Anda di halaman 1dari 6

BUDAYA, TRADISI DAN ADAT ISTIADAT MASYARAKAT BREBES

Budaya, tradisi dan adat istiadat merupakan modal sosial yang dapat dimanfaatkan dalam rangka
pelaksanaan pembangunan. Karenanya, pemerintah perlu melakukan upaya pelestarian dan pengembangan
budaya, tradisi dan adat istiadat budaya yang ada di daerahnya, sesuai dengan karakteristik masyarakat itu
sendiri. Termasuk di Kabupaten Brebes, yang penuh dengan budaya, tradisi dan adat istiadat yang sangat
beragam. Apalagi Kabupaten Brebes memiliki keberagaman suku bangsa, yang hingga kini terus hidup rukun
dan damai berdampingan. 
Sebelum menelah lebih jauh kondisi sosial dan budaya, serta adat dan istiadat yang ada di
Kabupaten Brebes, kiranya perlu dijelaskan terlebih dahulu, apa yang dimaksud budaya dan adat istiadat.
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak
dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin, colere, yaitu
mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga
kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. (wikipedia).
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang
dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem
agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga
banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya,
membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Adat istiadat sendiri merupakan bagian dari budaya secara keseluruhan. Di mana dalam budaya
masyarakat, ada beberapa adat istiadat yang dikembangkan, seperti seni, tradisi dan perilaku masyarakatnya.

Budaya dan Tradisi Masyarakat Brebes


Seperti diketahui, wilayah Kabupaten Brebes yang berada di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan
Provinsi Jawa Barat, dipastikan terdapat beberapa asimilasi budaya dari kedua daerah tersebut. Asimiliasi itu,
otomatis membentuk adat dan budaya tersendiri. Yang bisa merupakan gabungan dari dua budaya atau
bahkan budaya tersendiri, yang tumbuh dan berkembang secara mandiri.
Hal-hal seperti inilah, yang harus dikembangkan, demi pembangun masyarakat. Yakni dengan
mengedepankan pokok-pokok pembangunan daerah. Terutama di bidang pengembangan ekonomi
masyarakat, pelestarian dan kemandirian masyarakat. Dengan dilestarikannya budaya dan adat istiadat
masyarakat itu sendiri, maka secara langsung atau tidak langsung akan turut mengembangkan ekonomi
masyarakatnya.
Kedua, dengan pengembangan itu, maka budaya dan adat istiadat yang ada itu dapat dipertahankan
terus menerus. Sehingga tidak akan punah dimakan zaman. Generasi muda yang tadinya tidak tahu, dengan
adanya pelestarian budaya dan adat istiadat ini, mereka menjadi tahu dan kemudian meneruskannya. Ketiga,
dengan pemahaman generasi-generasi yang ada, termasuk generasi muda, maka kemandirian budaya dan
adat istiadat di wilayahnya tersebut dapat berkembang sendiri, mandiri dan profesional.
Secara umum, budaya masyarakat Brebes berasal dari akar kebudayaan Jawa dan Sunda. Untuk
kebudayaan Sunda, tersebar di di enam kecamatan, yakni Kecamatan Salem, sebagian di Kecamatan
Bantarkawung, Larangan, Banjarharjo, Ketanggungan dan Losari. Di beberapa kecamatan yang berbatasan
dengan kebudayaan Sunda, terdapat banyak asimilasi budaya Sunda dan Jawa. Bahkan sebagian
penduduknya juga menggunakan dua bahasa, bahasa Sunda dan Jawa.
Sementara kecamatan-kecamatan yang lain, di luar enam kecamatan tersebut, berasal dari
kebudayaan Jawa. Meski kebudayaan Jawa yang ada di Kabupaten Brebes dan sekitarnya berbeda akar
budaya yang ada di keraton-keraton Jawa, seperti Surakarta dan Yogyakarta. Perbedaan-perbedaan itu
terjadi akibat asimilasi budaya serta faktor perkembangan zaman yang terjadi. Seperti dalam penggunaan
bahasa Jawa, untuk wilayah keraton masih sangat ketat menggunakan tata krama berbahasa Jawa.
Karenanya, di wilayah keraton dan sekitarnya, masih ada bahasa Jawa Keratonan, bahasa Jawa Kromo,
bahasa Jawa Ngoko.
Sementara di Kabupaten Brebes, daerah Pantura, penggunaan bahasa Jawa Kromo sudah hampir
tidak digunakan, khususnya di kalangan masyarakat Pantura. Namun bukan berarti tradisi itu hilang sama
sekali, sebagian masih tetap dipertahankan dengan baik. Masyarakat Brebes dan sekitarnya, saat ini lebih
banyak menggunakan bahasa Jawa Brebesan, bahasa Jawa dialek Brebes.
Secara umum, budaya masyarakat Kabupaten Brebes tidak banyak berbeda dengan budaya Jawa
atau pun Sunda secara keseluruhan. Bahkan sebagai bagian dari Indonesia, budaya yang ada di Kabupaten
Brebes semakin memperkaya khasanah budaya yang ada. Kalau bangsa Indonesia secara umum dikenal
dengan budaya gotong royong, maka di Kabupaten Brebes budaya gotong royong juga menjadi budaya
sehari-hari. Secara khusus, ada beberapa budaya yang terkait dengan budaya gotong royong yang ada di
Kabupaten Brebes, antara lain:
1. Kerigan
Kerigan dalam bahasa Indonesia berarti kerja bakti bersama seluruh warga di suatu lingkungan,
seperti RT, RW atau suatu pedukuhan, bahkan hingga satu desa. Kerigan ini dilakukan oleh masyarakat
Kabupaten Brebes setiap hari-hari tertentu aau setiap saat kalau dirasa perlu. Seperti kerigan untuk
membersihkan saluran air dan sampah rumah tangga di lingkungan mereka masing-masing. Istilah
kerigan ini saat ini sudah jarang digunakan, masyarakat dan pemerintah lebih sering menggunakan istilah
kerja bakti, gerakan Jumat Bersih atau Minggu Bersih dan sebagainya.
Istilah kerigan ini mungkin perlu diingatkan kembali, agar masyarakat tidak kehilangan jati
dirinya sebagai masyarakat yang berbudaya. Dengan istilah yang berasal dari bahasa lokal, bahasa
Brebesan, maka semngat kegotongroyongan itu akan tetap terpelihara. Karena saat ini, ada indikasi
budaya individualisme di tengah-tengah masyarakat mulai tumbuh. Hal ini yang harus diperhatikan
pemerintah, maupun instansi dan lembaga terkait agar budaya ini tetap lestari dan berkembang. Antara
lain dengan terus mengadakan kerigan atau gotong royong secara rutin setiap pekan sekali, baik melalui
gerakan Jumat Bersih atau pun Minggu Sehat.
2. Sambatan
Sambatan, secara umum juga berarti gotong royong di antara sesama warga. Istilah sambatan ini lebih
mengarah kepada istilah tolong-menolong di antara sesama warga. Ketika ada seorang warga, yang
mempunyai pekerjaan atau pun hajatan, biasanya pemilik pekerjaan atau hajatan itu akan meminta
sambatan kepada tetangga-tetangga terdekatnya.
Misalnya saat seorang warga akan membangun sebuah rumah. Biasanya warga akan melakukan
sambatan saat membuat pondasi rumah. Sambatan ini, bisanya dilakukan secara bersama-sama atau
bergantian antar beberapa warga. Sambatan dilakukan tidak sampai sehari penuh, biasanya cukup
setengah hari saja, dari pagi hingga siang hari. Pemilik rumah atau yang nduwe gawe, cukup
menyediakan minuman dan makanan saja, istilah Brebesnya wedang dan panganan untuk mereka yang
disambat membantu pekerjaan tadi.
3. Sinoman
Sinoman atau senoman juga merupakan salah satu bentuk gotong royong yang hingga kini
masih menjadi budaya masyarakat Brebes. Dalam bahasa Indonesia, sinoman atau senoman berarti
membantu orang yang sedang punya hajat. Baik hajatan pengantenan atau pun sunatan.
Budaya sinoman/senoman ini umumnya dilakukan oleh warga yang masih memiliki unsur
kekerabatan, namun tidak menutup kemungkinan juga dilakukan oleh tetangga-tetangga dekatnya.
Sinoman dilakukan biasanya saat pemilik hajatan membuat kue atau pun makanan seperti berkat, adep-
adep atau yang lainnya. Mereka yang senoman itu, biasanya datang sendiri dan tidak dibayar. Sebagai
upah atau penghargaan atau sinoman/senoman yang dilakukan itu, biasanya pemilik hajat akan
memberikan kue atau makanan yang dibuat bersama-sama tersebut.
Budaya sinoman/senoman saat ini masih tumbuh subur di masyarakat pedesaan, khususnya
dilakukan kaum ibu/perempuan, meski kaum bapak/laki-laki juga ada yang sinoman juga. Sementara di
masyarakat perkotaan, budaya sinoman/senoman, sudah mulai berkurang.
Hal ini bukan karena tidak dikenal atau tidak diperkenankan lagi, tetapi karena saat ini tradisi
masyarakat di perkotaan saat menggelar hajatan sudah mulai bergeser. Karena sebagian besar
masyarakat perkotaan, sekarang ini memilih yang lebih praktis, yakni memesan makanan lewat orang
lain, seperti katering atau pun makanan yang sudah jadi dari toko. Acaranya pun digelar di gedung
pertemuan atau aula, yang mampu menampung tamu lebih banyak dalam jangka waktu bersamaan. Atau
juga karena kondisi rumah pemilik hajatan terlalu sempit dan tidak ada halaman atau pekarangan untuk
menerima tamu. Sehingga saat menggelar hajatan memilih untuk menyewa gedung atau aula yang lebih
luas. Di sini, saudara, tetangga atau rekan sejawat akan senoman dalam bentuk yang lain. Seperti
misalnya menjadi penerima tamu atau bidang yang lain.
4. Telitian
Gotong royong yang dilakukan masyarakat Brebes, tidak hanya dari segi fisik atau tenaga dan
jasa atau pemikiran saja. Namun juga dalam bentuk materi atau harta. Gotong royong ini, dilakukan saat
seorang warga memiliki hajatan atau sedang membangun rumah. Bantuan dalam bentuk materi atau
harta ini sering disebut dengan telitian, atau ada yang menyebutnya dengan sumbangan, tetapi pada
waktunya nanti harus bergantian.
Orang yang memiliki hajatan, selain membutuhkan tenaga untuk sinoman, juga membutuhkan
materi, seperti beras, gula dan kebutuhan lainnya saat hajatan. Biasanya, beberapa warga, yang dalam
jangka waktu ke depan, akan melakukan telitian. Tujuannya, selain membantu pemilik hajat, juga untuk
kepentingan dirinya sendiri. Karena dipastikan, saat diri sendiri menggelar hajatan, juga membutuhkan
materi dan harta yang banyak. Dan untuk memperingan biaya penyelenggaraan hajat itu, sebagian
warga melakukan telitian terlebih dahulu dengan pemilik hajat. Biasanya, pemilik hajat itu dimintai
pendapat terlebih dahulu, apakah akan telitian dengannya atau tidak. Telitian juga dilakukan warga yang
tengah membangun rumah.
5. Tilik
Kebudayaan dan tradisi masyarakat Brebes yang lain, yang hingga kini masih sangat kuat
adalah budaya tilik. Budaya tilik ini, hampir menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Brebes, baik yang
berasal dari wilayah Jawa maupun Sunda. Budaya ini hingga kini masih cukup kuat di tengah
masyarakat. Tilik, dalam bahasa Indonesia berarti menjenguk, menengok warga kepada warga yang lain.
Tujuan dari budaya tilik ini adalah menyambung tali silaturahmi, antara saudara, teman dan tetangga.
Budaya tilik ini, biasanya dilakukan saat ada warga yang melahirkan, istilahnya tilik bayi. Jika ada yang
sakit, maka istilahnya tilik orang sakit. Termasuk jika ada orang mau berangkat haji atau sepulang haji,
juga ada istilah tilik haji.
Adat Istiadat Masyarakat Brebes
Adat istiadat yang ada di tengah masyarakat Brebes, tidak lepas dari budaya dan tradisi yang sudah melekat
dalam keseharian masyarakatnya. Adat istiadat itu, selalu dijiwai semangat kegotongroyongan, kebersamaan
dan silaturahmi. Beberapa kegiatan adat istiadat yang ada di masyarakat, hingga kini masih tetap dilestarikan.
Seperti sedekah bumi, sedekah laut, halal bihalal, khaul dan adat-adat lainnya.
1. Sedekah Bumi
Sedekah bumi, berarti bersedekah atas hasil bumi atau pertanian yang diperolehnya. Sedekah
dilakukan setelah masa panen, biasanya setelah panen padi baru digelar sedekah bumi. Yang harus
digarisbawahi, bahwa sedekah bumi ini, bukan sedekah kepada bumi atau tanah. Pengertian sedekah
bumi ini sering disalah artikan, seolah-olah bumi atau tanah yang diberi sedekah, sehingga sering
menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Karenanya, pengertian sedekah bumi ini harus
dijelaskan dan latar belakang adat istiadat ini juga perlu disampaikan. Sehingga tidak sampai timbul
pengertian yang salah atas adat istiadat sedekah bumi.
Sedekah bumi ini, biasanya diwarnai dengan pentas wang kulit atau wayang golek. Lakon yang
dibawakan dalam pentas wayang ini, biasanya sesuai dengan maksud dan tujuan sedekah bumi
tersebut, yakni terkait dengan ungkapan syukur kepada Tuhan, atas hasil yang diperoleh dari bumi
Tuhan tersebut berupa hasil-hasil pertanian yang melimpah.
Pelaksanaan kegiatan sedekah bumi ini, biayanya dilakukan secara bergotong royong, iuran
seluruh warga, khususnya para petani. Lokasi digelarnya sedakah bumi, biasanya di pusat desa, seperti
di balai desa atau pun lapangan desa, atau juga di dekat pintu air yang merupakan pusat pengairan di
desa tersebut. Sebagian besar desa di Kabupaten Brebes masih menyelenggarakan tradisi ini. Namun
beberapa desa sudah jarang menggelar tradisi, karena mahalnya biaya penyelenggaraan. Sementara
kondisi ekonomi warga, khususnya petani masih memprihatinkan. Sehingga tradisi sedekah bumi ini tidak
digelar setiap tahun, tapi hanya dilakukan beberapa tahun sekali, tergantung situasi dan kondisi ekonomi
warganya.
Dalam pentas wayang itu, warga khususnya petani, berbondong-bondong memberikan
sedekah dalam bentuk ambeng untuk dimakan bersama-sama. Ambeng atau makanan bersama lauk-
pauknya diberikan saat pentas itu berlangsung. Selain pentas wayang, biasanya juga diisi dengan
pengajian, yakni dengan mengundang penceramah, baik kiai atau ustdaz untuk memberikan mauidhoh
khasanah, pelajaran yang baik.
2. Sedekah Laut
Sedekah laut tidak berbeda jauh dengan sedekah bumi. Pengertian sedekah laut adalah
bersedakah atas hasil laut yang diperoleh para nelayan. Pengertian sedekah laut, saat ini juga ada
kesalahpahaman, di mana sedekah laut sering dianggap bersedekah kepada laut. Antara lain dengan
melarung kepala kerbau, sesaji dan beberapa makanan.
Sedekah laut ini, juga biasanya digelar saat petani menikmati hasil tangkapan yang bagus.
Mereka bergotong royong menyisihkan sebagian hasil dari usahanya di laut untuk bersedekah bersama-
sama. Seperti halnya sedekah bumi, para nelayan itu membuat ambeng atau tumpeng untuk di makan
bersama. Salah satunya dengan memotong kerbau, dan potongan kepala kerbau tersebut dilarung ke
tengah laut. Sementara daging kerbaunya dimakan bersama-sama.
Dalam perkembangannya, tradisi sedekah laut ini mulai bergeser di beberapa wilayah pusat
nelayan. Yang tadinya merupakan sedekah, ungkapan rasa syukur para nelayan atas hasil tangkapan
lautnya, kini berubah menjadi pesta laut. Di mana nilai-nilai religius dari pelaksanaan sedekah laut itu
mulai hilang. Yang muncul justru terkesan pesta pora, atas apa yang diperoleh selama di laut. Mereka
berpesta pora, bersenang-senang sendiri. Sejumlah hiburan pun menjadi ajang pesta pora tersebut,
seperti hiburan musik dangdut, dan sejenisnya.
Tradisi sekedah laut di Kabupaten Brebes yang masih aktif hingga saat ini antara lain di Desa
Kaliwlingi, Kecamatan Brebes, Desa Kluwut, Kecamatan Bulakamba, Desa Pengaradan dan Desa
Krakahan, Kecamatan Tanjung, Desa Prapag, Kecamatan Losari. 
3. Khaul
Khaul berarti memperingati satu tahun kematian seseorang. Tradisi ini merupakan salah
satu tradisi yang dikembangkan umat Islam di Indonesia, termasuk di Kabupaten Brebes. Khaul biasanya
dilakukan untuk memperingati kematian tokoh-tokoh masyarakat, seperti kiai dan ulama besar yang
diakui oleh masyarakat.  
Tradisi khaul itu yakni dengan menggelar pengajian, yang sebelumnya diisi dengan bacaan-
bacaan tahlil, yang diikuti seluruh peserta yang hadir. Tempat pelaksanaan khaul biasanya di kompleks
makam orang yang dikhauli tersebut atau di rumah keluarga, yang biasanya juga ada pesantren.   Tradisi
khaul ini, juga ada yang diselenggarakan bersama-sama warga satu desa. Warga bergotong royong,
iuran biaya penyelenggaraan khaul bersama-sama tersebut. Sehingga bukan hanya seseorang saja yang
dikhauli, tapi seluruh warga yang telah meninggal di desa tersebut dikhauli bersama, yakni dengan
menggelar tahlil bersama dan dilanjutkan dengan tausiyah keagamaan.
4. Manten Tebu
Manten tebu, bukan berati pesta pernikahan seseorang dengan latar belakang tebu. Tetapi
merupakan upacara atau tradisi yang dilakukan sebelum penggilingan tebu di pabrik gula ini dimulai.
Disebut manteh tebu, lantaran dalam tradisi itu ada iriang-iringan tebu, yang dirias seperti pengatin, ada
yang dirias seperti pengantin perempuan dan ada yang dirias seperti pengantin laki-laki.
Tradisi pengantin tebu ini hanya ada di daerah yang memiliki pabrik tebu. Di Kabupaten
Brebes, tradisi ini masih berlangsung di Pabrik Gula (PG) Jatibarang. Sementara PG Banjaratma, yang
sudah gulung tikar, otomatis tidak ada lagi tradisi manten tebu. Tradisi manten tebu ini, bertujuan agar
selama proses penggilingan tebu menjadi gula, berjalan lancar tanpa kendala. Selain itu, juga diharapkan
hasil rendemen tebunya juga baik, sehingga petani bisa menghasilkan pendapatan yang baik pula.
5. Ronggeng Kaligua
Ronggeng Kaligua adalah tradisi yang dilakukan saat ulang tahun PTPN IX Kaligua. Dalam
ulang tahun itu, selalu ditampilkan tarian ronggeng. Di mana tarian ronggeng ini, dulunya saat perkebunan
Kaligua didirikan, dimaksudkan untuk menghibur para pekerja. Sehingga para pekerja waktu itu, tidak
bosan dan malas-malasan dalam bekerja, karena sudah dihibur dengan tarian ronggeng.
6. Puputan Rumah
Puputan rumah berarti tanda pembangunan rumah itu telah selesai dan siap ditempati
pemiliknya. Dalam pelaksanaannya, puputan biasanya dilakukan saat pemilik rumah itu akan mempunyai
hajatan. Sebelum hajatan itu digelar, rumah yang belum digelar puputan, akan mengadakan puputan
rumah terlebih dahulu. Namun bagi yang memiliki harta yang cukup, biasanya puputan rumah dilakukan
saat rumah itu ditempati. Sehingga suatu saat akan digelar hajatan di rumah tersebut, tidak perlu lagi
digelar puputan rumah.
7. Upacara Adat Ngasa
Upacara adat Ngasa Jalawastu di Desa Cisereuh, Kecamatan Ketanggungan ini merupakan
salah satu adat peninggalan Jaman Hindu. Di mana upacara itu diselenggarakan setiap Selasa Kliwon,
mangsa kesanga, dan hanya digelar satu tahun sekali. Upacara Ngasa sendiri sebagai wujud rasa syukur
yang ditujukan kepada Batara Windu Buana. Yakni dengan membawa hasil panen ke suatu tempat, yang
disebut Gedong Pesarean. Ada beberapa catatan, selain peninggalan tradisi dan adat Hindu yang masih
dilestarikan itu, yakni pertama masyarakatnya sudah beragama Islam. Masyarakatnya berbahasa Sunda,
kemudian bangunan yang ada di kawasan tersebut tidak boleh menggunakan semen. Jika dilanggar, bisa
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Selain di Jalawastu, upacara adat Ngasa juga digelar di Desa Gandoang Kecamatan Salem.
Upacara adat ini juga sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda, yang diberikan Kementerian
Pendidikan dan Kebuadayaan Nasional pada tahun 2019. 

Anda mungkin juga menyukai