Anda di halaman 1dari 4

Tugas Pancasila

Rizka Amelia Dwi Safira


03311940000044/Teknik Geomatika

Eksistensi Kearifan Lokal di Kota Surabaya


Menurut Abdullah, local wisdom, atau kearifan lokal, adalah kekayaan budaya yang
lahir dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yang diyakini sebagai unsur terpenting
dalam mempererat hubungan sosial di kehidupan masyarakat tersebut. Wujud kebudayaan
kearifan lokal itu bermacam-macam, mulai dari kebiasaan masyarakat, adat istiadat, hingga
ritual keagamaan. Namun seiring berkembangnya zaman dan teknologi, kearifan lokal yang
sejak dulu telah melekat pada diri masyarakat, kini kian tergerus oleh arus globalisasi.
Kearifan lokal yang masih terjaga eksistensinya hendaknya selalu dilestarikan dan
dikembangkan, seperti di Kota Surabaya contohnya, kota di mana Saya lahir dan bertumbuh.
Saya tinggal di sebuah kecamatan bernama Kecamatan Lakarsantri yang lokasinya berada di
Kota Surabaya bagian barat. Sebenarnya cukup disayangkan bahwa kearifan lokal seperti
pagelaran wayang yang dulu selalu diadakan setiap Malam Satu Suro, kini sudah jarang
terlihat. Namun harus patut disyukuri bahwa beberapa kearifan lokal seperti tradisi turun
tanah dan sedekah bumi masih senantiasa diperingati dan dirayakan oleh masyarakat Kota
Surabaya, khusunya warga Kecamatan Lakarsantri. Berikut ini Saya akan membahas kedua
kearifan lokal tersebut serta kaitannya dengan Dasar Negara Indonesia, yaitu Pancasila.
Yang pertama yaitu, Tradisi Turun Tanah. Tradisi turun tanah, atau tedak sinten,
merupakan tradisi orang Jawa untuk bayi yang memasuki usia tujuh bulan berdasarkan
hitungan kalender Jawa, sehingga apabila dihitung menurut kalender Masehi, tradisi ini
dilaksanakan pada bulan ke delapan setelah waktu kelahiran. Adapun makna diselenggarakan
tradisi ini adalah sebagai penghormatan kepada bumi karena bumi-lah tempat di mana
seorang anak berpijak untuk pertama kalinya. Tradisi tedak sinten memiliki beberapa
rangkaian, dimulai dari penginjakan makanan bernama “tetel” 7 warna oleh si bayi. “Tetel”
di sini melambangkan kehidupan si bayi kelak, dan warna-warna tetel sebanyak tujuh
tersebut menggambarkan corak kehidupan yang akan dihadapi si bayi. Selanjutnya adalah
prosesi naik tangga. Di sini, bayi akan dituntun untuk menaiki tangga yang umumnya terbuat
dari bambu, namun di masa modern ini orang-orang menggunakan kayu sebagai pengganti
bambu. Dengan dilakukannya prosesi naik tangga, anak diharapkan memiliki jiwa kstaria
layaknya tokoh Pandhawa yaitu Arjuna. Prosesi selanjutnya adalah kurungan. Di sini, bayi
akan di masukkan ke dalam kurungan yang telah dihias warna-warni. Di dalam kurungan ini
terdapat beberapa macam barang yang dipercaya menjadi clue mengenai hobi, profesi, atau
kesukaan bayi di masa depan. Barang-barang tersebut di antaranya adalah buku, pensil,
penggaris, kacamata, peralatan make up, dan lain-lain. Nantinya, si bayi akan memilih sendiri
salah satu barang di dalam kurungan tersebut. Dan rangkaian terakhirnya adalah dengan
memandikan bayi di dalam air rendaman bunga dan memakaikannya baju baru.
Makanan tradisional yang disuguhkan dalam tradisi ini tidak hanya tetel saja. Pihak
keluarga biasanya membuat tumpeng untuk dimakan beramai-ramai. Pihak keluarga juga
mengundang tetangga-tetangga dan warga sekitar untuk turut merayakan tradisi turun tanah
ini sehingga tali silaturrahmi antar masyarakat di suatu desa tetap terjalin dan senantiasa
berhubungan baik. Tak hanya itu, anak-anak warga juga beramai-ramai memeriahkannya,
sejenak anak-anak milenial tersebut terlepas dari gadget-nya untuk berkontribusi
melestarikan budaya yang telah lama ada.
Secara lebih konkret, tradisi tedak sinten baru saja dilaksanakan oleh keluarga dari
kakak sepupu Saya. Buah hatinya yang pada bulan Desember memasuki usia delapan bulan,
telah melakukan serangkaian acara dalam tradisi tedak sinten. Berikut ini dokumentasinya,
Apabila ditinjau berdasarkan nilai-nilai Pancasila, pelaksanaan tradisi tedak sinten
merupakan pengamalan sila Pancasila sila ketiga, yakni Persatuan Indonesia. Pokok nilai
pada sila ketiga adalah tentang mencintai tanah air dan bangsa. Sikap seseorang dalam
melestarikan kearifan lokal atau budaya daerahnya merupakan sikap ingin mempertahankan
eksistensi ciri khas yang dimiliki oleh suatu negara, yang artinya seseorang tidak akan rela
apabila kebudayaan tersebut hilang atau lenyap begitu saja seiring berkembangnya kehidupan
modern. Seseorang bergitu mencintai pernak-pernik yang menjadi corak keberagaman
nusantara. Kemudian, berkumpulnya warga setempat di rumah pihak keluarga penyelenggara
tradisi tedak sinten merupakan suatu aksi dalam mempererat kerukunan antar masyarakat
Indonesia, sehingga diharapkan rasa persatuan tetap melekat pada diri masing-masing
individu.
Jenis kearifan lokal kedua yang masih senantiasa berkembang di lingkup wilayah
Kecamatan Lakarsantri adalah Tradisi Sedekah Bumi. Sedekah bumi, atau tegal desa, adalah
suatu upacara adat orang Jawa sebagai perwujudan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha
Esa yang telah melimpahkan segala hasil bumi melalui bumi dan tanah di nusantara. Tradisi
ini dilaksanakan setiap satu tahun sekali berupa pesta rakyat yang diselenggarakan di balai
desa atau di suatu tempat yang dianggap sakral bagi penduduk desa. Di balai desa tersebut,
para warga berkumpul dan mempersiapkan sebuah tumpeng. Namun sebelum itu, sesepuh
desa mendoakan tumpeng sebelum diserahkan kembali kepada warga untuk dimakan
bersama. Karena semakin modernnya zaman, tradisi sedekah bumi, di Kecamatan Lakarsanti
khusunya, telah mengalami modifikasi atau pembaharuan. Tidak ada lagi sesepuh yang
berperan dalam mendoakan segala hidangan maupun hasil bumi yang ada, hal ini
dikarenakan sesepuh Desa Lakarsantri yang asli sudah lama meninggal sehingga tradisi
tersebut kini diwarnai dengan karnaval keliling desa.
Dengan adanya karnaval, acara sedekah bumi menjadi sangat meriah. Beberapa hasil
bumi seperti terong, kacang panjang, kentang, serta umbi-umbian, disusun secara menjulang
dan dihantar keliling desa. Para warga yang turut meramaikan karnaval ini secara serentak
menggunakan kebaya atau pakaian adat daerah sambil menari dan menyanyi mengikuti
alunan lagu yang dikumandangkan. Tak jarang karnaval ini sering membuat kemacetan di
jalan raya hingga beberapa kilometer panjangnya. Namun kemacetan ini justru membuat
pengguna jalan tertarik dan beranjak untuk mengabadikan momen langka yang pada saat itu
terjadi. Rangkaian acara sedekah bumi ini diakhiri dengan pembagian hasil sedekah bumi
kepada masyarakat desa.
Apabila ditinjau dari nilai-nilai Pancasila, penyelenggaraan tradisi sedekah bumi ini
merupakan pengamalan nilai
Pancasila, sila ketiga,
keempat, dan kelima. Disebut
sebagai pengamalan sila
ketiga karena masyarakat desa
masih senantiasa melestarikan
kebudayaan daerah dengan
tetap menjaga kerukunan
antar warga. Berkumpulnya warga dalam tradisi sedekah bumi merupakan waktu yang tepat
untuk mempererat tali silaturrahmi yang dapat meningkatkan persatuan dan kesatuan. Selain
itu, sebelum diadakannya tradisi ini, para pejabat desa beserta warga yang bersangkutan
terlebih dahulu melakukan rapat atau musyawarah bersama dalam membahas perencanaan
tradisi ini, di mana musyawarah ini merupakan pengamalan Pancasila sila keempat.
Kemudian, seperti yang telah Saya tulis pada rangkaian akhir acara, warga desa berhak
mendapatkan bagian hasil bumi yang telah dikumpulkan sebagai pemenuhan kebutuhannya
sehingga keadilan pada diri masing-masing warga dapat terjunjung dengan baik sebagai
pengamalan Pancasila sila kelima.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa melestarikan kearifan lokal yang
sudah ada sejak zaman dulu sangatlah penting. Dengan menjaga eksistensinya, identitas
nasional bangsa Indonesia tidak akan pernah luntur dan tergerus oleh majunya zaman dan
teknologi. Sebagai generasi penerus, remaja dan mahasiswa harus bisa berkontribusi dalam
upaya melestarikan kearifan lokal tersebut.

Anda mungkin juga menyukai