Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang memiliki
keanekaragaman di dalam berbagai aspek kehidupan. Bukti nyata adanya kemajemukan
di dalam masyarakat kita terlihat dalam beragamnya kebudayaan di Indonesia. Tidak
dapat kita pungkiri bahwa kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, karsa manusia yang
menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia.

Tidak ada satu masyarakat pun yang tidak memiliki kebudayaan. Begitu pula
sebaliknya tidak akan ada kebudayaan tanpa adanya masyarakat. Ini berarti begitu besar
kaitan antara kebudayaan dengan masyarakat. Kebiasaan masyarakat yang berbeda-beda
di karenakan setiap masyarakat/suku memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan
suku liannya. Masyarakat Ambon, adalah salah satu masyarakat Indonesia yang berada
di kawasan Maluku. Setiap masyarakat pastilah memiliki kebudayaan yang berbeda
dengan masyarakat lainnya yang menjadi penanda keberadaan suatu masyarakat/suku.
Begitu juga dengan masyarakat Ambon yang memiliki karekteristik kebudayaan yang
berbeda. Keunikan karakteristik suku Ambon ini tercermin dari kebudayaan yang
mereka miliki baik dari segi agama, mata pencaharian, kesenian dan lain sebagainya.
Suku Ambon dengan sekelumit kebudayaannya merupakan salah satu hal yang menarik
untuk dipelajari dalam bidang kajian mata kuliah Pluralitas dan Integritas Nasional yang
pada akhirnya akan menjadi bekal ilmu pengetahuan bagi kita dalam hal kebudayaan

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai masalah Antropologi
Kesehatan berdasarkan kebudayaan suku Maluku (Ambon) .
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa memahami tentang kebudayaan masyarakat Ambon
b. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami masalah Antropolgi
Kesehatan berdasarkan Suku Maluku (Ambon).
/Manfaat Penulisan
Makalah ini disusun oleh penulis agar pembaca mengetahui sedikit banyak
tentang kebudayaan yang ada di suku Maluku (Ambon) dan lebih khusus masalah
antropologi kesehatan yang berdasarkan suku Ambon. Agar menambah wawasan
para pembaca mengenai hal tsb.

C. Metode Penulisan
Metode penulisan laporan yang digunakan oleh kelompok kami adalah metode
studi kasus dan kepustakaan serta dengan cara pengumpulan data melalui searching
di internet dan sedikit sumber dari buku yang berhubungan dengan topik di atas.

D. Sistematika Penulisan makalah meliputi:


Penulisan makalah ini dibagi atas empat bab. Bab I pendahuluan yang terdiri
dari latar belakang, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan,
sistematika penulisan. Bab II landasan teori yang terdiri dari Identifikasi Suku
Ambon, Kehidupan Sosial Kemasyarakatan, dsb, Bab III Tinjauan Kasus, Bab IV
penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran dan terakhir Daftar Pustaka.
BAB II
LANDASAN TEORI

 A. IDENTIFIKASI BUDAYA AMBON


Ambon adalah sebuah suku yang mendiami daerah kepulauan yang sekarang
terletak di Provinsi Maluku. Nama Maluku sendiri sebenarnya berasal dari bahasa
Arab, yakni al-muluk. Penamaan tersebut dikarenakan yang membuat peta daerah
Maluku adalah para sarjana geografi Arab. Tetapi setelah Belanda masuk, kata
tersebut dirubah menjadi Maluku. Maluku didominasi oleh ras suku bangsa Melania
Pasifik, yang masih berkerabat dengan Fiji, Tonga, dan beberapa bangsa kepulauan
yang tersebar di kepulauan Samudera Pasifik. Sementara itu suku pendatang
kebanyakan berasal dari daerah Buton, Makassar, Bugis, Cina dan Arab. Maluku
juga memiliki ikatan tradisi dengan bangsa-angsa kepulauan pasifik seperti bahasa,
lagu daerah, makanan, perangkat peralatan rumah tangga dan alat musik.
Orang-orang suku Ambon umumnya memiliki kulit gelap, rambut ikal, kerangka
tulang besar dan kuat. Profil tubuh mereka lebih atletis dibandingkan dengan suku
lain di Indonesia dikarenakan aktifitas utama mereka merupakan aktifitas laut seperti
berlayar dan bernenang. Pendukung kebudayaan di Maluku terdriri dari ratusan sub
suku, yang dapat diindikasikan dari pengguna bahasa lokal yang diketahui masih
aktif dipergunakan sebanyak 117 dari jumlah bahasa lokal yang pernah ada.
Meskipun masyarakat di daerah ini mencerminkan karakteristik yang multikultur,
tetapi pada dasarnya mempunyai kesamaan nilai budaya sebagai representasi
kolektif. Salah satunya adalah filosofi Siwalima yang selama ini telah melembaga
sebagai cara pandang masyarakat tentang kehidupan bersama dalam kepelbagaian.
Di dalam filosofi ini, terkandung berbagai pranata yang memiliki nlai umum dan
dapat ditemukan di seluruh wilayah Maluku. Pulau Ambon merupakan pulau yang
terletak di Kepulauan Maluku, di selatan Pulau Seram. Saat ini merupakan letak kota
Ambon ibukota dari provinsi Maluku.
B. KEHIDUPAN SOSIAL KEMASYARAKATAN

Desa adat suku Ambon dibangun sepanjang jalan utama antara satu desa dengan
desa yang lain saling berdekatan, atau bisa juga dalam bentuk kelompok yang terdiri
dari rumah-rumah yang dipisahkan oleh tanah pertanian. Bentuk kelompok kecil
rumahrumah itu disebut ”Soa”. Rumah asli Ambon, sama seperti di Nias, Mentawai,
Bugis Toraja, dan suku lainnya di Indonesia, dibangun dengan tiang kayu yang
tinggi. Beberapa “Soa” yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain dalam
sebuah kampung yang disebut dengan ”Aman”. Kumpulan dari beberapa ”Aman”
disebut dengan ”Desa” yang juga disebut dengan ”Negari” dan dipimpin oleh
seorang ”Raja” yang diangkat dari klen-klen tertentu yang memerintah secara turun-
temurun, dan kekuasaan di dalam negari dibagi-bagi untuk seluruh klen dalam
komunitas negeri. Pusat dari sebuah Negari dapat dilihat dengan adanya balai
pertemuan, rumah raja, gereja, masjid, rumah alim ulama, toko, dan kandang
berbagai hewan peliharaan.
Dalam proses sosio-historis, ”negari-negari” ini mengelompok dalam komunitas
agama tertentu, sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama,
yang kemudian dikenal dengan sebutan Ambon Sarani dan Ambon Salam.
Pembentukan negeri seperti in memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos yang
mengentalkan solidaritas kelompok, namun pada dasarnya rentan terhadap
kemungkinan konflik. Oleh sebab itu, dikembangkanlah suatu pola manajemen
konflik tradisional sebagai pencerminan kearifan pengetahuan lokal guna mengatasi
kerentanan konflik seperti Pela, Gandong; yang diyakini mempunyai kekuatan
supranatural yang sangat mempengaruhi perilaku sosial kedua kelompok masyarakat
ini; dan hubungan kekerabatan lainnya.

C. SISTEM KEMASYARAKATAN
Dalam kehidupan masyarakat Maluku pada umumnya dan Ambon pada
khususnya, hubungan persaudaraan atau kekeluargaan terjalin atau terbina sangat
akrab dan kuat antara satu desa atau kampung dengan desa atau kampung yang lain.
Hubungan kekeluargaan atau persaudaraan yang terbentuk secara adat dan
merupakan budaya orang Maluku atau Ambon yang sangat dikenal oleh orang luar
itu dinamakan dengan istilah “PELA”.
Hubungan pela ini dibentuk oleh para datuk atau para leluhur dalam ikatan yang
begitu kuat. Ikatan pela ini hanya terjadi antara desa kristen dengan desa kristen dan
juga desa kristen dengan desa islam. Sedangkan antara desa Islam dengan desa Islam
tidak terlihat (Frank L. Cooley, Mimbar dan Takhta, Jakarta: PSH, 1987, hlm 183).
Dengan demikian, walaupun ada dua agama besar di Maluku (Ambon), akan tetapi
hubungan mereka memperlihatkan hubungan persaudaraan ataupun kekeluargaan
yang begitu kuat. Namun seperti ungkapan memakan si buah malakama atau seperti
tertimpa durian runtuh, hubungan kekeluargaan atau persaudaraan yang begitu
kuatpun mendapat cobaan yang sangat besar, sehingga tidak dapat disangkali bahwa
hubungan yang begitu kuat dan erat, ternyata pada akhirnya bisa diruntuhkan oleh
kekuatan politik yang menjadikan agama sebagai alat pemicu kerusuhan yang
sementara bergejolak di Maluku (Ambon), yang sampai sekarang sulit untuk dicari
jalan keluarnya. Hubungan persaudaraan dan kekeluargaan yang begitu kuat
dipatahkan dengan kekuatan agama yang dilegitimasi oleh kekuatan politik hanya
karena kepentingan-kepentingan big bos atau orang-orang tertentu. Apakah budaya
“Pela (Gandong)” bisa menjadi jembatan lagi untuk mewujudkan rekonsiliasi di
Maluku (Ambon)? Inilah yang masih merupakan pergumulan.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap ”Soa” dipimpin oleh seorang
kepala ”Soa”, yang bertugas mengerjakan urusan administrasi harian, baik itu urusan
tradisional, maupun untuk urusan pemerintahan Indonesia. Sedangkan beberapa
kesatuan ”Soa” yang disebut dengan ”Negari”, dipimpin oleh seorang ”raja” yang
diangkat berdasarkan keturunan. Tetapi walaupun ”raja” diangkat berdasarkan
keturunan, aturan adat suku Ambon dalam memilih suatu pemimpin, pada umumnya
dilakukan dengan cara pemilihan dengan cara pemungutan suara. Berikut adalah
beberapa ”Sanitri” atau pejabat tradisional dalam kehidupan sosial masyarakat Suku
Ambon :
Tuan tanah
Seseorang yang ahli dalam bidang pertanahan dan kependudukan

 Kapitan
Seseorang yang ahli dalam peperangan

 Kewang
Seseorang yang bertugas untuk menjaga hutan
Mariny
Seseorang yang bertugas memberikan berita dan pengumuman. Dalam
kemasyarakatan Suku Ambon, banyak dijumpai Organisasiorganisasi
kemasyarakatan yang memiliki berbagi macam visi dan misi. Berikut beberapa
contoh organisasi kemasyarakatan Suku Ambon :

Patalima
Lima bagian, merupakan orang-orang yang tinggal di sebelah timur. Namun dilihat
dari sejarah di mana Suku Ambon pernah dikuasai oleh Ternate dan Tidore,
organisasi ini nampaknya dibentuk untuk menunjukkan pengaruh kerajaan Ternate
dan Tidore, dan juga untuk membantu pertahanan dari serangan musuh.

Jajaro
Organisasi kewanitaan Suku Ambon, Organisasi kepemudaan

Pela Keras
Organisasi antar Soa yang fokus pada kegiatan kerjasama suatu proyek antar Soa,
peperangan, dan lain-lain.

Pela Minum Darah


Hampir sama dengan Pela Keras. Organisasi ini mengikat persatuan mereka dengan
cara meminum, darah mereka masing-masing yang dicampur menjadi satu.

Pela Makan Sirih


Organisasi antar Soa yang fokus pada bidang pembangunan masjid, gereja, dan
sekolah.

Muhabet
Organisasi yang mengurus semua kegiatan upacara kematian.

Patasiwa
sembilan bagian, merupakan kelompok orang-orang Alifuru yang bertempa tinggal
di sebelah baratsungai mala sampai ke Teluk upa putih di sebelah selatan. Patasiwa
dibagi menjadi dua kelompok yaitu patasiwa hitam dan patasiwa putih. Patasiwa
hitam wargawarganya di tato, sedangkan patasiwa putih tidak.
Pengertian Pela

Pela berasal dari kata “Pila” yang berarti “buatlah sesuatu untuk bersama”.
Sedangkan jika ditambah dengan akhiran -tu, menjadi “pilatu”, artinya adalah
menguatkan, usaha agar tidak mudah rusuh atau pecah. Tetapi juga ada yang
menghubungkan kata pela ini dengan pela-pela yang berarti saling membantu atau
menolong. Dengan beberapa pengertian ini, maka dapat dikatakana bahwa PELA
adalaah suatu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan antara dua desa atau lebih dengan
tujuan saling membantu atau menolong satu dengan yang lain dan saling merasakan
senasib penderitaan. Dalam arti bahwa senang dirasakan bersama begitupun susah
dirasakan bersama (Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Maluku, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978, hlm 27). Ikatan pela ini diikat dengan suatu
sumpah dan dilakukan dengan cara minumdarah yang diambil dari jari-jari tangan
yang dicampur dengan minuman keras lokal maupun dengan cara memakan sirih
pinang. Hubungan pela ini biasanya terjadi karena ada peristiwa yang melibatkan
kedua kepala kampung atau desa, dalam rangka saling membantu dan menolong satu
sama lain. Dalam ikatan pela ini memiliki serangkaian nilai dan aturan yang mengikat
masingmasing pribadi yang tergabung dalam persekutuan persaudaraan atau
kekeluargaan itu. Aturan itu antara lain adalah: tidak boleh menikah sesama pela atau
saudara sekandung dalam pela. Jika hal ini dilakukan maka akan terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan atau terjadi hukuman bagi yang melanggaranya (op.cit., Cooley, hlm
184).

Jenis-Jenis Pela

a) Pela Keras Atau Pela Minum Darah


Dikatakan demikian oleh karena pela ini ditetapkan melalui sumpah para
pemimpin leluhur kedua belah pihak dengan cara meminum darah yang diambil
dari jari-jari mereka yang dicampur dengan minuman keras lokal dari satu gelas.
Hal ini memateraikan sumpah persaudaraan untuk selama-lamanya. Pela ini
biasanya atau umumnya adalah hasil dari keadaan perang. Artinya bahwa setelah
kedua kapitan dari dua desa tersebut saling bertarung dan pada akhirnya tidak ada
yang bisa saling mengalahkan, maka diangkat sumpah untuk mengakhiri
permusuhan itu. Sumpah itu dimaksudkan untuk mengikat “persaudaraan darah”
untuk selamanya. Sehingga dalam perkembangannya jika yang satu mereka susah
atau memerlukan bantuan, maka yang lain harus membantu. Inilah komitmen
yang sudah merupakan kewajiban ataupun keharusan. Semua warga dari desa-
desa yang angka pela ini tidak terlepas dari tuntutan-tuntutan, antara lain:
– tidak boleh menikah
– saling membantu dan memikul beban.
- Pela keras ini biasa disebut juga dengan pela tuni ataupun pela batukarang.

b) Pela Lunak Atau Pela Tampa Sirih


Jenis pela ini tidak diikat dengan sumpah yang memakai darah, tetapi
hanya dengan memakan sirih pinang. Ikatan pela ini terjadi karena bertemu dalam
situasi yang mengundang untuk saling membantu, misalnya pada saat terjadi
angin ribut ada yang menolongnya. Ataupun juga pela jenis ini terbentuk melalui
kegiatan masohi atau bantuan tenaga dari satu desa pada desa lain. Pela ini
tidaklah keras, karena tidak dilarang untuk menikah sesama pela.

c) Pela Ade Kaka


Pela jenis ini pada umumnya merupakan hasil pertemuan kembali antara
adik-kakak yang bersaudara dimana tadinya berpencar dan telah membentuk
kampung sendiri. Umumnya pela saudara ini berlangsung antara kampung-
kampung yang beragama kristen dan Islam. Pela ini biasanya dikenal dengan
nama Pela Gandong. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa walaupun ada
berbagai jenis pela akan tetapi semuanya mempunyai hakekat yang satu, yaitu
ikatan persaudaraan atau kekeluargaan yang berlangsung untuk selamanya karena
diikat dengan sumpah darah.

Panas Pela
Panas Pela adalah suatu kegiatan yang dilakukan setiap tahun antara desa yang
telah sama-sama mengankat sumpah dalam ikatan pela untuk mengenangkan kembali
peristiwa angka pela yang terjadi pada awalnya. Selain itu juga kegiatan panas pela ini
juga pada intinya adalah untuk lebih menguatkan, mengukuhkan hubungan
persaudaraan dan kekeluargaan.
Hubungan Budaya Pela Dengan Rekonsiliasi
Pada hakikatnya pela telah mengandung unsur rekonsiliasi. Oleh karena dalam
budaya pela itu sendiri dinyatakan bagaimana ikatan yang kuat dalam menjalin
kedamaian ata kehidupan yang saling merasakan susah dan senang secara bersama.
Akan tetapi dengan melihat situasi yang terjadi akhir-akhir ini yang menumbangkan
ikatan pela oleh karena ikatan agama yang begitu kuat karena permainan politik yang
menggunakan agama sebagai kendaraan, maka tidak dapat disangkal, pasti semua
orang akan bertanya mengapa ikatan persaudaraan yang begitu kuat mengikat
hubungan antara desa yang satu dengan yang lain, apalagi ikatan agama dapat runtuh.
Inilah suatu pergumulan.

D. SISTEM KEKERABATAN
Sistem kekerabatan orang Ambon berdasarkan hubungan patrilineal yang
diiringi pola menetap patrilokal. Kesatuan kekerabatan amat penting yang lebih besar
dari keluarga batih adalah mata rumah atau fam yaitu suatu kelompok kekerabatan yang
bersifat patrilinal.
Mata rumah penting dalam hal mengatur perkawinan warganya secara exogami
dan dalam hal mengatur penggunaan tanah-tanah deti yaitu tanah milik kerabat
patrilineal. Disamping kesatuan kekerabatan yang bersifat unilateral itu ada juga
kesatuan lain yang lebih besar dan bersifat bilateral yaitu famili atau kindred. Famili
merupakan kesatuan kekerabatan di sekeliling individu yang terdiri dari warga-warga
yang masih hidup dari mata rumah asli yaitu semua keturunan keempat nenek moyang.

 E. MATA PENCAHARIAN


Mata pencaharian orang Ambon pada umumnya adalah pertanian di ladang.
Dalam hal ini orang membuka sebidang tanah di hutan dengan menebang pohon-pohon
dan membakar batangbatang serta dahan-dahan yang telah kering. Ladang-ladang yang
telah dibuka dengan cara demikian hanya diolah sedikit dengan tongkat kemudian
ditanami tanpa irigasi. Umumnya tanaman yang mereka tanam adalah kentang, kopi,
tembakau, cengkih, dan buahbuahan. Selain itu, orang Ambon juga sudah menanam
padi dengan teknik persawahan Jawa. Sagu adalah makanan pokok orang Ambon pada
umumnya, walaupun sekarang beras sudah biasa mereka makan. Akan tetapi belum
menggantikan sagu seluruhnya. Tepung sagu dicetak menjadi blok-blok empat persegi
dengan daun sagu dan dinamakan tuman. Cara orang Ambon makan sagu dengan
membakar tuman atau dengan memasaknya menjadi bubur kental (pepedu).
Disamping pertanian, orang Ambon kadang-kadang juga memburu babi hutan,
rusa dan burung kasuari. Mereka menggunakan jerat dan lembing yang dilontarkan
dengan jebakan. Hampir semua penduduk pantai menangkap ikan. Orang menangkap
ikan dengan berbagai cara, yaitu dengan kail, kait, harpun dan juga jaring. Perahu-
perahu mereka dibuat dari satu batang kayu dan dilengkapi dengan cadik yang
dinamakan perahu semah. Perahu yang lebih baik adalah perahu yang dibuat orangorang
ternate yang dinamakan pakatora. Perahu-perahu besar untuk berdagang di Amboina
dinamakan jungku atau orambi.

F. AGAMA DAN ADAT


Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini
dikarenakan pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang telah
menyebarkan kekristenan dan pengaruh kesultanan Ternate dan Tidore yang
menyebarkan Islam di wilayah Maluku.
Pemantapan kerukunan hidup beragama dan antar umat beragama masih
mengalami gangguan khususnya selama pertikaian sosial di daerah ini. Redefinisi dalam
rangka reposisi agama sebagai landasan dan kekuatan moral, spiritual serta etika dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus mendapatkan perhatian yang
sungguh-sungguh melalui pendidikan agama agar dapat mendorong munculnya
kesadaran masyarakat bahwa perbedaan suku, agama ras dan golongan, pada
hakekatnya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Terkait dengan itu, maka
peran para pemuka agama dan institusi-institusi keagamaan dalam mendukung
terciptanya keserasian dan keselarasan hidup berdasarkan saling menghormati diantara
sesama dan antar sesama umat beragama.

G. UPACARA ADAT
 ”Antar Sontong”
Antar sontong yaitu para nelayan berkumpul menggunakan perahu dan
lentera untuk mengundang cummi-cumi dari dasar laut mengikuti cahaya lentera
mereka menuju pantai di mana masyarakat sudah menunggu mereka untuk
menciduk mereka dari laut.
 ”Pukul Manyapu”
Pukul manyapu adalah acara adat tahunan yang dilakukan di Desa
Mamala-Morela yang biasanya dilakukan pada hari ke 7 setelah Hari Raya Idul
Fitri.

H. SISTEM PERKAWINAN
Orang Ambon mengenal tiga macam cara perkawinan yaitu kawin lari, kawin
minta dan kawin masuk. Kawin Lari atau Lari Bini adalah sistem perkawinan yang
paling lazim. Hal ini terutama disebabkan karena orang Ambon umumnya lebih suka
menempuh jarak pendek untuk menghindari prosedur perundingan dan upacara. Kawin
lari sebenarnya tidak diinginkan dan dipandang kurang baik oleh kaum kerabat wanita
namun disukai oleh pihak pemuda. Terutama karena pemuda hendak menghindari
kekecewaan mereka bila ditolak dan menghindari malu dari keluarga pemuda karena
rencana perkawinan anaknya ditolak oleh keluarga wanita. Bisa juga karena takut
keluarga wanita menunggu sampai mereka bisa memenuhi segala persyaratan adat.
Bentuk perkawinan ang kedua adalah Kawin Minta yang terjadi apabila seorang
pemuda telah menemukan seorang gadis yang hendak dijadikan istri, maka ia akan
memberitahukan hal itu kepada orang tuanya. Kemudian mereka mengumpulkan
anggota famili untuk membicarakan masalah itu dan membuat rencana perkawinan.
Disini diperbincangkan pula pengumpulan kekayaan untuk membayar mas kawin,
perayaan perkawinan dan sebagainya. Akan tetapi cara perkawinan semacam ini
umumnya kurang diminati terutama bagi keluarga ang kurang mampu karena
membutuhkan biaya yang besar. Bentuk perkawinan yang ketiga adalah Kawin Masuk
atau Kawin Manua. Pada perkawinan ini, pengantin pria tinggal dengan keluarga
wanita. Ada tiga sebab utama terjadinya perkawinan ini:

1. Karena kaum kerabat si pria tidak mampu membayar mas kawin secara adat.
2.  Karena keluarga si gadis hanya memiliki anak tunggal dan tidak punya anak
laki-laki sehingga si gadis harus memasukkan suaminya ke dalam klen ayahnya
untuk menjamin kelangsungan klen.
3. Karena ayah si pemuda tidak bersedia menerima menantu perempuannya yang
disebabkan karena perbedaan status atau karena alasan lainnya.

Orang-orang yang beragama Islam pada umumnya menikah sesuai dengan


hukum Islam. Namun disini juga terjadi hal yang sama, yaitu apabila sang suami belum
mampu membayar mas kawin menurut adat maka wanita itu tidak perlu ikut bersama
suaminya. Selain wajib membayar mahar (mas kawin menurut hukum Islam), pengantin
laki-laki juga harus membayar harta adat yang berupa sisir mas, gong dan madanolam.
Secara umum, poligini diijinkan, kecuali bagi mereka yang beragama Nasrani.

 
BAB III
TINJAUAN KASUS

Dalam sebuah praktek kebidanan tidak sedikit hambatan dalam melaksanakanya


terutama pada masyarakat pelosok desa dan yang masih menjunjung tinggi budaya dan
mitos mereka. Para tenaga kesehatan khususnya bidan, harus bisa melakukan
pendekatan kepada masyarakatnya agar tidak salah kaprah tentang mitos-mitos yang di
percayai oleh mereka. Banyak akses untuk melakukan pendekatan sosial budaya dalam
praktek kebidanan terhadap orang awam, sehingga yang di inginkan orang-orang awam
lebih tahu tentang masalah lingkup kesehatan, terutama kesehatan untuk dirinya sendiri,
yang di harapkan bisa mencegah atau mengobati penyakit pada dirinya sendiri untuk
penyakit tipe ringan, seperti demam.
Contohnya di kalangan masyarakat pada suku bangsa nuaulu (Maluku) terdapat
suatu tradisi upacara kehamilan yang dianggap sebagai suatu peristiwa biasa, khususnya
masa kehamilan seorang perempuan pada bulan pertama hingga bulan kedelapan.
Namun pada usia saat kandungan telah mencapai Sembilan bulan, barulah mereka akan
mengadakan suatu upacara. Masyarakat nuaulu mempunyai anggapan bahwa pada saat
usia kandungan seorang perempuan telah mencapai Sembilan bulan, maka pada diri
perempuan yang bersangkutan banyak diliputi oleh pengaruh roh-roh jahat yang dapat
menimbulkan berbagai bahaya gaib. Dan tidak hanya dirinya sendiri juga anak yang
dikandungannya, melainkan orang lain disekitarnya, khususnya kaum laki-laki. Untuk
menghindari pengaruh roh-roh jahat tersebut, si perempuan hamil perlu diasingkan
dengan menempatkannya di posuno. Masyarakat nuaulu juga beranggapan bahwa pada
kehidupan seorang anak manusia itu baru tercipta atau baru dimulai sejak dalam
kandungan yang telah berusia 9 bulan. Jadi dalam hal ini ( masa kehamilan 1-8 bulan )
oleh mereka bukan dianggap merupakan suatu proses dimulainya bentuk kehidupan.
Kebiasaan-kebiasaan adat istiadat dan perilaku masyarakat sering kali
merupakan penghalang atau penghambat terciptanya pola hidup sehat di masyarakat.
Perilaku, kebiasaan, dan adat istiadat yang merugikan seperti misalnya:
1. Ibu hamil dilarang tidur siang karena takut bayinya besar dan akan sulit
melahirkan
2. Ibu menyusui dilarang makan makanan yang asin, misalnya: ikan asin, telur asin
karena bisa membuat ASI jadi asin
3. Ibu habis melahirkan dilarang tidur siang
4. Bayi berusia 1 minggu sudah boleh diberikan nasi atau pisang agar
mekoniumnya cepat keluar
5. Ibu post partum harus tidur dengan posisi duduk atau setengah duduk karena
takut darah kotor naik ke mata
6. Ibu yang mengalami kesulitan dalam melahirkan, rambutnya harus diuraikan dan
persalinan yang dilakukan di lantai, diharapkan ibu dapat dengan mudah
melahirkan
7. Bayi baru lahir yang sedang tidur harus ditemani dengan benda-benda tajam
Tingkat kepercayaan masyarakat kepada petugas kesehatan, dibeberapa wilayah
masih rendah. Mereka masih percaya kepada dukun karena kharismatik dukun tersebut
yang sedemikian tinggi, sehingga ia lebih senang berobat dan meminta tolong kepada
ibu dukun. Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun
beranak untuk menolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah. Data Survei
Kesehatan Rumah Tangga tahun 1992 rnenunjukkan bahwa 65% persalinan ditolong
oleh dukun beranak. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengungkapkan bahwa
masih terdapat praktek-praktek persalinan oleh dukun yang dapat membahayakan si ibu.
Penelitian Iskandar dkk (1996) menunjukkan beberapa tindakan/praktek yang membawa
resiko infeksi seperti "ngolesi" (membasahi vagina dengan minyak kelapa untuk
memperlancar persalinan), "kodok" (memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus
untuk rnengeluarkan placenta) atau "nyanda" (setelah persalinan, ibu duduk dengan
posisi bersandar dan kaki diluruskan ke depan selama berjam-jam yang dapat
menyebabkan perdarahan dan pembengkakan).
Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran masih diberlakukan
juga pada masa pasca persalinan. Pantangan ataupun anjuraan ini biasanya berkaitan
dengan proses pemulihan kondisi fisik misalnya, ada makanan tertentu yang sebaiknya
dikonsumsi untuk memperbanyak produksi ASI, ada pula makanan tertentu yang
dilarang karena dianggap dapat mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional, ada
praktek-praktek yang dilakukan oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik
dan kesehatan si ibu. Misalnya mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan
rahim ke posisi semula, memasukkan ramuan-ramuan seperti daun-daunan kedalam
vagina dengan maksud untuk membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses
persalinan, atau memberi jamu tertentu untuk memperkuat tubuh (Iskandar et al., 1996).
Ini adalah sedikit gambaran tentang aspek sosial budaya masyarakat yang berkaitan
dengan persalinan dan pasca persalinan, yang tentunya masih banyak terdapat aspek
sosial budaya yang mempengaruhi persalinan dan pasca persalinan sesuai dengan
keanekaragaman masyarakat di Indonesia.

Upaya yang harus dilakukan dalam menagani kasus di atas adalah:

“Pendekatan Melalui Budaya dan Kegiatan Kebudayaan Kaitannya dengan Peran


Seorang Bidan”

Sebagai tugas tenaga kesehatan yang terdekat dengan masyarakat yaitu BIDAN
mempunyai peran yang sangat menentukan dalam meningkatkan status kesehatan
masyarakat, khususnya kesehatan ibu dan anak di wilayah kerjanya. Seorang bidan
harus mampu menggerakkan peran serta masyarakat khususnya, berkaitan dengan
kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, bayi baru lahir, anak remaja dan usia lanjut.
Seorang bidan juga harus memiliki kompetensi yang cukup berkaitan dengan tugas,
peran serta tanggung jawabnya.
Dalam rangka peningkatan kualitas dan mutu pelayanan kebidanan diperlukan
pendekatan-pendekatan khususnya sosial budaya, untuk itu sebagai tenaga kesehatan
khususnya calon bidan agar mengetahui dan mampu melaksanakan berbagai upaya
untuk meningkatkan peran aktif masyarakat agar masyarakat sadar pentingnya
kesehatan.
Agar seluruh tugas dan fungsi bidan dapat dilaksanakan secara efektif, bidan
harus mengupayakan hubungan yang efektif dengan masyarakat. Salah satu kunci
keberhasilan hubungan yang efektif adalah komunikasi. Kegiatan bidan yang pertama
kali harus dilakukan bila datang ke suatu wilayah adalah mempelajari bahasa yang
digunakan oleh masyarakat setempat. Kemudian seorang bidan perlu mempelajari
sosial-budaya masyarakat tersebut, yang meliputi tingkat pengetahuan penduduk,
struktur pemerintahan, adat istiadat dan kebiasaan sehari-hari, pandangan norma dan
nilai, agama, bahasa, kesenian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan wilayah tersebut.
Bidan dapat menunjukan otonominya dan akuntabilitas profesi melalui pendekatan
social dan budaya yang akurat. Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang di
anugerahi pikiran, perasaan dan kemauan secara naluriah memerlukan prantara budaya
untuk menyatakan rasa seninya, baik secara aktif dalam kegiatan kreatif, maupun secara
pasif dalam kegiatan apresiatif. Dalam kegiatan apresiatif, yaitu mengadakan
pendekatan terhadap kesenian atau kebudayaan seolah kita memasuki suatu alam rasa
yang kasat mata. Maka itu dalam mengadakan pendekatan terhadap kesenian kita tidak
cukup hanya bersimpati terhadap kesenian itu, tetapi lebih dari itu yaitu secara empati.
Melalui kegiatan-kegiatan kebudayaan tradisional setempat bidan dapat berperan aktif
untuk melakukan promosi kesehatan kepada masyaratkat dengan melakukan
penyuluhan kesehatan di sela-sela acara kesenian atau kebudayaan tradisional tersebut.
Misalnya: Dengan Kesenian wayang kulit melalui pertunjukan ini diselipkan pesan-
pesan kesehatan yang ditampilkan di awal pertunjukan dan pada akhir pertunjukan.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan tugas kelompok kami ini maka kami dapat
menyimpulkan bahwa:

1. Dalam menerapkan istilah Kesehatan dalam masyarakat yang lebih penting


adalah dengan menjaga kebutuhan Kebudayaan yang harus di utamakan. Selain
itu juga masyarakat harus menjaga ketertiban dengan baik, supaya tidak terjadi
kekacauan dalam kelompok, disamping itu juga masyarakat tidak boleh
menjatuhkan budaya lain supaya tidak terjadi atau timbul masalah bentrokan
antara budaya.
2. Masalah kesehatan yang terjadi di salah satu bangsa maluku tengah merupakan
bukan merupakan masalah kesehatan yang kecil dan tidak mempunyai resiko
besar, maka dari itu dalam hal ini tugas tenaga kesehatan khususnya BIDAN
sangat penting guna mengubah paradigma berpikir tentang mitos-mitos yang
terjadi sebelum atau sesudah masa kehamilan.Dengan mengadakan pendekatan
budaya yang mengarah ke perubahan kesehatan masyarakat suku maluku tengah
yang erat kaitannya dengan peran seorang BIDAN.

B. SARAN
1. Bagi Pembaca
Agar isi dari makalah ini dapat dipahami dengan baik dan mampu menambah
sedikit tentang kebudayaan yang ada di indonesia lebih khusus di Maluku
(Ambon).

2. Bagi Pendidikan
Agar dapat membantu Mahasiswa untuk lebih menambah refrensi lagi tentang
kebudayaan yang ada di Indonesia, mengajarkan tentang kebudayaan yang ada
di Indonesia, serta masalah dari kebudayaan tsb, sehingga Mahasiswa mampu
mengetahuinya tidak hanya berfokus pada suku mereka saja melainkan beberapa
suku di Indonesia bahkan menyeluruh.
3. Bagi Pemerintah
Dengan adanya pembahasan mengenai kebudayaan masyarakat indonesia yang
memicu adanya masalah Antropologi Kesehatan ini, maka sangat diperlukan
kebijakan Pemerintah dalam menangani kasus-kasus yang terjadi di Negara
Indonesia, Lebih khusus kasus persalinan yang tidak baik yang terjadi di daerah
Maluku tengah yaitu pada bangsa Naulau yang diakibatkan oleh mitos-mitos
atau cara persalinan yang dianggap benar oleh masyarakat sekitar atau, namun
menurut kesehatan itu sangatlah fatal dan bisa dikenakan sanksi UU yang
berlaku.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.scribd.com/doc/47083111/Kebudayaan-Ambon
http://seninusantara.blogspot.com/2011/09/seni-budaya-maluku.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya

Anda mungkin juga menyukai