Anda di halaman 1dari 57

BAB I PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman budaya, etnis,
suku dan ras,terdapat kurang lebih 389 suku bangsa yang memiliki adat istiadat, bahasa,
tata nilai dan budaya yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya (Asian Brain, 2010).
Adat istiadat, tata nilai dan budaya tersebut antara lain mengatur beberapa aspek
kehidupan, seperti: hubungan sosial kemasyarakatan, ritual peribadatan, kepercayaan,
mitos-mitos dan sanksi adat yang berlaku di lingkungan masyarakat adat yang
ada.Keanekaragaman budaya daerah tersebut merupakan potensi sosial yang dapat
membentuk karakter dan citra budaya tersendiri pada masing-masing daerah, serta
merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah.
Di samping itu, keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai
bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan. Seiring dengan peningkatan
teknologi dan transformasi budaya kearah kehidupan modern serta pengaruh globalisasi,
warisan daya dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan
terhadap eksistensinya . Hal ini perlu dicermati karena warisan budaya dan nilai-nilai
tradisional tersebut mengandung banyak kearifan lokal yang masih sangat relevan
dengan kondisi saat ini, dan seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan
dikembangkan lebih jauh. Beberapa nilai dan bentuk kearifan lokal,termasuk hukum
adat, nilai - nilai budaya dan kepercayaan yang ada sebagian bahkan sangat relevan
untuk diaplikasikan ke dalam proses atau kaidah perencanaan dan pembangunan
wilayah atau kawasan , seperti yang terdapat pada masyarakat Bali, Minang, Aceh, Batak,
Jawa, Sunda, Toraja, Sasak, Samawa dan lain-lain yang memiliki berbagai kaidah
perencanaan dan pengembangan kawasan. Kaidah-kaidah tersebut ada yang bersifat
anjuran, larangan, maupun persyaratan adat yang ditetapkan untuk aktivitas tertentu. II.
PENGERTIAN DAN BENTUK KEARIFAN LOKAL 2.1 Pengertian Perilaku yang bersifat umum
dan berlaku di masyarakat secara meluas, turun temurun, akan berkembang menjadi
nilai-nilai yang dipegang teguh, yang selanjutnya disebut sebagai kebudayaan (budaya).
Kearifan lokal didefinisikan Sebagai kebenaran yang telah mentradisi dalam suatu
daerah (Go Byah , 2003 ). Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat
dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya, untuk bertindak
dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu
(Ridwan, 2007). Kearifan secara etimologi berarti kemampuan seseorang dalam
menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau situasi.
Sedangkan lokal,menunjukkan ruang interaksi dimana peristiwa atau situasi tersebut
terjadi (wisdom). Dengan demikian ,kearifan lokal secara substansial merupakan norma
yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan
dalam bertindak dan berperilaku sehari - hari. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan
entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya
(Geertz, 2007) . 2.2 Bentuk Kearifan Lokal Bentuk kearifan lokal dapat dikategorikan ke
dalam dua aspek, yaitu kearifan lokal yang berwujud nyata (tangible) dan yang tidak
berwujud (intangible). a. Kearifan Lokal yang Berwujud Nyata (Tangible) 1.Tekstual
2.Bangunan/Arsitektural 3.Benda Cagar Budaya/Tradisional (Karya Seni) b.Kearifan Lokal
yang Tidak Berwujud (Intangible) Selain bentuk kearifan lokal yang berwujud, ada juga
bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud seperti petuah yang disampaikan secara
verbal dan turun temurun yang dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung
nilai-nilai ajaran tradisional . Melalui petuah atau bentuk kearifan lokal yang tidak
berwujud lainnya, nilai sosial disampaikan secara oral/verbal dari generasi ke generasi.

BAB II PERMASALAHAN Kalau kita berbicara kearifan lokal yang beragam, semua itu
pada dasarnya menjaga harmoni bangsa itu. Di Jawa ini sering kita dengar ing ngarso
sung tulodo, di depan memberi tauladan; ing madyo mangun karso, di tengah
membaur; dan tut wuri handayani, di belakang memberi dukungan. Jadi presiden harus
memberi tauladan, begitu tidak memberi tauladan, negeri ini bahaya. Soal di tengah dan
membaur, blusukan Jokowi disukai karena itu membaur. Karena itu adat sehingga
masyarakat menyukai. 1. Harmoni dan keadilan Semua kearifan lokal itu memberikan
kita harmoni sebenarnya. Jadi kalau bicara konflik, kearifan lokal itu tugasnya menjaga
agar konflik itu tidak terjadi. Bukan menyelesaikan konflik. Kearifan lokal menjaga
harmoni sehingga tidak terjadi konflik. Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah
konflik itu punya banyak sebab. Maka dari itu kita harus menyelesikan sebabnya. Bila
konfliknya politik, kita panggil tokoh-tokoh adat, tidak akan mempan. Jika konfliknya
adalah konflik agama, jangan pula diselesaikan secara adat. Sejak Indonesia merdeka,
sampai sekarang, sekiranya ada 15 konflik besar, yakni yang korbannya lebih dari 1000
orang. Kalau yang konflik kecil-kecil ratusan jumlahnya.Sepuluh dari konflik itu, karena
ketidakadilan seperti pemberontakan PKI di Madiun, RMS, DI TII, PRRI-Permesta, Aceh,
Timor hingga pemberontakan G30S. Jadi penyebabnya adalah ketidakadilan. Salah satu
contoh kasus yang memakan banyak korban jiwa adalah kasus Poso dan ambon, kasus
yang terjadi bukanlah masalah agama semata, melainkan karena ketidakadilan politik.
Mengapa dikatakan demikian ?. karena asumsi masyarakat luas mengenai Poso dan
Ambon adalah masalah agama. Memang tidak bisa disalahkan asumsi tersebut, namun
yang perlu diketahui adalah sebab utama yang mengakibatkan konflik yang besar. Sebab
utama konflik adalah dulu ketika bupatinya Muslim, maka wakilnya akan Kristen atau
katolik. Tapi ketika demokrasi masuk, the winner takes all, artinya Suara mayoritas yang
menentukan. Sehingga hilanglah harmoni yang berujung pada ketidakadilan, yang pada
akhirnya menimbulkan konflik. Kemudian dibawa ke masalah agama. Dengan demikian,
kita dapat mengambil satu kesimpulan bahwa adat tidak akan bisa menyelesaikan
konflik politik begitu juga sebaliknya. Contoh konflik lainnya adalah konflik di Kalimantan
antara Dayak dan Madura. Diselesaikan dengan cara memperbaiki psikologi dan
ekonominya karena itu yang membawa keadilan bagi mereka. Ada juga konflik yang
lebih kecil seperti di Lampung, di Sumbawa, di Sigi. Apa sebabnya? Karena banyak orang
di sana yang ekonominya rendah. Banyak anak-anak muda menganggur, ngobrol sampai
malam, ketika ada perbedaan-perbedaan atau sedikit selisih maka mereka akan cari-cari
perkara sehingga bentrokpun tak dapat dihindari. Karena pada kenyataannya di negara
kita Indonesia tercinta ini telah menjadi budaya permasalahan kecil dibesar-besarkan.
Contohnya perkelahian dua orang pemuda yang berlainan tempat tinggal, dapat meluas
ke perkelahian antar kelompok dan antar desa. 2. Makna keadilan Sekarang ini, konflik
itu lebih cepat lagi terjadinya. Konflik di lampung kemarin. Hanya karena SMS yang
belum tentu kebenarannya, di forward ke mana-mana. Ini juga yang terjadi di Sumbawa.
Jadi teknologi juga mempengaruhi. Maka dari itu cara mendamaikannya juga pakai
teknologi. Harus ada juga yang menangkal bahwa informasi itu tak benar,Tidak bisa kita
rapat adat dulu.Maka dari itu, dapat melihat bahwa penyebab terbesar konflik itu adalah
ketidakadilan baik itu politk atau sosial dan semacamnya. Kita mengambil contoh
masyarakat Jakarta pernah marah karena Manggarai banjir. Lalu masyarakat meminta
kepada petugas agar pintu air dibuka. Setelah dibuka, Menteng banjir, Istana juga banjir.
Setelah itu rakyat senang.Karena itu terjadi keadilan, maknanya kalau senang kita sama-
sama senang, kalau susah kita sama-sama susah. Sehingga tidak akan terjadi apa-apa.
Tetap banjir, tapi senang karena semua daerah banjir termasuk Istana Kepresidenan. 3.
Penegakkan hukum Tapi konflik juga karena ketidak-tegasan pemerintah. Konflik di Priok
misalnya. Setelah terjadi di Priok. Karena dibiarkan puluhan ribu orang bentrok, tiga
Satpol PP meninggal, puluhan mobil dibakar tapi tak ada yang ditangkap. Timbullah
pikiran, kalau kita bunuh orang rame-rame kita bebas hukum, artinya kekeliruan
semacam ini yang perlu diluruskan oleh semua pihak yang berwenang. Apabila
seseorang melakukan kesalahan atau melanggar hukum maka wajib hukumnya orang
tersebut ditangkap, berapapun jumlahnya. Kalau demikian maka orang akan berfikir
untuk membuat konflik. Disatu sisi masalah HAM merupakan pedoman yang dipegang
oleh para pembuat konflik, Jadi kalau ada orang yang membakar kantor bupati, polisi
bertindak dianggap melanggar HAM, justru itu berlaku sebaliknya, orang yang rame-
rame membakar kantor bupati itulah yang melanggar HAM sesungguhnya. Apabila polisi
tidak bertindak, mereka juga melanggar HAM. Orang yang bilang melanggar HAM
tersebut adalah salah satu orang yang tidak mengerti hukum atau peraturan yang
berlaku. Peraturan HAM di UUD pasal 28 ada sepuluh. Ada 9 macam HAM yang dicatat.
Tapi yang ke sepuluh, ditegaskan kalau orang harus taat pada hukum dan aturan yang
berlaku. Pemerintah, para negarawan, politisi dan para ilmuan sosial telah berupaya
maksimal untuk mencegah fenomena perubahan sosial tersebut, dengan hanya
mengandalkan teori, paradigma, dan pendekatan asing, dan selalu menggunakan
kekerasan sebagai cara penyelesaian sengketa atau konflik. Sangat jarang
memanfaatkan kearifan lokal (etnosains) Indonesia, yang sebetulnya cocok, tepat guna,
dan tepat konteks untuk penyelesaian konflik yang khronis di antara masyarakat bangsa
kita, baik konflik horisontal maupun vertikal. Konflik sosial ini pun selalu diajarkan,
disuburkan, diperuncing, dan cepat disosialisasikan ke hadapan seluruh khalayak negeri,
melalui berbagai masmedia bangsa, terutama televisi tanpa seleksi. Tayangan aneka
kekerasan dan kejahatan yang memicu konflik sosial ini telah dikukuhkan sebagai ciri
karakter bangsa itu, dapat dinikmati dan ditiru dengan bebas, oleh seluruh lapisan
masyarakat Indonesia, besar - kecil, tua-muda, pria-wanita. Fenomena sosial ini, selalu
ditelevisikan tiap hari bagi seluruh etnik bangsa, dan telah diadopsi dari Tanah Rencong
Aceh, Tanah Batak, Tanah Jawa, Kalimantan, Makasar, Ambon sampai dengan Tanah
Papua. Patut kita ketahui bahwa masyarakat Indonesia kini telah berada dalam suasana
kaos (keadaan kacau-balau) dan kedamaian yang semu, kini dalam suasana siaga konflik.
Hal ini disulut, berbagai praktek KKN yang dilakukan para pejabat negara yang kini telah
membudaya di Indonesia Menghadapi suasana konflik yang berkepanjangan karena
disulut hak -hak dasar masyarakat sederhana yang terabaikan karena kepentingan politik
dan ekonomi para pejabat, politisi, legislatif yang semakin menghancurkan moral
seluruh rakyat Indonesia, marilah kita memungut dan memanfaatkan aneka etnosains,
kiat emik strategis dari akar -akar budaya bangsa kita yang sebagian kecilnya masih
dipertahanakan masyarakat sederhana di Nusantara ini, agar kita jadikan pendekatan
yang ampuh untuk mencegah dan meminimalisir konflik sosial, baik konflik horisontal
maupun vertikal yang kerap terjadi di antara rakyat bangsa Indonesia. Problema
penggunaan pendekatan asing merupakan sebuah konsekuensi logis dari berbagai
paradigma, teori, strategi, ataupun aneka pendekatan asing (orang luar)., oleh sebab itu,
janganlah kita saling menuding dan menyalahkan dengan panjang lebar. Tetapi
sebaiknya, segera mempelajari dengan teliti, dan memanfaatkan aneka kearifan lokal
(etnosains) yang merupakan salah satu kiat yang dapat dimanfaatkan sebagai alat
resolusi konflik, modal sosial (social capital) penting untuk mengantisipasi berbagai
macam konflik (social conflict) yang kerap terjadi di antara kebinekaan masyarakat etnik
di Indonesia. Mengapa selalu terjadi konflik sosial dalam kehidupan masyarakat bangsa
Indonesia terus menerus seperti yang terjadi belakangan ini? Jawaban sederhananya
adalah bahwa para penggagas berbagai program pembangunan di Indonesia umumnya
dan khususnya pembangunan politik , ekonomi, sosial dan budaya tidak memanfaatkan
aneka kearifan lokal (etnosains) yang telah dianugerahkan Tuhan bagi umat ciptaan-Nya,
sebagai modal sosial (social capital) penting yang pantas dimanfaatkan untuk
membangun rakyat bangsa Indonesia agar hidup survive dan mengalami damai
sejahtera di atas bumi Nusantara yang kaya akan sumber daya alam, terbentang dari
Sabang sampai merauke. BAB III PENUTUP Ada beberapa hal yang harus dilakukan
terhadap pelestarian kearifan lokal adalah dengan menjadikan norma adat dan tradisi
budaya sebagai muatan dalam peraturan perundang-undangan. Namun demikian,
diperlukan kajian yang lebih mendalam dengan melibatkan lintas disiplin ilmu seperti
ilmu sosial, hukum,dan budaya untuk melihat potensi-potensi kearifan lokal yang ada di
setiap daerah. Adapun sikap yang dianggap perlu dan penting untuk bangsa kita saat ini
adalah berhentilah untuk saling menuding dan menyalahkan satu sama lain, segera
mempelajari dengan teliti, dengan memanfaatkan etnosains sebagai alat resolusi konflik
dalam menyelesaikan berbagai konflik yang kerap terjadi di negeri yang kita cintai ini.
Apabila kita ingin mendamaikan negeri ini, kita harus ciptakan keadilan. Harmoni harus
terus diciptakan. Harmoni antara pemerintah dan rakyatnya, antara agama ini dan itu,
antara adat ini dan itu. Tapi ketika ada konflik, haruslah kita selesaikan apa sebabnya.
Kalau sebabnya karena ekonomi maka hadirkan keadilan ekonomi, kalau politik maka
hadirkan keseimbangan politik, dan kalau kriminal maka hukumnya harus keras. Kalau
karena adat, maka selesaikan secara adat. Kalau soal agama, perbaiki pemahaman
agamanya. Maka konflik tidak akan mudah terjadi.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Sagala, 2010: 3).

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang didalamnya

memuat materi yang menyangkut aspek- aspek kehidupan manusia sehari- hari. Aspek

tersebut mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep dan generalisasi yang berkaitan

dengan isu sosial. Melalui mata pelajaran IPS, siswa diarahkan untuk dapat menjadi warga

negara Indonesia yang demokratis, bertanggung jawab, serta warga negara yang cinta damai.

Untuk mewujudkan hal tersebut perlu adanya penanaman dan penguasaan materi IPS dengan

baik sejak dini, yaitu dari Sekolah Dasar (SD). Hal ini bertujuan agar siswa mampu

mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan untuk menyelesaikan masalah

sosial yang terjadi dikehidupan siswa, sesuai dengan kemampuan belajarnya.

Pembelajaran merupakan suatu bentuk interaksi yang bersifat edukatif antara guru dengan
siswa. Demikian halnya pada saat pembelajaran IPS. Mata pelajaran IPS membutuhkan suatu
interaksi yang teratur antara guru dengan siswa, sebab mata pelajaran IPS merupakan suatu
ilmu yang bertujuan untuk menanamkan pada siswa untuk mengenal dan memamahami
konsep- konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Melalui
mata pelajaran IPS, siswa diarahkan untuk menyadari akan pentingnya hidup bermasyarakat.
Sehingga perlu adanya pembelajaran IPS yang dapat mengembangkan keterampilan-
keterampilan tersebut agar siswa mampu berkomunikasi, berfikir kritis, dan bekerja sama
dalam kehidupan sosial.
Selama ini pembelajaran IPS dianggap sebagai pelajaran yang sulit, kurang penting,

dan membosankan. Hal ini disebabkan karena mata pelajaran IPS sebagian besar materi

hanya menekankan pada aspek kognitif dan kurangnya penekanan pada aspek afektif dan

psikomotor. Untuk menyeimbangkan aspek-aspek tersebut guru menerapkan beberapa cara

yang sekiranya mampu untuk mengatasi kesulitan penyampaian pembelajaran pada mata

pelajaran IPS. Salah satu cara yaitu penerapan pembelajaran berbasis kearifan lokal.

Puguh dalam http://staff.undip.ac.id/sastra/dhanang/ menyatakan bahwa kearifan lokal

adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang

berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah

dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Istilah ini dalam bahasa Inggris dikonsepsikan sebagai

local wisdom/local knowledge /local genious yang artinya kebijakan setempat/pengetahuan

setempat/kecerdasan setempat. Sistem pemenuhan kebutuhan mereka meliputi seluruh unsur

kehidupan agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan

komunikasi, serta kesenian.

Kearifan lingkungan atau kearifan lokal masyarakat sudah ada di dalam kehidupan

masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini, kearifan

lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan

lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah

nenek moyang atau budaya setempat Wietoler dalam Akbar (2006) yang terbangun secara

alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di

sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan

berkembang secara turun-temurun. Secara umum, budaya lokal atau budaya daerah dimaknai

sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-

suku bangsa yang tinggal di daerah itu. Dalam pelaksanaan pembangunanan berkelanjutan
oleh adanya kemajuan teknologi membuat orang lupa akan pentingnya tradisi atau

kebudayaan masyarakat dalam mengelola lingkungan, seringkali budaya lokal dianggap

sesuatu yang sudah ketinggalan di abad sekarang ini, sehingga perencanaan pembangunan

seringkali tidak melibatkan masyarakat.

Pembelajaran akan lebih bermakna adalah pembelajaran yang menempatkan siswa

sebagai pusat pembelajaran student centered daripada teacher centered. Hal ini sejalan

dengan pernyataan Suparno (dalam Darlia 2010: 2) bahwa belajar bukan sekedar kegiatan

pasif menerima materi dari guru, melainkan proses aktif menggali pengalaman lama, mencari

dan menemukan pengalaman baru serta mengasimilasi dan menghubungkan antara keduanya

sehingga membentuk makna. Makna tercipta dari apa yang siswa lihat, dengar, rasakan, dan

alami. Untuk guru, mengajar adalah kegiatan memfasilitasi siswa dalam mengkonstruksi

sendiri pengetahuannya lewat keterlibatannya dalam kegiatan pembelajaran. Dengan kata lain,

sebagian besar waktu proses pembelajaran berlangsung dengan berbasis pada aktivitas siswa.

Guru selalu berusaha agar kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah

ditetapkan dapat dilakukan dengan cara yang efektif dan efisien. Guru juga berperan penting

dalam perancang strategi pembelajaran. Guru yang professional hendaknya merancang

pembelajaran yang aktif, kreatif, afektif, dan menarik. Indikator guru yang professional

sebagai perancang pembelajaran, yaitu: (1) menguasai kurikulum dan perangkat

pembelajaran, maksudnya guru harus tanggap dalam penguasaan kurikulum dan perangat

pembelajarannya, (2) menguasai materi, (3) menguasai berbagai macam metode, dan (4)

mampu mengelola pembelajaran.

Kemampuan tersebut kurang dipahami oleh guru, sehingga mata pelajaran IPS yang

kelihatannya mudah tetapi nilai hasil belajarnya kurang memuaskan. Hal ini menuntut guru

untuk kreatif dalam menentukan strategi pengelolaan pembelajaran dengan menetapkan

model pembelajaran yang efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran.


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut.
1. Apa pengertian pembelajaran berbasis kearifan lokal?
2. Apa landasan dari pembelajaran berbasis kearifan lokal?
3. Apa saja yang termasuk kearifan lokal?
4. Bagaimana contoh kearifan lokal dari suku karo,aceh,dan batak toba?
5. Bagaimana penerapan pendidikan karakter melalui pembelajaran berbasis kearifan lokal?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan dalam makalah ini adalah
sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui pengertian pembelajaran berbasis kearifan lokal.
2. Untuk mengetahui landasan dari pembelajaran berbasis kearifan lokal.
3. Untuk mengetahui apa saja yang termasuk dalam kearifan lokal.
4. Untuk mengetahui kearifan lokal dari suku karo,aceh,dan batak toba.
5. Untuk mengetahui penerapan pendidikan karakter melalui pembelajaran berbasis kearifan
lokal.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal

Kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu kearifan (wisdom), dan lokal (local). Secara

umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan

setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan

diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya

masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan

produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup.

Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.

(http://filsafat.ugm.ac.id).

Kearifan lingkungan atau kearifan lokal masyarakat sudah ada di dalam kehidupan

masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini, kearifan

lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan

lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah

nenek moyang atau budaya setempat Wietoler dalam Akbar (2006) yang terbangun secara

alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di

sekitarnya,

Secara umum, budaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang
di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah budaya suku bangsa yang tinggal di daerah itu.
Dalam pelaksanaan pembangunanan berkelanjutan oleh adanya kemajuan teknologi membuat
orang lupa akan pentingnya tradisi atau kebudayaan masyarakat dalam mengelola
lingkungan, seringkali budaya lokal dianggap sesuatu yang sudah ketinggalan di abad
sekarang ini, sehingga perencanaan pembangunan seringkali tidak melibatkan masyarakat.
Pemaknaan terhadap kearifan lokal dalam dunia pendidikan masih sangat kurang. Ada

istilah muatan lokal dalam struktur kurikulum pendidikan, tetapi pemaknaannya sangat

formal karena muatan lokal kurang mengeksporasi kearifan lokal. Muatan lokal hanya

sebatas bahasa daerah dan tari daerah yang diajarkan kepada siswa. Tantangan dunia

pendidikan sangatlah kompleks. Apalagi jika dikaitkan dengan kemajuan global di bidang

sains dan teknologi, nilai-nilai lokal mulai memudar dan ditinggalkan. Karena itu eksplorasi

terhadap kekayaan luhur budaya bangsa sangat perlu untuk dilakukan.

Kearifan lokal sesungguhnya mengandung banyak sekali keteladanan dan

kebijaksanaan hidup. Pentingnya kearifan lokal dalam pendidikan kita secara luas adalah

bagian dari upaya meningkatkan ketahanan nasional kita sebagai sebuah bangsa. Budaya

nusantara yang plural dan dinamis merupakan sumber kearifan lokal yang tidak akan mati,

karena semuanya merupakan kenyataan hidup (living reality) yang tidak dapat dihindari.

B. Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti,

pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta

didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan

kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Atas dasar itu, pendidikan

karakter bukan sekedar mengajarkan sesuatu yang benar dan yang salah tetapi pendidikan

karakter juga menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga peserta

didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan

(afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan

karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek pengetahuan yang baik (moral
knowing), akan tetapi juga merasakan dengan baik atau loving good (moral feeling), dan

perilaku yang baik (moral action).

Pendidikan karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus-menerus

dipraktikkan dan dilakukan. Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa

yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa

patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya

dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.

Pendidikan karakter berfungsi (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik,

berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang

multikultur; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.

Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan

pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.

Satuan pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan melaksanakan

nilai-nilai pembentuk karakter melalui program operasional satuan pendidikan masing-

masing. Hal ini merupakan prakondisi pendidikan karakter pada satuan pendidikan yang

untuk selanjutnya pada saat ini diperkuat dengan 18 nilai hasil kajian empirik Pusat

Kurikulum. Nilai prakondisi (the existing values) yang dimaksud antara lain takwa, bersih,

rapi, nyaman, dan santun. Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter

telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan

pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras,

(6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan,

(11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta

Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, & (18) Tanggung

Jawab. Kemendiknas (2011:3).


Meskipun telah terdapat 18 nilai pembentuk karakter bangsa, namun satuan

pendidikan dapat menentukan prioritas pengembangannya dengan cara melanjutkan nilai

prakondisi yang diperkuat dengan beberapa nilai yang diprioritaskan dari 18 nilai di atas.

Dalam implementasinya jumlah dan jenis karakter yang dipilih tentu akan dapat berbeda

antara satu daerah atau sekolah yang satu dengan yang lain. Hal itu tergantung pada

kepentingan dan kondisi satuan pendidikan masing-masing. Di antara berbagai nilai yang

dikembangkan, dalam pelaksanaannya dapat dimulai dari nilai yang esensial, sederhana, dan

mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah/wilayah, yakni bersih,

rapi, nyaman, disiplin, sopan dan santun.

Proses pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup

seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif dan psikomotorik) dan fungsi totalitas

sosiokultural dalam konteks interaksi dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat.

Pengkategorian nilai didasarkan pada pertimbangan bahwa pada hakekatnya perilaku

seseorang yang berkarakter merupakan perwujudan fungsi totalitas psikologis yang

mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif dan psikomotorik) dan fungsi

totalitas sosialkultural dalam konteks interaksi (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan

masyrakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam kontek totalitas

proses psikologis dan sosialkultural dapat dikelompokkan dalam: (1) olah ati/hati (spiritual &

emotional development); (2) olah pikir (intellectual development); (3) olah raga dan

kinestetik (physical & kinesthetic development); dan (4) olah rasa dan karsa (affective and

creativity development). Proses itu secara holistik dan koheren memiliki saling keterkaitan

dan saling melengkapi.

C. Landasan Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal

a. Landasan Historis
Kearifan lokal dapat bersumber dari kebudayaan masyarakat dalam suatu lokalitas

tertentu. Dalam perspektif historis, kearifan lokal dapat membentuk suatu sejarah lokal.

Sebab kajian sejarah lokal yaitu studi tentang kehidupan masyarakat atau khususnya

komunitas dari suatu lingkungan sekitar tertentu dalam dinamika perkembangannya dalam

berbagai aspek kehidupan. Wijda dalam (Koentjaraningrat, 1986). Awal pembentukan

kearifan lokal dalam suatu masyarakat umumnya tidak diketahui secara pasti kapan kearifan

lokal tersebut muncul. Pada umumnya terbentuk mulai sejak masyarakat belum mengenal

tulisan (praaksara). Tradisi praaksara ini yang kemudian melahirkan tradisi lisan.

Secara historis tradisi lisan banyak menjelaskan tentang masa lalu suatu masyarakat

atau asal-usul suatu komunitas. Perkembangan tradisi lisan ini dapat menjadi kepercayaan

atau keyakinan masyarakat. Dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan terdapat upaya

untuk mengabadikan pengalaman masa lalunya melalui cerita yang disampaikan secara lisan

dan terus menerus diwariskan dari generasi ke genarasi. Pewarisan ini dilakukan dengan

tujuan masyarakat yang menjadi generasi berikutnya memiliki rasa kepemilikan atau

mencintai cerita masa lalunya. Tradisi lisan merupakan cara mewariskan sejarah pada

masyarakat yang belum mengenal tulisan, dalam bentuk pesan verbal yang berupa pernyataan

yang pernah dibuat di masa lampau oleh generasi yang hidup sebelum generasi yang

sekarang ini.

b. Landasan Psikologis

Secara psikologis pembelajaran berbasis kearifan lokal memberikan sebuah

pengalaman psikologis kepada siswa selaku pengamat dan pelaksana kegiatan. Dampak

psikologis bisa terlihat dari keberanian siswa dalam bertanya tentang ketidaktahuannya,

mengajukan pendapat, persentasi di depan kelas, dan berkomunikasi dengan masyarakat.

Dengan pemanfaatan lingkungan maka kebutuhan siswa tentang perkembangan

psikologisnya akan diperoleh. Karena lingkungan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik lingkungan fisik

maupun lingkungan sosio-psikologis, termasuk didalamnya adalah belajar. Terhadap faktor

lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai empirik yang berarti pengalaman.

c. Landasan Politik dan Ekonomi

Secara politik dan ekonomi pembelajaran berbasis kearifan lokal ini memberikan

sumbangan kompetensi untuk mengenal persaingan dunia kerja. Dari segi ekonomi

pembelajaran ini memberikan contoh nyata kehidupan sebenarnya kepada siswa untuk

mengetahui kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena pada akhirnya siswa dididik

dan disiapkan untuk menghadapi persaingan global yang menuntut memiliki ketrampilan dan

kompetensi yang tinggi di lingkungan sosial.

d. Landasan Yuridis

Secara yuridis pembelajaran berbasis kearifan lokal mengarahkan peserta didik untuk

lebih menghargai warisan budaya Indonesia. Sekolah Dasar tidak hanya memiliki peran

membentuk peserta didik menjadi generasi yang berkualitas dari sisi kognitif, tetapi juga

harus membentuk sikap dan perilaku peserta didik sesuai dengan tuntutan yang berlaku. Apa

jadinya jika di sekolah peserta didik hanya dikembangkan ranah kognitifnya, tetapi diabaikan

afektifnya. Tentunya akan banyak generasi penerus bangsa yang pandai secara akademik, tapi

lemah pada tataran sikap dan perilaku. Hal demikian tidak boleh terjadi, karena akan

membahayakan peran generasi muda dalam menjaaga keutuhan bangsa dan Negara Indonesia.

Nilai-nilai kearifan lokal yang ada di sekitar sekolah dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran

di Sekolah Dasar. Tak terkecuali dalam pembelajaran untuk menanamkan nilai-nilai

nasionalisme. Dengan diintegrasikannya nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran di

Sekolah Dasar diharapkan siswa akan memiliki pemahaman tentang kerifan lokalnya sendiri,

sehingga menimbulkan kecintaan terhadap budayanya sendiri.


D. Penerapan Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Berbasis Kearifan

Lokal

Pembelajaran berbasis kearifan lokal dipadu dengan pembelajaran IPS sangatlah

cocok. Hal ini sesuai dengan tujuan IPS yaitu agar siswa mampu mengembangkan

pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan untuk menyelesaikan masalah sosial yang terjadi

dikehidupan siswa, sesuai dengan kemampuan belajarnya. Pembelajaran berbasis kearifan

lokal untuk menanamkan pendidikan karakter dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara

mengintegrasi ke mata pelajaran, melalui mata pelajaran muatan lokal dan melalui

pengembangan diri.

1. Mengintegrasikan ke Mata Pelajaran IPS

Mengintegrasikan ke mata pelajaran IPS bertujuan untuk memperkenalkan nilai-nilai

pendidikan karakter di mata pelajaran sehingga menyadari akan pentingnya nilai-nilai

tersebut dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari

melalui proses pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas. Pada

dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai

kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang untuk menjadikan peserta didik

mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.

Pada setiap mata pelajaran di SD sebenarnya telah memuat materi-materi yang

berkaitan dengan pendidikan karakter. Pengembangan nilai-nilai pendidikan karakter di

setiap mata pelajaran dapat dilakukan dengan mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan

karakter ke dalam kompetensi dasar (KD) yang sesuai yang terdapat dalam Standar Isi

(Permendiknas No. 22 tahun 2006). Jumlah KD di setiap mata pelajaran yang dapat

diintegrasikan nilai-nilai pendidikan karakter tentu berbeda, ada yang banyak dan ada yang

sedikit. Selanjutnya kompetensi dasar yang dapat diintegrasikan nilai-nilai pendidikan

karakter tersebut dikembangkan pada silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Sebagai contoh berdasarkan materi kelas IV standar kompetensi (Mengenal sumber

daya alam, kegiatan ekonomi, dan kemajuan teknologi di lingkungan kabupaten/kota dan

provinsi) dan kompetensi dasar (Mengenal aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan sumber

daya alam dan potensi lain di daerahnya). Nilai karakter yang dapat dimunculkan yaitu jujur,

disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, cinta tanah air, menghargai

prestasi, bersahabat/komunikatif, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.

2. Mengintegrasikan ke dalam Mata Pelajaran Muatan Lokal

Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang

disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah atau disebut

dengan kearifan lokal. Materi dipilih ditetapkan berdasarkan ciri khas, potensi dan

keunggulan daerah, serta ketersediaan lahan, sarana prasarana, dan tenaga pendidik. Sasaran

pembelajaran kearifan lokal adalah pengembangan jiwa kewirausahaan dan penanaman nilai-

nilai budaya sesuai dengan lingkungan. Nilai-nilai kewirausahaan yang dikembangkan antara

lain inovasi, kreatif, berpikir kritis, eksplorasi, komunikasi, kemandirian, dan memiliki etos

kerja. Nilai-nilai budaya yang dimaksud antara lain kejujuran, tanggung jawab, disiplin,

kepekaan terhadap lingkungan, dan kerja sama.

Penanaman nilai-nilai kewirausahaan dan budaya tersebut diintegrasikan di dalam

proses pembelajaran yang dikondisikan supaya nilai-nilai tersebut dapat menjadi sikap dan

perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu pembelajaran berbasis kearifan lokal dapat

dilakukan dengan cara guru memberikan tugas secara berkelompok mengobservasi dan

mengidentifikasi budaya atau sumber daya yang ada di lingkungan tempat tinggal. Melalui

observasi langsung ke lingkungan guru memiliki beberapa tujuan untuk dimiliki siswa setelah

kegiatan berlangsung. Nilai karakter dan kemampuan yang diharapkan yaitu jujur, disiplin,

kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, cinta tanah air, menghargai prestasi,

bersahabat/komunikatif, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.


3. Melalui Kegiatan Pengembangan Diri

Kegiatan pengembangan diri meliputi beragam kegiatan ekstrakurikuler sesuai

dengan minat dan bakat siswa, seperti Kegiatan ekstra kurikuler (kewiraan melalui pramuka

dan Paskibraka, olahraga, seni, kegiatan ilmiah melalui olimpiade dan lomba mata pelajaran.

Kegiatan pembiasaan (kegiatan rutin melalui upacara bendera dan ibadah bersama). Kegiatan

terprogram melalui pesantren Ramadhan, buka puasa bersama, pelaksanaan Idul Qurban,

keteladanan melalui pembinaan ketertiban pakaian seragam anak sekolah (PAS), pembinaan

kedisiplinan, penanaman nilai akhlak mulia, penanaman budaya minat baca, penanaman

budaya bersih di kelas dan lingkungan sekolah, penanaman budaya hijau. Kegiatan

nasionalisme melalui perayaan hari kemerdekaan RI, peringatan hari pahlawan, peringatan

hari pendidikan nasional. Kegiatan outdoor learning dan training melalui kunjungan belajar

dan studi banding.

Pembelajaran berbasis kearifan lokal merupakan pembelajaran yang menempatkan

siswa sebagai pusat pembelajaran student centered daripada teacher centered. Hal ini sejalan

dengan pernyataan Suparno (dalam Darlia 2010: 2) bahwa belajar bukan sekedar kegiatan

pasif menerima materi dari guru, melainkan proses aktif menggali pengalaman lama, mencari

dan menemukan pengalaman baru serta mengasimilasi dan menghubungkan antara keduanya

sehingga membentuk makna. Makna tercipta dari apa yang siswa lihat, dengar, rasakan, dan

alami. Untuk guru, mengajar adalah kegiatan memfasilitasi siswa dalam mengkonstruksi

sendiri pengetahuannya lewat keterlibatannya dalam

Terkait dengan pembelajaran nilai-nilai kearifan lokal di Sekolah Dasar Menurut

Sutarno (2008: 7-6) ada empat macam pembelajaran berbasis budaya, yaitu:

1. Belajar tentang budaya, yaitu menempatkan budaya sebagai bidang ilmu. Budaya dipelajari

dalam program studi khusus, tentang budaya dan untuk budaya. Dalam hal ini, budaya tidak

terintegrasi dengan bidang ilmu.


2. Belajar dengan budaya, terjadi pada saat budaya diperkenalkan kepada siswa sebagai cara

atau metode untuk mempelajari pokok bahasan tertentu. Belajar dengan budaya meliputi

pemanfaatan beragam untuk perwujudan budaya. Dalam belajar dengan budaya, budaya dan

perwujudannya menjadi media pembelajaran dalam proses belajar, menjadi konteks dari

contoh-contoh tentang konsep atau prinsip dalam suatu mata pelajaran, serta menjadi konteks

penerapan prinsip atau prosedur dalam suatu mata pelajaran.

3. Belajar melalui budaya, merupakan strategi yang memberikan kesempatan siswa untuk

menunjukkan pencapaian pemahaman atau makna yang diciptakannya dalam suatu mata

pelajaran melalui ragam perwujudan budaya.

4. Belajar berbudaya, merupakan bentuk mengejawantahkan budaya itu dalam perilaku nyata

sehari-hari siswa. Misalnya, anak dibudayakan untuk selalu menggunakan bahasa krama

inggil pada hari sabtu melalui Program Sabtu Budaya.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kearifan lokal sesungguhnya mengandung banyak sekali keteladanan dan

kebijaksanaan hidup. Pentingnya kearifan lokal dalam pendidikan kita secara luas adalah

bagian dari upaya meningkatkan ketahanan nasional kita sebagai sebuah bangsa. Pendidikan

karakter bukan sekedar mengajarkan sesuatu yang benar dan yang salah tetapi pendidikan

karakter juga menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga peserta

didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan

(afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor).

Pendidikan karakter telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama,

Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi,

(4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu,

(10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13)

Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan,

(17) Peduli Sosial, & (18) Tanggung Jawab.

18

Pembelajaran berbasis kearifan lokal dipadu dengan pembelajaran IPS sangatlah


cocok. Hal ini sesuai dengan tujuan IPS yaitu agar siswa mampu mengembangkan
pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan untuk menyelesaikan masalah sosial
yang terjadi dikehidupan siswa, sesuai dengan kemampuan belajarnya.
Pembelajaran berbasis kearifan lokal untuk menanamkan pendidikan karakter
dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara mengintegrasi ke mata pelajaran, melalui
mata pelajaran muatan lokal dan melalui pengembangan diri.
KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SARANA PEMBENTUKAN KERUKUNAN UMMAT
BERAGAMA DI SUMATERA UTARA

OLEH
M. ABDULLAH AMIN HASIBUAN [1]
A. Pendahuluan
Dewasa ini, bangsa Indonesia sedang menghadapi ancaman disintegrasi bangsa.
Berbagai konflik yang terjadi di berbagai daerah, baik karena alasan politik, ekonomi dan
agama, adalah merupakan serius yang harus diselesaikan dengan arif. Apalagi menyangkut
politik antar umat beragama seperti yang terjadi di Ambon, Posa dan daerah lain, tidak bisa
dibiarkan berlarut-larut. Sebab, konflik antar umat beragama ini tidak segara diatasi,
dikawatirkan nanti akan merambah ke daerah lain, akan membuat persoalan semakin parah.
Problematika Mayoritas dan Minoritas penduduk Indonesia dapat dilihat dari
berbagai aspek, tidak hanya menyangkut masalah heterogenitas etnis, ekonomi, politik,
pendidikan, tetapi juga persoalan keanekaragaman agama (Pluralitas Agama). Fokus
pembahasan berikut ni adalah menyangkut persoalan keanekaragaman agama. Mayoritas
diidentikkan dengan penduduk yang beragama Islam, sedangkan Minoritas adalah
penduduk yang yang Islam, seperti Katolik, Kristen, Budha atau Hindu.
Keanekaragaman agama di Indonesia, merupakan kenyataan yang tidak dapat
dipungkiri. Ini berarti kita harus pula menyadari konsekwensinya, yakni perbedaan yang bisa
menimbulkan ketegangan-ketegangan.[2] Karena itu upaya mengidentifikasi keanekaragaman
agama dalam masyarakat Indonesia yang mejemuk menjadi sangat penting. Sebab salah satu
jalan menuju kearah integrasi bangsa adalah mengidentifikasi dan mengagendakan setiap
persoalan yang muncul dari keanekaragaman agama tadi.
Dalam mengatasi konflik yang terjadi di Indonesia pemerintah telah berupaya
melakukan berbagai hal untuk mengatasi permasalahan konflik tersebut diantaranya Pertama,
Melakukan dialog antara ummat beragama yang diharapkan mampu meredam konflik yang
terjadi, upaya ini memang mampu meredam konflik tersebut namun belum mampu
menyentuh keakar permasalahan yang muncul. Kedua, Membentuk Lembaga dibidang
kerukunana Ummat beragama seperti FKUB, yang diharapkan mampu merekat persaudaraan
sesama ummat beragama, dan inipun hanya mampu menyentuh dikalangan tertentu, atau
hanya menjadi mediator penyelesaian permaslahan bila terjadi konflik antara ummat
beragama.
Untuk itu perlu kiranya mencari solusi untuk lebih mempererat kerukunan yang telah
ada sehingga kerukunan itu bukan hanya menyentuh secara umum atau dalam tatanan
konstitusi namun juga mampu menyentuh keperasaan dan persauadaan secara individual bagi
personal masayarakat.
B. Dalihan Natolu Konsep KUB Yang Mengakar di SUMUT
Dalihan Na Tolu adalah filosofis atau wawasan sosial-kulturan yang menyangkut
masyarakat dan budaya Batak.[3] Dalihan Natolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-
hubungan kerabat darah dan hubunganperkawinan yang mempertalikan satu
kelompok.[4] Dalam adat batak, Dalihan Natolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan
fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar
bersama. Ketiga tungku tersebut adalah:
1. Pertama, Somba Marhulahula/semba/hormat kepada keluarga pihak Istri.
2. Kedua, Elek Marboru (sikap membujuk/mengayomi wanita)
3. Manat Mardongan Tubu (bersikap hati-hati kepada teman semarga)
Dalihan Na Tolu artinya tungku yang berkaki tiga, bukan berkaki empat atau lima.[5]
Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari
ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan. Kalau kaki lima, jika satu
kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga
dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi.
Inilah yang dipilih leluhur suku batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan
antara sesama yang bersaudara, dengan hula-hula dan boru. Perlu keseimbangan yang
absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita
harus menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru,
dan pernah menjadi dongan tubu.
Dalihan Natolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan
kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Dalam adat
batak, Dalihan Natolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu
konstruksi sosialyang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama, ketiga hal tersebut.
Somba Marhulahula ada yang menafsirkan pemahaman ini menjadi menyembah hul-
hula, namun ini tidak tepat. Memang benar kata Somba, yang tekananya pada som berarti
menyembah, akan tetapi kata Somba di sini tekananya ba yang adalah kata sifat dan berarti
hormat. Sehingga Somba marhula-hula berarti hormat kepada Hula-hula. Hula-hula adalah
kelompok marga istri, mulai dari istri kita, kelompok marga ibu (istri bapak), kelompok
marga istri opung, dan beberapa generasi, kelompok marga istri anak, kelompok marga istri
cucu, kelompok marga istri saudara dan seterusnya dari kelompok dongan tubu.
Hula-hula ditengarai sebagai sumber berkat. Hula-hula sebagai sumber
hagabeon/keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari hulahula. Tanpa
hulahula tidak ada istri, tanpa istri tidak ada keturunan.
Elek Marboru artinya lemah lembut tehadap boru/perempuan. Berarti rasa sayang
yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih. Boru adalah anak perempuan kita, atau
kelompok marga yang mengambil istri dari anak kita (anak perempuan kita). Sikap lemah
lembut terhadap boru perlu, karena dulu borulah yang dapat diharapkan membantu
mengerjakan sawah di ladang. Tanpa boru, mengadakan pesta suatu hal yang tidak mungkin
dilakukan.
Manat Mardongan Tubu/Sabutuha artinya suatu sikap berhati-hati terhadap sesama
marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat. Hatihati dengan teman
semarga. Kata orang tua-tua hau na jonok do na boi marsiogoson yang berarti kayu yang
dekatlah yang dapat bergesekan. Ini menggambarkan bahwa begitu dekat dan seringnya
hubungan terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan, dan
lain-lain.
Inti ajaran Dalihan Natolu adalah kaidah moral berisi ajaran saling menghormati
(marsipasangapon) dengan dukungan kaidah moral: saling menghargai dan
menolong. Dalihan Natolu menjadi media yang memuat azas hukum yang objektif.
Di Tapanuli telah diterbitkan Perda No. 10 tahun 1990 tentang Lembaga Adat Dalihan
Natolu, yaitu suatu lembaga adat yang dibentuk Pemda Tingkat II, sebagai lembaga
musyawarah yang mengikutsertakan para penatua adat yang benar-benar memahami,
menguasai dan menghayati adat istiadat di lingkungannya. (Pasal 5 dan 8 Perda No. 10 Tahun
1990).
Lembaga ini memiliki tugas untuk melaksanakan berbagai usaha/kegiatan dalam
rangka menggali, memelihara, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah
termasuk di dalamnya adat-istiadat dan kesenian untuk tujuan pembangunan dan sifatnya
konsultatif terhadap pemerintah. (Pasal 6 Perda No. 10 Tahun 1990).
Lembaga DalihanNatolu adalah lembaga permusyawaratan/pemufakatan adat Batak
yang dibentuk berdasarkan peranan adat istiadat, kebudayaan, kesenian daerah, gotong
royong dan kekeluargaan.[6]
Keanggotaan dan kepengurusan Lembaga Adat Dalihan Natolu adalah para Penatua
Adat yang benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat. Selain itu, jelas bahwa
anggota dan pengurus harus setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945 dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Hal lain yang harus diperhatikan secara langsung Dalihan Natolu adalah Dalihan
artinya sebuah tungku yang dibuat dari batu, sedangkan Dalihan Natolu ialah tungku
tempat memasak yang diletakkan diatas dari tiga batu. Ketiga dalihan yang dibuat berfungsi
sebagai tempat tungku tempat memasak diatasnya. Dalihan yang dibuat haruslah sama besar
dan diletakkan atau ditanam ditanah serta jaraknya seimbang satu sama lain serta tingginya
sama agar dalihan yang diletakkan tidak miring dan menyebabkan isinya dapat tumpah atau
terbuang.
Dulunya, kebiasaan ini oleh masyarakat Batak khususnya Batak Toba memasak di
atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku jika diterjemahkan langsung
dalam bahasa Batak Toba disebut juga dalihan natolu. Namun sebutan dalihan natolu paopat
sihalsihal adalah falsafah yang dimaknakan sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam
kehidupan masyarakat Batak.
Sehari-hari alat tungku merupakan bagian peralatan rumah yang paling vital untuk
memasak. Makanan yang dimasak baik makanan dan minuman untuk memenuhi kebutuhan
hidup anggota keluarga. Biasanya memasak di atas dalihan natolu terkadang tidak rata karena
batu penyangga yang tidak sejajar. Agar sejajar maka digunakanlah benda lain untuk
mengganjal.
Contoh umpasa Batak Toba yang menggunakan kata Dalihan Natolu : Ompunta
naparjolo martungkot sialagundi. Adat napinungka ni naparjolo sipaihut-ihut on ni na
parpudi. Umpasa itu sangat relevan dengan falsafah dalihan natolu paopat sihal-sihal
sebagai sumber hukum adat Batak.
Apakah yang disebut dengan dalihan natolu paopat sihal-sihal itu? dari umpasa di
atas, dapat disebutkan bahwa dalihan natolu itu diuraikan sebagai berikut :
Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Angka na so somba
marhula-hula siraraonma gadongna, molo so Manat mardongan tubu, natajom ma adopanna,
jala molo so elek marboru, andurabionma tarusanna.
C. Kebudayaan Masyarakat Sumut Yang Mempererat KUB
Secara umum bahwa usaha untuk membentuk kerukunan antara Ummat beragama di
Propinsi Sumatera Utara juga tidak luput dari informasi yang telah diberikan oleh pemerintah
secara Nasional, namun ke khususan masyarakat Sumatera Utara terletak pada budaya
masyarakat itu sendiri yang ditopang oleh pemerintah, namun selayaknya dijadikan
pembiaran akan tetapi harus di support bahkan harus diberi apresiasi oleh pemerintah adapun
budaya budaya tersebut adalah :
1. Horja
Secara umum Horja merupakan bahasa Batak yang memiliki arti Pesta, bila ada
perayaan adat baik yang menyangkut perkawinan atau memberi nama anak, maka akan
muncul jiwa kebersamaan dimana dalihan natolu akan bahu membahu untuk mensukseskan
kegiatan tersebut, sehingga rasa persaudaraan akan muncul tanpa melihat agamanya
melainkan membantu sesama untuk mensukseskan horja tersebut.Dalam Horja tersebut ada
keunikan berupa penghargaan kepada masing-agama berupa pembedaan makanan dan
minuman kepada ummat muslim sebab ummat Islam tidak mau memakan yang masak oleh
yang bukan Islam.
2. Kerja Tahunan Dalam Masyakat SUMUT
Kerja tahunan ini dilakukan oleh masyarakat Karo dimana akan diadakan pertemuan
besar-besaran yang diadakan di Karo untuk mengenang dan melihat perkembangan
Bonapasogit di kampung halaman yang mengikutkan seluruh masyarakt karo se dunia tanpa
membedakan agama satu sama lain.
3. Menghormati Nenek Moyang
Untuk menghormati dan mengabadikan nenek moyang dikalangan masyakat Batak,
maka di bentuklah Parsadaan-parsadaan yang membentuk satuan marga tertentu sehingga
akan kelihatan di mana sumber asal usul seseorang mulai sejak Si Raja Batak hingga ke diri
individu itu sendiri, yang akan menjadikan kecintaan terhadap persaudaraan sesama
keturunan. Contoh Marga Hasibuan yang bersaudara dengan Panggabean, Hutabarat, Huta
Galung, Lubban Tobing, Simorangkir, sehingga bila mereka bertemu dalam suatu tempat
maka akan muncul rasa persaudaraan di antara mereka walaupun berbeda agama.
4. Pesta danau Toba
Pesta Danau Toba merupakan Budaya yang didukung penuh oleh Pemerintah Propinsi
Sumatera Utara, sehingga potensi pesta Danau Toba bukan saja menunjukkan potensi
pariwisata yang ada di sekitar wilayah Danau Toba, melainkan memiliki peranan
mempersatukan seluruh ummat manusia dari seluruh pelosok dunia untuk mengenal budaya
lokal masyarakat di Sumatera Utara yang Heterorogen dan Humanis.
Pesta Danau Toba memperagakan berbagai macam kebudayaan masyarakat sumatera
utara khususnya orang Batak yang tinggal di Danau Toba, yang menunjukkan sikap saling
menyayangi dan memegang teguh adat istiadat yang ada serta melestarikannya, perekat
persaudaraan tanpa memandang agama.
D. Marga Sebagai Perekat Kerukunan
Marga Batak adalah Marga pada Suku Batak yang berasal dari daerah di Sumatera
Utara, Orang Batak selalu memiliki nama Marga/Keluarga. Nama marga ini diperoleh dari
garis keturunan ayah (Patrilinear) yang selanjutnya akan diteruskan kepada keturunannya
secara terus menerus.
Menurut kepercayaan masyarakat Batak, induk marga Batak dimulai dari Si Raja
Batak yang diyakini sebagai asal mula orang Batak. Si Raja Batak mempunyai dua orang
putra, yakni Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon. Guru Tatea Bulan mempunyai 5 orang
putra yakni Raja Uti (Raja Biakbiak), Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja, dan Malau
Raja. Sementara, Si Raja Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putra yakni Tuan
Sorimangaraja, Si Raja Asiasi dan Sangkar Somalidang.
Dari keturunan (Pinompar) mereka inilah kemudian menyebar ke segala penjuru
daerah di Tapanuli, baik ke utara maupun ke selatan sehingga munculah berbagai macam
marga Batak.
Legenda mengenai bagaimana Si Raja Batak dapat disebut sebagai asal mula orang
Batak masih perlu dikaji lebih dalam.
Sejak masa Kerajaan Batak hingga pembagian wilayah yang di diami suku Batak ke
dalam beberapa distrik oleh Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Tanah Batak dibagi
menjadi 4 (empat) bagian besar, yaitu:
Samosir (Pulau Samosir dan sekitarnya); contoh: marga Simbolon, Sagala, dsb
Toba (Balige, Laguboti,Porsea, Parsoburan, simanindo, Parbaba, Pangururan, Sigumpar,
dan sekitarnya); contoh: marga Sitorus, Marpaung, dsb
Humbang (Dolok Sanggul, Lintongnihuta, Siborongborong, dan sekitarnya); contoh:
marga Simatupang Siburian, Silaban, Sihombing Lumban Toruan, Nababan, Hutasoit, dsb
Silindung (Sipoholon, Tarutung, Pahae, dan sekitarnya); contoh: marga Naipospos
(Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun), Huta Barat, dsb
Hubungan antar marga di masing-masing suku Batak berbeda jenisnya. Pada Suku
Batak (Samosir-Toba-Humbang-Silindung) hubungan marga ini dapat dilihat dari asal muasal
marga tersebut pada garis keturunan Raja Batak. Semakin dekat dengan Raja Batak, maka
semakin dituakanlah marga tersebut.
Satu hal yang pasti, 2 orang yang bermarga sejenis (tidak harus sama) secara hukum
adat tidak diperbolehkan untuk menikah. Pelanggaran terhadap hukum ini akan mendapat
sangsi secara adat.
Tidak ada pengklasifikasian tertentu atas jenis-jenis marga ini, namun marga-marga
biasanya sering dihubungkan dengan rumpunnya sebagaimana Bahasa Batak. Misalnya
Simatupang merupakan perpaduan dari putranya marga Togatorop, Sianturi, dan Siburian
yang ada di wilayah HUMBANG. Naipospos merupakan perpaduan dari kelima putranya
yang secara berurutan, yaitu marga Sibagariang, Huta Uruk, Simanungkalit, Situmeang, dan
Marbun yang berada di wilayah SILINDUNG, dan sebagainya.
Dalam masyakat batak dikenal istilah Tarombo atau Silsilah merupakan cara orang
batak menyimpan daftar silsilah marga mereka masing-masing dan merupakan suatu hal yang
sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan
dianggap sebagai "orang Batak kesasar" (nalilu). Orang Batak khusunya lelaki diwajibkan
mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman
semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya
(partuturanna) dalam suatu klan atau marga.
Beberapa contoh artikel yang membahas tarombo dari marga-marga Batak yaitu:
Silaban
Raja Naipospos, yang mempunyai lima putera dan menurunkan marga Sibagariang,
Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun Lumban Batu, Marbun Banjar Nahor, Marbun
Lumban Gaol
Si Opat Pusoran, yang menurunkan marga Hutabarat, Panggabean, Simorangkir,
Hutagalung, Hutapea, Lumban Tobing
Bentuk Klan adalah berupa suatu kumpulan orang per orang yang mempunyai satu
bapak dan bisa beberapa ibu, karena suku batak menganut parternalistik.Marga ini akan
menumbuhkan persaudaraan dikalangan masyakat batak tanpa melihat agama masing-masing
Penutup
Bahwa Kerukunan Antara Ummat beragam di Sumatera Utara yang multikultural
bahkan sebagai miniature kerukunan di Indonesia tidak lepas dari budaya yang memang
sudah mengakar dan ada sejak jaman dahulu yang perlu dilestarikan bahkan digali untuk
lebih mempererat persaudaraan sesame ditengah gejolak misionarisme agama-agama didunia.

DAFTAR PUSTAKA
D. J. Gultom Raja Marpodang, sebagai sumber pembanding dalam bukunya
yang berjudul Dalihan Natolu Nilai Budaya Suku Batak tentang
marga keturunan Raja Batak.

Haran Sibagariang (Gelar: Ompu Basar Solonggaron), mantan Kepala Negeri


Huta Raja sebagai sumber tertulis dalam buku sederhana susunannya
sendiri tentang Raja Naipospos dan Keturunannya.

Jan. S Aritonang, dkk, Beberapa Pemikiran Menuju Dalihan Natolu,


(Jakarta:Dian Utama, 2006).

J.C Vergouwen,Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba,(Yogyakarta: Lkis,


2004).

J. P. Sitanggang, Raja Napogos, Jakarta: Penerbit Jala Permata Aksara, 2010.

Laris Kaladius Sibagariang, seorang yang dituakan dan kepala adat di Huta
Raja, Sipoholon sebagai sumber lisan.

Saefuddin, Achmad, Konflik dan Integrasi, Perbedaan Paham dalam Agama


Islam. (Jakarta: CV. Rajawali, 1986). h. 25.

W. M. Hutagalung, sebagai sumber pembanding dalam bukunya yang


bejudul PUSTAHA BATAK Tarombo dohot Turiturian ni Bangso
Batak.
KEARIFAN BUDAYA LOKAL DI DALAM SUKU BATAK TOBA

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Budaya awal nya adalah kebiasaan manusia merespon keadaan luar diri dan lingkunga yang
di tempati nya atau di adaptasi untuk bisa di terima secara seksama di suatu
lingkungannya.Kebudayaan sebagai ciri bangsa yang memiliki peradaban lebih maju
diimplementasikan dalam bentuk karya bunyi, gerak, dan suara yang melahirkan kesenian.
Indonesia sendiri memliki berbagai macem etnis, suku sekitar 300 kelompok etnis yang
berada di Indonesia, di setiap etnis dan suku mempunyai warisan budaya yang berkembang
selama berabad abad, dan kebudayaan dari masing masing daerah yang terbentang luas dari
sabang hingga merauke yang berjejer pulau pulau yang ada di Indonesia. Kekayaan budaya
yang ada di Negara ini seakan ingin menunjukan kepada Negara Negara lain bahwa
keragaman yang ada di bumi nusantara Indonesia ini bukan penghalang untuk menyatukan
Indonesia dari berbagai etnis, suku, ras yang ada di Indonesia. Dan dari budaya itu sendiri
manusia menimbulkan kebiasaan dari dulu hingga sekarang yang di sebut kearifan budaya
itu sendiri, dan disini saya akan membahas tentang kearifan budaya suku batak toba yang
sejak ada sebelum agam masuk ke wilayah danau toba di pulau sumtara utara. Penemuan
tanah batak oleh si raja batak pertama kali di awali dari Pusuk Buhit yaitu kekaguman nya
kepada danau bagaikan cermin raksasa merupakan keajaiban Muljadi Nabolon dan menyebut
nya Tao Toba.Energi danau toba dalam pandangan spiritual yang melekat pada dirinya
merupakan energy kehidupan dan taor yang artnya air tawar danau.Si raja batak memilih
danau toba dan tanah sekitar nya menjadi tempat keturunan nya kelak untuk mendapat
kehidupan makmur dan rukun dalam adat istiadat untuk menata kehidupan yang berada
dalam pustaka Agong dan Pustaha Tumbaga Holing, dan sumber energy di daerah itu adalah
air. Dan setelah raja batak mempunyai keturunan keturunan yang sangat banyak maka disitu
lah mulai timbul nya kearifan kearifan dari sana seperti tidak boleh nikah dengan satu marga,
ada nya ritual untuk para nenek moyang dengan tarian dan nyanyian, dan kegiatan seni yang
mempunya arti dan makna tertentu di zaman dulu dan sampai sekarang terbawa oleh
keturunan suku batak.

1.2 Tujuan

Tidak seharus nya masyrakat di Indonesia melupakan kebudayaan yang ada di negri
ini.Budaya seharus nya di jadikan sebagai alat untuk mempersatukan dan menarik para
wisatawan asing untuk memajukan dan melestarikan budaya yang ada di bumi pertiwi
ini.Sangat jelas bahwa peranan budaya di Indonesia sangat besar pengaruh nya untuk
mencegah perpecahan perperangan antara etnis, suku, ras, dan kelompok. Dengan terwujud
nya budaya dari masa lampau oleh nenek moyang kita hendak laah kita menjaga dan
mewariskan budaya agar memajukan nama Indonesia di bidang kepariwisataan dan terjadi
sebuah interaksi social sesame individu tanpa memandang sebuah batasan apa pun.

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian kearifan Budaya Lokal

Kearifan lokal merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan


alam dan lingkungan sekitar nya, dapat bersumber dari nilai nilai agama, adat istiadat, petuah
nenek moyang atau budaya setempat yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas
masyrakat untuk beradaptasi. Dalam menjalankan kelangsungan hidup masyrakat memilih
cara dan tradisi diri sendiri mengelola sumberdaya yang ada di sekitar dengan ajaran dan
petunjuk nenek moyang.

Kearifan lokal masyrakat sudah ada di dalam kehidupan masyrakat semenjak zaman
dahulu mulai dari zaman pra sejarah hinggan saat ini pun masi berlaku. Perilaku ini
berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah daerah yang ada di Indonesia dan
akan berkembang secara turun menurun, secara umum, budaya daerah di maknai sebagai
budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur unsur nya adalah budaya suku suku
bangsa yang tinggal di daerah itu sendiri.

2.2 kearifan Budaya di Suku Batak

Batak adalah suku yang terdapat di Sumatra Utara, mereka memiliki budaya yang
sangat kuat dan mempunyai persatuan yang kokoh. Dimana orang batak berada di seluruh
Indonesia dia akan membentuk persatuan dan rasa solidaritas mereka yang sangat tinggi.
Mereka seperti itu karena dari para leluhur dan nenek moyang mereka mengajarkan seperti
itu dari dulu hingga sekarang. Orang batak juga mempunyai harga diri yang sangat tinggi
mereka tidak akan pernah mau mengemis untuk meminta atau menginginkan sesuatu.

Dalam artikel yang saya buat ini akan saya uraikan mengenai beberapa kearifan yang
ada di budaya lokal orang batak, terutama batak yang ada di masyrakat batak toba, karena
masyrakat batak asli adalah batak yang berasal dari daerah danau toba di pulau samosir.

Yang pertama saya akan menjelaskan tentang kearifan batak toba. Suku batak toba
menyusun system kekerabatan tidak hanya berdasarkan hubungan darah saja, namun
juga berdasar pada kasih sayang terhadap sesame makhluk hidup dan lingkungan
yang mereka tempatin dari dulu sampai sekarang adat ini masi di budidayakan agar
sampai sekarang untuk terus menyambung tali silahturami sesama masyrakat. Makna
dari kekerabatan ini untuk memperkuat persatuan di dalam lingkungan suku batak
agar bisa saling bantu membantu untuk membangun diri agar lebih maju dalam hal
per ekonomian maupun tradisi dan untuk mengharumkan nama kampung mereka.
Kearifan batak toba ini sudah sangat lama di budidayakan oleh para leluhur mereka
sampai saat ini orang batak sangat solid dalam pertemanan dimana pun dia berada
pasti mereka saling bantu membantu

Yang kedua saya akan menjelaskan tentang tradisi di dalam suku batak yang kearifan
nya masi tersosialisasi sampai saat ini contoh nya yaitu :

Budaya hagabon artinya ungkapan yang berarti banyak keturunan dan panjang umur.
Ungkapan tradisional batak ini di kenal dan di ucapkan pada pengantin dengan harapan
mereka banyak di karunia anak ritual ini di lakukan sebelum seorang pasangan mengucapkan
janji di depan penghulu atau pendeta ritual ini di lakukan dengan memtong satu hewan
kerbau atau babi. Tapi sayang nya tradisi ini sudah mulai hilang tidak sebanyak zaman dulu
pada saat zaman purba atau zaman nenek moyang mereka. Selain itu ada lagi tradisi untuk
menegakan hukum adat di kampung atau daerah toba itu nama nya adalah Patik Dohot Ukum
sampai sekarang masi di sosialisasikan oleh orang batak dalam menegakan kebenaran yang
berlaku dalam adat batak itu sendiri, terutama hokum yang mengatur hak asasi manusia di
daerah sana masi menggunakan patik dohot ukum dan patik dohot ukum selalu di tanam kan
oleh keturunan keturunan masyrakat batak oleh karena itu banyak masyrakat batak yang
menjadi pengacara sukses.

Selain tradisi budaya hagabon ada juga tradisi Sari matua yaitu seseorang yang meninggal
dunia apakah suami atau istri yang sudah bercucu baik dari anak laki-laki atau pun
perempuan, tetapi masih ada di antara anak anak- anak nya yang belum kawin. Dari defenisi
berikut, seseorng tidak bias di alihkan status nya dari sari martua k saur martua (orang yang
sudah meninggal). Dalam contoh praktek nya, ketika hasahuton marpangidon (bermohon)
kepada dongan sahuta, tulang, hula dan semua yang hadir pada acara ria raja atau
pangarapotan, agar yang meninggal sari matua itu di tolopi atau di setujui menjadi saur matua.
Jadi kepada anak masyrakat di suku batak yang belum menikah tetapi dari segi usia sudah
sepantas nya menikah apa lagi anak di suku batak yang sudah bekerja mereka lah yang
membelanjai orang tua kami yang tengah berbaring dirumah duka atau yang sudah meninggal
untuk acara adat pelepasan dari sari matua mnjadi saur martua dan anak suku batak yang
membiyai itu semua berharp dengan acara adat ini mereka secepat nya menemukan jodoh
yang dalam bahasa batak nya asa najonok. Tapi pengertia sari martua di zamansekarang
sudah di plesetkan di zaman dulu pengertia adat sari martua adaah orang tua yang meninggal
sebelum selesai tugas nya menikahi anak anak mereka. Makna dari saur martua sendiri di
kalangan suku batak toba agar anak yang belum menikah tetap sudah di tinggal dunia oleh
kedu orang tua nya segera menikan untuk mempunya keturunan dari orang tua mereka
tersebut agar bias menurunkan nama marga di belakang nama mereka.

Yang ketiga saya akan membahas tentang tarian tor tor yang termasuk kearifan seni
suku batak :

Sejarah tarian tortor adalah tarian yang jenis nya termasuk tarian purba yang berasal dari
mandailing, berasal di pulau sumtra utara yang meliputi tapanuli utara, Humbang hasundutan,
toba samosir, dan pulau samosir.Tarian ini juga termasuk kearifan yang ada di masyrakat
batak toba karena peninggalan dari para leluhur di jaman dulu dan mempunyai makna yang
sangat kental dalam kehidupan masyrakat.Kata tor-tor berasal dari suara entekan kaki
penari di atas papan rumah adat batak dan penari bergerak dengan iringan gondang yang
berirama mengentak.Tarian tortor adalah tarian seremonial yang di sajikan dengan musik
gondang.Secara fisik tarian tortor termasuk tarian yang unik karena menggerakan tangan
keatas kebawah namun dari gerakan-gerakan nya tarian tortor menunjukan tarian tortor
tersebut adalah media komunikasi di zaman dulu untuk menyampaikan pesan pesan kepada
masyrakat dalam upacara upacara adat di daerah batak toba, dimana melalui gerakan yang
disajikan terjadi interaksi antara partisipasi setiap pengikut upacara.Tarian tortor juga di
iramai dengan music gondang ibarat sebuah pasangan yang tak dapat di pisahkan alat music
gondang berasal dari kabupaten mandailing Natal sejak ratusan tahun silam, sebelum agama
masuk ke mandailing. Pada zaman dulu music gondang hanya di pertunjukan kepada
kalangan istana, setelah kemerdekaan baru lah music gondang di padukan dengan tarian
tortor dan di pertunjukan ke masyrakat, musik gondang Sembilan dimainkan oleh Sembilan
orang. Alat musik yang di mainkan terdiri atas Sembilan gondang, seruling, tiga eneng eneng
dua gong sepasang sasayang, dan sebuah mong-mongan.Tujuan tarian tor-tor itu sendiri
untuk upacara kematian, panen di lading, dan penyembuhan. Makna tarian ini adalah untuk
membantu masyrakat dalam membantu dengan hal yang sedikit magic karena tarian asli tor
tor yang di toba sana menurut ahli sejarah ada acara ritusl yang berhubngsn dengan roh. Dan
sekarang tarian tor tor sudah terkenal di asia dan menjadi tarian tradisional suku batak di
tanah karo pulau Sumatra Utara.

BAB 3

KESIMPULAN

Tradisi masyrakat suku batak toba masi kental dengan kearifan-kearifan budaya nya mereka
menjaga kebudayaan mereka untuk memajukan daerah mereka dan menanamkan kepada
cucu atau keturunan mereka bahwa peninggalan peninggalan dari nenek moyang mereka dulu
harus di jaga, di budi dayaka serta menanamkan rasa bangga kepada adat istiadat yang di
tinggal kan oleh nenek moyang atau leluhur dari mereka karena menurut mereka adat disana
wajib di laksanakan untuk menghormatin dan menghargai leluhur mereka yang telah
meninggal dunia. Dan di zaman sekarang kearifan seni budaya batak menjadi kebanggan
Indonesia dalam memajukan industry pariwisata seperti tari tor tor dan danau toba tapi di
balik itu semua seni budaya nya mempunyai makna yang sangat kuat dan sedikit mempunyai
pesan spiritual menurut masyrakat setempat.
KEARIFAN LOKAL DALAM KONTEKS PEMBENTUKAN KARAKTER
BANGSA INDONESIA

Oleh: Muhammad Takari


Ketua Departemen Etnomusikologi FIB USU dan
Ketua Departemen Adat, Seni, dan Budaya Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu
Indonesia

Pengantar

Kearifan atau kebijaksanaan adalah sesuatu yang didambakan umat manusia di dunia ini.
Kearifan dimulai dari gagasan-gagasan dari individu yang kemudian bertemu dengan
gagasan individu lainnya, seterusnya berupa gagasan kolektif. Kearifan lokal ini biasanya
dicipta dan dipraktikkan untuk kebaikan komunitas yang menggunakannya. Ada kalanya
kearifan lokal itu hanya diketahui dan diamalkan oleh beberapa orang dalam jumlah
yang kecil, misalnya desa. Namun ada pula kearifan lokal yang digunakan oleh
sekelompok besar masyarakat, misalnya kearifan lokal etnik.

Kearifan lokal ini juga tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan masyarakat yang
mendukungnya. Kearifan lokal, biasanya mencakup semua unsur kebudayaan manusia,
yang mencakup: sistem religi, bahasa, ekonomi, teknologi, pendidikan, organisasi sosial,
dan kesenian. Kearifan lokal bermula dari ide atau gagasan, yang kemudian diaplikasikan
dalam tahapan praktik, dan penciptaan material kebudayaan. Ia akan terus berkembang
sesuai dengan perkembangan zaman, intensitas pergaulan sosial, dan enkulturasi
sosiobudaya. Apalagi dalam dunia yang tidak mengenal batas seperti sekarang ini,
kearifan lokal sangat diwarnai oleh wawasan manusia yang memikirkan dan
menggunakannya.

Kearifan lokal di peringkat etnik juga bisa bermacam-macam bidang. Misalnya untuk
merespons alam sekitar manusia membuat rumah sekalian dengan aspek-aspek spiritual
untuk menjaganya. Begitu juga dengan sistem perkawinan, ada yang mendasarkan
kepada perkawinan di luar klen (eksogamus), perkawinan untuk kepentingan politik
kekuasaan, perkawinan perempuan melamar lelaki atau sebaliknya. Selain itu, kearifan
lokal juga tercermina dalam filsafat atau pandangan hidup manusia yang memikirkan
dan menggunakannya. Sebagai contoh dalam masyarakat Batak Toba dikenal dengan
filsafat dalihan na tolu (DNT), dalam masyarakat Aceh dikenal adat bak petumeuruhom
hukom bak syaiah kuala, dalam kebudayaan Minangkabau ada filsafat alam nan
takambang menjadi guru, dalam kebudayaan Jawa terdapat filsafat alon-alon waton
kelakon dan sederek, dalam masyarakat Sulawesi ada filsafat persaudaraan universal
pelagandong, dan lain-lainnya.

Kearifan lokal juga dapat mendukung kepada keberadaan negara bangsa (nation state)
tertentu. Bahkan dalam merumuskan sebuah negara bangsa, selalunya diwarnai oleh
kearifan-kearifan lokal yang tumbuh dalam masyarakat yang membentuk dan mencita-
citakan negara bangsa tersebut. Misalnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
yang mempunyai dasar negara Pancasila, sebenarnya adalah proses pemikiran para
pendiri bangsa ini untuk membuat dasar negara yang diambil dan digali dari nilai-nilai
kearifan lokal Nusantara. Kearifan-kearifan lokal ini kemudian dirumuskan menjadi lima
sila yang berdasar kepada bentuk ikatan sosial budaya biar berbeda-beda tetapi tetap
satu (bhinneka tunggal ika).

Melalui makalah ini, penulis akan menguraikan beberapa contoh kearifan lokal dalam
konteks pembentuka karakter bangsa Indonesia. Kearifan lokal yang dimaksud bisa saja
berasal dari kebudayaan etnik, atau pemikiran kebangsaan dari masyarakat Indonesia,
dari rentangan masa ke masa. Selanjutnya menjelaskan bagaimana kearifan lokal ini
dapat memebentuk karakter bangsa Indoensia, yang seperti kita ketahui memiliki ciri-ciri
seperti: suka bergotong royong, religius, nasionalis dan menghargai segala perbedaan
dalam konteks persatuan dan kesatuan, pekerja keras, tidak bergaya hidup mewah, dan
seterusnya, sebagai karakter yang dicita-citakan bersama, dalam rangka membangun
negara bangsa Indonesia. Namun sebelumnya alangkah baiknya diuraiakan bagaimana
terbentuknya dan eksistensi negara kita yang disebut Indonesia tersebut.

Indonesia

Secara harfiah, Indonesia berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu dari akar kata Indo yang
artinya Hindia dan nesos yang artinya pulau-pulau. Jadi Indonesia maksudnya adalah
pulau-pulau Hindia (jajahan Belanda). Dalam sejarah ilmu pengetahuan sosial, pencipta
awal istilah Indonesia adalah James Richadson Logan tahun 1850, ketika ia menerbitkan
jurnal yang berjudul Journal of the India Archipelago and Eastern Asia, di Pulau Pinang,
Malaya. Jurnal ini terbit dari tahun 1847 sampai 1859. Selain beliau, tercatat juga dalam
sejarah, yang menggunakan istilah ini adalah seorang Inggris yang bernama Sir William
Edward Maxwell tahun 1897. Ia adalah seorang ahli hukum, pegawai pamongpraja,
sekretaris jendral Straits Settlements, kemudian menjabat sebagai Gubernur Pantai
Emas (Goudkust). Ia memakai istilah Indonesia dalam bukunya dengan sebutan The
Islands of Indonesia.

Yang paling membuat populer istilah Indonesia adalah Prof. Adolf Bastian, seorang pakar
etnologi yang ternama. Dalam bukunya yang bertajuk Indonesian order die Inseln des
Malayeschen Archipels (1884-1849), ia menegaskan arti kepulauan ini. Dalam tulisan ini
ia menyatakan bahwa kepulauan Indonesia yang meliputi suatu daerah yang sangat luas,
termasuk Madagaskar di Barat sampai Formosa di Timur. Nusantara adalah pusatnya,
yang keseluruhannya adalah sebagai satu kesatuan wilayah budaya. Pengertian istilah ini
juga digunakan oleh William Marsden (1754-1836), seorang gewestelijk secretaris
Bengkulen. Sementara itu, Gubernur Jenderal Jawa di zaman pendudukan Inggris (1811-
1816), Sir Stanford Raffles (1781-1826) dalam bukunya yang bertajuk The History of Java,
menyebut juga istilah Indonesia, dengan pengertian yang sama. Kesatuan kepulauan itu
disebut dan dijelaskan pula oleh John Crawfurd (1783-1868), seorang pembantu Raffles.

Pada awalnya, istilah Indonesia hanya digunakan sebagai istilah ilmu pengetahuan
saja. Namun, ketika pergerakan nasional muncul di sini, nama ini digunakan secara
resmi oleh para pemuda Indonesia untuk mengganti istilah Nederlandsch-
Indi. Organisasi yang pertama kali memakai istilah Indonesia adalah Perhimpunan
Indonesia, yaitu satu perkumpulan mahasiswa di Negeri Belanda.

Di zaman penjajahan Belanda, oleh tokoh-tokoh nasional, telah dicoba mengganti istilah
Nederlandsch-Indi dengan istilah Indonesia--juga Inboorling, Inlander, dan Inheemsche
dengan Indonesir. Namun pemerintah Belanda tetap dengan pendiriannya, dengan
alasan yuridis. Namun setelah Undang-undang Dasar Belanda diubah, sejak 20
September 1940, istilah Nederlandsch-Indi diubah menjadi Indonesi.

Selain istilah Indonesia, dikenal pula istilah sejenis yang juga merujuk kepada pengertian
Indonesia. Istilah itu adalah Nusantara. Istilah ini awal kali dikemukakan oleh Patih
Gadjah Mada, seorang panglima kerajaan Majapahit di abd ke-12, ketika ia
mengucapkan Sumpah Palapa. Istilah Nusantara ini mengandung makna kawasan pulau-
pulau yang terletak di antara dua samudera dan dua benua. Berdasarkan sejarah pula,
kawasan Nusantara pernah diperintah oleh dua kerajaan besar, yaitu Kerajaan Melayu
Sriwijaya, dan Kerajaan Jawa Majapahit.

Indonesia adalah sebuah negara bangsa yang merdeka pada tanggal 17 Agustus
1945. Indonesia sebelumnya adalah kawasan-kawasan kepulauan yang mempunyai
berbagai sistem pemerintahan kerajaan yang berdiri sendiri. Adapun secara kesejarahan,
Indonesia melewati masa-masa animisme dan dinamisme hingga ke abad pertama
Masehi. Kemudian datanglah kebudayaan Hindu dan Buddha sejak abad pertama
hingga kemudian berkembang sampai abad ketiga belas. Islam pula mulai
menampakkan pengaruhnya yang begitu luas dalam kebudayaan Indonesia sejak abad
ketiga belas. Kemudian bangsa-bangsa Eropa terutama dimulai dari Portugis, disusul
Belanda dan Inggris menjajah kawasan ini sejak kurun abad keenam belas. Yang paling
lama menjajah Indonesia adalah Belanda, kurang lebih sekitar tiga setengah
abad. Kemudian terjadi pula penjajahan secara singkat oleh Jepang yaitu di tahun 1942
sampai 1945. Kemudian merdekalah Indonesia, berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa
disertai dengan perjuangan fisik dan politik oleh para pemimpinnya.

Di masa kemerdekaan pula masalah tak kunjung selesai. Di masa Orde Lama, Indonesia
dihadapkan kepada masalah ideologi yang dampaknya adalah berupa pemberontakan-
pemberontakan dan perebutan kekuasaan. Pada saat ini Belanda pun masih ingin
menguasai Indonesia. Dengan berbagai usaha mereka ingin menjajah kembali. Mereka
berintegrasi dengan pasukan sekutu yang telah memenangkan perangnya dengan
Jepang, Italia, dan Jerman. Namun sekali lagi berkat kuasa Tuhan, Indonesia mampu
mempertahankan kemerdekaannya. Bahkan mampu membebaskan Irian Jaya (Papua)
dari penjajahn Belanda. Puncak dari berakhirnya era Orde Lama ini adalah masalah
komunisme, yang akhirnya menjadikan Soeharto presiden tahun 1966. Sejak ini
dimulailah masa Orde Baru.

Masa Orde Baru awal begitu bagusnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ada saat ini
pembangunan diprioritaskan di bidang ekonomi. Akhirnya memunculkan para
konglomerat yang mampu menyumbang pembangunan perekonomian. Pemerintah
Orde Baru menerapkan sistem rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang
melibatkan para pakar ekonomi terutama lulusan Amerika Serikat (mafia
Berkeley). Akhirnya pemerintahan yang otoriter ini, harus menyelesaikan tugasnya
selepas 32 tahun berkuasa. Beberapa tahun menjelang runtuhnya Orde Baru ditandai
dengan hancurnya sistem perekonomian Indonesia. Akhirnya 1998 muncullah
pemerintahan Orde Reformasi, yang menginginkan demokratisasi dibuka.

Masa Reformasi diwarnai oleh semakin demokratisnya sistem politik nasional. Namun
ekonomi masih belum pulih di bawah tiga masa pemerintahan presidennya. Namun
berbagai perkembangan menarik terjadi, yaitu perdamaian Aceh dengan
pemerintah. Begitu juga berkembangnya demokratisasi. Sistem pemerintahan yang
langsung ditentukan oleh rakyat membawa secerca harapan. Kini Indonesia telah
merdeka lebih dari enam dasawarsa. Demikian sekilas lintasan sejarah bangsa Indonesia.

Pada masa sekarang ini, Indonesia sebagai sebuah negara bangsa merupakn sebuah
negara yang sistem pemerintahannya berbentuk republik, dengan sistem yang dianut
demokrasi. Landasan ideologinya Pancasila dan landasan konstitusionalnya Undang-
undang Dasar 1945. Pemerintahan dan negara langsung dipimpin seorang presiden,
dengan sistem kabinet presidensial. Indonesia secara kewilayahan adalah terbentang
dari 6 derajat Lintang Utara sampai 11 derajat Lintang Selatan, serta 95 derajat Bujur
Timur sampai 145 derajat Bujur Timur. Terbentang dari Sabang sampai Merauke, serta
Timor sampai ke Talaud. Indonesia adalah sebagai satu kesatuan ideologi, politik, sosial,
ekonomi, pertahanan, dan kemanan nasional. Jumlah penduduk Indonesia sekarang ini
adalah sekitar 240 juta jiwa. Agama resmi Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha,
ditambah aliran-aliran kepercayaan.

Indonesia kini sedang mengalami masalah-masalah ekonomi, politik dan


pertikaian bernuansa agama di dalam negeri, dan beberapa daerah sedang berusaha
untuk mendapatkan kemerdekaan, yaitu Aceh dan Papua. Timor Timur mendapatkan
kemerdekaan pada tahun 2002 setelah 24 tahun dikuasai Indonesia dan 3 tahun di
bawah administrasi PBB. Pada Desember 2004 dan Maret 2005, Aceh dan Nias dilanda
dua gempa bumi besar yang totalnya menewaskan ratusan ribu jiwa. (Lihat gempa bumi
Samudra Hindia 2004 dan gempa bumi Sumatra Maret 2005.) Kejadian ini disusul oleh
gempa bumi di Yogyakarta dan tsunami yang menghantam pantai Pangandaran dan
sekitarnya, serta banjir lumpur di Sidoarjo pada 2006 yang tidak kunjung terpecahkan.

Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem politik di Indonesia didasarkan


pada Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif
dipegang oleh sebuah lembaga bernama Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) yang
terdiri dari dua badan yaitu DPR yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil Partai
Politik dan DPD yang anggota-anggotanya mewakili provinsi yang ada di Indonesia.
Setiap daerah diwakili oleh 4 orang yang dipilih langsung oleh rakyat di
daerahnya masing-masing.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR/DPR) semula adalah lembaga tertinggi negara.
Kedudukan MPR sebagai lembaga tinggi negara setelah Amandeman UUD 1945 pada
periode 1999-2004. Seluruh anggota DPR adalah anggota MPR ditambah anggota DPD
(Dewan Perwakilan Daerah). Sebelumnya konstitusi UUD 1945, anggota MPR adalah
seluruh anggota DPR ditambah utusan golongan. MPR saat ini diketuai oleh Hidayat Nur
Wahid. Anggota MPR terdiri dari 550 anggota DPR yang diketuai oleh Agung Laksono
dan dilantik untuk masa jabatan lima tahun. Terdapat 128 anggota DPD yang diketuai
oleh Ginandjar Kartasasmita. Sejak 2004, MPR adalah sebuah parlemen bikameral,
setelah terciptanya DPD sebagai kamar kedua. Lembaga eksekutif berpusat pada
Presiden, Wakil Presiden dan Kabinet. Kabinet di Indonesia adalah kabinet presidensiil
sehingga para menteri bertanggung jawab kepada Presiden dan tidak mewakili partai
politik yang ada di parlemen. Meskipun demikian, presiden saat ini yakni Susilo
Bambang Yudhoyono yang diusung oleh Partai Demokrat juga menunjuk sejumlah
pemimpin Partai Politik untuk duduk di kabinetnya. Tujuannya untuk menjaga stabilitas
pemerintahan mengingat kuatnya posisi lembaga legislatif di Indonesia. Namun pos-pos
penting dan strategis umumnya diisi oleh Menteri tanpa portofolio partai (berasal dari
seseorang yang dianggap ahli dalam bidangnya). Lembaga yudikatif sejak masa
reformasi dan adanya amandemen UUD 1945 dijalankan oleh Mahkamah Agung,
termasuk pengaturan administrasi para Hakim. Meskipun demikian keberadaan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia tetap dipertahankan. Di Amerika Serikat Menteri
Kehakiman biasanya dipimpin Jaksa Agung, namun di Indonesia posisi Menteri Hukum
dan Jaksa Agung dipisahkan.

Penduduk Indonesia dapat dibagi secara garis besar dalam dua kelompok. Di
bagian barat Indonesia penduduknya kebanyakan adalah suku Melayu sementara di
timur adalah suku Papua, yang mempunyai akar di kepulauan Melanesia. Banyak
penduduk Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai bagian dari kelompok suku yang
lebih spesifik, yang dibagi menurut bahasa dan asal daerah, misalnya Jawa, Sunda, atau
Batak. Islam adalah agama mayoritas yang dipeluk oleh sekitar 85,2% penduduk
Indonesia, yang menjadikan Indonesia negara dengan penduduk muslim terbanyak di
dunia. Sisanya beragama Protestan (8,9%), Katolik (3%), Hindu (1,8%), Buddha
(0,8%), dan lain-lain (0,3%). Kebanyakan penduduk Indonesia bertutur dalam bahasa
daerah sebagai bahasa ibu, namun bahasa resmi Indonesia, bahasa Indonesia, diajarkan
di seluruh sekolah-sekolah di negara ini dan dikuasai oleh hampir seluruh penduduk
Indonesia.

Jenis kesenian di Indonesia banyak dipengaruhi oleh beberapa kebudayaan. Tari Jawa
dan Bali yang terkenal, misalnya, berisi aspek-aspek kebudayaan dan mitologi
Hindu. Sebuah candi Hindu dari abad ke-10 di Jawa. Banyak juga seni tari yang berisikan
nilai-nilai Islam. Beberapa di antaranya dapat ditemukan di daerah Sumatra seperti tari
saman,meusukat, dan seudati dari Nanggroe Aceh Darussalam. Selain itu yang cukup
terkenal di dunia adalah wayang kulit yang menampilkan kisah-kisah tentang kejadian
mitologis.
Seni pantun, gurindam, dan sebagainya dari pelbagai daerah seperti pantun Melayu, dan
pantun-pantun lainnya acapkali dipergunakan dalam acara-acara tertentu yaitu
perhelatan, pentas seni, dan lain-lain. Di bidang busana, warisan budaya yang terkenal
di seluruh dunia adalah kerajinan batik. Beberapa daerah yang terkenal akan industri
batik meliputi Yogyakarta, Solo, dan juga Pekalongan.

Busana asli Indonesia dari Sabang sampai Merauke lainnya dapat dikenali dari ciri-cirinya
yang dikenakan di setiap daerah antara lain baju kurung dengan songketnya dari
Sumatra Barat (Minangkabau) yang bersamaan khasnya dari teluk belanga seperti dari
daerah Melayu, kain ulos dari Sumatra Utara, busana kebaya yang sering dikenakan dari
DKI Jakarta (Betawi) dan Jawa Barat (Sunda), busana khas Dayak di Kalimantan, baju
bodo dari Sulawesi Selatan, busana berkoteka dari Papua, dan sebagainya. Pencak silat
adalah seni bela diri yang unik yang berasal dari wilayah Indonesia. Seni bela diri ini
kadang-kadang ditampilkan pada acara-acara pertunjukkan yang biasanya diikuti dengan
musik tradisional Indonesia berupa gamelan dan seni musik tradisional lainnya sesuai
dengan daerah asalnya.

Seni musik di Indonesia, baik tradisional maupun modern sangat banyak terbentang dari
Sabang hingga Merauke. Musik tradisional termasuk juga keroncong Jawa dikenali oleh
hampir semua rakyat Indonesia, namun yang lebih berkuasa dalam paras lagu di
Indonesia yaitu seni lagu modern kemudian dangdut. Genre dangdut ini adalah salah
satu musik Indonesia yang sudah merakyat di wilayah Nusantara, yang dipadu dari unsur
musik Melayu, India, dan juga musik tradisional Indonesia. Dinamakan dangdut karena
suara musik yang terdengar adalah suara dang dan dut dan musik Dangdut lebih
dikuasai oleh suara gendang tabla dan seruling. Lagu-lagu dangdut biasanya
didendangkan oleh pedangdut dengan goyangannya yang seronok dan lemah gemulai
yang disesuaikan dengan tempo lagunya. Ada berbagai macam corak musik dangdut,
antara lain dangdut Melayu, dangdut modern (dangdut masa kini yang alat musiknya
telah ditambah dengan alat musik modern), dan dangdut pesisir, dangdut tradisional
Jawa, dangdut Sunda, dan lainnya. Pada tahun 70-an, dangdut lebih dikenal sebagai
aliran musik orkes Melayu, yang kemudian pada awal tahun 80-an ia lebih dikenal
dengan sebutan dangdut.

Kemudian, sebagai sebuah negara bangsa Indonesia memiliki kebudayaan nasional yang
diambil dan dikelola dari kebudayaan-kebudayaan etnik di seluruh Indoensia dan
diintegrasikan dengan berbagai budaya dunia, tanpa harus menghilangkan jati diri
kebudayaan Indonesia. Kebudayaan nasional atau kebangsaan ini amatlah penting untuk
diwujudkan dan dibina sebagai sebuah pengikat integrasi sosiobudaya antar warga
masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok etnik dan budaya tersebut.

Kebudayaan Nasional Indonesia

Sebagai sebuah negara bangsa, Indonesia telah meletakkan dasar konstitusionalnya


mengenai kebudayaan nasional, seperti yang termaktub dalam pasal 32 Undang-undang
Dasar 1945. Bahkan lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila merentangkan tulisan
Bhinneka Tunggal Ika (yang artinya biar berbeda-beda tetapi tetap satu). Selengkapnya
pasal 32 ayat (1) dan (2) berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32

(1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia


dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-
nilai budayanya. ****)

(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya
nasional. ****)

Pasal 32 UUD 1945 yang diamandemen pada kali yang keempat tersebut di atas, pada
pasal (1) memberikan arahan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia
di tengah peradaban dunia, dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengem-bangkan nilai-nilai budayanya. Artinya bangsa Indonesia sadar
bahwa budaya nasional mereka berada di dalam arus globalisasi, namun untuk
mempertahankan jati diri masyarakat diberi kebebasan dan bahkan sangat perlu
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya (tradisi atau etniknya). Pada
pasal (2) pula, negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan
budaya nasional. Dengan demikian jelas bagi kita bahwa bahasa daerah (dan juga
kesenian atau budaya daerah/etnik) sebagai bahagian penting dari kebudayaan nasional.
Artinya kebudayaan nasional dibentuk oleh kebudayaan (bahasa) etnik atau daerah--
bukan kebudayaan asing. Dengan demikian jelas bahwa Indonesia memiliki budaya
nasional, yang berasal dari budaya etnik, bukan penjumlahan budaya etnik.

Beberapa dasawarsa menjelang terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, para


intelektual dan aktivis budaya kita telah memiliki gagasan tentang kebudayaan nasional.
Dalam konteks ini, mereka mengajukan pemikirannya masing-masing sambil berpolemik
apa itu kebudayaan nasional dan ke mana arah tujuannya. Pelbagai tulisan membahas
gagasan itu dari berbagai sudut pandang, yang terbit dalam kurun masa dekade 1930-
an.

Sebahagian tulisan ini merupakan hasil dari Permusyawaratan Perguruan Indonesia di


Surakarta (Solo), pada 8 sampai 10 Juni 1935. Di antara intelektual budaya yang
mengemukakan gagasannya adalah: Sutan Takdir Alisyahbana (STA) pengarang dan juga
mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta; Sanusi Pane, seorang
pengarang; Soetomo, dokter dan pengarang; Tjindarbumi, wartawan; Poerbatjaraka,
pakar filologi; Ki Hajar Dewantara, pendiri dan pemimpin perguruan nasional Taman
Siswa (lihat Koentjaraningrat 1995).

Gagasan-gagasan mereka secara garis besar adalah sebagai berikut. Sutan Takdir
Alisyahbana yang berasal dari Sumatera, berpendirian bahwa gagasan kebudayaan
nasional Indonesia, yang dalam artikelnya diistilahkan dengan Kebudayaan Indonesia
Raya, sebenarnya baru mulai muncul dan disadari pada awal abad kedua puluh, oleh
generasi muda Indonesia yang berjiwa dan bersemangat keindonesiaan. Menurutnya,
sebelum gagasan Indonesia Raya disadari dan dikembangkan, yang ada hanyalah
kebudayaan-kebudayaan suku bangsa di daerah. STA menganjurkan agar generasi muda
Indonesia tidak terlalu tersangkut dalam kebudayaan pra-Indonesia, dan dapat
membebaskan diri dari kebudayaan etniknya--agar tidak berjiwa provinsialis, tetapi
dengan semangat Indonesia baru. Kebudayaan Nasional Indonesia merupakan satu
kebudayaan yang dikreasikan, yang baru sama sekali, dengan mengambil banyak unsur
dari kebudayaan yang kini dianggap paling universal, yaitu budaya Barat. Unsur yang
diambil terutama dalam 4 bidang yaitu teknologi, orientasi ekonomi, organisasi, dan
sains (ilmu pengetahuan). Orang Indonesia harus mempertajam rasio akalnya dan
mengambil dinamika budaya Barat. Pandangan ini mendapat sanggahan sengit dari
beberapa pemikir lainnya.

Sanusi Pane yang juga berasal dari Sumatera, menyatakan bahwa kebudayaan nasional
Indonesia sebagai kebudayaan Timur, harus mementingkan aspek kerohanian, perasaan,
dan gotong-royong, yang bertentangan dengan kebudayaan Barat yang sangat
berorientasi kepada materi, intelektualisme, dan individualisme. Sanusi Pane tidak
begitu setuju dengan STA yang dianggapnya dalam menggagas kebudayaan nasional
Indonesia terlalu berorientasi kepada kebudayaan Barat dan harus membebaskan diri
dari kebudayaan pra-Indonesia. Karana itu berarti pemutusan diri dari kesinambungan
sejarah budaya dalam rangka memasuki zaman Indonesia baru.

Poerbatjaraka menganjurkan agar orang Indonesia banyak mempelajari sejarah


kebudayaannya, agar dapat membangun kebudayaan yang baru. Kebudayaan Indonesia
baru itu harus berakar kepada kebudayaan Indonesia sendiri atau kebudayaan pra-
Indonesia.

Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa kebudayaan nasional Indonesia adalah puncak-


puncak kebudayaan daerah. Soetomo menganjurkan pula agar dasar-dasar sistem
pendidikan pesantren dipergunakan sebagai dasar pembangunan pendidikan nasional
Indonesia, yang ditentang oleh STA. Sementara itu, Adinegoro mengajukan sebuah
gagasan yang lebih moderat, yaitu agar pendidikan nasional Indonesia didasarkan pada
kebudayaan nasional Indonesia, sedangkan kebudaya-annya harus memiliki inti dan
pokok yang bersifat kultur nasional Indonesia, tetapi dengan kulit (peradaban) yang
bersifat kebudayaan Barat.

Sebuah gagasan akan dilanjutkan ke dalam praktik, agar fungsional dalam masyarakat
pendukungnya. Fungsi sebuah gagasan bisa saja relatif sedikit, namun boleh pula
menjadi banyak. Demikian pula gagasan kebudayaan nasional memiliki berbagai fungsi
dalam negara Indonesia merdeka. Koentjaraningrat (1995) seorang ilmuwan
antropologi kenamaan Indonesia, menyebutkan bahwa kebudayaan nasional Indonesia
memiliki dua fungsi, yaitu: (i) sebagai suatu sistem gagasan dan pralambang yang
memberi identitas kepada warga negara Indonesia dan (ii) sebagai suatu sistem gagasan
dan pralambang yang dapat dipergunakan oleh semua warga negara Indonesia yang
bhinneka itu, untuk saling berkomunikasi, sehingga memperkuat solidaritas. Dalam
fungsinya yang pertama, kebudayaan nasional Indonesia memiliki tiga syarat: (1) harus
merupakan hasil karya warga negara Indonesia, atau hasil karya orang-orang zaman
dahulu yang berasal dari daerah-daerah yang sekarang merupakan wilayah negara
Indonesia; (2) unsur itu harus merupakan hasil karya warga negara Indonesia yang tema
pikirannya atau wujudnya mengandung ciri-ciri khas Indonesia; dan (3) harus sebagai
hasil karya warga negara Indonesia lainnya yang dapat menjadi kebanggaan mereka
semua, sehingga mereka mau mengidentitaskan diri dengan kebudayaan tersebut.

Dalam fungsi kedua, harus ada tiga syarat yaitu dua di antaranya sama dengan syarat
nomor satu dan dua fungsi pertama, syarat nomor tiga yaitu harus sebagai hasil karya
dan tingkah laku warga negara Indonesia yang dapat dipahami oleh sebahagian besar
orang Indonesia yang berasal dari kebudayaan suku-suku bangsa, umat agama, dan ciri
keturunan ras yang aneka warna, sehingga menjadi gagasan kolektif dan unsur-unsurnya
dapat berfungsi sebagai wahana komunikasi dan sarana untuk menumbuhkan saling
pengertian di antara aneka warna orang Indonesia, dan mempertingi solidaritas bangsa.

Menurut penulis, dalam proses pembentukan budaya nasional Indonesia, selain


orientasi dan fungsinya, juga harus diperhatikan keseimbangan etnisitas, keadilan, dan
kejujuran dalam mengangkatnya dari lokasi daerah (etnik) ke
tingkat nasional. Sebaiknya proses ini terjadi secara wajar, alamiah dan natural, dan
bukan bersifat pemaksaan pusat terhadap daerah atau sebaliknya. Di samping itu proses
itu harus pula menyeimbangkan antara bhinneka dan ikanya budaya Indonesia. Perlu
disadari pula bahwa budaya nasional bukan penjumlahan kuantitatif budaya etnik
Indonesia. Budaya nasional terjadi sebagai proses dialogis antara budaya etnik dan
setiap etnik merasa memilikinya.

Budaya nasional kita yang dapat kita rasakan wujudnya adalah bahasa Indonesia.
Kemudian pakaian dalam bentuk peci, batik, jas, kebaya, baju kurung juga menjadi
pakaian nasional. Kesenian seperti keroncong, tari serampang dua belas, tari poco-poco,
dangdut, dapat pula kita kategorikan sebagai kesenian nasional Indonesia. Sistem
pertanian subak di Bali, budaya kegotongroyongan, sikap peramah, pemaaf, suka
mengolah secara kreatif budaya seluruh dunia, adalah beberapa hal yang mendukung
kebudayaan nasional.

Budaya nasional ini menjadi jati diri tersendiri bagi bangsa Indonesia. Budaya nasional
dibentuk dan didukung terutama oleh budaya etnik atau daerah. Untuk itu diperlukan
pemeliharaan dan pengembangan warisan budaya etnik atau tradisi Indonesia dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Agar kita memiliki jati diri yang kokoh seacara etnik dan
nasional maupun transnasional. Caranya ialah seperti kata pepatah tak kenal maka tak
sayang. Oleh karena itu, perlu dilakukan pagelaran seni pertunjukuan, pameran seni
rupa, penayangan budaya etnik dalam media massa seperti televisi, koran, video,
internet, dan media-media lainnya. Selain itu, setiap etnik di Indonesia juga jangan
hanya mengapresiasi kesenian etniknya sendiri. Mereka harus mampu menjadi
pengamat outsider bagi kesenian-kesenian etnik lain. Kesadaran kultural tentang
keberanekaragaman adalah anugerah dan kekayaan dari Tuhan dan perlu terus menerus
ditumbuhkembangkan, bukan saling menghina dan mengejek. Agama, budaya, dan
konsep ketatanegaraan kita juga menganjurkan tentang pentingnya menghargai
perbedaan kultural ini, seperti yang akan diuraikan berikut ini.

Kearifan Lokal dalam Konteks Pembentukan Karakter Bangsa

Setelah diuraikan secara panjang lebar tentang eksistensi Indonesia sebagai bangsa dan
kebudayaan nasionalnya, maka berikut ini akan dicari dan dikaji bagaimana kearifan-
kearifan lokal yang ada di Indonesia dalam konteks pembentukan karakter bangsa.
Kearifan-kearifan lokal di Indoensia ini sangat kaya, beragam, dan menyebar di
keseluruhan kawasan di Indonesia. Kearifan lokal ini umumnya dapat dijumpai dalam
adat. Istilah inilah yang menjadi dasar dari kearifan lokal bangsa Indonesia. Adat
dijumpai dalam kebudayaan etnik di seluruh Indonesia. Adat masyarakat Nusantara ini,
memiliki konsep-konsepnya sendiri pula. Di Aceh adatnya disebut dengan adat bak
petumeuruhom hukom bak syiah kuala. Dalam kebudayaan Minangkabau adat
dikonsepkan sebagai adat basandikan syarak, syarak basandikan kitabullah, syarak
mangato, adat mamakai. Berikut dideskripsikan konsep kearifan lokal (adat) Melayu.

Menurut Lah Husni adat pada etnik Melayu tercakup dalam empat ragam, iaitu: (1)
adat yang sebenar adat; (2) adat
yang diadatkan; (3) adat yang teradat, dan (4) adat istiadat. (1) Adat yang sebenar
adat adalah apabila menurut waktu dan keadaan, jika dikurangi akan merusak, jika
dilebihi akan mubazir (sia-sia). Proses ini berdasar kepada: (a) hati nurani manusia
budiman, yang tercermin dalam ajaran adat: Pisang emas bawa belayar; Masak sebiji di
dalam peti; Hutang emas dapat dibayar; Hutang budi dibawa mati. (b) kebenaran
yang sungguh ikhlas, dengan berdasar pada: berbuat karena Allah bukan karena ulah;
(c) keputusan yang berpadan, dengan berdasar kepada: hidup sandar-
menyandar, pisang seikat digulai sebelanga, dimakan bersama-sama. yang benar itu
harus dibenarkan, yang salah disalahkan. Adat murai berkicau, tak mungkin
menguak. Adat lembu menguak, tak mungkin berkicau. Adat sebenar
adat ini menurut konsep etnosains Melayu adalah: penuh tidak melimpah, berisi tidak
kurang, yang besar dibesarkan, yang tua dihormati, yang kecil disayangi, yang sakit
diobati, yang bodoh diajari, yang benar diberi hak, yang kuat tidak melanda,
yang tinggi tidak menghimpit, yang pintar tidak menipu, hidup
berpatutan, makan berpadanan. Jadi ringkasnya, hidup itu seharusnya harmonis, baik
mencakup diri sendiri, seluruh negara, dan lingkungan hidupnya.
Tidak ada hidup yang bernafsi-nafsi. Inilah adat yang tidak boleh berubah (Lah Husni,
1986:51).

(2) Adat yang diadatkan adalah adat itu bekerja pada


suatu landasan tertentu, menurut mufakat dari penduduk daerah tersebut--
kemudian pelaksanaannya diserahkan oleh rakyat kepada yang dipercayai mereka.
Sebagai pemangku adat adalah seorang raja atau penghulu. Pelaksanaan adat ini
wujudnya adalah untuk kebahagiaan penduduk, baik lahir ataupun batin, dunia dan
akhirat, pada saat itu dan saat yang akan datang. Tiap-tiap negeri itu
mempunyai situasi yang berbeda dengan negeri-negeri lainnya, lain lubuk lain
ikannya lain padang lain belalangnya. Perbedaan keadaan, tempat, dan kemajuan
sesuatu negeri itu membawa resam dan adatnya sendiri, yang sesuai dengan kehendak
rakyatnya, yang diwarisi dari leluhurnya. Perbedaan itu hanyalah dalam lahirnya saja,
tidak dalam hakikinya. Adat yang diadatkan
ini adalah sesuatu yang telah diterima untuk menjadi kebiasaan atau peraturan yang
diperbuat bersama atas mufakat menurut ukuran yang patut dan benar, yang dapat
dimodifikasi sedemikian rupa secara fleksibel. Dasar dari adat yang
diadatkan ini adalah: penuh tidak melimpah, berisi tidak kurang, terapung tidak
hanyut, terendam tidak basah (Lah Husni, 1986:62).

(3) Adat yang teradat adalah kebiasaan-kebiasaan yang secara berangsur-angsur atau
cepat menjadi adat. Sesuai dengan pepatah: sekali air bah, sekali tepian berpindah,
sekali zaman beredar, sekali adat berkisar. walau terjadi perubahan adat itu, inti adat
tidak akan lenyap: adat pasang turun-
naik, adat api panas, dalam gerak berseimbangan, di antara akhlak dan
pengetahuan. Perubahan itu hanya terjadi dalam bentuk ragam, bukan dalam hakiki
dan tujuan semula. Umpamanya jika dahulu orang memakai tengkuluk atau ikat kepala
dalam suatu majelis, kemudian sekarang memakai kopiah itu menjadi pakaian yang
teradat. Jika dahulu berjalan berkeris atau disertai pengiring, sekarang tidak lagi.
Jika dahulu warna kuning hanya raja yang boleh memakainya, sekarang siapa pun
boleh memakainya (Lah Husni, 1986:62).

(4) Adat istiadat adalah kumpulan dari berbagai


kebiasaan, yang lebih banyak diartikan tertuju kepada upacara khusus seperti adat:
perkawinan, penobatan raja, dan pemakaman raja. Jika hanya adat
saja maka kecenderungan pengertiannya adalah sebagai himpunan hukum, misalnya:
hukum ulayat, hak asasi dan sbagainya. Dalam konteks kebudayaan Melayu, adat
istiadat ini mencakup daur hidup manusia Melayu, yang tercermin dalam upacara
melenggang perut saat perempuan Melayu hamil. Kemudian upacara kelahiran, akikah,
manabalkan nama, bercukur, dan memijak tanah. Seterusnya upacara khitanan pada
saat akil baligh. Kemudian ada pula upacara perkawinan adat Melayu, yang mencakup
tahapan-tahapan seperti merisik kecil, meminang, jamu sukut, akad nikah, hempang
pintu, hempang batang, hempang kipas, duduk di pelaminan, mandi bedimbar,
meminjam pengantin, dan setersnya. Selanjutnya ada pula upacara kematian, membaca
Yassin, kirim doa, dan seterusnya. Dalam kebudayaan Melayu terdapat juga upacara-
upacara yang bersifat menyatu dengan alam (kosmologi) seperti mulaka nukah, mulaka
ngerbah, jamu laut, mandi Syafar, dan lain-lainnya. Yang jelas adat istiadat Melayu lahir
karena respins terhadap alam.

Dalam adat Melayu kearifan-kearifan lokal dalam konteks membentuk kepribadian dan
kebangsaan, sangat lekat dengan konsep adat yang diadatkan. Bahwa orang Melayu
sangatlah menghargai pemimpin seperti sultan, raja, perdana menteri, menteri,
panglima, penghulu, ketua mukim, dan lain-lainnya. Orang Melayu perlu memiliki
pemimpin yang adil, bijaksana, bisa diperaya (amanah), selalu berusaha untuk benar
dalam hidup, dan lain-lainnya. Pemimpin menjadi sebuah kewajiban dalam tata
pemerintahan dan politik dalam kebudayaan Melayu. Seperti tercermin dalam ajaran
adat: Apa tanda Melayu jati/ mengangkat pemimpin bijak bestari/ Apa tanda Melayu
jati/ Pemimpin dan ulama mesti bersebati. Dengan adanya pemimpin dan rakyat yang
dipimpin menjadikan umat Melayu memiliki tata pemerintahnya dan selanjutnya ketika
nasionalisme muncul mereka membentuk negara bangsa. Ini salah satu karakter
kepemimpinan yang bisa diterapkan dalam konteks menuju karakter bangsa.

Dalam adat Melayu juga dikenal kearifan lokal, bahwa hidup dikandung adat, biar mati
anak asal jangan mati adat. Artinya bahwa orang Melayu sangatlah memperhatikan
kesinambungan dan pendidikkan kebudayaan. Bila adat itu lestari maka akan lestarilah
kebudayaan Melayu. Jika keturunan kita berbuat salah maka kita jangan segan
memberikan hukuman atau sangsi sosial sebagaimana yang berlaku.

Bukan saja kearifan lokal Melayu, beberapa kelompok etnik di Nusantara ini juga
memiliki kearifan lokal yang berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa. Misalnya
pada etnik Nias, sistem penggolongan derajat manusia berasaskan tingkat-tingkat
kehidupan, dimulai dari janin sampai kehidupan akhirat. Pengertian bosi ini mencakup
dua belas tingkat kehidupan. Dalam konteks ini, bosi nantinya mengarahkan manusia
untuk berusaha mencapai tingkat tertinggi, agar setelah ia mati, akan memperoleh
kebahagiaan di dalam teteholi anaa (sorga). Adapun pembagian bosi itu adalah:
fangaruwusi (memperlihatkan kandungan); tumbu (lahir); famatoro doi (memberi
nama); famoto (sirkumsisi); falowa (kawin); famadadao omo (membangun rumah);
faaniha banua (memasuki persekutuan desa); famaoli (menjadi anggota adat); fangai
toi (mengambil gelar); faamokho (kekayaan); mamee go banua (menjamu orang se
desa) dan mamee go nori (menjamu orang satu ori, beberapa desa (Dasa Manao et al.
1998:195-196). Inti dari kearifan lokal itu adalah, bahwa sebagai sebuah suku dan juga
bangsa setiap orang Nias selalu berinteraksi dan menjadi bahagian komunitas sosial.
Dalam hal ini seorang pemimpin sosial mestilah mampu memberikan rezekinya kepada
orang lain. Seorang pemimpin adalah tangan di atas bukan di bawah.

Selain itu kearifan lokal dalam konteks pembangunan karakter bangsa juga terdapat
dalam kebudayaan Batak Toba. Sebagai satu kesatuan etnik, orang-orang Batak Toba
mendiami suatu daerah kebudayaan (culture area) yang disebut dengan Batak
Toba. Mereka disebut orang Toba. Menurut Vergouwen, masyarakat Batak Toba
mengenal beberapa kesatuan tempat yaitu: (1) kampung, lapangan empat persegi
dengan halaman yang bagus dan kosong di tengah-tengahnya, (2) huta, republik kecil
yang diperintah seorang raja, (3) onan, daerah pasar, sebagai satu kesatuan ekonomi, (4)
homban (mata air), (5) huta parserahan, kampung induk dan lain-lain (Vergouwen
1964:119-141). Inti ajaran kearifan lokal seperti terurai di atas adalah bahwa kita hidup
adalah sebagai makhluk sosial yang nemerlukan dan diperrlukan oleh orang lain baik di
peringkat kelompok sosial kecil sampai yang besar, termasuk bernegara.

Penutup
Dari contoh-contoh di atas tergambar dengan jelas bahwa kearifan lokal masyarakat
Nusantara terkodifikasi dalam adat. Adat masyarakat Nusantara ini memiliki konsep-
konsepnya tersendiri di setiap kelompok etnik. Dalam kearifan lokal Nusantara terdapat
nilai-nilai untuk membentuk karakter bangsa. Nilai-nilai tersebut mencakup: sistem
kepemimpinan, hubungan sosial, hidup secara berkelompok, pentingnya berbagi materi
dan pengalaman kepada orang lain, belajar terus dari alam, nilai-nilai gotong royong,
bagaimana menghadapi perubahan dan globalisasi, sadar akan makhluk yang mulai dari
kecil, dewasa, sampai meninggal, hidup tidak boleh sombong, dan seterusnya.

Sebagai sebuah bangsa yakni bangsa Indonesia kita berkarakter positif yang dapat digali
nilai karakter berbangsa itu dari kearifan lokal (etnik). Di antara karakter bangsa itu
adalah: bersama secara sosial dan bergotong royong, menerapkan nilai-nilai kebenaran
berdasarkan agama dan adat, memiliki pemimpin, menghormati pemimpin, bertindak
secara benar, amanah, menjaga persatuan, tidak menghujat, dan seterusnya. Dengan
demikian, maka kearifan lokal ini perlu terus digali dalam rangka menumbuhkan
karakter berbangsa dan bernegara. Wassalam.
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang
Alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul Kearifan Lokal yang Diterapkan dalam
Hubungan Manusia dan Lingkungan.

Makalah ini berisikan tentang informasi atau yang lebih khususnya membahas penerapan
kearifan lokal dalam hubungan manusia dan lingkungan, Diharapkan Makalah ini dapat
memberikan informasi kepada kita semua tentang apa itu kearifan lokal yang diterapkan
dalam hubungan manusia dan lingkungan. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun
selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan selanjutnya.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Amin.

Surabaya, 05 November 2012

Tim Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Masyarakat didalam memaknai hakekat hidup, unsur utama adalah berbuat baik dengan
melakukan keseimbangan antara kebutuhan alam dengan kebutuhan kehidupan bersama,
perbuatan baik dicirikan oleh perbuatan baik (soekanto:1998) terhadap sesama manusia
dengan alam sekitar dan tempat tinggal, sehingga tercemin manusia yang berbudi dan
disegani.

Lingkungan hidup merupakan tempat atau wadah kehidupan dari makhluk hidup. (Emil
Salim:2008), segala benda, kondisi, keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruangan
yang kita tempati dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan, hingga terjalin
hubungan yang erat antara lingkungn dengan manusia itu sendiri. Agar berjalan dengan
harmonis tentunya dibutuhkan keseimbangan dalam perjalananya, dan apabila terdapat
kesenjangan disalah satu diantaranya maka sulit ditemukan keseimbangan, maka
ketergantungan lingkungan hidup dan manusia merupakan erat kaitanya. Secara ekologipun,
manusia merupakan bagian dari lingkugan hidup.

Dalam kehidupan sehari-hari dapat dirasakan ketergantungan masyarakat dengan lingkungan.


Sedikit yang diketahui seperti pemanfaatan sumber daya alam contohnya hutan, memang
terlihat alam dibutuhkan manusia. Dengan ini pemanfaatan yang baik serta perawatan dan
penaatan kembali, dapat dikatakan inilah hubungan yang hamonis.Suatu keseimbangan
berjalan baik dan dapat berkelanjutan.

Pernahkah sejenak kita merenung dan menyaksikan alam sekitar kita yang semakin hari
bukan semakin baik tapi semakin rusak. Padahal kehidupan manusia semakin maju dan
terdidik sementara dahulu pendidikan barang langka dan mahal. Ironisnya dahulu alam masih
terjaga dengan baik jika dibandingkan sekarang. Salah satu jawabannya adalah kearifan lokal
orang dahulu (para nenek moyang kita). Kearifan lokal merupakan bagian dari sistem budaya,
biasanya berupa larangan-larangan yang mengatur hubungan sosial maupun hubungan
manusia dengan alamnya. Kearifan lokal sendiri berfungsi untuk menjaga kelestarian dan
kesinambungan aset yang dimiliki suatu masyarakat sehingga masyarakat dapat terpenuhi
kebutuhan-kebutuhannya dari generasi ke generasi berikutnya, tanpa harus merusak atau
menghabiskan aset tersebut. Oleh sebab itu, kearifan lokal selalu dijadikan pedoman atau
acuan oleh masyarakat dalam bertindak atau berperilaku dalam praksis kehidupannya.

Setiap masyarakat akan mengembangkan kearifan lokal sesuai dengan kondisi lingkungan
sosialnya maupun lingkungan alamnya serta sistem pengetahuan yang dimilikinya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka rumusan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah pengertian Kearifan Lokal ?


2. Apa sajakah peranan Kearifan Lokal dalam kehidupan manusia dan lingkungan ?
3. Apa saja contoh nyata kearifan lokal yang ada dalam masyarakat ?
4. Tantangantantangan apa sajakah yang harus dihadapi dalam mewujudkan kearifan
lokal ?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengertian kearifan lokal


2. Mengetahui peranan kearifan lokal dalam kehidupan manusia dan Lingkungan
3. Mengetahui contoh contoh nyata kearifan lokal yang ada dalam masyarakat
4. Memahami dan mengetahui tantangan tantangan yang harus dihadapi dalam
mewujudkan kearifan lokal

1.4 Manfaat

1. Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan kepada masyarakat luas


2. Sebagai bahan acuan pembelajaran ilmu sosial budaya
3. Memberi penjelasan mendalam tentang kerifan lokal yang diterapkan dalam
kehidupan

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kearifan Lokal

Menurut bahasa, keafiran lokal terdiri dari dua kata, yaitu kearifan dan lokal. Di dalam KBBI
(Kamus Besar Bahasa Indonesia), kearifan artinya bijaksana, sedangkan local artinya
setempat. Dengan demikian pengertian kearifan lokal menurut tinjauan bahasa merupakan
gagasan-gagasan atau nilai-nilai setempat atau (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,
bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya di tempat tersebut.3
Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi
geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut
secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang
terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.

Kearifan lokal masyarakat sudah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu
mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini. Kearifan lokal merupakan perilaku positif
manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang bisa bersumber
dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat yang
terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan
lingkungan di sekitarnya (Wietoler 2006).

Dalam disiplin antropologi, kearifan lokal dikenal dengan istilah local genius. Local genius
ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog
membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini (Ayatrohaedi 1986). Antara lain
Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity,
identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap
dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi 1986:18-
19). Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur
budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk
bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya antara lain :

1. mampu bertahan terhadap budaya luar.


2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar.
3. memunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli.
4. memunyai kemampuan mengendalikan.
5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Menurut I Ketut Gobyah dalam tulisan berjudul Berpijak pada Kearifan Lokal, mengatakan
bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam
suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan
berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat
setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya
masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meski pun bernilai
lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.

S. Swarsi Geriya menyampaikan dalam tulisannya Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg
Bali, bahwa secara konseptual kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan
kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku
yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar
sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.

Berdasarkan tinjauan agama, kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari
pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama. Adat kebiasaan pada
dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut
merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement).
Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami
penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena
dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik akan hanya terjadi apabila
terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi
dipaksakan.

Secara filosofis, kearifan lokal dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan masyarakat
lokal/pribumi (indigenous knowledge systems) yang bersifat empirik dan pragmatis. Bersifat
empirik karena hasil olahan masyarakat secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di
sekeliling kehidupan mereka. Bertujuan pragmatis karena seluruh konsep yang terbangun
sebagai hasil olah pikir dalam sistem pengetahuan itu bertujuan untuk pemecahan masalah
sehari-hari (daily problem solving). Kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara
spesifik dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan mencerminkan cara hidup suatu
masyarakat tertentu (masyarakat lokal). Dengan kata lain, kearifan lokal bersemayam pada
budaya lokal (local culture).

Di Indonesia istilah budaya lokal juga sering disepadankan dengan budaya etnik / subetnik.
Setiap bangsa, etnik, dan sub etnik memiliki kebudayaan yang mencakup tujuh unsur, yaitu:
bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem
mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian.

Secara umum, kearifan lokal (dalam situs Departemen Sosial RI) dianggap pandangan hidup
dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan
kebutuhan mereka. Dengan pengertian-pengertian tersebut, kearifan lokal bukan sekedar nilai
tradisi atau ciri lokalitas semata melainkan nilai tradisi yang mempunyai daya-guna untuk
untuk mewujudkan harapan atau nilai-nilai kemapanan yang juga secara universal yang
didamba-damba oleh manusia.

Dari definisi-definisi itu, kita dapat memahami bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan
yang dikembangkan oleh para leluhur dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka,
menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan memperkenalkan serta
meneruskan itu dari generasi ke generasi. Beberapa bentuk pengetahuan tradisional itu
muncul lewat cerita-cerita, legenda-legenda, nyanyian-nyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan
atau hukum setempat. Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika
masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal
itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut
sebagai jiwa dari budaya lokal.

2.2 Peranan Kearifan Lokal

2.2.1 Menghadapi Arus Globalisasi

Bekembang pesatnya teknologi, informasi dan ilmu pengetahuan yang disebabkan karena
kemampuan yang dianugerahi kepada manusia dalam melakukan sebuah inovasi, sehingga
dengan perkembangan tersebut akan membuat gaya hidup orang berubah. Dikarenakan
berkembangnya dengan pesatnya suatu ilmu pengetahuan, maupun teknologi dan informasi,
menjadikan batas antar Negara di seluruh dunia tidaklah llagi menjadi suatu hambatan
ataupun kendala untuk suatu Negara melakukan suatu hubungan, dan hubungan antar
negarapun semakin mudah dilakukan seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan serta
teknologi dan informasi.

Dengan derasnya arus globalisasi seperti itu, akan menyebabkan banyak sekali hal-hal yang
mencoba masuk ke dalam suatu budaya, baik hal-hal yang bersifat positif maupun hal
negative, tergantung bagaimana cara masyarakat tersebut menyaring hal-hal yang masuk
tersebut. Agar hal-hal yang masuk ke dalam suatu kebudayaan lokal, masyarakat nya harus
mampu menyaring hal-hal termasuk budaya , norma, nilai-nilai kehidupan yang masuk ke
negara tersebut tersebut agar tidak tercampur dengan budaya-budaya lokal dan tidak hilang
karena budaya luar.

Oleh sebab itu dibutuhkan peranan dari kearifan dari masyarakat lokal, agar mampu untuk
membantu dan mendukung budaya-budaya mereka sendiri,sehingga apa yang telah mereka
saring tidak lah hal-hal yang negative melainkan hal-hal yang bersifat positif. Contohnya
kebudayaan negara-negara timur yang dimana nilai-nilai sosial dan toleransi masing sangat
dijunjung tinggi disini, berbeda dengan budaya barat dimana nilai-nilai kebebasanlah yang
diterapkan, sehingga hal tersebut patut untuk dicontoh kebudayaan lokal itu sendiri.

2.2.2 Menjaga Suatu Lingkungan

Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat adat, lokal, tradisional yang pada umumnya tinggal
dan berada di dalam maupun disekitar hutan. Masyarakat tersebut telah melakukan
pengelolaan hutan sejak ratusan tahun yang lalu hingga saat ini secara turun temurun.
Pengelolaan hutan tersebut dilakukan berdasarkan kearifan, aturan dan mekanisme
kelembagaan yang ada dan mampu serta teruji menciptakan tertib hukum pengelolaan,
pengelolaan yang berbasis masyarakat dan pemanfaatannya berdimensi jangka panjang.
Dapat dikatakan bahwa tingkat kerusakan hutan yang ditimbulkan sangatlah kecil. Berbeda
jika hutan di kelola tanpa didasari kearifan, aturan dan mekanisme-mekanisme tertentu,
mereka tidak akan bertanggung jawab akan apa yang telah mereka lakukan. Dan hutan
tersebut mungkin akan jadi hutan yang tandusdan tidak dapat di gunakan unuk generasi-
generasi berikutnya. Karena Kearifan lokal merupakan salah satu menifestasi kebudayaan
sebagai system yang cenderung memegang erat tradisi, sebagai sarana untuk memecahkan
persoalan yang sering dihadapi oleh masyarakat lokal.
2.2.3 Proses Pembangunan Daerah

Menurut Oding,S (2002) kearifan lokal dicirikan dengan dasar kemandirian dan keswadayaan,
Memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan, Menjamin daya hidup dan
keberlanjutan, Mendorong teknologi tepat guna, Menjamin tepat guna yang efektifdari segi
biaya dan meberikan kesempatan untuk memahamidan memfasilitasi perancangan
pendekatan program yang sesuai.

Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat)


yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan
generasi masa depan (menurut Brundtland Report dari PBB, 1987). Salah satu faktor yang
harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki
kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan
sosial.

Perekonomian berkelanjutan yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi


sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi
kebutuhannya. Sehingga kearifan lokal memiliki arti penting dalam suatu proses
pembangunan di suatu daerah agar terjadi suatu kebijaksanaan dalam menggunakan lahan
yang ada, menggunakan suatu pembangunan tersebut tanpa merusak lingkungan dan
menggunakan perekonomian yang bersifat berkelanjutan.

2.2.4 Pengelolaan Sumber Daya

Ketergantungan dan tidak-terpisahan antara pengelolaan sumberdaya dan keanekaragaman


hayati ini dengan sistem-sistem sosial lokal yang hidup di tengah masyarakat bisa secara
gamblang dilihat dalam kehidupan sehari-hari di daerah pedesaan, baik dalam komunitas-
komunitas masyarakat adat yang saat ini populasinya diperkirakan antara 50 70 juta orang,
maupun dalam komunitas-komunitas lokal lainnya yang masih menerapkan sebagian dari
sistem sosial berlandaskan pengetahuan dan cara-cara kehidupan tradisional. Yang
dimaksudkan dengan masyarakat adat di sini adalah mereka yang secara tradisional
tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan
lokalnya. Batasan ini mengacu pada Pandangan Dasar dari Kongres I Masyarakat Adat
Nusantara tahun 1999 yang menyatakan bahwa masyarakat adat adalah komunitas-
komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu wilayah adat,
yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang
diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan
masyarakat.

Dari keberagaman sistem-sistem lokal ini bisa ditarik beberapa prinsip-prinsip kearifan
tradisional yang dihormati dan dipraktekkan oleh komunitas-komunitas masyarakat adat,
yaitu antara lain:

1. Ketergantungan manusia dengan alam yang mensyaratkan keselarasan hubungan


dimana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang harus dijaga
keseimbangannya.
2. Penguasaan atas wilayah adat tertentu bersifat eksklusif sebagai hak penguasaan
dan/atau kepemilikan bersama komunitas (comunal property resources) atau kolektif
yang dikenal sebagai wilayah adat (di Maluku dikenal sebagai petuanan, di sebagian
besar Sumatera dikenal dengan ulayat dan tanah marga) sehingga mengikat semua
warga untuk menjaga dan mengelolanya untuk keadilan dan kesejahteraan bersama
serta mengamankannya dari eksploitasi pihak luar. Banyak contoh kasus
menunjukkan bahwa keutuhan sistem kepemilikan komunal atau kolektif ini bisa
mencegah munculnya eksploitasi berlebihan atas lingkungan lokal.
3. Sistem pengetahuan dan struktur pengaturan (pemerintahan) adat memberikan
kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam
pemanfaatan sumberdaya hutan.
4. Sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik
bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh
orang luar komunitas.
5. Mekanisme pemerataan distribusi hasil panen sumberdaya alam milik bersama yang
bisa meredam kecemburuan sosial di tengah-tengah masyarakat.

Prinsip-prinsip ini berkembang secara evolusioner sebagai akumulasi dari temuan-temuan


pengalaman masyarakat adat selama ratusan tahun. Karenanya, prinsip-prinsip ini pun
bersifat multi-dimensional dan terintegrasi dalam sistem religi, struktur sosial, hukum dan
pranata atau institusi masyarakat adat yang bersangkutan. Masyarakat lokal di pedesaan yang
tidak lagi mendefenisikan dan menyebut dirinya sebagai masyarakat adat, juga secara
berkelanjutan menerapkan kearifan (pengetahuan dan tata cara) tradisional ini dalam
kehidupannya, termasuk dalam memanfaatkan sumberdaya dan keanekaragaman hayati untuk
memenuhi kebutuhannya seperti pengobatan, penyediaan pangan, dan sebagainya. Masa
depan keberlanjutan kehidupan kita sebagai bangsa, termasuk kekayaan sumberdaya dan
keanekaragaman hayati yang dimilikinya, berada di tangan masyarakat adat yang berdaulat
memelihara kearifan adat dan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang sudah
terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sebagai komunitas dan
sekaligus menyangga fungsi layanan ekologis alam untuk kebutuhan mahluk lainnya secara
lebih luas.

2.3 Contoh-contoh nyata Kearifan Lokal di dalam sebuah masyarakat

1. 1. Kearifan Lokal di Bengkulu

Ada beberapa etnik yang bersinggungan langsung dengan alam diantaranya etnik Rejang dan
Serawaiyang. Etnik Rejang memiliki kearifan dengan mengetahui zonasi hutan, mereka
sudah menentukan imbo lem (hutan dalam), imbo u'ai (hutan muda) dan penggea imbo (hutan
pinggiran). Dengan zonasi yang mereka buat, maka ada aturan-aturan tentang penanaman dan
penebangan kayu. Hampir mirip dengan Etnik Rejang, Serawai yang dikenal sebagai tipikal
masyarakat peladang telah mengembangkan kearifan lokal dalam pembukaan ladang yaitu
"celako humo" atau "cacat humo", dimana dalam pembukaan ladang mereka melihat tanda-
tanda alam dulu sebelum membuka ladang dimana ada 7 pantangan yaitu:

1. ulu tulung buntu, dilarang membuka ladang di hutan tempat mata air
2. sepelancar perahu
3. kijang ngulangi tai
4. macan merunggu
5. sepit panggang
6. bapak menunggu anak
7. dan nunggu sangkup
tujuh pantangan ini jika dilanggar akan berakibat alam dan penunggunya (makhluk gaib)
akan marah dan menebar penyakit.

1. 2. Kearifan Lokal di Yogyakarta

Pernah mendengar Gunung Kidul? Pasti bayangan kita langsung kekeringan. Benar saja,
salah satu keunikan Gunung Kidul adalah kawasan Karst. Tetapi harus kita ingat bahwa
kawasan ini telah dihuni selama berabad-abad oleh masyarakatnya bahkan dari zaman batu.
Munculnya peradaban manusia yang berkembang pada kawasan ini menggambarkan bahwa
masyarakat di kawasan ini telah dapat beradaptasi dengan kekeringan. Air menjadi sangat
berharga di kawasan ini. Apakah tidak ada sumber air di kawasan ini? Oh kita jangan salah,
kawasan ini memiliki sungai bawah tanah yang banyak sekali tetapi karena merupakan
kawasan karst agak sulit untuk menaikkan air karena kedalamannya dan juga tipikal kawasan
karst. Masyarakat di kawasan ini melakukan pemeliharaan cekungan-cekungan (sinkhole),
mereka memodifikasi bagaimana cekungan ini sebagai tabungan air mereka dengan menata
batu dan menanami tanaman seperti jarak dan jati di sekitar bibir cekungan. Batu sebagai
penyaring, sementara tanaman sebagai penyimpan air. Selain itu juga para penduduk juga
menampung air ketika musim hujan tiba sebagai tabungan air ketika kemarau datang.

1. 3. Kearifan Lokal Kediri

Cerita Panji mungkin bukan hal yang asing lagi terutama di tanah Jawa Timur. Cerita Panji
adalah harta karun yang dimiliki Jawa Timur, lahir di Kediri berkembang sejak zaman
Majapahit. Salah satu dongeng Panji adalah Enthit yang terkait dengan pertanian. Cerita
semacam Enthit itu memberikan inspirasi mengapa timun dapat ditanam sampai mentheg-
mentheg (gemuk dan menyenangkan). Mengapa berbagai sayuran itu tumbuh subur dan
menyehatkan. Bagaimana petani pada masa itu memperlakukan lahannya. Bagaimana cara
bercocok tanam, semuanya seolah-olah diserahkan pada kekuasaan alam belaka. Semuanya
dilakukan dengan cara organik. Konsep pertanian dalam budaya Panji adalah soal tantra atau
kesuburan. Jadi bagaimana memperlakukan tanah (lahan) seperti menyayangi istri dan ini
hubungannya dengan konservasi alam.

1. 4. Kearifan Lokal di Sumatera Utara

Sumatera Utara memiliki sekelompok masyarakat yang dikenal sebagai Parmalim berpusat di
Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Parmalim menekankan
lingkungan hidup pada dasarnya memberi dukungan terhadap kelangsungan hidup manusia,
maka sewajarnya manusia juga memberi dukungan terhadap lingkungan hidup. Air adalah
sumber kehidupan, maka kita harus memberi dukungan terhadap semua hal yang berkaitan
dengan pelestarian air. Pada saat menebang pohon, maka bisa dilakukan jika sebelumnya
sudah cukup banyak menanam tunas baru, selain itu aturan penebangan juga dengan cara
bahwa penebang tidak boleh merobohkan pohon besar sampai menimpa anak pohon lain, jika
terjadi maka penebang harus diganti orang lain. Selain itu juga dalam memetik umbi-umbian
yang menjalar, umat Parmalim harus menyisakan tunas sehingga bisa tumbuh kembali.

2.4 Tantangan-tantangan yang harus dihadapi dalam mewujudkan kearifan lokal

1. Jumlah Penduduk
Pertumbuhan penduduk yang tinggi akan mempengaruhi kebutuhan pangan dan berbagai
produksi lainnya untuk mencukupi kebutuhan manusia. Robert Malthus menyatakan bahwa
penduduk yang banyak merupakan penyebab kemiskinan, hal ini terjadi karena laju
pertumbuhan penduduk yang mengikuti deret ukur tidak akan pernah terkejar oleh
pertambahan makanan dan pakaian yang hanya mengikuti deret hitung (Soerjani dkk,
1997:99). Adanya kebutuhan pangan yang tinggi menuntut orang untuk meningkatklan
produksinya guna mencukupi kebutuhan tersebut, sehingga melakukan modernisasi pertanian
dengan melakukan revolusi hijau. Dalam Revolusi hijau dikembangkan penggunaan bibit
unggul, pemupukan kimia, pengendalian hama penyakit dengan obat-obatan, pembangunan
saluran irigasi secara besar-besaran untuk pengairan dan penggunaan teknologi pertanian
dengan traktor untuk mempercepat pekerjaan.

Sebagai akibat pelaksanaan revolusi hijau yang menekankan pada tanaman padi secara
monokultur dengan bibit unggul maka akan mempengaruhi kehidupan petani lokal dalam
menggunakan bibit lokal yang sebenarnya mempunyai ketahanan terhadap hama dan
penyakit, pupuk kandang dan pupuk organik yang digantikan dengan pupuk kimia,
penggunaan hewan untuk membajak yang digantikan traktor, penggunaan obat-obatan dari
tanaman untuk pertanian dengan obat-obatan kimia. Melalui program pemerintah ini, petani
nampak hanya sebagai obyek, mereka tunduk patuh pada kehendak penguasa sehingga hak
petani untuk mengekspresikan sikap dan kehendaknya terabaikan.

1. Teknologi Modern dan Budaya

Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang cepat menyebabkan kebudayaan


berubah dengan cepat pula. Selanjutnya Su Ritohardoyo (2006:42) menjelaskan bahwa
perubahan yang terjadi pada masyarakat yang kebudayaannya sudah maju atau kompleks,
biasanya terwujud dalam proses penemuan (discovery), penciptaan baru (invention), dan
melalui proses difusi (persebaran unsur-unsur kebudayaan). Perkembangan yang terwujud
karena adanya inovasi (discovery maupun invention) dan difusi inovasi mempercepat proses
teknologi, industrialisasi dan urbanisasi. Ketiga komponen tersebut secara bersama
menghasilkan proses modernisasi dalam suatu masyarakat yang bersangkutan. Teknologi
modern secara disadari atau tidak oleh masyarakat, sebenarnya menciptakan keinginan dan
harapan-harapan baru dan memberikan cara yang memungkinkan adanya peningkatan
kesejahteraan manusia.

Melihat kenyataan tersebut maka mudah dipahami mengapa cita-cita tentang teknologi lokal
cenderung diabaikan, karena kebanyakan orang beranggapan bahwa teknologi modern selalu
memiliki tingkat percepatan yang jauh lebih dinamis. Menurut Budisusilo dalam Francis
Wahono(2005:217) teknologi lokal sebagai penguatan kehidupan manusia sesungguhnya
memiliki percepatan yang cukup dinamis, misalnya dalam menciptakan lapangan kerja dan
memenuhi kebutuhan dasar. Selain menggususr pengetahuan dan teknologi lokal teknologi
modern dan seluruh sistem kelembagaannya juga mempunyai potensi perusakan seperti
pembagian hasil yang timpang, pencemaran lingkungan alam dan perusakan sistem nilai
sosial-budaya masyarakat.

Banyak media informasi dan komunikasi dengan gencarnya menawarkan produk berikut gaya
hidup, gaya konsumsi, dan berbagai sarana hidup yang dianggap sebagai tolok ukur kemajuan
dan kebahagiaan yang belum pernah dijumpai sebelumnya. Budisusilo dalam Francis
Wahono (2005:218) menjelaskan sebagai akibat perkembangan teknologi produksi yang
pesat, baik pada sektor pertanian (bioteknologi dan mekanisasi), sektor industri (manufaktur
dan eksplorasi alam), maupun sektor jasa (transportasi, medis, laboratoris, komunikasi dan
informasi), masyarakat pun menjadi terbiasa menikmati produk barang dan jasa yang bersifat
massif dengan efisiensi teknis, kualitas dan jenis yang sama pada semua belahan bumi. Di
samping itu ketersediaan akses pada jaringan pemasaran seperti : hypermarket, supermarket,
minimarket bahkan traditional market yang ditopang oleh fasilitas/alat bayar yang mudah dan
cepat seperti telemarket, cybermarket telah merubah budaya dan kebiasaan baru sejumlah
kalangan masyarakat. Pada gilirannya teknologi modern menjadi standard produksi bagi
pasar dunia yang mengabaikan kemampuan penguasaan teknologi/pengetahuan
keanekaragaman sumberdaya lokal.

Percepatan integrasi tersebut telah seperti meningkatnya jumlah pengangguran, kemiskinan,


marginalisasi nilai kemanusiaan, krisis lingkungan, kerusakan dan konflik sumberdaya alam
dan lingkungan.

1. Modal Besar

Eksploitasi terhadap sumberdaya alam dan lingkungan sekarang ini telah sampai pada titik
kritis, yang menimbulkan berbagai masalah lingkungan dan masyarakat. Di samping masalah
lingkungan yang terjadi di wilayah-wilayah dimana dilakukan eksploitasi sumberdaya alam,
sebenarnya terdapat masalah kemanusiaan, yaitu tersingkirnya masyarakat asli (indigenous
people) yang tinggal di dalam dan sekitar wilayah eksploitasi baik eksploitasi sumberdaya
hutan, sumberdaya laut, maupun hasil tambang. Mereka yang telah turun temurun tinggal dan
menggantungkan kehidupannya pada hutan maupun laut, sekarang seiring dengan masuknya
modal besar baik secara legal maupun illegal yang telah mngeksploitasi sumberdaya alam,
maka kedaulatan dan akses mereka terhadap sumberdaya tersebut terampas.

Fenomena tersebut tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pemerintah dalam pengelolaan
sumberdaya alam selama ini yang lebih menitikberatkan kepada upaya perolehan devisa
Negara melalui eksploitasi sumberdaya alam yang bernilai ekonomis. Besarnya keuntungan
yang bias diraih diikuti dengan meningkatnya devisa dan daya serap tenaga kerja pada sektor
yang bersangkutan, semakin menguatnya legitimasi beroperasinya modal besar di sektor
tersebut. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kekayaan sumberdaya alam dan hayati yang
dimiliki dapat diekstraksi untuk mendapatkan surplus.

Namun demikian di lain pihak, keberhasilan perolehan devisa tersebut harus dibayar mahal
dengan rusaknya ekosistem daerah yang bersangkutan dan akan berakibat pada terganggunya
ekosistem global. Selanjutnya secara sosial budaya, terjadi konflik kepentingan antara tatanan
budaya lokal dan budaya modern yang melekat pada industrialisasi dari sumberdaya alam
yang dieksploitasi. Menurut Rimbo Gunawan dkk, (1998:v) persoalan tersebut di satu pihak,
yaitu modernisasi melihat bahwa tatanan budaya lokal merupakan hambatan yang harus
dihilangkan atau diganti agar proses pembangunan tidak mendapat gangguan serius dari
komunitas lokal, sementara itu masyarakat lokal memandang industrialisasi dari hasil
sumberdaya alam yang dieksploitasi sebagai ancaman bagi hak-hak adat mereka terhadap
lingkungannya Kejadian-kejadian tersebut khususnya pada sumberdaya hutan diperparah
dengan banyaknya pengusaha illegal yang hanya mementingkan keuntungan tanpa
mempertimbangkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, yang juga wujud dari
keserakahan.

1. Kemiskinan dan Kesenjangan


Kemiskinan dan kesenjangan merupakan salah satu masalah yang paling berpengaruh
terhadap timbulnya masalah sosial. Masalah sosial yang bersumber dari kemiskinan dan
kesenjangan atau kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan pokok, sering kali tidak berdiri
sendiri tetapi saling berkaitan dengan faktor lain. Kemiskinan bukan saja menjadi masalah di
Indonesia, tetapi juga di banyak Negara berkembang. Kemiskinan juga mempengaruhi orang
bertindak untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, meskipun tindakan tersebut kadang
bertentangan dengan aturan atau norma-norma yang sudah ada atau pun berkaitan dengan
kerusakan lingkungan.

Dari tantangan-tantangan yang ada, ada beberapa solusi yang dapat diambil untuk
menghadapi tantangan-tantangan itu, antara lain :

1. Mempertahankan Kearifan lokal

Di sisa-sisa tenaga kearifan lokal dalam mempertahankan eksistensinya, diperlukan suatu


usaha untuk menjaganya untuk tetap berkembang dalam masyarakat. Usaha tersebut harus
disertai dengan kesadaran akan peranan kearifan lokal yang sangat penting di dalam
menghadapi permasalahan.

Pendidikan merupakan media dimana dalam proses pembelajaran ditanamkan nilai-nilai.


Dalam memberdayakan kearifan lokal dapat dilakukan dengan mengintegrasikan dalam mata
pelajaran tertentu, misalnya muatan lokal. Sedangkan untuk menanamkan nilai-nilai
kelingkungan dapat dilakukan dengan hal yang sama maupun dengan mata pelajaran khusus,
seperti pendidikan kelingkungan hidup.

Pendidikan tidak hanya di dalam bangku sekolah. Pendidikan yang lebih penting adalah
pendidikan sejak dini yang dimulai dari keluarga dengan memperkenalkan kearifan lokal dan
menanamkan pedulu lingkungan kepada anggota keluarga.

1. Usulan Bagi Pemerintah

Lebih menegakkan hukum tentang unadang-undang lingkungan hidup merupakan hal yang
wajib dilakukan. Disamping itu diperlukan usaha penghijauan dan gerakan peduli lingkungan
yang harus dilakukan mengingat kerusakan alam semakin parah.

1. Usulan bagi masyarakat

Kesadaran, kepedulian, dan sikap tanggung jawab diperlukan dalam menjaga kelestarian
lingkungan. Sadar bahwa lingkungan merupakan hal penting untuk kelangsungan hidup
manusia. Peduli untuk melestarikan dan menjaga lingkungan, serta kegiatan manusia harus
disertai rasa tanggung jawab terhadap alam.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa :


1. Kearifan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur dalam
mensiasati lingkungan hidup sekitar, menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari
budaya dan memperkenalkan serta meneruskan itu dari generasi ke generasi.
2. Peranan Kearifan Lokal adalah sebagai berikut.
1. Berperan dalam menghadapi arus globalisasi.
2. Berperan dalam menjaga suatu lingkungan.
3. Berperan dalam pembangunan daerah.
4. Berperan dalam pengelolaan sumber daya.
5. Meskipun di akhir era ini banyak masyarakat yang acuh terhadap lingkungan
namun masih terdapat masyarakat yang memiliki kesadaran tentang
lingkungan.
6. Tantangan-tantangan dalam mewujudkan kearifan lokal :
1. Jumlah penduduk yang tinggi
2. Teknologi modern dan budaya barat
3. Modal dan eksploitasi besar-besaran
4. Kesenjangan dan kemiskinan

3.2 Saran

1. Mengetahui dan melestarikan akan pentingnya kearifan lokal di Indonesia.


2. Membudayakan kearifan lokal tiap generasi.

DAFTAR PUSTAKA

http://jejakjejakhijau.blogspot.com/2012/01/kearifan-lokal-di-lingkungan-masyarakat.html

Jusuf Nikolas Anamofa, Kearifan Lokal Guna Pemecahan Masalah, artikel ini

diakses pada 12 Oktober 2012 dari

http://tal4mbur4ng.blogspot.com/2010/07/kearifan-lokal-guna-pemecahan-masalah.html

Pengertian Kearifan Lokal, artikel ini diakses pada 12 Oktober 2012 dari

http://karodalnet.blogspot.com/2011/10/pengertian-kearifan-lokal.html Setiadi. Elly


M.dkk.2005.Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.Jakarta:Kencana Prenada Media Group.

Sandi Nugroho, Contoh dan Fungsi Kearifan Lokal , artikel ini diakses pada 11 Oktober
dati

http://sandinugrohoartikel.blogspot.com/2012/03/contoh-dan-fungsi-kearifan- lokal.html
Zogomora, Kearifan Lokal , artikel ini diakses pada 11 oktober 2012 dari

http://goalterzoko.blogspot.com/2010/08/kearifan-lokal.htm

Anda mungkin juga menyukai