Anda di halaman 1dari 4

NAMA : VAMILIA ROUCH

NIM : 2203050127

SEMESTER/ KELAS : II/B

PROGRAM STUDI : ILMU KOMUNIKASI

MK : SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA

“HUBUNGAN SOSIAL ANTARETNIK”

Bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai agama dan suku
bangsa yang berbeda. Hampir setiap suku bangsa mempunyai bahasa, kebudayaan
dan adat istiadat yang berbeda pula. Di NTT sendiri terdapat banyak kelompok etnik
yang tersebar, bukan hanya etnik asli NTT tetapi juga beberapa etnik yang datang
dari luar. Dalam tugas kali ini saya mengambil contoh etnik yang ada di tempat
tinggal saya yaitu Kota Atambua. Pada saat ini, di Kota Atambua terdapat beberapa
etnik dan ras seperti, Bunaq (Marae), Dawan, Kemak, dan Tetun (penduduk/suku
asli). Ada juga beberapa etnik yang datang dari luar seperti, Timor, Rote, Sabu,
Flores, sebagian kecil suku Tionghoa dan pendatang dari Jawa, dan Bugis. Tetapi
terlepas dari keragaman suku bangsa yang ada, penduduk Kota Atambua tetap rukun
menjalani kehidupan sosial mereka.

Interaksi sosial dan Bentuk-bentuk hubungan antaretnik yang terjadi antar


kelompok etnik

Proses migrasi dari beberapa etnik yang ada di luar Kota Atambua memungkinkan
bertemunya berbagai agama, kebudayaan, suku dan ras. Pertemuan ini menyebabkan
terjadinya interaksi sosial yang dibutuhkan oleh setiap manusia untuk mencapai
kehidupan sosial yang sempurna. Interaksi sosial yang terjalin antara suku tetun dan
etnis tionghoa misalnya. Sebagian besar etnis Tionghoa yang ada di Atambua
memiliki keahlian berbahasa Tetun yang baik meskipun tidak begitu lancar. Mengapa
mereka bisa berbahasa Tetun? Hal ini disebabkan karena perkawinan campur antara
etnis Tionghoa dan suku asli Atambua. Selain itu, mereka juga menjalani bisnis
berupa toko sehingga mereka harus menyesuaikan bahasa mereka dengan pembeli
yang datang dari kampung yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Dengan kemampuan
menguasai bahasa inilah maka Interaksi sosial dapat berjalan dengan baik karena
adanya kesamaan pengertian satu sama lain.

Hubungan sosial antar etnis asli Kota Atambua (Bunaq, Dawan, Kemak, dan Tetun)
dengan etnis dari luar seperti, Timor, Rote, Sabu, Flores dapat dibilang cukup baik.
Hal ini terlihat dari hubungan interaksi sosial yang berlangsung harmonis dengan
intensitas konflik yang tidak terlalu signifikan. Yang menjadi faktor pendukung
terciptanya hubungan harmonis ini yaitu kesamaan agama dan hubungan darah akibat
perkawinan campur. Kawin campur bukan hanya sekedar menyatuhkan kedua
keluarga besar tetapi juga memungkinkan untuk saling mengenal kebudayaan serta
adat istiadat dari tiap etnik. Bukan hanya itu, kawin campur juga memungkinkan
individu untuk menguasai lebih dari satu bahasa (selain bahasa daerahnya).

Dalam hal perkawinan, Suku asli Atambua sulit untuk menerima etnis Jawa dan
Bugis sebagai pasangan hidup dan menantu karena perbedaan agama, mengingat
mayoritas masyarakat Kota Atambua beragama Katolik. Masyarakat cenderung akan
menjalin hubungan dengan orang yang memiliki kepercayaan yang sama. Ini
membuktikan bahwa dalam menjalani hubungan sosial dengan orang lain tentunya
ada beberapa hal yang tidak dapat berjalan dengan baik karena berbagai perbedaan
etnik yang ada.

Berkaitan dengan hubungan antaretnik yang ada di Kota Atambua, di lingkungan


tempat tinggal saya ada beberapa tradisi yang masih dijalankan hingga saat ini.
Biasanya tiap warga saling tolong menolong ketika ada yang membutuhkan. Istilah
yang biasa digunakan yaitu “Kumpul Keluarga”. Kumpul keluarga biasanya terjadi
apabila adanya pernikahan. Yang terlibat dalam kumpul keluarga ini bukan hanya
keluarga inti yang memiliki hubungan darah tetapi juga orang lain yang tinggal dalam
lingkungan tersebut. Masyarakat bahu-membahu memberikan bentuk apresiasi
mereka berupa tenaga maupun sejumlah uang. Hal ini mereka lakukan karena telah
menganggap sesamanya sebagai keluarga, tanpa melihat suku, ras dan agama. Semua
tidak dilakukan dengan sia-sia, karena apa yang diberikan akan dituai. Artinya bahwa
ketika orang lain membutuhkan, maka kita harus memberikan balasan.

Selain itu, ada pula bentuk toleransi antar umat beragama yang ada di Kota Atambua.
Seperti yang telah saya jelaskan diatas bahwa mayoritas masyarakat Kota Atambua
beragama katolik, maka mereka harus menghormati etnis jawa dan bugis yang
beragama Islam. Dalam beberapa acara seperti pernikahan, kematian, dan lainnya,
tempat makan dan makanan untuk umat yang beragama Islam akan dipisahkan antara
yang halal dan nonhalal. Hal ini dapat memudahkan dan mematahkan keraguan
mereka ketika ingin mengambil makanan. Bentuk toleransi dari umat beragama Islam
yaitu berkunjung dan memberikan selamat ketika perayaan natal tiba.

Konflik yang pernah terjadi dalam hubungan antaretnik tersebut dan metode
penyelesaian konflik yang mereka lakukan

konflik merupakan fenomena sosial yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia, terlebih lagi dalam masyarakat yang berbentuk multi budaya. Selain
itu, konflik adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan
bersama. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah bagaimana konflik itu
dikendalikan dan diselesaikan secara damai dan bijaksana,agar tidak menimbulkan
disintegrasi sosial dalam kehidupan masyarakat.

Di lingkungan tempat tinggal saya pernah terjadi konflik antara penduduk/suku asli
Atambua dengan etnik jawa. Konflik ini bermula ketika kelompok etnik jawa ini
ingin membangun mushola di lingkungan kompleks perumahan. Sebenarnya apa
yang direncanakan merupakan suatu tujuan yang baik. Namun, yang menjadi masalah
disini yaitu mereka belum meminta ijin kepada RT untuk rencana pembangunan
tersebut. Parahnya lagi, bahkan RT sendiri pun tidak mengenal identitas yang jelas
dari orang-orang tersebut. Selain itu, mengingat mayoritas masyarakat Kota Atambua
beragama Katolik sehingga untuk pembangunan mushola ataupun masjid harus
mendapatkan ijin dari keuskupan Agung Atambua dan warga yang berada di sekitar
wilayah tersebut. Pembangunan mushola ini sempat ditolak oleh warga sekitar,
namun kelompok etnik Jawa ini tetap gigih dengan tujuan awalnya. Setelah melalui
pembahasan yang panjang antara warga sekitar dan kelompok etnik Jawa tersebut,
akhirnya konflik ini pun melewati jalur persidangan dengan keputusan akhir bahwa
pembangunan di bawah pengawasan DPR.

Penyelesaian Konflik

1. Konsiliasi, adalah bentuk penyelesaian konflik dengan adanya upaya


mempertemukan pihak yang berkonflik. Dalam kasus tersebut RT memiliki
peran yang penting dalam menengahi konflik antara warga dan kelompok
etnik Jawa.
2. Adjudikasi, merupakan cara penyelesaian konflik melalui jalur pengadilan
(sidang). Dalam kasus tersebut, usaha penyelesaian konflik yang di lakukan
RT tidak mendapat jalan keluar sehingga konflik tersebut berakhir dalam
persidangan.

Anda mungkin juga menyukai