Anda di halaman 1dari 20

Proses transisi kekuasaan di Indonesia dari rezim orde baru ke demokresi berjalan berjalan tidak mudah.

Ketika rezim orede baru mulai melemah kekuasaanya dan Negara mulai kehilangan sebagian kontrolnya terhadap masyarakat. Di tambah dengan gelombang protes oleh mahasiswa yang menuntuk mundurnya kepala pemerintahan pada masa orde baru. Dari sejak itu muncul konfik-kkonflik di berbagai daerah di Indonesia. Peristiwa konflik yang pernah terjadi di masa transisi sistem politik di Indonesia pada tahun 1997-2004 ada konflik yang menjaadi perhatian luas antara lain: Konflik Poso, Sulawesi Tengah (Kristen-Muslim, 1998-2001) Ambon dan Maluku Selatan (Kriten-Muslim, 1999-2002) Kalimantan Barat (kerusuhan anti Madura oleh orang melayu, 1999-2001) Maluku Utara (Kristen-Muslim, 1999-2001) Kalimantan Tengah (Dayak-Madura,2001)

A. Konflik Poso Konflik poso sebenarnya mulai muncul pada tahun 1992 dan 1995. Pada tahun 1992 terjadi akibat Rusli Labolo (seorang mantan muslim, yang menjadi anak bupati Poso, Soewandi yang juga sebagai mantan Muslim) dianggap menhina Islam, dengan menyebut nabi Muhammad bukanlah nabi apalagi Rasul. Sedang pada pada peristiwa 15 febuari 1995 terjadi pelemparan masjid dan madrasah di desa Tegalrejo dan Lawanga dengan melakukan pengrusaan rumah di desa Madale. Kerusuhan ini kala itu dapat diredam oleh aparat keamanan pada masa Orde Baru, sehingga tidak sampai menyebar apalagi berlarut-larut. Pada malam natal 1998, yang diikuti juga bulan puasa bagi muslim, seorang remaja dari kampong Kristen, Lombogia, menusuk seorang remaja lain seorang muslim dari kampng muslim, Kayamanya, kedua-duanya dari kota Poso. Namun masalah ini sempat terlupakan. Tetapi pada april 2000 kekerasan lebih serius meledak di kota, yang kemudian merebet sampai seluruh kota Poso. Pada Mei 2000, padukan Kristen membantai sekitar 80di sebuah masjid yang bernama Walisongo, tak jauh di selatan kota Poso. Mayat-mayat mereka ditemukan di sungai di belakangnya. Pada Juli 2001 para militant Muslim dari jawa berdatangan ke poso untuk membantu saudara-saudara muslim mereka. Pada November - desember 2001 konflik telah mengindikasikan perang saudara, sudah mengarah pada upaya menghilangkan ekistensi lawan, terlihat dari realitas pembunuhan terhadap siapapun, termasuk perempuan dan anak-anak, yang dianggap sebagai bagian dari lawan. Terabngunnya solidaritas kelompok secara tegas melalui ideologisasi 1

konflik berdasarkan isu agama dan etnisitas, sehingga konflik menjadi sangat intensif dan eksentis. Dan bahkan kelompok yang berkonflik mengunakan batu dan senjata tajam mulai beralih ke senjata api. Akar penyebab konflik poso sangat komplek. Ada persoalan yang bersifat kekinian, namun ada pula yang akarnya menyambung ke problema yang bersifat historis. Aktor yang terlibat dalam konflik juga sangat komplek melibatkan elemen birokrat, para pelaku ekonomi, kelompok agama yang melibatkan kekuatan di luar poso dengan segala kepentinganya. Penyelesaian konflik poso diawali peremuan kelompok islam dan Kristen secara terpisah dimakassar, yang dikenal sebagai pertemuan rekonsiliasi Poso, dan pada 19-21 desember 2001 berhasil digelar pertemuan Malino yang langsung mibatkan dua kubu berselisih. Dalam pertemuan itu di capai 10 kesepekatan bersama yang tertuang dalam Deklarasi Malino untuk Poso, yang di tanda tangani 25 perwakilan muslim, 23 Kristen dan 22 peninjau, isinya sebagai berikut : 1. Menghentikan segala bentuk konflik dan perselisihan 2. Mentaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanki hukum bagi siapa yang melanggar 3. Meminta aparat Negara bertindak tegs dan adil untuk menjaga keamanan 4. Untuk menjaga terciptanya suasana damai, menolak keadaan darurat sipil, serta campur tangan pihak asing 5. Menghilangkan segala fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak dan menegakan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain 6. Tanah poso adalah bagian integral dari Republik Indonesia. Karena itu setiap warga Negara memiliki hak hidup, datang, dan tinggal secara damai dan menghormati adat istiadat setempat 7. Semua hak kepemilikan harus di kembalikan kepada pemilik yang sah, sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisiahan berlaku. 8. Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat masing-masing 9. Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara menyeluruh 10. Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara menghormati dan mentaati peraturan yan gtelah disetujui, baik dalam bentuk undang-undang, maupun peraturan pemerintah dan ketentuan lain.

Deklarasi ini menjadi pedoman bagi dua bihak yang bertikai untuk menciptakan kedamaian di Poso. B. Konfik Ambon Konflik Ambon ini seperti konflik Poso terjadi secara menggelombang dalam 5 fase: 1. Pada 19 Januari 1999 dengan adanya peristiwa Idul Fitri berdarah. Terlpas dari kekerasan ini pemilu nasional yang dilangsungkan pada 7 Juni 1999 berlangsung damai. 2. Pada pasca pemilu 1999, ketika Juli 1999 hasil pemilu sudah bisa diketahui. Awal tahun 2000 sebuah masa damai yang tidak stabil telah berhasil dibangun kembali meskipun diganggu oleh berita-berita mengenai pertempuran Kristen dan muslim di Maluku Utara, yang sebelumnya menjadi bagian dari Maluku tetapi kemudian berdiri sebagai sebuah provinsi yang terpisah. 3. Pada akhil bulan April atau awal Mei tahun 2000 yang ditandai ketika milisi-milisi muslim berdatangan dari Jawa untuk membantu saudara-saudara mereka di Ambon, salah satunya laskar jihad. 4. Pertempuran Sporadis atau naik turun yang berlangsung sampai Februari 2002, ketika perudingan-perundingan perdamaian ditutup dengan kesepakatan Malino II. 5. Pemboman dan penembakana-penembakan misterius terus terjadi setelah kesepakatan Malino tersbut. Tetapi insiden-insiden itu tidak lagi melibatkan serangan-serangan massal sepert dahulu. Satu-satunya kekecualian bagi kekerasan yang semakin meredup ini adalah sebuah huru hara pada 25 April 2004, dalam sebuah pawai untuk merayakan gerakan pemisahan diri RMS 1950. Sebelum periode pertama terjadi, sudah ada situasi pematangan ditandai oleh konflik berskala kecil pada Desember 1998 dibeberapa desa di Ambon (desa Bak Air, Wailete). Pergeseran mayoritas agama di Ambon dari kristen ke muslim dikarenakan banyaknya organisasi di Ambon dari Jawa oleh masyarakat yang mayoritas muslim. Di Ambon, agama menjadi bagian dari politis. Maka dari itu, pergeseran mayoritas dari politis yang sebagian besar dipegang kaum Kristen dan setelah adanya urbanisasi muslim dari Jawa ke Ambon menjadi awal mula konflik. Periode pertama dipicu oleh varian-varian masalah yang telah ada dalam pengertian sudah ada resources conflict khususnya di desa Bak Air dan Wailete (sebagian besar adalah etnis Bugis dan Buton). Namun, secara khusus pemicu konflik yakni perkelahiran antara 2 etnik atau lebih yang berbeda agama. Periode ini terjadi provkasi simbol-simbol agama seperti perusakan rumah dan pembakaran masjid. 3

Perkelahiran yang sifatnya individual ternyata merembet dan mengikutsertakan masing-masing kelompok yang berbeda agama khususnya warga Batu Merah dan Mardika. Isu pembakaran masjid Al-Fatah di daerah muslim mardika membangkitkan amarah sebagian penduduk Ambon yang muslm terhadap kelompok Kristen. Menjelang pemilu 1999 situasi konflik kembali memanas karena adanya pergesekan polotik serta terusiknya puluhan ribu warga BBM (Buton, Bugis, Makasar) yang ada di Maluku Tengah. Setelah pemilu 1999 ketegangan semakin tajam dan aktor-aktor konflik pun semakin kompleks dikarenakan konflik Ambon itu mulai dikendalikan oleh kelompok-kelompok berkepentingan dan kelompok elit. Untuk menangani konflik di Ambon pada masa pemerintahan BJ. Habibi: 1. Pada 22 Januari 1999 dilakukan kesepakatan bersama oleh para tokoh Ambon dan dilanjtkan oleh gubernur M. Shale Latukonsina dengan memutuskan pemberlakukan jam malam. 2. Pada 23 Januari 1999, Pamdam VIII atau Trikoya Mayjen TNI Amir Sembiring mengeluarkan perintah tembak di tempat apabila masyarakat yang membawa senjata tajam melawan. 3. Pada 27 Januari 1999, kepolisian daerah Maluku memeriksa 90 orang yang diduga provokator, 37 orang dijadikan tersangka. 4. Pada 31 Januari 1999, komnasham menurunkan tim untuk memantau keadaan terakhir. Muncul reaksi masyarakat bahkan beberapa anggota dikejar-kejar oleh masa. 5. Pada 14 Februari 1999, presiden BJ. Habibi menugaskan tim khusus yang diketuai oleh Mayjen Purnawinawan TNI Jose Muskita untuk mencari fakta dan solusi. 6. Pada 12 Mei 1999 para tokoh agama, masyarakat, dan adat menanda tangani ikrar perdamaian. Perjanjian Malino II diprakarasai oleh menko kersa saat itu , yaitu Yusuf Kalla dan MenkoPolKam, S.B. Yudhoyono. Seperti diketahui 11 butir isi perjanjian Malino II adalah 1. Mengakhiri segala bentuk konflik dan kekerasan 2. Menegakan supremasi hukum. Aparat penegak hukum harus bersifat professional dalam menjalankan tugas. 3. Menolak, menentang, dan menindak segala bentuk gerakan separatisme yang mengancam keutuhan dan kedaulatan NKRI seperti RMS. 4. Sebagai bagian dari NKRI masyarakat Maluku berhak berada, bekerja, dan berusaha di seluruh wilayah RI. Begitu pula sebaliknya, masyarakat Indonesia 4

lainnya berhak berada, bekerja, dan berusaha di wilayah provinsi Maluku secara sah dengan memperhatikan dan mentaati budayasetempat setra menaga keamanan dan ketertiban. 5. Segala bentuk organisasi, satuan, kelompok atau lascar yang bersenjata tanpa ijin di Maluku dilarang dan harus menyerahkan senjata atau dilucuti. 6. Membentuk tim investigasi independen nasional untuk mengusut tuntas peristiwa 19 januari, FKM, RMS, Kristen RMS, Laskar Jihan, Laskar Kristen, Pengalihan agama secara paksa dan pelanggaran HAM dan lain sebagainya demi tegaknya hukum. 7. Mengembalikan pengungsi ketempat semula dengan segala hak keperdataanya. 8. Pemerintah akan membantu masyarakat unutk merehabilitasi mental, social, sarana ekonomi, dan sarana umum (seperti fasilitas pendidikan, kesehaan, dan agama serta perumahan rakyat). 9. Menuntut kekompakan dan ketegasan TNI atau POLRI sesuai fungsi dan tugas masing-masing. Berbagai fasilitas TNI/ Polri harus dibangun, dilengkapi, dan difungsikan kembali. 10. Segala usaha dakwah dan penyiaran agama harus menjunjung tinggi kemajemukan dengan mengindahkan budaya setempat. 11. Mendukung rehabilitasi universitas patimura dengan prinsip kemajuan bersama. Karena itu sistem rekrutmen dan kebijakan lainya dijalankan secara terbuka dengan prinsip keadilan dengan tetap memenuhi syarat kualitas yang ditentukan. C. Konflik Maluku Utara Kekerasan di Maluku Utara kebanyakan terjadi di daerah-daerah terpencil, peliputan media sulit dan peristiwa itu terjadi 1 tahun setelah Ambon. Konflik yang meretus di Maluku Utara 1999-2000 dapat dikatakan merupakan dampak atau rentetan konflik yang sebelumya pecah di Ambon. Kerusuhan di Ambon meretus pada Januari 1999 dan mengimbas ke Maluku Utara pada Agustus 1999. Gelombang kedatangan pengungsi dari Ambon telah membawa berbagau isu dan berita, baik terhadap kelompok muslim maupun Kristen. Memanasnya situasi di Maluku Utara sehingga mengkristal menjadi dendam yang berdimensi agama. Konflik pertama pecah karena dipiu oleh pembentukan dan pemekaran kecamatan Malifut/ Makian Daratan, yang menimbulkan

ketidaksenangan dari masyarakat KAO (beragama Kristen) yang merupakan penduduk asli terhadap suku Makian (beragama islam) yang pendatang. 5

Konflik horizontal ini memakan korban sangat

besar, dengan korban

meninggal mencapai ribuan orang. Konflik ini berlangsung secara bergelombang dengan identitas agama yang kuat. Ada 4 tahap gelombang pertempuran antara kristen dan muslim di Maluku Utara: 1. Pada bulan Agustus 1999 di pusat Halmahera. Dua kelompok etnis, kaum pribumi yang merupakan gabungan dari Kristen muslim bertikai dengan pendatang muslim dari Makian. 2. Pada Oktober 1999 orang-orang Makian yang sama diserang lagi dan mengakibatkan pengungsian masal dari warga Makian di Ternate dan Tidore. Merasa tersanjung oleh nasib memelas orang-orang Makian, para simpatisan Muslim menyerang orang-orang risten di Ternate yang kemudian mengungi ke wilayah lain. Penyerangan itu merupakan bentuk dari oprasi pasukan kuning yang dibentuk oleh Sultan Ternate Mudafar Syah. Dengan demikian, konflik etnik local akhirnya menjadi konflik agama taraf provinsi. 3. Pada awal November 1999 medan pertempuran bergeser ke Tedore dan Ternate, dimana yang banyak menjadi korban ialah komunitas kristen. Kerusuhan kemudian menjalar ke daerah-daerah Halmahera Utara. Masyarakat Halmahera Utara terbelah antara islam dan kristen karena dipicu oleh banyaknya beredar isu maupun edaran gelap. Sekitar 2 bulan kemudian yakni Desember 1999 kerusuhan geombang berikutnya pecah berupa serangan kelompok Kristen terhadap desa-desa muslim di Gelela, serta pertengahan Juni 2000 giliran warga muslim melakukan serangan besar-besaran ke Galela, khususnya desa Duma. 4. Ketika semua ini akhirnya berbalik menjadi pertempuran sepanjang jalan di pusat politik Ternate selama 3 hari mulai tanggal 28 Desember, pertempuran itu bukan antara kaum muslim dan kristen lagi, melainkan antara orang muslim dengan muslim. Secara umum dapat dikatakan bahwa konflik di Maluku utara diwarnai oleh nuansa persaingan lama antara Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore di satu pihak maupun ketegangan antara etnis Makian dengan etnis Kao di lain pihak. Sebagai sebuah konflik yang merupakan imbas langsung dari konflik di Ambon, kedua kesan diatas tidaklah dapat diabaikan. Setelah cukup lama hidup dalam ketidak nyamanan, akhirnya masyarakat muslim dan non muslim kecamatan Togelo Halmaheraa Utara Provinsi Maluku Utara akhirnya sepakat mengakhiri permusuhan. Diwujudkan dalam bentuk deklarasi damai masyarakat adat Togelo 6

ditanda tangani pada hari kamis 19 April 2001 dilapangan adat Hibualamo. Perjanjian ini di motori oleh 12 tokoh agama dari amsing-masing komunitas dengan komposisi 6 nasrani dan 6 Muslim, inti dari deklarasi damai ini adalah : 1. Sepakat untuk menghentikan permusuhan dan perikaiannya. 2. Sepakat unutk tidak saling menghina, melecehkan, mempermalukan orang dan kelompo lain. Menghormati, menjaga, melindungi tempat ibadah dan umatnya serta mengupayakan kehidupan yang harmonis. 3. Sepakat unutk tidak melakukan pembicaraan jarak jauh dalam hubungan unutk merencanakan kejahatan diwilayah Hibualamo. 4. Sepakat untuk tidak mengenang dan melupakan masa lalu serta tidak saling menyalahkan dan membenarkan diri dan orang lain. 5. Masalah pemulangan pengungsi dilakukan secara bertahap. 6. Sepakat untuk tidak lagi menggunakan symbol agama apabila terjadi perkelahian atau baku hantam antar penduduk. 7. Saling menolong dan bekerja sama dalam mencari nafkah. 8. Berhenti mengunakan atribut keagamaan seperti merah untuk Kristen dan putih untuk Islam, acan untuk musli dan obet unutk Kristen. 9. Sepakat menghormati aparat keamana yang bertugas di togelo.

Simbol rekonsiliasi diantar mereka kemudian diwujudkan dengan jalan membawa beduk oleh pihak Kristen dan sebaliknya lonceng oleh pihak Muslim. Deklarasi ini cukup efektif karena masing-masing masyarakat sudah kembali hiup berdampingan tampa melihat identitas diri berasala dari agama mana.

D. Pembentukan Identitas di Kalimantan Barat "Orang Dayak (demikian menurut dokumen Dayak,) tidak bakal terlib at dalam kekerasan yang ekstrim atas kemauan mereka sendiri. Ketika itu, dalam pertikaian melawan orang-orang Madura, para pejuang itu bertindak di bawah pengaruh makhluk halus. Orang-orang Dayak Kanaytan menyebut makhluk supernatural tersebut "Kamang Tariu." Menurut dokumen tersebut, Kamang Tariu tersebut memiliki kekuatan mistis yang sangat kuat yang dinamakan pajokng. Karena kerasukan pajokng orang bisa melakukan tindakan brutal yang sangat diluar dugaan. Para pejuang yang kerasukan Kamang Tariu akan pertama tazna berteriak aneh, kemudian 7

menyembelih kepala ayam atau anjing merah. Otak dan darahnya dimasukkan ke dalam sebuah mangkuk, dan karenanya disebut "mangkuk merah," Mangkuk itu diestafitkan kepada semua pejuang sebagai panggilan berperang. Identitas dari jenis yang ganas terdapat di jantung kekerasan komunal yang telah terjadi berulang kali di Kalimantan Barat. Sifat tersebut tidak bisa disangkal begitu saja dengan menekankan pada ciri-ciri kesadaran palsu sebagaimana yang telah dilakukan oleh mereka yang bersikukuh bahwa konflik itu "sungguh" bukan masalah budaya melainkan dendam politis atau ekonomi. Identitas terletak di balik segala kejadian yang kita bicarakan dalam buku ini. Namun, yang paling menantang untuk diketahui adalah yang terjadi di Kalimantan. Di Sulawesi dan Maluku, identitas-identitas tersebut terutama menyangkut masalah keagamaan. Di Indonesia masalah agama dan tindakan kolektif selalu saling terkait. Kebanyakan orang berkumpulkumpul di mesjid dan gereja-gereja tiap minggu bahkan tiap hari; berbagai organisasi keagamaan maupun partai politik nasional mempunyai anggora yang sangat banyak dan bersejarah panjang. Ada pula aneka koran-koran keagamaan dan banyak jaringan sekolah yang cukup besar. Dengan demikian, tidak mengherankan kalau identitas keagamaan terbangun dengan kuat. Kalimantan Barat mengalami dua tindak kekerasan komunal yang penting, yang pertama pada awal tahun 1977, yang kedua dua tahun kemudian yaitu pada tahun 1999. Yang pertama membawa korban 500 orang madura, dan 20.000 pendatang Madura diusir (Human Rights Watch 1997). Yang kedua, korbannya lebih sedikit namun jumlah orang Madura yang diusir lebih banya kira-kira 35.000 yang kemudian membengkak menjadi 60.000. Dua-duanya terjadi di 'wilayah barat laut provinsi yang sama dua-duanya menargetkan komunitas pendatang Madura yang kurang populer itu dengan cara membakar rumah-rumah, mengusir mereka secara massal, dan membunuh dengat pemenggalan kepala. Kedua gerakan militan sama-sama melukiskan diri sebaga protes budaya terhadap para pendatang. Namun, perbedaannya juga sangat besar, dan kita bisa belajar dari perbedaan-perbedaan tersebut. Yang pertama di bawah bendera identitas suku Dayak, dan dipicu oleh pusat-pusat organisasi yang tidak jelas. Yang kedua oleh suku Melayu, terorganisir dengan baik, dan tampak seperti pengulangan yang disengaja dari yang pertama dulu. Di Kalimantan Barat, suku Dayak dan Melayu hampir sama jumlahnya masingmasing. Kronologis peristiwa: Yang pertama, episode suku Dayak terjadi pada delapan 8

belas bulan terakhir Orde Baru. orang-orang Dayak Kalimantan Barat memulai tren baru dalam perpolitikan lokal, yaitu pada Februari 1994 ketika ratusan warga Dayak melakukan protes dengan menggunakan kekerasan karena calon yang mereka unggulkan sebagai Bupati Sintang ternyata tidak terpilih. Mereka memblokir jalan-jalan menuju Sintang dan melempari jendela-jendela mobil (Davidson 2002; Tanasaldy 2007). Semua kejadian ini hanya berlangsung dua arau tiga hari. Namun, kekerasan yang dilakukan orang-orang Dayak pada tahun 1997 jauh lebih serius dibanding kejadian-kejadian ini. Informasi mengenai kejadian tahun 1997 sebenarnya agak terbatas. Orang Dayak merupakan kelompok populasi terbesar di dalam wilayal Sambas. Mereka merupakan peladang berpindah. Salah satu kesulitan yang selalu mereka hadapi adalah tidak adanya pengakuan atas hak kepemilikar tanah mereka. Sebagian besar tanah pedesaan Indonesia secara hukum dianggap sebagai hutan lindung. Bahkan setelah adanya pembudidayaan hutan sebagai komoditas sebagai pengganti hutan biasa, para pemilik tanah adat tetap dipandang sebagai orang tidak berhak di atas tanah yang sebenarnya milik leluhur mereka. Berbagai protes sporadis melawan perusahan-perusahaan kehutanan terjadi di sana-sini sejak pertengahan tahun 1990-an (Peluso dar Harwell 2001). Masalah di Sanggau Ledo berawal dari suatu adu pendapat yang tampaknya sepele antarpemuda dari kedua kelompok etnik tersebut. begitu pula pertikaian di Poso dan Ambon berawal.) Seorang gadis Dayak telah disenggol oleh seorang pemuda Madura (sebenarnya dia bukan asli Madura) di sebuah konser musil di dekat Ledo. Konser itu merupakan bagian dari kampanye awal Golkar dalan pemilu bulan Mei 1997. Tawuran tersebut berakhir tanpa akibat yang serius Beberapa minggu kemudian, pada tanggal 29 Desember 1996 para pemuda Dayak dan Madura terlibat pertikaian lagi dalam sebuah konser di Ledo. Dalam pertikaian itu, dua pemuda Dayak dibacok, namun tidak fatal. Keesokan harinya, pagi-pagi benar sekelompok orang Dayak yang marah berkumpul di sebuah pos polisi setempat menuntut pertanggungan jawab orang-orang Madura atas perlakuan mereka. Tidak jelas bagaimana kerumunan orang Dayak itu diorganisir. Dari sinilah segala sesuatu yang terjadi bertambah semakin buruk. Dewan adat setempat mengingatkan polisi bahwa demonstrasi penult marah ini serupa dengan yang terjadi pada tahun 1983 ketika orang-orang Dayak menyerang para pendatang dari Madura yang mengakibatkan lusinan bahkan sampai lima puluhan orang meninggal dunia. Ingatan akan kcjadian tersebut, dan paling tidak enam kali pertikaian pen ring antara Dayak dan Madura pada kurun tiga dekade sebelumnya, nyata-nyata membuktikan bahwa semua itu merupakan bagian dari identitas atau harga diri orang-orang Dayak. Meskipun 9

ingatan ini terus-menerus direkonstruksi kembali pada mingguminggu berikutnya, hal ini tidak dengan sendirinya menunjukkan bahwa ingatan tersebut adalah efek postfacto dari kekerasan yang terjadi. Fakta bahwa polisi pada saat itu polisi memperlakukannya dengan serius menunjukkan bahwa semua itu adalah realita sebelum peristiwa yang buruk terjadi. Kerumunan itu tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari polisi, yang telah menangkap oknum-oknum yang melakukan penusukan namun tidak berani

memberitahukannya kepada massa karena takut akan terjadi pembalasan. Karenanya massa pergi jalan kaki dua puluh kilometer jauhnya menuju Sanggau Ledo. Salah seorang pelaku Madura tinggal di sana. Begitu mereka sampai, kerumunan itu berubah menjadi gerombolan yang terdiri atas kira-kira empat ratus orang dan digambarkan tampak "histeris." Berbagai poster mencuat di kota menuntut orang Madura pergi, dan tanah Dayak dikembalikan. Orang berdatangan dari Siluas, yang jaraknya dua puluh lima kilometer timur laut sepanjang jalan menuju Sanggau Ledo maupun dari bukit bukit di sekitarnya sehingga radius aksi protes ini meliputi kira-kira 25 kilometer. Para perusuh mulai dengan membakari rumahrumah orang Madura yang tinggal di komunitas-komunitas terkenal di dekat Sanggau Ledo. Pada hari berikutnya, 31 Desember, mereka membakar lebih banyak rumah orang Madura sepanjang jalan dari Sanggau Ledo hingga Samalantan lalu kembali menuju Singkawang, dan juga di Bengkayang sebelah selatan Sanggau Ledo. Pihak militer mengevakuasi orangorang Madura dan Sanggau Ledo ke markas angkatan udara yang kecil di dekat Sanggau Ledo. Mereka tampak tidak berdaya sama sekali menghentikan kerusuhan itu yang sebelumnya hanya dimulai dengan membakari beberapa rumah orang-orang Madura, akhirnya bertambah menjadi ribuan. Pada tanggal 4 Januari kerusuhan pun mereda karena tidak ada lagi rumah orang Madura yang bisa dibakar. Jumlah korban dua puluh, semua orang Madura. Pada masa tenang yang kemudian mengikuti, beberapa orang Madura, merasa putus asa karena pemerintah tidak bersedia mengupayakan keadilan bagi pihak mereka, melakukan penyerangan balas dendam yang sporadis. Akhir bulan puasa bagi umat Muslim membawa energi baru. Penyerangan tiba-tiba yang paling provokatif adalah peristiwa malam hari dengan jerigen bensin di kantor yayasan Pancar Kasih Pontianak pada malam tanggal 2829 januari 1997. Yayasan Pancar Kasih yang diserbu oleh orang Madura malam itu merupakan yayasan terpenting dibanding pusat-pusat pembentukan identitas lainnya. Penyerbuan tersebut dapat dicegah sebelum terjadi kerusakan serius, namun berbagai berita mengenai penyerbuan itu, telah menyebabkan kepanikan di antara orangorang Dayak kelas 10

menengah di kora. Hal itu juga menimbulkan reaksi simpati dari wilayah pedalaman yang di dalamnya mayoritas orang Dayak. Orang-orang Dayak kemudian meluncurkan gelombang penyerangan yang kedua, berlangsung dua atau tiga minggu dan menyebabkan lima ratus orang meninggal dunia, dan sekali lagi, kebanyakan korban tersebut adalah orang Madura. Peristiwa ini merupakan pertempuran komunal yang paling destruktif di Kalimantan Barat dalam tiga puluh tahun belakangan ini. Kali ini penyerbuan orang Dayak menunjukkan tanda-tanda adanya koordinasi yang lebih baik, melibatkan berbagai pihak yang masing-masing diambil dari wilayah yang lebih luas, dengan persenjataan yang lebih baik, dan dengan cakupan wilayah yang lebih besar pula. Banyak penyerang dipersenjatai dengan senjata semi-otomatis berupa senapan yang dibawa dari perbatasan Malaysia, sementara yang lainnya tetap menggunakan senjata buatan sendiri yang juga telah digunakan sebelumnya. Satu saja rombongan pejuang bisa dilengkapi dengan lusinan truk. Mereka berkumpul di berbagai tempat lalu berangkat bersama. Seringkali lebih dari satu rombongan berkeliaran pada satu saat. Salah satu rombongan menyerang komunitas Madura di Salatiga, di ujung barat jalan tersebut, pada tanggal 1 Februari. Pada tanggal 2 Februari rombongan lain dengan 15 truk, yang membawa ratusan penyerang yang berasal dari tidak kurang enam kecamatan, menuju ke arah utara dari Sanggau menuju perbatasan Malaysia. Di antara para pemimpinnya ada pula Wakil Bupati Sanggau. Mereka menyerang Kota Balaikarangan, yang terletak hanya beberapa kilometer dari perbatasan itu. Hal ini membuat pihak berwajib Malaysia segera menutup semua gerbang perbatasan ke Kalimantan Barat. Kejadian yang paling buruk terjadi di Anjungan, di ujung bagian barat jalan di wilayah itu, kemungkinan pada tanggal 5 Februari. Setelah beberapa pos militer mengizinkan mereka lolos, satu unit zipur memberondong truk mereka dengan senjata otomatis dan membunuh delapan belas orang. Dayak memiliki sebuah majalah yang dibaca masyarakatn luas Kalimantan Review yang memberitakan kemenangan dan kehebatan masing-masing tindakan sehingga bisa ditiru oleh yang lain. Sejak pertengahan tahun 1997 hingga 1998, komunitas Dayak setempat menerapkan denda "adat" pada perusahaan-perusahaan di beberapa tempat dengan ancaman "sabotase". Ketika pemerintahan Orde Baru kolaps dan Presiden Soeharto turun dari kepemimpinan pada Mei 1998, protes-protes terns meningkat. Mereka terutama mempertanyakan hak kepemilikan atas tanah-tanah yang ada. Orang-orang Dayak yang tadinya sama sekali tidak punya kekuatan apa-apa sejak tahun 1999 terbukti mengendalikan enam dari sembilan kabupaten yang ada di Kalimantan BaratKapuas

11

Hulu, Sintang, Sanggau, Bengkayang, Landak, dan Pontianak (Klinken 2006; Tanasaldy 2007). Episode yang melibatkan orang-orang "Melayu" berbeda dari episode Dayak dalam beberapa hal. Kejadian ini berlangsung di kabupaten yang sama, yaitu Sambas, namun di bagian lain yakni diparuh bagian barat, sebelah utara Kota Singkawang. Orang-orang Melayu membentuk kelompok mayoritas populasi yang besar di kabupaten ini, mendekati 80 persen. (Andre W.P. 2003). Kebanyakan dari mereka adalah petani, pedagang dan pegawai negeri. Tidal seperti histeria Dayak pada Januari 1997, kejadian Melayu ini tidak meletus secara instan dari kejadian yang tampaknya sepele. Para aktivis Melayu akhirnya, mengatakan bahwa semua bermula dari kejadian yang menyinggung perasaan namun koordinasi yang cermat dilakukan berminggu-minggu sebelun tindakan dilakukan. Kejadian itu berawal di sebuah desa terpencil bernama Parit Setia, dengan naik ferry dari kota kecil Pemangkat menuju ke arah utama dari Kota Singkawang. Pada tanggal 17 Januari 1997, tiga buah truk yang membawa orang-orang Madura dari desa tetangga bernama Rambayangar telah menyerang desa tersebut untuk memprotes bagaimana orang-orang Parit Setia beberapa hari sebelumnya telah memukuli orang Madura karena kasus pencurian. Tiga orang meninggal dunia. Di sinilah letak perbedaan antara kasus Melayu dan kasus Dayak, yaitu dibentuknya sebuah organisasi tunggal untuk menyatukan suara dalam masalah tersebut. Suara itu berkata bahwa, polisi tidak berbuat apa-apa untuk mengurangi kejahatan yang telah dilakukan oleh orang-orang Madura. Aksi perseteruan seperti itu terkesan spontan. Sebaliknya, identitas-identitas lepas mewarnai rentang hubungan-hubungan sosial yang sangat sempit. Salah satu contohnya adalah keanggotaan sebuah partai politik. Hubungan-hubungan sosial ini cenderung

mengetengahkan pengajuan tuntutan yang berbeda dari yang dikaitkan dengan identitasidentitas berakar. Hubungan-hubungan sosial itu bersifat "modular"tidak terikat pada tempat-tempat tertentu, dsb. Skala hubungan sejenis bersifat besardengan demi kian membutuhkan koordinasi yang luas. Dan hubungan seperti ini dimediasi membutuhkan para perantara politis dan jaringan-jaringan komunikasi. Kedua pola ideal itu sangat mirip dengan pola-pola yang kami saksikan di Kalimantan Barat. Episode Dayak tahun 1997 tampak seakan-akan episode itu mengalir keluar dari sebuah identitas yang berakar pada hubunganhubungan sosial yang sangat personal dan mirip keluarga. Aksinya bersifat langsung dan terkait dengan isu-isu lokal. Sebaliknya, episode Melayu tahun 1999 lebih terkesan seperti episode yang mengalir keluar dari sebuah identitas yang lepas. Episode itu agaknya berlangsung di seputar para mediator 12

yang berkedudukan istimewa. Episode itu menggembar-gemborkan slogan tentang "arogansi" Madura yang tidak memiliki spesifisitas lokal. Pengamatan mengenai perbedaan-perbedaan antara identitas Dayak dengan Melayu itu sangat menonjol, dan baru. Meskipun begitu, pengamatan itu mestinya juga menggelisahkan, sebab tidaklah jelas mengapa identitas-identitas Dayak dan Melayu mesti berselisih begitu besar. Orang-orang Dayak dan Melayu mempunyai jaringan-jaringan sosial yang mirip. Akan keliru jika menganggap para pejuang Dayak pada 1997 sebagai orangorang buas dari hutan belantara, sementara orang-orang Melayu sebagai orang-orang urban. Keduanya termasuk kelas miskin atau kelas menengah bawah, keduanya mengenal betul kehidupan kota kecil dan sama-sama menghuni Kabupaten Sambas yang desa itu, meskipun orang-orang Dayak memang agak lebih desa daripada orang-orang Melayu. Dengan demikian perbedaan di antara mereka tidak terletak pada sosiologi. Letaknya ada pada kesadaran. Pemaparan sosiologis tentang identitas tidak dengan mudah memungkinkan kita untuk menyelami bagai mana pengetahuan yang diperoleh di tengah -tengah pertarungan politik bisa memberi orang-orang Dayak suatu identitas yang kuat, tetapi tidak bagi orangorang Melayu. Fokus ke dalam kelompok tidak memberikan perhatian pada penemuan antropologis bahwa etnisitas adalah fenomena batas yang bersifat lintas-kelompok. Identitas merupakan semacam solidaritas, ikatan antara individu dan kelompok. Sebuah definisi yang memang tampak kaku namun mungkin bermanfaat menandaskan betapa ikatan tersebut mungkin bersifat kognitif, moral dan emosional, atau sekaligus semuanya. Identitas pada dasarnya adalah sebuah "persepsi"' ikatan antara individu dan kelompok tidak dengan sendirinya mengubah individu-individu menjadi robot-robot yang tidak bisa berpikir sendiri. Adalah keliru untuk memikirkan identitas itu sendiri bertanggung jawab atas aksi. Identitas adalah satu hal, mobilisasi yang mengakibatkan aksi adalah hal lain. Dengan demikian, kita membutuhkan sebuah konsep tentang identitas yang terbuka bagi politik, bagi pembelajaran dan interaksi. Salah satu aspek kunci dari konsep itu adalah interaksi melintasi batas-batas kelompokkelompok identitas. Interaksi lintas-batas adalah gagasan sentral dari konsep etnisitas yang lebih merupakan hasil

rundingan politis, dan yang sekarang diterima secara luas oleh para antropolog. Fredrik Barth, dalam pendahuluan dari buku rintisannya itu, menulis bahwa "batas etnislah yang mendefinisikan kelompok, bukan kandungan kultural di dalamnya" (Barth 1969:15). Orang-orang hanya sadar bahwa mereka mempunyai identitas ketika mereka berinteraksi dengan orang luar. Identitas etnis berkembang melalui persaingan, bukan melalui isolasi (keterasingan). Literatur mengenai bagaimana identitas membuahkan aksi 13

terbel; menjadi dua pendekatan utama. Yang satu bersifat sosiologis dan menempatkan kuncinya pada kerapatan jaringan-jaringan sosial yang meware identitas itu. Yang lain bersifat psikologis, dan memusatkan perhatian pada apa yang orang-orang ketahui (kognisi). Keduanya menyodorkan wawasan-wawasan penting, Pendekatan sosiologis itu dikenal sebagai "teori identitas." Pendekatan itu mendasarkan diri pada interaksionisme simbolik, dan menekankan hubunga-hubungan timbalbalik antara diri dengan masyarakat. Orang-orang membuat komitmen untuk bertindak terutama untuk meningkatkan harga diri mereka sendiri dalam jaringan hubungan-hubungan di dalam kelompok mereka. Hal ini mengisyaratkan bahwa semakin rapat jaringan sosialnya, semakin besar pula kewajiban-kewajiban yang di bebankan pada anggotaanggotanya.Perseteruan yang melibatkan identitas-identitas cenderung mengetengahkan rangkaian aksi perseteruan yang sangat khas Tindakan-tindakannya sangat partikularistik, dalam arti tindakan-tindaka itu dilekatkan pada kelompok-kelompok, isu-isu atau tempattempat lokasi tertentu. Skala tindakan tersebut bersifat kecilhanya melibatkan beberar kelompok orang. Prototipe Dayak mengalami pembentukan yang lebih lama daripada prototipe Melayu, meskipun tidak satu pun dari keduanya betul-betul tua. Perbedaannya ada pada bagaimana masing-masing kelompok mengalami modernisasi di abad ke-20. Etnisitas adalah sebuah ideologi yang defensif bagi orang-orang Dayak marjinal yang menjadi pendatang bare bagi negara modern, sementara hal itu tidak menjadi perhatian besar bagi kelompok-kelompok Melayu yang sudah lebih mapan itu. Negara kolonial mempenetrasi Kalimantan di akhir abad ke-19 dari pantai ke pedalaman, dan dari kesultanan-kesultanan yang sudah ada sampai ke seluruh populasi. Rakyat sultan di daerah pantai, yang belakangan dikenal sebagai orang Melayu, menyumbangkan sebagian besar dari angkatan kerja birokratis bagi negara sementara negara itu berkembang. Di lain pihak, para penghuni sungai di pedalaman yang terpencil dan populasinya tipis itu dianggap "primitif," objek perhatian paternalistis dari para misionaris, serdadu, pejabat pemerintah, dan antropolog. Modernisasi menggerogoti peluang-peluang kehidupan dari kelompokkelompok kecil mereka, tempi mendukung identitas etnis yang berskala besar. Dalam sebuah proses pembentukan identitas yang kompleks, yang bersifat top-down maupun bottom-up dan yang sering digambarkan dengan istilah "konstruktivis" itu,

berkembanglah sebuah identitas Dayak yang menyeragamkan banyak kelompok kecil menjadi sebuah kelompok besar dan sadar-diri yang menyebut dirinya sendiri Dayak.

14

Paham identitas ternyata lebih kuat dalam hal Dayak dibanding Melayu. Dalam gerakan yang dilakukan orang-orang Melayu, hubungan antara orang- orang yang mengorganisir dan para pejuang di jalan tampak seperti hubungan bisnis, sehingga tampaknya lebih digerakkan oleh kepentingan material ketimbang identitas bersama. Identitas Melayu yang lemah bisa dijelaskan dengan dominasi politik lokal mereka. Seperti kaum Protestan kulit putih di Amerika utara, orang-orang Melayu tidak mempunyai hasrat besar memperjuangakan label kesukuan mereka. Orang -orang Dayak yang terpinggirkan, sebaliknya, tampak membutuhkan identitas yang jelas.

E. Pembentukan Aktor Di Kalimantan Tengah

Tanggal 20 februari 2001, pejuang pejuang Dayak menyerang kota sampit. Mereka menyisir para pemukim Madura dikota yang mereka temukan lalu memenggal kepalanya. Dalam beberapa minggu pejuang Dayak melekukan pembersihan etnis ke seluruh Kalimantan Tengah. Ribuan orang Madura yang berhasil menyelamatkan diri di kantor kantor Pemerintah, dikirim keluar Kalimantan Tengah ke Pulau Madura. Hampir 90% populasi Madura diprovinsi tersebut telah melarikan diri. Tanggal 25 februari 2001 pejuang Dayak yang lain membakar rumah rumah orang Madura di Provinsi Palangkaraya, 118 orang Madura tewas dikota Parenggean utara Sampit. Menurup perkiraan kisaran jumlah korban tewas mencapai 500 1300. Banyak anggapan bahwa peristiwa ini bukan masalah dan merupakan aktivitas olanh raga berdarah yang biasa dilakukan suku suku Dayak dimasa lalu sebelum kediktatoran Soeharto mengendalikannya. Bagaimana ketika serorang aktor kolektif terbentuk, para aktor yang sebelumnya tidak pernah terorganisir atau tidak terlibat dengan politik bisa memasuki proses proses konflik public. Menurut Dynamics of contention prosesnya melibatkan sejumlah mekanisme dasar. Pertama, subjek (yang dalam hal ini orang dayak) menciptakan organisasi untuk mewujudkan keinginan mereka sendiri. Selanjutnya organisasi menghasilkan repertoire yaitu sandiwara aksi inovatif yang berdampak kuat bagi pihak lawan maupun para pendukung kelompoknya. Tiap tiap pihak akan membeda bedakan antara diri sendiri dan pihak lain (orang dayak dan orang Madura). Itulah yang akan memunculkan aktor aktor baru baik golongan dayak ataupun Madura. Gerakaan dayak tahun 2001 tersebut mempunyai sebuah inti organisasional yaitu sebuah jaringan urban dari para pejabat pemerintah lapis kedua serta orang orang yang

15

berkeinginan untuk menjadi pejabat pemerintah. Mereka melakukannya melalui mobilisasi entis, dan bertujauan untuk menantang para penguasa yang tengah menjabat. Pergolakan pergolakan besar dalam sejarah Kalimamtan tengah adalah pergolakan oleh dan dalam kelas menengah urban yang tengah bangkit dan sangat tergantung pada Negara dalam memperoleh akses untuk mendapatkan/ menuju sumber sumber Negara. Kejadian yang menyita perhatian, ketika Kalimantan Tengah dipisahkan dari Kalimantan Selatan menjadi sebuah Provinsi tersendiri.juga di ikuti pergolakan pergolakan lain seperti di Jawa Barat, Sumatera, Sulawesi. Ini memunculkan pergolakan pergolakan baik di pusat maupun didaerah Provinsi Provinsi. Tentara menjadi tameng utama untuk emncairkan suasana dengan cara mendekati mitra mitra di provinsi yang bisa membantu memulihkan kontrol pusat. Pejabat pemerintah di Kalimantan Tengah diam diam menciptakan sebuah misi yang menetang pegolakan lokal yang berwarna keislaman, namun tujuan utamanya yaitu melancarkan pergolakan etnis melawan Jakarta. Pihak militer mendukung misi itu karena bujukan dari pihak Dayak, dengan imbalan membiarkan orang-orang Dayak memimpin pemerintahan local di daerahnya. Sampit merupakan kota yang sibuk di Kalimantan Tengah, dan merupakan kota pelabuhan yang terletak didekat muara sungai Mentaya. Kota ini pusat industri kayu di Kalimantan. Enam puluh persen kayu gelondongan Indonesia berasal dari Kalimantan Tengah. Aspek penting dari proses desentralisasi di Kalimantan Tengah sesudah tahun 1999 adalah pergeseran ke arah kontrol terhadap eksploitasi sumber daya alam ke tingkat lokal. Terlepas dari tututan demokrasi gerakan reformasi tidak ada koalisi yang kuat untuk mendorong perubahan, pembaharuan yang koheren di sektor-sektor daerah. Di tengah gejolak rezim kayu pasca orde baru jaringan-jaringan klienitas telah mengakar dan mampu menguasai ruang yang dibuka oleh reformasi. Kemunculan orang-orang Dayak sebagai aktor politik diawali oleh organisasi yang bernama LMMDD-KT. Organisai ini didirikan pada tahun 1993, ketika masa orde baru belum kuat. Organisasi ini bertujuan mendesak pemerintahan pusat agar tidak memilih seorang gubernur dari daerah luar Kalimantan Tengah melainkan memilih putra daerah menjadi pemimpin. Aksi-aksi demontrasi dilakukan untuk menggoyahkan pemerintahan pusat dalam permasalahan pemilihan gubernur, namun tidak berhasil. Tokoh-tokoh dari organisasi ini terdir dari para aktivis muda. Ketuanya adalah Prof. K.M.A. Usop, seorang akademisi dan mantan wartawan pada tahun 1957an. Dia juga seorang pensiunan rektor universitas negeri di Palangkaraya dan juru bicara provinsi dalam pemilu orde baru, Golkar. 16

Ia adalah tokoh penguasa lokal yang sangat dihormati. Untuk memberikan dasar-dasar ideologinya, ia menulis buku yang menceritakan nama-nama dan tindakan-tindakan pahlawan Dayak pada masa tahun 1950an. Ketika tahun 1998 saat Presiden Soeharto mengundurkan diri dan tumbangnya orde baru, pemilu-pemilu telah direncanakan denga undang-undang yang lebih demokratis serta menetapkan undang-undang otonomi daerah. Dengan hal ini maka akan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi pihak yang dulu terkekang oleh masa orde baru untuk terjun dalam kehidupan politik yang terbuka, walaupun melalui cara-cara informal. Di Kalimantan Tengah tokoh-tokoh Dayak dari organisasi LMMDD-KT merasakan bahwa kesempatan formal itu lebih kecil dari kesempatan informalnya. Prof. Usop berpartisipasi melalui politik formal, ia keluar dari partai Golkar dan bergabung dengan partai oposisi yaitu PDI-P. Memang terjadi pergeseran besar kearah PDI-P pada pemilu juni 1999 dengan mengantongi 35% suara partai, namun tidak berhasil, dominasi diperoleh Golkar seperti masa sebelumnya. Dengan demikian politik formal menyodorkan kesempatan yang sedikit bagi para aktivis Dayak. Politik informal atau disebut politik sandiwara dianggap sebagai jalur politik yang menjanjikan. Organisai LMMDD-KT memunculkan gagasan yaitu kongres peningkatan kesadaran di Palangkaraya yang bernama Kongres rakyat ke dua. Hal-hal yang dibicarakan dalam kongres yaitu mengulang-ulang perbedaan antara pendatang baru dengan penduduk asli. Orang Dayak harus menjadi tuan di negeri sendiri. Provinsi-provinsi lain meniru contoh yang dilakukan organisasi di Palangkaraya, seperti Papua dan Minahasa pada tahun 2000. Pada kenyataannya LMMDD-KT merupakan sebuah partai politik lokal denga idiologi kepribumian yang secara sempit hanya difokuskan pada kontrol birokrasi. Organisasi itu menentang politik rezim orde baru dan terpaku pada elitisme orde baru. Tujuan jangka pendek organisasi itu untuk merebut kursi Gubernur di Kalimantan Tengah, yang akan diperbutkan pada bulan juli 1999. Pemerintah pusat mengusulkan agar orang jawa yang telah menjabat gubernur disana tetap tinggal sebagai pejabat sementara selama pemilihan gubernur. LMMDD-KT menolak dengan mengajukan permintaan agar pejabat sementaranya harus orang Dayak. Ketika parlemen provinsi akan memilih gubernur yang tetap, organisasi itu menjadi sangat sibuk karena ketuanya Prof. Usop menjadi salah satu calon gubernur. Money politics menjadi barang yang biasa di Indonesia selama reformasi, namun bagi organisasi tersebut terkendala masalah minimnya dana yang dimiliki. Usop kalah dengan Asmawi Agani yang juga orang Dayak mantan Bupati Barito Selatan. Asmawi didukung oleh dua bos kayu yang memiliki dana besar. Denga ini Kalimantan 17

Tengah mempunyai gubernur putera daerah yang pertama setelah 16 tahun terakhir. Diseluruh Indonesia gubernur gubernur dan bupati bupati baru sekarang adalah putra daerah. LMMDD-KT menjadi perintis yang paling vocal. LMMDD-KT bersama masyarakat menjadi oposisi terhadap gubernur Asmawi Agani, selain itu organisasi tersebut bergabung dengan LSM LSM yang sering mengecam gubernur dan mendesak Asmawi agara mengundurkan diri dari berbagai perkumpulan yang ia ketuai. Kekerasan etnis pada februari 2001 Pemicu kekerasan etnis ini adalah sebuah pertarungan antara para penambang emas Dayak dan Madura. Penambangan emas alluvial kecil-kecilan, di Kalimantan tengah juga sebagian besar bersifat ilegal. Penambangan itu diorganisir berdasar garis keturunan, patron klien. Terdapat seorang pemasok modal untuk mesin-mesin dan koneksi politik untuk perlindungan dari pemerintah. Operasi-operasi penambangan illegal juga diorganisir dengan cara yang sama. Para cukong lokal memanfaatkan kelemahan di pusat untuk menangguk keuntungan yang lebih besar. Perpecahan antara militer dan polisi dapat mereka permainkan dengan mudah. Hutan hutan diwilayah Kalimantan Tengah telah menjadi wilayah perbatasan yang tidak mengenal hukum, ketegangan ketegangan sering muncul, kelompok kelompok pekerja etnis sering bentrok. Para penambang Madura dan Dayak saling berkelahi di kota gubug gold rush tumbang Samba pada September 1999. Pada Desember 2000 terjadi huru hara DayakMadura yang semakin meledak di desa gold rush Kereng Pangi ( Ampilat ) di antara Palangkaraya dengan Sampit. Tokoh tokoh dalam LMMDD-KT bersama gubernur berkeliling didaerah kereng pangi yang bermaksud untuk meredakan kemarahan orang Dayak. Namun pada kenyataannya malah memprofokasi bahwa pembuat onarnya adalah orang orang Madura. Dengan dukungan dari Wakil Bupati Kota Waringin Timur yang pernah aktif di LMMDD-KT, pemerintah mendepartasi seluruh komunitas etnis Madura keluar dari kereng Pangi lewat Sampit. Ini adalah yang pertama dari serangkaian pembersihan etnis yang bersifat sangat lokal di Kalimantan Tengah. Pengusiran pengusiran di Ampilat itu menimbulkan reaksi reaksi defensif di kalangan orang orang Madura di Smpit, dimana beberapa orang mulai mempersenjatai diri. Ketika momen kunci pada 18 februari 2001,saat pelantikan deretan pembantu BupatiKota Waringin Timur LMMDD-KT di kabupaten Kota Waringin Timur menghadapi kendala dalam organisasi karena tidak mengikut sertakan sekertaris LMMDD-KT kota Waringin Timur ,Fedlik Asser untuk ikut dilantik,ini menimbulkan kekecawaan berat bagi milisi-milisi Dayak. Kemudian terjadi serangan serangan dayak di sampit pada 20 februari 18

2001 dan polisi mengganggap itu sebagai serangan yang sangat terorganisir dari interpenetrasi LMMDD-KT dan pemerintah daerah sampai tingkat kecamatan. Milisi-milisi yang menyerang sampit pada 20 Februari 2001 dianggap sebagai urusan pemerintah milisi tersebut dikenal sebagai pasukan khusus yang dipimpin oleh komandan-komandan panglima perang yang misterius,para pejuang Dayak ini direkrut dari kelompok penambang emas dan penebang hutan. Aksi yang mngejutkan yang dilakukan oleh milisi-milisi Dayak Kalimntan tengah pada 2001 adalah meniru teknik yang digunakan Dayak Kalimantan Barat yaitu memenggal kepala, mengeluarkan isi perut, dan memakan jantung serta hati para korban etnis Madura. Ini merupakan pembersihan etnis secara terorganisir dibantu oleh pemerintah,untuk tidak menyisakan satupun orang Madura di Kalimantan Tengah. Banyak anggapan anggapan lokal yang muncul bahwa orang orang Madura yang mengawali kekerasan dengan menyimpan bom bom dirumah mereka dan mengambil alih sampit pada 18 februari. Sehingga solusinya adalah mengusir semua etnis Madura tanpa terkecuali, serta membebaskan orang dayak yang dianggap melakukan kekerasan. Polisi sebagai pihak yang bertnggung jawab dalam keamanan, berusaha menindak mereka yang sengaja mengorganisir kekerasan. Polisi menahan 84 orang komandan milisi, diantaranya Fedlik Asser LMMDD-KT di Hotel Rama di Sampit. Namun semua tahanan ini dilepaskan karena Militan dayak mengancam akan melakukan aksi kekerasan yang lebih besar. Kekerasan itu telah merambah ke Palangkaraya, Kuala Kapuas, dan pangkalanbun. Pada 3 mei 2001 polisi nasional melakukan upaya terahir dengan menahahn prof. Usop dengan tuduhan memprofokasi tindak kekerasan. Namun tak lama kemudian dibatalkan karena berhasil dilakukan lobby intensif oleh pihak Dayak. Lama kelamaan kasus yang menjeratnya ini memudar dan di lupakan. Ada beberapa tokoh yang mencoba membuka ingatan tentang kasus kekerasan ini kembali, diantaranya mantan jaksa agung Soedjono C. Atmonegoro bersama pengacara hak asasi manusia Munir mengancam akan mengajukan gugatan class action terhadap pemerintah atas nama orang Madura. Amun akhirnya tidak ada tanggapan dan dianggap tidak netral karena Atmonegoro adalah seorang etnis Madura. Hal ini merupakan contoh contoh yang paling jelas mengenai legislasi yang muncul dari proses otonomi daerah di Indonesia.

19

F. Hubungan berbagai macam sejarah konflik dengan administrasi Negara Dari bebagai macam konflik masyarakat yang pernah terjadi di Indonesia tersebut kami mencoba menghubungkan antara dampak dari sejarah itu dengan ilmu administrasi Negara, sebagai berikut:

1. Dari konflik itu terlihat bagaimana lemahnya sebuah sistem politik yang berdampak hilangnya control terhadap masyarakat sehingga hukum tidak berlaku ketika terjadi konflik 2. Terlihat juga bagaimana pemerintah kurang sensitive dalam menangani konflik masyarakat yang berbau SARA 3. Dari konflik itu bisa jadi pertimbangan pemerintah untuk dalam membuat kebijakan terkait konflik horizontal.

Daftar Pustaka

Van Klinken, Gerry. 2007. Perang Kota Kecil. Terjemahan oleh Bernard Hidayat .2007. Penerbit Yayasan Obor Indonesia; KITLV: Jakarta

Syafuan Rozi,dkk. 2006. Kekerasan Komunal. Pustaka Pelajar: Jakarta

Dewi Fortuna Anwar,dkk. 2004. Konflik kekerasan Internal. Terjemahan oleh Masri Maris. 2005. Penerbit Yayasan Obor Indonesia; KITLV: Jakarta

20

Anda mungkin juga menyukai