Anda di halaman 1dari 36

DAFTAR ISI

COVER

DAFTAR ISI...................................................................................................................... 1

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 2

1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 2

1.2 Tujuan ............................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Ritual Penti Pada Masyarakat Desa Ndehes..................................................3

2.2 Suku Sabu Ritual Bangaliwu........................................................................11

2.3 Sistem Komunikasi di Rote............................................................................14

2.4 Sistem komunikasi di TTS ............................................................................19


2.5 Sistem komunikasi di Sumba.........................................................................23

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 34

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 35

BAB I

1
PENDAHULUAN

1. 1 Latar belakang

Indonesia memiliki begitu beragam suku, dan adat istiadat yang memiliki kegiatan
ritual adat yang sampai saat ini masih di lestarikan oleh para Tua-tua Adat di suatu wilayah
atau Daerah tertentu. Komunikasi tradisional merupakan bagian dari ruang lingkup kajian
komunikasi. Secara umum juga dimaksudkan sebagai bentuk komunikasi yang menekankan
proses penyampaian pesan melalui berbagi media komunikasi yang bersifat tradisi atau
sederhana, yang digunakan oleh sekelompok masyarakat tertentu yang berbeda dari
masyarakat lainnya. Komunikasi tradisional ini juga merupakan gaya dan cara berkomunikasi
yang berlangsung sama secara turun-temurun pada suatu masyarakat tertentu yang berbeda
dari masyarakat lainnya disebabkan oleh ciri-ciri khas sistem masyarakat dan tata nilai
kebudayaannya yang berbeda.

Upacara adat merupakan salah satu cara menelurusi jejak sejarah masyarakat
Indonesia pada masa praaksara dapat kita jumpai pada upacara-upacara adat. Upacara itu
sendiri adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terkait pada aturan tertentu
berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan. Dengan demikian, setiap daerah memiliki
upacara adat sendiri-sendiri.

Kegiatan ritual merupakan suatu kegiatan yang sering dilakukan oleh suatu Kelompok
Masyarakat atau Komunitas tertentu, tetapi kegiatan ritual juga merupakan suatu kegiatan
yang sering di lakukan oleh orang-orang tertentu yang suka menyembah dan memuja
penguasa gelap, hal ini di lakukan oleh orang-orang tersebut sebagai suatu bentuk
komunikasi mereka dengan para penguasa gelap yang mereka puja atau sembah. Oleh karena
itu dibuat makalah mengenai sistem komunikasi yang berhubungan dengan kedokteran
hewan.

1.2 Tujuan

1. Mengetahui sistem komunikasi yang berhubungan dengan kedokteran hewan dari berbagai
daerah yang ada di Nusa Tenggara Timur

BAB II

2
PEMBAHASAN

2.1 Ritual Penti Pada Masyarakat Desa Ndehes

Kecamatan Wae Ri’i, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur

Sistem religi yang tertera dalam kebudayaan amat kompleks, dan berkembang dengan
berbagai macam paham tentang sistem religi berdasarkan kepercayaan atau situasi sosial
masyarakat tersebut. Ada empat unsur pokok dari religi pada umumnya, ialah: (a) emosi
keagamaan atau getaran jiwa yang menyebabkan manusia menjalankan kelakuan keagamaan;
(b) sistem kepercayaan atau bayangan-bayangan manusia tentang bentuk dunia, alam, alam
gaib, hidup, maut, dan sebagainya; (c) sistem upacara keagamaan yangbertujuan mencari
hubungan dengan dunia gaib berdasarkan atas sistem kepercayaan; (d) kelompok keagamaan
atau kesatuan-kesatuan sosial yang mengkonsepsikan dan mengaktifkan religi beserta sistem
upacara-upacara keagamaannya(Koentjaraningrat dalam Ghazali,2011:6).

Upacara penti memiliki makna yang luhur, selain sebagai ucapan syukur kepada Tuhan
atau Mori Kraeng yang menjadi tokoh dewa, yang dalam ilmu antropologi sering disebut
dewa pembawa adat atau cultural hero dan leluhur atas hasil panen, juga sebagai medium
rekonsiliasi, atau perdamaianantar warga kampung, dan sebagai wadah utama proses
pemaknaan jati diri serta sebuah potret realita akan betapa pentingnya sebuah rasa syukur
kepada yang Maha Pencipta atau Mori Jari Dedek dan leluhur atau Empo.

Hubungan dengan Sang Pencipta dan leluhur berwujud pada upacara doa dan
persembahan yang diberikan, berupa hewan kurban, seperti kerbau dan sapi. Kepada para
leluhur (empo), tak lupa pula ucapan syukur berupa persembahan yang dianggap pantas

3
seperti hewan kurban (ayam putih atau manuk bakok), atas tanah (lingko) yang telah
diwariskan.

Hubungan antar sesama manusia terlihat dari salah satu makna dari ritual penti itu sendiri,
dimana dimensi sosial dari perayaan penti, yakni memperkokoh persatuan dan kesatuan wa’u
(clan/keturunan langsung dari ayah(patrilineal)), panga (sub-clan/para kepala keluarga dan
kerabat), ase kae (saudara dan saudari), anak rona (pemberi istri), anak wina (penerima istri).
Penti juga merupakan ajang pertemuan bagi suatu keluarga besar (wa’u), yang masih
memiliki hubunga darah atau genetis.

Perayaan penti juga sebagai wadah, untuk mengekspresikan rasa seni dan menjalin, tali
kekerabatan antar warga kampong. Sistem kekerabatan yang terjalin erat pada kehidupan
masyarakat Manggarai, lumrahnya bisa saja terjadi sebuah clash atau sebuah pertikaian yang
dapat memecah belah ikatan tersebut. Penti, sebagai sebuah sarana rekonsiliasi bisa menjadi
sebuah sarana rekonstruksi untuk memperbaiki hubungan dengan sesama dan menguatkan
makna ikatan suatu komunitas adat masyarakat Manggarai.

Penti merupakan sebuah unsur penting dalam konsep religi masyarakat Manggarai.Penti
sebagai ucapan syukur kepada Tuhan dan leluhur atau empo, yang dianggap menempati alam
sekeliling manusia.Kepercayaan terhadap terhadap penguasa alam tertinggi yang dianggap
sebagai pencipta, yang ada di dongeng-dongeng khusus bagaimana Dia menciptakan bumi,
manusia, dunia roh, binatang, dan tumbuhan (Peursen, 1988, 38). Keterikatan manusia
dengan Tuhan dan leluhur yang akan selalu ada dan wajib dilestarikan oleh anak cucu dalam
konsep ritual penti (Dagur, 1997, 38).

Proses Ritual Penti Di Desa Ndehes

1. Upacara pra-Penti:

Podo Tenggeng (membuang kesialan atau kekurangan). Upacara ini dilakukan pada pagi
hari yang mana malamnya acara Penti dilakukan.Tujuan upacara ini adalah untuk membuang
segala kekurangan agar dalam tahun berikutnya semua bencana kelaparan dijauhkan atau
dibuang.Hewan persembahan adalah seekor babi kecil dan seekor ayam kecil yang berbulu
hitam.

2. Upacara Penti.
a. Barong Wae Teku

4
Semua keluarga berkumpul di rumah adat (gendang).Kemudian secara
beramai-ramai menuju mata air. Bahan yang perlu disiapkan adalah ayam,
telur mentah, sirih pinang, dan kapur. Makna doa dan pemberian persembahan
di mata air minum adalah untuk menunjukan rasa terima kasih atas air yang
berlimpah yang memenuhi kebutuhan masyarakat Desa Ndehes seperti air
minum dan untuk pengairan ke sawah serta kebutuhan hidup lainnya.
b. Barong Compang
Barong compang : upacara di compang (kumpulan batu di tengah kampung
yang digunakan sebagai tempat pemujaan roh-roh), yang terletak di tengah-
tengah kampung. Bahan persembahannya yang disajikan antara lain: sirih
pinang, telur mentah sebagai tuak, dan ayam. Pemberian sirih dan telur mentah
sebagai tuak untuk mengundang roh-roh yang menjaga compang supaya hadir
di rumah adat nanti dalam upacara Penti. Ritual Barong Compang masyarakat
desa Ndehes, hanya boleh dilakukan oleh pemangku adat seperti tu’a golo,
tu’a panga, tongka, serta perwakilan dari setiap kilo kiranya dilakukan di dekat
wae teku karena di situ merupakan titik utama yang diyakini merupakan
tempat kehadiran nenek moyang.
c. Libur kilo
Libur kilo, dibuat untuk membangun kembali hubungan yang telah retak dan
rusak.Pertama, rekonsiliasi adalah inisiatif yang diupayakan oleh pihak yang
masih hidup.Kesadaran rekonsiliatif datangdari kesulitan hidup yang sedang
dihadapi bagi semua pihak keluarga.Kedua, relasi yang benar di antara orang
(anggota keluarga) yang masih hidup menjadi salah satu prasyarat pemberian
restu dari leluhur. Leluhur akan menyatakan restunya, bila semua saudara-
saudari, orang tua dan semua keluarga telah bersepakat dalam menyatakan
intensi dalam komitmen membangun kembali hidup yang benar.
d. Wae Owak
Wae Owak yaitu upacara persembahan masing-masing keluarga, yang letak
sesajiannya ditempatkan pada tempat khusus, sesuai kebiasaan tiap keluarga
(kilo); ada yang dalam rumah, ada yang di luar rumah pada batu compang
khusus atau pada pohon tertentu.Bahan persembahannya seekor ayam.
e. Tudak penti (upacara puncak)
Biasanya pada upacara puncak, kerbau digunakan sebagai persiapan pesta
syukuran.Mengingat banyaknya warga kampung yang terlibat, maka hampir

5
semua masyarakat menyumbang hasil panen atau ternaknya untuk dijadikan
makanan pada saat syukuran puncak nantinya.
Fungsi Upacara Penti
1. Mohon Kesuburan Tanah Ke Hadapan Mori Jari Dedek.
Upacara penti merupakan, ungkapan sekaligus doa yang dipanjatkan oleh
masyarakat Ndehes kepada leluhur agar diberi kesuburan pada tanah tempat mereka
bercocok tanam. Masyarakat ndehes percaya bahwa semua yang mereka terima
merupakan hadiah dari Mori Kraeng atau Mori Jari Dedek, jadi dalam ritual penti,
masyarakat Ndehes mengucapkan terimakasih kepada Mori Jari Dedek untuk berkat
yang mereka dapat selama masa awal penanaman, hingga masa panen. Melalui media
Penti, masyarakat Ndehes, kembali memohon pada Mori Kraeng agar tanah mereka
diberi kesuburan, sehingga pada tahun berikutnya mereka kembali dapat bersyukur
melalui acara penti.
Ritual penti bagi masyarakat Ndehes merupakan sarana untuk mengucapkan
terimakasih, rasa hormat, dan cinta atas berkat yang diberikan Mori Jari Dedek dalam
bentuk hasil panen. Keterikatan dengan alam yang diberikan Mori Jari Dedek adalah
dijaga dengan cara menjaga kelestarian alam untuk kelangsungan hidup masyarakat
Ndehes. Menyadarkan diri masyarakat Ndehes, Manggarai sendiri menyangkut makna
bersyukur.Ternyata betapa pentingnya bersyukur terhadap Empo (leluhur) dan Mori
Kraeng (Wujud Tertinggi).
2. Upacara Penti sebagai Solidaritas Sosial
Koentjaraningrat (2002:118) menyatakan bahwa masyarakat adalah kesatuan
hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang
bersifat kontinu dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Konsep solidaritas sosial merupakan konsep sentral Emile Durkheim (1858-
1917) dalam mengembangkan teori sosiologi.Durkheim menyatakan bahwa
solidaritas sosial merupakan suatu keadaan hubungan antara individu dan/atau
kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut
bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas sosial dapat
diartikan sebagai wujud kepedulian antar sesama kelompok ataupun individu secara
bersama yang menunjukkan pada suatu keadaan hubungan antara indvidu dan atau
kelompok yang di dasarkan pada persamaan moral, kolektif yangsama, dan
kepercayaan yang dianut serta di perkuat oleh pengalaman emosional.
3. Ritual Penti sebagai Integrasi Sosial

6
Menurut Durkheim proses integrasi sosial di dalam masyarakat dapat berjalan
dengan baik apabila masyarakat betul-betul memperhatikan faktor – faktor sosial yang
mempersatukan kehidupan sosial mereka dan menetukan arah kehidupan masyarakat
menuju integrasi sosial. Faktor – faktor sosial tersebut antara lain tujuan yang ingin
dicapai bersama, sistem sosial yang mengatur tindakan mereka, dan sistem sanksi
sebagai pengontrol atas tindakan – tindakan mereka. Proses integrasi sosial akan
berjalan dengan baik apabila anggota masyarakat merasa bahwa mereka berhasil
mengisi kebutuhan satu sama lain dan mencapai konsensus mengenai norma norma
dan nilai- nilai sosial yang konsisten dan tidak berubah – ubah dalam waktu singkat.
Dengan demikian anggota – anggota masyarakat selalu berada dalam keadaan yang
stabil dan terikat dalam integrasi kelompok.Dalam ritual penti, peran-peran setiap
individu diberikan berdasarkan status sosial dalam kampung atau dalam keluarga.
Namun, kerja sama tetap dibutuhkan untuk melancarkan proses ritual yang akan
dilaksanakan. Hal ini membuat rasa persaudaraan terhadap sesama warga Ndehes
menjadi lebih terasa karena kebersamaan.
Ritual penti menghadirkan makna yang mengandung nilai-nilai bagi
masyarakat Ndehes dan masyarakat Manggarai pada umumnya. Makna itu jelas lahir
dari refleksi yang menggambarkan ciri khas manusia Manggarai dan akan keberadaan
mereka sebagai diri dan dalam kaitan dengan suasana kehidupan bersama dengan
yang lain. Artinya, refleksi manusia Manggarai tentang kehidupan ini, dengan segala
dinamika di dalamnya membuahkan hasil berupa pemahaman yang benar akan diri
sendiri dan kehadirannya dalam kebersamaan dengan yang lain.
Ritual penti mengajarkan kebersamaan yang humanis dalam refleksi filosofis
orang Manggarai, tidak hanya soal menghargai manusia, yang memang niscaya, tapi
lebih kepada menelisik lebih mendalam tentang kebersamaan itu sebagai sesuatu yang
menjunjung tinggi kemanusiaan.Manusia tidak dapat berdiri sendiri.Ia membutuhkan
yang lain, ia selalu ditemukan berada bersama yang lain.

Makna Upacara Penti

1. Simbol – Simbol Kunci pada Ritus Penti

7
Geerts secara jelas mendefinisikannya. “Kebudayaan adalah suatu sistem makna dan
simbol yang disusun..dalam pengertian di mana individu-individu mendefinisikan
dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya; suatu
pola makna yang ditransmisikan secara historik diwujudkan di dalam bentuk-bentuk
simbolik melalui sarana di mana orang-orang mengkomunikasikan,
mengabadikannya, dan mengembangkan pengtahuan dan sikap-sikapnya ke arah
kehidupan; suatu kumpulan peralatan simbolik untuk mengatur perilaku, sumber
informasi yang ekstrasomatik”.
Dalam ritual penti terdapat simbolsimbol yang memiliki makna yang
menjelaskan tentang filosofi kehidupan masyarakat desa Ndehes. Simbol-simbol
tersebut memiliki makna yang menceritakan tentang identitas, sejarah, atau tata cara
kehidupan orang Manggarai antara lain:
a. Siri bongkok
Didalam rumah gendang, posisi siri bongkok sangat sentral.Siri
bongkokmemiliki makna yang mendalam dalam kehidupan orang
Manggarai.Iaberada dalam lingkaran makna go’et Manggarai (ungkapan)
“gendangn one, lingkon pe’ang” (gendang sebagai pusat kehidupan, kebun
komunal sebagai sumber kehidupan). Ada hubungan yang sangat esensial
antara gendang dengan kebun komunal (lingko).Ritus-ritus menjadi
penghubung yang elegan antara unsur-unsur penopang kehidupan dengan
wadah di mana kehidupan itu bersemi dan menghasilkan buah. Siri
bongkok sebagai tiang penyanggah utama, dalam mana setiap tiang lain
bertumpu padanya menjadi simbol keutamaan (adak, arête) bagi orang
Manggarai. Tiang yang kokoh kuat itu menjadi penanda paling strategis
bagi orang Manggarai untuk selalu bersatu.Tiang yang tegak lurus dari
tanah hingga bubungan juga melambangkan relasi yang kuat dengan Sang
Pemilik Semesta.Tiang itu, tanpa selaan dari balok lain, berkisah tentang
kelurusan hati, niat dan budi manusia peghuninya, ke haribaan Sang
Khalik. Di Ndehes, menurut tuturan yang mentradisi, Siri bongkok
langsung ditancapkan ke tanah. Maksudnya, supaya hos (aliran energi
tanah, simbol energi leluhur) menjangkau seluruh penghuni rumah dan
menyebarkan ke semua warga kampung.
b. Compang (Mesbah)

8
Yang didirikan di tengah kampung karena menurut kepercayaan orang
Manggarai di sana berdiamlah Sang Naga Beo (kekuatan pelindung) yang
menjaga ketentraman warga kampung setiap waktu. Compang itu
berbentuk bulat maksudnya atau mengandung makna kekerabatan.
Wujud nyata dari prinsip ini nampak dalam ritual penti yang
menekankan persaudaraan, kebersamaan, dan kekeluargaan. Di dalam
masyarakat Manggarai, khususnya berkaitan dengan religius tumbuh dan
berkembangnya upacara-upacara adat yang berkaitan untuk menyebut
nama Tuhan atau wujud tertinggi misalnya dalam acara penti, ucapan
untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi: lawang morin agu
ngaran artinya untuk minta pengukuhan dari Tuhan sebagai pemilik atau
pemberi atas benih atau tumbuh-tumbuhan yang digunakan oleh manusia.
sehingga dalam adat Manggarai, diadakannya pesta penti (syukuran)
kepada Tuhan atas pemberiannya itu.
c. Towe songke
Towe songke adalah kain khas masyarakat Manggarai yang biasa
digunakan di dalam setiap ritual masyarakat Manggarai.Dalam ritual penti,
towe songke yang digunakan oleh setiap orang Ndehes untuk menunjukan
kekompakan, kebersamaan, serta rasa kekeluargaan yang menjadi ciri khas
orang Manggarai.Warna dasar hitam pada songke melambangkan sebuah
arti kebesaran dan keagungan orang Manggarai.
d. Manuk
Manuk atau ayam sering sekali dijadikan hewan persembahan dalam setiap
upacara adat masyarakat desa Ndehes.Dalam ritual penti, manuk yang
digunakan berwarna hitam dan putih.Penggunaan ayam sebagai hewan
persembahan karena masyarakat Ndehes percaya bahwa ayam merupakan
hewan suci yang pantas dipersembahkan kepada leluhur dan Mori Jari
Dedek.Dalam setiap ritual, masyarakat Manggarai ayam digunakan untuk
melihat nasib baik atau buruk seseorang, sebuah keluarga, atau sebuah
kampung.
e. Ela Ela (babi)
Jugadigunakan pada persembahan.Pada upacara penti. Babi merupakan
binatang prioritas dalam setiap upacara adat yang berkaitan dengan proses
hidup dan masyarakat Ndehes dan Manggarai, yang dijadikan sebagai

9
prinsip pokok dalam halpenguatan relasi sosial antara manusia, dengan
alam serta leluhur, dan dengan Sang Pencipta. Pihak yang menyediakan
babi adalah anak rona (pihak pemberi istri ). Babi dari anak rona ,
rangkaian perjalanan hidup orang Mnggarai mulai dari lahir sampai
dengan mati adalah wajib hukumnya dan secara adat dikukuhkan oleh babi
yang dibawakan anak rona. Sebagai pengakuan secara de facto sahnya
sebuah acara atau ritus adat yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat
Ndehes dan Manggarai pada umumnya.

2. Makna Ritus Penti Dalam Konteks Kebudayaan


1. Makna Religius
Melaksanakan acara penti berarti merayakan acara syukuran dan hormat
kepada leluhur, supernatural, wujud tertinggi (Mori Kraeng) (Verheijen,
1999).Penekanan utama makna penti adalah bersyukur.Orang Ndehes dan orang
Manggarai pada umumnya sangat percaya pada ikatan dengan alam.Suasana batin
yang sukacita ketika bersyukur, damai, semangat persaudaraan, kekeluargaan.
Manusia percaya bahwa “Yang Suci” itu ada diluar kemampuan dan kekuasaannya,
sehingga manusia meminta perlindungannya dengan cara menjaga hubungan baik
yaitu melakukan berbagai upacara. Upacara Penti dipercayai oleh masyarakat Ndehes
sebagai salah satu upacara religius yang menghubungkan mereka dengan yang “Maha
Suci” atau bentuk manifestasinya dalam wujud benda, roh leluhur menurut
kepercayaannya.
Prosesi yang dilakukan dalam upacara diyakini dapat membawa kebaikan
dalam kehidupan para kerabat dan orang Ndehes itu sendiri, sehingga dalam upacara
Penti mereka berdoa, bersaji, dan juga berkurban, agar selalu dilindungi dari hal-hal
buruk yang terjadi. Masyarakat desa Ndehes sangat percaya bahwa dalam ritual penti,
terjalin komunikasi dengan leluhur dan Tuhan. Masyarakat desa Ndehes meyakini
dengan memberikan hewan kurban untuk leluhur dan Tuhan, doa yang disampaikan
dapat diterima dan dikabulkan. Kepercayaan masyarakat Ndehes terhadap ritual Penti
sebagai sarana yang tepat untuk mengucapkan rasa terimakasih dan cinta terhadap
leluhur dan Tuhan agar menguatkan ikatan di antara mereka.
2. Makna Kekerabatan
Upacara Penti bagi masyarakat Ndehes bukan sekedar suatu upacara tanpa
makna.Makna kekerabatan merupakan keterjalinan suatu hubungan persaudaraan atau

10
kekerabatan antara keluarga pihak laki-laki dan pihak perempuan. Upacara Penti
merupakan salah satu cara untuk membina dan membangun hubungan kekerabatan.
Keterjalinan suatu hubungan persaudaraan atau kekerabatan antara kerabat kedua bela
pihak masyarakat Ndehes untuk saling menghargai antara yang satu dan yang lain.
Bukan itu saja, tetapi upacara Penti juga dipandang sebagai pendesiplinan yang
memberikan kekuatan dasar bagi kerabat kedua belah pihak dan masyarakat untuk
saling terikat satu dengan yang lain secara berkesinambungan.
3. Makna Pendidikan
Upacara Penti yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat Ndehes merupakan
salah satu bentuk pendidikan non formal, karena upacara tersebut selain sebagai
upacara adat, tetapi juga merupakan salah satu bentuk pendidikan yang mengajarkan
masyarakat tentang bagaimana Pentingnya hidup bermasyarakat.Dalam upacara ini
adabanyak pembelajaran yang diperoleh secara tidak langsung terselip dari rangkaian-
rangkain kegiatan. Bagi masyarakat Ndehes sendiri , beragam upacara yang
diwariskan oleh nenek moyang salah satunya upacara Penti, memberikan nilai yang
mengajarkan kepada masyarakat, terutama kepada generasi muda tentang cara
bersykur, cara memberi, cara berpikir, dan bertindak. Upacara Penti mengajarkan
kepada masyarakat untuk saling membantu ketika orang lain membutuhkan. Hal
tersebut dapat dilihat dari setiap prosesi mengajarkan para generasi mudah bagaimana
caranya untuk mensyukuri kehidupan yang diberikan dengan cara saling peduli dan
membantu dalam segala hal pekerjaan.

2.2 Suku Sabu Ritual Bangaliwu

Sabu dan Raijua adalah dua pulau di kabupaten Kupang yang kini telah dilebur
menjadi daerah otonom melalui palu DPR-RI di Senayan tanggal 28 Oktober 2008 yang
menghasilkan undang-undang no.52 tentang pemekaran Sabu Raijua menjadi daerah otonom.
Dalam kehidupannya orang Sabu tak pernah lepas dari adat dan budaya yang begitu melekat
dan membaur dalam kegiatan keseharian mereka, mulai dari ritual, kelahiran, ritual akil balik,
ritual nikah adapt, ritual kematian serta berbagai ritual lainnya dalam perjalanan panjang
kehidupan orang Sabu. Belum lagi ritual yang mengungkapkan soal sukacita, permusuhan
maupun perdamaian yang hingga kini masih kukuh dipegang oleh orang Sabu walau kini
telah menjadi sebuah kabupaten, seakan tak pernah tersentuh oleh perubahan apapun ritual
adat di Sabu tetap berjalan seiring dengan pergantian hari dan perputaran bumi mengelilingi
matahari. Pulau ini memiliki banyak sebutan tergantung dari cara orang melihat Sabu dan

11
mengenal adat istiadatnya lalu memberi nama, ada yang bilang pulau para dewa karena
memang dalam kehidupan mereka tak lepas dari ritual bagi para dewa (Deo) setiap saat yang
berpatokan pada kalender adat ( Warru Hawu).

Dari sekian ritual atau acara adat yang ada di Sabu Raijua salah satu ritual Bangaliwu,
nama Bangaliwu juga merupakan salah satu nama bulan dalam kalender adat dimana ketika
bulan ( Warru Bangaliwu) ritual Bangaliwu itu akan dilakukan. di Sabu Raijua yakni
kecamatan Liae yang bertepatan dengan pelaksanaan acara Bangaliwu, sebab setiap acara
ritual adapt tertentu seperti Bangaliwu, atau Hole acaranya digilir dari Raijua hingga seluruh
Sabu dengan waktu yang telah ditentukan menurut kalender adat sehingga masing-masing
wilayah seperti Dimu, Liae, Mehara, Habba, dan Raijua mendapatkan giliran dengan
berpatokan pada hitungan bulan purnama.

jaman dulu sering terjadi pertempuran di antara suku- suku yang ada di Sabu, dalam
setiap peperangan tak sedikit korban jiwa yang melayang, untuk itu maka para pimpinan adat
seluruh Sabu Raijua kemudian bersepakat bahwa tidak boleh lagi ada pertempuran fisik
manusia tapi harus diganti dengan media lain maka disepakati akan diganti dengan ayam.
Sehingga sejak itulah pertempuran tidak pernah lagi terjadi karena telah diganti dengan taji
ayam yang melambangkan sebuah perdamaian keinginan untuk tidak saling membunuh tapi
memelihara perdamaian. Ritual adat Bangaliwu di kecamatan Liae dipusatkan pada sebuah
puncak bukit di pertengahan dua desa yakni desa Ledeke dan desa Eilogo. Di tempat itu para
ketua adat ( Deo Rai) akan memegang pisau pusaka serta berpakaian adat lengkap, berselimut
kain adat putih, menggunakan pengikat kepala atau destar dengan berbagai aksesoris
dilehernya dengan seekor ayam jantan putih di lengannya akan mendaki jalanan terjal menuju
atas bukit diikuti para tua adat lainya sesuai dengan struktur yang telah di atur kemudian
diikuti oleh sanak saudara, anak cucu dan masyarakat umum lainnya. Di atas bukit tempat
ritual Bangaliwu akan dilakukan terletak beberapa buah batu megalitik yang indah diapit oleh
dua pohon nitas yang dianggap sebagai tempat roh para leluhur dan para dewa bersemayam
sehingga tidak boleh satu orang pun memetik daun nitas yang ada atau memindahkan batu
sekecil apapun di tempat ritual yang telah berlangsung secara turun temurun. Orang atau
warga yang boleh sampai ke tempat ritualpun adalah benar benar dari wilayah Liae, tidak
diperkenankan dari suku atau wilayah lain seperti Dimu, Mehara, Habba dan Raijua untuk
naik ketempat upacara sebab kalau ada yang melanggar maka ada musibah yang akan
menimpa. Kegiatan Taji Ayam adat sesungguhnya bukanlah kegiatan judi. Namun
merupakan kegiatan yang sakral dan kaya makna. Filosofi Taji Ayam adalah bahwa setiap

12
darah ayam yang tumpah ke tanah, merupakan perlambang/simbol agar tidak boleh ada lagi
darah anak manusia (keturunan Hawu Miha) yang tumpah ke tanah Sabu sebagai akibat
konflik apapun. Sehingga maknanya adalah bahwa sesama anak bangsa (sabu) dihimbau
untuk tidak berkonflik yang berakibat pada pertumpahan darah. Hiduplah yang rukun dan
damai seorang dengan yang lain di antara anak keturunan Hawu Miha.

Ketua adat atau Deo Rai yang memegang peranan dalam ritual Bangaliwu ini ketika
tiba di atas bukit langsung mengucapkan bahasa sakral yang hanya diucapkan ketika ritual
Bangaliwu, kemudian menempatkan tempat sirih pinang di beberapa tempat diatas batu serta
di bawah pohon yang ada disekitar tempat ritual. Setelah sang Deo Rai melakukan ritual
menempatkan sirih pinang sambil berucap bahasa sakral yang susah di maknai atau
dimengerti oleh orang awam, maka Deo Rai bersama salah satu tetua adat setempat kemudian
mengikat ayam yang di bawah dari rumah masing-masing dengan pisau taji.

Ket: Masyarakat di Kecamatan Liae sementara melaksanakan ritual adat Bangaliwu

Cara memasang pisau tajinya pun tidak seperti ayam lain yang hanya satu kaki yang
di pasang pisaunya, tapi dalam ritual ini kedua kaki ayam akan diikat dengan pisau taji
kemudian dilepas untuk berkelahi. Setelah salah satu ayam mati maka Doe Rai akan kembali
mengucapkan kata-kata sakral yang bila di terjemahkan secara lurus berbunyi “inilah tanda
dan lambang perdamaian yang telah dilakukan secara turun temurun dan sejak saat ini jangan
ada lagi peperangan diantara kamu, sesungguhnya bergandengan tanganlah membawa Sabu
ke amanat leluhur menjadi pulau impian semua insan,”, Saat mengucapkan “inilah tanda dan
lambang perdamaian yang telah dilakukan secara turun temurun dan sejak saat ini jangan ada
lagi peperangan diantara kamu, sesungguhnya bergandengan tanganlah membawa Sabu ke
amanat leluhur menjadi pulau impian semua insan,”, Saat mengucapkan kata kata tersebut
tangan Deo Rai akan diacungkan ke atas seperti melepas berkat atau meminta sesuatu.

13
2. Kaitan dengan kedokteraan hewan

Kesejahteraan hewan ( Animal Welfare ) yaitu : suatu usaha untuk memberikan


kondisi lingkungan yang sesuai bagi satwa sehingga berdampak ada peningkatan sistem
psikologi dan fisiologi satwa. Kegiatan ini merupakan kepedulian manusia untuk
meningkatkan kualitas hidup bagi satwa yang terkurung dalam kandang atau terikat tanpa
bisa leluasa bergerak. dikutip dari laman PETA (People of Ethical Treatment of Animals),
menyatakan Hak hewan bermakna bahwa hewan, seperti juga manusia, mereka memiliki hak
untuk tidak dikorbankan atau diperdagangkan untuk menguntungkan pihak lain (manusia).
Meskipun demikian, posisi hak-hak ini tidak untuk menyatakan hak secara absolut; hak
hewan, seperti manusia sifatnya juga terbatas. Hak hewan menyatakan bahwa hewan tidak
digunakan untuk makanan, pakaian, hiburan, atau percobaan. Kesejahteraan hewan
membolehkan penggunaan hewan sepanjang mengikuti persyaratan yang ditentukan.

Kesejahteraan hewan tidak hanya memastikan hewan tidak diperlakukan dengan kasar
yang menyebabkan cedera atau penderitaan, tapi juga memastikan kondisi fisik, mental dan
kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan alamiahnya, keinginan dan harapannya
menjadi perhatian dan dihadirkan.Berdasarkan uraian diatas maka dalam ritual ini melanggar
kesejahteraan hewan karena ayam di adu/ di taji sehingga ayam akan menyebabkan stress dan
cedera atau penderitaan pada ayam.

2. 3 Sistem Komunikasi Di Rote

A. Belis

Tu’u (dalam bahasa Rote berarti kumpul ongkos) dan Belis (dalam bahasa Rote
berarti mas kawin) dengan demikian dapat diartikan bahwa Tu’u Belis adalah
(kumpul ongkos untuk kawin). Tu’u Belis merupakan sebuah praktek turun temurun
yang pada gilirannya membentuk indentitas masyarakat Rote (budaya orang Rote).
Pelestarian praktek budaya ini menjadikannya sebagai konstruksi identitas yang
menurut masyarakat Rote hadir dengan keunikannya sendiri. Sampai saat ini belum
ada sumber tertulis atau sumber lisan yang mampu menjelaskan sejak kapan praktik
Tu’u Belis mulai diterapkan dalam kehidupan masyarakat Rote. Tujuan awal dari
Tu’u Belissebenarnya ada pada usaha untuk menguatkan sistem kekerabatan dalam
masyarakat. Tu’u Belismerupakan salah satu sarana untuk saling membantu di antara
anggota masyarakat. Dalam praktek Tu’useluruh anggota seolah-olah dituntut

14
berpartisipasi karena hal ini dianggap sebagai suatu kewajiban adat. Di sini tekanan
moral sangat kuat dirasakan oleh warga.Dalam setiap tahapan Tu’u Belistersebut
selalu diisi dengan pesta makan daging. Material yang digunakan dalam Belisdapat
dilihat pada Tabel berikut ini:

Masyarakat Rote Ndao walaupun tidak mempunyai mata uang, tetapi mempunyai
satuan nilai uang (standart) yang tetap. Mereka menggunakan istilah “rupiah”.Nilai
untuk satu “rupiah” dalam belissama nilainya dengan Rp200.000,- dalam mata uang
Indonesia. (setiap Nusakmemiliki standart yang berbeda-beda). Tiap jenis material
belis mempunyai satuan ukuran yang tetap. Seperti mas mempunyai satuan ukuran
yang disebut batu, oma, bondo, nggause dan koro. Selanjutnya dapat dilihat pada
Tabel berikut ini:

15
Faktor belis kerap menjadi penghalang bagi dua muda-mudi untuk mengikat
hubungan kasih mereka dalam pernikahan. Tokoh penting dibalik penentuan belis ini adalah
to’ok. To’ok berasal dari kata benda to’o. Kata itu merupakan penyebutan pada saudara lelaki
dari pihak mama atau ibunda. Term To’o yang mendapatkan imbuhan (k) mengandung
makna pemilikan atau “yang bertanggungjawab,” yang padanya melekat hak dan kewajiban
tertentu. Ringkasnya, to’o berfungsi sebagai semacam “orang tua babtis” (god father) dalam
tradisi Kristen/Katolik. Ia memegang fungsi pelindung. Itulah sebabnya dalam tradisi orang
Rote, to’omemiliki peran sentral.

16
Ketika seorang perempuan hendak dipinang oleh calon suaminya, faktor penting yang
harus dipersiapkan untuk dipercakapkan adalah belis (mahar). Penentuan mahar atau
belis, to’ok merupakan salah satu item penting, disamping item belis lainnya seperti
su’u oe(su’u = susu, dan oe = air) atau air susu ibu (semacam jatah untuk ibu yang
melahirkan dan merawat), soi umak (buka pintu), ba’i huk, dan item tambahan lainnya
yang bukan pokok.Biasanya to’ok lah yang menentukan besar-kecil belis, juga
jenisnya. Ia dapat meminta hewan, mamar (sebuah lahan perkebunan yang
didalamnya ditanam kelapa, pisang, siri, pinang,dan lainnya), lahan kebun atau
ladang, petak sawah, emas, uang, dan sebagainya. Jenis hewan yang diminta basa
berupa kerbau, sapi, kuda atau babi. Jumlahnya pun tergantung kelihaian
“negosiator,” yang diperankan oleh juru bicara dari calon pengantin pria.

A. Penyelesian Masalah
 Bila seorang anak ketika bermain mendapatkan perlakukan kekerasan dari
teman bermain, orang lain termasuk dari ayah dan ibunya, dan anak itu
melaporkan ke to’ok-nya, maka sudah dipastikan urusannya jadi rumit. Anak
itu akan ditahan untuk tinggal di rumah sang to’ok, lalu pelaku diminta datang
dengan membawa denda adatnya, yang biasanya ditentukan oleh to’ok dengan
difasilitasi tokoh adat dan tetua kampung. Dendanya bisa hewan, kebun, dsb.
Umumnya (menjadi standar) seekor hewan dibawa dan dipotong lalu dimakan
bersama.
 Bila terjadi kekerasan rumah tangga sehingga, misalnya seorang istri
mendapat perlakuan kasar dari suaminya, entah dengan kata-kata (kekasaran
verbal), tindakan, apalagi sampai memukul sehingga berdarah, lalu si istri
melaporkan ke to’o-nya, maka urusannya pun sama. Ia diminta tetap tinggal di
rumah to’o, lalu si suami dipanggil datang menjemputnya. Jemputan itu sudah
jelas bukan jemputan biasa, melainkan dengan denda yang sudah ditentukan.
Biasanya, si suami harus membawa seekor hewan, entah babi, kambing atau
kerbau untuk dibunuh (dikorbankan) sebagai tanda perdamaian. Dengan
disaksikan oleh para orang tua dan tokoh adat, si suami harus berjanji tidak
akan melakukan kekerasan lagi pada istrinya, lalu diikuti dengan acara makan
bersama. Setelah itu si suami bisa membawa pulang istrinya.

17
Untuk saat ini bisa dipahami maknanya, bahwa denda itu mencegah berkembangnya
kekerasan dalam pergaulan, termasuk kekerasan orang tua terhadap anak, juga
kekerasan dalam rumah tangga. Prinsipnya, setiap darah yang keluar dari ponakan
akan dituntut oleh to’o. Karena itu, besarnya denda banyak ditentukan oleh “seberapa
banyak darah yang keluar” atau seberapa berat kekerasan/kekasaran yang dilakukan
terhadap si ponakan.

B. Pesta Adat
Penduduk di Rote melakukan “pemborosan” karena untuk memenuhi tuntutan
kebutuhan sosial religius (pesta adat) mereka banyak hewan peliharaan yang
dikorbankan (antara 20 -40 ekor) untuk menjamu para tamu yang hadir dalam pesta
adat yang populer dengan istilah “undang makan daging”. Manafe (1967) menuturkan
bahwa daging yang disembelih dalam “acara makan daging” tidak dibagi secara
sembarangan tetapi dengan aturan-aturan adat yang telah ditetapkan. Nama-nama
orang yang berhak menerima daging adalah sebagai berikut:
 La ngga laik atau separuh kepala bagian atas mulai dari moncong terus ke
telinga sampai pangkal leher diperuntukkan untuk Manek, Fetor dan Manesio,
tua-tua kampung serta untuk tamu-tamu asing yang terhormat. Dalam
lingkungan kerabat bagian ini diberikan kepada Ayah dan To’o(Paman).
 Timik, yaitu separuh dagu, terhitung dari moncong sampai pangkal leher.
Bagian ini diberikan untuk orang-orang yang dalam struktur sosial setingkat
lebih rendah dari yang disebut pertama. Dalam hubungan kekeluargaan
diberikan kepada saudara-saudara lelaki tertua.
 Tenek, yaitu separuh tulang dada bersama beberapa tulang rusuk. Bagian ini
untuk Manefeto (Istri Manek) atau untuk wanita terpandang. Dalam
kekeluargaan bagian ini diberikan untuk ibu dan saudara wanitanya.
 Dimokatau daging bagian pangkal paha diberikan untuk wanita yang lebih
rendah kedudukannya dari Manefeto. Dalam hubungan kekeluargaan bagian
ini untuk saudara perempuan.
 Paeik atau daging kaki dan paha diberikan untuk anak-anak. Iko tei lolo yaitu
ekor dan perut diberikan pada para gembala dan
 Poduik atau tulang rusuk. Bagian ini diberikan pada orang-orang biasa dan
para tetangga.

18
2.4 Sistem komunikasi di kab TTS

Perkawinan Dalam Masyarakat Kab TTS


Pada prinsipnya perkawinan terjadi karena keputusan dua insan yang saling jatuh
cinta. Hal ini merupakan hal yang paling mendasar dalam suatu perkawinan. Di tiap daerah
maupun suku bangsa tentunya mempunyai tata upacara perkawinannya sendiri yang sesuai
dengan adat istiadat setempat. Tata cara perkawinan tiap suku bangsa juga memiliki nilai-
nilai dan norma-norma yang sangat dijunjung tinggi. Upacara perkawinan pasti dilaksanakan
oleh setiap masyarakat didaerah manapun dan oleh berbagai lapisan masyarakat, yang
tergolong kelas ekonomi bawah maupun golongan ekonomi kelas atas.(Banunaek, 1991: 151)
Perkawinan di kalangan suku Timor mempunyai keunikan tersendiri yang diawali
dengan surat menyurat antara keluarga dari kedua belah pihak yang dimulai dari tahapan
perkenalan antar dua anggota keluarga yang akan berbesan. Sebelum kedua keluarga itu
bertemu, biasanya keluarga calon pengantin pria (CPP) terlebih dahulu akan mengirimkan
utusan untuk datang ke rumah calon pengantin wanita (CPW) guna bertemu dan berkenalan
dengan anak gadis yang akan dipinang. Pada kesempatan itu juga, utusan akan
menyampaikan maksud hati keluarga CPP untuk segera meminang anak gadis tersebut.
Setelah mendapatkan jawaban dari pihak keluarga CPW, sang utusan segera pulang dan
menyampaikan hasil pertemuannya kepada keluarga CPP. Lalu mereka akan berunding untuk
menetapkan waktu yang tepat untuk mengadakan pertemuan dua keluarga lagi guna
membahas kelanjutan rencana acara pinangan. Tetapi sebelum pertemuan itu terlaksana,
keluarga CPP diharuskan membuat surat yang ditujukan kepada keluarga CPW. Isinya
menyampaikan maksud kedatangan keluarga CPP yang ingin bertemu dengan keluarga CPW
untuk meminang anak gadis mereka. Dan setelah keluarga CPW menerima surat tersebut
maka mereka akan segera mengadakan pertemuan antara keluarga dekat yang melibatkan
saudara laki-laki dari ibu kandung CPW yang disebut Atoni amaf(oom dalam bahasa Timor)
atau To’o (dalam bahasa Rote). Pertemuan keluarga CPW ini dilakukan untuk merancang
penerimaan kedatangan keluarga CPP dalam acara pinangan nanti.
Selanjutnya uraian mengenai tata upacara perkawinan suku Timor dapat dibagi menjadi 4
tahap :
a)Perkenalan
b)Persiapan untuk Meminang
c)Meminang
d)Pesta Perkawinan

19
Keistimewaan dan keunikan tata upacara perkawinan suku Timor adalah pada waktu
persiapan untuk meminang. Dalam upacara ini tercermin sifat positifnya, yaitu selalu
mempergunakan cara bermusyawarah dalam setiap pengambilan keputusan, serta lemah
lembut tutur bahasanya. Tidak sembarang perkataan dilontarkan,tetapi dipih kata yang lebih
sopan, hormat dan tepat, serta selalu hormat kepada yang lebih tua, terlepas dari pangkat atau
jabatan. Perkawinan merupakan suatu peristiwa sosial yang banyak melibatkan anggota
keluarga, kerabat dan orang tua. Selain memiliki keunikan tersendiri dalam suatu perkawinan,
maka di kalangan suku Timor masih sangat memegang teguh adat atau kebiasaan yang
dilakukan secara turun temurun dan juga nilai-nilai yang terkandung dalam suatu perkawinan.
Menurut adat suku Timor pengantin yang hendak menikah harus mematuhi semua peraturan
yang sudah ditetapkan seperti, pengantin yang statusnya adik dalam hubungan kakak beradik
tidak boleh menikah terlebih dahulu karena secara adat pengantin tersebut melanggar aturan
perkawinan yang sudah ditentukan dan pengantin dianggap tidak menghargai kakaknya
sehingga akan dikenakan denda yang seberat-beratnya. Di Timor upacara perkawinan
sesungguhnya menyimpan makna yang sangat mendalam, karena dalam upacara perkawinan
suku Timor terdapat didikan dan terkandung nilai-nilai budaya yang terkandung didalamnya
Dalam tradisi masyarakat TTS dikenal beberapa bentuk perkawinan yang seluruhnya
patrilinial, antara lain:
1. Perkawinan dengan pinangan atas bantuan seorang juru bicara (Netelanan) atau kadang-
kadang disebut Nete Lalau Tulu Sene;
2. Perkawinan mengabdi (kalau lelaki tidak sanggup membayar belis dan mengabdi dirumah
suku wanita tetapi tidak masuk suku wanita).
3. Perkawinan mengganti (dalam istilah antropologinya Sororat dan Levirat, yaitu
mengawini ipar lelaki atau wanita sesudah sang istri atau suami meninggal dunia).

Umumnya perkawinan dilakukan secara eksogam antar suku-suku atau klen yang ada.
Secara sederhana peminangan dilakukan dengan urutan sebagai berikut :
1. Tahap Pembicaraan
Seorang yang ditunjuk sebagai Nete Lalau Tulu Sene (biasanya seorang pria) yang
mengetahui adat setempat, pandai bicara pantun atau Natoni) melihat ke rumah
wanita apakah gadis yang dinikahi sudah cukup umur atau tidak,juga tingkah
lakunya,jika sudah memenuhi syarat, maka pinangan dapat segera dilakukan.
2. Tahap kesaksian

20
Peminangan dapat dilakukan dengan memperhatikan barang bawaan pertama atau apa
yang disebut Oktotes (sirih pinang). Peminangan biasanya dilakukan pada siang hari
sebagaimana yang dilakukan oleh orang Mollo (utara dan selatan). Ok Totes terdiri
dari 10 buah sirih pinang muda, yang masih berkelopak atau pinang kering, tetapi
tidak boleh dibelah sebagai lambang bahwa yang akan ditanyakan adalah seorang
gadis yang masih perawan. Daun sirih disusun dan diikat dengan daun pandan.
Sebuah tempat sirih lagi yang sebut Ote Tuke yang isinya uang perak dan atau uang
kertas pada jaman sekarang. Waktu tiba di rumah keluarga wanita Nete Lanan
memulai pembicaraan pinangan. Dua keluarga saling bertukar tempat sirih pinang
(yang khusus untuk makan, bukan Ok Totes atau Ote Tuke yang dibawah keluarga
lelaki), dan makan bersama-sama. Orang tua gadis memulai mengajukan pertanyaan
pada keluarga lelaki yang datang apakah kiranya yang diinginkan ? Kelurga lelaki
secara berkias menyatakan keinginannya untuk mengambil benih sirih dan pinang
yang disubur-subur di rumah ini. Jawaban orang tua biasanya 3 atau 4 hari sesudah
peminangan sore hari tersebut. Kedua keluarga makan sekedarnya kemudian pulang.
Keluarga lelaki pulang dan meninggalkan tempat sirih Ok Totes dan Ote Tuke
dirumah wanita. Pada saat sekarang biasanya langsung dijawab lamaran diterima atau
tidak. Pada waktu dahulu jika isi kedua Ok Totes dan Ote Tuke dipulangkan dengan
keadaan lengkap, maka berarti lamaran ditolak . Dalam pemulangan tempat
sirih,kalau lamaran diterima disertai symbol dari keluarga wanita menerima dengan
kejujuran sang gadis masih perawan biasanya dalam Ok Totes daun sirih disusun
timbale balik dan pinang harus yang masih berkelopak. Jika pinang yang diisi
tidak berkelopak lagi, maka ini berarti wanita dipinang sudah tidak perwan lagi.
Setelah menerima kiriman balik Ok Totes itu lalu pihak lelaki mengirim lagi Bunu
kauno, bajudan uang kepada gadis tunangannya. Dan wanita membalasnya denggan
ikatpinggang,pundi-pundi (kepisak) anyaman yang dianyam sendiri. Seluruh proses
inidiketahui oleh kepala adat sebagai lambang pengresmian sehingga diketahui oleh
umum. Setelah disepakati saat pembicaraan belis, waktu nikah dan pola pemukiman
pasca nikah. Belis biasanya ditentukan oleh kesepakatan bersama-sama sesuai
dengan derajat masing-masing calon dalam pelapisan sosialnya. Pada malam sebelum
nikah ada dua acara Ais Tue (minum arak) keluarga lelaki menyerahkan belis yang
disebut Pua Mnasi Manu Mnasi; atau apa yang disebut dengan menyerahkan Tua
Boit Mese,Noinsol mese, arak. Sebotol sopi atau anggur dan uang sekutip dan oe
maputu ai malala sebagai tanda panasnya air dan panasnya api dengan keluarga

21
wanita (tanda terima kasih atas jerih payah orangtua. Pihak wanita membalasnya
dengan memberikan pakaian lelaki dan arak sebotol,hadia-hadia kecil juga diberikan
pada mereka yang jadi saksi atau yang disebut Pua Saksi Manu Saksi. Semua tahap
pembicaraan selesai mereka berdua resmi jadi suami istri.
3.Tahap upacara
a.Pasang Boe Nok
Memasuki hari haa atau hari perkawinan tentu saja segala macam persiapan yang
harus dilaksanakan dan kewajiban yang harus dipenuhi. Prosesi upacara perkawinan
disusun oleh keluarga yang berbahagia. Upacara perkawinan suku Timor biasanya
tiga hari menjelang hari pernikahan maka di rumah mempelai wanita sudah
menampakan berbagai kesibukan, sebab para saudara dan tetangga sudah mulai
berkumpul untuk mempersiapkan segala sesuatu.Pada tahap ini masyarakat suku
Timor selalu menunjukan rasa solidaritas sosial yang erat dengan selalu bantu-
membantu setiap harinya guna membantu bekerja di tempat pesta. Baik ibu-ibu,
bapak-bapak, juga kaum muda selalu berpartisipasi. Para laki-laki”Atoni” dapat
mendirikan tenda untuk para tamu undangan, para wanita “Bife”dapat memasak, dan
untuk anak-anak atau yang biasa dipanggil “Lian ana” disuruh untuk menimba air
atau melakukan pekerjaan kecillainnya.”Penyediaan sarana dan prasarana pendukung
upacara perkawinan yang berupa pembuatan tenda, dapur darurat dan lain sebagainya.
Sebagian kecil dari kebututuhan di atas dapat disiapkan oleh keluarga atau kerabat
terdekat”

Setelah acara adat perkawinan telah selesai Penghantaran wanita oleh keluarga
lelaki. Di rumah keluarga suaminya (klen lelaki) ada upacara,Sanut Nono Saeb Nono
yang berarti melepaskan dan memasukan istri menjadi anggota klen suaminya. Ada
satu hal yang menjadi tabuuntuk wanita yang sudah berkawin di TTS ialah sang istri
tidak boleh mengunjungi orang tuanya mendahului orang tuanya mengunjunginya.

22
Gambar 1. Tempat sirih (Okomama) Gambar 2. Proses komunikasi antara
keluarga pria dan wanita(Natoni)
Kaitannya dengan kedokteran hewan saat pembicaraan tentang belis atau yang disebut
Pua Mnasi Manu Mnasi; dan barang hantaran yang akan dibawa keluarga laki-laki sebagai
tanda bahwa laki-laki siap meminang wanita tersebut. Hewan yang akan dipakai saat acara
nikah tersebut tidak diutamakan kesejateraannya pada saat membawa dari tempat keluarga
laki-laki sampai ke rumah keluarga wanita.

Gambar 3. Ternak babi yang hendak dibawa kerumah wanita


Pada gambar diatas terlihat ternak babi yang di kandangkan dalam kandang buatan sederhana
dengan ukuran yang sangat kecil. Setelah hewan tersebut akan disembelih tidak
mengutamakan kesejeteraannya, Hewan disembelih tepat pada leher hewan tersebut
kemudian dilepas sampai hewan tersebut mati sendiri. Hal ini bertolak belakang dengan UU
Nomor 18 Tahun 2009 Pasal 66-67 tentang kesejahteraan hewan dan UU Nomor 41 Tahun
2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 18 tahun 2009. Ditilik dari website Ditjen
Peternakan Kementerian Pertanian, Pasal 66 UU Nomor 18 Tahun 2009 disebutkan bahwa
hewan harus diperlakukan secara manusiawi. Disebutkan juga tata cara menangkap,
mengandangkan, memelihara, merawat, mengangkut, memotong, hingga membunuh hewan
dengan cara yang layak. Hewan harus diperlakukan dengan baik agar merasa nyaman dan
kenyang, dapat mengekspresikan sifat kebinatangannya, tidak dianiaya, dibebaskan dari rasa
tertekan dan takut.

2.5 Sistem Komunikasi Hamayang Kematian Sumba Timur

 Agama Marapu

Berbicara tentang Sumba dan masyarakatnya, khususnya masyarakat suku Wewewa


kabupaten Sumba Barat Daya, maka hal itu tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan Marapu.
Suku bangsa Sumba memiliki suatu kepercayaan yang telah dianut turun temurun sejak
jaman purba hingga masa kini, yaitu kepercayaan Marapu sebagai agama asli warisan leluhur

23
orang Sumba. Disebut kepercayaan (religi) karena kegiatan-kegiatan pemujaan (kultus)
dengan segala upacaranya dilakukan menurut suatu sistem atau cara yang teratur dan tertentu.
Dapat juga dikatakan bahwa orang Marapu adalah masyarakat Sumba atau orang Sumba yang
beragama Marapu. Disebut agama sebab agama adalah ekspresi lahir dari sikap batin manusia
terhadap Allah.Tidak ada defenisi yang pasti tentang Marapu. L. Onvlee seperti yang dikutip
oleh Mateus Mali menyebutnyan sebagai “Yang Disembah dan Dihormati” karena baginya
Marapu berasal dari arti kata “Ma” (Yang) dan “rapu”(dihormati atau disembah). Marapu
adalah sembahan orang Sumba. Penyembahan itu ditujuhkan kepada roh, arwah orang mati,
atau “Allah” (Dewa Tertinggi). Semua yang disembah disebut Marapu. Sementara itu, A.A.
Yewangoe, mengartikan Marapu sebagai “Yang Tersembunyi” kalau kata ini diambil dari
kata “ma”(yang) dan “rappu”(tersembunyi) atau sesuatu yang tidak dapat atau tidak boleh
dilihat. Namun Marapu juga berarti “Serupa Nenek Moyang” bila kata Marapu diambil dari
rangkaian kata “mera” (serupa) dan “appu” (nenek moyang).

Dengan demikian belum dapat diketemukan kesesuaian pengertian di antara para tua-
tua adat tentang pengertian Marapu ini. Bahkan kebanyakan dari mereka tidak
mempersoalkan hal tersebut. Untuk sementara ada beberapa pengertian yang dapat
dikemukakan di sini sebagai arti dari kata Marapu antara lain yakni:

1. Para penghuni langit yang hidup abadi. Makhluk-makhluk mulia itu merupakan
makhluk-makhluk yang berwujud dan berkepribadian seperti manusia. Terdiri dari
pria dan wanita, mereka juga berpasangan sebagai suami-istri. Di antara keturunannya
ada yang menghuni bumi dan menjadi cikal-bakal nenek moyang suku-suku yang
hidup di Sumba, mereka adalah perantara antara Allah sebagai Pencipta dan manusia
sebagai ciptaan.
2. Arwah nenek moyang di Kampung besar atau negeri Marapu.
3. Arwah sanak keluarga. Leluhur ini sebenarnya tidak sama dengan Marapu tetapi
karena dekatnya mereka dengan Marapu lalu kemudian sering juga disebut Marapu.
4. Makhluk-makhluk halus yang menghuni seluruh penjuru dan ruang alam, benda-
benda antara lain: kayu cendana, padi dan ular. Mereka mempunyai kekuatan gaib,
magis yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia di alam ramai. Dalam arti ini
Marapu yang baik mendatangkan berkat, ada -Marapu yang mendatangkan bencana.
5. Dalam pengertian lain Marapu dimengerti sebagai sobat.

24
Marapu juga dimengerti sebagai kekuatan supranatural yang senantiasa memberi
pengaruh kepada manusia. Bila diikuti permintaanNya, Ia akan memberikan berkat. Namun
bila tidak mengikutiNya, Ia akan memberikan kutuk. Berkat yang diberikan berupa kekayaan
atau keberhasilan sesuai dengan intensi pemintanya. Sebaliknya, kutuk yang diberikan berupa
kegagalan di dalam usaha atau bahkan bisa mendatangkan kematian. Kekuatan supranatural
ini bisa melekat pada suku, tanah atau orang tertentu. Artinya bahwa yang bersangkutan
memiliki hubungan khusus dengan Marapu. Para Marapu tidak sama tingkat kedudukannya,
Marapu yang menjadi cikal-bakal sekelompok suku menempati tingkat yang tinggi. Walapun
demikian tak satupun di antara Marapu, meskipun tinggi derajatnya, dinyatakan sebagai
Marapu pencipta alam semesta. Secara prinsispil kepercayaan Marapu tidak mengakui
adanya Marapu pencipta alam semesta. Sebab yang tertinggi adalah DIA yang dialami
sebagai yang mencipta seisi alam semesta, yang membentuk dan memberi kehidupan, yang
bertelinga dan bermata Maha Besar. Istilah-istilah ini diucapkan secara berpasangan dalam
bait-bait bahasa adat. Semuanya menyatakan pengakuan adanya Yang Ilahi, Yang Esa, Sang
Pencipta yang pantang disebut namaNya, “NdapanumaNgara-Ndapateki Tamo” (Tak
diucapkan namaNya dan tak disebutkan gelarNya). Dia tidak disebut Marapu.

Para Marapu inilah yang menjadi perantara atau media antara manusia dengan Alkhalik
(Yang Ilahi/Yang Maha Kuasa) di dalam penyampaian segala perasaan dan kehendak hati
dalam bentuk doa atau upacara-upacara. Dalam hal ini mereka melaksanaknnya dalam
rumah-rumah adat yang disebut oleh masyarakat sebagai Umma Rato.

 Konsep Yang Ilahi

Kepercayaan Marapu mempunyai konsepsi tentang adanya Yang Ilahi yang


menciptakan alam semesta dan kehidupan segala makhluk, Dialah “Ama a mawalo Ina a
Marawi” (Bapa yang memintal dan Ibu yang menenun = yang menjadikan). Kepercayaan
Marapu didukung oleh mitos-mitos religius yang berfungsi memperkuat iman para
penganutnya. Kedudukan Yang Ilahi tidak tersaingi dan tidak tergoyahkan oleh berbagai
Marapu yang juga memiliki kesaktian. Bagi masyarakat Sumba, menyembah Marapu berarti
mereka menyembah Yang Ilahi. Marapu adalah jembatan ke yang Ilahi.

Marapu inilah yang mendapat julukan yakni: Inna Pulu-Ama Kandouka (Ibu pembicara
– Bapa penutur), Andikita-Anoneka (Yang beranjak dan beralih), Andkita pala’o-Anoneka
pamaina (Yang beranjak ke sana dan yang beralih ke mari), Apadukina mbara Ina-
Apotamona mbara ama (Yang mengatakan kepada Ibu dan yang menyampaikan kepada

25
Bapa), Andara nda kabuta-Abangga nda kahogha (yang sebagai kuda tak berkeringat dan
sebagai anjing tak lelah). Marapu menempatkan roh sebagai komponen paling utama di
samping magi. Roh itu bersifat abadi di alam baka, menjadi penghuni Negeri Marapu dan
mempunyai struktur masyarakat yang sama dengan masyarakat di dunia. Roh itu sendiri
terdiri dari dua unsur yaitu nDewa (Sumba Barat) atau Ndiewa (Sumba Timur), dan yang
disebut Mawo atau Magho atau Hamangu (Sumba Timur). nDewa, unsur pertama akan
menjadi penghuni Negeri Marapu, memiliki kepribadian utuh, serta kedudukan yang sama
seperti masa hidupnya di dunia. Sedangkan unsur kedua, Mawo atau Magho akan tetap
berada di dunia sebagai makhluk halus yang tinggal di sekitar manusia (sanak keluarganya).
Unsur yang kedua hanya terdapat pada manusia, sedangkan yang pertama (nDewa) terdapat
pada segala makhluk hidup, termasuk tumbuh-tumbuhan yang kelak ikut menghuni Negeri
Marapu.

Pengakuan terhadap Yang Ilahi, Yang Esa, Sang Pencipta diungkapkan dalam suatu
rangkaian upacara-upacara penting dalam gerak kehidupan manusia Sumba baik pribadi
maupun kelompok, dengan menggunakan kata-kata atau kalimat-kalimat kiasan. Tata cara
hidup masyarakat Sumba diliputi oleh rasa keagamaan. Mereka menyembah Yang Ilahi
dengan perantaraan Marapu leluhur yang sudah selamat. Lewat merekalah disampaikan
segala perasaan dan kehendak hati manusia yang diucapkan dalam dan lewat doa. Marapu
meneruskan kepada Yang Membentuk dan Menganyam manusia, sebab daripadaNyalah
datang segala petunjuk dan nasehat yang harus ditaati oleh manusia. Dari padaNyalah datang
amaringi – amalala (Berkat dan restu) untuk kebahagiaan manusia yang memenuhi
kewajibanya. Kepercayaan Marapu yang memiliki pandangan dan pemahaman tertentu
mengenai Yang Ilahi itu terungkap dan terwujud dalam berbagai macam pranata budaya
sosial-ekonomi mereka. Pengalaman akan Yang Ilahi terwujud dalam cara hidup, tingka laku,
cara berkarya seperti bercocok tanam, adat perkawinan, pesta-pesta adat. Pengalaman akan
Yang Ilahi ini juga terungkap dalam bentuk-bentuk budaya seperti upacara dan ritus-ritus
keagamaan, upacara kelahiran dan kematian, syair-syair adat dan doa mereka.

 Konsep Keselamatan dalam Masyarakat Sumba

Bagi orang Sumba dunia ini terdiri atas dua bagian yaitu: dunia yang nampak dan dunia
yang tidak nampak. Dunia yang tidak nampak itulah justru dunia yang sesungguhnya.
Biasanya orang Sumba berkata: Dunia ini (dunia yang nampak) bersifat menipu, sedangkan
dunia yang di seberang sana (yang idak nampak) itulah dunia yang sebenarnya.Selanjutnya

26
dunia yang nampak ini merupakan gambaran dan bayangan dunia yang lain itu yang mata
oleh mata kita tidak dapat dilihat. Apabila dalam dunia yang nampak ini terjadi perjuangan
antar manusia, maka sebenarnya perjuangan tersebut menggambarkan perjuangan yang
terjadi di “sana” dan penentuan akhir perjuangan itu justru ditentukan di sana. Hal itu berarti
bahwa mestilah ada hubungan yang erat antara dunia yang nampak dan dunia yang tidak
nampak itu. Hubungan itu mestilah dicerminkan di dalam kehidupan sehari-hari orang-orang
Sumba, artinya bahwa harmoni antara dunia atau keserasian antara dunia yang nampak dan
dunia yang tidak nampak itu mestilah dipelihara.

Dalam pada itu seringkali juga hubungan antara dunia yang nampak dan dunia yang
tidak nampak itu digambarkan sebagai hubungan antara langit dan bumi. Gambaran ini
misalnya terlihat dalam cerita-cerita tentang seorang yang berusaha untuk naik ke langit
dengan maksud mengambil air kehidupan agar dengan demikian memiliki kehidupan abadi.
Dengan begitu sebenarnya terdapat “lalu-lintas” antara langit dan bumi, yang dilukiskan
dalam “pohon kehidupan”. Pohon itu adalah lambang dari hubungan antara langit dan bumi.
Dengan cerita seperti ini mau dikatakan bahwa pada hakekatnya terdapat hubungan yang
sangat erat atau hubungan yang bersifat kerabat antara manusia di bumi dengan langit,
dengan dunia yang tidak nampak tersebut. Berhubungan dengan kekerabatan tersebut, maka
senantiasa terjadilah kecendrungan di antara manusia untuk bersatu dengan dunia yang tidak
nampak itu. Usaha-usaha untuk bersatu itu dilakukan dengan mempersembahkan korban-
korban.

Menurut orang Sumba dunia ini diciptakan oleh satu Ilah. Dari sanalah berasal segala
sesuatu dan kepadaNyalah segala sesuatu kembali. Tetapi Ilah ini sangat jauh dan sangat
tinggi bagi manusia. Di dalam kehidupan sehari-hari Ia tidak memainkan peranan yang
penting. Tetapi justru oleh karena itu maka Ia ditakuti oleh manusia . Ia adalah suatu hakekat
yang namaNya tidak boleh diserukan dan dipanggil. Ia tidak datang mendekat kepada
manusia dan manusia tidak dapat memanjat kepadaNya. Keseimbangan merupakan konsepsi
kepercayaan Marapu yang mencakup tata kehidupan alam semesta. Keseimbangan
(keselamatan) mendatangkan kebahagiaan. Karenanya perlu dijaga dan dipelihara agar tidak
menimbulkan keguncangan yang merusak tata hidup. Dengan demikian di hadapan alam
semesta atau berhadapan dengan ciptaan-ciptaan lain di alam ini manusia dituntut untuk
menjaga keselarasan dan harmoni dengan ciptaann-ciptaan lain. Manusia sebagai makhluk
yang unggul dengan akal budinya tidak boleh bertindak semenah-menah terhadap makhluk
ciptaan lain di alam ciptaan ini. Di alam semesta ini manusia hanya merupakan salah satu

27
ciptaan dari sekian banyak ciptaan yang lain. Dengan demikian manusia bersama ciptan yang
lain diciptakan bukan untuk saling menaklukkan melainkan untuk saling mengisi yang
ditandai dengan terciptanya keselarasan dan harmoni.

Keseimbangan ini dijaga atau dipulihkan lewat upacara-upacara korban. Tidak ada
keselamatan (keseimbangan) tanpa korban. Dalam upacara pemulihan keselamatan biasanya
dinyatakan dengan hewan darah korban yang mengalir. Darah sebagai unsur penjamin atau
pemulih keseimbangan atau keselamatan. Puncak keselamatan diperoleh ketika orang
meninggal dan hidup di Wano Kalada (Kampung Besar) sebuah dunia yang tidak nampak,
atau dalam bahasa Doni Kelen yakni kehidupan di kabaila ro’o (kehidupan di balik daun atau
mereka ada bersama kita namun tidak dapat dilihat secara kasat mata). Orang Sumba
meyakini bahwa kehidupan di dunia yang tidak tampak atau kabaila ro’o jauh lebih istimewa.
Namun kehidupan yang demikian indah itu hanya akan dialami oleh mereka yang tidak
memiliki tunggakan kesalahan adat selama hidupnya. Kalau orang yang meninggal dan
kemudian menyisahkan banyak dosa dan kesalahan yang belum dibereskan maka orang
tersebut akan menderita di sana

 Macam-macam Kematian dalam Masyarakat Sumba

Orang Sumba pada umumnya dan suku Wewewa pada khususnya, membedakan
kematian dalam dua jenis, yakni kematian normal (kematian wajar) dan kematian tidak
normal (kematian panas, kematian tidak wajar). Bagi orang Wewewa, kematian normal
adalah kematian yang paling mulia dan terhormat. Orang yang meninggal karena umur tua
diyakini juga karena mendapat berkat dan perlindungan dari leluhurnya. Berkat itu diperoleh
karena relasinya yang baik dengan leluhur, misalnya dengan memberi mereka
sesaji.Sedangkan kematian yang tidak normal dalam pandangan orang Wewewa disebabkan
oleh beberapa hal yakni, pertama karena perbuatan sesamanya, seperti karena dibunuh atau
ditabrak. Kedua, karena alam, seperti bencana alam banjir dan gempa bumi, dan yang ketiga
yakni karena tidak melakukan tuntutan leluhur. Yang termasuk dalam kematian jenis ketiga
ini seperti: mati tiba-tiba, gantung diri, disambar petir, atau karena sesuatu penyakit. Biasanya
kematian karena tidak melakukan tuntutan leluhur didahului oleh peringatan seperti gagal
panen, atau ditimpa penyakit yang sulit disembuhkan.

28
Dengan demikian, kematian yang tidak wajar atau kematin panas adalah kematian
sebelum waktunya. Kematian ini adalah merupakan sebuah musibah yang memiluhkan,
menakutkan dan menyedihkan. Jiwa orang yang mati dengan cara demikian masih
mengembara dan ia tidak tenang. Untuk mereka yang mati tidak wajar akan dikuburkan di
luar pagar kampung (mbali bina). Dengan demikian supaya jiwa orang yang meninggal tidak
wajar ini tenang dan damai, haruslah dibuat upacara atau ritual penyucian.

Upacara atau ritual penyucian untuk orang yang meninggal tidak wajar oleh orang
Wewewa di tempuh dalam tiga tahap. Pertama, upacara oka (balas-membalas dalam
berbicara untuk mengungkapkan suatu masksud). Cara pelaksanaan ini adalah seorang yang
mewakili orang mati berdiri di luar pagar kampung dan satu lagi yang mewakili pihak
keluarga yang masih hidup berdiri di dalam pagar. Setelah itu mereka mulai berbicara dan
bersahut-sahutan dalam menyampaikan isi hati masing-masing, teristimewa menyangkut
sebab kematian panas. Kedua, yakni ropu ana manu (memotong anak ayam). Anak ayam
dipotong dan dibagi dua, lalu dibuang satu bagian ke arah timur dan bagian yang lain ke arah
barat. Tujuannya adalah supaya kematian tidak wajar itu tidak terjadi lagi tetapi dijauhkan
dari mereka, yang disimbolkan dengan kedua kutub itu. Dan yang terakhir yakni Saiso. Saiso
dalam hal ini adalah doa penyucian dari orang yang hidup yang diucapkan secara bertutur dan
diiringi bunyi gong. Isi doa ini adalah permohonan keselamatan bagi orang yang mati tidak
wajar. Upacara saiso ini juga meminta kepada Marapu supaya arwah orang yang mati tidak
wajar yang masih berkeliaran itu segera turun dan masuk dalam rumah. Dalam konteks
inilah, Saiso menjadi salah satu ritus yang akan menjadi fokus perhatian saya dalam
membahas salah satu ritus penyucian dalam masyarakat Wewewa.

 Kabihu/Kabizu/Kabizzu, Penanggungjawab-Ritus

Setiap agama atau kepercayaa tradisional pasti memiliki struktur, di mana di dalamnya
kita dapat melihat penanggungjawab dari setiap ritus atau upacara yang dijalankan. Demikian
juga dengan agama Marapu pada masyarakat Sumba. Membicarakan berbagai ritus dalam
masyarakat Sumba tidak bisa dipisahkan dari berbagai kabizzu. Kabizzu-kabizzu itulah yang
mengaturnya-menggelarnya melalui rumah-rumah adat di setia perkampungan adat. Setiap
kabizzu mempunyai fungsi masing-masing begitu juga rumah-rumah adat, dengan
memperhatikan tata cara adat yang ketat. Pelaku utama setiap ritus di Sumba tergantung dari
siapa yang terlibat atau bertanggungjawab dalam ritus tersebut. Sejauh hal itu menyangkut
kepetingan dalam rumah sendiri maka kepala rumah tangga dari keluarga tersebut akan

29
memimpin jalannya upacara atau ritus tersebut. Tetapi jika hal itu menyangkut kepentingan
seluruh suku, maka upacara tersebut akan dipimpin oleh kepala-kepala suku. Di sini peran
kepala suku sebagai pemimpin mempunyai peranan yang besar, baik sebagai pemimpin
dalam kehidupan sehari-hari maupun sebagai pemimpin dalam ritual-ritual atau upacara-
upacara keagamaan.

Dengan demikian, dalam kaitan dengan upacara atau ritus Saiso, maka dapat dipastikan
bahwa pihak yang terlibat atau bertanggungjawab penuh adalah pihak keluarga dari korban
yang meninggal dalam keadaan tidak wajar. Pihak keluargalah yang bertanggungjawab atas
berlangsungnya ritus ini. Doa dari pihak keluarga akan mempercepat proses keselamatan
pihak yang meninggal tadi. Selain itu, seluruh warga kabizzu (laki-laki maupun perempuan)
juga masyarakat sekitarnya (tetangganya) atau yang disebut ole mbara uma (teman
sekampung) dan ole mbara wanno (teman kampung yang bertetangga atau kampung
terdekat). Semua anak-anak perempuan yang sudah kawin (ana mawine) beserta keponakan-
keponakannya (ana kabine), saudara-saudara yang sudah kawin (wotto) dan suaminya
saudara perempuan itu disebut olesawa serta semua orang dari warga kabizzu yang
bersangkutan (wallo riwu rawo, watu ndari tana).

Penyelenggara teknis ritus ini adalah seluruh warga kabizzu yang terdiri dari laki-laki
dewasa, dan mengerti adat. Mereka inilah yang menyiapkan materi yang dibutuhkan di dalam
penyelenggaraan upacara saiso. Mereka jugalah yang menetapkan waktu penyelenggaraan
upacara saiso dan menyampaikan pula maksudnya Rato Urata (Imam Marapu). Mengundang
pendukung-pendunkung (upacara) saiso serta menentukan pula Rato Urata.

Dalam ritus atau upacara saiso ini ada beberapa Rato (Imam) yang berperan yakni, Rato
Urata, Rato Saiso dan RatoMarapu. Rato Urata inilah yang mencari tahu atau menyelidiki
(wegawe urata dana), mengapa terjadi malapetaka dalam kabizzu yang bersangkutan. Rato
inilah yang dapat mengungkapkan dosa-dosa serta dia pulalah yang bisa menyucikan dosa-
dosa tersebut. Rato Urata biasanya berumur empat puluh tahun ke atas. Yang kedua yakni
Rato Saiso, dialah yang menyalurkan maksud saiso atau menyampaikan keinginan warga
kabizzu kepada para leluhur (Marapu) dan kemudian mendengarkan kepada pendukung atau
hadirin. Yang terakhir, Rato Marapu yaitu ahli adat Marapu. Orang inilah yang mengetahui
tingkatan Marapu dan mana yang harus dipuja. Rato Marapu ini juga yang dapat
memperbaiki dan menyempurnakan kesalahan Rato Urata dan Rato Saiso.

 Ritus atau Upacara Saiso

30
Upacara Saiso dilakukan sesudah sesuatu bencana berlaku atau terjadi seperti: sesudah
terjadinya suatu kematian karena pembunuhan, mati karena suatu bencana, seperti jatuh dari
pohon, dibawah banjir, diterkam buaya, ataupun bencana lain, kampung atau rumah terbakar
dan sebagainya. Saiso berarti memanggil semangat atau jiwa dari pada yang mati atau
terbakar, dengan bahasa Loura: kaghulai ndewana (memanggil jiwanya). Dalam kaitannya
dengan upacara kematian, semua ritus dan upacara itu dapat dibagi ke dalam tiga bagian,
yaitu: (1) perpisahan atau separation (2) peralihan atau merrge, dan (3) integrasi kembali atau
agregation.

Upacara saiso diadakan dengan tujuan untuk mengembalikan jiwa orang yang
meninggal tidak wajar. Dengan demikian upacara saiso terjadi ketika ada orang yang
meninggal tidak wajar atau tidak normal. Dengan demikian, di sini terjadi apa yang oleh Van
Gennep disebut dengan separation atau perpisahan. Perpisahan ini ditandai dengan adanya
orang yang meninggal dengan tidak wajar. Perpisahan terjadi antaar orang yang meninggal
secara tidak wajar dengan keluarga dan suku atau kabizzunya. Menentukan waktu Saiso
kepada Marapu dengan cara manggapu atau kerita, yaitu tumbana wiaza mono iya ana manu
(membuang beras dan menyembelih seekor anak ayam). Tepat pada siku rumah di luar, yang
bertentangan dengan mata Marapu dibuat suatu tangga dari dua batang tamian dengan anak
tangganya. Tangga itu diletakkan di atas sebua tonda (tameng) yang diberi abu halus yang
kemudian diratakan. Pada malam pertama ritual Saiso itu, diminta dengan cara tauna li’i
(memberi suara, menyatakan perasaan) dan ndondo (menyanyi) kiranya Marapau (Andikita-
Anoneka) menolong untuk mengembalikan ndewa (jiwa atau semangat) dari orang yang
meninggal secara tidak wajar tersebut.

Tiap-tiap pagi orang memeriksa apakah ada bekas kaki di atas abu pada tameng tempat
tangga itu diletakkan atau belum ada. Selama bekas itu belum nampak, tiap-tiap malam
diadakan Saiso dengan tauna li’i (doa), ndondo (menyanyi) dan nenggo (menari), memohon
kiranya: Ina Pulu – Ama Kandouka (ibu dan bapa almarhum, yang beranjak dan bedalih, Ibu
Pembicara dan Bapa Penutur – Marapu) menyampaikan seruan mereka kepada Amagholo –
Amarawi (Pencipta dan Pembuat, Alkhalik) agar Ia mengembalikan jiwa atau semangat dari
pada orang yang mati tidak wajar tersebut. Pada tahap ini terjadi apa yang oleh Van Gennep
disebut dengan peralihan atau merge, di mana manusia dianggap mati atau tak ada lagi.
Namun mereka perlu dipersiapkan untuk menjadi manusia baru dalam lingkungannya yang
baru nanti. Dalam upacara atau ritus saiso hal ini nampak dari usaha keluarga atau kabizzu
yang terlibat untuk memohon kepada Marapu Tertinggi untuk mengembalikan roh atau jiwa

31
orang yang meninggal secara tidak wajar. Usaha atau doa dari pihak keluarga atau kabizzu
nampak dari berbagai persiapan yang mereka adakan, seperti mempersiapkan ritus saiso dan
segala material yang berkaitan dengan ritus tersebut seperti sirih pinang, beras, telur ayam,
anak ayam anak kambing, babi besar yang sudah bertaring, anak babi dan kerbau. Tujuan
semua ritus beserta segala persiapannya yakni supaya Marapu mengembalikan atau
mengalihkan jiwa orang yang meninggal tidak wajar tadi kepada tempat yang layak, atau
dalam bahasa setempat disebut Wano Kalada, atau dunia yang tidak nampak (kabaila ro’o).

Kalau pada suatu pagi sudah nampak bekas, terus tangga itu dipotong, supaya jiwa atau
semangat yang sudah kembali jangan pulang kembali ke atas. Pada saat itulah upacara Saiso
dilakukan dengan mengundang loloka – ndam (ipar biras) dan para undangan lain dengan
menentukan waktu penutupan upacara, selambat-lambatnya empat hari atau secepat-cepatnya
dua hari. Pada hari yang ditentukan dilakukanlah tunu – teba dengan mempersembahkan sirih
pinang, makanan dan minuman kepada Magholo – Marawi serta para leluhur, daging kerbau
dan babi yang telah disembelih dan dibantai dibagi-bagikan kepada para undangan dan para
hadirin.

Orang Wewewa meyakini bahwa apabila pada tameng yang ditaburi abu sudah
nampak bekas atau jejak kaki, maka orang yang meninggal secara tidak wajar telah kembali
memasuki Kampung Besar (Wano Kalada). Pada bagian ini terjadi apa yang oleh Van
Gennep disebut sebagai bagian agregation, yang mana orang yang meninggal tadi diresmikan
ke dalam tahap kehidupannya serta lingkungannya yang baru yang dalam pandangan orang
Wewewa disebut Wano Kalada. Juga dalam bagian ketiga ini oleh Van Gennep, seperti
dalam banyak upacara lingkaran hidup: dalam upacara inisiasi sering ada acara di mana
individu yang bersangkutan secara perlambang seakan-akan dilahirkan kembali, dan
mengukuhkan integrasinya ke dalam lingkungan sosialnya yang baru.

Dalam masyarakat Wewewa sebagai perlambang bahwa individu yang bersangkutan


yang dalam konteks ini yakni orang yang meninggal secara tidak wajar dilahirkan kembali
atau telah memasuki Wano Kalada (Kampung Besar) suatu dunia yang penuh dengan
kedamaian dan ketenangan maka diadakan acara “syukuran” makan bersama dengan para
tamu undangan atau pendukung (loloka) dari upacara atau ritus ini. Acara syukuran berupa
pengurbanan hewan yakni babi dan kerbau tidak pertama-tama ditujukan kepada para
undangan melainkan pertama-tama kepada Magholo – Marawi serta para leluhur. Hewan-

32
hewan yang dipotong adalah korban pengucapan syukur karena jiwa yang meninggal tidak
wajar telah kembali.

33
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Komunikasi tradisional merupakan bagian dari ruang lingkup kajian komunikasi.


komunikasi tradisional menekankan proses penyampaian pesan melalui berbagi media
komunikasi yang bersifat tradisi atau sederhana, yang digunakan oleh sekelompok
masyarakat tertentu yang berbeda dari masyarakat lainnya. Komunikasi tradisional yang
dilakukan dari berbagai daerah yaitu dengan berbagai ritual yakni : Ritual Penti Pada
Masyarakat Desa Ndehes, Ritual Bangaliwu Suku Sabu, Sistem Komunikasi Di Rote tentang
belis, Sistem Komunikasi Hamayang Kematian di Sumba Timur

34
DAFTAR PUSTAKA

Arnoldus Yansen Agus1, Ni Luh Arjani2, I Ketut Darmana3. 2018. Ritual Penti Pada
Masyarakat Desa Ndehes, Kecamatan Wae Ri’i, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa
Tenggara Timur.ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol
22.1 Pebruari 2018: 166-173. DOI: 10.24843/JH.2018.v22.i01.p26.

Dagur, Anthony Bagul, 1997, Kebudayaan Manggarai Sebagai Salah Satu Khasanah
Kebudayaan Nasional, Surabaya : Ubhara Press.

Ghazali, Adeng Muchtar, 2011, Antropologi Agama, Upaya Memahami Keragaman


Kepercayaan, Keyakinan, dan Agama, Bandung: Penerbit Alfabet.

http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9265/6/D_902007003_BAB%20V.pdf
http://joey-rihiga.blogspot.com/2011/09/mengenal-budaya-orang-sabu.html

https://www.kompasiana.com/semuellusi/589b3ac2769373a40956e771/to-ok-tradisi-orang-
rote-hormati-ibu-sebagai-sumber-kehidupan?page=all
http://yoksi.blogspot.co.id/2011/12/sejarah-dan-kebudayaan-daerah-kabupaten.html

http://deviserlinababys.blogspot.co.id/2014/05/tradisi-budaya-suku-dawan.html

Koentjaraningrat, 2002, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT. Rhineka Cipta.

Maryaeni, 2005, Metode Penelitian Kebudayaan, Jakarta: Bumi Aksara

Peursen, Van CA, 1988, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius.

Verheijen Jillis, 1999, Manggarai dan Wujud Tertinggi. Seri LIPI-RUL.

35
36

Anda mungkin juga menyukai