Anda di halaman 1dari 12

RUMAH BETANG SEBAGAI PINTU MASUK GEREJA KEDALAM

BUDAYA KALIMANTAN

Fransiskus Anang Adi

Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang terkenal luas dan kaya. Indonesia menjadi salah satu negara
yang menyimpan kekayaan alam, budaya, dan tradisi yang selalu dihidupi sampai sekarang.
Masyarakat Indonesia hidup dalam keberagaman yang sangat unik dan menarik. Ada banyak
suku, budaya dan tradisi yang khas dari setiap daerah baik itu seni, bahasa, ada istiadat,
kebiasaan, dan masih banyak lagi.
Kalimantan merupakan salah satu pulau yang digolongkan sebagai paru-paru bumi.
kekayaan alam yang masih alami dan asri memiliki pengaruh bagi bumi. Selain dari kekayaan
alam, Kalimantan juga disebut sebagai kaya akan kebudayaan yang memiliki subsuku yang
sangat banyak. Adat istiadat dan kebiasaan, serta tata upacaranya juga berbeda anatara suku yang
satu dengan yang lain. Maka dengan adanya subsuku tersebut melahirkan kebudayaan yang
sangat beragam .
Selain dari kekayaan alam dan budaya, suku Dayak memiliki keunikan dari sudut seni.
Salah satunya yakni Rumah Betang.1 Jauh sebelum perkembangan zaman saat ini, rumah Betang
merupakan rumah yang dihuni oleh banyak keluarga. Mereka hidup sebagai satu keluarga yang
disatukan dalam rumah panjang suku khas Dayak. Ada banyak makna dan nilai-nilai budaya
yang dihidupi orang Dayak sampai saat ini. Rumah Betang menjadi lambang persatuan,
kebersamaan, kedamaian, dan nilai-nilai lainnya.
Pada paper ini juga membahas hubungan antara budaya dengan nilai-nilai ajaran iman
Katolik. Nilai-nilai luhur dalam kebudayaan suku Dayak ternyata juga dihidupi oleh masyarakat
Dayak yang secara khusus yang sudah dibabtis menjadi Katolik. Nilai-nilai luhur dari
kebudayaan memiliki nilai-nilai yang sama seperti dalam agama Katolik. Nilai persatuan,
komunal (kebersamaan) dapat diartikan adanya nilai perskutuan jemaat Allah yang tampak
dalam Rumah Betang.

1
https://kbbi.web.id/betang. Rumah panjang khas suku Dayak yang digunakan sebagai tempat pertemuan damai.
Diakses pada tanggal 24 November 2020, pukul 18:00 WIB.
Gereja juga menghidupi nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan masyarakat suku Dayak.
Rumah Betang sebagai lambang persekutuan dan persatuan masyarakat Dayak dan dalam hal ini
juga tampak dalam Gereja dimana Oleh karena itu kekristenan di tanah Kalimantan sangat terasa
karena adanya beberapa persamaan yang dihidupi oleh masyarakat setempat dengan nilai-nilai
kebersamaan (komunal) sebagai satu tubuh dalam Gereja Katolik. Maka pada pembahasan
berikutnya akan mendalami kebudayaan Dayak dengan nilai-nilai yang dihidupi sampai saat ini.
Kemudian akan melihat hubungan antara nilai-nilai agama Kristiani dengan nilai budaya
masyakarat suku Dayak.

1. Mengenal Rumah Betang


Pada bagian ini penulis akan membahas mengenai rumah Betang itu sendiri. Di mana
pengenalan akan menghantar penulis kedalam pembahasan yang lebih lanjut, yakni mengenai
konsep gereja yang dipadukan dengan konsep rumah Betang baik itu secara struktur bangunan
maupun nilai-nilai yang terkandung dalam rumah Betang.

1.1. Latar Belakang Rumah Betang dalam Suku Dayak


Pembangunan rumah betang “Huma Betang” dikenal secara luas di Kalimantan dengan
istilah Rumah besar. Rumah betang “huma betang” sendiri merupakan ciri khas rumah adat bagi
orang Dayak Kalimantan pada umumnya. Rumah betang pada suku Dayak merupakan tempat
tinggal sebuah keluarga besar yang masih memiliki ikatan pertalian kekeluargaan maupun ikatan
darah.
Dalam tradisi kehidupan orang Dayak masa lalu, rumah betang bukanlah sekedar tempat
bernaung dan berkumpul seluruh anggota keluarga atau melepas keletihan setelah seharian
bekerja di ladang. Lebih dari itu, rumah betang adalah jantung dari struktur sosial dalam
kehidupan orang Dayak. Kehidupan sosial orang Dayak berpedoman pada nilai-nilai yang
terkandung dalam rumah betang a yakni nilai kebersamaan. Bagi orang Dayak rumah betang
merupakan warisan leluhur yang sampai sekarang masih dijaga kelestarian rumah betang ini.
Rumah betang “rumah besar” bagi masyarakat Dayak pada umumnya tidak hanya
sebagai tempat tinggal melainkan juga sebagai tempat untuk melaksanakan upacara adat.
Upacara adat yang biasa dilaksanakan di rumah betang seperti, acara pernikahan, kelahiran dan
kematian. Orang Dayak dari dulu hingga sekarang pelaksanaan upacara adat selalu bertempatkan

1
di rumah betang, yang bertujuan agar seluruh nggota rumah betang dalam upacara membuat
orang Dayak hidup rukun dengan orang-orang disekitar mereka baik sesama orang Dayak
maupun pendatang. Maka dari itu masyarakat Dayak menerapkan prinsip rumah betang dalam
hidup bermasyarakat.
Rumah betang melambangkan kehidupan bersama yang rukun dan mencintai kedamaian
serta kekeluargaan yang harmonis. Rumah betang bagi masyarakat Dayak Kalimantan juga
merupakan simbol persatuan. Menjadi simbol persatuan karena, rumah betang memiliki
kesamaan dari setiap daerah. Sehingga, dalam persamaan kebudayaan rumah betang ini
masyarakat Dayak dapat hidup sebagai satu keluarga.

1.2. Sekilas Rumah Betang


Rumah betang merupakan rumah adat tradisional masyarakat Dayak Kalimantan. Rumah
betang pada masyarakat Dayak merupakan contoh kehidupan budaya tradisional yang mampu
bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan. Walaupun di tengah perkembangan zaman modern
saat ini dengan macam model struktur bangunan tidak membuat orang Dayak untuk mengubah
struktur rumah betang yang sudah ada. Kiranya perlu diungkapkan lebih jauh faktor-faktor yang
menyebabkan masyarakat Dayak dapat mempertahankan rumah betang mereka.
Masyarakat Dayak berkeyakinan bahwa mereka hidup kebudayaan rumah betang
membangun kehidupan bersama tetap terjaga. Hidup bersama secara berdampingan dengan alam
dan warga masyarakat lainnya. Sehingga masyarakat Dayak berusaha untuk terus
mempertahankan dengan pola kehidupan rumah betang. Harapan ini didukung oleh adanya
kesadaran dari setiap individu untuk menyelaraskan kepentingan pribadi dengan kepentingan
bersama.
Kehidupan dalam rumah betang sendiri bersifat komunal. Artinya bahwa terbuka untuk
semua orang. Sehingga rumah betang menjadi tempat siapa saja yang ingin tinggal maupun
datang sebagai tamu. Hal ini melambangkan bahwa orang Dayak yang toleran menjunjung tinggi
tali persudaraan kepada semua kalangan bukan dari Dayak saja melainkan menerima masyarakat
dari suku lain.
Nilai utama yang menonjol dalam kehidupan di rumah Betang adalah nilai kebersamaan
(komunalisme) diantara para warga yang menghuninya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang
mereka miliki. Hal ini membuktikan bahwa suku Dayak adalah suku yang menghargai suatu

2
perbedaan. Suku Dayak menghargai perbedaan etnik, agama ataupun latar belakang sosial selain
itu rumah Betang bagi masyarakat etnik Dayak menyangkut soal makna dari hidup manusia,
pekerjaan, karya dan amal perbuatan, persepsi mengenai waktu, hubungan manusia, alam sekitar,
dan hubungan dengan sesama sehingga dapat dikatakan bahwa Rumah Betang memberikan
makna tersendiri.
Dari pernyataan di atas maka rumah Betang merupakan bangunan yang menunjukkan
kekhasan budaya etnik Dayak, fungsi tidak hanya sebagai tempat tinggal, tapi juga merupakan
sebagai jantung dari struktur sosial kehidupan orang Dayak, yang merupakan cerminan
kebudayaan suku Dayak yang sesungguhnya.

1.3. Nilai-nilai Budaya


Dalam hidup bermasyarakat orang Dayak senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai budaya
setempat bagi pedoman kehidupan bersama. Nilai budaya yang dimaksud disini adalah nilai
kebudayaan dalam rumah betang yang dihidupi oleh orang Dayak sendiri hidupi sampai hari ini.
Nilai-nilai yang dihidupi itu tentu mempengaruhi kehidupan orang Dayak itu sendiri maupun
orang pendatang yang hidup berdampingan dengan Masyarakat Dayak. Orang Dayak dikenal
sebagai masyarakat yang mencintai adat-istiadat dan menghidupi nilai-nilai yang terkandung
dalam adat tersebut untuk membangun kehidupan bersama kearah yang lebih baik.
Nilai-nilai kehidupan yang berkembang di Rumah Betang mencangkup: nilai untuk hidup
saling tolong menolong, rukun, saling menjaga keamanan dan pertahan serta saling menghargai
dan memberi kebebasan beragama. Selain itu nilai-nilai kehidupan yang senantiasa dihidupi oleh
orang Dayak dalam falsafah rumah betang sebagai berikut:

a. Nilai Kebesamaan
Kebersamaan merupakan filosofi hidup Suku Dayak yang terinternalisasi dalam
prinsip hidup belom bahadat artinya bahwa hidup beradat adanya nilai-nilai yang
mereka hidupi dan taati demi kebaikan bersama. Belom bahadat (hidup beradab dan
memiliki etika) dipahami oleh komunitas betang sebagai aturan atau tata krama yang
mengatur kehidupan bersama, yaitu menghargai adat yang berlaku dalam wilayah
komunitas adat yang bersangkutan . Adat istiadat setempat berlaku juga bagi para
pendatang yang mendiami Kalimanta terutama mereka yang hidup berdampingan

3
dengan masyarakat Dayak yang masih menghidupi nilai-nilai kebersamaan dalam
rumah betang.
Nilai kebersamaan lebih mengarah kepada hubungan dengan masyarakat luas.
Orang Dayak dalam hidup bersmasyarakat hidup dengan banyak suku dari berbagai
daerah. Maka sikap yang mereka hidupi yakni mampu membaur dengan semua
masyarakat tersebut dengan demikian mereka menajalin hubungan baik antar mereka
yang akan menciptakan sebuah kebersamaan yang harmonis dengan berlandaskan nilai-
nilai budaya setempat yang masyarakat Dayak sendiri hidupi. Terutama nilai
kebersamaan orang Dayak sendiri hidupi bersadasrkan falsafah rumah betang.
Melalui nilai kebersamaan ini tercermin dari falsafah huma betang yang
mengedepankan musyawarah untuk mufakat, sebab dengan kebersamaan akan terjalin,
komunikasi dengan baik. . pada saat komunikasi dengan baik terjalin dalam masyarakat
maka, nilai-nilai kebersamaan mereka sebagai satu keluarga.

b. Nilai Gotong Royong


Dalam kehidupan bersama, orang Dayak hidup berdampingan dan saling
membantu satu sama lain. Sehingga, nilai gotong royong dalam masyarakat Dayak
sangat kuat dalam kalangan mereka terutama yang berada di pedesaan. Kebersamaan
yang mereka hidupi merupakan budaya turun-temurun yang sudah melekat dan hidup
dalam diri setiap orang Dayak tergerak untuk melakukan pekerjaan secara bersama-
sama. Sehingga, gotong royong menjadi hal yang biasa bagi orang Dayak yang sering
kali disebut dengan “handep” (kerja sama antar masyarakat dalam jumlah yang besar)
untuk menyelasaikan suatu pekerjaan yang besar yang tidak mungkin bisa diselesaikan
secara pribadi oleh sebuah keluarga tersebut. Misalnya dalam hal membuka lahan
pertaniaan atau lebih dikenal dengan berladang. Sehingga, biasanya orang Dayak
bergotong royong bersama-sama melakukan penanaman benih, hingga pada saat panen
mereka tetap melaksanakan gotong-royong bersama.
Gotong royong yang dilakukan penghuni betang dan penduduk sekitar pada jaman
dulu adalah saling membantu saat bertani, berladang, memasak bersama untuk upacara
adat. Namun saat ini gotong royong dalam kegiatan bertani dan berladang sudah jarang
dilakukan mengingat mata pencaharian penghuni dan penduduk sekitar betang yang

4
mulai bervariasi. Meski sebagian besar mata pencaharian mereka adalah berladang dan
menyadap karet, lebih sering dilakukan sendiri-sendiri karena rentang waktu yang
dimiliki yang berbeda-beda. Berladang merupakan salah satu ciri-ciri penting dari suku
Dayak disamping bertempat tinggal di pedalaman, Gotong royong jaman dulu
dilakukan sebagai bentuk bantuan murni tanpa pamrih yang dilakukan tetangga dan
sesama sanak saudara jika akan membuka lahan untuk berladang, bertani, atau
menyadap karet. Jika hari ini membuka lahan di lokasi milik si A, maka besoknya
berbondong-bondong beralih ke lokasi milik si B, begitu seterusnya dilakukan secara
bergantian hingga pekerjaan selesai sama rata
Pada bagian ini terlihat jelas bahwa masyarkat Dayak mengutamakan kehidupan
bersama, dengan saling membantu guna meringankan beban keluarga maupun
masyakat yang hidup berdampingan dengan mereka. Mereka akan saling membantu
pada saat bertani, berladang atau pada saat melaksanakn upacara adat, Biasanya
pelaksanaannya melibatkan seluruh warga di sekitar. Nilai-nilai gotong royong ini
sudah hidup dalam diri orang Dayak sendiri. Dengan adanya kebiasaan gotong royong
hal bai yang tercipta adalah kerukunan dan kerja sama yang baik anatar masyarakat
Dayak sendiri maupun masyarakat suku lainnya. Hidup gotong royong bagi orang
Dayak sudah mereka lakukan sejak dahulu dalam hal membantu mereka tidak pernah
mengharapkan imbalan mereka membantu dengan ikhlas.
Membantu orang lain disebut dengan gotong royong pada zaman sekarang juga
masih dilakukan oleh masyarakat Dayak pada umumnya. Bentuk gotong royong saat ini
yang seringkali mudah terlihat dalam mengadakan upacara pernikahan, biasanya orang
Dayak melaksanakan upacara pernikahan seluruh keluarga besar yang bersangkutan
akan datang dan membantu dalam menyiapkan segala apa yang dibutuhkan. Kerja sama
atau gotong royong menjadi nilai-nilai falsafah rumah betang yang samapi sekarang
masih dihidupi dikalangan masyarakat Dayak Kalimantan.

2. Konsep Gereja dan Nilai Persaudaraan dalam Iman


Setelah melihat gambaran mengenai rumah Betang dan nilai-nilainya, pada bagian ini
penulis akan membahas konsep gereja (bangunan) dan relasi persaudaraan dalam iman. Di mana
hal ini perlu dibahas karena gereja masa kini banyak yang hadir dengan wajah budaya di mana

5
gereja tersebut dibangun. Dan bagaimana seharusnya gereja harus didirikan agar umat beriman
dapat berelasi dengan Sang Pencipta secara intim.

2.1. Konsep Gereja Katolik Dari Zaman ke Zaman


Dalam kuliah liturgi yang disampaikan oleh Rm. Pius Manik, O.Carm membahas
mengenai konsep gereja dari zaman ke zaman. Rm. Pius Manik menyampaikan bahwa bentuk
gereja dari zaman ke zaman mengalami perubahan bentuk. Pada Gereja awali bentuk gereja
masih belum ada, sehingga peribadatan orang-orang beriman akan Kristus diadakan di rumah-
rumah.2 Pengadaan ibadat di rumah-rumah hal ini pertama-tama mengacu pada konteks
perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Lama kita sering mendapi kisah penampakan diri Allah di
suatu tempat yang tertentu, yang menjadikan tempt tersebut dikhususkan dan kemudian dianggap
kudus.3 Lalu, umat mulai mengenal bangunan gereja dimana gereja diutamakan untuk memuji
dan memuliakan Allah.
Pada zaman Konsili Trente gereja sudah berbentuk bangunan seperti saat ini, namun
imam menghadap tabernakel. Oleh karena itu, pada masa ini gereja masih berbentuk memanjang
dengan susunan paling depan ialah panti imam dan belakangnya ialah umat. Dengan demikian
bentuk gereja pada masa Konsili Trente seperti layaknya naik bus. Di mana barisan paling depan
ialah pengemudi dan belakannya ialah penumpang.
Gambaran gereja pada zaman Konsili Trente berbeda dengan konsep gereja pada Konsili
Vatikan ke II. Bentuk gereja dalam Konsili Vatikan kedua bisa dibentuk seperti setengah
lingkaran. Bentuk Gereja demikian menggambarkan sebuah komunio. Di mana umat berkumpul
setengah lingkaran dan dibagian tengah ialah panti imam. Gambaran tersebut mempunyai filosfis
bahwa dalam konsep gereja Konsili Vatikan II umat digambarkan sebagai komunio yang
dipersatukan oleh Allah.4 Oleh karena itu, panti imam dalam gereja Konsili Vatikan II
ditempatkan dibagian tengah. Hal tersebut ingin menjelaskan secara nyata bahwa Allah hadir
ditengah-tengah jemaat melalui imam yang mempersembahkan Ekaristi.
Konsep gereja dari zaman ke zaman memiliki perbaikan dalam refleksi. Di mana di masa
awali tampak bahwa jemaat kumpul di suatu rumah untuk memuji dan memuliakan Allah,
selanjutnya dengan bentuk gereja yang dikhususkan untuk beroda (gedung gereja). Dalam dua

2
Dalam buku catatan kuliah Liturgi 2018.
3
Ed. Yusah Soleiman, Dkk, Arsitektur dan Liturgi gereja, (Jakarta: Persetia, 2015), 154-155.
4
Dalam buku catatan kuliah Liturgi 2018.

6
dekade terakhir bentuk gereja juga mengalami perubahan dalam refleksi, hal tersebut terjadi
karena secara tidak sadar sebenarnya bagaimana kita beribadah ditentukan oleh gedung gereja. 5
Oleh karena gedung yang nyaman maka orang akan lebih mudah konsentrasi untuk bersekutu
dengan Allah di dalam doa. Berlandasan dari gagasan ini, maka tidak heran apabila masa kini
terdapat banyak bentuk gereja yang membudaya. Misalnya di Gereja Gemma Galgani Ketapang,
Kalimantan Barat yang mengakulturasikan budaya pada interior Gereja Katolik. Tujuan dari
alkulturasi adalah penggabungan dua budaya untuk saling bertukar dan mengenal satu sama lain
sehingga perbedaan itu lebih mudah diterima oleh kebudayaan masing-masing.6 Oleh karena itu,
di Kalimantan gereja di satukan dengan rumah budaya setempat yaitu rumah Betang. Di mana
rumah Betang menggambarkan tujuan dari gereja, yakni mengumpulkan umat Allah sebagai satu
keluarga.
Kesatuan antara budaya dan gereja merupakan sebuah inkulturasi yang baik, bahkan
sangat diperlukan oleh gereja. Hal ini karena berkaitan dengan penerimaan perbedaan dan
kemudahan Gereja untuk menyampaiakn pesan Injil kepada suku atau budaya-budaya tertentu.
Penyampaian pesan yang membudaya bukan berarti mengesampingkan esensi dari ajaran Gereja,
melainkan melalui budaya gereja memperkaya relasi. Kesatuan ajaran gereja disampaikan
dengan budaya setempat, sehingga menjadikan Gereja sebagai saudara dalam iman.

2.2. Nilai Persaudaraan dalam Iman Kristiani


Kata “saudara” menurut KKBI mempunyai arti, Orang yang seibu seayah (atau hanya
sibu atau seayah saja); adik atau kakak; orang yang bertalian keluarga. Dari KKBI tersebut dapat
disimpulkan bahwa keluarga merupakan sebuah ungkapan teruntuk orang yang termasuk dalam
garis keturunan atau satu golongan darah. Oleh karena itu, KKBI menyebutkan saudara
merupakan orang yang seibu seayah (atau hanya seibu atau seayah). Namun pengertian saudara
dalam KKBI ini memiliki perbedaan arti dengan persaudaraan dalam Iman. Persaudaraan dalam
Iman merupakan persaudaraan yang disatukan dengan kepercayaan spiritual. Di dalam Gereja
Katolik persekutuan umat yang percaya kepada Allah ialah saudara. Maka dari itu, Gereja juga
disebut sebagai kesatuan umat beriman.

5
Ibid,. Ed. Yusah Soleiman, 162.
6
Karin Oscarina, dkk., “Akulturasi Budaya Pada Interior Gereja Katolik”, dalam Jurnal Dimensi Interior, Vol. 17,
No.1, Februari 2019, 29.

7
Gereja merupakan kesatuan umat beriman. Kesatuan umat beriman ini di karenakan
Yesus Kristus yang telah menyelamatkan manusia dan manusia menanggapinya dengan percaya
bahwa Yesus hadir ditengah-tengah mereka (iman akan Yesus). Kehadiran Yesus dalam
persatuan umat beriman telah dinyatakanNya dalam Injil Matius 18:20, yang berbunyi “Sebab di
mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka."
Dalam persekutuan orang-orang yang percaya akan Allah tidak hanya sekedar berkumpul,
melainkan berdoa dan merenungkan sabda Allah. Di mana permenungan tersebut akan
membawa mereka pada sebuah aktivitas yang dibimbing oleh Roh Kudus.
Di dalam Injil Lukas 8:21 diungkapkan bahwa orang yang melaksanakan firman Allah
dan melaksanakannya ialah saudara-saudara Yesus. Dalam artian ini bahwa persaudaraan dalam
iman merupakan persaudaraan yang disatukan oleh satu kepercayaan. Melalui teks ini, Tom
Jacob dalam buku “Lukas Pelukis Hidup Yesus” mengatakan,

“Perwataan Yesus oleh Lukas tidak dimaksudkan sebagai pengajaran atau pemberian informasi.
Melalui perwartaan itu, orang dihadapkan pada Yesus sebagai utusan Allah dan harus
mengambil sikap. Kelompok murid yang dibentuk Yesus adalah kelompok orang beriman, dan
dengan demikian merupakan awal Gereja”7

Dari tulisan tersebut jelas bahwa persekutuan umat beriman berawal dari sikap percaya
akan Allah, dan melakukan kehendak Allah.
Melakukan kehendak Allah ialah melakukan apa yang disebut sebagai nilai-nilai ajaran
Kritiani saat ini. Ajaran Kritiani ialah bawasannya manusia dituntut untuk mengasihi Allah dan
sesamanya seperti dia mengasihi dirinya sendiri (Bdk. Mat. 22:37-39). Dalam artian ini ajaran
Kristiani mengajak manusia untuk saling berbagi antara yang satu dengan yang lain. Di mana
sikap berbagi merupakan gambaran kecil dari perbuatan mengasihi. Lalu perbuatan yang lebih
besar ialah mengasihi dengan cara mengampuni kesalahan atau pelanggaran orang lain.
Di dalam rumah Betang, kebiasaan mengasihi sesama dan hidup dalam persaudaraan
tergambar jelas. Menurut penghuni Betang Damang Batu,

“Rasa kebersamaan dan persaudaraan (hapahari) tampak setiap ada permasalahan yang
menimpa salah satu penghuni. Jika salah satu anggota keluarga ada yang meninggal dunia maka
masa berkabung mutlak diberlakukan selama satu minggu bagi semua penghuni dengan tidak

7
Tom Jacob, Lukas Pelukis Hidup Yesus, (Yogjakarta: Kanisius, 2006), 74.

8
menggunakan perhiasan, tidak berisik, tidak minum tuak dan dilarang menghidupkan peralatan
elektronik.”8

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam rumah Bentang kegiatan hidup
menggereja mudah untuk diterapkan. Hal tersebut terjadi karena di dalam rumah Bentang
kegiatan dasar Kristiani sudah dilaksanakan setiap hari, tidak heran bawasanya hidup menggereja
di pulau Kalimantan mudah untuk disatukan dengan budaya setempat.
Kesatuan budaya dan Gereja tampak dalam kehidupan bersama. Kehidupan menggereja
di Kalimantan pertama-tama dikenalkan melalui rumah Betang. Di dalam rumah Betang, umat
dijelaskan bahwa seharusnya umat Kristus hendaknya menjadi kumpulan umat yang bercermin
malaui rumah Betang, di mana umat memiliki kesatuan antara satu dengan yang lain tanpa
memandang perbedaan warna kulit maupun suku dan budaya. Sebab di dalam Kristus, umat
Kristiani adalah keluarga dalam iman.

3. Refleksi Kritis
Gereja hadir dalam situasi dan kondisi sesuai dengan konteks yang dijumpai. Gereja
menghadirkan Allah di tengah-tengah dunia sangat beragam. Di atas sudah dipaparkan salah satu
bentuk pewartaan Kerajaan Allah melalui budaya yang ada di Kalimantan dengan seni
bangunannya. Nilai-nilai yang terkandung dalam budaya tidak terlepas dari tradisi yang dihidupi
secara turun-temurun sampai saat ini.
Hal yang sama dalam Gereja juga memiliki seni dan nilai-nilai yang dihidupi jemaat Allah
sampai saat ini. Budaya dan Gereja memiliki hubungan yang sangat erat dimana gereja harus
mampu hadir di tengah-tengah budaya yang masih kental dengan nilai-nilai leluhur setempat.
Gereja berefleksi betapa pentingnya menghadirkan diri dari zaman ke zaman. Gereja bergerak
dari konteks yang dijumpai. Sama halnya kehadiran Gereja di Kalimantan.
Evangelisasi di tanah Kalimantan dapat betumbuh dalam persaudaraan iman yakni ketika
Gereja mampu masuk pada nilai-nilai budaya setempat. Rumah Betang sebagai lambang
persatuan, gotong-royong, komunio, dan nilai-nilai lainnya, memiliki persamaan dengan nilai-
nilai yang dihidupi oleh jemaat Kristiani. Oleh karena itu, Gereja sangat relevan dan kontekstual
dengan nilai-nilai budaya yang dihidupi oleh budaya setempat. Budaya dan Gereja, begitupula

8
Suwarno, “Budaya Huma Betang Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah Dalam Globalisasi: Telaah Kontruksi
Sosial”, dalam Jurnal “Lingua”, vol. 14, No.1, Maret 2017. Hlm. 95.

9
sebaliknya, membuka diri untuk hidup dan membangun nilai-nilai luhur sebagai bentuk
persaudaraan iman.

Penutup
Salah satu cara Gereja menghadirkan diri yakni terbuka akan perkembangan dan situasi
jaman yang sangat beragam. Dalam mewartakan Kerajaan Allah, para rasul mengajar dan
mewartakan Allah yakni hadir dalam budaya setempat. Demikian pula halnya Gereja di
Indonesia yang hidup dalam kebudayaan dan tradisi yang luhur.
Keterkaitan antara nilai-nilai yang dihidupi Gereja dengan budaya memiliki beberapa
persamaan. Gereja dalam pewartaannya masuk melului kebudayaan setempat. Seperti sudah
disinggung di atas bahwa Gereja sangat membudaya yang dapat dilihat yakni dari segi struktur
bangunan. Konsep rumah betang yang dulu merupakan tempat berkumpulknya suku Dayak,
sekarang Gereja juga hadir dan meniru konsep struktur rumah betang untuk dijadikan sebuah
Gereja. Selain segi struktur bangunan, nilai-nilai kebudayaan dan tradisi senantiasa dijaga oleh
Gereja dan menjadi sebuah kekayaan dan sarana untuk mendorong penghayatan iman budaya
setempat untuk sampai pada Allah.

10
Daftar Pustaka

Oscarina, Karin, dkk. “Akulturasi Budaya Pada Interior Gereja Katolik”, dalam Jurnal Dimensi
Interior, Vol. 17, No.1, Februari 2019.
Suwarno, “Budaya Huma Betang Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah Dalam Globalisasi:
Telaah Kontruksi Sosial”, dalam Jurnal “Lingua”, vol. 14, No.1, Maret
2017.
Soleiman, Ed. Yusah. Dkk. Arsitektur dan Liturgi gereja. (Jakarta: Persetia, 2015).
Jacob, Tom. Lukas Pelukis Hidup Yesus. (Yogjakarta: Kanisius, 2006).
https://kbbi.web.id/betang. Rumah panjang khas suku Dayak yang digunakan sebagai tempat
pertemuan damai. Diakses pada tanggal 24 November 2020, pukul 18:00
WIB.
Dalam buku catatan kuliah Liturgi 2018 (power point Materi kuliah)

11

Anda mungkin juga menyukai