Anda di halaman 1dari 13

Jurnal Teologi Kristen

Volume 1, No 2, Mei 2020 (115-127) Available at: http://e-journal.bmptkki.org/index.php/thronos

Pandangan Eklesiologi Calvin mengenai Politik Praktis dalam Pelayanan Gereja

Alfons Renaldo Tampenawas


Sekolah Tinggi Teologi Yerusalem Baru, Manado, Sulawesi Utara
alfonsreenz@gmail.com

Abstract: This article discusses the inclusion of Calvin’s exclusion of politics in practical church
service of the Calvin Chruch and state (politicos) as two things that the Lord allows for attending to
life in the world, but both church and state (politics) both have different duties and responsibilities
while also helping one another. There’s basically no supremarcy between the two. But what matters is
when politics blends with service in the church, in another sense the church becomes the vehicle for
politics. This is what they call a practical political activity. Where both personal and political
interests have made the church a tool for sustaining support. This is made the church lose its identity
as salt and the light of the world.
Keywords: church; ecclesiology; ecclesiology of Calvin; practical politics

Abstrak: Artikel ini membahas mengenai pandangan Eklesiologi Calvin Mengenai Politik Praktis
dalam pelayanan Gereja. Dalam Eklesiologi Calvin gereja maupun negara (politik) merupakan dua
hal yang diijinkan Tuhan untuk hadir dalam kehidupan di dunia, akan tetapi baik gereja maupun
negara (politik) keduanya memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda walaupun juga saling
menolong satu dengan yang lain. Pada dasarnya tidak ada supremasi antara keduanya. Namun yang
menjadi persoalan ketika politik bercampur aduk dengan pelayanan di dalam gereja, dalam arti yang
lain gereja menjadi kendaraan bagi politik. Inilah yang dinamakan dengan kegiatan politik praktis,
dimana kepentingan pribadi maupun kelompok partai politik menjadikan gereja sebagai alat untuk
mencari dukungan. Hal ini membuat gereja kehilangan jati diri/identitas sebagai garam dan terang
dunia.
Kata kunci: eklesiologi; eklesiologi Calvin; gereja; politik praktis

PENDAHULUAN
Idealnya politik itu adalah suatu proses untuk mencapai kebaikkan bersama (kebaikkan
masyarakat). Politik juga berfungsi sebagai kegiatan yang berhubungan dengan kendali
pembuatan keputusan publik dalam masyarakat tertentu di wilayah tertentu, di mana kendali
ini disokong lewat instrumen yang sifatnya otoritatif dan koersif. Namun acapkali
bertentangan dengan implementasi dilapangan, politik dimainkan oleh oknum-oknum
tertentu demi mendapatkan sebuah kekuasaan. Kekuasaan menjadi pusat daripada dunia
politik, sehingga demi kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok, mereka
menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan sesuatu yang dinginkan secara personal
maupun secara kelompok politik. Bahkan demi kepentingan tersebut, para oknum-oknum
politik menyeret atau memperalat bidang-bidang keagamaan untuk mencapai tujuan dan
keinginan mereka, dengan kata lain agama dipolitisasikan. Sehingga agama menjadi
kendaraan politik demi sebuah kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok. Berkenaan
dengan ini gerejapun menjadi sasaran untuk dipakai sebagai alat/kendaraan politik. Oleh

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 115


THRONOS: Jurnal Teologi Kristen, Vol 1, No 2, Mei 2020

sebab itu bagaimana seharusnya sikap gereja menyingkapi hal tersebut? Untuk menjawab
pertanyaan ini penulis akan memaparkan dan menganalisa eklesiologi Clavin serta
memberikan pemahaman tentang sikap yang harus dilakukan dalam pelayanan di gereja.

METODE PENELITIAN
Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif-analisis mengenai
aktivitas politik praktis dalam pelayanan di dalam gereja. Penelitian ini ditujukkan untuk
mendeskripsikan dan menggambarkan fenomena-fenomena yang terjadi dalam pelayanan
gereja.1 Penelitian ini juga menganalisis pemahaman eklesiologi menurut Calvin dalam
menanggapi hubungan antara gereja dan dunia politik khususnya politik praktis. Itu sebabnya
penting untuk terlebih dahulu menguraikan pemahaman yang terkandung dalam variabel
penelitian ini, yakni tentang politik praktis dan eklesiologi Calvin.
Politik Praktis
Secara etimologi, kata politik berasal dari bahasa Yunani, yakni polis yang berarti kota yang
berstatus Negara Kota (city state).2 Kemudian kata ini menjadi politeia yang berkaitan
dengan negara dan pemerintahan.3 Dalam Negara kota di zaman Yunani, orang saling
berinteraksi guna mencapai kesejahteraan dalam hidupnya.4 Politik yang berkembang di
Yunani kala itu dapat ditafsirkan sebagai suatu proses interaksi antara individu dengan
individu lainnya demi mencapai kebaikkan bersama. Politik juga dapat dipahami sebagai seni
dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional5.
Pemikiran mengenai politik pun khususnya di dunia barat banyak dipengaruhi oleh
filsuf Yunani Kuno. Filsuf seperti Plato dan Aristoteles menganggap politics sebagai suatu
usaha untuk mencapai masyarakat politik yang terbaik.6 Bagi Aristoteles, dimensi politik
dalam keberadaan manusia merupakan dimensi terpenting sebab ia mempengaruhi
lingkungan lain dalam kehidupan manusia. Aristoteles juga menyatakan bahwa politik berarti
mengatur apa yang seyogiyanya dilakukan dan apa yang seyogiyanya tidak dilakukan.7
Namun demikian, definisi politik hasil pemikiran filsuf tersebut belum mampu memberi
tekanan terhadap upaya-upaya praksis dalam mencapai polity yang baik. Meskipun harus
diakui, pemikiran-pemikiran politik yang berkembang dewasa ini juga tidak lepas dari
pengaruh para filsuf tersebut.
Dalam teori politik modern, politik diasumsikan sebagai kekuasaan negara yang
diwakili oleh partai politik untuk mewakili asprirasi masyarakat, khususnya dalam konteks
negara demokrasi. Dengan demikian dalam konteks negara demokrasi, politik didefinisikan
sebagai kekuasaan menduduki parlemen atau pemerintahan. Maka dengan kata lain politik

1
Nana Syaodih Sukmadinata. Metode Penelitian Pendidikan. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2011), h. 73.
2
Hidajat Imam, Teori-Teori Politik, (Malang: Setara, 2009), h. 2.
3
Erman S. Saragih, “Penatalayanan Gereja Dalam Politik Praktis,” Didaskein (2016).: 2
4
Basri Seta, Pengantar Ilmu Politik, (Jogjakarta: Indie Book Corner, 2011), h. 2.
5
Adolf Bastian Simamora, “POLITIK MENURUT ALKITAB DAN IMPLIKASINYA BAGI PERAN
GEREJA DALAM PUSARAN POLITIK DI INDONESIA,” Voice of Wesley: Jurnal Ilmiah Musik dan Agama
(2019).: 3
6
Budiarjo Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 14.
7
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 1.

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 116


Alfons R. Tampenawas: Pandangan Eklesiologi Calvin mengenai Politik Praktis dalam Pelayanan Gereja

identik dengan kekuasaan.8 Antara abad keenam belas sampai awal abad kedua puluh, politik
diartikan lebih sempit dibandingkan dengan pengertian yang dipahami orang-orang Yunani.
Jean Bodin (1530-1596), seorang filosof politik Prancis, memperkenalkan istilah “ilmu
politik” (science politique). Defenisi tentang politik, juga diungkapkan oleh Montesquieu
(1687-1755), yang mengemukakan bahwa semua fungsi pemerintahan dapat dimasukkan ke
dalam kategori legislatif, eksekutif, dan yudikatif.9 Pada akhirnya politik dapat dipahami
sebagai kegiatan bersama dalam sebuah negara untuk mewujudkan kebaikan bersama melalui
proses-poses politik yang dibuat dalam sebuah negara.
Sementara, terkait dengan istilah politik praktis dapat dipahami sebagai sebuah dunia
ketika segala itikad, motif, kepentingan, dan ambisi, hadir bersamaan dan saling berhimpit
untuk memperebutkan kekuasaan. Secara kasat mata, kekuasaan yang dimaksud tidak lain
adalah jabatan, kedudukan atau posisi. Namun secara implisit, yang diperebutkan
sesungguhnya adalah otoritas dan wewenang untuk membuat keputusan-keputusan publik.
Politik praktis biasa juga dikenal dengan politik uang (money politic). Politik uang sering
terjadi ketika suatu oknum ingin meraih kekuasaan atau melanggengkan kekuasaan.10 Bahkan
para oknum-oknum politis menggunakan sarana media untuk menjalankan kegiatan politik
praktis, seperti penyebaran berita hoax, dan tujuan dari penyebaran hoax ialah untuk
mempengaruhi dan mengiring opini publik kepada kepentingan tertentu, semua ini hanya
untuk menjatuhkan lawan politiknya.11 Tidak hanya itu penyebaran berita hoax dalam
kerangka politik praktis juga berpotensi untuk memecah belah persatuan dan kesatuan
bangsa12. Melihat hal ini mengindikasikan bahwa siapa yang memiliki kekuatan dialah yang
mampu untuk mengendalikan kekuasaan, karena memalui hal itu dapat menjatuhkan
rival/lawan politiknya13. Agama pun tidak terlepas dari kegiatan politik praktis yang
dilakukan oleh oknum-oknum yang terjun dalam dunia politik, dan dalam hal ini agama
acapkali menjadi kendaraan politik untuk mencapai suatu tujuan politik kekuasaan.14
Eklesiologi Calvin
Untuk memahami konsep Calvin mengenai gereja, terlebih dahulu kita harus melihat kaitan-
nya dengan doktrin keselamatan dari Calvin, karena konsep Calvin tentang gereja tidak
terlepas dari konsepnya tentang keselamatan. Dalam doktrin keselamatan, Calvin
menekankan keyakinan bahwa keselamatan diperoleh hanya karena kasih karunia melalui
iman (sola gratia dan sola fide). Karena itu Calvin melancarkan protes terhadap Gereja

8
Gunche Lugo, Manifesto Politik Yesus, (Yogyakarta: ANDI, 2009), h. 42.
9
Ibid.
10
MUH. IN’AMUZZAHIDIN, “ETIKA POLITIK DALAM ISLAM,” Wahana Akademika: Jurnal
Studi Islam dan Sosial (2016).: 90
11
Moh. Abu Na’im, “HOAKS Sebagai Konstruksi Sosial Untuk Kepentingan Politik Praktis Dalam
Pilgub DKI Jakarta,” Jurnal Darussalam: Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan Pemikiran Hukum Islam (2017).:
364-365
12
Yohanes Krismantyo Susanta, “Orang Kristen Dan Politik: Belajar Dari Kasus Salomo Dan Adonia
Dalam Persaingan Menuju Takhta,” DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani (2019).: 23
13
Ronny Winarno, “ARTI PENTING NILAI-NILAI DAN NORMA HUKUM DALAM BERPOLITIK
PRAKTIS,” Perspektif (2015).: 82
14
Bayu Mitra Adhyatma Kusuma and Theresia Octastefani, “NEGOSIASI DAKWAH DAN POLITIK
PRAKTIS (MEMBACA ORIENTASI ORGANISASI SAYAP KEAGAMAAN ISLAM PADA PARTAI
NASIONALIS),” al-Balagh : Jurnal Dakwah dan Komunikasi (2017).: 5-6

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 117


THRONOS: Jurnal Teologi Kristen, Vol 1, No 2, Mei 2020

Katolik Roma yang memahami bahwa keselamatan sebagai hasil kerjasama antara karunia
Allah dan perbuatan baik manusia. Karena itu Gereja Katolik Roma menolak Calvin.
Menurut Calvin, orang-orang yang diselamatkan Allah telah ditetapkan oleh Allah yang
berdaulat sebelum dunia diciptakan. Calvin mendefinisikan keselamatan sebagai keputusan
Allah yang kekal, yang menurut kehendakNya akan terjadi atas setiap orang. Namun
selanjutnya Calvin mengembangkan pemahaman dan ajaran tentang keselamatan ini dalam
suatu wawasan yang biasa dikenal dengan istilah Predistinasi.15 Dengan demikian penebusan
Kristus terbatas pada orang-orang yang telah terpilih itu, keselamatan mustahil tersedia bagi
semua manusia, itu hanya disediakan bagi mereka yang telah ditetapkan sebelumnya untuk
selamat.
Pemahaman Calvin tentang keselamatan itu menentukan pemahamannya tentang
gereja. Menurutnya Gereja adalah persekutuan orang-orang yang telah diselamatkan berkat
kasih karunia Allah dalam Yesus Kristus, yang telah dibenarkan kendati tetap merupakan
manusia berdosa, yang semuanya disambut dan diterima manusia melalui iman.16 Atau
dengan arti lain Calvin menyatakan pada dasarnya gereja adalah communion sanctorum
(suatu persekutuan orang kudus).17 Calvin juga menyatakan bahwa gereja adalah ibu semua
orang percaya. Yang tidak memiliki gereja sebagai ibu tidak dapat memiliki Allah sebagai
Bapa dan di luar gereja tidak ada keselamatan.18 Dan dalam hal inilah dapat dilihat bahwa
gereja sebagai sarana keselamatan karena firman (jadi ajaran, bukan jabatan rasuli) dan
sakramen-sakramen.
Menurut Calvin, gereja adalah alat utama yang diberikan Allah kepada orang-orang
yang percaya untuk mewujudkan persekutuan dengan Kristus.19 Menurut Calvin, bahwa
pemerintahan gereja merupakan pemerintahan yang letaknya di dalam jiwa atau batin
manusia yang menyangkut kehidupan kekal. Ia bersifat Rohani, dan mengajar hati nurani
supaya saleh dan mengabdi kepada Allah.20 Sehingga Calvin mengidentifikasikan gereja
sebagai suatu lembaga atau badan yang dibangun secara ilahi yang di dalamnya Allah
melakukan penyucian umatnya.21 Namun, perlu juga diketahui bahwa bagi Calvin gereja
yang benar dapat ditemukan ketika injil secara benar diberitakan dan sakramen-sakramen
secara benar dilayakan sama seperti pandangan Luther.22
Calvin juga menyatakan bahwa gereja yang tertinggi adalah gereja yang tidak terlihat,
yang terdiri dari semua kaum pilihan, yang masih hidup maupun yang telah mati, tetapi selain
gereja yang tidak kelihatan, ini terdapat gereja yang berkaitan secara langsung dengan kita
selama kehidupan duniawi kita yaitu gereja yang kelihatan yang terbentuk dengan
mengumpulkan orang Kristen bersama dalam satu jemaat.23

15
Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja Edisi yang Diperbaharui, h. 77.
16
Ibid, h. 79.
17
Louis Berkhof, Teologi Sistematika 5 Doktrin Gereja, (Surabaya: Momentum, 2012), h. 15.
18
Jan S. Aritonang dan Chr. De Jonge, Apa dan Bagaimana Gereja, h. 33.
19
Ibid.
20
Yohanes Calvin, Intitutio Pengajaran Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), h. 185.
21
Alister E. Mcgrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), h. 259.
22
Ibid, h. 254.
23
Francois Wendel, CALVIN Asal Usul dan Perkembangan Pemikiran Religiusnya, (Surabaya:
Momentum, 2010), h. 337.

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 118


Alfons R. Tampenawas: Pandangan Eklesiologi Calvin mengenai Politik Praktis dalam Pelayanan Gereja

Gereja tidak kelihatan adalah gereja dalam arti sebenarnya, tubuh Kristus yang terdiri
atas orang, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, yang betul-betul dipanggil
Allah untuk menjadi anakNya. Dengan kata lain, gereja yang tidak kelihatan adalah
persekutuan orang-orang kudus yang terpilih dan keterpilihannya hanya diketahui oleh Allah.
Sedangkan Gereja yang kelihatan adalah komunitas orang kristen. Pemahaman Calvin
tentang gereja yang kelihatan dan tidak kelihatan ini dipengaruhi oleh Agustinus. Gereja
kelihatan dan Gereja tidak kelihatan harus dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan. Gereja
yang kelihatan harus berusaha mencerminkan sebaik mungkin terhadap apa yang dipercayai
mengenai Gereja sebagai tubuh Kristus yang tidak kelihatan.24
Calvin juga menggunakan unsur Alkitab dalam menentukan Gereja yang
sesungguhnya. Gereja akan disebut sebagai Gereja apabila Firman Allah (Alkitab) secara
murni diajarkan dan sakramen-sakramen dilaksanakan seturut dengan ketetapan Kristus. (Ins.
4.1.9) Alkitab menjadi ukuran untuk menilai pemberitaan Firman dan pelayanan sakramen.
Jadi, selama Firman Allah diberitakan secara murni dan sakramen dilayankan nama “gereja”
tetap ada. Dengan demikian, bagi Calvin Pemberitaan Firman Allah (Alkitab) merupakan hal
yang pokok dan prioritas dalam kehidupan Gereja
Konteks yang Memengaruhi Eklesiologi Calvin
Dalam perkembangan sejarah gereja, dinamika eklesiologi mengalami perkembangan.
Konsep eklesiologi sangat dipengaruhi oleh kepentingan ideologis dan politik kekuasaan
pada kurun waktu tertentu. Eklesiologi Calvin pun muncul berada dalam sebuah situasi dan
konteks tertentu. Dua konteks yang kuat mempengaruhi eklesiologi Calvin ialah Gereja
tradisional dengan eklesiologi papalisme dan gerakan anabaptis sebagai gerekan radikal anti
katolik dan anti kemapanan, mempropagandakan pandangan-pandangan yang berbeda dan
menentang pandangan-pandangan yang ada.25
Gereja tradisional yang bercorak teologi papalisme muncul sekitar abad pertengahan.
Teologi Papalisme adalah sebuah pemahaman yang memiliki dasar terhadap supremasi
kepausan26, dengan kata lain menjelaskan bahwa Paus merupakan seorang kepala, dasar,
akar, dan sumber segala kuasa otoritas dalam gereja. Kepausan merupakan sentral dari
struktur pejabat gerejawi, dengan kata lain system daripada paplisme ini ialah adanya
penguasa tunggal dan otoriter.27 Hal inilah yang ditolak oleh John Calvin. Calvin tidak
menyetujui adanya pemimpin tunggal yang otoriter di dalam gereja.
Konteks lain yang dihadapi oleh Calvin ialah gerakan anabaptis Radikal. Kelompok-
kelompok Anabaptis yang radikal itu merupakan sayap kiri dari reformasi. Gerakan anabaptis
radikal mengajarkan bahwa gereja harus dipelihara tanpa noda dan cela. Gereja harus
memelihara kemurniannya artinya hidup terpisah dari dunia yang najis. gereja tidak boleh

24
Chr. De Jong, Apa itu Calvinisme?, h. 99.
25
Agustinus M. L. Batlajery, “KONTEKS YANG MEMPENGARUHI EKELESIOGI CALVIN,”
Waskita: Jurnal Studi Agama dan Masyarakat (2014).: 119-120
26
Agustinus Batlajery, Konteks yang mempengaruhi Eklesiologi Calvin. Waskita. (April 2014), hh.
119-120.
27
B.S. Mardiatmadja, Eklesiologi Makna dan Sejarahnya, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), h. 11.

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 119


THRONOS: Jurnal Teologi Kristen, Vol 1, No 2, Mei 2020

bersatu dengan dunia, karena gereja berada di dunia tapi bukan berasal dari dunia.28 Uraian
tentang eklesiologis Anabaptis di atas menunjukkan perbedaan dengan eklesiologi Calvin
walaupun dalam paham dan praktik tertentu Calvin dan Anabaptis berada pada garis yang
sama. Terhadap eklesiologi yang menurutnya keliru ia melakukan koreksi berdasarkan
kesaksian Alkitab. Dengan demikian kita dapat mengerti bilamana Calvin menegaskan dalam
Institutio bahwa tidak mungkin gereja yang kelihatan menjadi benar-benar suci murni dan
sempurna pada masa ini. Kristus sebagai kepala gereja tidak mengorganisir gereja secara
langsung, melainkan mempercayakannya kepada para pejabatnya. Ia menekankan keesahan
gereja untuk menentang gagasan bahwa keesaan berpusat di Roma saja pada satu pihak dan
pihak lain menolak kecenderungan separatisme dari gerekan Anabaptis karena meanggap
gereja waktu itu tidak suci, murni dan sempurna.

PEMBAHASAN
Pemerintah (Negara) Menurut Calvin
Pemahaman Calvin tentang pemerintah dipengaruhi oleh seorang tokoh bernama Agustinus.
Hall mengatakan bahwa pemikiran John Calvin berasal dari para pemikir besar sebelumnya
dan salah satunya adalah bapak gereja Agustinus dari Hippo (354-430).29 Berbicara mengenai
politik dan pemerintahan Agustinus maka tidak akan pernah terlepas dari pandangan
Agustinus yang ditulis dalam bukunya De Civitatis Dei. Buku ini ditulis sebagai apologia
untuk orang-orang Roma yang menuduh orang-orang Kristen di kota Roma yang
menyebabkan keruntuhan kota Roma karena mereka tidak lagi menyembah dewa-dewa yang
melindungi kekaisaran Roma. Agustinus berusaha menjelaskan bahwa kejatuan kota Roma
adalah karena kebobrokan moral yang terjadi di kota Roma.
Menurut Agustinus, pemerintah manusia berasal dari akibat kejatuhan dalam dosa dan
bukan dalam tatanan ciptaan (creation order).30 Karena itu, Agustinus merasa perlu adanya
pemerintah sebagai suatu alat pengendali masyarakat.31 Baik Agustinus maupun Calvin
beranggapan bahwa berdirinya kerajaan dan pemerintahan adalah atas dasar provedensia
Tuhan. Tidak ada pemerintah yang berasal dari luar kedaulatan Tuhan.32
Abraham Kuyper, di dalam bukunya Ceramah-Ceramah Mengenai Calvinisme
menyatakan bahwa, ―Sebab sesungguhnya tanpa dosa pasti tidak akan ada tatanan penguasa
dan negara, bahwa Allah telah membentuk orang-orang untuk memerintah, karena alasan
dosa33, dan tidak seorang pun mempunyai hak untuk memerintah atas orang lain, dan jika hal
ini diizinkan maka hak seperti itu akan segera menjadi hak bagi mereka yang terkuat 34.
Kedua pernyataan ini menyatakan bahwa pemerintahan muncul karena akibat dosa dan
manusia tidak mempunyai hak untuk memerintah manusia lain. Kuyper juga menyatakan

28
E. Waltner, "The Anabaptist Conception ot the Church", dalam The Mennonite Quarterly Review,
25, 1951, hh. 11-13.
29
David W. Hall, Calvin di Ranah Publik, (Surabaya: Momentum, 2011), h. 4.
30
David W. Hall, Calvin di Ranah Publik, h. 7.
31
Ibid, h. 5.
32
Hall, Calvin di Ranah Publik, h. 8.
33
Abraham Kuyper, Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme (Surabaya: Penerbit, Momentum, 2005),
h. 90.
34
Ibid, h. 92.

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 120


Alfons R. Tampenawas: Pandangan Eklesiologi Calvin mengenai Politik Praktis dalam Pelayanan Gereja

bahwa institutsi sebagai ‘hamba-Nya’ untuk melindungi manusia dari kehancuran total. Itu
sebabnya, warga negara harus menaati pemerintahan bukan karena ketakutan kepada
hukuman, tetapi karena kesadaran nurani. Pemerintah adalah hamba Allah bagi kebaikkan
masyarakat bukan menjadikan masyarakat hamba bagi kebaikkan dan keuntungan sendiri.
Karena pemerintah adalah hamba, maka harus mendedikasikan hidupnya bagi kemaslahatan
rakyat dengan mementingkan tanggung jawab bukan fasilitas dan tunjangan.
Bagaimana pandangan Calvinis tentang negara? Apakah sebuah negara atau
pemerintah terbentuk akibat dosa?.Bagi orang Calvinis, negara adalah sebuah organisasi yang
terbentuk secara alami karena dorongan sosial, sozial-trek, yang ditempatkan Tuhan di dalam
diri manusia. Ketika sekelompok manusia berdiam di sebuah wilayah maka untuk mencapai
tujuan bersama mereka membutuhkan mekanisme dari pemerintahan.35 Seandainya manusia
tidak jatuh dalam dosa, negara tetap ada dan negara itu adalah negara yang sempurna yaitu
kerajaan Allah.36
Salah satu contoh yang dapat diberikan untuk membuktikan bahwa pemerintahan
tetap ada walaupun dunia tidak berdosa adalah kondisi malaikat yang tidak berdosa. Alkitab
mencatat bahwa ada penghulu malaikat (1Tesalonika 4:16) yaitu Mikhael (Yudas 1:9).
Penghulu malaikat berasal dari kata ἀρχάγγελος (archangelos) yang terdiri dari dua kata ἀρχή
(arche) yang berarti pemimpin atau penguasa dan ἄγγελος (anggelos) yang berarti malaikat.
Bauer-Danker-Arndt-Gingrich Greek Lexicon of the New Testament mendefinisikan
penghulu malaikat sebagai berikut a member of the higher ranks in the celestial hierarchy,
chief angel, archangel.37 Hal ini berarti malaikat mempunyai pemimpin dan ada struktur
pemerintahan di mana penghulu malaikat memerintah atas malaikat-malaikat lain yang tidak
berdosa.
Bukti kedua yang membuktikan bahwa tanpa dosa tetap ada pemerintahan adalah teks
Matius 19:28, yaitu perkataan Yesus kepada kedua belas murid-Nya,―Aku berkata
kepadamu, sesungguhnya pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia
bersemayam di tahta kemuliaan-Nya, kamu, yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di
atas dua belas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel. Ayat ini menyatakan bahwa
nanti setelah langit dan bumi baru, setelah dosa dihapus dari dunia ini maka tetap ada
pemerintahan di mana kedua belas murid Tuhan Yesus akan menjadi penguasa atas orang-
orang lain.
Bukti yang selanjutnya adalah dari Lukas 19:12-27. Di dalam teks ini Tuhan Yesus
mengatakan bahwa pada akhirnya yang menghasilkan sepuluh mina akan ―menerima
kekuasaan atas sepuluh kota‖ dan yang menghasilkan lima mina akan ―menguasai lima
kota‖. Sekali lagi teks ini berpadanan dengan Matius 19:28 di mana pada akhir zaman, di
mana tidak ada dosa, ada orang-orang yang ditempatkan Tuhan sebagai penguasa atau
pemerintah.

35
H. Henry Meeter, Pandangan-Pandangan Dasar Calvinisme, (Surabaya: Penerbit Momentum,
2012), h. 99.
36
H. Henry Meeter, Pandangan-Pandangan Dasar Calvinisme, h. 100.
37
William Arndt et al., A Greek-English Lexicon of the New Testament and Other Early Christian
Literature, (Chicago: University of Chicago Press, 2000), h. 137.

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 121


THRONOS: Jurnal Teologi Kristen, Vol 1, No 2, Mei 2020

Kalau memang pemerintahan atau negara bukan akibat dosa lalu kira-kira apa fungsi
negara dalam dunia tanpa dosa? Ketika semua manusia tanpa dosa maka semua orang akan
mengetahui dan melakukan hal-hal yang benar, jadi tidak perlu ada orang yang membuat dan
menegakkan hukum, namun manusia memiliki mandat budaya yang Tuhan percayakan
kepada manusia. Di dalam menjalankan mandat budaya maka manusia akan mengadakan
kegiatan-kegiatan berkelompok yang membutuhkan pemimpin bagi kelompok tersebut.
Walaupun manusia sempurna namun kemauan individual harus dipersatukan oleh pemimpin
agar menjadi kesatuan kemauan dan tujuan. Tanpa adanya kesatuan kemauan dan tujuan
maka tugas kelompok tidak dapat tercapai.38
Sejak manusia berdosa maka fungsi negara dalam dunia yang berdosa adalah fungsi
yang telah disebut di atas ditambah dengan fungsi untuk menghukum para pelanggar hukum.
Sekarang dibutuhkan pengadilan dan kepolisian untuk menerapkan hukum. Roma 13:1-4
menegaskan bahwa pemerintah diberikan otoritas dari Tuhan ―untuk membalaskan murka
Allah atas mereka yang berbuat jahat. Pemerintah adalah anugerah umum Tuhan untuk
membatasi kejahatan.39
Apakah bentuk negara terbaik? Calvinisme tidak mendukung baik itu monarki,
aristokrasi, demokrasi, atau bentuk pemerintah apa pun. John Calvin juga tidak menghendaki
theokrasi karena theokrasi Musa hanya diperuntukan bagi bangsa Israel dan bukan bangsa
lain. Tuhan sanggup memakai bentuk pemerintah apa pun untuk memerintah manusia. Di
satu daerah mungkin cocok demokrasi, di negara bagian lain mungkin monarki.
Pemerintahan yang baik bukan ditentukan dari bentuknya (monarki, aristokrasi, atau
demokrasi) tetapi pada karakter moral dan spiritual dari rakyatnya karena setiap bentuk
pemerintahan ada sisi positif dan negatifnya.40
Ada lima hal yang merupakan ciri khas pemerintahan Calvinistik41, yaitu:
Pertama, Calvinisme menentang adanya satu negara yang mencakup seluruh dunia
atau negara-negara yang terlalu besar, alasannya karena Tuhan menggagalkan usaha manusia
mendirikan satu kekaisaran dunia di menara Babel dan untuk menghindari pemusatan
kekuatan diktatorial ke dalam tangan sedikit orang. Kedua, Calvinisme tidak menyetujui
adanya pemusatan kekuasaan negara pada satu orang atau beberapa orang saja. Rakyat
mempunyai hak untuk setuju atau tidak setuju atas kebijakan pemerintah melalui pemungutan
suara atau pengungkapan opini publik. Ketiga, hak-hak rakyat tidak boleh diabaikan oleh
penguasa. Keempat, agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada beberapa orang maka harus
ada lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang tidak dikuasai oleh orang-orang yang
sama. Kelima, setiap lembaga sosial punya kedaulatan wilayahnya sendiri, misalnya rumah
tangga, sekolah, gereja, atau organisasi sosial lainnya. Masing-masing organisasi-organisasi
mempunyai tugas dari Tuhan dan eksistensinya tidak tergantung pada negara. Masing-masing
organisasi berdaulat atas wilayahnya sendiri. Konsep ini dikenal dengan nama sphere
sovereignity.

38
Meeter, Pandangan-Pandangan Dasar Calvinisme, hh. 100-101.
39
Ibid, hh. 101-102.
40
Ibid, hh. 106-108.
41
Meeter, Pandangan-Pandangan Dasar Calvinisme, hh. 120-122.

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 122


Alfons R. Tampenawas: Pandangan Eklesiologi Calvin mengenai Politik Praktis dalam Pelayanan Gereja

Kaum Calvinis mengatakan ada dua tugas utama dari pemerintah, yaitu untuk
melaksanakan atau menegakkan keadilan dan yang kedua adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan umum negara dan warganya. Penegakkan keadilan adalah pelaksanaan dari
Roma 13:1-4. Pemerintah juga berkewajiban membangun kesejahteraan material, kultural,
dan kemanusiaan warganya. Pemerintah wajib memberikan bantuan kepada organisasi-
organisasi industrial, sosial, atau intelektual masyarakat di saat-saat kritis atau bencana
melalui subsidi atau menerbitkan peraturan.42
John Calvin mengatakan bahwa rakyat harus setia kepada pemerintah dan harus
menghormati jabatan tersebut. Perintah-perintah dari penguasa tidak boleh dilawan sebab
perlawanan terhadap pemerintah sama dengan perlawanan terhadap Allah. Walaupun
pemerintah tidak baik, rakyat tetap harus setia karena pejabat pemerintah yang tidak adil dan
sewenang-wenang dibangkitkan oleh Tuhan untuk menghukum dosa umat-Nya. Orang
Kristen harus menaati penguasa walaupun mereka adalah orang tidak beriman dan memusuhi
Allah.43
Apakah orang Kristen boleh memberontak terhadap pemerintah? John Calvin sangat
berhati-hati dalam hal ini. John Calvin mengatakan, pertama, tidak boleh sembarangan orang
mengadakan perlawanan terhadap pemerintah. Yang berhak untuk melawan keputusan
penguasa adalah para bawahan mereka atau penguasa yang lebih rendah. Menurut Calvin,
seorang penguasa yang melanggar batas-batas wewenangnya maka ia bukan lagi penguasa
yang sah. Calvin memberikan contoh tokoh Daniel, di mana menurutnya Daniel tidak
berdosa terhadap raja ketika Ia berdoa kepada Tuhan walau melanggar perintah Raja Darius
(Daniel 6). Kedua, John Calvin menolak pemberontakan bersenjata. Walaupun orang
Protestan Perancis dianiaya oleh pihak Gereja Katolik dan pemerintah Perancis namun
Calvin menasehati orang Protestan Perancis untuk tidak mengangkat senjata untuk
menghentikan penganiayaan.44
Di dalam tafsiran John Calvin tentang ucapan Petrus dalam Kisah Para Rasul 4:19,
John Calvin menulis sebagai berikut, “Therefore, by what title soever men be called, yet must
we hear them only upon this condition, if they lead us not away from obeying God.”45 Calvin
mengatakan bahwa kita harus mematuhi pemerintah dengan syarat selama pemerintah tidak
membuat kita menyimpang dari ketaatan kepada Allah. Hal yang sama juga dikemukakan
dalam tafsiran Kisah Para Rasul 5:29,
This is the sum of their answer, It is lawful for them, nay, they oughtto prefer God
before men. God commandeth us to bear witness of Christ; therefore, it is in vain for
you to command us to keep silence. But I have declared before, in the third chapter,
when this sentence taketh place, that we ought rather to obey God than men. God
doth set men over us in such sort with power, that he keepeth still his own authority
safe and sound. Therefore, we must obey rulers so far, that the commandment of God
be not broken.46

42
Meeter, Pandangan-Pandangan Dasar Calvinisme, hh. 127-135.
43
Balke, Pandangan Calvin Mengenai Gereja dan Negara, hh. 172-173.
44
Balke, Pandangan Calvin Mengenai Gereja dan Negara, h. 174.
45
John Calvin dan Henry Beveridge, Commentary Upon the Acts of the Apostles, vol. 1 (Bellingham,
WA: Logos Bible Software, 2010), h. 178.
46
John Calvin dan Henry Beveridge, Commentary Upon the Acts of the Apostles, vol. 1, h. 214.

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 123


THRONOS: Jurnal Teologi Kristen, Vol 1, No 2, Mei 2020

Di dalam tafsiran Kisah Para Rasul 17:7, John Calvin menulis:


but if at any time religion enforce us to resist tyrannical edicts and commandments
which forbid us to give due honour to Christ, and due worship to God; we may then
justly say for ourselves, that we are not rebellious against kings, for they be not so
exalted, that they may go about like giants to pull God out of his seat and throne.47
Calvin mengatakan bahwa kita tidak melawan raja, tetapi kita melawan perintah raja yang
melarang kita untuk memuliakan Kristus dan menyembah Tuhan. Itulah sebabnya di dalam
tafsiran Kitab Daniel 6:10, John Calvin mengatakan,
Daniel‟s open profession of his faith in God has been censured as too bold and ill
judged for our imitation, but it has also been ably vindicated as an example of
perseverance in religious duty when our conscience justifies us in maintaining God‟s
truth before man.48
Hubungan Gereja dan Negara Menurut Calvin
Membahas bahkan mendeskripsikan ajaran Calvin mengenai hubungan gereja dan negara itu
tidaklah dapat dipisahkan dengan pemahaman Calvin tentang politik, walaupun Calvin tidak
menulis secara spesifik mengenai Politik.49 Menurut Christiaan de Jonge, bahwa pemahaman
Calvin mengenai negara dan hubungan antara gereja dan pemerintah pertama-tama menjadi
tampak dari penolakkannya terhadap penganut reformasi radikal yang menganggap
pemerintahan itu jahat.50
Menurut Calvin pemerintah dunia tidak berhak dalam urusan perkara-perkara yang
semata-mata mengenai hidup Gereja sendiri. Namun meskipun demikian, Calvin juga tidak
menyetujui pendapat para reformasi radikal yang mengatakan bahwa orang-orang Kristen
tidak memerlukan lagi negara, yang adalah bagian dari dunia.51 Karena dunia lama belum
berlalu, pemerintah perlu, bahkan merupakan anugerah Allah untuk menjamin kesejahteraan
masyarakat. Sehingga menurut Calvin, orang yang meniadakan pemerintah dan negara tidak
memahami keadaan dunia, yang masih dikuasai oleh dosa. Mereka juga tidak menghargai apa
yang dibuat Allah untuk melindungi orang baik terhadap yang jahat.52
Walaupun Calvin menganggap negara perlu selama gereja masih berada di dunia ini,
itu tidak berarti bahwa ia menyerahkan segala-galanya kepada pemerintah. Dengan tegas ia
menetapkan batas antara gereja dan negara atau, untuk memakai peristilahan yang lazim
dipergunakan pada waktu itu, antara pemerintahan rohani dan duniawi atau politik (dalam
arti “yang menyangkut polis”, yaitu kota atau lebih umum masyarakat). Berkaitan dengan itu,
Calvin menekankan bahwa gereja dan negara menerima dari Allah tugas yang berbeda.
Pembagian tugas ini seharusnya menjegah bahaya konflik antara gereja dan negara mengenai

47
John Calvin dan Henry Beveridge, Commentary Upon the Acts of the Apostles, vol. 2 (Bellingham,
WA: Logos Bible Software, 2010), 138.
48
John Calvin, Commentary on the Book of The Prophet Daniel, vol. 1 (Grand Rapids, Michigan, Baker
Book House: 2005), 462.
49
Yakub Tri Handoko, “RELASI GEREJA DAN NEGARA MENURUT JOHN CALVIN:
HUKUMAN MATI ATAS MICHAEL SERVETUS SEBAGAI SEBUAH CONTOH KASUS,” Jurnal
Theologia Aletheia (2019): 96
50
Christian de Jonge, Apa itu Calvinisme? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 265.
51
Ibid., 268.
52
Ibid.

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 124


Alfons R. Tampenawas: Pandangan Eklesiologi Calvin mengenai Politik Praktis dalam Pelayanan Gereja

agama. Biarapun kemajuan agama adalah kepentingan negara, kepada negara tidak diberi
tugas untuk mengatur apa yang terjadi di dalam gereja. Hak bahkan kewajiban pemerintah
untuk menentukan undang-undang terbatas pada bidang kehidupan lahiriah.53
Hubungan gereja dan negara dalam teologi Calvin sangat erat dan dapat disimpulkan
bahwa kedua lembaga ini saling berdampingan, sama-sama bertugas melaksanakan kehendak
Allah dan mempertahankan kehormatannya.54 Namun bukan dalam arti Negara boleh saja
mengambil alih semua apa yang menjadi bagian gereja, dan juga sebaliknya. Hal ini
disebabkan oleh karena Calvin yang mencita-citakan suatu pemerintahan yang teokrasi.
Sehingga dalam mewujud nyatakan cita-cita teokrasi tidak cukup kalau hanya melalui
pemberitaan firman yang dilakukan oleh Gereja, tetapi seluruh kehidupan, baik hidup
perorangan, maupun hidup masyarakat, harus diatur sesuai dengan kehendak Allah. Dan
dalam hal inilah pun pemerintah mempunyai tugas untuk mendukung gereja. Ini disebabkan
karena Johannes Calvin memiliki pandangan positif kepada Negara. Ia menolak gereja
sebagai subordinasi (di bawah) Negara, atau dengan subordinasi gereja, tetapi iuxtaposisi
(kesetaraan yang berdampingan) dan kooperatif (mitra kerjasama).

KESIMPULAN
Pada dasarnya Teologi Calvin tidak memandang negara sebagai sesuatu yang harus dijahui
maupun dibenci, akan tetapi sebaliknya dalam pengajaran Teologi Calvin gereja dan negara
merupakan lembaga yang dijinkan Tuhan untuk hadir di dunia dengan maksud melaksanakan
tugasnya masing-masing, artinya negara tidak bia berkuasa atas gereja demikian sebaliknya
gereja juga tidak bisa berkuasa atas negara. Gereja dan negara seharusnya saling mendukung
dalam melaksanakan kesejahteraan bersama bagi kehidupan bermasyarakat. Maka sebagai
gereja hal yang paling prinsip ialah menjadikan pelayanan sebagai bagian untuk menyatakan
kebenaran Firman Tuhan sehingga bisa menjadi terang dan garam, dan bukan meleburkan
pelayanan dengan politik praktis sehingga terjadi penyimpangan dalam pelayanan. Gereja
harus memiliki sikap yang tegas terhadap kegiatan politik praktis yang terjadi dalam ranah
pelayanan gereja, terutama para aktivis pelayanan gereja, dengan melarang bahkan tidak turut
melaksanakan politik praktis dengan menggunakan mimbar sebagai tempat untuk
berkampanye.

REFERENSI
AMUZZAHIDIN, MUH. IN’. “ETIKA POLITIK DALAM ISLAM,” Wahana Akademika:
Jurnal Studi Islam dan Sosial (2016).: 90
Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja Edisi yang Diperbaharui,
h. 77.
Arndt et al, William. A Greek-English Lexicon of the New Testament and Other Early
Christian Literature, (Chicago: University of Chicago Press, 2000), h. 137.
Basri, Seta. Pengantar Ilmu Politik, (Jogjakarta: Indie Book Corner, 2011), h. 2.
Batlajery, Agustinus M. L. “KONTEKS YANG MEMPENGARUHI EKELESIOGI
CALVIN,” Waskita: Jurnal Studi Agama dan Masyarakat (2014).: 119-120

53
Ibid, h. 270.
54
Th. Van den End, Harta dalam Bejana, (Jakarta: BPK-GM; 2000), h. 188.

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 125


THRONOS: Jurnal Teologi Kristen, Vol 1, No 2, Mei 2020

Batlajery, Agustinus. Konteks yang mempengaruhi Eklesiologi Calvin. Waskita. (April


2014), shh. 119-120.
Bayu Mitra Adhyatma Kusuma and Theresia Octastefani. “NEGOSIASI DAKWAH DAN
POLITIK PRAKTIS (MEMBACA ORIENTASI ORGANISASI SAYAP
KEAGAMAAN ISLAM PADA PARTAI NASIONALIS),” al-Balagh : Jurnal
Dakwah dan Komunikasi (2017).: 5-6
Berkhof, Louis. Teologi Sistematika 5 Doktrin Gereja, (Surabaya: Momentum, 2012), h. 15.
Calvin, John. Commentary on the Book of The Prophet Daniel, vol. 1 (Grand Rapids,
Michigan, Baker Book House: 2005), h. 462.
Calvin, Yohanes. Intitutio Pengajaran Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003),
h. 185.
End, Th. Van den. Harta dalam Bejana, (Jakarta: BPK-GM; 2000), h. 188.
Hall, David W. Calvin di Ranah Publik, (Surabaya: Momentum, 2011), h. 4.
Handoko, Yakub Tri. “RELASI GEREJA DAN NEGARA MENURUT JOHN CALVIN:
HUKUMAN MATI ATAS MICHAEL SERVETUS SEBAGAI SEBUAH CONTOH
KASUS,” Jurnal Theologia Aletheia (2019): 96
Imam, Hidajat. Teori-Teori Politik, (Malang: Setara, 2009), h. 2.
John Calvin dan Henry Beveridge. Commentary Upon the Acts of the Apostles, vol. 1
(Bellingham, WA: Logos Bible Software, 2010), h. 178.
John Calvin dan Henry Beveridge. Commentary Upon the Acts of the Apostles, vol. 2
(Bellingham, WA: Logos Bible Software, 2010), h. 138.
Jonge, Christian de. Apa itu Calvinisme?, (Jakarta:BPK-GM; 2001), h. 265.
Kuyper, A braham. Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme (Surabaya: Penerbit,
Momentum, 2005), h. 90.
Lugo, Gunche. Manifesto Politik Yesus, (Yogyakarta: ANDI, 2009), h. 42.
Mardiatmadja, B.S. Eklesiologi Makna dan Sejarahnya, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), h. 11.
Mcgrath, Alister E. Sejarah Pemikiran Reformasi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), h.
259.
Meeter, H. Henry. Pandangan-Pandangan Dasar Calvinisme, (Surabaya: Penerbit
Momentum, 2012), h. 99.
Miriam, Budiarjo. Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 14.
Na’im, Moh. Abu. “HOAKS Sebagai Konstruksi Sosial Untuk Kepentingan Politik Praktis
Dalam Pilgub DKI Jakarta,” Jurnal Darussalam: Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan
Pemikiran Hukum Islam (2017).: 364-365
Saragih, Erman S. “Penatalayanan Gereja Dalam Politik Praktis,” Didaskein (2016).: 2
Simamora, Adolf Bastian. “POLITIK MENURUT ALKITAB DAN IMPLIKASINYA BAGI
PERAN GEREJA DALAM PUSARAN POLITIK DI INDONESIA,” Voice of
Wesley: Jurnal Ilmiah Musik dan Agama (2019).: 3
Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011), h. 73.
Susanta, Yohanes Krismantyo. “Orang Kristen Dan Politik: Belajar Dari Kasus Salomo Dan
Adonia Dalam Persaingan Menuju Takhta,” DUNAMIS: Jurnal Teologi dan
Pendidikan Kristiani (2019).: 23
Waltner E. "The Anabaptist Conception ot the Church", dalam The Mennonite Quarterly
Review, 25, 1951, hh. 11-13.
Wendel, Francois. CALVIN Asal Usul dan Perkembangan Pemikiran Religiusnya, (Surabaya:
Momentum, 2010), h. 337.
Winarno, Ronny. “ARTI PENTING NILAI-NILAI DAN NORMA HUKUM DALAM
BERPOLITIK PRAKTIS,” Perspektif (2015).: 82

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 126


Alfons R. Tampenawas: Pandangan Eklesiologi Calvin mengenai Politik Praktis dalam Pelayanan Gereja

Copyright© 2020, THRONOS: Jurnal Teologi Kristen | 127

Anda mungkin juga menyukai