Anda di halaman 1dari 15

POLITIK DALAM GEREJA KATOLIK

Disusun oleh:
Nama: Adrianus Arief Prasetyo
NIM: 41618320024

Mata Kuliah: Pendidikan Agama Katolik

FAKULTAS TEKNIK INDUSTRI


UNIVERSITAS MERCU BUANA 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-
Nya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan tugas ini untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Agama Katolik.
Dengan tersusunnya tugas ini saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada Pak Sys selaku guru pembimbing dari Sekolah Bunda Hati Kudus Cibubur dan
perwakilan Gereja Maria Bunda Segala Bangsa untuk penilaian tugas mata kuliah Pendidikan Agama
Katolik di Universitas Mercu Buana.
Saya sadar, sebagai seorang pelajar yang masih dalam proses pembelajaran penulisan tugas
ini masih banyak kekurangannya.Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan adanya kritik dan saran
yang bersifat positif, guna penulisan tugas yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.Harapan
saya, semoga makalah yang sederhana ini, dapat memberi kan manfaat bagi kita semua.

Bogor, 10 Juni 2019

Adrianus Arief Prasetyo

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................................ ii

PENDAHULUAN..................................................................................................................... 1

PEMBAHASAN ...................................................................................................................... 2

1. PRINSIP DASAR AJARAN GEREJA KATOLIK MENGENAI RELASI ANTARA NEGARA

DAN GEREJA.................................................................................................................... 4

1.1 PENTINGNYA PEMBEDAAN-PEMBEDAAN................................................................. 4

2. VISI DAN MISI GEREJA KATOLIK ........................................................................................ 5

3. PERANAN GEREJA KATOLIK DALAM POLITIK ..................................................................... 6

3.1. PANGGILAN GEREJA (ORANG MUDA KATOLIK) DALAM PANGGUNG POLITIK ........... 7

3.2 BERPOLITIK SEBAGAI ORANG BERIMAN ................................................................... 8

3.3 BERPOLITIK DALAM KONTEKS INDONESIA ............................................................... 8

3.4 PILIHAN POLITIK ...................................................................................................... 9

4. PANDANGAN GEREJA TERHADAP ALIRAN POLITIK ............................................................ 9

4.1 LIBERALISME ........................................................................................................... 9

4.2 SOSIALISME ............................................................................................................ 9

4.3 KOMUNISME......................................................................................................... 10

KESIMPULAN ...................................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 12

ii
PENDAHULUAN

Tugas ini merupakan paper penulis yang di ajukan kepada Universitas Mercu buana
untuk memenuhi persyaratan memperoleh nilai akhir semester satu untuk mata kuliah
pendidikan agama katolik, yang berjudul Politik dalam Gereja Katolik.
Manusia dan agama merupakan pasangan yang senantiasa mewarnai kehidupan.
Tidak ada manusia yang tidak beragama. Agama merupakan bagian kehidupan manusia.
Corak dan warna kehidupan seseorang akan dipengaruhi oleh agamanya. Kenyataan ini
menjadikan manusia disebut “homo religius‟. Pada saat agama mempengaruhi kehidupan
seseorang, di saat yang sama corak pemikiran dan pemahaman keagamaan seseorang akan
pula berimplikasi terhadap kehidupannya. Dalam perkembangannya, yang kemudian ikut
membentuk sikap dan perilaku seseorang, adalah corak dan pemahaman keagamaan.
Politik, sebagai bagian dari perilaku manusia, adalah di antara bagian yang terkena
konsekuensinya. Corak pemikiran dan pemahaman keagamaan seseorang dalam batas
tertentu mempengaruhi perilaku politiknya. Signifikansi corak pemikiran dan pemahaman
keagamaan terlihat antara lain dalam afiliasi dan saluran politik seseorang. Agama diakui
telah memperjelas nilai-nilai dan norma-norma kehidupan daripada aspek apapun dalam
masyarakat. Artinya bahwa agama merupakan salah satu di antara sumber nilai yang
penting, yang menunjang budaya politik masyarakat.
Tulisan ini akan mencoba menelusuri keterkaitan agama Katolik dan perilaku politik
di dunia ini.

1
PEMBAHASAN

POLITIK DALAM AGAMA KATOLIK

1. PRINSIP DASAR AJARAN GEREJA KATOLIK MENGENAI RELASI ANTARA NEGARA DAN
GEREJA

Hubungan antara Negara dan Gereja Katolik dirumuskan dalam salah satu
dokumen hasil sidang akbar (konsili) para uskup sedunia yang dipimpin paus di Vatikan
tahun 1962-1965. Konsili ini disebut Konsili Vatikan ke-II. Adapun dokumen yang di
dalamnya dirumuskan hubungan Negara dan Gereja itu berjudul “Gaudium et Spes”
(“Kegembiraan dan Harapan”). Dokumen ini sering disingkat dengan GS. Dokumen ini
merupakan konsistusi (ajaran resmi) yang bersifat pastoral mengenai Gereja dalam dunia
dewasa ini. Dokumen ini disahkan oleh bapa suci Paus Paulus VI pada tanggal 7 Desember
1965. Secara khusus, hubungan antara Negara dan Gereja dirumuskan dalam GS artikel
nomer 76 (judul “Negara dan Gereja”). Isi lengkapnya sebagai berikut: “Terutama dalam
masyarakat yang bersifat majemuk, sangat pentinglah bahwa orang-orang mempunyai
pandangan yang tepat tentang hubungan antara negara dan Gereja, dan bahwa ada
pembedaan yang jelas antara apa yang dijalankan oleh umat Kristen, entah sebagai
perorangan entah secara kolektif, atas nama mereka sendiri selaku warganegara di bawah
bimbingan suara hati Kristiani, dan di pihak lain apa yang mereka jalankan atas nama
Gereja bersama para gembala mereka. Berdasarkan tugas maupun wewenangnya Gereja
sama sekali tidak dapat dicampuradukkan dengan negara, dan tidak terikat pada sitem
politik manapun juga. Sekaligus Gereja itu menjadi tanda dalam perlindungan transendesi
pribadi manusia.

Di bidang masing-masing Negara dan Gereja bersifat otonom tidak saling


tergantung. Tetapi keduanya, kendati atas dasar yang berbeda, melayani panggilan pribadi
dan sosial orang-orang yang sama. Pelaksanaan itu akan semakin efektif dijalankan oleh
keduanya demi kesejahteraan umum, jika semakin baik keduanya menjalin kerja sama yang
sehat. Gereja, yang bertumpu pada cinta kasih Sang Penebus, menyumbangkan bantuannya,
supaya di dalam kawasan bangsa sendiri dan antara bangsa-bangsa makin memperluas

2
keadilan dan cinta kasih. Dengan mewartakan kebenaran Injil, dan dengan menyinari semua
bidang manusiawi melalui ajaran-Nya dan melalui kesaksian umat Kristen, Gereja juga
menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warga
negara.

Para Rasul dan para pengganti mereka beserta rekan-rekan sekerja mereka
diutus untuk mewartakan Kristus Penebus dunia kepada masyarakat. Dalam menjalankan
kerasulan mereka mengandalkan kekuasaan Allah, yang sering sekali justru dalam
kelemahan para saksi menampilkan kekuatan Injil. Sebab barang siapa membaktikan diri
kepada pelayan sabda Allah, harus menggunakan cara-cara serta bantuan-bantuan yang
khas bagi Injil, yang dalam banyak hal berlainan dengan sumber daya masyarakat duniawi.

Hal-hal duniawi dan perkara-perkara, yang dalam kondisi hidup manusia


melampaui dunia ini, berhubungan erat sekali dan Gereja memanfaatkan hal-hal duniawi
sejauh dibutuhkan oleh perutusannya. Tetapi Gereja tidak menaruh harapannya atas hak-
hak istimewa yang ditawarkan oleh pemerintah. Bahkan akan melepaskan penggunaan hak-
hak tertentu yang diperolehnya secara sah, bila karena penggunaan ketulusan
kesaksiaannya ternyata disangsikan, atau bila kondisi-kondisi kehidupan yang baru
memerlukan pengaturan yang baru. Tetapi selalu dan di mana-mana hendaknya ia
diperbolehkan dengan kebebasan yang sejati mewartakan iman, menyampaikan ajaran
sosialnya, menunaikan tugasnya dalam masyarakat tanpa di halang-halangi dan
menyampaikan penilaian morilnya, juga tentang hal-hal yang menyangkut tata politik, bila
itu di tuntut oleh hak-hak asasi manusia atau oleh keselamatan jiwa-jiwa, dengan
menggunakan semua dan hanya bantuan-bantuan yang sesuai dengan Injil serta
kesejahteraan-kesejahteraan semua orang, menanggapi zaman maupun situasi yang
berbeda-beda.

Sementara Gereja dengan setia berpaut pada Injil, dan menunaikan


perutusannya di dunia, Gereja, yang dipanggil untuk memelihara serta memupuk apapun
yang serba besar, baik dan indah dalam masyarakat manusia, memantapkan perdamaian
diantara manusia demi kemuliaan Allah.

3
1.1 PENTINGNYA PEMBEDAAN-PEMBEDAAN

Perlu ditegaskan bahwa Gereja bukan berasal dari dunia ini karena Gereja
merupakan istitusi iman. asal dan tujuan Gereja adalah allah sendiri. Tujuannya melampaui
apa yang ada di dunia ini. Sedangkan negara, adalah urusan duniawi. Urusan negara adalah
urusan politik. Apa pun ideologi dan sistem ekonomi suatu negara, harus mempedulikan
martabat, kebebasan, hati nurani, dan keagamaan. Inilah yang menjadi perjuangan Gereja.
Menurut Konsili Vatikan II, politik itu baik. Gereja tidak mau mengurusi politik praktis, meski
ada pemisahan tapi ada satu masyarakat saja. Gereja melihat itu dari perspektif iman dan
moral.

Perlu dibedakan antara politik dalam arti umum dan dalam arti praktis. Dalam
arti umum, politik menjamin kepentingan bersama sebagai suatu masyarakat dan dalam arti
praktis, politik mengacu pada otoritas negara dan jabatan-jabatan publik dalam negara.
Setiap warga negara adalah warga Gereja. Karena itu, setiap warga Negara memiliki hak-hak
sipil. Baik umat Katolik, maupun hierarki diperkenankan untuk mengurusi politik secara
umum. Misalnya, umat Katolik memiliki hak untuk berdemonstrasi demi kepentingan
umum, partisipasi dalam pemilihan umum dan lain-lain. Akan tetapi, hanya warga Gereja
yang adalah kaum awam yang boleh terlibat dalam politik praktis. Jadi, pada poin pertama,
Gereja mengakui otonomi politik, tetapi Gereja pun mengutus kaum awam untuk masuk
dan terlibat dalam politik praktis.

Tidak ada politik tanpa otoritas dan kekuasaan. berbicara tentang politik berarti
berbicara tentang kekuasaan. Dalam perspektif politik, otoritas dan kekuasaan itu tidak
untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu tetapi selalu demi kepentingan publik.
Dengan kata lain, dalam kenteks politik, otoritas dan kekuasaan itu demi dan bagi rakyat.
Gereja melihat bahwa otoritas dan kekuasaan diberikan oleh Tuhan melalui negara dan
harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Dan karena itu, penggunaan otoritas dan
kekuasaan politik harus disertai dengan moral politik. Dan inti dari moral politik adalah
martabat dan kebebasan manusia. Dari poin inilah seringkali “korupsi” politik dilakukan,
yaitu kekuasaan politik untuk kepentingan pribadi.

4
Partisipasi politik menyangkut kegiatan kita sebagai warga negara untuk ikut
mempengaruhi kebijakan umum (memberi masukan bagi proses-proses pengambilan
kebijakan dll.). Partisipasi ini bisa melalui berbagai cara: Parpol, WKRI, Pemuda Katolik, LSM,
dan pribadi: surat pembaca). Lawan dari partisipasi politik adalah “apolitik,” yaitu sikap diam
dan acuh tak acuh terhadap politik. Sikap apolitik juga berarti mengabaikan hak-hak politik;
tidak mau ikut PEMILU, juga tidak mau bekerja bakti dalam masyarakat dll.

2. VISI DAN MISI GEREJA KATOLIK

Gereja Katolik tetap melihat politik sebagai sesuatu yang pada hakekatnya
adalah baik, mutlak perlu bagi manusia, berpijak pada kemanusiaan untuk kebaikan umum
(bonum commune). Maka menghadapi kenyataan politik yang tidak sesuai dengan
hakekatnya, Gereja Katolik mengajak semua pihak untuk kembali kepada visi dan misi politik
yang sebenarnya. Untuk itu Gereja Katolik memperjuangkan pembaharuan politik dengan
menekankan :

1. Perubahan politik citra dan politik uang menjadi politik kompetensi dan pengabdian.
2. Perubahan politik sektarian dan premordialis menjadi politik yang terbuka dan
pluralistik.
3. Perubahan dari “politik top down” menjadi “politik bottom up”.
4. Perubahan dari politik struktural authoritatif menjadi politik konstitusional
fungsional dan demokratis.

Sementara itu terdapat nilai-nilai yang mewarnai cara berpolitik bagi umat Katolik yaitu:

1. Inklusif (non diskriminatif)


2. Prefential option for the poor
3. Hak Asasi Manusia
4. Solidaritas dan subsidiaritas
5. Bonum publicum/ Bonum commune

5
Nilai-nilai tersebut merupakan dasar visi politik umat Katolik yaitu membangun suatu
tatanan politik yang adil, beradab dan mengabdi pada kepentingan umum terutama
kelompok masyarakat yang dirugikan.

Dekrit Konsili Vatikan II yang berbicara tentang kaum awam dan


kerasulannya Apostolicam Actuositatem, 9 menegaskan pentingnya kerasulan kaum awam
dalam tata dunia: “Kaum awam menunaikan kerasulan mereka yang bermacam-ragam
dalam Gereja maupun masyarakat. Dalam kedua tatanan hidup itu terbukalah pelbagai
bidang kegiatan merasul.” Firman Tuhan dari Kis. 2:1-40 memberikan inspirasi kepada umat
Katolik untuk bergerak keluar dari persembunyian mereka dan berani mewartakan kabar
baik kepada semua bangsa.

Demikian juga dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dunia dewasa


ini, Gaudium et Spes, 52, menegaskan bahwa tanggung jawab semua umat beriman dalam
urusan kesejahteraan umum, keamanan politik, ekonomi, kebudayaan dan hidup
berkeluarga, baik dalam menanggung beban keluarga, maupun dalam mendidik anak
menuju ke kesempurnaan.

3. PERANAN GEREJA KATOLIK DALAM POLITIK

Untuk mewujudkan visi dan misi Gereja Katolik dalam politik, setiap anggota
Gereja perlu berperan aktif sebagai “garam dan terang dunia”, sesuai tugas tanggung
jawab, situasi dan kemampuannya masing-masing, serta sesuai aturan yang berlaku. Dalam
hal ini semua anggota Gereja Katolik dikelompokkan dalam tiga komponen, yaitu: kaum
klerus, biarawan-biarawati dan kaum awam. Semua komponen dapat dan perlu memainkan
peranannya sesuai hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat/ negara dan serentak
warga Gereja. Selain itu secara khusus kaum klerus serta biarawan dan biarawati berperan
secara formatif dan tak langsung, sebagai pembina, pengawal dan pengontrol, sedangkan
kaum awam berperan secara praktis dan langsung, sebagai politisi, pemimpin eksekutif dan
birokrat.

Gereja Katolik sendiri senantiasa menyebutkan bahwa dirinya bukan suatu


institusi politik, walau peran dan kehadirannya memiliki muatan politis. Oleh karenanya

6
Gereja tidak memiliki suatu program politik tertentu. Tataran hidup Gereja ada dalam
bidang iman dan moral. Keduanya memiliki dimensi politis, dan konsekuensi politis pula.
Namun politik yang dimaksudkan bukanlah politik kekuasaan, bidang kawasan yang dilibati
oleh para politisi Katolik tersebut. Kalaupun Gereja memberikan suatu pernyataan yang
memiliki dimensi politis, lingkupnya ada dalam kawasan moral. Para politisi Katolik memang
memiliki kewajiban moral untuk mendengarkan dan menjalankannya, namun itu tidak
berarti bahwa Gereja melakukan intervensi ke dalam kebebasan dan otonomi moral pribadi
mereka.

Kebebasan untuk menentukan pilihan sendiri dan berpendapat diakui oleh


Gereja. Namun sebagai Pengajar iman dan moral, Gereja berkepentingan untuk
mengingatkan bahwa kebebasan tidak berarti boleh mengabaikan tuntutan untuk
mempertahankan dan memperjuangkan nilai-nilai fundamental moralitas. Nilai-nilai moral
dasar yang diajarkan Gereja tersebut tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai dasar hak
asasi manusia. Nilai-nilai tersebut ditanamkan Tuhan dalam hati setiap pribadi manusia.
Oleh karena itu, ajakan untuk mempertahankan nilai-nilai moral, sebenarnya tidak lain
berarti ajakan untuk setia dan peka mendengarkan suara hati.

3.1 PANGGILAN GEREJA (ORANG MUDA KATOLIK) DALAM PANGGUNG POLITIK

Dalam politik praktis warga gereja (OMK) bebas memilih sesuai dengan hati
nurani mereka masing-masing. Meskipun demikian tidaklah bebas semau-maunya tanpa ada
rambu moral, etika bahkan sopan santun yang diinspirasi oleh nilai nilai ajaran Katolik.
Dalam berpolitik, hendaknya berpedoman kepada (Mgr.Albertus Soegijapranata):

1. In Principiis Unitas:Dalam soal prinsip:persatuan


2. In Dubiis Libertas:Dalam hal-hal yang masih terbuka:kebebasan
3. In Omnibus Caritas:Dalam segala hal:kasih
Bagi kita orang muda Katolik atau umat Katolik pada umumnya, usaha kita
terlibat dalam politik praktis bukanlah sebagai sarana atau kendaraan untuk melebarkan
sayap gereja. Ekspansionisme dan Proselitisme (mencari kawan sebanyak-banyaknya) sudah
bukan waktunya. Tugas utama kita adalah ikut menyumbangkan jasa agar Indonesia
semakin menjadi negara dan masyarakat yang lebih baik.

7
3.2 BERPOLITIK SEBAGAI ORANG BERIMAN

Tujuan sebuah negara ialah mewujudkan kesejateraan umum. Tujuan ini juga
yang diemban oleh para politisi. Kesejahteraan umum di sini mencakup keseluruhan kondisi-
kondisi kehidupan sosial yang memungkinkan orang-orang, keluarga-keluarga dan
perhimpunan-perhimpunan mencapai kesempurnaan mereka secara lebih penuh dan
mudah. Dalam sebuah negara, pencapaian ini ada dalam tangan para penguasa, karena dari
merekalah mucul semua kebijakan politik.

Jika seorang politisi sungguh-sungguh menghayati imannya, maka segala


tanggung jawab politiknya, akan selalu berorientasi pada kepentingan umum. Berpolitik
sebagai seorang beriman Katolik dengan demikian ialah berpolitik yang menyatakan
tanggung jawab politik dengan nilai-nilai iman Kristiani. Ia selalu melihat tugas yang
diterimanya sebagai bentuk ungkapan imannya. Dalam hal ini hukum cinta kasih yang
diajarkan Yesus, menjadi pedoman hidupnya. Di tengah banyak penyalagunaan kekuasaan,
masalah ketidakadilan, kemiskinan, kolusi, nepotisme, ia tetap berpegang pada imannya dan
senantiasa berpolitik dengan bijak.

3.3 BERPOLITIK DALAM KONTEKS INDONESIA

Situasi politik di Indonesia menantang para politisi Katolik. Hal ini tidak terlepas
dari kenyataan bahwa Umat Katolik juga mengambil bagian dalam kehidupan berbangsa dan
berbegara. Keterlibatan para politisi Katolik secara tidak langsung mewakili gereja Katolik.
Maksudnya, mereka membawa serta dalam tugas mereka apa yang diajarkan Gereja.

Salah satu kesadaran yang mesti dimiliki politisi Katolik Indonesia ialah
bahwa aktivitas politik adalah sebuah panggilan. Panggilan itu harus diemban dan
dipertanggungjawabkan dengan baik. Penghayatan iman juga hendaknya tercermin dalam
keberanian membela kaum miskin, lemah, mereka yang mengalami ketidakadilan,
terpinggirkan dan yang tidak diperhitungkan dalam masyarakat. Maka peran hati nurani
sangat besar. Dengan hati nurani para politisi mampu merasakan penderitaan dan
kebutuhan rakyat. Mengandalkan hati nurani berarti mengandalkan Tuhan sendiri.

8
3.4 PILIHAN POLITIK

Gereja mengakui panggilan untuk terlibat dalam kehidupan politik. Politik


merupakan bidang pelayanan Injil/ kabar gembira. Karena itu, umat Katolik perlu didorong
untuk terlibat dalam politik praktis. Dengan kata lain, politik merupakan hak dan tanggung
jawab dan panggilan gereja. Dengan demikian, harus ada partisipasi umat Katolik di dalam
dunia politik. Keterlibatan politik terwujud dalam tindakan profetis atau tindakan
menyuarakan nilai-nilai Injil. Gereja Katolik menghargai kebebasan untuk terlibat dalam
politik praktis, namun perlu kecerdasan dalam membuat pilihan politik agar pilihan itu dapat
dipertanggungjawabkan.

4. PANDANGAN GEREJA TERHADAP ALIRAN POLITIK

Berikut ini adalah pandangan-pandangan Gereja Katolik terhadap paham politik


dunia.

4.1 LIBERALISME

Liberalisme adalah konsepsi naturalitis sedemikian hingga mengingkari pula


setiap hubungan antara kegiatan ekonomi dan kesusilaan. Satu-satunya dorongan untuk
ekonomi ialah keuntungan perseorangan. Peraturan tertinggi ialah persaingan bebas tanpa
batas. Bunga modal, harga barang dan jasa, keuntungan dan upah ditentukan oleh hukum
pasar. Negara harus menjauhkan diri dari semua campur tangan dalam bidang ekonomi.
Serikat-serikat buruh dilarang atau hanya sebagai urusan pribadi. “Dengan demikian
timbullah suatu tertib ekonomi yang kacau balau.” (Mater et Magistra, hal.6-7)

4.2 SOSIALISME

Paus XI menjelaskan bahwa orang-orang katolik tidak diperkenankan menjadi


pendukung sosialisme yang moderat, sebab konsepsi hidup sosialis dibatasi oleh waktu
dengan menempatkan tujuan tertinggi hanya dalam kesejahteraan masyarakat, struktur
bentuk sosial yang diarahkan kepada produksi melulu sehingga mengakibatkan kerugian
yang besar bagi kemerdekaan manusia dan karenanya tidak memiliki prinsip kewibawaan
sosial yang sejati. (Mater et Magistra, hal.10)

9
4.3 KOMUNISME

Paus XI menandaskan bahwa pertentangan antara komunisme dan agama


kristen adalah azasi sifatnya (fundamental, a matter of principle). (Mater et Magistra,
hal.10)

10
KESIMPULAN

Menurut ajaran resmi Gereja Katolik, Negara memiliki otonomi, Gereja juga
memiliki otonomi. Keduanya berbeda, punya ciri khas masing-masing, saling menghormati
wilayah kewenangan masing-masing, namun keduanya bisa dan seharusnya bekerja sama
melayani masyarakat manusia demi kesejahteraan masyarakat manusia itu.

Yang harus kita kerjakan sebagai warga Gereja dan warga negara yang baik
adalah kita perlu membuka diri dan berbuat sesuatu untuk kepentingan umum dengan
berlaku sebagai orang katolik sejati dalam Gereja dan melayani negara. Maka tradisi Katolik
dari Mgr.Soegijopranoto perlu mendapatkan perhatian yakni Pro Ecclesia et Patria menjadi
Per Ecclesiampro Patria: Melalui Gereja untuk negara, jadilah umat Katolik sejati, raihlah
masa depanmu sesuai dengan nilai-nilai injil dan ajaran Gereja,untuk mengabdi gereja dan
negara.

Dari pembahasan keseluruhan di tugas ini, saya sebagai kaum muda Katolik
harus berperan aktif dalam dunia politik bukan dalam hal politik kekuasaan melainkan lebih
kepada menanamkan dan menerapkan ajaran agama Katolik yang berprinsip pada cinta
kasih dan keadilan dalam menjalankan tugas dan kewajiban sebagai umat Gereja katolik dan
warga negara Indonesia.

11
DAFTAR PUSTAKA

 2018.Lesek,Yon.http://www.indonesiakoran.com/news/opini/read/78136/awam.kat
olik.andalan.gereja.dalam.politik
 2014.Philip,Alexander.https://www.kompasiana.com/alexanderphiliph/54f3a781745
513a02b6c7c50/ajaran-gereja-dalam-berpolitik-praktis
 2018.Dwi Harsanto,Yohanes.http://www.katolisitas.org/prinsip-dasar-ajaran-gereja-
katolik-mengenai-relasi-antara-negara-dan-gereja/
 2007.Bagus Kusumawanta,Gusti.http://www.mirifica.net/2007/03/08/gereja-dan-
politik/
 2013.Condios,Engga. https://www.facebook.com/notes/engga-condios/katolik-apa-
itu-politik/263170187154016/
 2009.Ulahaiyanan,Agus. https://www.facebook.com/notes/engga-condios/katolik-
apa-itu-politik/263170187154016/
 2018.Jonas, Benediktus.
https://www.kompasiana.com/benediktujonas/5c034d31bde57577d412baa4/ajaran
-gereja-katolik-tentang-politik

12

Anda mungkin juga menyukai