Menurut Abdullah, local wisdom, atau kearifan lokal, adalah kekayaan budaya yang lahir dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yang diyakini sebagai unsur terpenting dalam mempererat hubungan sosial di kehidupan masyarakat tersebut. Wujud kebudayaan kearifan lokal itu bermacam-macam, mulai dari kebiasaan masyarakat, adat istiadat, hingga ritual keagamaan. Namun seiring berkembangnya zaman dan teknologi, kearifan lokal yang sejak dulu telah melekat pada diri masyarakat, kini kian tergerus oleh arus globalisasi. Kearifan lokal yang masih terjaga eksistensinya hendaknya selalu dilestarikan dan dikembangkan, seperti di Kota Surabaya contohnya, kota di mana Saya lahir dan bertumbuh. Saya tinggal di sebuah kecamatan bernama Kecamatan Lakarsantri yang lokasinya berada di Kota Surabaya bagian barat. Sebenarnya cukup disayangkan bahwa kearifan lokal seperti pagelaran wayang yang dulu selalu diadakan setiap Malam Satu Suro, kini sudah jarang terlihat. Namun harus patut disyukuri bahwa beberapa kearifan lokal seperti tradisi turun tanah dan sedekah bumi masih senantiasa diperingati dan dirayakan oleh masyarakat Kota Surabaya, khusunya warga Kecamatan Lakarsantri. Berikut ini Saya akan membahas kedua kearifan lokal tersebut serta kaitannya dengan Dasar Negara Indonesia, yaitu Pancasila. Yang pertama yaitu, Tradisi Turun Tanah. Tradisi turun tanah, atau tedak sinten, merupakan tradisi orang Jawa untuk bayi yang memasuki usia tujuh bulan berdasarkan hitungan kalender Jawa, sehingga apabila dihitung menurut kalender Masehi, tradisi ini dilaksanakan pada bulan ke delapan setelah waktu kelahiran. Adapun makna diselenggarakan tradisi ini adalah sebagai penghormatan kepada bumi karena bumi-lah tempat di mana seorang anak berpijak untuk pertama kalinya. Tradisi tedak sinten memiliki beberapa rangkaian, dimulai dari penginjakan makanan bernama “tetel” 7 warna oleh si bayi. “Tetel” di sini melambangkan kehidupan si bayi kelak, dan warna-warna tetel sebanyak tujuh tersebut menggambarkan corak kehidupan yang akan dihadapi si bayi. Selanjutnya adalah prosesi naik tangga. Di sini, bayi akan dituntun untuk menaiki tangga yang umumnya terbuat dari bambu, namun di masa modern ini orang-orang menggunakan kayu sebagai pengganti bambu. Dengan dilakukannya prosesi naik tangga, anak diharapkan memiliki jiwa kstaria layaknya tokoh Pandhawa yaitu Arjuna. Prosesi selanjutnya adalah kurungan. Di sini, bayi akan di masukkan ke dalam kurungan yang telah dihias warna-warni. Di dalam kurungan ini terdapat beberapa macam barang yang dipercaya menjadi clue mengenai hobi, profesi, atau kesukaan bayi di masa depan. Barang-barang tersebut di antaranya adalah buku, pensil, penggaris, kacamata, peralatan make up, dan lain-lain. Nantinya, si bayi akan memilih sendiri salah satu barang di dalam kurungan tersebut. Dan rangkaian terakhirnya adalah dengan memandikan bayi di dalam air rendaman bunga dan memakaikannya baju baru. Makanan tradisional yang disuguhkan dalam tradisi ini tidak hanya tetel saja. Pihak keluarga biasanya membuat tumpeng untuk dimakan beramai-ramai. Pihak keluarga juga mengundang tetangga-tetangga dan warga sekitar untuk turut merayakan tradisi turun tanah ini sehingga tali silaturrahmi antar masyarakat di suatu desa tetap terjalin dan senantiasa berhubungan baik. Tak hanya itu, anak-anak warga juga beramai-ramai memeriahkannya, sejenak anak-anak milenial tersebut terlepas dari gadget-nya untuk berkontribusi melestarikan budaya yang telah lama ada. Secara lebih konkret, tradisi tedak sinten baru saja dilaksanakan oleh keluarga dari kakak sepupu Saya. Buah hatinya yang pada bulan Desember memasuki usia delapan bulan, telah melakukan serangkaian acara dalam tradisi tedak sinten. Berikut ini dokumentasinya, Apabila ditinjau berdasarkan nilai-nilai Pancasila, pelaksanaan tradisi tedak sinten merupakan pengamalan sila Pancasila sila ketiga, yakni Persatuan Indonesia. Pokok nilai pada sila ketiga adalah tentang mencintai tanah air dan bangsa. Sikap seseorang dalam melestarikan kearifan lokal atau budaya daerahnya merupakan sikap ingin mempertahankan eksistensi ciri khas yang dimiliki oleh suatu negara, yang artinya seseorang tidak akan rela apabila kebudayaan tersebut hilang atau lenyap begitu saja seiring berkembangnya kehidupan modern. Seseorang bergitu mencintai pernak-pernik yang menjadi corak keberagaman nusantara. Kemudian, berkumpulnya warga setempat di rumah pihak keluarga penyelenggara tradisi tedak sinten merupakan suatu aksi dalam mempererat kerukunan antar masyarakat Indonesia, sehingga diharapkan rasa persatuan tetap melekat pada diri masing-masing individu. Jenis kearifan lokal kedua yang masih senantiasa berkembang di lingkup wilayah Kecamatan Lakarsantri adalah Tradisi Sedekah Bumi. Sedekah bumi, atau tegal desa, adalah suatu upacara adat orang Jawa sebagai perwujudan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan segala hasil bumi melalui bumi dan tanah di nusantara. Tradisi ini dilaksanakan setiap satu tahun sekali berupa pesta rakyat yang diselenggarakan di balai desa atau di suatu tempat yang dianggap sakral bagi penduduk desa. Di balai desa tersebut, para warga berkumpul dan mempersiapkan sebuah tumpeng. Namun sebelum itu, sesepuh desa mendoakan tumpeng sebelum diserahkan kembali kepada warga untuk dimakan bersama. Karena semakin modernnya zaman, tradisi sedekah bumi, di Kecamatan Lakarsanti khusunya, telah mengalami modifikasi atau pembaharuan. Tidak ada lagi sesepuh yang berperan dalam mendoakan segala hidangan maupun hasil bumi yang ada, hal ini dikarenakan sesepuh Desa Lakarsantri yang asli sudah lama meninggal sehingga tradisi tersebut kini diwarnai dengan karnaval keliling desa. Dengan adanya karnaval, acara sedekah bumi menjadi sangat meriah. Beberapa hasil bumi seperti terong, kacang panjang, kentang, serta umbi-umbian, disusun secara menjulang dan dihantar keliling desa. Para warga yang turut meramaikan karnaval ini secara serentak menggunakan kebaya atau pakaian adat daerah sambil menari dan menyanyi mengikuti alunan lagu yang dikumandangkan. Tak jarang karnaval ini sering membuat kemacetan di jalan raya hingga beberapa kilometer panjangnya. Namun kemacetan ini justru membuat pengguna jalan tertarik dan beranjak untuk mengabadikan momen langka yang pada saat itu terjadi. Rangkaian acara sedekah bumi ini diakhiri dengan pembagian hasil sedekah bumi kepada masyarakat desa. Apabila ditinjau dari nilai-nilai Pancasila, penyelenggaraan tradisi sedekah bumi ini merupakan pengamalan nilai Pancasila, sila ketiga, keempat, dan kelima. Disebut sebagai pengamalan sila ketiga karena masyarakat desa masih senantiasa melestarikan kebudayaan daerah dengan tetap menjaga kerukunan antar warga. Berkumpulnya warga dalam tradisi sedekah bumi merupakan waktu yang tepat untuk mempererat tali silaturrahmi yang dapat meningkatkan persatuan dan kesatuan. Selain itu, sebelum diadakannya tradisi ini, para pejabat desa beserta warga yang bersangkutan terlebih dahulu melakukan rapat atau musyawarah bersama dalam membahas perencanaan tradisi ini, di mana musyawarah ini merupakan pengamalan Pancasila sila keempat. Kemudian, seperti yang telah Saya tulis pada rangkaian akhir acara, warga desa berhak mendapatkan bagian hasil bumi yang telah dikumpulkan sebagai pemenuhan kebutuhannya sehingga keadilan pada diri masing-masing warga dapat terjunjung dengan baik sebagai pengamalan Pancasila sila kelima. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa melestarikan kearifan lokal yang sudah ada sejak zaman dulu sangatlah penting. Dengan menjaga eksistensinya, identitas nasional bangsa Indonesia tidak akan pernah luntur dan tergerus oleh majunya zaman dan teknologi. Sebagai generasi penerus, remaja dan mahasiswa harus bisa berkontribusi dalam upaya melestarikan kearifan lokal tersebut.