Anda di halaman 1dari 16

I.

PENDAHULUAN
Didalam keanekaragaman / kemajemukan bangsa
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras, adat
istiadat, bahasa, antar golongan, maka terpeliharanya
persatuan

dan

diperlukan

kesatuan

dalam

keanekaragaman

integritas

nasional

membangun

bangsa

kemajemukan

berarti

dan

sangat
negara.

mengandung

berbagai perbedaan yang jika tidak dibina dan dikelola


dengan

baik

akan

berpotensi

menimbulkan

konflik,

pertentangan-pertentangan yang dapat berubah menjadi


gejolak sosial, munculnya aksi kerusuhan / amuk massa,
bentrokan massa, maupun aksi anarkhi lainnya yang
semakin membuka peluang menuju proses disintegrasi
bangsa.
Jika keanekaragaman / kemajemukan bangsa bisa
dapat dibina dan dikelola dengan baik, maka akan dapat
menjadi kekuatan maupun modal yang sangat besar dalam
membangun bangsa dan negara, akan dapat menjadikan
bangsa kita sebagai bangsa yang besar yang akan disegani
dalam pergaulan dunia.
Kondisi rasa kebangsaan, persatuan dan kesatuan
serta

integritas

nasional

dewasa

ini

tampak

memprihatinkan.
Pelbagai peristiwa seperti kerusuhan di Maluku, Poso,
Cikesik, Temanggung dan lain-lainnya yang menggunakan
simbol

agama,

kerusuhan

etnis

di

Sampit

(Kaltim),

beberapa aksi kerusuhan massa seperti Amuk massa pada

tanggal 20 21 Oktober 1999 di Bali, Bentrokan antara


warga Desa Songan, Kec. Kintamani, Kab. Bangli dengan
warga Kel. Banjar Kawan, Kec. Bangli, Kab. Bangli, dan
kerusuhan

yang

bernuansa

adat

di

Bali,

dan

lain

sebagainya.
Kondisi tersebut di atas akan semakin mempersulit posisi
kebangsaan

kita,

mempersulit

proses

pemulihan

perekonomian serta mempersulit pergaulan antara Bangsa


di dunia yang pada akhirnya akan semakin memperlemah
ketahanan

dalam

bermasyarakat,

berbangsa

dan

bernegara.
Selama ini yang sering dilaksanakan adalah meredam
konflik, bukan mengendalikan konflik. Konflik ditekan dan
dihilangkan dengan pendekatan kekuasaan, pendekatan
keamanan dan pendekatan hukum.
Semua perbedaan baik yang bersifat horisontal maupun
vertikal yang sering merupakan akar permasalahan konflik
tampaknya dianggap tabu untuk dimunculkan, apalagi
memperdebatkan

perbedaan

dengan

alasan

stabilitas,

tetapi stabilitas tersebut dapat bersifat semu.


Pola pendekatan kekuasaan, keamanan dan hukum
tampaknya belum mampu mengangkat akar permasalahan
konflik ke permukaan, sehingga setiap saat akan bisa
memunculkan konflik baru karena masih ada masyarakat
yang merasa dikalahkan.
Masyarakat

pada

umumnya

memandang

konflik

sebagai konflik kekerasan, sehingga konflik umumnya


dipandang negatif dan menakutkan. Persepsi masyarakat

tentang konflik hanyalah perkelahian, kerusuhan, maupun


aksi

anarkis

lainnya.

Konflik

pada

hakekatnya

dapat

dikendalikan sehingga bermanfaat untuk mengembangkan


masyarakat yang dinamis. Untuk itu faktor kemajemukan,
baik kemajemukan horisontal seperti : etnis dan ras atau
asal usul, bahasa daerah, adat istiadat / perilaku, agama
dan

budaya,

serta

kemajemukan

vertikal

seperti

penghasilan (ekonomi), pendidikan, pemukiman, pekerjaan


dan kedudukan sosio politik dapat dibina dan dikelola
dengan baik dengan mengembangkan hubungan yang
harmonis,

mengembangkan

dialog

dan

mewujudkan

langkah nyata bersama yang telah disepakati.


II.

POTENSI KONFLIK DI BALI.


1.

Potensi Konflik di Bali


Seperti kita ketahui keberadaan Bali sebagai daerah
tujuan wisata sudah sangat dikenal, bahkan di manca
negara.

Dengan

dukungan

kemajuan

teknologi

informasi, komunikasi dan transportasi membuat Bali


menjadi daerah yang sangat terbuka.Terbuka bagi
interaksi

berbagai

kelompok,

terbuka

kepentingan
bagi

individu

interaksi

maupun

informasi

dan

komunikasi serta terbuka bagi interaksi budaya, dan


sebagainya.
Kondisi

tersebut

di

atas

menjadikan

tingkat

heterogenitas masyarakat Bali semakin luas dan


sangat berpotensi konflik.

Proses interaksi antar individu maupun kelompok


sudah terjadi pada jaman kerajaan di Bali, pada saat
Danghyang Dwi Jendra melakukan Dharma Yatra ke
Bali pada masa Raja Waturenggong.
Demikian pula pada saat Raja Badung (Cokorda
Pemecutan II) menawan sebuah perahu karam milik
bangsawan Madura (RM. Cokrodiningrat) beserta
anak buahnya.
RM Cokrodiningrat kemudian membantu Raja Badung
menaklukkan Raja Mengwi. Untuk itu Raja Badung
memberikan

wilayah

Ubung

kepada

RM..

Cokrodiningrat dan putranya diberikan wilayah di


Kepaon.
Demikian pula pada saat Raja Klungkung membawa
pengawal kerajaan dari Jawa dan ditempatkan di
kampung Gelgel.
Seiring dengan proses modernisasi dalam era
global, maka interaksi tersebut di atas cenderung
berkembang cepat dengan membawa serta berbagai
kepentingan yang kadang-kadang saling berbenturan,
jika

tidak

disikapi

secara

arif

dan

bijaksana

merupakan potensi konflik yang cukup besar.


Proses modernisasi dalam era global dewasa ini
tampaknya cenderung mempengaruhi tata nilai, sikap
dan perilaku masyarakat Bali.
Masyarakat Bali pada hakekatnya adalah masyarakat
yang mampu menyesuaikan dirinya dengan proses
perubahan.

Dengan

memperhatikan

proses

pendidikan serta hubungan antara budaya dan agama


dalam era modernisasi apakah kemampuan untuk
menyesuaikan diri tersebut masih ada.
Aksi-aksi kekerasan yang terjadi selama ini, bahkan
permasalahan

adat

yang

berakhir

dengan

aksi

kekerasan berupa kerusakan dan pembakaran apakah


bukan merupakan cerminan perubahan tata nilai,
sikap

dan

perilaku

masyarakat,

atau

cerminan

ketidakmampuan masyarakat dalam menyesuaikan


diri dengan perubahan.
Potensi konflik di Bali dewasa ini semakin
berkembang baik secara kwalitas maupun kwantitas.
Salah satu indikasi penyebabnya adalah kondisi Bali
sebagai daerah yang sangat terbuka atau semakin
melemahnya ikatan emosional masyarakat dalam adat
istiadat / tradisi.
Potensi konflik yang berpeluang dapat terjadi di Bali,
dapat digambarkan sebagai berikut :
a.

Konflik Suku bangsa


Masyarakat

Bali

pada dasarnya

merupakan

masyarakat terbuka dan sangat menerima para


pendatang, tidak pernah bersikap apriori, curiga
atau bermusuhan. Hal inilah yang menjadikan
Bali

sebagai salah satu pilihan bagi para

pendatang.
Berbagai krisis yang melanda bangsa kita
terutama krisis ekonomi, Bali masih dianggap

daerah

yang

berusaha

menjanjikan

atau

sebagai

memperbaiki

tempat

kehidupan

perekonomian bagi masyarakat pendatang.


Anggapan
daerah

bahwa

yang

Bali

paling

sebagai
aman

salah

di

satu

Indonesia

mengundang eksodus para pendatang akibat


berbagai kerusuhan di beberapa kota besar di
Jawa, kerusuhan Maluku, kerusuhan Mataram,
dan sebagainya.
Kemampuan Bali dalam memikul beban
para pendatang sangatlah terbatas. Kondisi
tersebut

bukan

tidak

mungkin

dapat

menimbulkan dampak sosial dengan munculnya


konflik kepentingan, seperti kepentingan yang
terkait

dengan

kehidupan

perekonomian,

melambungnya harga tanah dan properti, dan


lain sebagainya.
Salah satu contoh konkrit adalah masalah
pedagang kaki lima dan pedagang acung yang
sebagian besar adalah penduduk pendatang
dimana

jumlahnya

semakin

lama

semakin

banyak.
Jika masalah ini tidak ditangani secara
mendasar

dan tuntas maka tidak menutup

kemungkinan akan menjadi potensi konflik yang


dapat diarahkan menjadi konflik yang bernuansa
kesukuan.

b.

Konflik Agama
Seiring

dengan

kedatangan

warga

pendatang ke Bali maka pada saat itu pula


masuk agama lain di tengah-tengah masyarakat
yang

mayoritas

Perkembangan

beragama

Bali yang

Hindu.

sedemikian

besar

dibarengi dengan masuknya pendatang yang


secara bersamaan membawa corak budaya dan
agamanya menjadikan kehidupan beragama di
Bali lebih bersifat heterogen.
Heterogenitas beragama jika tidak dibina
dan dikelola dengan baik sangat rentan sebagai
potensi konflik.
Kasus

pernyataan

AM.

Saefuddin

yang

menyinggung perasaan umat Hindu, penggunaan


simbol agama Hindu oleh agama lain, upaya
penghasutan / provokasi dari kelompok aliran
Yehova, pelemparan mesjid di daerah Kintamani,
Penolakan warga dalam Pembangunan Gereja
GPIB

( Gereja

Barat

Maranatha

Padangsambian
Denpasar.

Protestan

di Indonesia bagian
di

Banjar

Kelod, Kec. Denpasar

Selebaran

Bali

Dalam

Teges,
Barat,

Gengaman,

Penyegelan Mushola Assyafiiyah di Br. Kaliungu,


bentrokan

antar

warga

Dusun

Kauman

( penduduknya mayoritas beragama Islam) dengan


Dusun Pala, Desa Pengastulan, Kec. Seririt, Kab.
Buleleng. Penyebaran brosur yang berjudul " Akhir

Dunia Sudah Hampir Tiba ! Allah yang Kudus akan


mendatangkan Penghakiman pada tanggal 21 Mei
2011 serta penyebaran buku Ya Tuhan, Tertipulah
Aku di Baturiti dan beberapa tempat lainnya
merupakan wujud dari upaya untuk mengadu
domba antar umat beragama di daerah Bali.
c.

Ras / Etnis
Ras / Etnis di Bali pada umumnya adalah
warga keturunan Tionghoa, Arab, India dan
Pakistan.
Keberadaan warga keturunan tersebut pada
umumnya lebih berorientasi ekonomi, karena
mereka adalah para pedagang yang ulet. Secara
umum keberadaan warga keturunan di Bali
dapat

menyesuaikan

diri

dengan

dinamika

kehidupan masyarakat Bali.


Warga

keturunan

Tionghoa

merupakan

kelompok etnis yang tampaknya paling dapat


menyesuaikan diri dengan dinamika kehidupan
masyarakat Bali.
Keuletan dan ketangguhan dalam berusaha
menjadikan
umumnya

warga

keturunan

memiliki

di

tingkat

Bali

pada

kehidupan

perekonomian yang cukup baik.


Potensi konflik yang ada sehubungan dengan
keberadaan

warga

kemungkinan

dapat

keturunan
terjadi

tersebut

dengan

dalih

kesenjangan sosial maupun ekonomi antara


warga keturunan dengan penduduk asli maupun
penduduk pendatang lainnya.
Demikian pula dengan keberadaan orang
asing di Propinsi Bali, selain menguntungkan
bagi

kepariwisataan

Bali

tidak

menutup

kemungkinan keberadaan orang asing dimaksud


dapat merugikan, pertama dapat menjadi pelaku
kejahatan,

kedua

dapat

menjadi

obyek

kejahatan.
d.

Antar Golongan
Bali sebagai daerah terbuka menjadikan
kehidupan

bermasyarakat,

berbangsa

dan

bernegara berkembang dinamis sesuai dengan


kultur masyarakat Bali. Kebebasan berkumpul,
berserikat dan menyatakan kehendak / pendapat
maupun

aspirasi

menjadikan

kehidupan

masyarakat Bali menjadi lebih dinamis. Lebihlebih dalam era kebebasan dan keterbukaan
dewasa

ini

keberanian

individu

maupun

kelompok dalam menyatakan pendapat menjadi


lebih besar dan mengedepankan sikap individual
dan egosentris.
Munculnya

kelompok

kelompok

masyarakat baik yang bersifat partisan maupun


non

partisan

cenderung

membentuk

sikap

premordial. Hal ini dapat dilihat dari muncul /

10

terjadinya

kasus

permasalahan

bentrokan

antar kelompok / warga, aksi amuk massa


tanggal 20 21 Oktober 1999, aksi premanisme
yang berakhir dengan kekerasan sebagai wujud
dari

perkembangan

sikap

individual,

dan

egosentris. Bentrok antara warga Desa Songan


dengan Kelurahan Kawan, Kab. Bangli, dsb.
1.
2.

Potensi Konflik Lainnya


Konflik Adat
Berbagai permasalahan Adat yang terjadi akhirakhir ini cenderung berlanjut dengan aksi kekerasan
berupa perusakan dan pembakaran, tindakan main
hakim sendiri serta pengerahan massa.
Yang menjadi pertanyaan, apakah tata nilai dan
budaya
meluntur,

luhur adat istiadat / tradisi kita sudah


atau

kontaminasi

pengaruh

budaya

kekerasan telah terjadi pada dinamika masyarakat.


Atau bangsa ini belum memberikan bekal yang cukup
terhadap generasi muda untuk menjadi manusia yang
berbudaya, menghormati dan melaksanakan tata nilai
luhur adat istiadat / tradisi.
Atau

mungkin

pula

kita

tidak

pernah

bersikap

waspada terhadap orang-orang / oknum yang sengaja


memanfaatkan

lembaga

Adat

untuk

kepentingan

pribadi maupun kelompoknya. Kasus terakhir adalah


Kasus Cemagi, Kab. Badung, Kasus konflik antara

11

Budaga dan Kemoning yang dipicu oleh Klaim atas


Pura Dalem yang diberinama Pura Dalem Kemoning.
3.

Maraknya Peredaran dan Penggunaan Minuman


Keras
Dewasa ini peredaran dan penggunaan minuman
keras semakin marak, baik yang tradisional maupun
minuman keras import.
Peredaran dan penggunaan minuman keras tersbut
marak terjadi di kalangan generasi muda yang dapat
menjadi potensi konflik.
Maraknya perkelahian antar pemuda bahkan tidak
jarang melibatkan warga banjar / desa, kelompok
masyarakat

tertentu

sebagian

besar

diakibatkan

penggunaan minuman keras.


4.

Konflik Pertanahan
Masalah pertanahan memiliki potensi konflik yang
lebih besar. Hal ini dapat terjadi karena :
a.

Kemungkinan adanya upaya provokasi guna


memecah belah kesatuan dan persatuan.

b.

Nilai ekonomis tanah yang cukup tinggi dan


menggiurkan. Beberapa konflik pertanahan yang
bernuansa adat lebih banyak disebabkan oleh
tingginya nilai ekonomis tanah tersebut.

c.

Adanya pihak-pihak lain yang berupaya untuk


mengambil keuntungan.

12

Kasus Serangan, kasus Culik, Pecatu Graha, tanahtanah bukti yang dipergunakan sebagai fasilitas
umum, seperti Sekolah Dasar, Puskesmas, Kasus
Lemukih dan sebagainya merupakan konflik masalah
pertanahan yang dihadapi dewasa ini.
4.

Pro dan Kontra pelaksanaan Perda No.16 Tahun 2009


tentang RTRW Prov. Bali tahun 2009-2029. Perda ini
dianggap menghambat perkembangan pariwisata Bali.
Tetapi pada dasarnya Perda tersebut justru akan
menyelamatkan Bali dari pesatnya perkembangan
pariwisata Bali.

5.

Format Untuk Mengatasi dan Menyikapi

Potensi Konflik di Bali.


Konsep memadukan keanekaragaman/ kemajemukan
masyarakat

kita

adalah

dengan

peningkatan

dan

perluasan

memperlunak

dan

memperkecil

mengupayakan

titik-titik

persamaan,

titik-titik

perbedaan

sehingga masyarakat akan memiliki keanekaragaman nilai


kehidupan untuk menjadi masyarakat yang utuh dan bulat
tanpa

merusak

nilai-nilai

yang

terkandung

didalam

keanekaragaman tersebut.
Bertitik
Pemerintah

tolak

dari

Propinsi

memberdayakan

hal
Bali

masyarakat

tersebut
telah

diatas,

berupaya

dengan

maka
untuk

peningkatan

pemahaman akan arti pentingnya mengelola dan membina

13

heterogenitas

masyarakat

yang

mengandung

potensi

konflik dengan pola :


1. Mengembangkan konsep Rwa Bhineda

Didalam ajaran agama Hindu konsep Rwa


Bhineda memandang bahwa perbedaan yang ada
dianggap wajar, sehingga perlu dipelihara, dikelola
dan

tidak

dipaksakan

untuk

dibuat

sama.

Mengupayakan peningkatan dan perluasan titik-titik


persamaan, memperlunak dan memperkecil titik-titik
perbedaan

sehingga

masyarakat

diharapkan

yang

dinamis

akan

terwujud

ditengah-tengah

keanekaragaman yang ada.


2. Mengembangkan

paradigma

dialog

dalam

rangka

mewujudkan proses komunikasi yang harmonis dan


terarah, memperkecil perbedaan dan memperbesar /
memperluas

persamaan

yang

diwujudkan

dalam

langkah kebersamaan yang nyata (joint action).

a.

Dialog / tatap muka antara Pemerintah, Tokoh


Masyarakat,Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh
Politik maupun kelompok masyarakat lainnya.

b.

Menyelenggarakan

Musyawarah

Umat

Beragama.Mendukung pembentukan paguyuban


kesukuan, keagamaan, etnis, dan dialog antar
etnis yang

direalisasi dengan pembentukan

Paguyuban Antar Etnis.

14

c.

Melakukan komunikasi dan konsultasi dengan


kelompok masyarakat maupun kelompok politik.

d.

Mengupayakan peningkatan kesadaran politik


rakyat dalam rangka meningkatkan kesadaran
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

e.

Mengupayakan fasilitas dan mediasi komponen


infra struktur politik menuju proses kemandirian.

f.

Memberdayakan komponen masyarakat guna


meningkatkan daya tahan masyarakat terhadap
pengaruh

negatif

akibat

era

global

dan

keterbukaan dengan tetap mempertahankan tata


nilai hidup dan berkembang di tengah-tengah
dinamika masyarakat.
Membangun

komunikasi

antar

komponen

pariwisata maupun pelaku pariwisata.


g.

Mendorong dan mendukung adanya kepastian


hukum termasuk

regulasi Perda yang sudah

tidak sesuai.
Bersikap terbuka dan akomodatif dalam
menyikapi permasalahan maupun aspirasi yang
berkembang di masyarakat.
3. Pembentukan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat
(FKDM)

Prov.Bali

dalam

aeluruh

potensi

masyarakat

keamanan Bali.

rangka

mensinergikan

dalam

kegiatan

15

4. Memperkuat peran dan eksistensi FKUB.


5. Melaksanakan

kegiatan

pemantauan

secara

intensif

terhadap kemunkingan aksi terorisme serta kegiatan


kelompok Islam Radikal lainnya.
6. Meningkatkan

koordinasi

dan

kegiatan

operasional

Intelijen.
7. Meningkatkan koordinasi aparat keamanan.
6.
2.

KESIMPULAN
Walaupun secara umum daerah Bali cukup stabil dan
kondusif,

potensi

konflik

masih

tetap

ada,

konsekuensi Bali sebagai daerah terbuka dan akibat


pengaruh era global, kebebasan dan keterbukaan
dewasa ini.
3.

Potensi Konflik jika dikelola dengan baik akan menjadi


satu

kekuatan

dalam

membangun

kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


4.

Format untuk mengatasi dan menyikapi potensi konflik


adalah dengan pengendalian konflik melalui dialog
dan langkah nyata bersama.

5.

Agama Hindu telah mengajarkan pengendalian konflik


melalui konsep Rwa Bhineda.

6.

Pemprov Bali telah berupaya untuk mengantisipasi


potensi konflik dengan upaya persuasif, pendekatan
dan dialog dengan tomas, toga, todat, tokoh politik,
tokoh pemuda, dsb.

16

1.

PENUTUP

Demikian beberapa hal yang dapat kami sampaikan dalam


uraian ini.
Semoga bermanfaat.

Denpasar, 8 Agustus 2011


BADAN KESBANGPOL DAN LINMAS
PROVINSI BALI

Anda mungkin juga menyukai