Islam sebagai
ideologi nasionalnya. Seruan dari Monarki Islam Melayu kepada rakyatnya untuk
tetap setia kepada rajanya, menjalankan Islam sebagai jalan hidup, dan memelihara
identitas Melayu yang khas, menandakan pentingnya Islam dalam membentuk
struktur sosial, politik, dan budaya di Brunei Darussalam. Hal ini menjadikan
Brunei sebagai salah satu negara yang menampilkan integrasi yang kuat antara
agama dan kekuasaan politik, yang berdampak pada perkembangan Islam yang
signifikan di negara ini.1
Sementara itu, Filipina, sebuah negara kepulauan yang luas dan beragam di
Asia Tenggara, juga memiliki warisan Islam yang kaya. Meskipun saat ini
mayoritas penduduk Filipina adalah Katolik, Islam memiliki jejak sejarah yang kuat
di wilayah ini. Islam diperkirakan telah masuk ke Filipina pada abad ke-13 dan pada
satu waktu menjadi mayoritas di antara penduduknya. Sebelum kedatangan
penjajah Spanyol dan Amerika, Islam telah berkembang melalui interaksi dengan
ulama dan pedagang Muslim dari Arab. Namun, dengan berbagai dinamika sejarah,

1
Sharon Siddique, "Brunei Darussalam: Sebuah Bangsa Religius yang Potensial" dalam
Moeflich Hasbullah (ed.), Asia Tenggara Konsentrasi Baru Kebangkitan Islam, Cet. II (Bandung:
Fokusmedia, 2005), 246.

1
2

termasuk kolonialisasi dan perubahan demografis, status Islam di Filipina berubah


dari mayoritas menjadi minoritas di beberapa wilayah.2
Melalui penelusuran sejarah perkembangan Islam di Brunei Darussalam dan
Filipina, kita dapat memahami bagaimana agama ini memengaruhi identitas dan
kehidupan masyarakat di kedua negara tersebut. Penelusuran sejarah perkembangan
Islam di kedua negara ini menjadi sangat relevan dalam memahami kompleksitas
dan keragaman Islam di Asia Tenggara serta dampaknya terhadap dinamika sosial,
politik, dan budaya di wilayah tersebut. Dengan demikian, penelitian lebih lanjut
tentang perkembangan Islam di Brunei Darussalam dan Filipina menjadi esensial
untuk memahami narasi Islam yang lebih luas di tingkat regional dan global.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat disimpulkan
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah perkembangan islam di Brunei Darussalam?
2. Bagaimana sejarah perkembangan islam di Filipina?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan sebagai
berikut:
1. Memahami sejarah perkembangan islam di Brunei Darussalam.
2. Mengetahui sejarah perkembangan islam di Filipina.

2
Muhammad Nasir, “Dinamika Islam di Filipina”, Hadhrah; Jurnal Keislaman dan
Peradaban, Vol 13 No 1 Juni 2019, 68.
3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Islam di Brunei Darussalam
1. Sejarah Berdirinya Brunei Darussalam
Brunei, yang sebelumnya dikenal sebagai Kerajaan Borneo, mengalami
perubahan namanya menjadi Brunei. Ada teori yang menyatakan bahwa Brunei
berasal dari kata “baru nah”, yang menurut cerita sejarah, awalnya ada sekelompok
klan atau suku Sakai yang dipimpin oleh Pateh Berbai yang berlayar ke Sungai
Brunei untuk mencari tempat mendirikan sebuah negeri baru. Setelah menemukan
kawasan strategis yang dikelilingi oleh bukit, air, mudah diakses, dan kaya akan
sumber daya ikan, maka mereka pun mengucapkan perkataan “baru nah” yang
berarti tempat itu sangat baik, berkenan dan sesuai di hati mereka untuk mendirikan
negeri seperti yang mereka inginkan. Istilah “baru nah” akhirnya berubah menjadi
Brunei.3 Suku Sakai tersebut sebagian besar adalah pedagang dari China, sehingga
awalnya, Brunei adalah pusat perdagangan bagi orang-orang China.
Kerajaan Brunei telah berdiri sejak abad ke-7 atau ke-8 Masehi, dengan
masa ke-emasannya terjadi pada abad ke-15 hingga ke-17, terutama selama
pemerintahan Sultan Bolkiah yang kelima. Namun, kedatangan bangsa Eropa,
terutama Inggris, menjadikan Brunei sebagai koloni Inggris sejak tahun 1888.
Bersama dengan Malaysia, yang juga dikuasai oleh Inggris pada saat itu, kedua
negara bersatu untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka. Malaysia merdeka
pada 31 Agustus 1957, sementara Brunei baru memperoleh kemerdekaannya pada
1 Januari 1984 setelah memisahkan diri dari Malaysia.4
Meskipun baru merdeka selama sekitar dua puluh tahun pada tahun 2007,
Brunei telah mengalami kemajuan signifikan, terutama dalam perdagangan. Negara
ini juga dikenal sebagai salah satu negara ter-makmur di ASEAN dengan kekayaan
utama berupa minyak bumi, gas alam, serta hasil pertanian seperti karet dan
rempah-rempah. Ibu kota negara ini adalah Bandar Seri Begawan, yang dipimpin

3
Lihat, “Brunei Darussalam,” http://id.wikipedia.org/wiki/Brunei_Darussalam.
4
Fikria Najtama, Perkembangan Islam di Brunei, Tasamuh: Jurnal Studi Islam,
http://ejournal.stain.sorong.ac.id/indeks.php/tasamuh Vol. 10, No. 2, (2018), 410.
4

oleh Sultan Hasanal Bolkiah. Secara geografis, Brunei berbatasan langsung dengan
Indonesia di utara pulau Kalimantan dan berdekatan dengan Malaysia di wilayah
Serawak dan Sabah.
Sejarah awal Brunei mencakup beberapa teori asal usul nama, yang di
antaranya mengaitkannya dengan kata “baru nah”. Penjelasan lain mengacu pada
Naskah Nagarakertagama yang menyebut Brunei sebagai Barune(ng), serta asal
mula nama Brunei dari bahasa Sanskerta “Varunai” yang berarti Pulau
Kalimantan.5 Pada abad ke-14 Masehi, Brunei menjadi pusat perdagangan antara
China dan Asia Tenggara, menandai perubahan signifikan dalam pemerintahan
dengan pergantian nama raja dari Alak Betatar menjadi Sultan Muhammad Syah.6
2. Teori Masuknya Islam di Brunei Darussalam
Islam mulai masuk ke Brunei Darussalam sekitar tahun 977 M, melalui jalur
perdagangan timur Asia Tenggara oleh pedagang dari Cina. Namun, pada saat itu,
Islam belum tersebar secara luas. Sebuah teori menyatakan bahwa Islam memasuki
Brunei Darussalam pada abad ke-13 M, dengan masuknya Raja Awang Alak
Betatar yang kemudian mengganti namanya menjadi Muhammad Shah pada tahun
1368 M. Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan sejarawan, kedua teori ini
sejalan dengan penyebaran Islam di kawasan Nusantara.
Sejarawan umumnya mengemukakan dua teori utama tentang asal-usul
Islam di Nusantara, yaitu teori Gujarat dan Mekah. Namun, beberapa sejarawan
juga menyatakan tiga teori, seperti yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra, yang
menyebutkan Mekah, Gujarat, dan Benggal sebagai asal masuknya Islam ke
Indonesia. Pendapat lain dari A.M. Suryanegara juga mencakup tiga teori, yaitu dari
Mekah, Gujarat, dan Persia. Alasan di balik teori-teori ini didasarkan pada bukti
sejarah yang mereka kaji dengan cermat.
a. Teori Gujarat
Teori Gujarat berasal dari pandangan yang menyatakan bahwa asal-usul
Islam di Nusantara berasal dari Gujarat. Pandangan ini pertama kali diusulkan oleh

5
Muhammad Syamsu As "Ulama Pembawa Islam di Nusantara dan Sekitarnya" Jakarta
lentera, 1996. h 144.
6
Mahmud Saedon bin Awang Othman "Pemimpin Era Baru" Univesitas Brunei Darussalam
1996. h 14.
5

Pijnepel (1872 M), yang menginterpretasikan catatan perjalanan Sulaiman, Marco


Polo, dan Ibn Batutah. Snouck Hurgronye kemudian mendukung teori ini dengan
alasan bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk menunjukkan peran bangsa Arab
dalam penyebaran Islam di Nusantara. Selain itu, hubungan perdagangan antara
Nusantara dan India telah berlangsung lama, dan inskripsi tertua tentang Islam di
Sumatera menunjukkan hubungan dagang antara Sumatera dan Gujarat.
Pandangan Snouck Hurgronye ini memengaruhi pandangan masa depan
karena mendapat pengakuan dari sejarawan Barat seperti Stutterheim, Bernard H.N.
Vlekke, Schriekie, Clifford Geertz, Harry J. Benda, Van Leur, dan T.W. Arnold.
Moquette, seorang sarjana Belanda lainnya, menyimpulkan cbahwa tempat asal
Islam di Nusantara adalah Gujarat setelah mengamati bentuk batu nisan di Pasai,
Utara Sumatra (Aceh sekarang), terutama yang bertanggal 17 Dzulhijjah 831H / 27
September 1428M. Batu nisan ini, yang mirip dengan yang ditemukan di makam
Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur, ternyata memiliki bentuk yang
sama dengan batu nisan di Cambay, Gujarat. Dengan mengacu pada contoh-contoh
ini, ia menyimpulkan bahwa batu nisan dari Gujarat tidak hanya digunakan untuk
pasar lokal, tetapi juga diimpor ke wilayah lain, termasuk Nusantara.
b. Teori Mekkah
Teori Mekkah muncul sekitar tahun 1958 M. Teori ini muncul pada masa
dimana banyaknya kritikan yang ditujukan pada teori Gujarat. Hal ini terjadi karena
terdapat hal-hal yang tidak terungkap, sehingga teori tersebut dianggap tidak kuat.
Salah satu tokoh yang memberikan kritik tersebut ialah Hamka. Ia
mengemukakan pendapatnya tersebut dalam acara Dies Natalis IAIN Yogyakarta
ke-8 di Yogyakarta. Dalam acara tersebut Hamka mengemukakan temuan-temuan
baru yang memperkuat munculnya cikal bakal teori Mekah.
Hamka menilai wilayah Gujarat bukan tempat asal datangnya Islam, tetapi
Gujarat hanya sebagai tempat singgah dari saudagar-saudagar Arab seperti dari
Mekah, Mesir, dan Yaman. Sebenarnya Mekkah atau Mesir adalah tempat asal
pengambilan ajaran Islam.7 Ia juga mendasarkan bahwa mazhab terbesar yang

7
Surya Negara, Forum: Southeast Asian of Islamic Sultane, (Kuala Lumpur: 2002).
6

dianut sebagian besar umat Islam Nusantara adalah Mazhab Syafi'i sama dengan
mazhab yang dianut masyarakat Mekkah masa itu.
Alasan lain yang memperkuat lahirnya teori Mekah dikemukakan oleh
Sayyid Muhammad Naquib al-Attas bahwa sebelum abad ke-17 M. Seluruh
literatur keagamaan yang relevan tidak satupun pengarang muslim tercatat berasal
dari India. Penulis yang dipandang Barat sebagai berasal dari India terbukti berasal
dari Arab atau Persia. Benar bahwa sebagian karya yang relevan tentang keagamaan
itu ditulis di India, tetapi asal kedatangan penulis tersebut adalah dari kawasan
jazirah Arab (Mekkah, Mesir, Yaman) dan Persia. Ada pula kemungkinan kecil
sebagiannya berasal dari penulis Turki atau Maghrib dan yang lebih penting bahwa
kandungan nilai-nilai ajaran Islam adalah dari Timur Tengah bukan dari India.8
Termasuk penggunaan gelar Syarif, Said, Muhammad, Maulana juga
identik dengan asal mereka dari Mekah dan kedatangan mereka termasuk paling
awal di kawaasan Nusantara ini. Kemudian bukti lain adalah pada tahun 1297 M
Gujarat masih berada di bawah naungan kerajaan Hindu, setahun kemudian baru
ditaklukkan tentara muslim.9
c. Teori Persia
Titik pandang teori ini memiliki perbedaan dengan teori Gujarat dan Mekah
mengenai masuk dan datangnya Islam di Nusantara. Islam masuk ke Indonesia
menurut Hoesin Djajadiningrat berasal dari Persia abad ke-7 M. Teori ini
memfokuskan tinjauannya pada sosio-kultural di kalangan masyarakat Islam
Indonesia yang ada kesamaan dengan di Persia.
Di antaranya adalah perayaan Tabut di beberapa tempat di Indonesia, dan
berkembangnya ajaran Syekh Siti Jenar zaman penyebaran Islam Wali Sanga ada
kesamaan dengan ajaran Sufi al-Hallaj dari Iran Persia.10 Teori ini banyak mendapat
kritikan ketika diadakan seminar masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia
yang diselenggarakan di Medan tahun 1963. Kritik itu muncul dari Dahlan Mansur,

8
Azyumardi Azra, “Perspektif Islam di Asia Tenggara”, Paramadina (Jakarta: 1999). 28.
9
Abd. Ghofur, Islam dan Politik di Brunei Darussalam (Suatu Tinjauan Sosio-Historis)
dalam Jurnal Tolesansi: Media Komunikasi Umat Beragama, Vol. 7, No. 1, 2015. 58.
10
Surya Negara, Forum: Southeast Asian of Islamic Sultane, (Kuala Lumpur: 2002).
7

Abu Bakar Atceh, Saifuddin Zuhri, dan Hamka. Penolakan teori ini didasarkan pada
alasan bahwa, Islam masuk abad ke-7 M. yang ketika itu kekuasaan dipimpin
Khalifah Umayyah (Arab), sedangkan Persia Iran belum menduduki kepemimpinan
dunia Islam. Masuknya Islam dalam suatu wilayah, bukankah tidak identik
langsung berdirinya kekuasaan Islam.11
d. Teori Cina
Teori ini dikemukakan oleh Selamet Muljana yang mengatakan bahwa
sultan-sultan di Kerajaan Demak adalah peranakan Cina. Demikian pula ia
menjelaskan bahwa para Wali-Songo adalah keturunan Cina. Pendapat Selamat
Muljana ini didasarkan dari sebuah Kronik klenteng Sam Po Kong.
Teori ini didukung oleh catatan sejarah tentang Sultan Demak Panembahan
Patah yang memiliki nama cina dalam Kronik Sam Po Kong, bernama Panembahan
Jin Bun. Sedangkan Wali Songo yaitu Sunan Ampel memiliki nama Cina Bong
Swee Hoo. Sunan Gunung Jati dengan nama Cina Tob A Bo.
Sebenarnya menurut A.M. Surya Negara bahwa dalam budaya Cina
penulisan sejarah nama tempat yang bukan negeri Cina, dan nama orang yang
bukan bangsa Cina, juga dicinakan penulisannya. Sebagai contoh putri raja
Vikramawardana (Raja Kerajaan Majapahit terakhir) adalah Suhita dan sebagai
Ratu kerajaan Hindu Majapahit, dituliskan nama Cinanya yaitu Su King Ta.
Namun, menurut Selamat Muljana ia tidak menyebutkan bahwa ratu Shita atau Su
King Ta adalah orang peranakan Cina dan kerajaan Budha Sriwijaya atau San Fo
Tsi adalah kerajaan Cina.
Kelemahan data dan sistem interpretasi data yang dilakukan oleh Selamat
Muljana mendapat kritikan dari G. W.J. Drewes (Islamolog University of Leiden
Belanda), saat beliau berkunjung di IAIN Suan Kalijaga Yogyakarta tahun 1971 M.
Ia mencontohkan tulisan J.P Coen dalam tradisi Jawa penulisan nama tokoh sejarah
tersebut dijawakan menjadi Mur Jangkung. Pengindonesiaan Nederland menjadi
Belanda bukan berarti Negara Belanda adalah Indonesia. Alasan lain bisa juga
dikemukakan bahwa tokoh pendiri Nahdhatul Ulama (NU) KH. Hasyim As'ary dan

11
Sauddin Zuhri, “Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia”,
(Bandung: 1984, Al-Ma’rif). 188.
8

KH Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyah meski namanya berbahasa Arab tidak


berarti mereka adalah orang Arab atau peranakan Arab.12
3. Fase Perkembangan Islam di Brunei Darussalam
Sejak kedatangan islam di kesultanan Brunei Darussalam sampai sekarang
terbagi kepada empat fase yaitu fase pembentukan kesultanan, fase pertumbuhan,
fase perkembangan dan fase kegemilangan. Pembagian ini didasarkan pada aspek-
aspek fundamental yang kuat dan berbasis ilmiah, yang menjadi argumen penting
untuk mengurangi kesalahan dan kekeliruan dalam mengevaluasi berbagai hal,
termasuk kemajuan peradaban Islam di Negara Brunei Darussalam. Setiap tahap
tersebut menunjukkan perkembangan Islam dari satu tahap ke tahap berikutnya.
a. Fase Pembentukan Kesultanan
Dalam sejarah, diketahui bahwa Brunei sebelumnya merupakan bagian dari
kerajaan Majapahit yang berpusat di Indonesia. Dalam silsilah raja-raja Brunei,
disebutkan bahwa Sultan pertama dari Kesultanan Brunei adalah seorang kafir
bernama Sang Aji. Pada masa kekuasaan Patih Aria Gajah Mada dari Majapahit,
Brunei mengirimkan upeti berupa kapur barus dan air pinang muda setiap tahunnya.
Dalam buku Negara Kartagama karya Paranca tahun 1365 M, terdapat
daftar negara yang berada di bawah kekuasaan Majapahit, termasuk Baruneng,
yang diyakini berasal dari Brunei. Nama Sang Aji Brunei juga berubah menjadi
Sang Aji Baruwing dalam silsilah yang dimiliki oleh Dato Norbeck dan Dato Bayal.
Meskipun nama-nama tersebut berbeda, namun merujuk pada Brunei.
Menurut silsilah Sultan-Sultan Brunei yang diterbitkan oleh Pusat Sejarah
Brunei, Sang Aji dianggap sebagai cikal bakal kesultanan Brunei. Disebutkan
bahwa dia sudah lama menikah namun belum dianugerahi putra atau putri.13
Sang Aji memiliki seorang puteri yang kemudian dinikahkan pada seorang
lelaki bernama Samar Yang yang kemudian menjadi tokoh penting dalam sejarah
Brunei. Awang Alak Betatar, putra Samar Yang, kemudian naik takhta sebagai
Sultan Muhammad Shah, menjadi Sultan Islam pertama di Brunei setelah

12
Ahmad Mansur Surya Negara. Api Sejarah. Bandung: Salamadani, 2010, 101.
13
Syamruddin Nasution, Suhayib, Sejarah Perkembangan Islam Di Brunai Darussalam,
Nusantara; Journal for Southeast Asian Islamic Studies Vol. 14, No. 1, Juni 2018. 3.
9

memproklamirkan kemerdekaan Brunei dari Majapahit pada tahun 1368 M.


Setelah Sultan Muhammad Shah meninggal, jabatannya digantikan oleh
adiknya, Pateh Berbai, yang kemudian menjadi Sultan Ahmad Shah. Sultan Ahmad
Shah tidak memiliki putra, hanya seorang putri bernama Puteri Ratna Kesuma.
Sharif Ali, seorang ulama Arab dari Thaib, datang ke Brunei untuk menyebarkan
Islam. Sultan Ahmad Shah memperbolehkan Sharif Ali menikahi putrinya, Puteri
Ratna Kesuma. Setelah Sultan Ahmad Shah meninggal tanpa putra, Sultan Sharif
Ali diangkat menjadi Sultan Brunei yang ketiga oleh para pembesar dan rakyat
Brunei.
b. Fase Pertumbuhan
Fase pertumbuhan Islam di Kesultanan Brunei dimulai ketika Raja Brunei
pertama, Awang Alak Betatar, memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi
Sultan Muhammad Shah14 pada sekitar tahun 1363 M hingga 1402 M. Meskipun
Brunei telah berinteraksi dengan komunitas Muslim sejak abad ke-10, Islam secara
resmi mulai diperkenalkan oleh Sultan Muhammad Shah. Teori menyatakan bahwa
masyarakat cenderung mengikuti agama raja mereka, sehingga dengan Islamnya
Sultan, Islam juga tumbuh di Brunei. Hubungan emosional rakyat dipengaruhi oleh
pengalaman keagamaan raja, dengan orang Melayu cenderung memiliki ketaatan
yang tinggi pada pemimpin mereka.
Selama periode pertumbuhan ini, antara tahun 1363 hingga 1425, Brunei
memiliki tiga sultan: Sultan Muhammad Shah (1363–1402 M), Sultan Abdul Majid
(1402–1408 M), dan Sultan Ahmad (1408–1425 M). Meskipun Islam tumbuh
dengan lambat, Sultan melakukan upaya terbatas untuk memperkuat hubungan
dengan komunitas Muslim lainnya, seperti dengan mengirim utusan ke Tiongkok
pada tahun 1371 dan mengunjungi Melaka.15
Selain melalui diplomasi, Islam juga disebarkan melalui pernikahan antara
Sultan dan keluarga bangsawan dari negara-negara tetangga, seperti dengan
pernikahan Sultan Muhammad Shah dengan Puteri Johor. Upaya-upaya ini,

14
Pengiran Haji Muhammad bin Pengiran haji Abdurrahman, Islam di Brunei Darussalam
(Brunei Darussalam: Dewan bahasa dan Pustaka, 2005), 51.
15
Pengiran Haji Muhammad bin Pengiran haji Abdurrahman, Islam di Brunei Darussalam
(Brunei Darussalam: Dewan bahasa dan Pustaka, 2005), 77.
10

bersama dengan penganugerahan alat kebesaran diraja, membantu dalam


pertumbuhan dan penyebaran Islam di Brunei serta kesultanan lainnya, seperti
Melaka dan Kerajaan Geroyong.16 Pertumbuhan Islam di Brunei dilakukan dengan
strategi dakwah yang bijaksana, termasuk pemberian penghargaan dan penerimaan
dari kerajaan tetangga, sehingga agama ini dapat berkembang dengan damai dan
simpatik di negeri Brunei dan sekitarnya.
c. Fase Perkembangan
Fase perkembangan awal Kesultanan Brunei Darussalam dimulai pada masa
pemerintahan Sultan Sharif Ali, yang menjabat sebagai Sultan ketiga dari tahun
(1425-1432 M), hingga masa pemerintahan Sultan Muhammad Hasan pada (1582-
1598M). Sultan Sharif Ali, dengan gelar Syarif Ali, memiliki hubungan keturunan
dengan Nabi Muhammad SAW, yang memberikan dampak besar bagi
perkembangan Islam di Brunei. Sebagai menantu Sultan Ahmad, Sharif Ali
memiliki kesempatan besar untuk memperkuat agama Islam di Brunei, terutama
dalam penerapan syariat Islam. Meskipun pada saat itu syariat Islam masih terbatas
pada aspek personal dan dakwah melalui pengaruh Sultan, namun Sultan Sharif Ali
menjadi titik awal dalam menjadikan syariat Islam sebagai hukum yang berlaku di
Brunei Darussalam.
Salah satu gagasan penting Sultan Sharif Ali adalah pembangunan masjid,
yang menjadi pusat dakwah dan tempat untuk memperkuat ajaran Islam. Pada tahun
1425-1432 M, Sultan Sharif Ali diangkat sebagai Sultan Brunei dengan gelar Sultan
Berkah, menekankan pentingnya berkah dalam kegemilangan Islam. Peran Sultan
Sharif Ali sebagai ulama dan pemimpin religius membuka pintu bagi penyebaran
Islam di Brunei, tidak hanya di kalangan penduduk setempat, tetapi juga di
kalangan pedagang Muslim dari luar negeri.17
Selama masa pemerintahan Sultan Sharif Ali, Islam semakin berkembang
di Brunei, dengan penegakan syariat Islam yang diperkuat, termasuk larangan

16
Haji Mohammad Jefri bin haji Sabli “Rekonstruksi Sejarah Penghijrahan dan
Penempatan Kaum Suku Melayu Brunei di Papar” dalam Jejak Kesultanan Brunei di Sabah Jilid II.
(Brunei: Pusat Sejarah Berunei, 2013), 140.
17
Muhammad Pengiran Haji Abd. Rahman, Kegemilangan Islam di Brunei Darussalam,
(Brunei: Kolej University Perguruan Ugama Seri Begawan, 2012), 5.
11

makan babi dengan hukuman mati. Kepemimpinan Sultan Sharif Ali juga
memastikan keamanan dan ketertiban di Brunei, sehingga negara tersebut dijuluki
sebagai "Darussalam" (Negeri yang Aman). Peninggalan Sultan Sharif Ali, baik
dalam hal agama maupun budaya, menjadi warisan berharga bagi masyarakat
Brunei hingga saat ini. Salah satu contohnya adalah lambang kebesaran Sultan yang
menjadi simbol penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Brunei
Darussalam. Setelah wafatnya Sultan Sharif Ali, tahta kesultanan dipegang oleh
putranya, Sultan Sulaiman, dan kemudian oleh cucunya, Sultan Bolkiah, yang
memperkuat kemajuan dan kreativitas Brunei melalui eksplorasi ilmu pengetahuan
dan pengalaman di luar negeri.
d. Fase Kegemilangan
Brunei adalah salah satu kerajaan Melayu tertua yang menerima Islam
sebagai agama yang dianut oleh masyarakat. Kegemilangan Islam di Brunei
digambarkan sebagai bintang kecil yang menyinari pulau Borneo dengan cahaya
keislaman. Hal ini menunjukkan bahwa Brunei, meskipun kecil, telah lama
mengakui Islam sebagai dasar negaranya.18
Kunci keberhasilan Islam di Brunei adalah keberkahan Sultan Sharif Ali,
yang dihormati dengan gelar Sultan Berkah. Keberkahan ini masih dirasakan oleh
masyarakat Brunei sampai hari ini, ditandai dengan kemakmuran dan stabilitas
negara serta kehadiran ulama yang menyebarkan ajaran Islam.19
Negara Brunei Darussalam, yang didirikan di atas prinsip Islam, tetap
berpegang teguh pada agama sebagai fondasi negaranya. Fungsi Sultan sebagai
kepala negara dan kepala pemerintahan serta pemimpin dalam hal agama semakin
jelas. Sultan berperan sebagai pemimpin dalam hal agama, didukung oleh Majelis
Agama Islam dan Kementerian Hal Ehwal Agama.
Dalam upaya memperkuat Islam, Negara Brunei memiliki berbagai institusi
seperti Pusat Dakwah Islamiah, Jabatan Hal Ehwal Syari'ah, dan Jabatan Pengajian
Islam. Agama Islam diakui sebagai agama resmi negara dan syariat Islam menjadi

18
Muhammad Pengiran Haji Abd. Rahman, Kegemilangan Islam di Brunei Darussalam,
(Brunei: Kolej University Perguruan Ugama Seri Begawan, 2012), 3.
19
Muhammad Pengiran Haji Abd. Rahman, Kegemilangan Islam di Brunei Darussalam,
(Brunei: Kolej University Perguruan Ugama Seri Begawan, 2012), hlm. 5.
12

undang-undang negara.
Di bawah kepemimpinan Sultan Haji Hassanal Bolkiah, Brunei telah
berkembang menjadi negara modern di Asia Tenggara. Melalui kebijaksanaan
Sultan, Brunei berhasil mencapai kemerdekaan penuh pada tahun 1984. Kejayaan
Islam di Brunei terlihat dalam upaya pemusnahan praktik syirik, penetapan syariat
Islam sebagai hukum negara, dan menjadikan negara sebagai pusat zikir.20
4. Penerapan Islam dalam Sistem Pemerintahan Brunei Darussalam
Gagasan keagamaan Sultan selalu muncul sejalan dengan penghayatan dan
praktik ajaran agama Islam. Pada perayaan Hari Raya Aidil Adha tahun 1428
Hijriah, Sultan mengungkapkan konsep “Negara Zikir” sebagai bagian dari gagasan
keagamaan. Sultan menekankan bahwa Brunei selalu terhubung dengan Allah Yang
Maha Pengasih dan menghiasi dirinya dengan zikir sebagai kebiasaan rutin. Hal ini
dianggap sebagai cerminan dari religiositas pemimpin Islam serta keberkahan yang
diterima oleh Brunei dalam bentuk kekayaan, keamanan, dan stabilitas yang
kondusif.
Usaha Sultan untuk menjadikan Brunei sebagai Negara Zikir sebenarnya
mencerminkan keberagamaan Sultan dan masyarakat Brunei. Hal ini didasarkan
pada ajaran Al-Qur'an dan merupakan hasil dari patuh terhadap petunjuk Allah
SWT. Meskipun Brunei pernah berada di bawah pengaruh negara-negara besar
seperti Inggris, undang-undang terkait agama Islam tetap dijaga dan dihormati.
Proses Islamisasi undang-undang terus berlanjut di Brunei, yang mencapai
puncaknya pada tahun 1979 ketika undang-undang negara disesuaikan dengan
prinsip-prinsip Islam. Keputusan ini menunjukkan tanggung jawab Sultan sebagai
pemimpin terhadap Allah SWT. Selain itu, keputusan tersebut juga menegaskan
bahwa hukum Islam berlaku dalam segala aspek kehidupan di Brunei.
Selain sebagai pemimpin negara, Sultan juga memegang peran sebagai
kepala pemerintahan dengan mengikuti falsafah Melayu Islam Beraja (MIB).
Falsafah ini merupakan bagian integral dari konstitusi Brunei sejak 1959. Kesatuan
masyarakat Brunei dalam menjaga MIB menjadi penting untuk mempertahankan

20
Tasim Bin Haji Abu Bakar, Projeksi Melayu Islam Beraja Dalam Media Massa. (Brunei:
Pusat Sejarah, 2015), 12.
13

identitas negara sebagai negara Melayu Islam.21


Konsep Melayu Islam Beraja bukanlah sesuatu yang baru, melainkan telah
ada sejak berabad-abad yang lalu. Hal ini menunjukkan bahwa Brunei adalah
sebuah kerajaan Islam yang bersifat adil dan unggul bagi semua lapisan masyarakat,
tanpa memandang agama mereka.
Keseluruhan, penting untuk memperjelas bagaimana identitas Melayu dan
Islam tercermin dalam segala aspek kehidupan di Brunei, termasuk dalam
kebangsaan, bahasa, politik, sosial, ilmu pengetahuan, ekonomi, serta pandangan
masa depan.
MIB adalah singkatan dari Melayu, Islam, dan Beraja, yang merupakan tiga
pilar institusi negara Brunei Darussalam. Ketiganya saling melengkapi dan
memperkuat satu sama lain, membentuk kesatuan yang tak terpisahkan. Jika salah
satu pilar hilang, keseluruhan konsep negara Brunei akan terganggu.22
Pilar pertama, Melayu, merujuk pada hak bangsa Melayu yang terdiri dari
tujuh puak jati, dengan Bahasa Melayu sebagai bahasa resmi negara. Fungsi Melayu
Islam Beraja adalah untuk menyatukan berbagai puak Melayu Brunei, meskipun
terdapat perbedaan dalam bahasa dan adat istiadat.
Pilar kedua, Islam, menegaskan posisinya sebagai agama resmi negara
Brunei, yang tercermin dalam konstitusi negara dan dukungan penuh dari Sultan
serta masyarakat Brunei. Ahli Sunnah Wal Jama'ah, sebagai ajaran Islam yang
dianut secara luas di Brunei, menjadi pedoman utama, dengan pengaruh yang kokoh
dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.23
Namun, keberadaan ajaran Islam di Brunei juga dihadapkan pada tantangan,
baik dari dalam maupun luar, seperti munculnya pemahaman aqidah alternatif yang
tidak selaras dengan Ahli Sunnah Wal Jama'ah. Untuk menjaga kemurnian ajaran
ini, pemerintah membentuk Jabatan Hal Ehwal Syari'ah untuk mengawasi dan
menangani masalah yang dapat mengancam kestabilan keagamaan di Brunei.

21
Pehin Jawatan Dalam Seri Maharaja Dato Seri Utama Dr. Haji Awang Mohd Jamil Al-
Sufri, Brunei Darussalam Negara Melayu Islam Beraja. (Brunei: Pusat Sejarah, 2014), 1.
22
Haji Awang Yahya bin Haji Ibrahim, Sejarah dan Peranan Institusi-institusi Melayu
Islam Beraja. (Brunei: Pusat Dakwah Islamiah, 2000), 142.
23
Awang Hj Suhaimi bin Hj Gemok. “Media Baru: Isu-isu Aqidah dan Cabarannya ke Atas
Masyarakat Brunei”. Al-Huda. Disember 2015 M. Bil 132, 21.
14

Pilar ketiga, Beraja, menyoroti peran Sultan sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan, yang memegang amanah Allah untuk memimpin negara.
Konsep Beraja ini terkait erat dengan ajaran Islam tentang kepemimpinan, di mana
Sultan dianggap sebagai ulul amri yang diikuti oleh rakyat dalam ketaatan. Sultan
dan konsep Beraja menjadi elemen penting dalam mempersatukan dan memadukan
arah serta tujuan negara Brunei dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.24
B. Sejarah Perkembangan Islam di Filipina
1. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Filipina
Filipina adalah suatu Republik di Asia tenggara, termasuk rumpun melayu
Anggota Asean, luas wilayahnya sekitar 343.448 km², Ibu kota Manila, berbentuk
negara Republik dan menggunakan bahasa Tagalog dan Inggris. Agama Katolik di
utara dan Islam di selatan. Dari tahun 800-1377 M Filipina termasuk dalam
pengaruh Sriwijaya Selanjutnya dibawah pengaruh Majapahit. Pada Abad 13 Islam
masuk ke Filipina dan Berhasil mendirikan kesultanan di Sulu dan Mindanao.
Sejarah masuknya Islam di Filipina tidak terlepas dari konteks sosio-
kultural wilayah tersebut sebelum Islam tiba. Filipina, sebuah negara kepulauan
dengan 7107 pulau dan populasi sekitar 47 juta jiwa, memiliki keberagaman bahasa
dengan 87 dialek yang mencerminkan keragaman suku dan etnis. Sebelum Islam,
Filipina diperintah oleh berbagai kerajaan. Kedatangan Islam diterima dengan baik
karena ajarannya mampu mengakomodasi tradisi-tradisi yang telah ada.25
Ahli sejarah menemukan bukti dari sumber-sumber Spanyol pada abad ke-
16 dan ke-17 tentang keyakinan agama di Asia Tenggara, termasuk Luzon (bagian
dari Filipina saat ini), sebelum Islam. Sejarah mencatat bahwa sistem keyakinan
agama sebelum Islam sangat dominan dengan berbagai upacara pemujaan kepada
orang yang sudah meninggal, yang tidak selaras dengan ajaran Islam yang
menentang penyembahan berhala. Namun, Islam menunjukkan cara yang
menjamin ketenangan bagi arwah orang yang meninggal, yang diterima oleh
penduduk setempat.

24
Awang Hj Suhaimi bin Hj Gemok. “Media Baru: Isu-isu Aqidah dan Cabarannya ke Atas
Masyarakat Brunei”. Al-Huda. Disember 2015 M. Bil 132, 22.
25
Hasaruddin, Perkembangan Sosial Islam di Filipina, Al Ma' Arief: Jurnal Pendidikan
Sosial Dan Budaya Vol. 1 No. 1, 2019, 34.
15

Islam memasuki Filipina Selatan, terutama kepulauan Sulu dan Mindanao,


pada tahun 1380 M. Karimul Makhdum, seorang ulama Arab, dan Raja Baguinda
adalah tokoh pertama yang menyebarkan Islam di sana. Catatan sejarah
menunjukkan bahwa Islam juga datang ke Sulu melalui perdagangan pada abad ke-
9, tetapi penyebarannya baru terjadi pada abad ke-13 ketika muballigh
(pengkhotbah) Islam mulai menetap di beberapa daerah di kepulauan Sulu.
Menurut Dr. Hamid, Islam di Filipina termasuk dalam kelompok minoritas
di antara negara-negara lain. Pada tahun 1977, populasi Muslim di Filipina sekitar
2.348.000 jiwa, dengan persentase 5,3%, terutama di Mindanao dan Maguindanao.
Sejarah Islam di Filipina dimulai pada abad ke-14 melalui kepulauan Sulu, dan
tokoh penting seperti Karimul Makhdum dan Raja Baguinda memainkan peran
besar dalam penyebarannya.26
Penyebaran Islam di Filipina terus berlanjut hingga hampir seluruh wilayah
Filipina dijangkau, meskipun terhenti oleh kedatangan penjajah Spanyol pada tahun
1565. Namun, kesultanan Islam di Mindanao dan Sulu berhasil mempertahankan
diri dari serangan Portugis. Meskipun lama dijajah, masyarakat Muslim Filipina
tetap mempertahankan tradisi dan keyakinan mereka, menunjukkan ketahanan
mereka terhadap kolonialisasi dan kemampuan mereka untuk mempertahankan
kebebasan dan identitas agama mereka.
Kebangkitan Islam terus digaungkan oleh dua kelompok di Filipina, yang
mengklaim mewakili umat Islam, berperan dalam mengamplifikasi kebangkitan
Islam. Kelompok pertama, dipimpin oleh Moro National Liberation Front
(MNLF), cenderung memiliki pandangan radikal. Mereka merupakan minoritas
dalam komunitas Muslim. Sementara itu, kelompok kedua, yang menganut
pandangan moderat, dipimpin oleh warga Muslim yang ingin membawa perubahan
positif dalam masyarakat secara lebih luas. Kelompok moderat ini, yang didukung
oleh mayoritas penduduk, berusaha mempertahankan identitas Muslim mereka
dalam kerangka sistem politik Filipina, menggunakan cara-cara legal dan
konstitusional termasuk melalui pendidikan, organisasi kelompok, dan partisipasi

26
Hasaruddin, Perkembangan Sosial Islam di Filipina, Al Ma' Arief: Jurnal Pendidikan
Sosial Dan Budaya Vol. 1 No. 1, 2019, 35.
16

dalam inisiatif rekonsiliasi pemerintah terhadap Moro.27


MNLF menggunakan dua strategi: pertama, memperoleh perhatian
internasional khususnya dari negara-negara Islam terkait dengan kondisi mereka;
kedua, melancarkan perang gerilya untuk merongrong pemerintahan Filipina.
Sementara itu, suasana politik dan kondisi umat Islam di Filipina memengaruhi
pendekatan dan kelangsungan dakwah Islam. Organisasi Islam seperti
CONVISLAM dan Islamic Da'wah Council of the Philippines, Inc., aktif dalam
berbagai kegiatan dakwah yang meliputi publikasi literatur Islam,
pengorganisasian, penyelenggaraan kuliah umum, pembangunan masjid,
konferensi internasional, serta pendirian sekolah madrasah.
Proses Islamisasi di Filipina mengalami berbagai fase, mulai dari masa
kolonial Spanyol hingga era modern. Saat kolonial Spanyol memasuki Filipina,
Islamisasi di seluruh negeri terhenti sementara agama tersebut tetap bertahan di
wilayah-wilayah selatan. Meskipun terjadi upaya penindasan terhadap umat Islam,
termasuk upaya Kristenisasi, kaum Muslim Filipina tetap mempertahankan
identitas dan keyakinan mereka. Konflik internal antara penduduk pribumi yang
telah dikuasai Spanyol dan umat Islam di selatan memunculkan permusuhan antar
kelompok yang berdampak hingga hari ini.28
2. Islam Pada Masa Kolonial Spanyol di Filipina
Proses penyebaran Islam di seluruh Filipina terhenti secara mendadak
karena kedatangan Bangsa Spanyol dari Utara. Ini mengakibatkan Islam tidak
memiliki kesempatan untuk berkembang di wilayah lain kecuali Filipina Selatan
dan beberapa daerah pantai. Situasi ini berlanjut hingga Filipina merdeka, di mana
kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial didominasi oleh Non-Muslim, membuat
Muslim Filipina merasa terancam di negara sendiri karena kebijakan yang
meremehkan kelompok minoritas. Namun, warga Muslim tidak berdiam diri,
mereka menyadari hak yang sama sebagai warga bangsa dan melakukan berbagai

27
Hasaruddin, Perkembangan Sosial Islam di Filipina, Al Ma' Arief: Jurnal Pendidikan
Sosial Dan Budaya Vol. 1 No. 1, 2019, 35.
28
Hasaruddin, Perkembangan Sosial Islam di Filipina, Al Ma' Arief: Jurnal Pendidikan
Sosial Dan Budaya Vol. 1 No. 1, 2019, 36.
17

kegiatan untuk meningkatkan kesadaran umat Muslim.


Kedatangan orang-orang Spanyol ke Filipina pada 16 Maret 1521 membawa
dampak besar. Meskipun Spanyol dengan mudah menaklukkan wilayah utara,
wilayah selatan menunjukkan perlawanan gigih. Tentara Spanyol harus berjuang
keras untuk mencapai Mindanao-Sulu, menghabiskan lebih dari 375 tahun dalam
perang melawan Muslimin. Meskipun demikian, kaum Muslim tidak pernah
sepenuhnya ditaklukkan. Spanyol menerapkan politik pecah-belah dan misi suci
Kristenisasi terhadap umat Islam, menghasilkan stigmatisasi terhadap mereka
sebagai "Moor" atau "Moro", yang menyebabkan pertikaian internal antara orang
Filipina sendiri. Sejarah mencatat bahwa istri Raja Humabon dari Cebu adalah
orang Islam pertama yang menjadi Kristen karena politik kolonial Spanyol.29
3. Islam Pada Masa Imperialisme di Filipina
Meski Spanyol gagal merebut Mindanao dan Sulu, Spanyol tetap
menganggap kedua wilayah tersebut sebagai bagian wilayahnya. Pada tahun 1898
M, Spanyol secara ilegal dan tidak bermoral menjual Filipina ke Amerika Serikat
seharga $20 juta melalui Perjanjian Paris.Amerika Serikat tiba di Mindanao dan
memperkenalkan dirinya sebagai teman yang baik dan dapat dipercaya.Namun
inilah hakikat musuh Islam di abad ini.Hal itu dibuktikan dengan ditandatanganinya
Traktat Bates (20 Agustus 1898, M) yang menjanjikan kebebasan beragama,
kebebasan berekspresi, dan kebebasan pendidikan bagi masyarakat Moro.
Namun, pada saat yang sama pada tahun,amerika serikat sedang disibukkan
dengan pemberontakan yang dilakukan oleh kaum revolusioner Filipina utara yang
dipimpin oleh Emilio Aguinaldo30, sehingga perjanjian ini hanyalah sebuah taktik
untuk membujuk umat Islam agar tidak memberontak. Bukti menunjukkan bahwa
setelah kekalahan kaum revolusioner pada tahun 1902 M, kebijakan AS di
Mindanao dan Sulu bergeser ke arah intervensi langsung dan kolonisasi terang-
terangan.Satu tahun kemudian (1903 M), Mindanao dan Sulu disatukan menjadi

29
Hasaruddin, Perkembangan Sosial Islam di Filipina, Al Ma' Arief: Jurnal Pendidikan
Sosial Dan Budaya Vol. 1 No. 1, 2019, 37.
30
. Cesar A. Majul, Dinamika Islam Filipina, Jakarta: LP3ES, 1989, h. 13-14
18

provinsi Moroland pada tahun guna membudayakan masyarakat Mindanao dan


Sulu.
Pada periode berikutnya, terjadi pertempuran antara kedua belah pihak
Teofisto Guingona, Sr mencatat rata-rata 19 pertempuran antara tahun 1914 dan
1920.21 pertempuran terjadi antara tahun 1921 dan 1923.Patut dicatat bahwa
selama periode 1898-1902, Amerika Serikat rupanya memanfaatkan periode ini
untuk membebaskan lahan dan hutan di wilayah Moro untuk ekspansi
kapitalis.Faktanya, Amerika Serikat menghabiskan tahun dari tahun 1903 hingga
1913 melawan berbagai kelompok perlawanan Moro.Namun, Amerika menyadari
bahwa perang ini tidak cukup efektif untuk melemahkan perlawanan
Moro.Amerika pada akhirnya menerapkan strategi kolonialnya melalui kebijakan
pendidikan dan persuasi.
Kebijakan ini kemudian disempurnakan oleh orang Amerika sebagai ciri
khas kolonialisme. Kebijakan edukasi dan persuasi yang diterapkan Amerika
Serikat terbukti menjadi strategi yang sangat efektif dalam meredam perlawanan
Moro.Akibatnya, kohesi dan persatuan politik di antara masyarakat Muslim mulai
runtuh dan fondasi budaya mereka mulai diserang oleh norma-norma Barat.Pada
dasarnya, kebijakan ini disebabkan oleh keinginan Amerika untuk
mengintegrasikan Muslim ke dalam arus utama masyarakat Filipina utara dan untuk
mengasimilasi Muslim ke dalam tradisi dan adat istiadat Kristen.Pendekatan ini
lambat laun mengancam tradisi kemerdekaan seiring dengan menurunnya
kekuasaan politik sultan pada tahun dan kekuasaan secara bertahap berpindah ke
Manila.31
4. Masa Peralihan di Filipina
Masa pra kemerdekaan ditandai dengan peralihan kekuasaan dari
pemerintahan kolonial Amerika ke pemerintahan Kristen Filipina di utara pada
tahun. Untuk mengintegrasikan perekonomian Moroland ke dalam sistem kapitalis,
undang-undang pertanahan yang sangat kapitalis seperti Undang-Undang
Pendaftaran Tanah No.496 (November 1902), yang menetapkan perlunya

31
. Thomas M. McKenna, Muslim rulers and rebels: Everyday Politics and Armed
Separatism in the Southern Philippines, University of California Press, 1998
19

pendaftaran tanah secara tertulis, diperkenalkan di Amerika Serikat. ditandatangani


dan diajukan di bawah sumpah. Selanjutnya, Undang-Undang Komisi Filipina No.
718 (4 April 1903) menyatakan bahwa hibah tanah kepada sultan, datus, atau kepala
suku non-Kristen tidak sah jika diberikan tanpa persetujuan atau izin pemerintah.
Begitu pula dengan Undang-Undang Pertanahan Umum Nomor Tahun 1905,
Undang-undang Pertambangan Nomor Tahun 1905, menyatakan semua tanah yang
tidak terdaftar sebagai tanah negara Berdasarkan Undang-Undang Pendaftaran
Tanah Nomor 496, Undang-Undang Pertambangan Tahun 1905, Semua tanah
negara kami nyatakan sebagai tanah milik negara.
Menyatakan tanah bebas untuk eksplorasi, kepemilikan dan pembelian oleh
warga negara Filipina dan AS, dan berdasarkan Undang-Undang Kadaster tahun
1907 kepada warga lokal (Filipina), yang berpendidikan dan birokrasi. Memberikan
izin kepada spekulan tanah Amerika yang cerdas. tiba di Pada dasarnya, ketentuan
Undang-Undang Pertanahan ini melegitimasi penyitaan tanah-tanah Muslim (tanah
adat dan tanah ulayat) oleh pemerintah kolonial AS dan pemerintah Filipina utara,
sehingga menguntungkan kaum kapitalis.
Pada tanggal 12 Februari 193532, Undang-Undang Kolonisasi Kino Oriental
No.4197 disahkan, menandai pendekatan yang lebih proaktif oleh pemerintah
Filipina terhadap pengembangan lahan dan kolonisasi Mindanao. Pemerintah
awalnya fokus pada pembangunan Jalan dan survei lahan sebelum mendirikan
koloni pertanian baru. NLSA-Dinas Pertanahan dan Permukiman Nasional -
Didirikan berdasarkan Undang-Undang No.441 Tahun 1939.
Di bawah NLSA, tiga permukiman besar didirikan di bekas provinsi
Cotabato dan menjadi rumah bagi ribuan pemukim dari utara. Bahkan Senator
Manuel L.Quezon dari tahun 1936 hingga 1944 berpendapat bahwa orang utara
menghancurkan keragaman (homogenitas) dan keunggulan jumlah orang Moro di
Mindanao dan mengintegrasikan masyarakat mereka dengan mengintegrasikan
mereka ke Filipina. Dia terus-menerus menganjurkan rencana pemukiman skala
besar. Khas Kepemilikan tanah menjadi lebih mudah dan dilegalkan oleh

32
. Hamka, Sejarah Umat Islam, Pustaka Hidayah, 2001
20

pemerintah, memfasilitasi migrasi massal dan pemukiman orang-orang dari utara


ke Mindanao.
Banyak pemukim dari tempat seperti Kidapawan dan Manguindanao
mengakui bahwa alasan utama mereka datang ke Mindanao adalah untuk
memperoleh tanah Untuk menarik lebih banyak pemukim dari utara ke Mindanao,
pemerintah membangun koloni bersubsidi dengan semua fasilitas yang diperlukan.
Konsep penjajahan kolonial dilanjutkan oleh pemerintah Filipina pada tahun setelah
Amerika Serikat meninggalkan negara tersebut. Akibatnya, orang Moro perlahan
tapi pasti menjadi minoritas di negara tersebut.
5. Pasca Kemerdekaan Filipina
Kemerdekaan yang didapatkan Filipina (1946 M) dari Amerika Serikat
ternyata tidak memiliki arti khusus bagi Bangsa Moro. Perginya penjajah pertama
(Amerika Serikat) dari Filipina ternyata memunculkan penjajah lainnya
(pemerintah Filipina). Namun patut dicatat, pada masa ini perjuangan Bangsa Moro
memasuki babak baru dengan dibentuknya front perlawanan yang lebih terorganisir
dan maju, seperti MIM, Anshar-el-Islam, MNLF, MILF, MNLF-Reformis, BMIF.
Namun pada saat yang sama juga sebagai masa terpecahnya kekuatan Bangsa Moro
menjadi faksi-faksi yang melemahkan perjuangan mereka secara keseluruhan.33
Pada awal kemerdekaan, pemerintah Filipina disibukkan dengan
pemberontakan kaum komunis Hukbalahab dan Hukbong Bayan Laban Sa Hapon.
Sehingga tekanan terhadap perlawanan Bangsa Moro dikurangi. Gerombolan
komunis Hukbalahab ini awalnya merupakan gerakan rakyat anti penjajahan
Jepang. Setelah Jepang menyerah, mereka mengarahkan perlawanannya ke
pemerintah Filipina. Pemberontakan ini baru bisa diatasi di masa Ramon
Magsaysay, menteri pertahanan pada masa pemerintahan Eipidio Qurino (1948-
1953). Tekanan semakin terasa hebat dan berat ketika Ferdinand Marcos berkuasa
(1965- 1986).34

33
Hasaruddin, Perkembangan Sosial Islam di Filipina, Al Ma'Arief: Jurnal Pendidikan
Sosial Dan Budaya, Vol.1 No. 1, 2019. 39.
34
Hasaruddin, Perkembangan Sosial Islam di Filipina, Al Ma'Arief: Jurnal Pendidikan
Sosial Dan Budaya, Vol.1 No. 1, 2019. 39.
21

Dibandingkan dengan masa pemerintahan semua presiden Filipina dari Jose


Rizal sampai Fidel Ramos maka masa pemerintahan Ferdinand Marcos merupakan
masa pemerintahan paling represif bagi Bangsa Moro. Pembentukan Muslim
Independent Movement (MIM) pada 1968 dan Moro Liberation Front (MLF) pada
1971 tak bisa dilepaskan dari sikap politik Marcos yang lebih dikenal dengan
Presidential Proclamation No. 1081 itu. Perkembangan berikutnya kita semua tahu.
MLF sebagai induk perjuangan Bangsa Moro akhirnya terpecah. Pertama, Moro
National Liberation Front (MNLF) pimpinan Nurulhaj Misuari yang berideologi
nasionalis-sekuler. Kedua, Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan
Salamat Hashim, seorang ulama pejuang, yang murni berideologi Islam dan bercita-
cita mendirikan negara Islam di Filipina Selatan. Namun dalam perjalanannya,
ternyata MNLF pimpinan Nur Misuari mengalami perpecahan kembali menjadi
kelompok MNLF-Reformis pimpinan Dimas Pundato (1981) dan kelompok Abu
Sayyaf pimpinan Abdurrazak Janjalani (1993). Tentu saja perpecahan ini
memperlemah perjuangan Bangsa Moro secara keseluruhan dan memperkuat posisi
pemerintah Filipina dalam menghadapi Bangsa Moro.35
Ditandatanganinya perjanjian perdamaian antara Nur Misuari (ketua
MNLF) dengan Fidel Ramos (Presiden Filipina) pada 30 Agustus 1996 di Istana
Merdeka Jakarta lebih menunjukkan ketidaksepakatan Bangsa Moro dalam
menyelesaikan konflik yang telah memasuki 2 dasawarsa itu. Disatu pihak mereka
menghendaki diselesaikannya konflik dengan cara diplomatik (diwakili oleh
MNLF), sementara pihak lainnya menghendaki perjuangan bersenjata/jihad
(diwakili oleh MILF). Semua pihak memandang caranya yang paling tepat dan
efektif. Namun agaknya Ramos telah memilih salah satu diantara mereka walaupun
dengan penuh resiko. “Semua orang harus memilih, tidak mungkin memuaskan
semua pihak,” katanya. Dan jadilah bangsa Moro seperti saat ini, minoritas di negeri
sendiri.

35
Hasaruddin, Perkembangan Sosial Islam di Filipina, Al Ma'Arief: Jurnal Pendidikan
Sosial Dan Budaya, Vol.1 No. 1, 2019. 40.
22

Seorang ilmuan Muslim, Asiri Abu Bakar, menunjukkan faktor-faktor


bangkitnya warga muslim Filipina, diantaranya:36
a. Bertambahnya hubungan ulama dan para pendatang dengan muslim
yang terpelajar dari dunia Arab.
b. Bertambahnya jumlah warga Moro yang pergi naik haji.
c. Bertambahnya kesempatan kesempatan melakukan studi di berbagai
pusat Islam di seluruh dunia.
d. Partisipasi aktif dalam berbagai pertemuan.
e. Kembalinya ratusan pelajar Muslim dari luar negeri.
f. Semakin banyaknya didirikan madrasah-madrasah di daerah.
g. Kedatanagan para pejabat dari dunia Islam ke Moro.
h. Banyaknya konferensi pers internasional dan peliputan perang yang
berlangsung di Mindanao serta kekejaman beberapa personel meliter di
wilayah tersebut.
Kebangkitan tersebut dapat dilihat pula dari yaitu; pertama, dibayarkannya
tunggakan perang Dunia II kepada beberapa Muslim yang memungkinkan mereka
naik haji dan kemudian membangkitkan kesadaran Islam mereka. Kedua,
bertambahnya perkumpulan dan organisasi Islam yang didukung oleh warga lokal
maupun luar negeri. Ketiga, didirikannya sekolah-sekolah tinggi dan universitas-
universitas swasta dan negeri di negara ini yang memberikan kuliah-kuliah dan
gelar-gelar dalam studi Islam. Keempat, pemberontakan Moro, yang telah
mengakibatkan peningkatan kesadaran dan kewaspadaan Muslim.37

36
Hasaruddin, Perkembangan Sosial Islam di Filipina, Al Ma'Arief: Jurnal Pendidikan
Sosial Dan Budaya, Vol.1 No. 1, 2019. 40.
37
Hasaruddin, Perkembangan Sosial Islam di Filipina, Al Ma'Arief: Jurnal Pendidikan
Sosial Dan Budaya, Vol.1 No. 1, 2019. 40.
23

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari sejarah perkembangan Islam di Brunei Darussalam dan Filipina,
tergambar perjalanan yang kaya akan perubahan politik, sosial, dan budaya. Brunei
Darussalam menyaksikan kedatangan Islam melalui jalur perdagangan Timur Asia
Tenggara, yang tidak hanya membentuk landasan spiritual masyarakat, tetapi juga
menjadi filosofi dalam sistem pemerintahan dengan konsep "Negara Zikir" dan
falsafah Melayu Islam Beraja. Sebaliknya, Filipina menyaksikan kedatangan Islam
pada abad ke-13 M, di mana ajarannya diterima secara luas di wilayah selatan,
namun terhenti oleh kedatangan penjajah Spanyol yang mempengaruhi
penyebarannya.
Meskipun kemerdekaan Filipina dari penjajah tidak membawa perubahan
signifikan bagi warga Muslim, mereka terus memperjuangkan hak-hak mereka
melalui berbagai organisasi dan front perlawanan. Kedua negara ini menunjukkan
bahwa Islam tidak hanya menjadi agama, tetapi juga identitas dan landasan bagi
struktur pemerintahan serta perjuangan hak-hak warga dalam menghadapi
tantangan sejarah dan kolonialisme.
B. Saran
Demikianlah makalah ini dibuat. Penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dalam makalah ini. Pemakalah meminta saran dan koreksi terhadap
pembaca guna melengkapi kekurangan dalam makalah ini. Semoga dengan
hadirnya makalah ini, dapat membuka wawasan kita dan agar mempermudah kita
untuk mendapatkan pengetahuan baru mengenai Perkembangan Islam di Brunei
Darussalam dan Filipina.
24

DAFTAR PUSTAKA
Abd. Ghofur, (2015) Islam dan Politik di Brunei Darussalam (Suatu Tinjauan
Sosio-Historis) dalam Jurnal Tolesansi: Media Komunikasi Umat
Beragama, Vol. 7, No. 1.
Ahmad Mansur Surya Negara. (2010). Api Sejarah. Bandung: Salamadani.
Awang Hj Suhaimi bin Hj Gemok. “Media Baru: Isu-isu Aqidah dan Cabarannya
ke Atas Masyarakat Brunei”. Al-Huda. Disember 2015 M.
Azra, Azyumardi. (1999). “Perspektif Islam di Asia Tenggara”, Paramadina
(Jakarta).
Cesar A. Majul, Dinamika Islam Filipina, Jakarta: LP3ES, 1989.
Haji Awang Yahya bin Haji Ibrahim, Sejarah dan Peranan Institusi-institusi Melayu
Islam Beraja. (Brunei: Pusat Dakwah Islamiah, 2000).
Haji Mohammad Jefri bin haji Sabli “Rekonstruksi Sejarah Penghijrahan dan
Penempatan Kaum Suku Melayu Brunei di Papar” dalam Jejak Kesultanan
Brunei di Sabah Jilid II. (Brunei: Pusat Sejarah Berunei, 2013).
Hamka, Sejarah Umat Islam, Pustaka Hidayah, 2001.
Hasaruddin, (2019), Perkembangan Sosial Islam di Filipina, Al Ma' Arief: Jurnal
Pendidikan Sosial Dan Budaya Vol. 1 No. 1.
Lihat, “Brunei Darussalam,” http://id.wikipedia.org/wiki/Brunei_Darussalam.
Mahmud Saedon bin Awang Othman (1996) "Pemimpin Era Baru" Univesitas
Brunei Darussalam.
Muhammad Pengiran Haji Abd. Rahman, (2012) “Kegemilangan Islam di Brunei
Darussalam”, (Brunei: Kolej University Perguruan Ugama Seri Begawan).
Najtama, Fikria. (2018) Perkembangan Islam di Brunei, Tasamuh: Jurnal Studi
Islam, http://ejournal.stain.sorong.ac.id/indeks.php/tasamuh Vol. 10, No. 2.
Nasir, Muhammad. (2019) “Dinamika Islam di Filipina”, Hadhrah; Jurnal
Keislaman dan Peradaban, Vol.13 No 1.
Negara, Ahmad Mansur Surya. (2002) Southeast Asian of Islamic Sultanate. Kuala
Lumpur: Forum.
Negara, Surya. (2002) Forum: Southeast Asian of Islamic Sultane, (Kuala Lumpur).
25

Pehin Jawatan Dalam Seri Maharaja Dato Seri Utama Dr. Haji Awang Mohd Jamil
Al-Sufri, Brunei Darussalam Negara Melayu Islam Beraja. (Brunei: Pusat
Sejarah: 2014).
Pengiran Haji Muhammad bin Pengiran haji Abdurrahman, Islam di Brunei
Darussalam (Brunei Darussalam: Dewan bahasa dan Pustaka, 2005).
Siddique, Sharon. (2005) "Brunei Darussalam: Sebuah Bangsa Religius yang
Potensial" dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Asia Tenggara Konsentrasi
Baru Kebangkitan Islam, Cet. II (Bandung: Fokusmedia,)
Syamruddin Nasution, Suhayib, (2018) Sejarah Perkembangan Islam Di Brunai
Darussalam, Nusantara; Journal for Southeast Asian Islamic Studies Vol.
14, No. 1.
Syamsu, Muhammad. (1996) "Ulama Pembawa Islam di Nusantara dan Sekitarnya"
Jakarta lentera.
Tasim Bin Haji Abu Bakar, Projeksi Melayu Islam Beraja Dalam Media Massa.
(Brunei: Pusat Sejarah, 2015).
Thomas M. McKenna, Muslim rulers and rebels: Everyday Politics and Armed
Separatism in the Southern Philippines, University of California Press,
1998.
Zuhri, Sauddin. “Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia”,
(Bandung: 1984, Al-Ma’rif).

Anda mungkin juga menyukai