Pengantar
Akhir-akhir ini dinamisme atau keseharian politik di Tanah Air seringkali mengalami
kemerosotan makna. Politik menjadi reduktif. Perbincangan, perdebatan atau isu yang
digulirkan cenderung berproses ke arah pendangkalan, mengejar kepentingan segelintir orang
atau kelompok tertentu.
Realitas keseharian politik kita, menghantar orang menjadi alergi/malas tahu dengan politik.
Politik itu tidak akan mengubah hidup saya, saya buruh siapa pun pemimpinnya saya juga
tetap buruh (kata pak Niko, jln mahir Mahar). Padahal politik memainkan peran yang cukup
penting dalam mengelola kehidupan banyak orang atau negara.
Apa sebenarnya politik itu? Dan bagaimana pandangan Gereja Katolik tentang Politik?
Pengertian Politik
Kata politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis yang berarti kota yang berstatus negara (city
state). Aristoteles dan plato menganggap politik adalah suatu usaha untuk mencapai masyarakat
politik yang terbaik.
Aristoteles menyebut politik dengan zoon politikon yang kemudian terus berkembang menjadi
polites (warga negara), politeia ( hal-hal yang berhubungan dengan negara), politika
(pemerintahan negara), lalu terakhir menjadi politikos (kewarganegaraan).
Miriam Budiardjo menyampaikan bahwa politik merupakan bermacam kegiatan dalam suatu
sistem politik yang menyangkut proses menentukan tujuan dari sistem itu dan melaksanakan
tujuan-tujuan tersebut.
Perhatian Gereja.
Gereja terlibat dalam bidang politik tetapi tidak dalam arti tindakan teknis. Gereja tidak
memiliki wewenang teknis untuk memecahkan persoalan-persoalan politik. Apa yang lebih
dahulu ditandaskan oleh Bapa Suci Paus Paulus VI dan Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II
tentang Keterlibatan Sosial Gereja memiliki batas-batasnya.
Terkait dengan politik, Gereja sesungguhnya tidak berwewenang dalam urusan yang bersifat
teknis, mengingat bahwa tugas Gereja bukanlah pada bidang politik (institusi politik) dan
ekonomi (institusi ekonomi). Tugas Gereja lebih berkaitan dengan perilaku moral dan urusan
kemanusiaan.
Gereja adalah pakar perihal kemanusiaan. Gereja terpanggil sebagai pakar perihal
kemanusiaan karena yang diperjuangkan adalah martabat manusia. Segala soal sosial yang
menjerat martabat manusia, dalam terang Ajaran Sosial Gereja, diletakkan dasar-dasar
semangat kristiani sebagai pedoman dalam usaha untuk membebaskan manusia dari segala
problem sosial.
Dalam iman dan hukum moral, pelayanan terhadap keluhuran martabat manusia dan
kemajuan manusiawi yang benar adalah wujud iman akan Sang Pencipta. Sebagai wujud
iman pula, Gereja Katolik terpanggil untuk menolak apa yang berbahaya bagi kehidupan
demokrasi yakni suatu konsep pluralisme yang merefleksikan relativisme moral, di mana
tidak ada satu kebenaran yang pasti atau kebenaran sangat bergantung pada masing-masing
lembaga atau perorangan.
Gereja memiliki perhatian yang besar terhadap masalah yang mewarnai kehidupan sehari-
hari. Wujud konkrit dari perhatian gereja dapat disaksikan melalui seruan-seruan yang
diberikannya atas masalah-masalah yang terjadi di tengah dunia. Misalnya seruan terhadap
masalah sosial, ekonomi, budaya, politik dan lingkungan.
Politik menjadi salah satu yang sering kali diserukan Gereja. Dalam urusan politik, Gereja
tidak hanya berbicara tentang keterlibatan umatnya dalam politik, tetapi juga melihat
keterkaitannya dengan nilai-nilai iman kristiani.
Hal yang lebih istimewah lagi, Gereja melihat dua aspek ini dalam kaitannya dengan
kesejahteraan umum. Dalam Gaudium Et Spes 73 misalnya, disinggung hubungan antara
politik dan iman kristiani. Dikatakan di sana bahwa semua kekuasaan harus digunakan untuk
kepentingan umum bukan demi kepentingan pribadi dan partai.
Semua yang dirumuskan dalam dokumen Ajaran Sosial Gereja ini, dalam kaitannya dengan
politik, menunjukan kepada kita bahwa masalah politik berhubungan dengan berbagai aspek
kehidupan.
Dengan demikian semakin nyata bahwa politik itu sejatinya adalah persoalan untuk
mengurus kehidupan sehari-hari. Dua poin berikut ini yang kiranya ditekankan oleh gereja
terkait umatnya yang terlibat dalam dunia politik.
Gereja Katolik selalu menyebut dirinya bukan suatu institusi politik. Namun, tidak dapat
dihindari bahwa peran dan kehadiran Gereja memiliki muatan politis. Yang perlu diketahui
ialah tugas gereja dalam bidang politik ada dalam tatanan moral dan iman. Kedua bidang ini
memiliki dimensi dan muatan politis.
Namun politik yang dimaksud di sini bukan politik kekuasaan melainkan bidang moral.
Kalau gereja memberikan suatu pernyataan politis, lingkupnya ada dalam bidang moral. Hal
itu tidak berarti bahwa gereja melakukan intervensi ke dalam kebebasan dan otonomi pribadi.
Semua itu berangkat dari kesadaran akan tanggung jawab menjaga nilai-nilai moral
kemanusiaan.
Panggilan yang dimaksud Paus adalah panggilan untuk melayani sesama. Maka, para
politisi diharapkan untuk memiliki integritas diri, komitmen yang kuat, moralitas yang baik
serta penggunaan kekuasaan sungguh-sungguh untuk kepentingan dan kesejahteraan umum.
Para politisi juga harus memiliki pemahaman yang baik tentang kehidupan sosial dan politik,
agar keterlibatannya bermakna dan bermanfaat bagi umat manusia.
Lebih lanjut Yohanes Paulus II menegaskan bahwa keterlibatan para politisi tidak bisa
dilepaskan dari tanggung jawab untuk menyelenggarakan pemerintahan dan menciptakan
hukum yang adil.
Ada dua hal yang diungkapkan oleh Paus, pertama, hukum dan pemerintah hendaknya
mengabdi pada kebebasan sehingga hukum tidak mengekang, tetapi menjadikan semua orang
semakin bertumbuh.
Kedua, hukum negara sebisa mungkin didasarkan pada hukum ilahi, yang telah ditanamkan
oleh Allah dalam hati setiap manusia yakni hukum yang membebaskan manusia dari cinta
diri dan hanya melayani kelompok tertentu saja.
Dengan demikian, setiap orang perlu menyadari bahwa berpolitik itu adalah suatu yang
mulia dan luhur. Keluhurannya terletak pada aspek panggilan ini. Maksudnya, Tuhan sendiri
yang memanggil setiap orang terlibat di dalamnya. Tuhan mengutusnya untuk turut
mengambil bagian dalam karya keselamatanNya.
Maka keberpihakan pada orang miskin dan lemah menjadi tanggung jawab para politisi juga.
Mereka hadir untuk membuka akses bagi yang miskin dan lemah agar mendapat kemudahan,
jaminan, dan dengan itu kesejahteraan akan tercipta.
Tujuan sebuah negara ialah mewujudkan kesejateraan umum. Tujuan ini juga yang diemban
oleh para politisi. Kesejahteraan umum di sini mencakup keseluruhan kondisi-kondisi
kehidupan sosial yang memungkinkan orang-orang, keluarga-keluarga dan perhimpunan-
perhimpunan mencapai kesempurnaan mereka secara lebih penuh dan mudah.
Dalam sebuah negara, pencapaian ini ada dalam tangan para penguasa, karena dari
merekalah mucul semua kebijakan politik.
Seorang politisi Katolik juga berkecimpung dalam usaha mencapai kesejahteraan umum.
Hendaknya pertanyaan ini yang harus dijawabnya ialah, "Mampukah saya memadukan
kepatuhan terhadap nilai-nilai iman yang saya hayati dengan tanggung jawab politik yang
saya emban?"
Jika seorang politisi sungguh-sungguh menghayati imannya, maka segala tanggung jawab
politiknya, akan selalu berorientasi pada kepentingan umum.
Situasi politik di Indonesia menantang para politisi Katolik. Hal ini tidak terlepas dari
kenyataan bahwa Umat Katolik juga mengambil bagian dalam kehidupan berbangsa dan
berbegara. Keterlibatan para politisi Katolik secara tidak langsung mewakili gereja Katolik.
Maksudnya, mereka membawa serta dalam tugas mereka apa yang diajarkan Gereja.
Salah satu kesadaran yang mesti dimiliki politisi Katolik Indonesia ialah bahwa aktivitas
politik adalah sebuah panggilan. Panggilan itu harus diemban dan dipertanggungjawabkan
dengan baik.
Walau harus diakui bahwa akan ada banyak risiko yang dihadapi, jangan pernah menyerah
untuk terus menyuarakan kebenaran dan keadilan. Lihatlah segala tantangan dan hambatan
yang dihadapi sebagai konsekuensi mengikuti Yesus. Di sanalah penghayatan iman itu
terwujud.
Penghayatan iman juga hendaknya tercermin dalam keberanian membela kaum miskin,
lemah, mereka yang mengalami ketidakadilan, terpinggirkan dan yang tidak diperhitungkan
dalam masyarakat. Maka peran hati nurani sangat besar. Dengan hati nurani para politisi
mampu merasakan penderitaan dan kebutuhan rakyat. Mengandalkan hati nurani berarti
mengandalkan Tuhan sendiri.
Lebih lanjut Yohanes Paulus II menegaskan bahwa keterlibatan para politisi tidak bisa
dilepaskan dari tanggung jawab untuk menyelenggarakan pemerintahan dan menciptakan
hukum yang adil.
Ada dua hal yang diungkapkan oleh Paus, pertama, hukum dan pemerintah hendaknya
mengabdi pada kebebasan sehingga hukum tidak mengekang, tetapi menjadikan semua orang
semakin bertumbuh.
Kedua, hukum negara sebisa mungkin didasarkan pada hukum ilahi, yang telah ditanamkan
oleh Allah dalam hati setiap manusia yakni hukum yang membebaskan manusia dari cinta
diri dan hanya melayani kelompok tertentu saja.
Dengan demikian, setiap orang perlu menyadari bahwa berpolitik itu adalah suatu yang
mulia dan luhur. Keluhurannya terletak pada aspek panggilan ini. Maksudnya, Tuhan sendiri
yang memanggil setiap orang terlibat di dalamnya. Tuhan mengutusnya untuk turut
mengambil bagian dalam karya keselamatanNya.
Maka keberpihakan pada orang miskin dan lemah menjadi tanggung jawab para politisi juga.
Mereka hadir untuk membuka akses bagi yang miskin dan lemah agar mendapat kemudahan,
jaminan, dan dengan itu kesejahteraan akan tercipta.
Catatan Tambahan.
Bukan tugas gembala Gereja untuk berpolitik praktis. Gereja dalam arti yang khusus
dimengerti sebagai urusan gembala-gembala Gereja. Walaupun demikian, bukanlah urusan
gembala-gembala Gereja supaya secara langsung campur tangan di dalam struktur politik dan
di dalam organisasi kehidupan sosial misalnya partai politik.
Tugas berpolitik (praktis) ini merupakan tugas khas perutusan awam beriman, yang karena
dorongan sendiri, bekerja sama dengan sesama warga negaranya. Ada aneka ragam jalan
konkret terbuka bagi keterlibatan sosialnya. Ia selalu harus mengarah kepada kesejahteraan
umum dan harus sesuai dengan pewartaan Injil dan ajaran Gereja.