Anda di halaman 1dari 17

BAB I

MULTIKULTURALISME

A. Pengertian Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan
dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Konsep
multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa
atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri khas masyarakat majemuk, karena
multikulturalisme menekankan kebudayaan dalam kesederajatan. Berkaitan dengan konflik
sosial, multikulturalisme merupakan paradigma baru dalam upaya merajut kembali hubungan
antarmanusia yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh konfliktual. Konsep
multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa
atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri khas masyarakat majemuk, karena
multikulturalisme menekankan kebudayaan dalam kesederajatan. Berkaitan dengan konflik
sosial, multikulturalisme merupakan paradigma baru dalam upaya merajut kembali hubungan
antarmanusia yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh konfliktual.

B. Jenis-jenis Multikulturalisme
Keragaman struktur budaya dalam masyarakat menjadikan multikulturalisme terbagi
menjadi beberapa bentuk, yaitu:
a. Multikulturalisme Isolasi
Masyarakat jenis ini biasanya menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam
interaksi yang saling mengenal satu sama lain.
b. Multikulturalisme Akomodatif
Masyarakat ini memiliki kultur dominan, yang membuat penyesuaian-penyesuaian
dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum minoritas.
Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan menerapkan undang-undang,
hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, serta memberikan
kebebasan kepada kaum minoritas untuk mengembangkan/mempertahankan
kebudayaan mereka.
c. Multikulturalisme Otonomi

1
Dalam model ini kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan
kesetaraan(equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom
dalam kerangka politik yang secara kolektif dapat diterima.
d. Multikulturalisme Kritikal/Interaktif
Jenis multikulturalisme ini terjadi pada masyarakat plural dimana kelompok-
kelompok yang ada sebenarnya tidak terlalu menuntut kehidupan otonom, akan tetapi
lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang menegaskan perspektif-perspektif
distingtif mereka.
e. Multikulturalisme Kosmopolitan
Kehidupan dalam multikulturalisme jenis ini berusaha menghapus segala macam
batas-batas kultural untuk menciptakan masyarakat yang setiap individu tidak lagi
terikat pada budaya tertentu.

C. Faktor- Faktor Penyebab Timbulnya Masyarakat Multikultural


1. Keanekaragaman Suku Bangsa
Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang memiliki kekayaan budaya yang luar
biasa banyaknya. Yang menjadi sebab adalah keberadaan ratusan suku bangsa yang hidup
dan berkembang di berbagai tempat di wilayah Indonesia.
2. Keanekaragaman Agama
3. Keanekaragaman Ras
Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai kelompok etnis, agama, budaya yang
berpotensi menimbulkan konflik sosial. Berkaitan dengan perbedaan identitas dan konflik
sosial muncul tiga kelompok sudut pandang yang berkembang, yaitu:
1. Pandangan Primordialisme
Kelompok ini menganggap perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika
seperti suku, ras, agama merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan
kepentingan etnis maupun budaya.
2. Pandangan Kaum Instrumentalisme
Menurut mereka, suku, agama, dan identitas yang lain dianggap sebagai alat
yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar baik
dalam bentuk materiil maupun nonmateriil.

2
3. Pandangan Kaum Konstruktivisme
Kelompok ini beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku,
sebagaimana yang dibayangkan kaum primordialis. Etnisitas bagi kelompok ini dapat
diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial.

D. Konflik yang Muncul Akibat Keanekaragaman


Keragaman suku bangsa yang dimiliki Indonesia adalah letak kekuatan bangsa
Indonesia itu sendiri. Selain itu, keadaan ini menjadikan Indonesia memiliki nilai tambah di
mata dunia. Namun, disisi lain realitas keanekaragaman Indonesia berpotensi besar
menimbulkan konflik sosial berbau sara(suku, agama, ras, dan adat). Oleh karena itu,
kemampuan untuk mengelola keragaman suku bangsa diperlukan guna mencegah terjadinya
perpecahan yang mengganggu kesatuan bangsa. Konflik-konflik yang terjadi di Indonesia
umumnya muncul sebagai akibat keanekaragaman etnis, agama, ras, dan adat, seperti konflik
antaretnis yang terjadi di Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Papua, dan lain-lain.
Di Kalimantan Barat adanya kesenjangan perlakuan aparat birokrasi dan hukum
terhadap suku asli Dayak dan suku Madura menimbulkan kekecewaan yang mendalam.
Masyarakat Dayak yang termarginalisasi semakin terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan
yang diskriminatif. Sementara penegakan hukum terhadap salah satu kelompok tidak berjalan
sebagaimanamestinya. Sedangkan di Poso, Sulawesi Tengah konflik bernuansa sara mula-
mula terjadi pada tanggal 24 Desember 1998 yang dipicu oleh seorang pemuda Kristen yang
mabuk melukai seorang pemuda Islam di dalam Masjid Sayo. Kemudian pada pertengahan
April 2000, terjadi lagi konflik yang dipicu oleh perkelahian antara pemuda Kristen yang
mabuk dengan pemuda Islam di terminal bus Kota Poso. Perkelahian ini
menyebabkanterbakarnya permukiman orang Pamona di Kelurahan Lambogia. Selanjutnya,
permukiman Kristen melakukan tindakan balasan.
Dari dua kasus tersebut terlihat betapa perbedaan mampu memicu munculnya konflik
sosial. Perbedaan-perbedaan yang disikapi dengan antisipasi justru akan menimbulkan
kesengsaraan dan penderitaan banyak orang. Dayak dan Madura sebagai akibat
keanekaragaman dan kekeliruan dalam menyikapi keanekaragaman tersebut melalui bilik
info di bawah ini.

3
BAB II
KONFLIK SARA DI INDONESIA

A. Konflik Dayak dan Madura


Penduduk asli Kalimantan Barat adalah suku Dayak yang hidup sebagai petani dan
nelayan. Selain suku asli, suku lain yang telah masuk ke bumi Kalimantan adalah Melayu,
Cina, Madura, Bugis, Minang, dan Batak.
Dalam berkomunikasi penduduk yang heterogen ini menggunakan bahasa Indonesia
atau Melayu sebagai bahasa sehari-hari. Tetapi karena tingkat pendidikan mereka rendah,
mereka memakai bahasa daerahnya masing-masing. Dengan demikian, sering kali ditemui
kesalahpahaman di antara mereka. Terlebih jika umumnya orang Madura berbicara dengan
orang Dayak, gaya komunikasi orang Madura yang keras ditangkap oleh orang Dayak
sebagai kesombongan dan kekasaran.
Kebudayaan yang berbeda sering kali dijadikan dasar penyebab timbulnya suatu
konflik pada masyarakat yang berbeda sosial budaya. Demikian juga yang terjadi pada
konflik Dayak dan Madura yang terjadi pada akhir tahun 1996, yaitu terjadinya kasus
Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang (sebelum pertengahan tahun 1999 termasuk
Kabupaten Sambas), di Kalimantan Barat. Konflik sosial sepertinya agak sulit terpisahkan
dari dinamika kehidupan masyarakat Kalimantan. Setelah itu, pertikaian antaretnis terjadi
lagi di Sambas, lalu disusul di Kota Pontianak, dan terakhir di Sampit serta menyebar ke
semua wilayah di Kalimantan Tengah.
Orang Dayak yang ramah dan lembut merasa tidak nyaman dengan karakter orang
Madura yang tidak menghormati atau menghargai orang Dayak sebagai penduduk lokal
yang menghargai hukum adatnya. Hukum adat memegang peranan penting bagi orang
Dayak. Tanah yang mereka miliki adalah warisan leluhur yang harus mereka pertahankan.
Sering kali mereka terkena tipu daya masyarakat pendatang yang akhirnya berhasil
menguasai atau bahkan menyerobot tanah mereka. Perilaku dan tindakan masyarakat
pendatang khususnya orang Madura menimbulkan sentiment sendiri bagi orang Dayak yang
menganggap mereka sebagai penjarah tanah mereka. Ditambah lagi dengan keberhasilan dan

4
kerja keras orang Madura mengelola tanah dan menjadikan mereka sukses dalam bisnis
pertanian.
Kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi merupakan dasar dari munculnya suatu
konflik-konflik . Masyarakat Dayak juga mempunyai suatu ciri yang dominan dalam mata
pencaharian yaitu kebanyakan bergantung pada kehidupan bertani atau berladang. Dengan
masuknya perusahaan kayu besar yang menggunduli kayu-kayu yang bernilai, sangatlah
mendesak keberadaannya dalam bidang perekonomian. Perkebunan kelapa sawit yang
menggantikannya lebih memilih orang pendatang sebagai pekerja daripada orang Dayak.
Hal yang demikian menyebabkan masyarakat adat merasa terpinggirkan atau tertinggalkan
dalam kegiatan perekonomian penting di daerahnya mereka sendiri. Perilaku orang Madura
terhadap orang Dayak dan keserakahan mereka yang telah menguras dan merusak alamnya
menjadi salah satu dasar pemicu timbulnya konflik di antara mereka.
Ketidakcocokan di antara karakter mereka menjadikan hubungan kedua etnis ini
mudah menjadi suatu konflik. Ditambah lagi dengan tidak adanya pemahaman dari kedua
etnis terhadap latar belakang sosial budaya masingmasing etnis. Kecurigaan dan kebencian
membuat hubungan keduanya menjadi tegang dan tidak harmonis. Ketidakadilan juga
dirasakan oleh masyarakat Dayak terhadap aparat keamanan yang tidak berlaku adil
terhadap orang Madura yang melakukan pelanggaran hukum. Permintaan mereka untuk
menghukum orang Madura yang melakukan pelanggaran hukum tidak diperhatikan oleh
aparat penegak hukum. Hal ini pada akhirnya orang Dayak melakukan kekerasan langsung
terhadap orang Madura, yaitu dengan penghancuran dan pembakaran permukiman orang
Madura.

5
B. KONFLIK ANTAR AGAMA DI INDONESIA
1. Konflik Islam - Kristen di Indonesia
Awal masuknya kekristenan di Indonesia sebenarnya dalam suasana yang kurang
bersahabat, terutama berhubungan dengan kelompok masyarakat beragama, khususnya
agama Islam. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, pada abad ke-16, terjadi konflik
yang disertai dengan penindasan fisik dan mental dari orang Islam terhadap orang Kristen
di Maluku. Setelah Belanda dikalahkan Jepang, maka keadaan turut berubah dalam
hubungan Islam - Kristen di Indonesia. Untuk maksud keuntungan politiknya, Jepang
memberikan keleluasaan yang besar kepada Islam untuk turut mendukung berbagai
rencana pengukuhan kedudukan penjajahan Jepang di Indonesia.
Pada sisi lain, kelompok Islam beraliran sunni atau santri sejak awal perjuangan
untuk merebut kemerdekaan dilihat sebagai jihad untuk melawan kaum kafir dan yang
sekaligus merupakan tugas pribadi dan tugas masyarakat dalam umat. Pemberontakan
DI/TII di Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan adalah penampakan ketidakpuasan
sebagian santri terhadap gagalnya gagasan negara Islam diberlakukan di Indonesia. Pada
tahun 1985 terjadi pemboman terhadap bank-bank, beberapa gereja, dan Sekolah
Teologia. Walaupun pemerintah tidak menyebut dengan jelas pihak yang tersangkut
dalam peristiwa itu, namun adalah jelas dalam kejadian yang sebenarnya bahwa beberapa
oknum Islam fundamentalis terlibat. Sudah merupakan gejala umum dalam kerusuhan di
Indonesia bahwa bangkitnya oposisi keras Islam mengambil bentuk dalam gerakan anti
pemerintah, anti Cia, dan anti Kristen.
Pada tahun 1996 dan awal tahun 1997 diwarnai dengan berbagai kerusuhan di
berbagai tempat di Indonesia. Pada bulan April 1996, Cikampek sebuah kota di sebelah
timur ibu kota DKI Jakarta mengalami kerusuhan yang menjurus pada huru-hara SARA,
dimana berapa gedung gereja dan SD Kristen dilempari batu oleh massa yang marah.
Peristiwa serupa dialami oleh orang-orang Kristen di daerah Cileungsi - Bogor. Pada
tanggal 14 April, beberapa Gereja Pantekosta dirusak dan dihancurkan massa, bahkan ada
anggota jemaat yang dipukuli oleh massa yang marah dan brutal. Kasus-kasus yang
melanda beberapa kota di Jawa Barat itu ternyata berkembang dan menjalar ke kota
Surabaya pada bulan Juni 1996 tidak kurang dari 10 gedung gereja dirusak oleh massa.

6
Pada tanggal 10 Oktober 1996, kasus yang lebih berat dan lebih luas menimpa
kota Situbondo dan sekitarnya. Lebih dari 20 gedung gereja dan beberapa Sekolah
Kristen dihancurkan dan ada yang dibakar. Kasus serupa kembali menerpa kota
Tasikmalaya. Tanggal 26 Desember 1996, massa mengamuk dan menghancurkan
berbagai fasilitas umum, kantor polisi, dan gedung-gedung gereja. Tercatat paling tidak
13 gedung gereja dihancurkan sebagian dibakar, dua sekolah Kristen dan Katolik dibakar.
Pada awal tahun 1997, tepatnya 30 Januari 1997, kembali terjadi kerusuhan di
daerah Jawa Barat, yaitu kota Rengasdengklok. Dan, kembali gedung gereja dan Sekolah
Kristen dihancurkan dan sebagian dibakar massa. Masih ada banyak kasus lagi yang
berbau SARA. khususnya kental berbau keagamaan yang belum dikemukakan, namun
berbagai kasus yang sudah dikemukakan di atas tersirat sentimen keagamaan demikian
kuat. Konflik masyarakat beragama Islam dengan orang Kristen tak terhindarkan.

7
BAB III
PERMASALAHAN MULTIKULTURALISME
DI INDONESIA

Di Indonesia dampak negatif dari Multikulturalisme ( agama,ras, bahasa dan budaya)


menyebabkan konflik bergenerasi antar kelompok masyarakat (konflik horizontal) dan konflik
antar masyarakat / pemerintah daerah dan pusat(konflik vertikal).
Berikut ini kami akan coba berikan beberapa contoh kasus mengenai multikulturalisme di
Indonesia:
1. Pembakaran pasar Glodok ( peristiwa Mei Kelabu) di Jakarta 
2. Peristiwa Ambon-Maluku(Pertarungan antara Bugis- Buton- Makasar dan Ambon Islam
melawan Kristen)
3. Peristiwa Sambas dan Palangkaraya (pertarungan Dayak, Melayu dan Tionghoa melawan
Madura)
4. Perisitiwa Poso ( pertarungan antara kelompok Islam dan Kristen yang disertai oleh unsur-
unsur dari luar)
5. Peristiwa Sunbawa(NTT) , perkelahian antara orang Sumbawa dan Bali
6. Peristiwa Aceh( pertarungan antara orang Aceh dan transmigrasi Jawa)
7. Peristiwa Separatisme Gerakan Aceh Merdeka dan Organisasi Papua Merdeka
8. Penghancuran masjid-masjid Ahmadiyah di Parung Bogor yang dipicu oleh perbedaan

8
BAB IV
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DAN PROBLEMNYA DI INDONESIA

A. Pengertian Pendidikan Multikultural


Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan dari Negara Indonesia yang berarti berbeda-
beda tapi tetap satu jua. Hal ini sudah jelas menandakan bahwa Indonesia merupakan negara
yang memiliki keragaman budaya, suku bangsa, agama, bahasa, dan sebagainya. Kelompok-
kolompok budaya seperti Aceh, Batak, Minangkabau, Dayak, Jawa, Bugis, Ambon, Papua
dan lain-lain adalah contoh dari keragaman tersebut. Oleh sebab itu pula, Negara Indonesia
disebut sebagai negara multikultural. Keragaman ini memang diakui telah memunculkan
beberapa persoalan, misalnya perkelahian antarsuku, separatisme, dan hilangnya rasa
kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain. Untuk memecahkan masalah tersebut,
maka dibutuhkan suatu solusi, salah satunya adalah model pendidikan yang bersifat
multikultural.
Pendidikan multikultural pada intinya adalah pendidikan yang memberikan penekanan
terhadap proses penanaman cara hidup yang saling menghormati, tulus, dan toleran terhadap
keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat dengan tingkat pluralitas
yang tinggi. Dengan model pendidikan ini, diharapkan masyarakat Indonesia mampu
menerima, menolerir, dan menghargai keragaman yang ada di Indonesia. Dalam dunia
pendidikan multikultural, seorang pendidik seharusnya tidak saja profesional dalam bidang
akademik, tetapi juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural
itu, yakni demokrasi, humanisme, dan pluralisme. Pendidikan multikultural diharapkan
mampu menjawab tantangan zaman di masa globalisasi ini. Pendidikan merupakan salah satu
tolak ukur dan standar mengenai seberapa jauh suatu negara mampu bersaing di dunia
internasional. Semakin baik mutu pendidikan suatu negara, maka negara itu semakin siap
dalam menghadapi persaingan global.
Multikulturalisme berasal dari kata “multi” yang berarti plural, “kultural” yang berarti
kultur atau budaya, dan “isme” yang berarti paham atau aliran. Dalam perkembangannya,
multikulturalisme tidak lebih dari sebuah istilah yang menyempurnakan gagasan sebelumnya
yaitu pluralisme. Multikulturalisme adalah respon terhadap realitas, dimana masyarakat selalu
menjadi plural (jamak) dan tidak monolitik. Keanekaragaman membawa perbedaan dan dapat

9
berujung pada konflik. Namun bukan berarti konflik selalu disebabkan oleh perbedaan. Dari
sudut pandang agama, keragaman keyakinan, budaya, dan pandangan hidup penting untuk
diangkat kembali mengingat penganut agama-agama di Indonesia masih awam, sehingga
sangat rawan dengan konflik dan kekerasan.
James A. Banks memberikan pengertian tentang Pendidikan Multikultural sebagai
konsep, ide, atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan
yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk
gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari
individu, kelompok maupun negara. Pendidikan multikultural juga dapat diartikan sebagai
sebuah gerakan reformasi yang dirancang untuk menghasilkan sebuah transformasi di
sekolah, sehingga peserta didik baik dari kelompok gender maupun dari kelompok budaya
dan etnik yang berbeda akan mendapat kesempatan yang sama untuk menyelesaikan sekolah.
Menurut Paul Gorski pendidikan multikultural merupakan pendekatan progresif untuk
mengubah pendidikan secara holistik dengan mengkritik dan memusatkan perhatian pada
kelemahan, kegagalan, dan praktek diskriminatif di dalam pendidikan. Keadilan sosial,
persamaan pendidikan, dan dedikasi melandasi pemberian kemudahan pengalaman
pendidikan dalam mewujudkan semua potensinya secara penuh dan mewujudkan manusia
yang sadar dan aktif secara lokal, nasional, dan global.
B.  Problem Pendidikan Multikultural di Indonesia
Penerapan pendidikan multikultural di Indonesia masih mengalami berbagai hambatan
atau problem. Problem pendidikan multikultural di Indonesia memiliki keunikan yang tidak
sama dengan problem yang dihadapi oleh negara lain. Keunikan faktor-faktor geografis,
demografi, sejarah dan kemajuan sosial ekonomi dapat menjadi pemicu munculnya problem
pendidikan multikultural di Indonesia. Problem pendidikan multikultural di Indonesia secara
garis besar dapat dipetakan menjadi dua hal, yaitu : problem kemasyarakatan pendidikan
multikultural dan problem pembelajaran pendidikan multikultural.
C. Problem Kemasyarakatan Pendidikan Multikultural Di Indonesia
Dalam studi sosial, ajakan agar selalu hidup berdampingan secara damai (koeksistensi
damai) ini merupakan bentuk sosialisasi nilai yang terkandung dalam multikulturalisme.
Kesadaran akan pentingnya kemajemukan mulai muncul seiring gagalnya upaya nasionalisme
negara, yang dikritik karena dianggap menekankan kesatuan daripada keragaman. Bertolak

10
dari kenyataan ini, kini dirasakan semakin perlunya kebijakan multikultural yang memihak
keragaman. Tetapi, dalam implementasinya pendidikan multikultural berhadapan dengan
beragam problem di masyarakat, yang menghambat penerapan pendidikan multikultural di
dalam ranah pendidikan. Problem-problem tersebut antara lain :
a. Keragaman identitas budaya daerah
Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya
daerah memang memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk
membangun Indonesia yang multikultural. Namun kondisi neka-budaya itu sangat
berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecembururuan
sosial. Masalah ini muncul jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya
komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok budaya lain justru dapat menjadi
konflik dan menghambat proses pendidikan multikultural. Dalam mengantisipasi hal ini,
keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan tumbuh
sewajarnya. Selanjutnya diperlukan suatu manajemen konflik agar potensi konflik dapat
terkoreksi secara dini untuk ditempuh langkah-langkah pemecahannya, termasuk di
dalamnya melalui pendidikan multikultural. Dengan adanya pendidikan multikultural itu
diharapkan masing-masing warga daerah tertentu bisa saling mengenal, memahami,
menghayati dan bisa saling berkomunikasi.
b. Pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah
Sejak dilanda arus reformasi dan demokratisasi, Indonesia dihadapkan para
beragam tantangan baru yang sangat kompleks. Salah satu di antaranya yang paling
menonjol adalah persoalan budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuatan
dari pusat ke daerah membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan
keragamannya. Bila pada masa Orba, kebijakan yang terkait dengan kebudayaan masih
tersentralisasi, maka kini tidak lagi. Kebudayaan, sebagai sebuah kekayaan bangsa, tidak
dapat lagi diatur oleh kebijakan pusat, melainkan dikembangkan dalam konteks budaya
lokal masing-masing. Ketika sesuatu bersentuhan dengan kekuasaan maka berbagai hal
dapat dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaan itu,
termasuk di dalamnya isu kedaerahan. Konsep “putra daerah” untuk menduduki pos-pos
penting dalam pemerintahan sekalipun memang merupakan tuntutan yang demi
pemerataan kemampuan namun tidak perlu diungkapkan menjadi sebuah ideologi.

11
Tampilnya putra daerah dalam pos-pos penting memang diperlukan agar agar putra-putra
daerah itu ikut memikirkan dan berpartisipasi aktif dalam membangun daerahnya.
Harapannya tentu adalah asas kesetaraan dan persamaan. Namun bila isu ini terus
dihembuskan justru akan membuat orang terkotak oleh isu kedaerahan yang sempit. Oleh
karena itu, pendidikan multikultural merupakan sesuatu yang urgen untuk mengurai
pandangan-pandangan yang sempit mengenai isu kedaerahan sehingga timbul toleransi
dan harmonisasi.
c. Kurang kokohnya nasionalisme
Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan
(integrating force) seluruh pluraritas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa, kepribadian nasional dan ideologi negara berfungsi sebagai integrating force.
Saat ini Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu
kedaerahan semakin semarak. Persepsi sederhana dan keliru banyak dilakukan orang
dengan menyamakan antara Pancasila dengan ideologi Orde Baru yang harus
ditinggalkan. Tidak semua hal yang ada pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya tidak
semuanya baik. Ada hal-hal yang perlu dikembangkan. Nasionalisme perlu ditegakkan
namun dengan cara-cara yang edukatif, persusif dan manusiawi bukan dengan
pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peraran Pancasila yang kokoh untuk
menyatukan kedaerahan ini. Kita sangat membutuhkan semangat nasionalisme yang
kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu yag dapat memecah persatuan dan
kesatuan bangsa. Oleh karena itu pendidikan multikultural dapat menjadi jalan untuk
memperkokoh nasionalisme dalam koridor keragaman bangsa yang majemuk ini.
d. Fanatisme sempit
Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang salah adalah
fanatisme sempit, yang menganggap bahwa kelompoknya yang paling benar, paling baik
dan kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan
korban ini banyak terjadi di masyarakat. Gejala bonek (bondo nekat) di kalangan
supporter sepak bola nampak menggejala di tanah air. Kecintaan pada klub sepak bola
daerah memang baik, tetapi kecintaan yang berlebihan terhadap kelompoknya dan
memusuhi kelompok lain secara membabi buta maka hal ini tidak sehat. Apalagi bila
fanatisme ini berbaur dengan isu agama (misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi

12
Tengah) maka akan dapat menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa. Di sini
pendidikan multikultural memiliki peran yang penting sebagai wahana peredam
fanatisme sempit. Karena di dalam pendidikan multikultural terkandung ajaran untuk
menghargai seseorang atau kelompok lain walaupun berbeda suku, agama, rasa atau
golongan.
e. Konflik kesatuan nasional dan multikultural
Ada tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan
multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi
pada stabilitas nasional. Namun dalam penerapannya, bangsa Indonesia pernah
mengalami konsep stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-
kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dapat menjadi
contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan dan
pengerahan kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan perasaan antipasti terhadap
kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi integrasi bangsa.
Di sisi multikultural, kita melihat adanya upaya yang ingin memisahkan diri dari
kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang berbeda dengan pemerintah
pusat yang ada di Jawa ini. Contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka)
di Papua. Oleh karena itu pendidikan multikultural diharapkan dapat menjembatani
berbagai perbedaan ini agar tidak terjadi benturan antara kesatuan nasional dan
multikultural.  
f. Kesejahteraan ekonomi yang tidak merata di antara kelompok budaya
Kejadian yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa tahun yang lalu
setelah diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga
pendatang memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi
beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh
persoalan kesejahteraan ekonomi. Orang akan dengan mudah terintimidasi untuk
melakukan tindakan yang anarkis ketika himpitan ekonomi mendera mereka. Mereka
akan menumpahkan kekesalan mereka pada kelompok-kelompok mapan dan dianggap
menikmati kekayaan yang dia tidak mampu meraihnya. Jadi, adanya tekanan ekonomi
memaksa orang untuk bertindak destruktif. Berangkat dari hal ini, pendidikan
multikultural diharapkan dapat mendidik seseorang untuk berperilaku menurut aturan

13
yang berlaku. Selain itu, pendidikan multikultural diharapkan dapat mengajarkan
perbedaan-perbedaan yang dijumpai di masyarakat karena di masyarakat terdiri dari
beragam lapisan, seperti si kaya dan si miskin atau golongan borjuis dan proletar. Untuk
itu pendidikan multikultural perlu diajarkan untuk saling menghormati dan menghargai
satu sama lain, tidak peduli dari lapisan mana seseorang itu berasal.
D.Problem Pembelajaran Pendidikan Multikultural di Indonesia
Pendidikan multikultural yang akhir-akhir ini sedang hangat dibicarakan ternyata
tidak terlepas dari berbagai problem yang menghambatnya. Selain problem
kemasyarakatan, pendidikan multikultural juga tidak lepas dari problem dalam proses
pembelajarannya. Dalam kerangka strategi pembelajaran, pembelajaran berbasis budaya
dapat mendorong terjadinya proses imajinatif, metaforik, berpikir kreatif, dan sadar
budaya. Namun demikian, penggunaan budaya lokal (etnis) dalam pembelajaran berbasis
budaya tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang terdapat dalam setiap komponen
pembelajaran, sejak persiapan awal dan implementasinya.
 Beberapa permasalahan awal pembelajaran berbasis budaya (multikultural) pada tahap
persiapan awal, antara lain :Guru kurang mengenal budayanya sendiri, budaya lokal
maupun budaya peserta didik.
 Guru kurang menguasai garis besar struktur dan budaya etnis peserta didiknya, terutama
dalam konteks mata pelajaran yang akan diajarkannya.
 Rendahnya kemampuan guru dalam mempersiapkan peralatan yang dapat merangsang
minat, ingatan, dan pengenalan kembali peserta didik terhadap khasanah budaya masing-
masing dalam konteks budaya masing-masing serta dalam dimensi pengalaman belajar
yang diperoleh.
Pada kenyataannya berbagai dimensi dari keberagaman budaya Indonesia dapat
menimbulkan masalah dalam proses pembelajaran, terutama dalam kelas yang budaya
etnis peserta didiknya sangat beragam, antara lain :
a. Masalah seleksi dan integrasi isi (content selection and integration) mata pelajaran
Implementasi pendidikan mutikultural dapat terhambat oleh problem seleksi dan
integrasi isi mata pelajaran yang akan diajarkan. Masalah yang muncul dapat berupa
ketidakmampuan guru memilih aspek dan unsur budaya yang relevan dengan isi dan
topik mata pelajaran. Selain itu masih banyak guru yang belum dapat mengintegrasikan

14
budaya lokal dalam mata pelajaran yang diajarkan, sehingga pembelajaran menjadi
kurang bermakna bagi peserta didik.
Untuk mengatasi problem di atas, guru harus memiliki pengetahuan budaya yang
memadai. selain itu diperlukan sikap dan keterampilan yang bijaksana dalam memilih
metode atau materi pelajaran yang mengandung sensivitas budaya, misalnya materi
tentang perbedaan etnis atau agama. Guru juga dapat memberikan sentuhan warisan
budaya sehingga dapat memotivasi peserta didik mendalami akar budayanya sendiri dan
akan menghasilkan pembelajaran yang kuat bagi peserta didik. Guru juga dapat
menggunakan teknik belajar kooperatif dan kerja kelompok untuk meningkatkan
integrasi ras dan etnis di sekolah dan di kelas.
b. Masalah “proses mengkonstrusikan pengetahuan” (the knowledge construction process)
Selain masalah seleksi dan integrasi isi mata pelajaran, masalah proses
mengkonstruksi sebuah pengetahuan dapat menjadi problem bagi pendidikan
mutikultural. Jika peserta didik terdiri dari berbagai budaya, etnis, agama, dan golongan
dapat memunculkan kesulitan tersendiri untuk menyusun sebuah bangunan pengetahuan
yang berlandaskan atas dasar perbedaan dan keragaman budaya. Seringkali muncul
kesulitan dalam menentukan aspek budaya mana yang dapat dipilih untuk membantu
peserta didik memahami konsep kunci secara tepat. Selain itu, guru juga masih banyak
yang belum dapat menggunakan frame of referencedari budaya tertentu dan
mengembangkannya dari perspektif ilmiah. Hal ini terkait kurangnya pengetahuan dari
guru tentang keragaman budaya. Problem lain yang dapat muncul adalah munculnya bias
dalam mengembangkan perspektif multikultur untuk mengkonstruksi pengetahuan.
Kekhawatiran yang muncul adalah munculnya diskriminasi dalam pemberian materi
pelajaran sehingga hanya memunculkan satu kelompok atau golongan tertentu yang
menjadi pokok bahasan pembelajaran.
c. Masalah mengurangi prasangka (prejudice reduction)
Salah satu masalah lain yang muncul dalam pembelajaran mutikultural adalah
adanya prasangka dari peserta didik terhadap guru bahwa guru tertentu cenderung
mengutamakan unsur budaya kelompok tertentu. Selain itu, guru belum dapat
mengusahakan kerjasama (cooperation) dan pengertian bahwa strategi pemakaian budaya
tertentu bukan merupakan kompetisi, tetapi sebuah kebersamaan. Oleh karena itu guru

15
harus mengusahakan bagaimana agar peserta didik yang belum mengenal budaya yang
dijadikan media pembelajaran menjadi tidak berprasangka  bahwa guru cenderung
mengutamakan budaya tertentu. Contoh, jika guru memilih Bagong (tokoh wayang di
Jawa Tengah) untuk pembelajaran, maka guru harus menjelaskan siapa Bagong dan
mampu mengidentifikasi tokoh serupa seperti Cepot (Jawa Barat), Sangut (Bali), Dawala
dan Bawok (pesisir utara Jawa).
Dengan mengambil contoh yang sepadan, guru dapat menghindari prasangka
bahwa dia mengutamakan unsur budaya tertentu. Situasi tersebut mendorong
kebersamaan antar peserta didik dan saling memperkaya unsur budaya masing-masing.
d. Masalah kesetaraan paedagogi (equity paedagogy)
Masalah ini muncul apabila guru terlalu banyak memakai budaya etnis atau
kelompok tertentu dan (secara tidak sadar) menafikan budaya kelompok lain. Untuk
mempersiapkan atau memilih unsur budaya membutuhkan waktu, tenaga dan referensi
dari berbagai sumber dan pustaka sehingga guru dapat melaksanakan kesetaraan
paedagogi. Guru harus memiliki “khasanah budaya” mengenai berbagai unsur budaya
dalam tema tertentu. Misalnya jika menerangkan tentang kesenian teater, guru dapat
menyebutkan dan mengidentifikasi beragam kesenian dari berbagai daerah seperti
Ludruk (Jawa Timur), Wayang Wong (Jawa Tengah), Lenong (Betawi), dan Ketoprak
(Yogyakarta). Konklusinya, penerapan pendidikan mutikultural di Indonesia masih
mengalami berbagai problem atau masalah, yang dapat diidentifikasi menjadi dua
problem utama yaitu problem kemasyarakatan dan problem pembelajaran pendidikan
mutikultural.

16
DAFTAR PUSTAKA

Banks, James. A. 1993. Multicultural Education: Issues and Perspective. Needham Heights,


Massachusetts: Allyn and Bacon.
Gorski, Paul. 2001. Six Critical Paradigm Shiifd For Multicultural Education and The Question
We Should Be Asking, http/www. Edchange.org/multicultural, diakses tanggal 1 Juli
2011.
Koentjaraningrat. 2000. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Rahmat, Pupu Saeful. 2008. Wacana Pendidikan  Multikultural  di 
Indonesia. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/04/wacana-pendidikan-
multikultural-di-indonesia, diakses tanggal 1 Juli 2011.
Sutarno. 2007. Pendidikan Multikultural. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
Tilaar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme : Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi
Pendidikan Nasional. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

17

Anda mungkin juga menyukai