Anda di halaman 1dari 16

GEREJA DALAM POLITIK

(Oleh: RD. Domincs Baldawins Masriat)

PENDAHULUAN

Dewasa ini dunia semakin berkembang dan terbuka namun terkadang manusia belum
terlalu memahami mengenai perbuatan baik yang harus dilakukan. Dan lebih parah lagi bahwa
manusia tekadang telah mengetahui mengenai perbuatan baik tetapi tidak mengindahkannya
sehingga ada begitu banyak tindakan-tindakan tidak bermoral yang terjadi dalam kehidupan
manusia. Salah satu bidang yang terkadang menunjukkan mengenai tindakan tidak bermoral itu
yakni politik. Elite politik atau politikus terkadang menunjukkan tindakan-tindakan yang tidak
bermoral dalam dunia politiknya. Ada usaha-usaha untuk mengedepankan kepentingan pribadi
atau kelompok dan mengabaikan kepentingan umum atau kepentingan bersama.1 Korupsi yang
selalu menjadi masalah di berbagai elemen politik atau sering menjadi catatan buram dalam
sistem demokrasi. Kolusi dan nepotisme sering juga terjadi karena menggunakan kekuasaan atau
wewenang yang salah.2 Akhirnya yang menjadi korban atau yang menderita dalam permainan
politik atau politik busuk adalah masyarakat.3 Dengan kata lain, masyarakat tidak memperoleh
kesejahteraan dan kebaikan bersama karena ada manipulasi dan rekayasa politik dengan
mengatakan bahwa memang politik itu begitu atau memang itu politik. Seakan-akan telah
diterima secara wajar bahwa politik itu kotor dan tidak bermoral.4
Memang para pemikir politik sejak zaman Yunani Kuno mengatakan bahwa politik
dikaitkan dengan kekuasaan dan terlepas dari masalah moral tetapi hal ini bersifat netral.
Implikasi prinsip politik dapat dipergunakan pada tujuan apa saja, baik ataupun buruk! Gagasan
atau cita-cita demokrasi juga telah memberikan motivasi bahwa kekuasaan itu sah jika berasal
dari rakyat dan dipergunakan untuk rakyat. Kedua hal ini harus dipenuhi karena kekuasaan yang
berasal dari rakyat bisa juga disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan yang
bertentangan dengan kesejahteraan rakyat.5 Sementara itu, tidak ada jaminan bahwa kekuasaan
yang tidak berasal dari rakyat akan terus dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Oleh karena
itu sangat penting ungkapan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang dikatakan oleh
mantan presiden amerika Serikat Abraham Lincoln.6 Namun bukan berarti bahwa kepentingan
perseorangan atau golongan tidak mempunyai tempat dan tidak boleh diperjuangkan dalam
demokrasi. Kepentingan seperti itu sah sepanjang tidak bertentangan dengan kesejahteraan
rakyat.7 Kepentingan rakyat akan kesejahteraan juga sering disebut sebagai kepentingan atau
kesejahteraan umum, yang mengandung arti bahwa kepentingan perseorangan dan golongan
menjadi bagian yang integral.8

1Bdk. Andre Ata Udjan, Politik Katolik, Politik Kebaikan Bersama (Jakarta: Obor, 2008),
hlm. 3.
2
Bdk. Andre Ata Udjan, Politik Katolik, Politik Kebaikan Bersama, hlm. 3.
3Bdk.
Y. Kopong Tuan, OMK Ikut Gerakan Politik? Siapa Takut?! (Yogyakarta:
Kanisius, 2009), hlm. 26
4 Bdk. J. Soedjati Djiwandono, Gereja dan Politik (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm 36.
5 Ibid., hlm. 36
6 Ibid., hlm 37
7 Ibid., hlm. 37
8 Ibid., hlm. 37

1
Dengan demikian, cita-cita demokrasi memberi peluang kepada umat Kristen untuk
berpartisipasi dalam kehidupan politik sebagai wahana penghayatan iman, dalam pengertian ikut
serta memperjuangkan kesejahteraan umum.9 Dengan kata lain, gereja perlu terlibat dalam
kehidupan politik untuk memperjuangan kesejahteraan umum dan kebaikan bersama masyarakat.
GS Art 1 mengatakan:
“Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang zaman sekarang
terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan
dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga”.

GS Art 43 pun mengatakan bahwa “Konsili mendorong umat kristiani,


warganegara kedua pemukiman, supaya dijiwai oleh semangat Injil mereka
berusaha menunaikan dengan setia tugas-kewajiban mereka di dunia.
Menyimpanglah dari kebenaran mereka, yang tahu bahwa di sini kita tidak
mempunyai tempat tinggal yang tetap, melainkan mencari pemukiman yang akan
datang, dan karena itu mengira dapat melalaikan tugas-kewajiban mereka di
dunia, tanpa mengindahkan, bahwa justru karena iman sendiri mereka lebih
terikat kewajiban untuk menjalankan tugas-tugas itu, menurut panggilan mereka
masing-masing
Oleh karena itu gereja sangat perlu untuk terbuka dari kemapanannya dan beralih menuju
situasi konkrit yang dialami manusia. Gereja perlu terlibat secara mendalam dengan persoalan-
persoalan dunia termasuk persoalan dalam dunia politik.10 Ketua komisi kerasulan awam KWI,
Mgr Yustinus Harjosusanto menegaskan Gereja perlu terlibat dalam ranah politik karena Gereja
juga mempunyai tanggung jawab terhadap perkembangan dan perjalanan bangsa ini.11
Yang menjadi pertanyaan pokok adalah apa itu politik dan bagaimana kelerlibatan gereja
dalam politik?
Adapun untuk menjawab pertanyaan ini, penulis akan mengangkat mengenai pertama,
politik dan prinsip-prinsip etika politik. Kedua, keterlibatan gereja dalam dunia politik, ketiga,
analisis kritis penulis tentang keterlibatan gereja.

1. Politik dan Prinsip-Prinsip Etika Politik (Dalam Terang Gaudium Et Spes)


1.1. Defenisi Politik
Politik adalah suatu usaha dan pembicaraan yang menyangkut kepentingan umum atau
berpautan dengan publik (pro bono publio).12 Jadi berpolitik tidak terlepas dari kehidupan
bersama. Politik selalu berkaitan dengan kehidupan bersama yang memperlihatkan mengenai
relasi-relasi manusia dalam kehidupan. Dan relasi ini tidak terlepas dari sebuah usaha untuk
meningkatkan kesejahteraan umum.13 Dengan kata lain, politik berarti sebuah usaha untuk
menata kehidupan bersama dalam kemerdekaan dan kesamaan hak dengan berpedoman pada
perikemanusiaan. Sehingga dengan tertatanya kehidupan bersama secara baik maka politik dapat
bertanggungjawab untuk mengantar setiap orang pada bonum comune atau kebaikan bersama.
Dan semuanya ini dapat terjadi jika ada aspek pengabdian dalam diri elite politik. Dia melihat

9Ibid., hlm. 37
10 Lih. Isidorus Lilijawa, Mengapa Takut Berpolitik? (Yogyakarta: Yayasan Pustaka
Nusatama, 2007), hlm. 78
11 Y Prayogo, “Umat Katolik Bertanggung Jawab”, Majalah Hidup, Vol 46. (2016), hlm

14
12 Lih. Isidorus Lilijawa, Mengapa Takut Berpolitik?, hlm. 29
13 Ibid., hlm. 29

2
pekerjaan politiknya sebagai sebuah pengabdian untuk kepentingan bersama dan bukan untuk
kepentingan pribadi. Dengan kata lain, melalui kerja seperti ini maka setiap orang akan
merasakan keadilan dan cinta kasih karena kepentingan bersama telah dipenuhi.14
Konsili Vatikan II mengatakan: “Tugas keadilan dan cinta kasih semakin
dipenuhi, bila setiap orang menurut kemampuannya sendiri dan menanggapi
kebutuhan-kebutuhan sesama memberikan sumbangannya kepada kesejahteraan
umum, serta memajukan dan membantu lembaga-lembaga umum maupun swasta,
yang melayani peningkatan kondisi-kondisi hidup orang-orang.” (GS Art 30)
Dengan demikian sangat dibutuhkan pengabdian dari setiap orang dalam menjalani hidup
untuk kesejahteraan umum dan kebaikan bersama. Manusia perlu memberikan diri sesuai
kemampuannya untuk menanggapi kebutuhan sesama dengan memberikan kesejahteraan umum
dan peningkatan kondisi hidup setiap orang. Dengan kata lain, inilah yang sangat dibutuhkan
dalam berpolitik. Elite politik atau aktor politik perlu menjalankan tugas politiknya dengan
memberikan diri secara sempurna untuk kesejahteraan umum dan kebaikan bersama. Dan untuk
terpenuhinya kesejahteraan umum, Konsili Vatikan II mengatakan bahwa yang harus
diperhatikan adalah:
“keseluruhan kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan, yang memungkinkan baik
kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan, untuk secara lebih
penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri. Setiap kelompok
harus memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan serta aspirasi-aspirasi kelompok-
kelompok lain yang wajar, bahkan kesejahteraan umum segenap keluarga
manusia.” (GS Art 26). Adapun hak-hak dan kewajiban yang perlu untuk
mendukung kesejahteraan umum adalah: “........ misalnya nafkah, pakaian,
perumahan, hak untuk dengan bebas memilih status hidupnya dan untuk
membentuk keluarga, hak atas pendidikan, pekerjaan, nama baik, kehormatan,
informasi yang semestinya, hak untuk bertindak menurut norma hati nuraninya
yang benar, hak atas perlindungan hidup perorangan, dan atas kebebasan yang
wajar, juga perihal agama.” (GS Art 26)

1.2. Prinsip-Prinsip Etika Politik


1.2.1. Menghargai Martabat Manusia
Manusia adalah citra Allah karena diciptakan menurut gambar Allah.15 Manusia
dipandang sebagai makhluk yang paling mulia karena memiliki akal budi, kehendak bebas dan
hati nurani.16Dengan kata lain, karena manusia merupakan makhluk yang paling mulia sehingga
harusnya dihargai sebagai pribadi yang bermartabat. Dan hal praktis mengenai menghargai
pribadi yang bermartabat adalah memandang sesamanya sebagai pribadi kita yang lain.17 Adapun
dalam Konsili Vatikan II, dikatakan bahwa:
“Semua orang mempunyai jiwa yang berbudi dan diciptakan menurut gambar
Allah, dengan demikian mempunyai kodrat serta asal mula yang sama. Mereka
semua ditebus oleh Kristus, dan mengemban panggilan serta tujuan ilahi yang
sama pula. Maka harus semakin diakuilah kesamaan dasariah antara semua
orang” (GS Art 29).

Dengan demikian, dalam menjalankan politik, elite politik atau aktor politk dapat
berusaha untuk menghargai martabat manusia. Manusia jangan diperalat untuk mencari

14 Ibid., hlm 28
15 GS Art 12
16 GS Art 15-17
17 GS Art 27

3
keuntungan tertentu dalam berbagai bidang termasuk politik. Yang harus terjadi adalah elite
politik atau aktor politik dapat bekerja sesuai dengan politik yang sebenarnya sehingga
kesejahteraan umum dan kebaikan bersama dapat terpenuhi.18

1.2.2. Negara Sebagai Sarana


Keberadaan negara merupakan sebuah usaha kodrati manusia sebagai makhluk sosial
yang mewujudkan kehidupan yang sungguh manusiawi. Dan untuk mewujudkan itu, manusia
diarahkan untuk membangun relasi-relasi di dalam negara agar dapat memperoleh kesejahteraan
umum dan kebaikan bersama. Setiap manusia perlu hidup rukun dan berani mengabdikan diri
untuk kesejahteraan umum sehingga hak dari masing-masing orang, keluarga-keluarga dan
pelbagai kelompok terpenuhi.19
Konsili Vatikan II mengatakan: “Orang-orang, keluarga-keluarga dan pelbagai
kelompok, yang bersama-sama membentuk masyarakat sipil, menyadari
kurangnya kemampuan mereka untuk mewujudkan kehidupan yang sungguh
manusiawi. Mereka memahami perlunya rukun hidup bersama yang lebih luas,
yang memberi ruang kepada semua anggotanya, untuk dari hari ke hari
menyumbangkan tenaga mereka sendiri demi semakin terwujudnya kesejahteraan
umum[155]. Oleh sebab itu mereka membentuk negara menurut pelbagai pola.
Maka negara ada demi kesejahteraan umum, menemukan dasar keberadaannya
sepenuhnya serta maknanya dalam kesejahteraan itu, dan mendasarkan hak
kemandiriannya yang otentik padanya. Kesejahteraan umum mencakup
keseluruhan kondisi-kondisi kehidupan sosial, yang memungkinkan orang-orang,
keluarga-keluarga dan perhimpunan-perhimpunan mencapai kesempurnaan
mereka secara lebih penuh dan lebih mudah”(GS Art 74)
Dengan demikian negara ada sebagai sarana untuk kesejahteraan umum dan kebaikan
bersama. Negara bukanlah dijadikan sebagai tempat untuk memperkaya diri dan memiskinkan
orang lain melainkan sebagai tempat untuk mewujudkan manusia yang lebih bermartabat.
Dengan kata lain, kegiatan politik yang dibangun dalam negara haruslah memperhatikan aspek
moralitas. Politik perlu menghormati pribadi, keluarga, dan pelbagai kelompok.20 Politik harus
menciptakan ruang yang bebas supaya setiap warga negara memperoleh kesempatan yang sama
untuk mengembangkan diri dalam kehidupan bernegara.21
Konsili Vatikan II menegaskan: “.....pelaksanaan kekuasaan politik, baik dalam
masyarakat sendiri, maupun di lembaga-lembaga yang mewakili negara, selalu
harus berlangsung dalam batas-batas tata moral, untuk mewujudkan
kesejahteraan umum....” (GS Art 74).
Hal ini penting karena negara dibentuk sebagai sarana untuk memperjuangkan
kesejahteraan umum. Setiap orang, keluarga, pelbagai kelompok yang secara bersama-sama
membentuk masyarakat, menyadari akan perlunya mewujudkan manusia yang bermartabat dan
hidup dalam kebaikan bersama sehingga mereka membentuk keluarga untuk kesejahteraan
umum.22

18 Bdk. Isidorus Lilijawa, Mengapa Takut berpolitik?, hlm. 35


19 Ibid., hlm. 36
20 GS Art 27
21 Bdk. Isidorus Lilijawa, Mengapa Takut Berpolitik?, hlm. 36
22 GS Art 74

4
1.2.3. Subsidiaritas
Subsidiaritas berarti sesuatu yang diputuskan, dilaksanakan, atau ditangani oleh instansi
rendah tidak pantas dan tidak perlu diputuskan, dilaksanakan atau ditangani oleh instasi yang
lebih tinggi. Hanya dalam kondisi ketika instansi yang lebih rendah mengalami keterbatasan atau
ketidakmampuan, instansi yang lebih tinggi dapat memberikan bantuan atau subsidi menurut apa
yang secara riil dibutuhkan.23
Hal ini jelas bahwa prinsip subsidiaritas berlawanan dengan semangat politik top-down
yang otoriter dan totaliter. Prinsip subsidiaritas bertentangan dengan sentralisme dan monopoli
kekuasaan yang melahirkan etatisme atau campur tangan negara yang berlebihan.dalam wilayah
pribadi masyarakat. Dengan kata lain, politisi hendaknya mengemban tugasnya dengan rasa
hormat terhadap martabat pribadi manusia sebagai makhluk yang berbudi, berkebebasan, dan
bertanggungjawab atas dirinya.24
Hal ini penting “Supaya manusia bertindak menurut pilihannya yang sadar dan
bebas, artinya: digerakkan dan di dorong secara pribadi dari dalam, dan bukan
karena rangsangan hati yang buta, atau semata-mata paksaan dari luar” (GS Art
17)
Para politisi pun tidak dapat begitu saja mengambil alih hak-hak warga masyarakat.
Adapun politisi harus berjuang dengan gigih melawan setiap perbudakan manusia serta
mengabdi kepada hak-hak asasi manusia.25 Kebebasan bertindak dari masyarakat haruslah
dihargai.26 Sehingga kehadiran para politisi semestinya memberi motivasi dan bantuan kepada
masyarakat untuk semakin kreatif dan inisiatif. Pemerintah dan pelaku-pelaku politik mesti
berani memasuki ruang batin masyarakat dan mendengar jeritan hati mereka. Sebab kepentingan
rakyat merupakan tujuan pengabdian dan pelayanan para politisi maupun pemerintah.27

1.2.4. Solidaritas
Prinsip ini memberikan penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai
tanggungjawab atas keadaan masyarakat dan harus ikut serta untuk berkorban bagi sesama.
Bertanggungjawab atas rakyatnya tanpa mengorbankan kepentingan sebagian orang terutama
mereka yang miskin. Perlu ada keterlibatan dalam usaha-usaha bersama untuk meningkatkan
kesejahteraan umum.28
Konsili Vatikan II mengatakan: “Oleh karena itu semua orang perlu di dorong
kemauan untuk melibatkan diri dalam usaha-usaha bersama. Memang layak
dipujilah pola bertindak bangsa, bila sebanyak mungkin warganya dalam
kebebasan sejati melibatkan diri dalam urusan-urusan kenegaraan umum. Tetapi
perlu diperhitungkan juga keadaan nyata setiap bangsa, begitu pula perlunya
pemerintahan yang cukup kuat. Adapun supaya semua warganegara bergairah
untuk melibatkan diri dalam kehidupan pelbagai kelompok, yang seluruhnya
membentuk tubuh masyarakat, perlulah bahwa dalam kelompok-kelompok itu
mereka temukan nilai-nilai, yang menarik bagi mereka, dan membangkitkan
kesediaan mereka untuk melayani sesama. Memang wajarlah pandangan kita,
bahwa nasib bangsa di kemudian hari terletak di tangan mereka, yang mampu

23 Lih. Isidorus Lilijawa, Mengapa Takut Berpolik?, hlm. 36


24 Ibid., hlm 37
25 GS Art 29
26 GS Art 17
27 Lih. Isidorus Lilijawa, Mengapa Takut Berpolitik?, hlm. 37
28 Ibid., hlm. 37

5
mewariskan kepada generasi-generasi mendatang dasar-dasar untuk hidup dan
berharap” (GS Art 31)
Dengan demikian solidaritas berarti suatu tindakan keberanian untuk keluar dari diri dan
terlibat dalam setiap usaha-usaha bersama. Berusaha untuk melibatkan diri dalam urusan-urusan
kenegaraan khususnya memperhatikan warga yang belum mengalami kesejahteraan umum.
Politikus dan pemerintah harus kuat memainkan peran dalam membentuk kesatuan antara
kelompok-kelompok agar setiap kelompok bersedia untuk saling melayani, saling menerima,
saling menghormati.29 Dengan kata lain, “setiap cara diskriminasi dalam hak-hak asasi pribadi,
entah bersifat sosial entah budaya, berdasarkan jenis kelamin, suku, warna kulit, kondisi sosial,
bahasa atau agama, harus diatasi dan disingkirkan” (GS Art 29).

1.2.5. Prinsip the Common Good


The commod good adalah prinsip politik yang memungkinkan atau menghendaki setiap
orang memperoleh kesejahteraan dan kebaikan. Prinsip ini menolak atau menentang program
politik atau partai politik yang hanya memperjuangkan atau mensejahterakan kepentingan
kelompok atau golongan tertentu. prinsip ini menolak atau melawan politik simbolis. Politik
yang menggunakan simbol-simbol agama atau budaya untuk mencari dukungan dari konstituen
primordial. Prinsip ini mewajibkan semua lembaga pemerintah atau lembaga perwakilan rakyat
untuk semakin dekat dengan rakyat. Semakin memahami kondisi riil dari masyarakat dan
memihak kepada kepentingan rakyat. Dengan kata lain, masyarakat akan memperoleh
kesejahteraan jika pejabat publik semakin mengenal kebutuhan-kebutuhan dasar dari manusia.30
Adapun kebutuhan dasar manusia yang digambarkan oleh Konsili Vatikan II
sebagai hak manusia misalnya “nafkah, pakaian, perumahan, hak untuk dengan
bebas memilih status hidupnya dan untuk membentuk keluarga, hak atas
pendidikan, pekerjaan, nama baik, kehormatan, informasi yang semestinya, hak
untuk bertindak menurut norma hati nuraninya yang benar, hak atas
perlindungan hidup perorangan, dan atas kebebasan yang wajar, juga perihal
agama” (GS Art 26).

2. Keterlibatan Gereja Dalam Politik


Mgr. Soegijapranata mengatakan: 100% Katolik dan 100% Indonesia. Artinya seorang
Katolik tidak pernah bisa hidup terpisah dari konteks hidupnya, yakni hidup bermasyarakat.
Keterlibatan seorang beriman di dalam Gereja mesti dilengkapi pula dengan keterlibatan di
dalam hidup bersama di dalam masyarakat.31 Dengan kata lain, gereja secara tegas tidak
mengenal politik praktis. Bahkan gereja pun tidak berwenang menawarkan suatu bentuk atau
sistem politik yang tepat untuk masyarakat luas. Namun gereja harus mampu menyuarakan visi
hidup bermasyarakat dan bermartabat berdasarkan iman katolik yang benar.32 Gereja dan negara
bersifat otonom tetapi keduanya mempunyai hubungan. Manusia yang ada di dalam negara
disebut sebagai warga negara tetapi sekaligus juga warga gereja karena menjadi anggota di

29Lih. J. Soedjati Djiwandono, Gereja dan Politik, hlm 175


30Ibid., hlm. 38-39.
31 Bdk. Mateus Mali, Konsep Berpolitik Orang Kristiani (Yogyakarta: Kanisius, 2014),

hlm 155.
32 Ibid., hlm. 155

6
dalam gereja. Oleh karena itu, gereja juga mempunyai tanggungjawab untuk menyuarakan
mengenai hidup yang lebih sejahtera bagi setiap orang.33
Konsili vatikan II mengatakan: “bidang masing-masing negara dan Gereja
bersifat otonom tidak saling tergantung. Tetapi keduanya, kendati atas dasar
yang berbeda, melayani panggilan pribadi dan sosial orang-orang yang sama.
Pelaksanaan itu akan semakin efektif dijalankan oleh keduanya demi
kesejahteraan umum, semakin baik keduanya menjalin kerja sama yang sehat,
dengan mengindahkan situasi setempat dan sesama. Sebab manusia tidak
terkungkung dalam tata duniawi melulu, melainkan sementara mengarungi
sejarah manusiawi ia sepenuhnya mengabdi kepada panggilannya untuk
kehidupan kekal. Gereja, yang bertumpu pada cinta kasih Sang Penebus,
menyumbangkan bantuannya, supaya di dalam kawasan bangsa sendiri dan
antara bangsa-bangsa makin meluaslah keadilan dan cinta kasih. Dengan
mewartakan kebenaran Injil, dan dengan menyinari semua bidang manusiawi
melalui ajaran-Nya dan melalui kesaksian umat kristen, Gereja juga
menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para
warganegara.” (GS Art 76)
Adapun yang perlu diperhatikan dalam keterlibatan gereja di bidang politik adalah
berpatokan pada nilai-nilai injili yang dibawakan oleh Kristus (iman dan injilNya)34 dan
memperhatikan tujuan berpolitik yakni kesejahteraan dan kebaikan bersama.35

2.1. Yesus Menjadi Patokan Bagi Keterlibatan Gereja Dalam Dunia-Politik


Dalam warta kitab suci perjanjian baru tidak dikatakan secara pasti mengenai keterlibatan
Yesus dalam dunia politik karena Yesus tidak termasuk dalam partai atau gerakan politik demi
pembebasan dari penjajahan Romawi. Ia adalah pribadi yang bebas dan hanya mau
memperjuangkan tegaknya kerajaan Allah. Namun kehidupanNya sangat dekat dan terlibat
dalam masyarakat sehingga tentunya memberikan sedikit pengaruh politik bagi perkembangan
kehidupan masyarakat pada waktu itu.36
Adapun beberapa sikap yang digambarkan sebagai sikap politik dari Yesus yakni:
Pertama, Yesus menentang status quo agama dan politik. Yesus menentang orang-orang kelas
atas agama, politik dan sosial yang selalu memandang orang lain rendah (bdk., Luk 18:9-14).
Yesus menentang mereka sambil memperlihatkan kemunafikan mereka. Yesus menegaskan
bahwa kejujuran dan kebenaran harus diwartakan (bdk., Yoh 18:38).37 Dengan kata lain, sikap
politik yang benar dan perlu ditekankan adalah menentang kemunafikan yang ada dalam diri dan
kelompok politik serta berusaha untuk memperjuangkan kejujuran dan keadilan. Hal ini penting
agar setiap orang yang berada pada kemapanan status tertentu jangan membangun
kecenderungan untuk menindas orang kecil karena ingin mempertahankan statusnya.38
Kedua, sikap keberpihakan Yesus terhadap orang miskin. Sejak semula Yesus memilih
posisi berada bersama orang miskin. Ia memilih mereka karena mereka tidak mempunyai siapa-
siapa dan tidak mempunyai apa-apa. Yesus berpihak kepada mereka (bdk. Luk 4:16-20) dan
senantiasa menolong mereka. Yesus berusaha untuk memperjuangkan keadaan orang miskin

33 Bdk.J. Soedjati Djiwandono, Gereja dan Politik, hlm. 37


34Bdk. Mateus Mali, Konsep Berpolitik Orang Kristiani, hlm. 155
35 Bdk. Isidorus Lilijawa, Mengapa Takut Berpolitik?, hlm. 39
36 Bdk. Mateus Mali, Konsep Berpolitik Orang Kristiani, hlm. 147
37 Ibid., hlm. 147
38 Ibid., hlm. 148

7
agar mereka hidup sejahtera, “Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi
tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar
baik” (Mat 11:5).39 Dengan kata lain, dari sikap Yesus itu, kita boleh menarik kesimpulan bahwa
politik sebetulnya bertujuan agar orang hidup sejahtera. Bonum comune adalah tujuan dari hidup
bersama. Bentuk paling jelas dari bonum comune adalah tidak boleh ada orang miskin, orang-
orang tidak boleh dimarjinalkan karena mereka buta, sakit, kusta, tuli, dll. Berpolitk yang sejati
adalah mengambil posisi keberpihakan kepada orang miskin karena mereka adalah orang-orang
yang paling tersingkir dari arus kesejahteraan itu.40
Ketiga, berjuang demi keadilan dan kebenaran. Keadilan dan kebenaran dalam pengertian
Yesus adalah bertindak menurut hukum. Kata Yesus, “Karena itu aku berkata kepadamu:
Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan
ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena itu siapa yang meniadakan
salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian
kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang tinggi dalam kerajaan Sorga,” (Mat
5:18-19).41 Yesus berjuang membela keadilan dan kebenaran karena kedua nilai itu adalah nilai
moral dasariah yang dipakai dalam hidup sosial-politik. Tanpa kedua nilai ini kehidupan sosial-
politik akan timpang. Pandangan politik Yesus sangat jelas: politik berarti pelayanan. kata Tuhan
Yesus, “Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan
tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah
demikian di anatara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu dan barangsiapa ingin menjadi
terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu” (Mat 20:25-27).42 Berpolitik berarti
berusaha mensejahterakan orang lain melalui pelayanan-pelayanan. Dengan demikian konsep
politik Yesus sangat tegas: berpolitik berarti membuat orang menjadi sejahtera dan seorang
pemimpin adalah seorang hamba, bukan tuan yang harus dilayani.43
Keempat, gerakan cinta. Gerakan yang dipimpin oleh Yesus adalah gereja cinta.
keterlibataNya adalah keterlibatan untuk membawa orang hidup dalam cinta. Cinta itu tidak
pernah melegalkan kekerasan. Kata Yesus kepada Petrus: “sarungkan pedangmu itu; bukankah
Aku harus minum cawan yang diberikan Bapa kepadaKu?” (Yoh 18:11). Penginjil Yohanes
membangun teologinya dalam garis non violence ini dengan menyimpulkan bahwa Yesus mati di
salib bukan karena manusia menghukum Dia melainkan karena Dia mencintai manusia sehingga
Dia rela mati di Salib.44 Gerakan perubahan politik yang dilakukan oleh Yesus adalah gerakan
tanpa kekerasan. Gerakannya memang menuntut perubahan namun perubahan itu haruslah
dilandasi cinta.45

39 Ibid., hlm. 148


40 Ibid., hlm. 148
41 Ibid., hlm. 149
42 Ibid., hlm 149
43 Ibid., hlm. 149
44 Ibid., hlm. 150
45 Ibid., hlm. 150

8
2.2. Gereja Terlibat Dalam Memajukan Kesejahteraan Umum Dan Kebaikan Bersama
Memajukan kesejahteraan umum dan kebaikan bersama adalah usaha memfasilitasi
manusia untuk hidup secara manusiawi. Hidup manusiawi berarti kemudahan untuk memenuhi
kebutuhan wajar untuk dapat hidup sesuai dengan martabat pribadi manusia.46
Dengan kata lain, Konsli Vatikan II mengatakan: “keseluruhan kondisi-kondisi
hidup manusia secara pribadi dan kelompok terpenuhi karena setiap kelompok
memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan serta aspirasi-aspirasi kelompok-
kelompok lain secara wajar” (GS Art 26).

Adapun kebutuhan-kebutuhan yang harus disedikan bagi manusia agar hidup


lebih manusiawi atau lebih sejahtera antara lain: “nafkah, pakaian, perumahan,
hak untuk dengan bebas memilih status hidupnya dan untuk membentuk keluarga,
hak atas pendidikan, pekerjaan, nama baik, kehormatan, informasi yang
semestinya, hak untuk bertindak menurut norma hati nuraninya yang benar, hak
atas perlindungan hidup perorangan, dan atas kebebasan yang wajar, juga
perihal agama.” (GS Art 26)

Dengan kata lain, kebutuhan-kebutuhan ini dapat terpenuhi untuk memajukan


kesejahteraan umum dan kebaikan bersama jika dunia ditata dalam kebenaran, keadilan, cinta
kasih dan kebebasan yang wajar.
Konsili Vatikan II mengatakan “Tata dunia harus semakin dikembangkan,
didasarkan pada kebenaran, dibangun dalam keadilan, dihidupkan dengan cinta
kasih, harus menemukan keseimbangan-nya yang semakin manusiawi dalam
kebebasan” (GS Art 26)

2.2.1. Memperjuangkan Kebenaran


Kebenaran adalah suatu sifat dari kepercayaan yang diturunkan dalam kalimat untuk
mengungkapkan kepercayaan tersebut. Dan pengungkapan itu mempunyai hubungan dengan
fakta.47 Dengan kata lain, sesuatu dikatakan benar jika ada hubungan antara kepercayaan,
kalimat yang mengungkapkan kepercayaan itu dan fakta.48
Adapun kebenaran dapat dikatakan juga sebagai suatu konsensus nilai-nilai yang secara
sepakat dibenarkan oleh suatu komunitas atau lembaga, baik lembaga besar maupun kecil,
termasuk individu; baik kebenaran kemanusiaan menurut aturan agama, kebenaran keagamaan
menurut manusia; kebenaran ketatanegaraan menurut pemerintah, kebenaran ketatanegaraan
menurut yang diperintah; maupun kebenaran-kebenaran yang lainnya. Semua kebenaran menurut
versinya masing-masing.49
Dalam kaitan dengan kebenaran politik, dapat dikatakan bahwa kebenaran bukan saja
mencakup konsensus oleh suatu komunitas atau lembaga dan sesuai dengan versinya masing-
masing tetapi mencakup semua manusia.50 Oleh karena itu semua orang yang terlibat aktif dalam
politik perlu menyadari bahwa kebaikan dan kebenaran politik diketahui oleh mayoritas banyak
pihak dan ditujukan untuk kesejahteraan dan kebaikan semua orang.51

46 Bdk. Isidorus Lilijawa, Mengapa Takut Berpolitik?, hlm. 39


47 Bdk. Jujun Siruasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta: Obor, 2001), hlm. 76
48 Ibid., hlm. 76
49 Bdk. Budi Susanto, Sisi Senyap Politik Bising (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 162
50 Bdk. Abdul Munir Mulkhan, Moral Politik Santri: Agama dan Pembelaan Kaum

Tertindas (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 137


51 Ibid., hlm 137

9
Dengan demikian yang sangat dibutuhkan oleh mereka yang terlibat aktif dalam politik
adalah bertindak secara jujur, tulus dan terbuka karena kebenaran itu berkaitan dengan kejujuran,
ketulusan hati dan keterbukaan diri.
KGK 2468 mengatakan “kebenaran dalam arti bertindak dan berbicara secara
jujur berarti kejujuran, ketulusan hati atau sikap berterus terang. Kebajikan
ketulusan hati atau kejujuran menuntut bahwa orang nyata sebagai benar dalam
perbuatannya, mengatakan kebenaran dalam kata-katanya dna menjauhkan diri
dari lidah bercabang, kepura-puraan, penipuan, dan kemunafikan.”

KGK 2469 pun memberi penegasan bahwa “manusia tidak dapat hidup bersama
dalam suatu masyarakat, kalau mereka tidak saling mempercayai, sebagai orang
yang menyatakan kebenaran satu kepada yang lain”. Kebajikan kejujuran
memberi kepada orang lain apa yang menjadi haknya. Ia mempertahankan jalan
tengah antara apa yang harus dikatakan dan rahasia yang harus dipegang. Untuk
itu diperlukan kejujuran dan sikap memegang rahasia. “seseorang berkewajiban
menyampaikan kebenaran kepada orang lain demi kejujuran”

Dan secara khusus untuk orang kristen yang terlibat dalam dunia politik, perlulah untuk
berpegang pada Kristus karena Dia adalah kebenaran. Dengan kata lain, kebenaran akan tetap
nyata dalam dunia jika aktor politik bersedia pada kebenaran.52
KGK 2470 mengatakan: “Murid Kristus siap hidup dalam kebenaran, artinya
dalam kesederhanaan hidup menurut contoh Tuhan; dengan demikian ia tinggal
dalam kebenaran. “Jika kita katakan, bahwa kita beroleh persekutuan dengan
Dia, namun kita hidup dalam kegelapan, kita berdusta dan kita tidak melakukan
kebenaran” (1 Yoh 1:6).

Dengan kata lain, gereja dipanggil untuk hidup dalam kebenaran, menjaga kebenaran itu
dan membangun solidaritas secara bersama-sama sebagai satu bangsa untuk memperjuangkan
kebenaran.53 Tidak perlu takut untuk mengatakan dan bertindak secara benar. Ketika gereja
bertindak secara benar, gereja berada dalam persekutuan dengan Kristus untuk memperjuangkan
kebenaran-kebenaran Injil.54

2.2.2. Memperjuangkan Kesamaan Martabat Dan Keadilan Sosial


Kehidupan berpolitik merupakan suatu kegiatan untuk memperjuangkan cita-cita yang
luhur yakni kesejahteraan dan kebaikan bersama tetapi terkadang tujuan itu tidak dicapai karena
ada kecenderungan-kecenderungan untuk mendiskriminasi hak-hak asasi pribadi berdasarkan
jenis kelamin, suku, warna kulit, kondisi sosial, bahasa atau agama sehingga gereja perlu
menyuarakan hal-hal ini lewat kehidupan bermasyarakat.55 Gereja perlu terlibat untuk
menghindarkan diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat karena hal ini berkaitan dengan
panggilan gereja untuk memperjuangkan kesamaan martabat manusia dan keadilan sosial.56
Manusia diciptakan sesuai dengan citra Allah sehingga tidak perlu adanya diskriminasi-
diskrimasi sosial.

52Bdk. Olaf H Schumann, Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan


(Jakarta: Gunung Mulia, 2006), hlm. 73
53 Bdk. Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus, 10: AAS 83 (1991), 805-806
54Bdk. Ignatius Suharyo, Gereja yang Melayani dengan Rendah Hati (Yogyakarta:

Kanisius, 2009), hlm. 92


55 GS Art 29
56 GS Art 29

10
Dokumen konsili Vatikan II mengatakan: “Semua orang mempunyai jiwa yang
berbudi dan diciptakan menurut gambar Allah, dengan demikian mempunyai
kodrat serta asal mula yang sama. Mereka semua ditebus oleh Kristus, dan
mengemban panggilan serta tujuan ilahi yang sama pula. Maka harus semakin
diakuilah kesamaan dasariah antara semua orang.” (GS Art 29).
Dengan kata lain, ketika kesamaan martabat manusia diperhatikan secara baik, kehidupan
manusia pun akan semakin manusiawi dan adil. Karena yang menjadi batu sandungan bagi usaha
untuk memperjuangkan keadilan sosial adalah diskriminasi kesamaan martabat manusia.57
Konsili Vatikan II mengatakan “lembaga-lembaga manusiawi, baik swasta
maupun umum, hendaknya berusaha melayani martabat serta tujuan manusia,
seraya sekaligus berjuang dengan gigih melawan setiap perbudakan sosial
maupun politik, serta mengabdi kepada hak-hak asasi manusia di bawah setiap
pemerintahan. Bahkan lembaga-lembaga semacam itu lambat-laun harus
menanggapi kenyataan-kenyataan rohani, yang melampaui segala-galanya, juga
kalau ada kalanya diperlukan waktu cukup lama untuk mencapai tujuan yang
dimaksudkan.”(GS 29)
Dengan demikian, hal ini menjadi unsur penting dalam usaha memperjuangkan
kesejahteraan umum dan kebaikan bersama dalam berpolitik. Kesejahteraan umum dan kebaikan
bersama dilihat sebagai tujuan tertinggi dan mulia dalam berpolitik. Perbudakan politik yang
terjadi dalam masyarakat disingkirkan dan kemiskinan haruslah diperhatikan sebagai usaha
kesamaan martabat manusia.58
Oleh karena itu gereja juga perlu terlibat untuk memperjuangkan kesamaan martabat
manusia dan keadilan dalam dunia politik. Gereja perlu menyuarakan mengenai ajaran-ajaran
iman dan moral kristiani sehingga kesamaan martabat manusia dan keadilan sosial dapat
diperhatikan dengan baik.59 Dengan kata lain, setiap orang berusaha mengusahakan kebaikan
bersama sebagai anggota gereja maupun sebagai warga negara Indonesia.60

2.2.3. Mewujudkan Cinta Kasih


Cinta kasih adalah salah satu unsur penting yang perlu ada dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Suatu negara dan sistemnya dapat berjalan dengan baik jika cinta kasih hadir di
dalamnya dan meresapi setiap relasi sosial.61 Dengan kata lain, setiap orang yang
bertanggungjawab terhadap kesejahteraan rakyat dan kebaikan bersama hendaknya berusaha
untuk menumbuhkan cinta kasih dalam diri agar tidak ada penindasan dalam masyarakat.62
Harus ada jiwa “cinta kasih sosial”63 dan cinta kasih politik”64dalam melaksanakan
tanggungjawab untuk mensejahterakan masyarakat. Hal ini akan menjadi suatu cara yang sangat
baik dalam menanggulangi kerakusan duniawi dan cinta diri yang tidak teratur.”65 Dengan kata
lain, cinta kasih sosial dapat mengantar setiap orang untuk bersedia berkorban demi

57 Bdk. Isidorus Lilijawa, Mengapa Takut Berpolitik?, hlm. 36


58 Bdk. Martinus D. Situmorang, dkk, Politik Katolik, Politik Kebaikan Bersama (Jakarta:
Obor, 2008), hlm. 11
59 Ibid., hlm. 21
60 Ibid., hlm. 23
61 KGK, no 1889
62 Bdk. Florisan Maria Yosep, dkk (penerjemah), Kompendium Ajaran Sosial Gereja,

Komisi Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian, (Flores: Ledalero, 2009), hlm 397
63 Bdk.Pius XI, Ensiklik Quadragesimo Anno: AAS 23 (1931), 206-207; Yohanes XXIII,

Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961), 410


64 Bdk. Paulus VI, Surat Apostolik Octogesima Adveniens, 46: AAS 63 (1971), 433-435
65 Bdk. Benediktus XV, Ensiklik Pacem Dei: AAS 12 (1920), 215

11
kesejahteraan bersama dan merangkum segenap bangsa manusia menjadi satu.66 Dan juga
melalui cinta kasih sosial, setiap manusia dihantar untuk tidak lagi mementingkan diri sendiri
tetapi berusaha untuk memberi diri kepada kepentingan bersama. Memang ingat diri merupakan
seteru yang paling tersembunyi namun juga paling berbahaya dari sebuah masyarakat yang
tertata. Sejarah menunjukkan bagaimana hati dilantakkan apabila manusia tidak lagi mampu
mengenali dan mengakui nilai-nilai lain atau realitas-realitas efektif lainnya kecuali barang-
barang materiil. Oleh karena itu, sangat pentingnya cinta kasih sosial dan politik untuk
membantu manusia agar dapat memberi diri bagi sesama.67

3. Analisa Kritis Penulis Tentang Pentingnya Keterlibatan Gereja Dalam Dunia-Politik


Zaman sekarang ini, berbicara mengenai politik sebagai sebuah medan pengabdian
merupakan sesuatu yang tidak terlalu nyaman. Berbagai tindakan tidak senonoh yang
menggambarkan bahwa elite politik merupakan orang yang tidak mengandalkan iman dan tidak
bermoral sering dipertontonkan. Dengan kata lain, elite politik sering tidak berdindak sesuai arti
politik yang sesungguhnya yakni mementingkan kepentingan bersama dan kesejahteraan umum.
Keadilan sosial dan kesamaan martabat manusia terkadang tidak lagi dikedepankan dalam
politik.68 Oleh karena itu sebagai warga negara indonesia sekaligus umat katolik, Mgr
Soegijapranata, SJ mengatakan bahwa kita harus menjadi seratus persen katolik dan seratus
persen indonesia. Kehadiran gereja harus semakin bermakna bagi bangsa dan negara.69Mgr
Soegijapranata, SJ juga mengatakan bahwa gereja dan bangsa harus ditempatkan dalam sebuah
panggilan suci untuk mengusahakan kebaikan bersama dan kesejahteraan umum sebagai warga
gereja dan warga negara Indonesia.70 Adapun usaha memperjuangkan kebaikan bersama dan
kesejahteraan umum ini haruslah dilandasi pula dengan dua hal penting yakni iman dan moral.
Iman antara lain harus dijadikan sebagai dasar untuk bertindak dalam menghadapi persoalan
dunia khususnya politik dan moral menjadi dasar persatuan dan persamaan martabat manusia di
dalam persoalan dunia.71

3.1. Iman Akan Yesus dan Kebenaran Injil Menjadi Dasar dalam Menghadapi
persoalan Politik
Dalam membangun keterlibatan politik, gereja dipanggil untuk dapat bertumpu pada
iman dan kebenaran injil di tengah-tengah masyarakat.72
Konsili Vatikan II mengatakan gereja harus “menerangi masalah-masalah atau
persoalan-persoalan dunia dengan cahaya Injil serta menyediakan bagi bangsa
manusia daya kekuatan pembawa keselamatan yang oleh Gereja di bawah
bimbingan Roh Kudus diterima dari Pendirinya. Sebab memang pribadi manusia
harus diselamatkan, dan masyarakatnya mesti dibarui pula.” (GS Art 44)

66 Bdk. Apostolicam Actuositatem, 8; Paulus VI, Ensiklik Populorum Progressio, 44:


AAS 59 (1967), 279; Yohanes Paulus II, Imbauan Apostolik Christifideles Laici, 42: AAS 81
(1989), 472-476; Katekismus Gereja Katolik, 2212.
67 Florisan Maria Yosep, dkk (penerjemah), Kompendium Ajaran Sosial Gereja, Komisi

Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian, hlm. 398


68 Bdk. Martinus D. Situmorang, dkk, Politik Katolik, Politik Kebaikan bersama. Hlm 3
69 Ibid., hlm. 22
70 Ibid., hlm. 23
71 Bdk. Bernhard Kieser, Moral Sosial-Keterlibatan Umat dalam Hidup Bermasyarakat

(Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 25


72Ibid., hlm. 25

12
Gereja harus menjadikan Yesus sebagai tokoh utama dalam membangun keterlibatan
dengan dunia khususnya politik.73 Memang pada intinya bahwa gereja bukanlah lembaga yang
membangun politik praktis tetapi pada konsili vatikan II, gereja diajak untuk membuka diri bagi
dunia. Gereja perlu terlibat untuk memperjuangkan kesejahteraan umum dan kebaikan bersama
semua masyarakat.74
Konsili Vatikan II mengatakan: “duka dan kecemasan orang-orang zaman
sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan
kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada
sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab
persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus,
dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan
telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang.
Maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan
dengan umat manusia serta sejarahnya. (GS Art 1)

Yesus bukanlah tokoh politik tetapi Yesus berada bersama dengan kehidupan masyarakat
sehingga Dia keluar dari zona nyamanNya untuk memperjuangkan kesejahteraan umum dan
kebaikan bersama.75 Dia memperhatikan orang yang tertindas, sakit, dan miskin. Dia
memperjuangkan hidup setiap orang agar layak sebagai manusia. Kehadiran Yesus sebagai
sebuah usaha untuk memanusiawikan manusia yang terpenjarakan karena kemiskinan dan
penindasan. Dia menjadi harapan bagi mereka yang hidup dalam kedukaan dan kecemasan
duniawi.76 Dengan kata lain, Yesus dan kebenaran injil menjadi dasar iman bagi gereja dalam
sebuah panggilan untuk terlibat dalam dunia khususnya politik.77 Gereja dipanggil untuk menjadi
harapan kesejahteraan dan kebaikan bagi mereka yang cemas dan berduka antara lain karena
kemiskinan, ketidakadilan, dan penganiayaan.78

3.2. Moral Menjadi Dasar Persatuan Dalam Persoalan Politik.


Sejak konsili Vatikan II, gereja diarahkan untuk terbuka bagi dunia.79 Dan salah satu hal
yang menjadi dasar keterbukaan dan persatuan gereja dalam dunia adalah moralitas. Gereja
menghendaki agar setiap manusia mempunyai moral yang baik demi kesejahteraan dan kebaikan
masyarakat.80 Dengan kata lain, gereja dapat terlibat dalam kehidupan dunia karena moral
dibutuhkan masyarakat dunia sebagai sebuah dasar untuk membangun persatuan antara sesama
manusia.81 Manusia dapat bersatu dan mengalami kesejahteraan serta kebaikan bersama karena
moralitas dihidupi secara baik di dalam kehidupan berpolitik. Politik yang baik adalah politik
yang beretika. Politikus yang baik adalah politikus yang bermoral.82

73 Bdk. Mateus Mali, Konsep Berpolitik Orang Kristiani, hlm. 147


74 Bdk. Edi Poerwanto, OMK Alergi Politik? No Way?! (Yogyakarta: Kanisius, 2009),
hlm. 31
75 Bdk. Mateus Mali, Konsep Berpolitik Orang Kristiani, hlm. 147
76 Ibid., hlm. 148
77 AA art 14
78 Bdk. Mgr Martinus D. Situmorang, dkk, Politik Katolik, Politik Kebaikan Bersama,

hlm. 21
79 Bdk. Bernhard Kieser, Moral Sosial-Keterlibatan Umat dalam Hidup Bermasyarakat,

hlm. 24
80Bdk. J. Soedjati Djiwandono, Gereja dan Politik, hlm 37
81Ibid., hlm 38
82 Bdk. Martinus D. Situmorang, dkk, Politik Katolik, Politik Kebaikan Bersama, hlm. IX

13
Konsili Vatikan II mengatakan: “bahwa pelaksanaan kekuasaan politik, baik
dalam masyarakat sendiri, maupun di lembaga-lembaga yang mewakili negara,
selalu harus berlangsung dalam batas-batas tata moral, untuk mewujudkan
kesejahteraan umum yang diartikan secara dinamis, menurut tata perundang-
undangan yang telah dan harus ditetapkan secara sah.” (GS Art 74)
Dengan demikian, sangat pentingnya setiap orang atau lembaga-lembaga hidup dalam
politik yang bermoral atau politik yang sesungguhnya yakni memajukan kesejahteraan umum
dan kebaikan bersama.83 Dengan kata lain, setiap orang atau lembaga-lembaga yang mewakili
negara perlu bertindak sesuai dengan batas-batas tata moral politik karena moral menjadi salah
satu dasar persatuan dalam mengatasi persoalan-persoalan politik.84 Adapun hal inilah yang
menjadi salah satu titik tolak keterlibatan gereja dalam politik. Gereja terlibat untuk
menyuarakan moralitas dalam dunia khususnya politik. Dan moralitas yang ditekankan untuk
memajukan kebaikab bersama dan kesejahteraan umum antara lain: hormat terhadap martabat
manusia, keberpihakan terhadap mereka yang tidak beruntung dan marjinal, komitmen pada
solidaritas dan keadilan sosial serta cinta kasih.85

PENUTUP
Setelah membaca Dokumen Konsili Vatikan II-Gaudium et Spes, setiap orang diajak
untuk membuka wawasannya mengenai keterlibatan gereja dalam dunia. Gereja tidak hanya
berdiam dalam dirinya sendiri. Gereja perlu terbuka dan masuk dalam setiap perjuangan hidup di
dunia. Hal ini sangat jelas ditegaskan dalam artikel pertama Gaudium et Spes bahwa:
“kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum
miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan
kecemasan para murid Kristus juga.”
Gereja tidak dapat menyangkal hal itu. Gereja sungguh mengakui bahwa kegembiraan
dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang sezaman merupakan kegembiraan dan harapan,
duka dan kecemasan murid Kristus juga. Oleh karena itu, ketika melihat kemiskinan, penindasan,
ketidakadilan yang terjadi pada orang sezaman karena permainan politik atau politik busuk,
gereja pun merasa berduka dan cemas.
Memang politik yang sebenarnya berkaitan dengan usaha-usaha untuk meningkatkan
kesejahteraan umum dan kebaikan bersama tetapi elite politik atau aktor politik terkadang tidak
mendukung hal itu. Mereka terkadang lebih mementingkan kepentingan pribadinya daripada
kepentingan bersama. Akhirnya terjadilah korupsi, kolusi, nepotisme yang berujung pada
memperkaya diri, keluarga, dan golongan sedangkan memiskinkan masyarakat umum.
Gereja sebagai bagian dari masyarakat merasakan hal ini sehingga gereja dirasa perlu
untuk membuka diri dan terlibat dalam dunia antara lain politik. Dengan kata lain, gereja secara
tegas tidak mengenal politik praktis. Bahkan gereja pun tidak berwenang menawarkan suatu
bentuk atau sistem politik yang tepat untuk masyarakat luas. Namun gereja harus mampu
menyuarakan visi hidup bermasyarakat dan bermartabat berdasarkan iman yang benar.86

83 Bdk. Isidorus Lilijawa, Mengapa Takut Berpolitik?, hlm. 39


84 Bdk. Edy Poerwanto, OMK Alergi Politik- No Way, hlm. 23
85 Bdk. Mgr. Martinus D. Situmorang, dkk, Politik Katolik, Politik Kebaikan Bersama,

hlm. 21
86 Bdk. Mateus Mali, Konsep Berpolitik Orang Kristiani, hlm 155

14
Adapun yang perlu diperhatikan dalam keterlibatan gereja di bidang politik adalah
berpatokan pada nilai-nilai injili yang dibawakan oleh Kristus (Iman akan Kristus dan injilNya)87
dan memperhatikan tujuan berpolitik yakni kesejahteraan umum dan kebaikan bersama.88

DAFTAR PUSTAKA
Dokumen-Dokumen Gereja
 Kitab Suci Deuterokanonika
 Hardawiryana, R. (Penerjemah). Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Departemen
DokPen KWI, 1993.
 Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik, Ende: Nusa
Indah, 1995.
Ensiklik
 Benediktus XV, Ensiklik Pacem Dei: AAS 12.1920
 Paulus VI, Ensiklik Populorum Progressio: AAS 59. 1967.
 Paulus VI, Surat Apostolik Octogesima Adveniens: AAS 63. 1971.
 Pius XI, Ensiklik Quadragesimo Anno: AAS 23. 1931.
 Yohanes XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53. 1951
 Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus, 10: AAS 83. 1991.
 Yohanes Paulus II, Imbauan Apostolik Christifideles Laici,: AAS 81. 1989
Buku
a. Sumber Utama
 Djiwandono, J. Soedjati. Gereja dan Politik. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
 Lilijawa, Isidorus Mengapa Takut Berpolitik?. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama,
2007
 Mali, Mateus. Konsep Berpolitik Orang Kristiani. Yogyakarta: Kanisius, 2014
 Situmorang, Martinus D, dkk. Politik Katolik, Politik Kebaikan Bersama. Jakarta: Obor,
2008
b. Sumber Tambahan
 Kieser, Bernhard, Moral Sosial-Keterlibatan Umat dalam Hidup Bermasyarakat.
Yogyakarta: Kanisius, 1987
 Mulkhan, Abdul Munir. Moral Politik Santri: Agama dan Pembelaan Kaum Tertindas.
Jakarta: Erlangga, 2003
 Poerwanto, Edi. OMK Alergi Politik? No Way?!. Yogyakarta: Kanisius, 2009
 Schumann, Olaf H. Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan. Jakarta:
Gunung Mulia, 2006
 Siruasumantri, Jujun. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Obor, 2001
 Suharyo, Ignatius, Gereja yang Melayani dengan Rendah Hati. Yogyakarta: Kanisius,
2009

87 Ibid., hlm 155


88 Bdk. Isidorus Lilijawa, Mengapa Takut Berpolitik?, hlm. 39
15
 Susanto, Budi. Sisi Senyap Politik Bising. Yogyakarta: Kanisius, 2007
 Tuan, Y. Kopong. OMK Ikut Gerakan Politik? Siapa Takut?!. Yogyakarta: Kanisius,
2009
 Udjan, Andre Ata. Politik Katolik, Politik Kebaikan Bersama. Jakarta: Obor, 2008
 Yosep, Florisan Maria, dkk (penerjemah). Kompendium Ajaran Sosial Gereja, Komisi
Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian. Flores: Ledalero, 2009
Majalah
 Prayogo,Y. “Umat Katolik Bertanggung Jawab”, Majalah Hidup, Vol 46. 2016.

16

Anda mungkin juga menyukai