Anda di halaman 1dari 4

AGAMA, HAK ASASI MANUSIA DAN TUGAS NEGARA

Beragama adalah salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus ditegakkan dan
dilindungi oleh Negara melalui aparaturnya. Dalam menjalankan tugasnya, Negara
harus kuat dan tegas menegakkan dan menjamin HAM.

Agama dan HAM merupakan bagian-bagian yang saling mendukung dan


menguatkan dalam suatu negara demokrasi.

Agama

Sebagai sebuah system kepercayaan kepada yang ilahi dan tanggapan iman
kepadaNya, agama sangat berperan besar dalam kehidupan manusia. Peran itu
bisa positif dan bisa juga negatif. Di satu sisi agama mengajarkan cinta-kasih-
sayang kepada Pencipta dan sesama. Agama bisa menjadi rahmat bagi sesama-
semesta bila moralitas dan cinta menjadi jantung kehidupan beragama (Yudi Latif,
Kompas, 28/09/2006).

Di sisi lain agama dapat mendorong penganutnya untuk melakukan kekerasan,


mengedepankan egoism, menampilkan wajah hipokrit dan menyebarkan
kebencian terhadap agama lain. Di sini wajah agama menjadi menakutkan dan
tidak simpatik.

Ajaran agama yang menekankan cinta-kasih-sayang menampilkan wajah agama


yang sejuk, ramah, yang mengajarkan nilai-nilai luhur, menghargai dan
menyenangkan sesama di tengah kehidupan bersama. Agama yang berwajah
demikian menjadi daya pemikat tersendiri bagi yang memandang dan
memeluknya. Itulah sebabnya, Pemerintah dalam hal ini Departemen Agama RI,
mencita-citakan agar agama menjadi landasan etis-moral dan spiritual dalam
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Dengan menjadikan agama demikian, Pemerintah sangat menjunjung tinggi peran


agama dan berupaya meningkatkan dan memfasilitasi pelayanan, pengamalan
dan penghayatan ajaran agama bagi setiap pemeluknya. Departemen Agama
merupakan lembaga utama sebagai fasilitator pembangunan kehidupan
keagamaan dan kerukunan umat beragama. Dengan demikian diharapkan, warga
Negara Indonesia dapat hidup semakin sejahtera, aman, damai dan demokratis.

Meskipun demikian, Pemerintah melihat dan mengakui masih ada persoalan


dalam kehidupan beragama di negeri ini yang belum terselesaikan dengan baik.
Salah satu persoalan tersebut antara lain kurangnya internalisasi (pembatinan) inti
ajaran agama sehingga kehidupan beragama (religiositas) terkesan belum
menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Dengan kata lain, masih ada
sekelompok orang yang mengatasnamakan agama untuk merugikan hak-hak asasi
orang lain. Padahal substansi agama itu dalam sendiri sangat menghargai
kemanusiaan alias hak asasi manusia.

Melukai Wajah Agama Sendiri

1
Kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan manyalahgunakan
agama yang terjadi di negeri ini sangat melukai dan merugikan warga masyarakat
lainnya. Yang lebih menyedihkan lagi, tindakan tersebut melukai wajah agama
yang menyuratkan cinta-kasih-sayang terhadap Sang Pencipta dan sesama.

Sejarah hubungan agama-agama mencatat, kekerasan dan rendahnya toleransi


sangat mewarnai kehidupan beragama. Sejarah seperti ini sangat meredupkan
image agama yang menampilkan kedamaian, kedalaman hidup, solidaritas dan
harapan akan kebahagiaan.

Masuk akal jika Karl Marx mengatakan bahwa agama sebagai candu rakyat.
Bahkan agama itu bisa jauh lebih berbahaya dari candu. Agama menjadi tragedy
bagi manusia. Agama dapat mendorong orang untuk menganiaya sesamanya
untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan
pendapat orang lain untuk mengklaim diri mereka sebagai pemilik kebenaran.

Hak Asasi Manusia

Pertanyaannya adalah mengapa para penganut agama-agama yang berbeda tidak


bisa toleran dan menghargai perbedaan? Jawabannya adalah adanya kesulitan
menerima perbedaan. Sulitnya menerima perbedaan ini mendorong terjadinya
aksi kekerasan dan penganiayaan terhadap orang lain yang berbeda agama.
Sejatinya, perbedaan itu mutlak ada dan merupakan hak asasi manusia sebab
perbedaan itu berasal dari Sang Pencipta yang diabdi para pemeluk agama.

Sejarah peradaban manusia mencatat hampir tidak ada salah satu agama yang
tidak ikut bertanggung jawab atas berbagai peperangan, tirani, kekerasan dan
penindasan (Budhy Munawar Rachman, Kompas, 20/08/2005). Agama dalam hal
ini gagal mendorong pemeluknya untuk menghargai kemanusiaan, tetapi malahan
merendahkan kemanusiaan itu sendiri.

Warga dunia bersyukur atas inisiatif para pemimpin bangsa-bangsa dalam


Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember 1948 untuk
mendeklarasikan hak-hak asasi manusia yang berlaku universal. Hak asasi
manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia yang berlaku seumur
hidup sejak awal dilahirkan dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun.

Dalam Deklarasi Universal HAM PBB, terdapat beberapa jenis dan bidang HAM
yaitu hak asasi pribadi (personal right); hak asasi politik (political right); hak asasi
hokum (legal equality right); hak asasi ekonomi (property right); hak asasi
peradilan (procedural rights) dan hak asasi sosial budaya (social cultural right).

Menurut Adnan Buyung Nasution dalam pengantar bukunya, Instrumen


Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia (1997) deklarasi HAM PBB 1948 dapat
dikatakan sebagai puncak peradaban manusia setelah dunia mengalami
malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang dilakukan Negara fasis dan Nazi
Jerman dalam Perang Dunia II. Tahun ini Deklarasi Universal HAM PBB memasuki
usia 60 tahun. Deklarasi ini menjadi kebanggaan warga dunia yang masih harus
ditingkatkan penegakannya.

2
Dengan deklarasi yang tersebut, bangsa-bangsa yang menjadi anggota PBB
sepakat bahwa perbedaan setiap individu menurut agama, ras, suku bangsa,
warna kulit, ideologi, golongan dan bahasa adalah hak pada diri manusia yang
harus dihormati dan dihargai. Perbedaan adalah mutlak ada dan merupakan hak
asasi manusia.

Negara Indonesia adalah salah satu anggota PBB yang meratifikasi dan menerima
Deklarasi Universal HAM. Pada tahun 2005 lalu, Indonesia juga meratifikasi dua
kovenan internasional yang diprakarsai PBB yaitu Kovenan Internasional tentang
Hak sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya. Itu berarti Indonesia menjunjung tinggi dan melindungi hak-hak asasi
manusia yang berlaku universal. Dengan demikian tiap-tiap warga Negara
Indonesia yang berbeda agama satu sama lain seyogiyanya merangkul
kemanusiaan universal yang dimiliki oleh penganut agama lain.

Benarlah apa yang dikatakan oleh Mr. Mohammad Yamin dalam risalah Sidang
BPUPKI, (29/5/1945) seperti dikutip oleh William Chang (2006) bahwa “Kedaulatan
rakyat Indonesia dan Indonesia merdeka adalah berdasar perikemanusiaan yang
universeel berisi humanisme dan internasionalisme bagi segala bangsa”.

Pertanyaannya sekarang adalah bisakah warga Negara yang menganut agama


tertentu menerima dan menghormati warga lain yang berbeda agama sekaligus
memegang teguh otentisitas kebenaran agamanya sendiri? Bila para pemeluk
agama dapat merangkul hak asasi manusia universal, maka wajah agama yang
ditampilkannya adalah wajah agama sejuk, ramah, simpatik, damai dan penuh
cinta-kasih-sayang.

Tugas Negara

Pendiri Negara Republik Indonesia (RI) menjamin dan melindungi hak asasi
warganya. Hal ini dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Negara RI dibentuk “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dalam pasal 28 E UUd 1945
(versi amandemen) dikatakan: “Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya” (ayat 1) dan setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya (ayat
2).

Konstitusi Negara menjamin dan melindungi hak-hak asasi warganya. Lebih khusus
lagi kebebasan beragama itu difasilitasi pemerintah melalui Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/8 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat
Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat sehingga para pemeluk agama yang
berbeda satu sama lain dapat menjalankan hak asasinya.

3
Dengan dasar konstitusi dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan, pemerintah
berharap hubungan agama-agama dan kehidupan beragama di Indonesia rukun
dan saling menghormati. Dengan demikian para pemeluk agama menampilkan
agama yang berwajah kedamaian dan penuh cinta-kasih-sayang.

Dari dirinya sendiri, agama semestinya menjadi rahmat bagi sesama-semesta bila
substansi ajaran agama benar-benar menjadi jantung kehidupan beragama.

Di sinilah tugas pemimpin Negara demokrasi yaitu menegakkan hak asasi manusia
universal, memfasilitasi dan mendukung kehidupan beragama yang memeluk dan
menghargai kemanusiaan. Sebab kebebasan beragama sebagai bagian HAM
merupakan salah satu fundasi Negara demokrasi . SEMOGA !!! (Pormadi Simbolon)

Anda mungkin juga menyukai