Anda di halaman 1dari 5

HUMA BETANG: FALSAFAH SUKU

DAYAK DI KALIMANTAN TENGAH

Kebudayaan nasional Indonesia tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Baik
itu pakaian adat, upacara adat, rumah adat, bahasa daerah, peralatan peninggalan sejarah, lagu
daerah, dan masih banyak lagi unsur kebudayaan nasional yang lainnya. Pelaksanaan dari nilai-
nilai budaya yang terkandung dalam setiap unsur kebudayaan merupakan bukti pelestarian
terhadap budaya. Terlebih lagi di Indonesia dengan segala kearifan budaya lokal daerahnya
dapat menjadi sarana dalam membangun karakter warga negara yang beradab.

Filoso rumah adat ini berangkat dari pemahaman mengenai tujuh unsur kebudayaan (cultural
universal) yang dipopulerkan oleh Koentjaraningrat. Rumah adat masuk ke dalam dua unsur
kebudayaan sekaligus, yaitu bangunan dalam unsur kesenian dan tempat berlindung dalam unsur
sistem peralatan hidup atau teknologi. Pemahaman tentang unsur kebudayaan ini menunjukkan
identitas, yang mana berarti dalam karya budaya tidak lain adalah karya manusia itu sendiri.
Khusus mengenai rumah adat yang merupakan bahasan unsur budaya sik, hal ini tidak lepas
dari loso dan nilai-nilai kebudayaan yang kental. Maka dari itu rumah adat dapat dijadikan
salah satu titik tolak revitalisasi kebudayaan yang dimaksudkan.

Huma Betang adalah rumah adat masyarakat Kalimantan Tengah. “Rumah yang dibangun
dengan cara gotong royong ini berukuran besar dan panjang mencapai 30 – 150 meter ,
lebarnya antara 10-30 meter, bertiang tinggi antara 3-4 meter dari tanah” (Riwut, 2003).
Penghuni Huma Betang bisa mencapai seratus bahkan dua ratus jiwa yang merupakan satu
keluarga besar dan dipimpin oleh seorang bakas lewu atau Kepala Suku. Kalimantan Tengah
memiliki budaya yang sangat beragam mulai dari agama, suku dan bahasa, walaupun demikian
masyarakat Dayak penduduk asli Kalimantan Tengah tetap menjaga persatuan agar perbedaan
yang

ada tidak menjadi masalah bagi mereka. Sikap toleransi antar umat beragama mejadi salah satu
contoh bagaimana warga Kalimantan Tengah menjaga kerukunan diantaranya. Hal inilah yang
dianggap menjadi loso dari huma betang itu sendiri.

1. Eksistensi Huma Betang terhadap Kehidupan Masyarakat di Kalimantan Tengah


Eksistensi huma betang dari sejak didirikan hingga sekarang masih berdiri berkaitan dengan pola
perilaku dan cara-cara masyarakat Suku Dayak bertindak atau berkelakuan yang sama, atau
dinamakan struktur normatif yang disebut design of living (garis-garis petunjuk dalam hidup).
Artinya kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perilaku atau blueprint for behavior yang
menetapkan peraturan- peraturan mengenai apa yang seharusnya dilakukan, apa yang dilarang,
dan sebagainya. Nilai-nilai kebudayaan yang ada pada falsafah huma betang juga menunjukkan
sesuatu yang seharusnya dilakukan dan sesuatu yang dilarang mengacu pada sistem hukum adat
Suku Dayak.

Keberadaan huma betang dan penduduk sekitar memang sangat sederhana. Namun huma betang
ini tetap dihuni oleh para pewaris dan dipelihara sebagai peninggalan leluhur mereka. Disamping
itu eksistensi huma betang terbilang vital bagi

masyarakat Dayak. Banyak nilai-nilai yang tercermin dari keberadaan betang ini meski secara
sik betang tersebut sudah tidak layak huni. Namun tidak dapat dipungkiri rumah panjang ini
memegang peranan penting dalam sistem kemasyarakatan Suku Dayak di Kalimantan Tengah.
Huma betang merupakan unsur kebudayaan yang menjadi bagian dari tata cara hidup yang tidak
bisa dikesampingkan oleh suku Dayak, sebab leluhur mereka tinggal di sana, dan melahirkan
perjuangan, kemajuan serta perubahan yang berdampak besar pada apa yang diinginkan oleh
masyarakat Kalimantan Tengah saat ini. Itulah sebabnya kebudayaan tidak dapat secara sempit
hanya diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan dan tindakan semata.

Alih fungsi betang juga sempat beberapa kali terjadi sebagaimana digambarkan pada alur di atas.
Peneliti mendapatkan data bahwa huma betang secara umum memiliki fungsi khusus pada jaman
dahulu yakni sebagai tempat berkumpulnya beberapa keluarga saat sistem mengayau atau
hakayau masih diberlakukan Suku Dayak di daerah Kalimantan, pada saat itu kondisi
kebersamaan dan persatuan antara sesama Suku Dayak masih belum terjalin. Pada jaman dahulu
sebelum dilakukan perjanjian damai Tumbang Anoi pada 1894, Suku Dayak masih memegang
sistem atau tradisi Habunu (saling bunuh), Hakayau (saling potong kepala), dan Hajipen (saling
merperbudak) antar sesama orang Dayak. Namun setelah perjanjian Tumbang Anoi yang
dilakukan di Betang Damang Batu, tradisi tersebut resmi dihilangkan dan dingganti dengan
sahiring (sanksi adat). Sejak saat perjanjian Tumbang Anoi dilakukan menjadi awal mula
bersatunya Suku Dayak seKalimantan.

Selain sebagai tempat tinggal dan tempat berlindung dari serangan binatang buas, betang juga
sempat menjadi markas pertahanan saat penjajah Belanda sempat memasuki Kalimantan.
Namun seiring perubahan yang terjadi, betang dari waktu ke waktu dijadikan tempat
bermusyawarah, dan dapat dikatakan sebagai unit peradilan pada saat itu dimana pengambilan
keputusan dan perselisihan diselesaikan secara damai dan kekeluargaan. Setelah sempat menjadi
pusat kegiatan tradisional seperti upacara adat tiwah, betang juga menjadi tempat penyimpanan
benda-benda pusaka peninggalan nenek moyang pendiri betang.
2. Nilai-nilai sebagai Falsafah dalam Huma Betang
Falsafah huma betang merupakan struktur kehidupan masyarakat Dayak sehari-hari. Banyak
sekali keseharian dari masyarakat Suku Dayak yang memang mengacu pada nilai-nilai toleransi,
kebersamaan, gotong royong, seperti yang ada pada falsafah huma betang itu sendiri. Kemudian
yang menjadi penting di tengah-tengah asumsi masyarakat menganggap kebudayaan sebatas
daya tarik untuk destinasi pariwisata, sebatas mengindahkan prinsip adat yang dipegang nenek
moyang atau leluhur, tanpa memelihara dan menginternalisasikan nilai-nilai budaya yang sarat
akan nilai luhur loso kehidupan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Betang juga menjadi daya tarik masyarakat untuk berkumpul, dan seolah-olah menjadi pusat
bertemunya warga desa. Realitas ini menunjukkan bahwa nilai luhur yang ada pada huma betang
sebagai falsafah hidup Suku Dayak dipandang baik sehingga melahirkan perilaku nilai hidup
dalam masyarakat. Salah satu huma betang yang masih berdiri adalah Betang Toyoi yang berada
di Desa Tumbang Malahoi, Kabupaten Gunung Mas Provinsi Kalimantan Tengah. Betang sendiri
dalam dinamika eksistensi nya sempat menjadi tempat untuk bermusyawarah warga desa, hingga
sekarang dibuat replika Betang Toyoi yang berlokasi tepat di sebelah Betang Toyoi guna
berkumpul dan bermusyawarah warga Desa Tumbang Malahoi, serta untuk berbagai kegiatan
desa. Hal ini dilakukan mengingat kondisi Betang Toyoi yang tidak lagi memadai untuk tempat
berkumpul banyak orang. Jika kurang dari 10 orang biasanya musyawarah atau pertemuan masih
dapat diadakan di Betang Toyoi, namun jika lebih daripada itu pertemuan atau kegiatan
musyawarah dialihkan ke tempat replika Betang Toyoi yang dinamakan Betang Hapakat.

Salah satu nilai dalam falsafah huma betang yang paling kuat adalah toleransi yang terus
dipelihara dan secara otomatis terinternalisasi dalam diri masyarakat suku Dayak. Toleransi yang
terbentuk dikarenakan oleh keberagaman agama yang ada dalam satu keluarga. Hal ini sudah
lumrah terjadi pada keluarga Suku Dayak, dan tidak pernah menjadi polemik yang menimbulkan
perpecahan. Merupakan perwujudan falsafah huma betang sikap saling menghargai, saling
menghormati perbedaan keyakinan sebab hal tersebut merupakan perwujudan cinta damai.
Perbedaan itu dapat tumbuh baik karena disatukan pula oleh ikatan kekeluargaan Suku Dayak
yang kuat, sehingga meskipun berbeda, mereka tetap bersatu (togetherness in diversity).
Toleransi ini merupakan nilai yang sangat bermanfaat jika dijunjung tinggi oleh masyarakat
Indonesia yang bercorak multikultural dan multiagama. Hal ini dikarenakan segala perbedaan
yang dimiliki tidak akan menjadi bambu yang terus diperuncing dan menimbulkan perselisihan,
justru perbedaan tersebut akan menjadi modal dan sumber kekuatan dari keanekaragaman
bangsa yang mengarah pada persatuan.Filoso kebudayaan Suku Dayak dalam huma betang
memang berdampak pada setiap aspek kehidupan dari mulai tata cara adat sanksi hingga konsep
kepemimpinan. Pada hakikatnya loso kebudayaan menyangkut masalah nilai, yang mana nilai
itu sendiri adalah sari dari kebudayaan yang dapat membimbing pada asas tujuan manusia
termasuk di dalamnya menertibkan pola perilaku manusia melalui nilai-nilai yang ada pada
loso kebudayaan. Nilai-nilai yang ada dalam falsafah huma betang merupakan pengembangan
etika, moral, serta norma. Masyarakat Dayak memandang huma betang sebagai sarana penting
dalam menjalani kehidupan bermasyarakat khususnya di Kalimantan Tengah.

3. Huma Betang sebagai Cerminan Nilai-nilai Budaya dan Nilai-nilai KarakterLuhur


Huma betang adalah rumah adat asli Suku Dayak yang didirikan oleh nenek moyang pada jaman
dahulu. Huma betang lebih dari sekedar tempat tinggal bagi masyarakat Suku Dayak, huma
betang mencerminkan loso hidup Suku Dayak atau dapat dikatakan jantung dari struktur
kehidupan orang Dayak. Hal ini dikarenakan huma betang mengandung unsur-unsur berupa
nilai, moral, hukum adat, kebiasaan, yang sudah dianggap sebagai pandangan hidup bagi
masyarakat Suku Dayak.
Kebiasaan atau pola tingkah laku yang tergambar dari loso huma betang itu sendiri diantaranya
ialah

1) Gotong royong

Nilai gotong royong yang sering dilakukan oleh penghuni betang serta penduduk sekitar, seperti
misalnya membuka lahan secara bersama-sama, bergiliran setiap harinya berpindah-pindah.

2) Kebersamaan

Struktur huma betang yang berbentuk panjang dengan sekat-sekat ruangan yang minim, dapur
dan ruangan utama yang luas, ditambah banyaknya jumlah keluarga yang tinggal dalam satu
atap tersebut memudahkan interaksi antar sesama mereka yang tinggal, sehingga kemudahan
interaksi tersebut mempererat tali persaudaraan dan menumbuhkan keakraban.

3) Toleransi

Huma betang ditinggali oleh sejumlah kepala keluarga yang memiliki sub Suku Dayak yang
berbeda, kemudian sifat, karakter, bahasa, bahkan agama yang berbeda-beda memunculkan
rasa saling menghargai, saling menghormati, saling memiliki satu sama lain.

4) Rukun

Kerukunan antar penghuni betang dan penduduk sekitar tercermin dari kerjasama yang terbentuk
baik dalam keseharian maupun saat acara-acara penting seperti menyambut tamu atau
pengunjung betang, maupun saat upacara adat dilangsungkan

5) Hidup berdampingan

Maksud dari hidup berdampingan ini ialah rasa persatuan sebagai sesama Suku Dayak yang kuat
tidak menjadi sesuatu yang eksklusif di tengah warga pendatang. Baik penghuni betang maupun
penduduk sekitar beraktivitas dan berinteraksi seperti biasa tanpa ada perbedaan, semuanya
bersatu dan hidup berdampingan.

Falsafah huma betang memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai keadaban kewarganegaraan,


seperti halnya nilai gotong royong, kebersamaan, toleransi, rukun, dan hidup berdampingan.
Nilainilai ini juga mirip dengan loso hidup suku Dayak, yaitu belom bahadat, handep, serta
hapungkal lingu nalatai hapangjan. Nilai-nilai inilah yang sepatutnya dipelihara sebagai kearifan
lokal di Kalimantan Tengah. Meskipun huma betang merupakan unsur budaya dalam bentuk
sik, namun falsafah yang tercermin di dalamnya telah hidup sejak huma betang itu didirikan dan
melekat dalam kebiasaan sehari-hari Suku Dayak.

Nilai-nilai yang dianut sebagai re eksi dari falsafah huma betang telah menjadikan masyarakat
Kalimantan Tengah toleran, rukun, dan hidup berdampingan. Hal ini terlihat dari banyaknya
bangunan gereja dan masjid yang saling berdampingan di beberapa wilayah di Kalimantan
Tengah. Perwujudan ini diyakini sebagai wujud nyata dari falsafah huma betang yang
sebenarnya, falsafah huma betang yang mencerminkan nilai-nilai kebudayaan dan nilai karakter
yang luhur.

Penulis: Chris Apandie, M.Pd. (Dosen IAKN Palangka Raya)


Sumber Gambar: https://hasanzainuddin. les.wordpress.com/2012/08/betang.jpg

Anda mungkin juga menyukai