Anda di halaman 1dari 36

PRESENTASI KASUS DAN PRESENTASI JURNAL

PENGGUNAAN TEKNIK RELAKSASI HIPNOTIS LIMA JARI PADA PASIEN


DENGAN MULTIPLE FRAKTUR DI RUANG RAWAT INAP CEMPAKA
RUMAH SAKIT ABDUL WAHAB SYAHRANI
SAMARINDA

Disusun untuk memenuhi elemen kompetensi program profesi Ners


stase keperawatan medikal bedah

Disusun Oleh : Kelompok I


Saniar nita
Fitrianur
Evilda Angela Meijisa
Fidelis Dagu
Yustina waisong
Eka Septiani Rinai
Erma Yulita

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIYATA HUSADA
SAMARINDA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Disusun oleh : Kelompok I

Telah disusun proposal berjudul:


Penggunaan Teknik Relaksasi Hipnotis Lima Jari Pada Pasien Dengan Multiple
Fraktur di Ruang Rawat Inap Seruni Rumah Sakit Abdul Wahab Syahrani
Samarinda

Disusun untuk memenuhi elemen kompetensi program profesi Ners


stase keperawatan medikal bedah

Samarinda, 17 Juli 2019

Mengetahui,

Preseptor Pembimbing Akademik

Ns. Ferdawati, S.Kep Ns. Kiky ???, S.Kep., M.Kep

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karuniaNya
penulis akhirnya dapat menyelesaikan tugas proposal ini tepat waktu yang berjudul
“ronde keperawatan kasus pasien dengan anoreksia geriatri” diruang rawat inap seruni
rumah sakit Abdul Wahab syahrani Samarinda. Proposal ini disusun untuk memenuhi
elemen kompetensi program profesi Ners stase keperawatan medikal bedah.
Dalam pembuatan proposal ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan dari beberapa
pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Ns. Kiky???, S.Kep., M.Kep, selaku pembimbing akademik STIKes Wiyata Husada
Samarinda
2. Ns. Ferdawati, S.Kep selaku preseptor diruang rawat inap Cempaka Rumah
Sakit Abdul Wahab Syahrani Samarinda
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan proposal ini penuh
keterbatasan dan masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu, saran yang konstruktif
merupakan bagian yang tak terpisahkan dan senantiasa kami harapkan demi
penyempurnaan proposal ini. Akhirnya penyusun berharap semoga proposal ini dapat
bermanfaat bagi banyak pihak.

Samarinda,17 Juli 2019

Penyusun

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada orang tua, perubahan dalam perilaku makanan dipengaruhi oleh

pola pemilihan makanan, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor: Faktor

biologis (sinyal rasa kenyang tergantung pada makronutrien tunggal dan

makanan padat energi, Palatabilitas (termasuk tekstur makanan, rasa,

penciuman, dan rangsangan penglihatan), faktor ekonomi, fitur sosial (akses

makanan, tingkat otonomi, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, dukungan

keluarga) serta faktor psikologis (depresi atau stres). Pada orang tua

perubahan yang paling sering di perilaku makan adalah anoreksia geriatri,

yang dapat dikelompokkan menjadi: fisiologis, patologis, lingkungan, dan

psikologis anoreksia geriatri. Fisiologis anoreksia karena berkaitan dengan

perubahan usia yang mempengaruhi sistem gastro-intestinal (gangguan

kemampuan mengunyah, penurunan fungsi kelenjar ludah, gangguan

motilitas esofagus, penurunan sekresi lambung, penurunan absorbsi di

dinding usus), penurunan relaksasi adaptif fundus gaster dan peningkatan

efektivitas cholecystokinin (CCK), penurunan penghantaran di pusat makan

(mendasari sinyal sistem opioid dan sinyal neuropeptida Y) dan penurunan

indera pengecap dan penciuman (karena hilangnya sensitivitas, penurunan

jumlah papila gustative, serta higienitas mulut yang buruk dan gigi yang

mulai berkurang). Pada lansia yang memiliki penyakit penyerta seperti

kanker, stroke atau bahkan penyakit penyerta yang lebih ringan lainnya akan

semakin menambah resiko terjadinya anoreksia. Seperti pada pasien dengan

4
stroke yang dapat mengalami disfagia sehingga menyulitkan lansia bukan

hanya untuk makan melainkan juga untuk menelannya.

Anoreksia adalah tidak adanya selera makan atau individu tersebut

tidak tertarik untuk menelan makanan. Pada istilah klinik, anoreksia total

adalah hilangnya rasa lapar yang diakibatkan proses patologis. Anoreksia

biasanya berkaitan dengan banyak proses penyakit yang secara langsung

menghambat atau menekan aktivitas pusat lapar atau merangsang aktivitas

pusat kenyang. Oleh karena anoreksia berkaitan dengan banyak proses

penyakit, maka tugas utama tenaga medis adalah menentukan apakah

anoreksia yang terjadi pada pasien bersifat patologik atau fisiologik /

psikologik, dan mengoreksi penyebab utamanya.

Anoreksia dapat terjadi karena penurunan selera makan (anoreksia

sejati) atau terjadi karena faktor lain yang tidak mempengaruhi selera makan

(pseudoanoreksia). Penurunan selera makan yang bersifat sementara dapat

terjadi karena rasa takut, latihan berat, atau perubahan menu makanan .

Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mengobati kondisi dan

penyakit yang dikaitkan dengan proses menua dan usia lanjut (6). Ilmu

pengetahuan tentang nutrisi berhubungan dengan kesehatan, kesejahteraan

serta penyakit pencernaan, absorpsi, dan penggunaan makanan serta zat gizi.

Kemampuan untuk memperoleh dan mempertahankan nutrisi yang tepat

bergantung pada beberapa faktor pengaruh. Makanan berkualitas dengan

kandungan gizi seimbang harus tersedia dan mudah diperoleh dengan jenis

dan jumlah yang tepat. Lansia harus mampu dan mau untuk makan. Makanan

5
juga harus diabsorbsi untuk memelihara struktur dan fungsi tubuh. Lansia

dapat mengalami masalah pada salah satu atau beberapa tahap di atas.

Malnutrisi adalah suatu ketidakseimbangan antara pasokan zat gizi ke

dalam jaringan dengan keperluan akan nutrisi tersebut, dapat diakibatkan oleh

asupan diet yang tidak mencukupi yang disebabkan adanya anoreksia geriatri

atau penggunaan fisik / tubuh yang berlebihan. Menurut para ahli, kira-kira

3% populasi orang lanjut usia di Inggris mengalami malnutrisi. Meskipun

lebih banyak yang mengkonsumsi diet dengan kalori yang adekuat tetapi

tidak diimbangi dengan campuran zat gizi yang esensial (protein, karbohidrat,

lemak, vitamin, mineral, elektrolit tertentu, dan air) jumlahnya tidak

diketahui.

Perubahan status gizi pada lansia disebabkan perubahan lingkungan

atau kondisi kesehatan. Covinsky dan kawan-kawan meneliti hubungan

antara kajian klinis status gizi dan outcome tidak baik pada penderita tua yang

dirawat di rumah sakit dan mendapatkan hasil dari 219 penderita yang diteliti

24,4% malnutrisi sedang dan 16,3% malnutrisi berat. Penderita dengan

malnutrisi berat lebih banyak meninggal dalam waktu 90 hari setelah

meninggalkan rumah sakit dibanding penderita yang malnutrisi sedang

maupun gizi baik (31,7%, 23,3% dan 12,3%). Kepentingan klinis timbul

akibat tidak adanya asupan dan cadangan nutrisi serta resiko malnutrisi berat

jika terdapat stress metabolik.

Menurut data USA-Bureau of the Census populasi lansia di Indonesia

diperkirakan akan mengalami peningkatan 414% dari tahun 1990 sampai

dengan 2025. Menurut Data BPS diperkirakan peningkatan jumlah lansia

6
pada tahun 2020 menjadi 26 juta dari 11 juta pada tahun 1990. Pencegahan

dan intervensi dini merupakan pendekatan yang terbaik untuk menangani

penderita geriatri agar mendapatkan gizi yang optimal karena keadaan

bermacam-macam malnutrisi akan menyebabkan penderita Geriatri sulit

kembali ke keadaan normal.

Melihat tingginya angkat yang usia lansia dan kasus anore3ksia pada
geriatri maka diperlukan pembahasan khusus untuk menyusun pencegahan
dan penyelesaian masalah pasien dengan anoreksia geriatri dengan
melibatkan berbagai disiplin ilmu kesehatan untuk peningkatan mutu asuhan
keperawatan sesuai dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan iptek
maka perlu pengembangan dan pelaksanaan suatu model asuhan keperawatan
profesional yang efektif dan efisien (Nursalam, 2014).
Metode keperawatan primer merupakan salah satu metode pemberian
pelayanan keperawatan di mana salah satu kegiatannya adalah ronde
keperawatan, yaitu suatu metode untuk menggali dan membahas secara
mendalam masalah keperawatan yang terjadi pada pasien dan kebutuhan
pasien akan keperawatan yang dilakukan oleh perawat primer/associate,
konselor, kepala ruangan, dan seluruh tim keperawatan dengan melibatkan
pasien secara langsung sebagai fokus kegiatan (Nursalam, 2014).
Ronde keperawatan akan memberikan media bagi perawat untuk
membahas lebih dalam masalah dan kebutuhan pasien serta merupakan suatu
proses belajar bagi perawat dengan harapan dapat meningkatkan kemampuan
kognitif, afektif, dan psikomotor. Kepekaan dan cara berpikir kritis perawat
akan tumbuh dan terlatih melalui suatu transfer pengetahuan dan
pengaplikasian konsep teori ke dalam praktik keperawatan (Nursalam, 2014).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum ronde keperawatan adalah menyelesaikan masalah pasien
melalui pendekatan berfikir kritis.

7
2. Tujuan Khusus
a) Menumbuhkan cara berfikir kritis dan sistematis.
b) Meningkatkan kemampuan validasi data pasien.
c) Menentukan kemampuan menentukan diagnosis keperawatan.
d) Menumbuhkan pemikiran tentang tindakan keperawatan yang
berorientasi pada masalah pasien.
e) Meningkatkan kemampuan memodifikasi rencana asuhan
keperawatan.
f) Meningkatkan kemampuan justifikasi.
g) Meningkatkan kemampuan menilai hasil kerja.

C. Manfaat
Manfaat dilakukannya ronde bagi pasien maupun perawat adalah
masalah pasien dapat teratasi, kebutuhan pasien dapat terpenuhi, terciptanya
komunitas keperawatan yang profesional, terjalinnya kerjasama antar tim
kesehatan serta perawat dapat melaksanakan model asuhan keperawatan
dengan tepat dan benar keperawatan (Nursalam 2011).

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Ronde Keperawatan
1. Pengertian Ronde Keperawatan
a. Ronde Keperawatan adalah suatu tindakan yang dilaksanankan oleh
perawat, di samping klien dilibatkan untuk membahas dan
melaksanakan asuhan keperawatan akan tetapi pada kasus tertentu
harus dilakukan oleh perawat primer dan atau konselor, kepala
ruangan, perawat assosciate, dan perlu juga melibatkan seluruh
anggota tim (Nursalam, 2014).
b. Ronde keperawatan merupakan proses interaksi antara pengajar dan
perawat atau siswa perawat dimana terjadi proses pembelajaran.
Ronde keperawatan dilakukan oleh teacher nurse atau head nurs
dengan anggota stafnya atau siswa untuk pemahaman yang jelas
tentang penyakit dan efek perawatan untuk setiap pasien (Saleh,
2012).
Beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan ronde
keperawatan adalah suatu tindakan yang dilaksanankan oleh perawat,
di samping klien dilibatkan untuk membahas dan melaksanakan
asuhan keperawatanuntuk pemahaman yang jelas tentang penyakit dan
efek perawatan untuk setiap pasien.
2. Kriteria Pasien
Menurut Nursalam (2014), mengatakan Pasien yang dipilih untuk
dilakukan ronde keperawatan adalah pasien yang memiliki kriteria
sebagai berikut:
a. Mempunyai masalah keperawatan yang belum teratasi meskipun
sudah dilakukan tindakan keperawatan.
b. Pasien dengan kasus baru atau langka.
3. Peran masing-masing anggota tim
a. Katim dan Perawat Associate (PA)
1) Menjelaskan data pasien yang mendukung masalah pasien
2) Menjelaskan diagnosis keperawatan

9
3) Menjelaskan intervensi yang dilakukan
4) Menjelaskan hasil yang didapat
5) Menjelaskan rasional (alasan ilmiah) tindakan yang diambil
6) Menggali masalah-masalah pasien yang belum terkaji
b. Perawat Konselor / Perawat Primer (PP)
1) Memberikan justifikasi
2) Memberikan reinforcement
3) Memvalidasi kebenaran dari masalah dan intervensi
keperawatan serta rasional tindakan
4) Mengarahkan dan koreksi
5) Mengintegrasikan konsep dan teori yang telah dipelajari
6) Berorientasi pada masalah klien
4. Alur Ronde Keperawatan
Alur yang diperlukan dalam ronde keperawatan adalah sebagai berikut :

Tahap pra ronde - - - - - - Perawat Primer

Penetapan Pasien

Persiapan pasien :
- informed consent
- hasil pengkajian / validasi data

- Apa diagnosa keperawatan?


- Apa data yang mendukung?
- Bagaimana intervensi yang
10 sudah dilakukan?
- Apa hambatan yang
ditemukan?
Penyajian
Tahap Pelaksanaan - - - - -
masalah

Validasi data

Diskusi Perawat primer,


Tahap Pelaksanaan - - - - - - - - - - Konselor KARU dan
disiplin ilmu lain
di kamar pasien

Lanjutan – Diskusi di
Nurse Station

Tahap pasca Ronde - - - - - - - - Kesimpulan dan Rekomendasi


Solusi Masalah

11
1. Konsep anoreksia geriatri

1. Pengertian

Anoreksia adalah tidak adanya selera makan atau individu

tersebut tidak tertarik untuk menelan makanan. Pada istilah klinik,

anoreksia total adalah hilangnya rasa lapar yang diakibatkan proses

patologis. Anoreksia biasanya berkaitan dengan proses penyakit yang

secara langsung menghambat atau menekan pusat lapar atau

merangsang aktivitas pusat kenyang. Oleh karena anoreksia berkaitan

dengan banyak proses penyakit, maka tugas utama tenaga medis

adalah menentukan apakah anoreksia yang terjadi pada pasien bersifat

patologik atau fisiologik/psikologik, dan mengoreksi penyebab

utamanya.

Anoreksia dapat terjadi karena penurunan selera makan

(anoreksia sejati) atau terjadi karena faktor lain yang tidak

mempengaruhi selera makan (pseudoanoreksia). Penurunan selera

makan yang bersifat sementara dapat terjadi karena rasa takut, latihan

berat, atau perubahan menu makanan.

Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mengobati kondisi

dan penyakit yang dikaitkan dengan proses menua dan usia lanjut (6).

Batas umur untuk usia lanjut dari waktu ke waktu berbeda. WHO

membagi umur tua sebagai berikut:

a. Umur lanjut (elderly): 60-74 tahun

b. Umur tua (old): 75-90 tahun

c. Umur sangat tua (very-old): > 90 tahun

12
2. Teori Penuaan

Beberapa teori mengenai proses menua tersebut ialah :

a. Teori Radikal Bebas, yang menyebutkan bahwa produk hasil

metabolisme oksidatif yang sangat reaktif (radikal bebas) dapat

bereaksi dengan berbagai komponen penting seluler, termasuk

protein, DNA, dan lipid, dan menjadi molekul-molekul yang tidak

berfungsi namun bertahan lama dan mengganggu fungsi sel

lainnya.

b. Teori Glikosilasi, yang menyatakan bahwa proses glikosilasi

nonenzimatik yang menghasilkan pertautan glukosa-protein yang

disebut sebagai advanced glycation end products (AGEs) dapat

menyebabkan penumpukan protein dan makromolekul lain yang

termodifikasi sehingga menyebabkan disfungsi pada manusia yang

menua.

c. Teori DNA repair, yang menunjukkan adanya perbedaan pola laju

repair kerusakan DNA yang diinduksi sinar ultraviolet (UV) pada

berbagai fibroblas yang dikultur.

3. Malnutrisi karena anoreksia geriatri

Seorang lanjut usia selalu dalam keadaan risiko malnutrisi

karena terjadi penurunan asupan makanan karena adanya perubahan

fungsi usus, metabolisme yang tidak efektif, kegagalan homeostasis

dan defek utilisasi nutrien. Keadaan tersebut diperberat dengan ko-

insidensi dari penyakit akut atau kronik, trauma, keadaan

13
hiperkatabolik, infeksi dan terapi obat yang dapat mengubah

kebutuhan nutrisi. Banyak faktor bisa menyebabkan deteriorasi status

gizi yang menyebabkan kegagalan perbaikan jaringan dan fungsi

kekebalan sehingga dari keadaan tersebut perbaikan menjadi sulit atau

tidak mungkin terjadi. Tujuan hidup manusia ialah menjadi tua tetapi

tetap sehat sehingga keadaan patologik pun dicoba untuk

disembuhkan untuk mempertahankan healthy aging karena proses

patologik mempercepat penderita meninggal dunia.

Apabila seseorang berhasil mencapai usia lanjut, maka salah

satu upaya utama adalah status gizi yang bersangkuan dipertahankan

pada kondisi optimum agar kualitas kehidupan yang bersangkutan

tetap baik. Perubahan status gizi pada lansia disebabkan perubahan

lingkungan atau kondisi kesehatan. Covinsky dan kawan-kawan

meneliti hubungan antara kajian klinis status gizi dan outcome tidak

baik pada penderita tua yang dirawat di rumah sakit dan mendapatkan

hasil dari 219 penderita yang diteliti 24,4% malnutrisi sedang dan

16,3% malnutrisi berat. Penderita dengan malnutrisi berat lebih

banyak meninggal dalam waktu 90 hari setelah meninggalkan rumah

sakit dibanding penderita yang malnutrisi sedang maupun gizi baik

(31,7%, 23,3% dan 12,3%).

Malnutrisi pada lansia terutama malnutrisi energi protein adalah

suatu keadaan kekurangan energi dan atau protein untuk memenuhi

kebutuhan metabolik. Malnutrisi energi protein (MEP) biasanya

berkembang karena berkurangnya asupan diet kalori atau protein,

14
meningkatnya kebutuhan metabolik sebagai hasil dari keadaan sakit

atau trauma atau peningkatan pelepasan nutrien.

Mempertahankan status gizi dalam keadaan optimal merupakan

komponen penting dalam penanganan geriatri paripurna, terlebih

karena keadaan malnutrisi akut berhubungan dengan outcome

peningkatan komplikasi penyakit dan perburukan kesehatan. Status

gizi yang jelek dan MEP berhubungan dengan perubahan imunitas,

penyembuhan luka terganggu, penurunan status fungsional,

peningkatan penggunaan fasilitas kesehatan dan peningkatan angka

mortalitas.

4. Fisiologi yang Mempengaruhi Keadaan Gizi Seorang Lansia

a. Perubahan komposisi tubuh.

Bertambahnya usia akan terjadi banyak perubahan komposisi tubuh

yang mempengaruhi kebutuhan nutrisi seorang lansia. Setelah

berusia 60 tahun atau lebih berat badan cenderung turun dan untuk

mempertahankannya semakin sulit dengan bertambahnya usia.

Perubahan komposisi tubuh dicirikan dengan kehilangan secara

progresif lean body mass, peningkatan relatif massa lemak dan

redistributif lemak dari perifer ke lokasi sentra tubuh. Kehilangan

lean body mass yang berlanjut berhubungan dengan peningkatan

prevalensi penyakit kronik pada lansia. Kehilangan lean body mass

terutama terdiri dari otot skeletal terutama tipe II atau serat fast-

twich. Lean body mass sentra misalnya hepar dan lien relatif

dipertahankan. Kehilangan masa otot yang terkait dengan usia

15
tampak sebagai hasil dari faktor-faktor yang berhubungan meliputi

perubahan metabolisme, fungsi dan struktur jaringan organ,

penyakit-penyakit dan pilihan tingkah laku serta cara hidup secara

individual.

b. Perubahan nafsu makan dan regulasi ambilan energi

Mempertahankan berat badan yang stabil pada usia tua

membutuhkan keadaan yang tetap antara pemasukan nutrien dan

kebutuhan energi. Dengan bertambahnya usia, alur metabolik,

neural, dan humoral yang secara normal dapat mempertahankan

keseimbangan regulasi selera makan dan rasa lapar kehilangan

keseimbangan responsibilitasnya untuk mengubah energi yang

dibutuhkan oleh tubuh. Keterkaitan psikologis, sosial dan ekonomi

dan kultural dan bermacam-macam penyakit memperberat

disregulasi keseimbangan masukan energi.

c. Perubahan patofisiologi yang menyebabkan kehilangan pengecapan

lidah, penciuman, dan nafsu makan dengan bertambahnya usia.

Perubahan besar fisiologis dan patologis yang terkait dengan usia

mempunyai andil untuk seorang lansia kesulitan mempertahaankan

keseimbangan kebutuhan metabolik dan asupan nutrien.

Penglihatan, penciuman, pengecapan, dan tekstur makanan

mempunyai andil untuk keinginan makan dan dapat menstimulasi

atau menghambat konsumsi berikutnya. Sistem sensor normal

penting untuk menikmati makanan. Kemampuan mencium dan

16
mengecap makanan merupakan unsur yang terpenting. Aroma

makanan akan membangkitkan stimulasi selera makan.

Rasa, aroma, penglihatan, dan tekstur / bentuk merupakan

komponen penting dari penilaian kenikmatan makanan. Orang-

orang yang indera penciuman dan pengecapnya berkurang,

cenderung mengalami penurunan nafsu makan dan hingga akhirnya

mereka akan mempertanyakan untuk apa mereka makan. Doty et al

menemukan bahwa >60% peserta antara usia 65 dan 80 tahun dan

>80% peserta dengan usia ≥80 tahun memiliki gangguan pada

indera pengecap dan penciuman dibandingkan dengan indera

pengecap dan penciuman peserta yang berusia ≤50 tahun.

Orang lansia mengalami "peningkatan ambang rasa, kesulitan

dalam mengenali berbagai rasa, peningkatan persepsi rasa yang

tidak nyaman, dan menurunnya cita rasa." Banyak studi

menunjukkan bahwa ambang batas untuk mendeteksi selera

tertentu (misalnya, manis, asin, pahit) akan meningkat dengan

semakin bertambahnya usia dan obat-obatan tertentu dapat

mengurangi fungsi indera pengecap dan penurunan sensitifitas rasa.

Suatu penelitian melaporkan bahwa orang lansia yang

mengkonsumsi obat-obatan, kurang mampu mendeteksi rasa

tertentu pada batas normal. Penelitian yang membandingkan

persepsi rasa antara orang dewasa muda dan dewasa tua

menemukan hasil bahwa orang lanjut usia memiliki penurunan

dalam menilai cita rasa. Orang-orang dengan penurunan indera

17
pengecap dan penciuman pada akhirnya akan mengalami

penurunan dalam nafsu makan .

d. Pengosongan lambung yang tertunda (gastroparesis)

Orang dewasa yang tidak selera makan karena cepat merasa

kenyang dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama lebih

cenderung untuk makan makanan ringan dengan porsi lebih sedikit,

yang dapat menyebabkan asupan kalori kurang dan malnutrisi.

Tertundanya pengosongan lambung atau gastroparesis, dapat

menyebabkan rasa cepat kenyang. Gejala lain dari gastroparesis

ialah muntah setelah makan, mual, nyeri perut, penurunan berat

badan, dan kekurangan gizi. Sebuah penelitian oleh Di Francesco et

al mengamati lansia yang selama 4 jam setelah mereka

mengkonsumsi makanan sebesar 800 kkal, menemukan bahwa

pengosongan lambung menjadi tertunda lebih dari 2 jam, rasa

kenyang berlangsung lebih lama, dan terjadi penekanan rasa lapar.

Seiring bertambahnya usia, ada perubahan dalam fungsi sensorik

pencernaan, yang dapat menyebabkan cepatnya rasa kenyang pada

orang dewasa tua.

Menurut Morley, penuaan berhubungan dengan kerusakan

relaksasi reseptif dari fundus lambung, yang menghasilkan lebih

cepatnya makanan mengisi daerah antrum, distensi lambung, dan

rasa kenyang yang lama. Distensi lambung adalah indikasi untuk

mengakhiri makan, namun, karena gangguan relaksasi reseptif,

dimana terjadi pengisian antrum cepat, orang lansia akan

18
merasakan rasa kenyang sebelum mereka mengkonsumsi kalori

yang cukup untuk memenuhi gizi mereka. Hormon cholecystokinin

(CCK), yang disekresikan oleh usus proksimal juga berperan dalam

memberikan respon kenyang dan membantu memperantarai

pengosongan lambung. Penelitian menunjukkan bahwa sensitivitas

terhadap efek CCK akan meningkat seiring dengan peningkatan

usia, dimana lansia memiliki sensitifitas lebih tinggi terhadap CCK.

Meningkatnya sirkulasi CCK ditambah dengan meningkatnya

sensitifitas, dapat memperlambat pengosongan lambung.

e. Faktor fisiologis lainnya

Selain CCK, beberapa hormon lain juga berkontribusi

terhadap penurunan berat badan secara tidak disengaja. Leptin,

hormon peptida yang diproduksi dalam jaringan adiposa, berfungsi

untuk membantu menjaga keseimbangan energi dalam tubuh. Di

Francesco et al mencatat bahwa "rendahnya kadar leptin akan

memberikan sinyal untuk penurunan jumlah lemak tubuh dan

kebutuhan asupan energi, sedangkan tingkat leptin yang tinggi akan

memicu lemak tubuh dan adanya rasa untuk tidak memerlukan

asupan makanan lebih lanjut." Penelitian menunjukkan bahwa

orang lansia memiliki tingkat leptin yang lebih tinggi dari dewasa

muda, sehingga akan memicu cadangan makanan berupa lemak

dalam tubuh dan tidak adanya keinginan untuk makan. Insulin yang

dikatakan sebagai hormon kenyang, merupakan regulator lain

dalam metabolisme glukosa. Insulin akan meningkatkan nafsu

19
makan dengan cara meningkatkan sinyal leptin ke hipotalamus dan

menghambat sekresi hormon ghrelin (hormon yang merangsang

nafsu makan). Beberapa peneliti telah menemukan hubungan antara

kadar insulin dan anoreksia geriatri, dan menyimpulkan bahwa

kadar insulin yang lebih tinggi merupakan produk sampingan dari

resistensi insulin dan resistensi insulin merupakan respon terhadap

adanya peningkatan penimbunan lemak tubuh yang merupakan

efek dari proses penuaan.

f. Masalah mengunyah dan menelan

Kondisi mulut, gigi yang buruk, atau gigi palsu yang tidak

pas dapat menyebabkan proses mengunyah sulit, yang akan

menyebabkan pasien untuk membatasi pilihan makannya, sehingga

mengganggu jumlah pemasukan / asupan energi. Gerakan

mengunyah mandibula pada masing-masing lansia tidak sama,

bahkan pada lansia yang memiliki gigi yang bagus. Di Amerika

Serikat, 23% lansia berusia 65-75 tahun dan 36% lansia berusia

≥75 tahun memiliki penyakit berat periodontal, dan 30% lansia

berusia ≥ 65 tahun tersebut sudah kehilangan banyak gigi.

Penyebab adanya masalah menelan dan mengunyah harus diselidiki

dan dilakukan tindakan yang tepat.

g. Penggunaan obat-obatan

Banyak lansia secara rutin mengkonsumsi obat-obatan untuk

beberapa kondisi medis, seperti obat hipertensi, nyeri,

hiperkolesterolemia, dan masalah gangguan pernapasan.

20
Penggunaan obat tersebut dapat menyebabkan mulut kering, mual,

muntah, sembelit, dan diare yang merupakan efek buruk yang

biasanya menghambat nafsu makan. Efek samping kemoterapi,

seperti mual dan infeksi pada mukosa mulut, juga dapat

menurunkan pemasukan energi. Beberapa obat, seperti digoxin dan

metformin dapat menyebabkan malabsorpsi. Seperti dijelaskan

sebelumnya, antikolinergik dan narkotika juga dapat

memperlambat proses pencernaan dan meningkatkan risiko

penurunan berat badan yang tidak diinginkan.

h. Menutup diri dan Depresi

Kehilangan pasangan dan teman-teman atau perubahan dalam

rutinitas sehari-hari setelah pensiun dapat berkontribusi untuk

timbulnya masalah sosial dan dalam beberapa kasus, perasaan

depresi serta kesepian dapat mengurangi nafsu makan. Van

Staveren melaporkan bahwa lansia akan makan dengan porsi lebih

banyak ketika makan bersama dengan orang sekitar dibandingkan

ketika makan sendirian. Sebuah penelitian kepada lansia yang

tinggal di daerah kota menunjukan hasil bahwa lansia yang

memiliki pengunjung/teman pada saat makan (tidak sendirian saat

makan) akan mengurangi risiko lansia tersebut terserang dysphoria

(perasaan tidak bahagia). Para pengasuh diharapkan dapat

menumbuhkan aspek rasa senang dan sosial dengan cara

memotivasi lansia untuk makan dengan seseorang/orang lain agar

tidak merasa kesepian.

21
Depresi juga dapat disebabkan masalah patologis. Sekitar

30% dan 40% dari pasien dengan penyakit Parkinson akan

berujung pada depresi. Tingginya tingkat depresi juga telah

dilaporkan untuk individu dengan penyakit Alzheimer, demensia

vaskular, penyakit jantung, diabetes mellitus tipe 2, arthritis,

kanker, dan stroke, meskipun tidak jelas apakah kasus depresi ini

berhubungan dengan penyakit yang mendasari proses tersebut.

Berbeda halnya dengan manusia dewasa muda, dimana pada saat

mereka depresi cenderung untuk meningkatkan asupan

makanannya, sedangkan pada lansia akan makan dengan porsi yang

sedikit ketika sedang dalam keadaan depresi. Hal tersebut akan

menyebabkan masalah anoreksia geriatri berkepanjangan dan

malnutrisi pada akhirnya.

5. Patofisiologi anoreksia geriatri

Regulasi pencernaan makanan adalah suatu yang sangat

kompleks, dengan berbagai mekanisme untuk memastikan proses

pencernaan makanan tetap optimal. Secara garis besar, pemasukan

makanan diregulasi oleh pusat makan yang bekerjasama dengan

sistem pengaturan nafsu makan perifer. Sistem pusat pengaturan

makan akan menerima stimulasi dari sinyal sel lemak perifer (leptin),

nutrisi yg diabsorbsi dan hormon yang bersirkulasi. Pada studi yang

dilakukan pada manusia dan binatang menunjukan bahwa perubahan

pada berbagai macam sistem diatas terjadi pada proses penuaan, yang

menghasilkan proses anoreksia geriatri. Beberapa studi pada binatang

22
dan manusia berusia tua telah memberikan petunjuk tentang

kemungkinan patogenesis fisiologi anoreksia geriatri. Penjelasan

tentang beberapa faktor yang mungkin terlibat dalam patogenesis dari

fisiologi anoreksia geriatri diberikan dalam Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Faktor yang Terlibat dalam Patofisiologi Anoreksia Geriatri.

Ketika glukosa dan triacilgliserol masuk ke duodenum orang

muda, menyebabkan pengurangan rasa lapar dan pemasukan

makanan. Ketika nutrisi masuk lewat duodenum pada orang tua /

lansia, pengurangan pada rasa lapar dan pemasukan makanan lebih

sedikit ditemukan. Hal ini menyebabkan peningkatan rasa lapar yang

terlihat di orang dewasa selama pencernaan makanan terjadi bukan

karena tidak banyaknya sinyal pengatur rasa makan atau peningkatan

respon untuk mengabsorbsi nutrisi di usus halus, tetapi karena adanya

sinyal nafsu makan lain yang berasal dari lambung.

23
Hipotesis ini sesuai dengan penemuan cairan preload yang lebih

cepat kosong dari lambung, dimana tidak terlihat menurunkan atau

meningkatkan pemasukan energi pada orang tua bila dibandingkan

orang muda. Penelitian yang lebih jauh diperlukan dalam pengukuran

hormon gastrointestinal dari usus halus dan perbedaan pada efek

agonis dan antagonis pada orang muda dan tua untuk mendukung

hipotesis ini.

Sebuah penelitian menunjukkan nilai rata-rata pengosongan

lambung yang lebih lambat pada orang tua dibandingkan orang muda.

Dengan penggunaan USG, menunjukkan derajat distensi antrum yang

secara langsung dengan perkembangan nafsu makan setelah makan.

Dengan bertambahnya usia, makanan lebih cepat bergerak dari fundus

ke antrum dan lebih lama berdiam di antrum, memicu distensi antrum

yang lebih cepat dan hebat. Beberapa studi menunjukkan peran nitrit

oxide memerankan peran yang penting dalam pengaturan makanan.

Nitrit oxide diproduksi untuk menghasilkan efek pada pemasukan

makanan pada sisi central dan perifer. Di perifer, nitrit oxide

bertanggung jawab untuk relaksasi fundus lambung untuk makanan,

menyebabkan dilatasi fundus untuk berperan sebagai penampung

makanan sebelum membawa makanan ke antrum. Nitrit oxide

melambatkan pengosongan lambung lewat mekanisme pengaturan

tonus pylorus dan dilatasi fundus. Pada penelitian kepada binatang

yang berusia tua, terdapat pengurangan pada messenger RNA untuk

nitrit oxide sintesis yang disebabkan penuaan. Hal ini menunjukkan

24
bahwa di orang yang lebih tua, pengurangan nitrit oxide fundus

memacu penurunan relaksasi adaptif, yang menyebabkan nafsu makan

yang lebih cepat pada orang tua.

Colesistokinin adalah prototipe hormon penstimulasi nafsu

makan dan bertanggung jawab untuk 10-20 persen sinyal yang

bertanggung jawab untuk penyetop makan pada manusia. Penelitian

pada binatang telah menunjukkan peningkatan efek nafsu makan pada

colesistokinin pada orang dewasa bila dibandingkan pada binatang

yang muda. Konsentrasi colesistokinin di sirkulasi menunjukkan

peningkatan pada lansia, tapi satu penelitian menunjukkan hal ini

terjadi hanya pada lansia dengan anorexia dan konsentrasi

colesistokinin akan normal pada orang muda setelah berat badan

kembali ke batas normal. Peran penting colesistokinin pada regulasi

lapar pada orang muda dan tua masih belum pasti pada saat ini.

Opioid feeding drive dimediasi sebagian besar oleh dynorphin, yang

memeran peran penting untuk transport lemak pada binatang dan

manusia, penelitian pada tikus menunjukkan menurunnya kemampuan

opioid untuk meningkatkan pemasukan makanan pada binatang tua.

Hal ini menurunkan efektivitas untuk mengurangi reseptor opioid

yang terjadi karena pertambahan usia.

Tidak ada penelitian yang memeriksa efektivitas antagonis

opioid dalam mengurangi pemasukan makanan pada orang tua. Tetapi,

penurunan asupan makanan dari penambahan usia telah menyebabkan

pengurangan fungsi opioid pada binatang, silver morley menunjukaan

25
bahwa pada orang tua terjadi kegagalan dalam pengurangan

pemasukan cairan ketika disuntikkan antagonis opioid. Ketika

penemuan ini digabung dengan fakta bahwa penurunan nafsu makan

yang besar pada orang lansia berhubungan dengan pencernaan lemak,

hal ini terlihat sebagai bukti preemsumtif bahwa penurunan

pemasukan opioid memegang peranan penting pada perkembangan

psikologis dari anoreksia geriatri. Opoid endogen juga menjembatani

indra perasa manis dan konsumsi makanan manis tidak terlihat

menurun oleh penuaan, bahkan mungkin meningkat. Kemungkinan

bahwa pemasukan lemak dipicu oleh opioid.

Neuropeptida Y (NPY) adalah agen orexegenic yang baru

ditemukan. Konsentrasi NPY menurun seiring bertambahnya usia.

Efek NPY lebih dominan pada makanan kaya karbohidrat. Penelitian

lebih jauh menunjukkan peran NPY dalam regulasi pemasukan

makanan. Namun efektivitas dari neurotransmiter yang diketahui

mengatur nafsu makan, seperti corticotropin releasing factor, tidak

berhubungan dengan usia.

Insulin telah terbukti sebagai salah satu agen pemicu nafsu

makan dan konsentrasi insulin meningkat seiring pertumbuhan usia.

Amylin adalah agen anorectic yang terdapat di perifer dan sentral,

yang dapat menurunkan pengosongan lambung. Pada manusia

konsentrasi amylin meningkat dari dewasa muda hingga lansia.

Peningkatan ini menunjukkan peran amylin dalam kejadian anoreksia

geriatri.

26
6. Presentasi Klinis Malnutrisi pada Lansia

Penilaian status nutrisi dengan antropometri standar, biokimia,

dan pengukuran imunologis sangat kompleks. Monitor ketat berat

badan yang mencerminkan ketidakseimbangan antara asupan kalori

dan kebutuhan energi, merupakan cara yang paling sederhana dan

paling dapat dipercaya untuk menilai malnutrisi. Perubahan berat

badan dinyatakan dalam persentase perubahan dibandingkan saat

sebelum sakit. Kehilangan ≥5% berat badan biasanya berkaitan

dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Bila kehilangan berat

badan >10% biasanya berkaitan dengan penurunan status fungsional

dan hasil pengobatan. Kehilangan berat badan 15-20% atau lebih

biasanya secara tidak langsung menunjukan manutrisi berat.

Pengukuran antropometri cadangan lemak dan massa otot dapat

membantu penilaian malnutrisi. Evaluasi klinis kehilangan turgor

kulit, atrofi otot interosseus tangan dan otot temporalis kepala juga

dapat menilai hilangnya lemak subkutan dan massa otot. Meskipun

tidak ada kriteria definitif untuk klasifikasi derajat manutrisi energi

protein, bila berat badan turun >20% berat badan sebelum sakit,

albumin serum kurang dari 2,1 mg/dl, dan trasferin serum kurang dari

80 U/ul, biasanya telah terjadi malnutrisi berat.

7. Tatalaksana Malnutrisi pada Lansia

Atasi problem akut (jika ada) seperti mengatasi infeksi, kontrol

tekanan darah, dan menjaga kondisi keseimbangan metabolik,

elektrolit, dan cairan. Setelah masalah akut teratasi, pasien diminta

27
mengkonsumsi sebanyak mungkin makanan. Tujuannya adalah

memberikan asupan kalori kira – kira 35 kkal/kgBB ideal. Lakukan

upaya intervensi nutrisi yang agresif. Sebagai patokan umum, dalam

48 jam pertama perawatan sudah diberikan asupan gizi adekuat.

Pendekatan yang diambil tergantung kondisi klinis pasien, apakah

memerlukan support nutrisi jangka pendek atau jangka panjang. Bagi

yang membutuhkan support jangka pendek (<10hari) diberikan

hiperalimentasi melalui vena perifer berupa larutan asam amino,

dekstrosa 10%, dan intralipid.

Pemberian diet per NGT harus dihindari pada pasien usia lanjut

dengan delirium karena resiko aspirasi dan tarikan selang oleh pasien.

Bila pasien tidak delirium dapat diberikan diet per flowcare. Selang

ini tidak mengiritasi dan tidak terlalu mengganggu mobilitas atau

kemampuan menelan makanan. Untuk pasien yang membutuhkan

terapi nutrisi selama 6 minggu atau lebih, dianjurkan pemberian

melalui gastrostomi atau jejunostomi. Diet cair harus mengandung

tidak lebih dari 1 kkal/ml dengan kecepatan 25 ml/jam agar tidak

terlalu kental dan dapat masuk ke selang dengan mudah.

Target utama adalah kemandirian fungsional dan meningkatkan

kekuatan otot sehingga strategi yang bertujuan memperbaiki massa

otot sangatlah penting. Latihan fisik yang sesuai dapat dilakukan

untuk tujuan ini. Sangatlah penting memahami perlunya pendekatan

terpadu dalam tatalaksana malnutrisi pada usia lanjut. Intervensi

nutrisi agresif hanya merupakan bagian dari keseluruhan strategi.

28
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN
I. Pengkajian
Pengkajian dilaksanakan pada hari Senin tanggal 15 Juli 2019 Pukul 15.30
WITA di ruang rawat Cempaka RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
A. Identitas
1. Identitas klien
Nama : Ny. D
Umur : tahun
Pendidikan terakhir :-
Agama : Islam
Suku :
Status perkawinan : Menikah
Alamat : Mangkupalas
Pekerjaan :
Diagnosa medis : Fraktur????
Tanggal masuk : ?? Juli 2019
Tanggal pengkajian : 15 Juli 2019
2. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn.
Umur :
Pendidikan terakhir :
Agama : Islam
Suku :
Hub. dengan klien : Suami
Pekerjaan :
Alamat : Mangkupalas

B. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama saat masuk RS

2. Riwayat penyakit sekarang

29
.

3. Riwayat penyakit dahulu

4. Genogram

v
v

v
v v
v v

Keterangan :
= Perempuan
= Laki-Laki
= Pasien
= Meninggal

C. Analisa dan Pengkajian Saat Ini


1. Tanda-tanda vital
09/07/209
TTV 10/07/2019
mmHg
Tekanan Darah 160/100 mmhg
x/i
Nadi 106 x/i
x/i
Pernafasan 28 x/i
o
C
Temperatur 37,2 oC

2. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan


Menurut sepengetahuan klien, sakitnya dikarenakan benturan
keras dan saat ini ada patah tulang pada klien dan juga adanya
batuk berdarah karena ada darah didalam paru-paru.

30
3. Pola nutrisi/metabolik
Program diit RS Nasi Tinggi kalori tinggi protein
Intake makanan
Klien makan 3x dalam sehari dan ketika sakit ini hanya mampu
menghabiskan ½ porsi dari makan yang diberikan
Intake cairan
Klien minum 4-5 gelas (800-1000 ml) setiap hari ketika dirawat
dirumah sakit.
4. Pola Eliminasi.
a. Buang air besar
Selama dirawat dirumah sakit klien belum pernah buang air
besar
b. Buang air kecil
Selama dirawat dirumah sakit klien buang air kecil
menggunakan pempers dan dapat diganti sebanyak 1-2 kali
dalam sehari.
5. Pola Aktivitas dan Latihan
Pola aktivitas dan latihan menggunakan Indeks Barthel
Nilai
No. Kriteria Penilaian
skor

1. Makan 0= Tidak mampu


1= perlu bantuan 1
2= mandiri
2. Mandi 0= Tergantung orang lain 0
1= Mandiri
3. Perawatan diri 0= Tidak mampu 0
1= Mandiri
4. Berpakaian 0= tidak mampu 0
1= perlu bantuan
2=Mandiri
5. BAK 0= Tak terkendali/Pakai Kateter 1

31
1=kadang-kadang tak terkendali
2= Mandiri
6. BAB 0= tidak terkendali/tidak teratur 1
1=kadang-kadang tak terkendali
2= Mandiri
7. Penggunaan 0=tidak mampu 0
toilet 1=sebagian aktivitas perlu bantuan
2=mandiri
8. Transfer 0=tidak mampu 2
1=Berpindah dengan kursi roda
2=berjalan dengan bantuan
3= Mandiri
9. Mobilitas 0= Tidak mampu 1
1= Perlu bantuan
2= Mandiri
10. Naik turun 0= Tidak mampu 1
tangga 1= Perlu pertolongan
2= Mandiri
Total skor 7

Keterangan
0-4 : Ketergantungan Total
5-8 : Ketergantungan Berat
9-11 : Ketergantungan Sedang
12-19 : Ketergantungan ringan
20 : Mandiri

6. Pola tidur dan istirahat


Pasien mengatakan sejak peristiwa tabrakan terjadi pasien tidak
dapat tidur dengan baik dikarenakan ketika mulai memejamkan
mata pasien selalu terbayang ada sebuah mobil yang sedang
berada didepannya dengan kecepatan tinggi yang akan

32
menabraknya hal itu terjadi baik pada saat pasien mencoba
untuk tidur disiang hari maupun dimalam hari.
7. Pola perseptual
.
8. Pola persepsi diri
9. Pola seksualitas dan reproduksi
Pasien berjenis kelamin perempuan dan pasien sudah menikah
dan saat ini masih menstruasi, klien juga terpasang kontrasepsi
susuk ditangan kiri.
10. Pola peran hubungan
Komunikasi klien baik
11. Pola manajemen koping-stress
12. Sistem nilai dan keyakinan.

D. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
Mata dan Telinga ( Penglihatan dan Pendengaran )
a. Penglihatan
Klien masih dapat melihat dengan jelas baik pada jarak
dekat maupun pada jarak jauh
b. Pendengaran
Klien masih dapat mendengar dengan jelas, tidak ada
dengungan pada telinga dan keluhan lain
c. Hidung
Hidung pasien simetris, tidak terdapat benjolan, tidak
terdapat polip, tidak terdapat cuping hidung dan tidak ada
nyeri tekan dan dapat mencium bau-baun dengan jelas.
d. Mulut/ Gigi/ Lidah

e. Leher
Tidak ada benjolan, tidak ada nyeri tekan, tidak ada lesi dan
tidak ada pembengkakan vena jugularis.

33
2. Respiratori
a. Dada
b. Kardiovaskuler
c. Neurologis
GCS: E4 V5 M5 Kesadaran Composmentis
d. Integumen
e. Abdomen
f. Muskuloskeletal

g. Seksualitas
Pasien sudah menikah dan memiliki 4 orang anak

E. Program Terapi
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
- Antrain 3x1 gr
- Ranitidine 2x50 mg
- Kalnex 2x500 mg
- Venolin 3x1 (nebulizer)
-

F. Hasil Pemeriksaa Penunjang dan Laboratorium


1. Hasil Rontgen

RONTGEN TGL 17/6/2019

Hasil:
Kesimpulan :
2. Hasil Laboratorium
Tanggal /07/2019
Pemeriksaan Hasil Grafik Nilai Rujukan Unit

Leukosit __(__)_*_ 4.80 – 10.80 10ˆ3/μL


Hemoglobin _*_(__)__ 14.0 – 18.0 g/dL

34
Hematokrit _*_(__)__ 37.0 – 54.0 %
Trombosit __(_*_)__ 150–450 10ˆ3/μL

Tanggal /07/2019
Pemeriksaan Hasil Grafik Nilai Rujukan

Warna urin __(__)_*_ Kuning


Bakteri _*_(__)__ Negatif
Albumin _*(__)__ 3,5-5,5

Ket :
__(_*_)__ = Dalam batas nilai rujukan
_*_(__)__ = Kurang dari batas nilai rujukan
__(__)_*_ = Lebih dari batas nilai rujukan

ANALISA DATA

KEMINGKINAN MASALAH
NO. DATA FOKUS
PENYEBAB KEPERAWATAN
1. DS :

DO :

2. DS :

DO :

3. DS :

35
DO :

36

Anda mungkin juga menyukai