Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

“KASUS DISINTEGRASI BANGSA DI INDONESIA”


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kewarganegaraan

DOSEN PENGAMPU : FIRSTA, S.H.,M.M

Disusun oleh :
LATIFA KHAIRUNNISA
2011052003

PROGRAM STUDI D4 PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN


JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI PADANG
2020/2021
Konflik antar agama di Ambon (1999)

Sejak awal Mei 2006, Ambon didampingi oleh Tim Pilot Proyek P2KP, yang
terdiri atas seorang Korkot dan satu tim Faskel seorang SF, dan tiga Faskel. Kegiatan pilot
project yang dilaksanakan di bawah manajemen KMP dimaksudkan mengkaji sejauh
mana efektivitas pendampingan P2KP dapat dilakukan. Khususnya terkait situasi sosial
pasca konflik di daerah ini. Pihak luar selama ini masih menganggap Ambon sebagai
daerah yang “penuh pertikaian dan penuh ketegangan.” Berikut hasil kajian kondisi sosial
di Ambon yang dilakukan Tim Pilot Project.

Sebelum Kerusuhan 1999

Saat itu Kota Ambon (luas 761 km persegi) adalah sebuah kota kecil yang indah.
Jumlah penduduknya sekitar 250 ribu jiwa. Penataaan kota rapi, dengan lingkungan yang
bersih, hingga mendapat julukan manisse, yang artinya manis atau indah. Karena itu,
Ambon pernah beberapa kali mendapatkan Adipura. Problema sosial kota-kota besar
seperti tuna wisma, kaki lima, pengamen-pengemis, sampah dan tindakan kriminal  jarang
dijumpai. Sebagaimana kota-kota besar lainnya, penduduk kota Ambon terdiri atas
beragam ras, bangsa, dan etnik. Orang Arab dan China bersama etnis Bugis, Buton, dan
Makasar (dikenal dengan sebutan “BBM”)  memegang peran penting dalam perekonomian
kota dan daerah. Sementara orang-orang Maluku yang juga terdiri atas beragam etnik
cenderung terpinggirkan.

Berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia yang didominasi pemeluk agama


Islam, di Ambon sebanyak 49,2% warganya memeluk agama Kristen Protestan, 44,3%
memeluk agama Islam, 6,35% Katholik, 0,07% Hindu, dan 0,04% Budha. Pemeluk Islam
umumnya adalah pendatang, yaitu orang-orang Arab serta etnik “BBM”. Meski ada juga
orang-orang Ambon dan Maluku yang memeluk agama Islam. Selain berperan dalam
perekonomian untuk dapat bertahan hidup di daerah ini, para pendatang khususnya etnik
“BBM” juga bersedia bekerja di sektor-sektor informal yang cenderung dihindari
penduduk asli. Hingga muncul kesan, perekonomian Ambon dan Maluku dikuasai
pendatang dan pemeluk agama Islam.

Sistem kekerabatan yang sangat kuat diantara orang-orang Ambon, baik pemeluk
Islam maupun Kristen kian mempertegas struktur sosial, ekonomi, dan politik. Jika ada
seorang kepala daerah baru dilantik, ada kecenderungan pejabat-pejabat di bawahnya akan
diganti oleh mereka yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan si pejabat baru.
Ikatan kekerabatan ini mudah sekali diamati, karena setiap orang “asli” selalu
menggunakan nama fam atau “marga”.

Saat Kerusuhan

Sebagaimana kita ketahui bersama, sejak awal 1999 terjadi konflik sosial di
Ambon yang kemudian menyebar hampir ke seluruh pelosok Maluku. Konflik ini
menempatkan orang Islam yang dalam bahasa setempat disebut Acang (dari kata Hasan)
berhadapan dengan orang Kristen yang biasa dipanggil Obet (dari kata Robert). Dalam
konflik ini, kelompok Acang menguasai permukiman di daerah pantai dan dataran rendah.
Sementara kelompok Obet menguasai dataran tinggi dan perbukitan. Rumah, toko, dan
segala bangunan milik kelompok Obet yang dikuasai kelompok Acang saat itu, sebagian
besar habis dijarah dan dibakar. Demikian pula sebaliknya, bangunan dan harta kekayaan
kelompok Acang yang ada di daerah kekuasaan Obet, sebagian besar habis dijarah dan
dibakar. Akibatnya, dapat kita saksikan, antara lain ratusan bahkan ribuan rumah
penduduk dan toko dibakar. Sarana dan prasarana dasar, seperti kantor pemerintah,
sekolah, jaringan telkom, jaringan PAM, juga menjadi sasaran. Pendek kata, kota menjadi
lumpuh.

Tidak ada angka pasti berapa banyak korban jiwa yang jatuh waktu itu.
Penyiksaan, pembunuhan, dan aneka macam perilaku “tak beradab” menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari saat ini. Masing-masing kelompok, Acang dan Obet, mengungsi ke
tempat yang dianggap aman. Acang mengungsi ke kawasan yang dikuasai Acang, dan
Obet mengungsi ke kawasan yang dikuasi Obet. Masyarakat terpecah dan terkotak-kotak
berdasar kelompok serta keyakinan.

Upaya mengakhiri konflik ini ternyata tidak mudah karena ada beberapa pihak
yang diduga diuntungkan dengan adanya konflik. Bantuan dana dari berbagai pihak
terhadap masing-masing kelompok yang berseteru menjadi “berkah” bagi sebagian orang.

Pasca Kerusuhan

Setelah melalui lobi dan tekanan berbagai pihak, akhirnya konflik dapat diakhiri.
Pasca konflik, Kota Ambon berubah dalam berbagai aspek. Ambon yang semula bersih
menjadi kumuh dan kotor. Hingga kini masih banyak terlihat puing-puing gedung dan
rumah yang pernah terbakar. Gedung dan rumah yang pernah terbakar umumnya tidak
segera diperbaiki karena para pemiliknya masih mempertimbangkan situasi keamanan.
Sampah juga banyak berserakan hampir di setiap sudut kota. Got-got rusak, saluran PAM
masih banyak yang belum diperbaiki, demikan pula jaringan telpon kabel. Pengemis juga
banyak bermunculan. Pos-pos keamanan (tentara dan Brimob) masih dijumpai di berbagai
sudut kota. Beberapa kelompok masyarakat mengaku masih menyimpan dendam terhadap
yang lain.

Masyarakat kini tinggal terkotak-kotak, berdasarkan kelompok dan golongan.


Kelompok Obet tinggal di wilayah-wilayah dataran tinggi atau daerah atas, sementara
kelompok Acang di wilayah dataran rendah/dekat pantai. Dalam kehidupan sehari-hari,
interaksi antar kelompok sudah berjalan “normal”. Tapi, untuk tinggal berbaur dengan
kelompok yang berbeda, masih dirasakan kurang “nyaman”. Etnis tertentu, terutama Cina
yang umumnya bekerja sebagai pedagang dengan modal besar, memilih strategi menunggu
situasi kondusif. Tanah dan rumah mereka tidak dijual, tapi dititipkan pada orang lain,
aparat, atau tokoh masyarakat untuk menjaganya. Para penjaga ini diuntungkan dari dua
sisi. Yaitu, dari pemilik rumah, mereka mendapat uang jaga. Jika ada pendatang yang mau
menempati rumah (bekas terbakar) tersebut, mereka pun mendapat uang sewa tambahan.

Sebenarnya masyarakat sudah jenuh oleh kondisi sosial yang ada dan keamanan
yang labil. Akibatnya, banyak yang apatis serta menjalani kehidupan hanya untuk
kepentingan pribadi dan keluarganya sendiri. Bisa dikatakan hampir seluruh tatanan sosial
hancur, warga terkotak-kotak, dan saling curiga. Kadang terjadi perkelahian antar-warga.
Khususnya kalangan muda di satu kelurahan, terutama di daerah pengungsian. Minum-
minuman keras hingga mabuk suatu kebiasaan di masa lalu masih banyak dilakukan
hingga kini. Kondisi mabuk ini menjadi salah satu pemicu mudahnya muncul perkelahian-
perkelahian tersebut.

Segera setelah konflik reda, sejumlah program/proyek kemanusiaan, baik dari


pemerintah maupun LSM, mencoba masuk dengan maksud segera memulihkan Ambon.
Kota yang semula berduka akibat konflik ini tiba-tiba mendapat “berkah” bantuan. Namun,
tidak sedikit program yang dikucurkan tanpa perencanaan matang. Sehingga masyarakat
cenderung memandang kehadiran suatu lembaga identik dengan kehadiran bantuan atau
uang. Awalnya, P2KP juga disikapi seperti ini. Ketika Tim Pilot Project pertama kali
masuk ke daerah ini, masing-masing stakeholder baik itu tingkat kota, kecamatan, maupun
kelurahan sudah mendapat informasi tentang P2KP. Tapi, informasi yang didapat hanya
terbatas dari buku Pedoman Umum P2KP.

Berkaitan dengan pelaksanaan P2KP, Bappekot telah membentuk tim khusus yang
mendapat tugas melakukan sosialisasi ke berbagai kelurahan sasaran P2KP-3. Kondisi
yang terjadi di Ambon menarik untuk dikaji. Namun, respon pemda yang cepat, antara
lain, berdampak pada beberapa kebijakan yang “kurang tepat.” Seperti, penerbitan Surat
Bappekot No. 050/44/BAPK/2006 kepada 23 Kepala Kelurahan sasaran P2KP, untuk
segera membentuk Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Sehingga, ketika Tim Pilot
Project masuk, “sudah terbentuk 23 BKM.” Struktur BKM terdiri dari lima orang meliputi
ketua, sekretaris, Unit Pengelola Keuangan, Unit Pengelola Sosial, dan Unit Pengelola
Keuangan. Sebagian kelurahan bahkan sudah membentuk Kelompok Swadaya Masyarakat
(KSM). Lebih jauh lagi, ada satu kelurahan, Kelurahan Urrimessing yang telah
mempunyai Program Penanggulangan Kemiskinan (Pronangkis).

Di sisi lain, konflik sosial ternyata tidak mempengaruhi gaya hidup masyarakat.
Umumnya masyarakat Ambon masih mengutamakan penampilan luar (lifestyle), antara
lain dengan menggunakan barang-barang bermerek terkenal atau berkualitas tinggi, meski
mahal untuk kondisi saat ini. Seperti, baju, sepatu, perhiasan, serta alat rumah tangga yang
cukup mewah. Perilaku konsumtif tersebut menimbulkan dampak sosial. Karena, tidak
sedikit warga yang jatuh miskin akibat kerusuhan, namun pola hidupnya masih seperti
sebelum kerusuhan. Yang merasa senang dengan situasi ini adalah para pedagang, karena
kerusuhan ternyata tidak banyak berpengaruh terhadap pola konsumsi. Banyak pedagang,
baik sektor formal maupun informal (kaki lima) yang menyampaikan, pasca kerusuhan ini
mereka tetap dapat menikmati keuntungan yang tinggi, serta perputaran modal yang cepat.

Beberapa pihak khawatir dengan situasi yang dapat berdampak kepada peningkatan
angka kejahatan. Data kriminalitas di tingkat kota cenderung mengindikasikan
peningkatan. Upaya membangun kebersamaan dan menumbuhkan kembali semangat
membangun telah diupayakan pemda, termasuk pemerintah kelurahan, dengan
mengembalikan salah satu budaya setempat yang dikenal dengan masohi, atau gotong
royong untuk menggalang kebersamaan. Kegiatan masohi dilakukan melalui satu kegiatan
bersama. Dalam kegiatan ini semua masyarakat didorong ikut terlibat tanpa membedakan
suku, agama, ras, dan golongan. Misalnya, dalam pembangunan gereja kaum, Muslim turut
menyumbang. Sebaliknya, apabila kaum Muslim membangun mesjid, kaum Nasrani turut
menyumbang. Kebiasaan lainnya yang mulai ditumbuhkan kembali adalah makan bersama
(makan pattita) sebagai simbol kebersamaan dan persaudaraan. Semua kegiatan ini
biasanya diikuti oleh tokoh-tokoh masyarakat, dan masyarakat umum.

Setelah berjalan sekitar dua bulan, P2KP mulai dikenal masyarakat. Gema P2KP
mulai berkumandang. Ada beberapa tantangan yang dihadapi Tim Faskel Pilot
Project Kota Ambon, di mana sejak Tim Faskel dimobilisasi hingga bulan kedua, hampir
setiap hari—sepanjang hari, pagi hingga pagi berikutnya—hujan selalu mengguyur Kota
Ambon. Di beberapa bagian wilayah bahkan sempat terjadi banjir dan tanah longsor.
Kondisi ini membuat masyarakat, khususnya yang tinggal di kawasan perbukitan, enggan
keluar rumah. Tantangan yang kedua, yang lebih berat terkait dengan persepsi atas
program. P2KP yang tidak memberikan janji materi (uang) dinilai kurang menarik bagi
sebagian warga yang sudah terlanjur menikmati bantuan-bantuan kemanusiaan pasca
konflik.

Waktu terus berjalan dan upaya penyadaran terus dilakukan tim. Secara perlahan,
pelaksanaan P2KP di tingkat masyarakat mulai mendapat respon yang cukup baik. Apalagi
setelah mereka memahami keberadaan dan tujuan program. Respon ini nampak dari
tanggapan-tanggapan masyarakat yang mengungkapkan, konsep P2KP bagus. Respon
positif juga dapat dilihat dari warga yang kerap menanyakan tentang waktu dilakukan
pelatihan relawan, kapan refleksi kemiskinan, kapan pembentukan BKM, dan bagaimana
prosesnya. (Edhie Djatmiko, TL Pilot Project P2KP 3 Ambon-Papua; nina)
Keterkaitan proses konflik Islam-Kristen sebagai resolusi konflik (Agen Perdamaian) yang
membentuk lingkaran.

1. Hubungan Islam-Kristen (Batumerah-Passo) sebelum konflik,yang mana


menunjukan dua kenyataan yang kontra. Pada satu sisi terbangun harmonisasi
dalam interaksi sosial mutual saling berdampingan, saling toleran, dan saling
berbagi antar individu-komunitas (masyarakat) yang lintas agama dan etnis.
Sementara pada sisi yang lain ada juga pengalamaan konflik internal yang
melibatkan sesama masyarakat berpela Gandong. Akan tetapi, konflik tersebut
dapat terselesaikan secara Adatis, dalam hal ini termediasi melalui pertemuan dan
negosiasi para tokoh Adat, dan akta ritual panas pela antar kedua masyarakat.
2. Penyebab konflik, khusus menyoroti kondisi objektif yang melatarbelakangi
terjadinya konflik antar agama 1999 dalam konteks komunitas Batumerah-Passo,
yakni fenomena kecemburuan sosial pada wilayah public, posisi politis yang mana
pihak Islam merasa dinomorduakan dalam kebersamaan masyarakat. Pihak Islam
menilai adanya ketidakseimbangan keterwakilan umat Islam dalam posisi
struktural masyarakat, sebelum konflik hanya orang-orang Kristen yang
mendominasi dalam kursi kepemimpinan di instansi-instansi birokratif dan
akademisi. Karena itu, dalam proses penyelesaian konflik, pihak Islam yang
dilibatkan mengusung satu point persetujuan yang disepakati bersama terkait
dengan hal tersebut. Selain itu, pada bidang ekonomi, ketika masyarakat asli tidak
ingin dikuasai oleh warga pendatang dari suku bugis, yang mendominasi pasar.
Para pendatang sendiri telah mengembangkan perserikatan-perserikatan yang
sukuisme.
3. Fase Laten atau konflik tidak terlihat, yakni terdapat perkelahian antar warga
pemuda anggota komunitas Muslim dan Kristen (Batumerah-Mardika) dan
perkelahian antar warga asli dan pendatang di wilayah pasar, antara sesama Islam
dan juga antar suku. Bagi keduabelah pihak, hal ini adalah fenomena yang biasa
dan dianggap tidak memiliki kaitan dengan konflik.
4. Fase pemicu, yakni konflik berawal dari perseteruan antar individu masing-masing
dari pihak Muslim, pemuda makasar (Sulawesi). Sedangkan, dari pihak Kristen,
pemuda Aboru (Maluku Tenggah) kemudian berkembang dengan merebaknya isu-
isu dan simbolisasi agama yang membentuk kognisi masyarakat untuk memahami
konflik sebagai konflik antar agama, ada juga keterlibatan TNI yang tidak netral,
bahkan menjadi aktor kekerasan penyerangan, pembunuhan warga dan komunitas
Islam-Kristen.
5. Fase Eskalasi. Pada fase ini terjadi polarisasi agama Islam vs Kristen, individu-
kelompok Islam-Kristen tergerak untuk terlibat berkonflik satu 135 dengan yang
lain, konflik yang awalnya perseteruan antar individu berevolusi menjadi konflik
antar kelompok (komunitas Islam-Kristen).
6. Fase Krisis. Pada fase ini, kedua komunitas terlibat dalam kekerasan langsung,
agresi, saling menyerang, membunuh dan merusak bahkan membakar rumah dan
gedung ibadah. Ditambah dengan keterlibatan TNI dan kelompok-kelompok milisi
sipil “orang luar” pasukan Jihad dan Agas, “yang bermain” merebut wilayah-
wilayah atau kantong-kantong Islam maupun Kristen.
7. Fase Resolusi. Pada fase ini konflik kekerasan dapat diminimalisir melalui
serangkaian tindakan rekonsiliatif -peacekeeping dan peacemaking- antar
komunitas Batumerah-Passo sebagai upaya penyelesaian konflik melalui relasi
kerjasama, komunikasi, membatasi eskalasi kekerasan dan memciptakan iklim
bermasyarakat yang kondusif, mediasi Malino 2 yang diupayakan oleh pemerintah
– intervensi pihak ketiga- melibatkan tokoh-tokoh adat dan agama Batumerah-
Passodalam rangka membangun perdamaian (peacebuilding) sebagai orang
basudara.
8. Fase Pasca Konflik, pada fase ini hubungan antar pemeluk agama rukun dan
harmonis kembali melalui kegiatan-kegiatan keagamaan yang digagas dan diatur
bersama, konflik dikelola dan diminimalisir dalam kerjasama sebagai orang
basudara. Meski demikian, saling bersilaturahmi dan bekerjasama menjawab
kebutuhan masing-masing.
9. Pendekatan konseling lintas agama dan budaya, merupakan sebuah pendekatan
yang berbasis pada filosofis Pela Gandong sebagai “orang basudara” dengan
kandungan nilai-nilai spiritual, yakni saling menghargai, saling menerima, saling
berbagi, saling melengkapi, dan saling memberdayakan.

Hingga sekarang, semenjak selesainya perang Ambon tempo hari, daerahnya secara
perlahan mulai dipulihkan dengan kesadaran penuh dari rakyat Ambon. Sejarah perang
Ambon ini bisa dijadikan sebagai pelajaran bagi daerah Indonesia lainnya untuk tidak
mudah terpancing yang dapat berujung pada perang panjang.
Referensi

https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB%20IV.pdf

https://sejarahlengkap.com/indonesia/sejarah-perang-ambon

http://kotaku.pu.go.id:8081/wartaarsipdetil.asp?mid=1185&catid=3&

Anda mungkin juga menyukai