Oleh:
Crusita Maharani S.
NIM: 11160510000087
JURNALISTIK 6-C
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan Negara yang kaya akan budaya, tradisi dan
adat istiadat. Hal ini merupakan suatu kebanggaan tersendiri yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia. Walaupun begitu banyak perbedaan, masyarakatnya rukun
dan hidup berdampingan. Hal itu tercipta karena adanya komunikasi yang baik
antar individu maupun kelompok. Dapat dikatakan bahwa komunikasi
merupakan hal yang terpenting atau vital bagi manusia.1 Bahkan hubungan
antara komunikasi dengan kebudayaan sangat erat kaitannya. Dalam beberapa
konteks, perilaku komunikasi manusia dipengaruhi oleh kebudayaannya.
Namun, tanpa kita sadari di tengah perbedaan budaya, tradisi dan adat
istiadat pada Negara Indonesia, terdapat sebuah fenomena sosial yang disebut
dengan etnosentrisme dan stereotip. Hal ini dapat menyebabkan konflik antar
budaya. Karena bisa dikatakan bahwa etnosentrisme adalah “isme” yang menilai
budaya orang lain dengan standar nilai dan standar budaya diri sendiri
(Omohundro, 2008). Seseorang yang disebut individu etnosentrisme adalah
individu yang menilai kelompok lain relatif kurang unggul dibandingkan dengan
kelompok etnik atau budaya dia, terutama dengan memperhatikan bahasa,
perilaku, kebiasaan, dan agama.2
1
Rulli Nasrullah, Komunikasi AntarBudaya Di Era Budaya Siber (Jakarta: Prenadamedia Group, 2012),
hlm. 1
2
Alo Liliweri, Prasangka, Konflik, dan Komunikasi AntarBudaya (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018),
hlm. 35
2
Sedangkan stereotip adalah gagasan atau kepercayaan yang dimiliki
banyak orang tentang sesuatu atau kelompok yang didasarkan pada bagaimana
penampilan mereka di luar, yang mungkin tidak benar atau hanya sebagian
benar. Memberikan stereotip kepada orang adalah jenis prasangka karena apa
yang tampak di luar merupakan sebagian kecil dari siapa orang itu. 3 Dari
penjelasan tersebut dapat terlihat bahwa etnosentrisme dan stereotip adalah suatu
sikap yang merupakan hasil dari sebab yang kadang bersifat alamiah dalam
proses hubungan atau komunikasi antar ras atau etnik. Tetapi, hal itu juga bisa
menjadi hambatan paling serius dalam komunikasi antarbudaya.
BAB II
3
Alo Liliweri, Prasangka, Konflik, dan Komunikasi AntarBudaya (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018),
hlm. 376
4
Betrha Ariestha, Skripsi “Akar Konflik Kerusuhan Antar Etnik di Lampung Selatan (Studi Kasus
Kerusuhan Antara Etnik Lampung dan Etnik Bali di Lampung Selatan)” (Semarang: Universitas Negeri
Semarang, 2013), hlm. 10
3
PEMBAHASAN
A. Penjelasan Kasus
5
Fani Rahmadani, Skripsi “Pengaruh Etnosentrisme dan Stereotip Remaja Etnik Lampung Terhadap
Komunikasi AntarBudaya dengan Etnik Bali (Studi pada remaja etnik Lampung di Kecamatan Sidomulyo
Kabupaten Lampung Selatan” (Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2017), hlm. 24
4
adanya sikap etnosentrisme. Seperti pada September 2011, terjadi perebutan
lahan parkir. Bahkan, setelah kemajuan zaman yang pesat, nilai-nilai moral
juga semakin tergerus, gesekan-gesekan antar etnik semakin sering terjadi
dan semakin sulit diredam. Konflik selanjutnya yang terjadi dipicu oleh
pemuda Bali yang dianggap kurang sopan sebagai warga pendatang, suka
memicu keributan, dan lebih suka menyelesaikan masalah dengan cara
kekerasan. Hal itulah yang membuat etnik Lampung sebagai pribumi merasa
terancam, dan memicu terjadinya konflik antar etnik.
B. Kajian Teori
6
Alo Liliweri, Prasangka, Konflik, dan Komunikasi AntarBudaya (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018),
hlm. 303-304
5
“Democracy versus the Melting Pot” (1915), ia mengkritik teori
asimilasi. Kata Kallen, dalam setiap masyarakat selalu ada perbedaan
etnik, dan mereka yang berbeda hidup berdampingan.
Hal itu sama dengan yang terjadi pada daerah Lampung Selatan,
di sana terdapat transmigran dari etnik Bali, maka dari itu terciptalah
pluralisme kebudayaan. Tetapi etnik Lampung sangat menjunjung tinggi
identitas etniknya yang berasal dari falsafah atau semboyan kepribadian
hidup orang Lampung yang disebut Piil-Pesenggiri. Serta falsafah
tersebut menjadi tolak ukur etnik Lampung dalam menilai etnik lain.
Mereka menganggap budaya merekalah yang paling baik dibandingkan
dengan budaya lain. Itulah yang membuat sikap etnosentrisme mereka
tercipta. Apalagi etnik Lampung merupakan pribumi dan etnik Bali
adalah pendatang. Jadi etnik Lampung lebih menilai etnik Bali relatif
kurang unggul dibandingkan dengan etniknya. Tetapi bila berpacu pada
teori pluralisme budaya, hal itu tidak menjadi penghalang untuk mereka
hidup berdampingan dalam satu wilayah. Dengan mempertahankan adat
dan istiadat mereka masing-masing.
7
Alo Liliweri, Prasangka, Konflik, dan Komunikasi AntarBudaya (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018),
hlm. 477
6
menyenangkan dalam model JS, maka orang termotivasi untuk aktif
mencari pembenaran.
C. Analisis
8
Alo Liliweri, Prasangka, Konflik, dan Komunikasi AntarBudaya (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018),
hlm. 477
7
Dari permasalahan yang saya paparkan di atas, bahwa adanya sikap
etnosentrisme dan stereotip pada suatu kelompok etnik bisa saja terjadi.
Khususnya karena kita berada di Negara Indonesia, yaitu Negara yang
memiliki beragam etnik dan adat istiadat di berbagai daerahnya. Contohnya
pada etnik Lampung, yang dapat mempengaruhi terciptanya sikap
etnosentisme ialah, karena mereka memiliki identitas etnik yang berasal dari
falsafah atau semboyan kepribadian hidup orang Lampung yang disebut
Piil-Pesenggiri. Dengan menjunjung tinggi falsafahnya, hal itu menjadi
tolak ukur mereka untuk menganggap etnik merekalah yang paling baik
dikarenakan mereka sangat menjunjung tinggi harga diri mereka dan sikap
tersebut merupakan etnosentrisme.
8
Ternyata hasil dari komunikasi antarbudaya bisa positif dan juga
negatif.9 Dari sisi positif, setiap interaksi menyediakan kemungkinan untuk
meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan budaya. Namun dari sisi
negatifnya, interaksi itu bisa memperkuat stereotip dan sikap etnosentrisme
budaya yang negatif, bahkan dapat menimbulkan konflik antar budaya.
Seperti konflik yang terjadi antara etnik Lampung dan etnik Bali, akibat dari
hasil sisi negatif komunikasi antarbudaya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
9
Dedy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi AntarBudaya Panduan Berkomunikasi Dengan
Orang-orang Berbeda Budaya (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 184
9
(Omohundro, 2008). Seseorang yang disebut individu etnosentrisme adalah
individu yang menilai kelompok lain relatif kurang unggul dibandingkan dengan
kelompok etnik atau budaya dia, terutama dengan memperhatikan bahasa,
perilaku, kebiasaan, dan agama. Sedangkan stereotip adalah gagasan atau
kepercayaan yang dimiliki banyak orang tentang sesuatu atau kelompok yang
didasarkan pada bagaimana penampilan mereka di luar, yang mungkin tidak
benar atau hanya sebagian benar. Memberikan stereotip kepada orang adalah
jenis prasangka karena apa yang tampak di luar merupakan sebagian kecil dari
siapa orang itu.
Contoh dari etnosentrisme dan stereotip yaitu terjadi pada konflik etnik
Lampung dengan etnik Bali. Hal yang dapat mempengaruhi terciptanya sikap
etnosentisme pada etnik Lampung ialah karena mereka memiliki identitas etnik
yang berasal dari falsafah atau semboyan kepribadian hidup orang Lampung
yang disebut Piil-Pesenggiri. Dengan menjunjung tinggi falsafahnya, hal itu
menjadi tolak ukur mereka untuk menganggap etnik merekalah yang paling baik
dikarenakan mereka sangat menjunjung tinggi harga diri. Terlebih etnik
Lampung adalah pribumi sedangkan etnik Bali merupakan pendatang.
DAFTAR PUSTAKA
10
Mulyana, Dedy dan Jalaluddin Rakhmat. 2014. Komunikasi AntarBudaya Panduan
Berkomunikasi Dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Rahmadani, Fani. 2017. Skripsi “Pengaruh Etnosentrisme dan Stereotip Remaja Etnik
Lampung Terhadap Komunikasi AntarBudaya dengan Etnik Bali (Studi pada remaja
etnik Lampung di Kecamatan Sidomulyo Kabupaten Lampung Selatan”. Bandar
Lampung: Universitas Lampung.
Ariestha, Betrha. 2013. Skripsi “Akar Konflik Kerusuhan Antar Etnik di Lampung
Selatan (Studi Kasus Kerusuhan Antara Etnik Lampung dan Etnik Bali di Lampung
Selatan)”. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
11