Anda di halaman 1dari 5

Nama : Atma Wijaya Rajagukguk

NIM : 4193111069

Kelas : PSPM E 2019

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Katolik

Dosen Pengampu : Yakobus Ndona, S.S., M.Hum

POLITIK MORAL GEREJA KATOLIK

Gereja memiliki perhatian yang besar terhadap masalah yang mewarnai kehidupan
sehari-hari. Wujud konkrit dari perhatian gereja dapat disaksikan melalui seruan-seruan yang
diberikannya atas masalah-masalah yang terjadi di tengah dunia. Misalnya seruan terhadap
masalah sosial, ekonomi, budaya, politik, dan lingkungan. Politik menjadi salah satu yang sering
kali diserukan Gereja. Dalam urusan politik, Gereja tidak hanya berbicara tentang keterlibatan
umatnya dalam politik, tetapi juga melihat keterkaitannya dengan nilai-nilai iman kristiani.
Gereja melihat dua aspek ini dalam kaitannya dengan kesejahteraan umum. Dalam Gaudium Et
Spes 73 misalnya, disinggung hubungan antara politik dan iman kristiani. Dikatakan di sana
bahwa semua kekuasaan harus digunakan untuk kepentingan umum bukan demi kepentingan
pribadi dan partai. Dalam ensiklik Octogesima Advensiens no 46 jugabditegaskan bahwa tugas
politik ialah berusaha memecahkan soal-soal hubungan antara manusia. Umat kristiani diundang
untuk terlibat di dalamnya dan menentukan pilihan mereka sesuai dengan Injil.

Gereja tidak memegang sistem politik atau ideologi tertentu. Gereja hanya memiliki sikap
yang cukup jelas terhadap kekuasaan Negara. Yang dipegang Gereja adalah soal etika politik.
Etika politik gereja berangkat dari gagasan tentang manusia sebagai pribadi yang bermartabat
sebagai citra Allah. Yang diperjuangkan Gereja adalah masyarakat manusia dimana setiap orang
diperlakukan sebagai pribadi yang dihormati hak-hak asasinya dan dijamin kesejahteraannya.
Disatu pihak Gereja menghormati kekuasaan pemimpin Negara dengan mewajibkan para
anggotanya supaya hidup sebagai warga Negara yang baik dengan menaati kebijaksanaan
Negara. Di pihak lain, Gereja tetap menempatkan Allah sebagai utama. Orang-orang Kristen
harus lebih taat kepada Allah daripada taat kepada manusia. Artinya, orang Kristen memang
harus taat kepada pemerintah sejauh tidak bertentangan dengan kehendak Allah.

Gereja Katolik selalu menyebut dirinya bukan suatu institusi politik. Namun, tidak dapat
dihindari bahwa peran dan kehadiran Gereja memiliki muatan politis. Yang perlu diketahui ialah
tugas gereja dalam bidang politik ada dalam tatanan moral dan iman. Kedua bidang ini memiliki
dimensi dan muatan politis. Namun politik yang dimaksud di sini bukan politik kekuasaan
melainkan bidang moral. Kalau gereja memberikan suatu pernyataan politis, lingkupnya ada
dalam bidang moral. Hal itu tidak berarti bahwa gereja melakukan intervensi ke dalam
kebebasan dan otonomi pribadi. Semua itu berangkat dari kesadaran akan tanggung jawab
menjaga nilai-nilai moral kemanusiaan.

Yesus Kristus adalah pendiri kristianitas, kepala dari tubuh Gereja, Tuhan, penyelamat
dan guru bagi para murid-Nya. Ada beberapa ahli yang berpendapat bahwa Yesus terlibat dalam
dunia politik, namun ada juga yang berpendapat bahwa tidak terlibat sama sekali. Hal yang
paling mungkin tentang keterlibatan Yesus dalam dunia politik adalah perkenalan diriNya
sebagai mesias. Memang harus dikatakan bahwa Yesus memang tidak terlibat dalam politik
praktis, yakni politik kekuasaan atau perebutan kekuasaan. Ia tidak pernah berjuang atau
menganjurkan para muridNya untuk menguasai Negara. Yesus juga tidak mengajarkan suatu
sistem Negara atau pemerintahan. Bisa dikatakan bahwa Yesus tidak terlibat dalam politik
praktis, namun tidak bisa dikatakan juga bahwa Ia bebas dari dunia politik. Dalam arti yang luas,
politik menyangkut semua keterlibatan dalam Negara/kemasyarakatan. Yesus adalah bagian dari
kehidupan politik dan mengambil peran sebagai pembebas (mesias) terutama bahi mereka yang
miskin dan tertindas. Dalam arti ini Yesus juga adalah seorang politikus.

Dewasa ini di Indonesia, tidak sedikit permasalahan-permasalahan yang timbul, yang


membuat terjadinya perpecahan antar masyarakat. Salah satu contoh permasalahan tersebut
adalah dalam bidang politik. Adapun permasalahan di bidang politik meliputi: pemekaran
wilayah yang diikuti oleh proses penempatan militer secara tidak proporsional, promosi jabatan
lebih diutamakan untuk para pendatang, diskriminasi penerimaan guru agama Katolik sebagai
PNS dan pengangkatan PNS di bidang non pendidikan yang mengutamakan kelompok agama
tertentu, kemunculan ”agama baru” yang menciptakan kemungkinan konflik horizontal, pilkada
yang kerap berakhir dengan kekerasan dan kerusuhan, politik uang dalam pelaksanaan pilkada,
pemaksaan kehendak politik oleh kelompok mayoritas, kesadaran berpolitik yang masih rendah,
keterlibatan dalam politik praktis dari tokoh agama yang memecah-belah umat, pelaksanaan
otonomi daerah yang kebablasan dan sempit, minimnya tokoh awam katolik yang terjun dalam
dunia politik praktis, dan banyaknya pejabat publik yang tidak bisa memilah antara kepentingan
publik dengan kepentingan pribadi. Hal inilah yang mendorong umat katolik untuk ambil bagian
dalam politik moral di masyarakat, dimana umat katolik di ajak untuk ikut berjuang dalam proses
penyelesaian masalah tersebut.

Ada tiga dasar atau landasan utama dari peranan Gereja Katolik dalam bidang politik,
yaitu :

1. Kemanusiaan.
2. Iman (ajaran, peraturan dan hukum Gereja).
3. Kenegaraan (peraturan, undang-undang dan hukum negara).

Dari segi kemanusiaan, setiap orang mempunyai hak-hak asasi dan kewajiban untuk turut
memainkan peranan sepatutnya di bidang politik secara bebas dan leluasa. Namun sebagai
anggota Gereja atau kaum beriman dan serentak sebagai anggota masyarakat atau warga Negara,
tentu ada “rambu-rambu”, landasan pijak atau pedoman arah yang tidak boleh diabaikan. Sebagai
manusia, ada nilai-nilai kemanusiaan yang universal seperti kebebasan, kebenaran, keadilan,
kerukunan, kedamaian, dan pelbagai unsur hak asasi manusia lainnya yang harus tetap diakui,
dihormati dan diwujudkan. Untuk itulah maka ada rupa-rupa ajaran, peraturan, undang-undang
dan hukum yang dibuat oleh lembaga agama (Gereja Katolik) maupun lembaga negara untuk
dipatuhi dan menjadi pegangan. Misalnya ada undang-undang politik yang berlaku untuk seluruh
warga negara Indonesia. Selain itu, dalam Gereja Katolik ada peraturan lokal (kebijakan
keuskupan) maupun peraturan universal (hukum kanonik dll) yang patut dipatuhi oleh setiap
orang katolik.

St Yohanes Paulus II dalam ensiklik Octogesima Advensiens mengingatkan para


politikus Katolik agar menyadari bahwa berpolitik itu adalah sebuah panggilan yang harus
dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Panggilan yang dimaksud Paus adalah panggilan
untuk melayani sesama. Maka, para politisi diharapkan untuk memiliki integritas diri, komitmen
yang kuat, moralitas yang baik serta penggunaan kekuasaan sungguh-sungguh untuk kepentingan
dan kesejahteraan umum. Para politisi juga harus memiliki pemahaman yang baik tentang
kehidupan sosial dan politik, agar keterlibatannya bermakna dan bermanfaat bagi umat manusia.
Lebih lanjut Yohanes Paulus II menegaskan bahwa keterlibatan para politisi tidak bisa
dilepaskan dari tanggung jawab untuk menyelenggarakan pemerintahan dan menciptakan hukum
yang adil. Ada dua hal yang diungkapkan oleh Paus, pertama, hukum dan pemerintah hendaknya
mengabdi pada kebebasan sehingga hukum tidak mengekang, tetapi menjadikan semua orang
semakin bertumbuh. Kedua, hukum negara sebisa mungkin didasarkan pada hukum ilahi, yang
telah ditanamkan oleh Allah dalam hati setiap manusia yakni hukum yang membebaskan
manusia dari cinta diri dan hanya melayani kelompok tertentu saja. Dengan demikian, setiap
orang perlu menyadari bahwa berpolitik itu adalah suatu yang mulia dan luhur. Keluhurannya
terletak pada aspek panggilan ini. Maksudnya, Tuhan sendiri yang memanggil setiap orang
terlibat di dalamnya. Tuhan mengutusnya untuk turut mengambil bagian dalam karya
keselamatanNya.

Tujuan sebuah negara ialah mewujudkan kesejateraan umum. Tujuan ini juga yang
diemban oleh para politisi. Kesejahteraan umum di sini mencakup keseluruhan kondisi-kondisi
kehidupan sosial yang memungkinkan orang-orang, keluarga-keluarga dan perhimpunan-
perhimpunan mencapai kesempurnaan mereka secara lebih penuh dan mudah. Dalam sebuah
negara, pencapaian ini ada dalam tangan para penguasa, karena dari merekalah mucul semua
kebijakan politik. Seorang politisi Katolik juga berkecimpung dalam usaha mencapai
kesejahteraan umum. Hendaknya pertanyaan ini yang harus dijawabnya ialah, “Mampukah saya
memadukan kepatuhan terhadap nilai-nilai iman yang saya hayati dengan tanggung jawab politik
yang saya emban?” Jika seorang politisi sungguh-sungguh menghayati imannya, maka segala
tanggung jawab politiknya, akan selalu berorientasi pada kepentingan umum. Berpolitik sebagai
seorang beriman Katolik dengan demikian ialah berpolitik yang menyatakan tanggung jawab
politik dengan nilai-nilai iman Kristiani. Ia selalu melihat tugas yang diterimanya sebagai bentuk
ungkapan imannya. Dalam hal ini hukum cinta kasih yang diajarkan Yesus, menjadi pedoman
hidupnya. Di tengah banyak penyalagunaan kekuasaan, masalah ketidakadilan, kemiskinan,
kolusi, nepotisme, ia tetap berpegang pada imannya dan senantiasa berpolitik dengan bijak.

Situasi politik di Indonesia menantang para politisi Katolik. Hal ini tidak terlepas dari
kenyataan bahwa Umat Katolik juga mengambil bagian dalam kehidupan berbangsa dan
berbegara. Keterlibatan para politisi Katolik secara tidak langsung mewakili gereja Katolik.
Maksudnya, mereka membawa serta dalam tugas mereka apa yang diajarkan Gereja. Salah satu
kesadaran yang mesti dimiliki politisi Katolik Indonesia ialah bahwa aktivitas politik adalah
sebuah panggilan. Panggilan itu harus diemban dan dipertanggungjawabkan dengan baik. Walau
harus diakui bahwa akan ada banyak risiko yang dihadapi, jangan pernah menyerah untuk terus
menyuarakan kebenaran dan keadilan. Lihatlah segala tantangan dan hambatan yang dihadapi
sebagai konsekuensi mengikuti Yesus. Di sanalah penghayatan iman itu terwujud.

Penghayatan iman juga hendaknya tercermin dalam keberanian membela kaum miskin,
lemah, mereka yang mengalami ketidakadilan, terpinggirkan dan yang tidak diperhitungkan
dalam masyarakat. Maka peran hati nurani sangat besar. Dengan hati nurani para politisi mampu
merasakan penderitaan dan kebutuhan rakyat. Mengandalkan hati nurani berarti mengandalkan
Tuhan sendiri.

Dari berbagai sumber yang digunakan sebagai referensi, yakni dari beberapa artikel
mengenai politik moral agama katolik yang sudah di analisa, dapat disimpulkan bahwa pada
awalnya Yesus Kristus telah mewariskan suatu bentuk perjuanagan politik kepada para
muridNya, yakni politik etis, dan itulah yang menjadi pedoman umat katolik sekarang ini. Etika
politik gereja terinspirasi dari pengajaran dan teladan Yesus dan terfokus pada pengajaran dan
teladan Yesus, serta pengabdian kepada kemanusiaan yakni manusia memiliki martabat sebagai
pribadi yang diciptakan menurut citra Allah. Perjuangan gereja pada dunia politik sepanjang
zaman adalah mengaplikasikan prinsip fundamental ini. Untuk itulah gereja tanpa ragu
mendukung penegakan hak-hak asasi manusia, demokrasi, emansipasi perempuan, kebebasan
beragama, dan solidaritas terhadap kaum miskin dan tertindas. Dalam hal ini juga, sebagai
harapan gereja dan bangsa, Orang Muda Katolik (OMK) juga ditantang untuk ambil bagian
dalam bidang politik, demi menciptakan adanya kesejahteraan dalam masyarakat. OMK perlu
mulai peduli atas berbagai ragam masalah yang ada dalam jabatan-jabatan publik terutama
mempersiapkan diri dengan melengkapi pengetahuan, memupuk keahlian dan mengembangkan
kompentensi yang diperlukan bagi penyelenggaraan jabatan-jabatan itu secara berintegritas.

Anda mungkin juga menyukai