Anda di halaman 1dari 14

BAB 2

Dalam kaitannya dengan peran publik agama, perlu didefinisikan terlebih dahulu apa
yang dimaksud dengan istilah ruang "publik Seperti dijelaskan oleh Jurgen Habermas (1989),
istilah ruang publik (public sphere) merujuk pada domain kehidupan sosial tempat opini
publik terbentuk serta kegiatan-kegiatan intelektual dan politik diaktualisasikan; atau, dalam
bahasa Casanova, tempat yang memungkinkan kegiatan sosial memperoleh "publisitas" atau
memasuki penciptaan kehidupan publik.
Mengenai keterlibatan institusi agama dalam ranah publik, Casanova mengajukan
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi.Pertama, dengan memasuki ranah publik, suatu
agama tidak hanya dituntut untuk membela kebebasannya sendiri melainkan juga kebebasan
penganut agama lain; dengan demikian, agama- agama akan mencegah lahirnya absolutisme
negara atas nama satu agama Kedua, dengan memasuki ranah publik, agama-agama secara
aktif mempersoalkan absolutisme dunia sekuler, namun tidak dengan keinginan untuk
menggantikan atau menentukan jalannya negara, tetapi menggugat realitas sekuler itu secara
etis. Ketiga, dalam memasuki ranah publik, agama membela pola dan tata nilai kehidupan
tradisional dari penetrasi ataupun kolonisasi dunia teknis dan administrasi negara modern
yang anonim; akan tetapi, agama tidak perlu berfantasi untuk kembali ke paguyuban
keagamaan purba yang diidealisasikan, tetapi menjadikan dunia kehidupan tradisinya yang
khas itu sebagai wacana publik yang terbuka seraya mengubah cara kerjanya sesuai dengan
tantangan zaman (Intan, 2006: 16-17, Sinaga, 2007:13-14).

Membumikan Ketuhanan dalam Kerangka Pancasila.


Ketuhanan dalam kerangka Pancasila mencerminkan komitmen etis bangsa Indonesia
untuk menyelenggarakan kehidupan pub lik politik yang berlandaskan nilai-nilai moralitas
dan budi pekert yang luhur. Dalam mengamalkan komitmen etis Ketuhanan ini, Pancasila
harus didudukkan secara proporsional, bahwa ia bukanlah agama (sesungguhnya) yang
berpretensi mengatur sistem keyakinan, sistem peribadatan, sistem norma, dan identitas
keagamaan dalam ranah privat dan ranah komunitas agama masing-masing. Ketuhanan dalam
kerangka Pancasila menyerupai konsepsi "agama sipil" (civic religion), yang bisa melibatkan
nilai-nilai moral universal agama-agama, namun juga secara jelas dapat dibedakan dari
agama.
Ketuhanan dalam kerangka Pancasila merupakan usaha pencarian titik temu dalam
semangat gotong-royong untuk menyediakan landasan moral yang kuat bagi kehidupan
politik berdasarkan moralitas Ketuhanan. Proposisi bahwa "Indonesia bukan negara sekuler
dan bukan negara agama" ini memperoleh kontekstualisasinya dalam konsepsi diferensiasi.
Sebagai jalan tengah antara "fusi" dan "separasi", para pendin bangsa menawarkan konsepsi
"diferensiasi yang maju. Dalam kehadiran Islam sebagai agama mayoritas, setiap agama
secara prinsip diperlakukan setara dengan tidak menjadikan Islam sebagai agama negara.
Berdasarkan pasal 29 (2) UUD 1945, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu." Selain kebebasan beragama, dalam pasal 18 Konstitusi RIS dan
UUDS 1950 bahkan disebutkan tentang jaminan kebebasan "keinsyafan batin dan pikiran".
Maknanya, kebebasan juga diberikan kepada keyakinan kepercayaan lain, seperti
kepercayaan agnostik (agnosticism). Lebih dan itu, kepedulian Pancasila lebih tertuju pada
moralitas otomatis menganut agama tertentu. publik, tidak mencampuri moralitas (keyakinan)
pribadi. Oleh ka rena itu, dalam kerangka Ketuhanan menurut Pancasila, boleh s seseorang
secara pribadi tidak memeluk agama formal (sebagai saja agnostik atau bahkan atheis).
Dengan diferensiasi fungsi antara institusi agama dan negara, masing-masing bisa
mengoptimalkan perannya dalam usaha pengembangan dan penyehatan kehidupan publik.
Yang pertama lebih bertanggung jawab dalam mengembangkan tatanan kehidupan
masyarakat (civil society) yang beradab-dengan dukungan keberadaban negara. Yang kedua
lebih bertanggung jawab dalam mengembangkan tatanan kehidupan negara (political society)
yang beradab dengan dukungan keberadaban masyarakat. Tidak ada negara beradab tanpa
ditopang oleh masyarakat yang juga beradab, dan demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu,
meminjam ungkapan Mochtar Pabottingi, "Kita memerlukan kehidupan agama yang
menghormati mekanisme dan kebajikan demokrasi dan kita memerlukan demokrasi yang
menghargai ritus, amal, dan terutama kebajikan agama." (Pabottingi, 2001:258).
Samuel Huntington, dalam Who Are We?, menunjukkan hal menarik mengenai
keberlangsungan Amerika Serikat (AS) sebagai negara adikuasa, dibandingkan dengan Uni
Soviet 124 Di AS, urainya, Agama telah dan masih merupakan sesuatu yang sentral, dan
barangkali identitas yang paling sentral bagi bangsa Amerika" (Huntington, 2004.20). Uraian
Huntington tersebut mempertegas pandangan yang melihat hubungan erat antara nilai-nilai
dan kemajuan. Dalam kaitan ini, ada argumen yang didukung fakta historis bahwa faktor nilai
atau budaya merupakan penentu penting kemampuan suatu negara untuk makmur karena
budaya membentuk pemikiran orang-orang mengenai resiko, penghargaan, dan kesempatan.
Ini mene gaskan bahwa nilai-nilai budaya memang penting dalam proses kemajuan manusia
karena mereka membentuk cara orang-orang berpikir tentang kemajuan itu sendiri.
Menurut Harrison (2006: 436), ada sebab-akibat yang saling memengaruhi antara
budaya dan kemajuan, tetapi kekuatan budaya dapat ditunjukkan. Dalam bukunya yang
terkenal Making Democracy Work (1993), Putnam misalnya menyimpulkan bahwa evolusi
Italia selama berabad-abad menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya mempunyai pengaruh
yang lebih besar daripada pembangunan ekonomi. Nilai-nilai Ketuhanan yang dikehendaki
Pancasila adalah nilai Ketuhanan yang positif, yang digali dari nilai-nilai profetis agama-
agama yang bersifat inklusif, membebaskan, memuliakan keadilan dan persaudaraan.
Ketuhanan yang lapang dan toleran yang memberi semangat kegotong-royongan dalam
rangka pengisian etika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan peran kepemimpinan moralnya, dalam rangka pencapaian tujuan negara, sila
Ketuhanan memberikan dimensi agama pada kehidupan politik serta mempertemukan dalam
hubungan simbiosis antara konsepsi "daulat Tuhan" dan "daulat rakyat", yang disebut oleh
Sartono Kartodirdjo dan Kuntowijoyo sebagai "teodemokrasi". Dalam Pancasila, wawasan
teosentris akan memperkuat etos kerja karena kualitas kerjanya ditransendensikan dari
batasan hasil kerja materialnya. Dengan wawasan teosentris, kita dituntut untuk pandai
menjangkarkan kepentingan (interest) kepada nilai (value) dalam politik.
Dalam demokrasi yang berketuhanan, kekuasaan diletakkan di bawah Tuhan dan
rakyat. Menurut Kuntowijoyo, Tuhan dan rakyat harus dibaca dengan "satu" tarikan napas,
karena itu ditulis dengan "teodemokrasi". Dalam demokrasi modern, hal ini selaras dengan
konsep tanggung jawab dan transparansi. Konsep accountability d hadapan Tuhan Yang
Maha ini harus disadari oleh setiap orang supaya orang tidak melalaikan tugas-tugas
kekuasaannya. Sila Ketuhanan mengajak bangsa Indonesia untuk mengembangkan etika
sosial dalam kehidupan publik-politik dengan memupuk rasa kemanusiaan dan persatuan,
mengembangkan hikmah permusyawaratan dan keadilan sosial.

BAB 3
Kemanusiaan Universal
Dalam ungkapan Hatta, "Pengakuan kepada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa
mengajak manusia melaksanakan harmoni di dalam alam, dilakukan terutama dengan jalan
memupuk persahabatan dan persaudaraan antara manusia dan bangsa. Dalam kesadaran
kemanusiaan universal, Indonesia hanyalah sebuah noktah kecil di muka bumi, tetapi
merupakan bagian penting dari planet ini. Komitmen perjuangan kemanusiaan ini secara ideal
bersifat universal, namun pelaksanaannya secara historis-sosiologis bersifat partikular.
Dengan demikian, komitmen untuk menjunjung tinggi kemanusiaan universal (humanity)
yang adil dan beradab itu mengandung implikasi ganda. Di satu sisi, seperti diungkapkan
oleh Soekarno, "kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan
chauvinisme", melainkan "kebangsaan yang menuju kepada kekeluargaan bangsa-bangsa
(internasionalisme).
Dalam konteks ini, nilai-nilai universal dalam wacana kemanusiaan harus didialogkan
dengan khazanah kearifan lokal, visi global harus dipadukan dengan daya cerna budaya lokal.
Dalam perjuangan kemanusiaan bangsa Indonesia, proses dialogis ini dikembangkan melalui
jalan eksternalisasi dan internalisasi. sebagaimana tertera pada (alinea 4) Pembukaan UUD
1945. Ke dalam, bangsa kita harus menerima, apa yang disebut oleh Muhammad Yamin,
"benda ruhani berupa pengakuan dan pemuliaan hak asasi kemanusiaan" (Yamin, 1956: 186-
187).

Perspektif Historis
Menurut Stephen Oppenheimer (2004, 2010), konsentrasi manusia prasejarah dalam
lingkungan geografi, klimatologi, dan kekayaan alam Nusantara yang berlimpah memberi
alasan mengapa Nusantara (khususnya Dataran Sunda yang menjadi bagian tidak terpisahkan
dari daratan Asia Tenggara) menjadi pelopor cikal-bakal peradaban di muka bumi. Kondisi
lingkungan alam-geologis Nusantara yang berse vulkanis juga sejak dahulu kala
memengaruhi kehidupan manus di seantero dunia.
Letusan Gunung Toba (Sumatera Utara) yang terjadi sekita 73.000-75.000 tahun yang
lalu, dikenal sebagai letusan paling dahsyat (supervolcano) dengan dampak yang begitu besar
bagi ke dupan umat manusia. Menurut Oppenheimer (2004). ledakan dahsyat (supereruption)
Gunung Toba membawa perubahan besar bagi perjalanan kehidupan manusia di jagad bumi
Ledakannya menimbulkan nuclear winter selama enam tahun yang segera diikuti oleh zaman
es selama 1000 tahun. Akibatnya, terjadi kekurangan cadangan pangan dan bencana
kelaparan yang menimbulkan penciutan populasi manusia di muka bumi hingga kurang dari
10.000 orang.
Setelah zaman es berakhir dan Nusantara menjadi gugus ke- pulauan, nenek moyang
bangsa Indonesia merupakan perintis dan penarik arus-arus pelayaran internasional yang
membuka jalan ke arah globalisasi. Fakta bahwa segala jurusan di Nusan tara ini terpotong
oleh jalan-jalan air, dan kenyataan begitu dekat- nya jarak dari pedalaman ke pantai, kecuali
di Kalimantan, dengan hampir 80 % wilayah kepulauan itu terdiri dari air, maka sejak masa
purbakala nenek moyang bangsa Indonesia sudah terbiasa meng- arungi air, dan merupakan
satu-satunya bangsa di muka bumi yang menamai negerinya dengan sebutan "Tanah Air".

Nusantara sebagai Perintis Jalan Globalisasi.


Nusantara adalah nama file yang menyimpan memori tentang kejayaan kita sebagai
bangsa bahari di muka bumi. Dengan letaknya yang strategis, sebagai titik singgung dalam
persilangan perdagangan dan budaya antarbangsa, Nusantara pernah mencapai
kemegahannya sebagai kesatuan maritim, sebagai kekuatan laut yang jaya. Sekurang-
kurangnya sejak awal Masehi, bahkan menurut Op- penheimer (2010) jauh sebelum masehi,
nenek moyang bangsa Indonesia, dengan teknologi perahu bersistem "cadik" (penyeim- bang
di sisi kiri dan kanan), telah menyeberangi 70 kilometer laut lepas untuk mencapai Australia,
lantas menemukan hampir semua pulau tidak dikenal di Lautan Pasifik. Dengan teknologi
yang sama, mereka juga berlayar ke arah Barat, mengarungi Samudera Hindia hingga
menjangkau Afrika dan Madagaskar sebelum wilayan dijelajahi oleh para pelaut Mesir, India,
Yunani, dan Romawi-bah kan sebelum bangsa Dravida menuju India Selatan.
Dalam penjelajahan Samudera Hindia ini, para pelaut Nusantara bukan hanya singgah
di Afrika, tetapi juga meninggalkan banyak jejak kebudayaan di benua tersebut:
memperkenalkan jenis-jenis tanaman baru, teknologi, musik, dan seni yang pengaruhnya
masih bisa ditemukan dalam kebudayaan Afrika sekarang. Hubungan lalu lintas selama
berabad-abad telah mengangkat tiga suku bangsa yang memimpin-Melayu, Bugis, dan Jawa-
sampai menjadi bangsa-bangsa yang sangat istimewa. Lebih lanjut, Hatta menjelaskan bahwa
selain etos petualang- kan jenis an orang-orang Melayu hingga membuat bahasa mereka
dipakai sebagai bahasa perantara di "Timur", orang Jawa pun punya orientasi kemaritiman
dan mancanegaranya yang tersendiri. Berdasarkan catatan Fruin-Mees, dia tunjukkan bahwa
hal ini tampak dari pengiriman utusan raja-raja Jawa ke China pada 433 dan 435, terkate yang
tidak hanya bermaksud mengokohkan hubungan dagang sal dan dengan Kerajaan Surgawi
itu, tetapi juga untuk menjamin diperolehnya klausul tentang fasilitas utama, yang sejak
berabad-abad Mohammi memainkan peran dalam politik perdagangan luar negeri" (Hatta,
1923/1998: 35-36).
Sriwijaya menguasai sebagaian besar Jawa, Sumatera, hampir seluruh semenanjung
Malaka, dan sekitarnya, yang menjadikannya sebagai kerajaan maritim terbesar di As
Tenggara dengan kekuatan angkatan laut pertama yang diorgani sasi secara baik di kawasan
tersebut. Dengan kebesaran yang hampir sama, meski cakupan wilayahny sedikit berbeda,
Kerajaan Majapahit melanjutkan kejayaan Nusantara sebagai kekuatan bahari dengan
memanfaatkan jejak jejak yang diwariskan oleh Sriwijaya. Semasa jaya Gajah Mada, arus
bergerak dari selatan ke utara segala-galanya: kapal-kapalnya, manusianya, amal
perbuatannya dan cita-citanya-bergerak dari Nusantara di selatan ke "Atas Angin di utara,
sebab Nusantara bukan saja kekuatan darat tetapi juga kerajaan laut terbesar di antara bangsa-
bangsa beradab di muka bumi. Sebagai pemula dalam penjelajahan samudera, dan sebagai
ke- kuatan maritim yang jaya pada saat kontak-kontak antarbenua ber- basis laut, bisa
dikatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia merupakan perintis dari "globalisasi purba
(archaic globalization).

Arus Balik: Globalisasi di Nusantara


Namun demikian, arus-arus peradaban nyatanya tidaklah bergerak satu arah.
Perjumpaan antarperadaban membawa proses saling belajar. Melalui proses persilangan
budaya dan perdagangan, terjadilah arus masuk nilai-nilai budaya dan agama semasa ke
Nusantara, terutama dari India, Arab, Persia, China, dan Eropa. Internalisasi nilai-nilai baru
ini berjalan simultan dengan arus masuk armada- armada perdagangan lintas-benua, yang
tertarik datang karena letaknya sebagai titik persilangan, dan lebih istimewa lagi. karena
kekayaan alam dan kemolekan buminya. Sedemikian pentingnya Nusantara dalam sejarah
peradaban umat manusia sehingga Adam Smith dalam An Inquiry into the Nature and Causes
of the Wealth of Nations (1776) menyebutkan tentang dua penemuan agung yang berdampak
besar terhadap sejarah pasar global dan globalisasi. Pertama adalah penemuan jalur ke
Nusantara (East Indies) melalui Tanjung Harapan oleh suatu ekspedisi Portugis di bawah
pimpinan Bartolomeu Dias pada 1488. Kedua, penemuan Benua Amerika oleh Columbus
yang disponsori Spanyol pada 1492, yang sesungguhnya juga berniat menemukan Nusantara.
Posisi sebuah negeri pada persilangan jalan, pada titik pertemuan pelbagai dunia dan
kebudayaan, jika dikelola secara baik, mungkin dalam evolus sejarahnya bisa membawa
keuntungan, kalau bukan syarat untuk terjadinya peradaban agung. Menurut Lombard (1996:
1, 1), "Sungguh tidak ada satu pun tempat di dunia ini-kecuali mungkin Asia Tengah-yang,
seperti Nusantara, menjadi tempat kehadiran hampir semua kebudayaan besar dunia,
berdampingan, atau lebur menjadi satu."Pengaruh Indianisasi (Hindu-Buddha) mulai
dirasakan pada abad ke-5, bersama kemunculan dua kerajaan yang terkenal, Kera- jaan
Mulawarman di Kalimantan Timur dan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat sebagai
pengikut setia Wisnu. Pengaruh Islamisasi mulai dirasakan secara kuat pada abad ke-13
dengan kemunculan kerajaan-kerajaan Islam awal seperti Kerajaan Samudera-Pasai di sekitar
Aceh. Kehadiran Islam membawa perubahan penting dalam pandangan dunia (world view)
dan etos masyarakat Nusantara, terutama, pada mulanya, bagi masyarakat wilayah pesisir.
Islam meratakan jalan bagi modernitas dengan memunculkan masyarakat perkotaan dengan
konsepsi "kesetaraan" dalam hubungan antarmanusia, konsepsi "pribadi" (nafs, personne)
yang mengarah pada pertanggungjawaban individu, serta konsepsi waktu (sejarah) yang
"linear", menggantikan konsepsi sejarah yang melingkar (Lombard, 1996: II, 149-242).
Pengaruh China hampir bersamaan dan saling meresapi (os- mosis) pengaruh Islam,
yang mulai dirasakan setidaknya sejak abad ke-14 (zaman Dinasti Ming di China), ketika
imigran-imigran baru dari Fujian dan Guangdong tiba di Nusantara, dan segera membaur ke
dalam struktur sosial-budaya yang ada, tanpa hambatan berarti (Coppel, 1983). Pengaruh
pembaratan diperkenalkan oleh kehadiran Portugis. pada abad ke-16, disusul oleh Belanda
dan Inggris. Tetapi, aktor utamanya tidak pelak lagi adalah Belanda. Dengan jatuhnya VOC
pada tahun 1799 hegemoni atas Hindia diserahkan dari "perusahaan-swasta. kolonial" kepada
imperium negara-kolonial. Negara-kolonial Belanda mulai menancapkan pengaruhnya
setelah kekuasaan sementara Inggris selama perang Napoleon (1811-1816). Intensifikasi
proses pembaratan terjadi selama masa rezim "liberal" pada paruh kedua abad ke-19 yang
dilanjutkan oleh rezim "Politik Etis" pada awal ke-20 (Latif, 2005).
Pengaruh pembaratan membawa mentalitas modern yang telah dibuka oleh pengaruh Islam
menuju perkembangan yang lebih luas dan dalam. Pada bidang sosial-ekonomi, pengaruh
Barat memun- culkan sistem perkebunan, perusahaan, dan perbankan modern, pemakaian
besi, perkembangan angkutan, khususnya kereta api, dan pengobatan modern.
Memasuki paruh kedua abad ke-19, pergulatan pengaruh per- adaban global di
Nusantara mengalami proses intensifikasi, kecuali pengaruh arus Indianisasi yang secara
umum mengalami pemudar- an. Intensifikasi ini didorong oleh luberan konflik sosial dan
ideo- logi pada tingkat global, yang difasilitasi oleh sistem komunikasi dan transportasi
modern, serta munculnya respons-respons baru di daerah-daerah jajahan. Meski
menimbulkan ketegangan antar dan intraperadaban, intensifikasi penetrasi global ini juga
membawa efek mimikri (peniruan) bagi masyarakat Nusantara yang menim- bulkan
perubahan mentalitas dan harapan kemajuan.

Stimulus Pembaratan bagi Kesadaran Kemajuan


Barat (Eropa dan Amerika Utara), proyek kolonialisme bersahutan dengan revolusi
industri (sejak 1700-an) membawa pe rubahan besar dalam dunia kerja dan kehidupan yang
membawa konflik dalam hubungan eksternal dan internal bangsa-bangsa di kawasan ini Yang
ditimbulkannya bukan hanya konflik antarbangsa dalam memperebutkan tanah jajahan,
sumber daya dan pasar internasional, melainkan juga konflik antarkelas secara internal di
bangsa masing-masing. Tonggak perlawanan terhadap kaum aristokrat mulai dipancangkan
dalam dua revolusi: Revolusi Amerika yang berujung pada Deklarasi Kemerdekaan
(Declaration of Independence) Amerika Serikat (1776), dan meraih momentum terpentingnya
pada Revolusi Perancis 1789. Adapun perlawanan terhadap borjuasi ditandai oleh
kemunculan gerakan-gerakan sosialis dan pemikiran sosialisme sejak 1830-an.
Di satu sisi, ada usaha arus balik ke masa praindustrial dengan memimpikan restorasi
tatanan dunia lama (backward looking nostalgia). Kerinduan seperti ini memunculkan
pemikiran dan gerakan Romantisisme pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, dengan
tokoh-tokoh pemikir seperti Rousseau di Perancis dan Immanuel Kant di Jerman. Di sisi lain,
ada arus visi ke depan dengan memimpikan pengadopsian tatanan baru yang sepadan dan
relevan dengan tantangan industrial (forward looking nostalgia).

Stimulus Pembaratan bagi Kesadaran Kemajuan


Barat (Eropa dan Amerika Utara), proyek kolonialisme bersahutan dengan revolusi
industri (sejak 1700-an) membawa pe rubahan besar dalam dunia kerja dan kehidupan yang
membawa konflik dalam hubungan eksternal dan internal bangsa-bangsa di kawasan ini Yang
ditimbulkannya bukan hanya konflik antarbangsa dalam memperebutkan tanah jajahan,
sumber daya dan pasar internasional, melainkan juga konflik antarkelas secara internal di
bangsa masing-masing. Tonggak perlawanan terhadap kaum aristokrat mulai dipancangkan
dalam dua revolusi: Revolusi Amerika yang berujung pada Deklarasi Kemerdekaan
(Declaration of Independence) Amerika Serikat (1776), dan meraih momentum terpentingnya
pada Revolusi Perancis 1789. Adapun perlawanan terhadap borjuasi ditandai oleh
kemunculan gerakan-gerakan sosialis dan pemikiran sosialisme sejak 1830-an.
Di satu sisi, ada usaha arus balik ke masa praindustrial dengan memimpikan restorasi
tatanan dunia lama (backward looking nostalgia). Kerinduan seperti ini memunculkan
pemikiran dan gerakan Romantisisme pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, dengan
tokoh-tokoh pemikir seperti Rousseau di Perancis dan Immanuel Kant di Jerman. Di sisi lain,
ada arus visi ke depan dengan memimpikan pengadopsian tatanan baru yang sepadan dan
relevan dengan tantangan industrial (forward looking nostalgia). Salah seorang pemikir
perintis yang mengarahkan visinya ke depan, dengan melihat implikasi industrialisasi bagi
tatanan Claude Saint-Simon (1760-1825) Dalam pandangannya, dampak perkembangan sains
dan teknologi bagi masyarakat bukan hanya membuat pengorganisasian secara terencana
merupakan suatu keharusan, tetapi juga menuntut penggantian kelas penguasa tradisional,
yang bersifat aristokratis dan berwawasan pedesaan, oleh elite baru yang mewakili kekuatan
ekonomi dan intelektual baru. Ide-ide semacam itu memengaruhi banyak pemikir yang pada
tahun 1830-an menuntut egalitarianisme yang lebih besar.
Negara dan masyarakat Belanda tidak kedap terhadap pengaruh pemikiran dan
gerakan semasa di Eropa, yang pada gilirannya juga berimbas ke negeri jajahan. Dikejutkan
oleh gelombang gerakan li- beral dan revolusi demokratik di Eropa sekitar 1840-an
(Stromberg, 1968: 72-78), sayap Liberal di negeri Belanda yang dipimpin oleh Jan Rudolf
Thorbecke dengan cepat merespons momentum politik itu dengan melakukan perubahan
haluan Undang-undang Dasar (grondwetsherziening) dari konservatisme ke liberalisme.
Dengan kredo kaum Liberal tentang "kebebasan menanam", "kebebasan mempekerjakan
buruh, dan "kepemilikan pribadi", mereka men desak pemerintahan kolonial untuk
melindungi modal swasta un- tuk mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan-kesempatan un
tuk menjalankan usaha atau perkebunan baru.Kehadiran rezim Liberal membawa intensifikasi
proses pemba- ratan, terlebih setelah penetrasinya ke tanah jajahan dipermudah oleh
pengoperasian kapal-kapal bermesin uap serta dibukanya terusan Suez pada 1869. Ambisi-
ambisi perekonomiannya mem bawa konsekuensi ikutan berupa keperluan akan reformasi
institusional, dukungan infrastruktur, dan perbaikan layanan birokras yang menuntut adanya
pelbagai modernisasi. berbarengan dengan reorientasi partai- partai politik berbasis agama.
Ini terjadi pada tahun 1888 ketika posisi Kaum Konservatif yang lama digantikan oleh aliansi
dari kaum Anti-Revolusioner dan Kalvinis dengan "Kaum Romanis" .
Peralihan dukungan publik bagi Partai Kristen didorong oleh kemerosotan secara
terus-menerus dalam kehidupan sosial di Hindia Belanda sebagai akibat dari stagnasi
ekonomi, kegagalan panen, penyakit ternak, kelaparan dan kondisi-kondisi kesehatan yang
buruk, yang dipandang sebagai konsekuensi dari kebijakan ekonomi Liberal. bawah Politik
Etis, educatie (pendidikan), irrigatie (irigasi), dan emigratie (transmigrasi) menjadi prioritas
dari program kesejahteraan (yang berwatak etis). Dari ketiga program itu, pendidikan
dianggap sebagai hal yang paling esensial. Dengan semangat Etis, sistem pendidikan warisan
rezim Liberal direorganisi melalui dua pendekatan yang saling melengkapi. dan
meningkatkan taraf pendidikan hingga ke level universitas Terjadi pula perluasan pengajaran
bahasa-bahasa Eropa, serta inisiatif pengiriman secara selektif anak- anak keluarga
bangsawan untuk bersekolah ke negeri Belanda Dari trayek ini, muncullah kaum inteligensia
sebagai strata terdidik yang memiliki status dan identitas kolektif tersendiri, di luar orbit
priyayi lama dan masyarakat Eropa. Di bawah pengaruh pendidikan modern, mentalitas kaum
inteligensia ini menjadi kosmopolitan.
Bagi gugus manusia baru (homines novi) ini, kemadjoean meng ekspresikan suatu
kehendak untuk mencapai status sosial ideal, baik sebagai individu maupun komunitas
imajiner, yang meliputi banyak hal: kemajuan pendidikan, modernisasi (yang secara luas
diasosiasikan dengan Westernisasi), kehormatan, dan keber hasilan dalam hidup.
Perkembangan ini disusul oleh kehadiran pelbagai organisasi modern berorientasi kemajuan,
salah satunya yang terkenal adalah Budi Utomo, yang didirikan oleh anak-anak STOVIA
pada 1908. Di negeri Belanda, Abdul Rivai (lulusan STOVIA) merintis gerakan kemadjoean
melalui tulisan-tulisannya sebagai editor di majalah Bintang Hindia, dan menunjukkan watak
kosmopolitannya dengan melibatkan diri dalam "Vereeniging Oost en West" (Perhimpunan
Timur dan Barat).

Stimulus Islam bagi Kesadaran Kemajuan.


Reformisme Islam memiliki asal-usulnya pada pergerakan ulama dan kaum Sufi abad
ke-17 dan 18, yang berusaha memberikan jawaban terhadap krisis sosial yang melanda Dunia
Muslim. Berawal di Arabia dan Kairo, dan kemudian menyebar luas ke bagian-bagian
wilayah Muslim yang lain, kelompok-kelompok ulama dan Sufi yang bersifat informal
menyerukan perlunya reorganisasi terhadap umat Islam dan reformasi dalam perilaku
individu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar keagamaan. Versi paling radikal dari pembaruan
Islam ini ialah gerakan Wahabiyah yang didirikan oleh Muhammad bin 'Abd al-Wahhab
(1703-1792) yang memegang kendali atas Mekkah untuk pertama kalinya pada tahun 1803
Gerakan ini telah menginspirasi lapisan-lapisan tertentu ulama Hindia untuk memulai proyek
historis yang sama di Tanah Air.
Memasuki abad ke-19, para ulama di jantung Dunia Islam mu- lai menyadari bahwa
cara-cara lama dalam pendidikan dan pengorganisasian masyarakat Muslim tidak bisa lagi
diandalkan untuk merespons tantangan dunia baru. Pada paruh kedua abad ke-19 muncullah
gerakan "modernisme Islam" yang mencoba memadukan unsur-unsur positif dari Dunia Barat
dan Dunia Islam. Ideologi baru ini pertama kali didukung oleh kelompok Ottoman Muda di
Turki pada 1860-an/1870-an, lantas menyebar ke bagian-bagian dunia Muslim yang lain.
modernisme Islam merupakan ideologi dari para elite baru di dunia Muslim yang peduli
dengan pembaruan negara dan masyarakat melalui jalan pengadopsian metode-metode,
kemajuan-kemajuan saintifik, dan teknologi modern, namun dengan tetap mempertahankan
Islam sebagai basis kultural dari kekuasaan dan masyarakat (Lapidus, 1995: 557-567).
Di Mesir, modernisme Islam menghasilkan arah kecenderungan yang berbeda di
tangan generasi baru ulama Al-Azhar. Bagi ulama ini, paling tidak ada dua alasan sehingga
muncul pendekatan yang khas terhadap isu modernisme ini. Dalam kerangka ini, ulama
sebagai penjaga garda depan dari kesarjanaan Islam memiliki semacam misi suci untuk
melestarikan pengajaran Islam. Di sisi lain, menguatnya pengaruh peradaban Barat di negeri
itu, terutama setelah Mesir dikuasai Inggris sejak tahun 1882, merangsang para ulama muda
untuk melakukan pendekatan strategis agar bisa menghadapi tantangan dunia modern secara
lebih baik (Landau, 1994, 122). Gerakan intelektual baru itu terinspirasi oleh ajaran dari
seorang pemikir Islam pengelana yang terkemuka, Jamal al-Din al-Afghani (1839-97), yang
pernah tinggal di Mesir pada tahun 1870-an (persis sebelum dia memulai aktivitas Pan-
Islamnya), perhatian utama dari pemikir ini ialah bagaimana mengatas kelumpuhan dan
perpecahan Islam yang terus terjadi, dan hidupkan kembali kejayaan Islam. Dalam
pandangannya, untuk membebaskan masyarakat-masyarakat Muslim dari cengkeraman
kolonial, niscaya harus dilakukan pembaruan terhadap kepercayaan dan praktik Islam karena
agama baginya merupakan basis moral bagi kemajuan teknik dan saintifik serta solidaritas
politik dan kekuasaan. Dia yakin bahwa Islam pada hakikatnya memang cocok untuk menjadi
basis bagi masyarakat saintifik modern sebagaimana halnya ia pernah menjadi basis bagi
kejayaan Islam di abad pertengahan.
Yang menjadi desain besar dari politik Pan-Islam dalam jangka panjang ialah
pendirian sebuah blok Muslim internasional yang merupakan konfederasi semi-otonom dari
negara-negara Muslim dengan Sultan Ottoman sebagai pelindungnya. Untuk itu, perlu
dibentuk lingkaran-lingkaran belajar di lingkungan masjid atau sekolah-sekolah keagamaan
sebagai katalis bagi mobilisasi opini publik dan untuk mempererat jaringan Pan-Islam.
Namun untuk mencapai tujuan itu, sementara al-Afgha menekankan pada kebutuhan
pragmatis akan adanya aliansi poli Abduh berusaha mencapai tujuan itu dengan menekankan
pada pembaruan pendidikan, hukum, dan spiritual. 'Abduh tampaknys menyadari bahwa
sebuah negara Muslim yang bersatu sesuatu yang secara politik tidak praktis. Fokus perhatian
Abduh sebagai mufti kemudian diarahkan un tuk memodernisasi hukum Islam dan merevisi
kurikulum Al-Azhar dengan memasukkan sejarah modern dan geografi. Inti dari kepe
duliannya ialah bagaimana mempertahankan vitalitas Islam sambil mengadopsi cara-cara
Barat. Dentuman besar yang disebabkan oleh gerakan Pan-Islam dan Salafiyah ini dengan
cepat menyebar ke Afrika Utara dan Timur Tengah, dan menjadi sumber inspirasi baru bagi
beragam gerakan religio-politik di daerah tersebut. Pada dekade terakhir abad ke-19,
pengaruh kedua gerakan itu juga telah mencapai jantung pusat epistemik Islam di haramain.
Dalam pandangan Snouck Hurgronje: "Mereka yang di negerinya pernah belajar di
pesantren, soerau, madrasah, ataupun masjid adalah yang paling rentan terhadap pengaruh-
pengaruh Pan-Islam" (Hurgronje, 1931: 249). konsep-konsep Pan-Islam dan reformisme-
modernisme Islam dengan cepat menjadi wacana yang dominan di kalangan para ulama-
pelajar dari Nusantara wah) di haramain. M.T. Djalaluddin mulai meninggalkan Mekkah
menuju Kairo sejak tahun 1893 untuk belajar astronomi di Al- Azhar. Ada dua sel inti yang
menjadi agen pengembangan institusi pendidikan dalam kerangka reformisme-modernisme
Islam ini. Pertama, elemen keturunan Arab (umumnya dari hadramaut), 164 yang pada tahun
1901 mulai mendirikan sebuah organisasi di Batavia bernama Al- Djami'at al-Chairijah (lebih
dikenal dengan Djami'at Chair), yang kemudian berhasil mendirikan sebuah tipe sekolah
Islam model baru pada 1905. Kedua, segmen ulama pribumi yang baru pulang belajar dari
Timur-Tengah, terutama yang berasal dari Sumatera (Barat) dan Jawa. Pada 1909, Abdullah
Achmad mulai mendirikan madrasah di Padang, sekolah Adabijah, disusul oleh usaha-usaha
sejenis seperti yang dikembangkan oleh Achmad Dachlan di Yogyakarta sejak 1911.
Dari trayek ini, muncullah "ulama-intelek" (ulama yang me- nguasai pengetahuan
umum) yang dengan jaringan madrasahnya mengembangkan pula rumah-rumah penerbitan,
institusi-institusi sosial, dan organisasi-organisasi keagamaan baru melalui proses apropriasi
terhadap model Barat.
Stimulus China bagi Kesadaran Kemajuan.
Memasuki abad ke-19, terjadi juga intensifikasi arus China di Nusantara. Pendalaman
penetrasi kapitalisme dari ekonomi Liberal sejak pertengahan abad ke-19 mendorong
peningkatan arus imigran leturunan China (selanjutnya akan dipertukarkan dengan sebutan
Tionghoa), untuk dipekerjakan terutama di sektor perkebunan. Meski merupakan minoritas
dari segi jumlah, penduduk ketu- san Tionghoa memainkan peran penting, khususnya dalam
perekonomian. Untuk mencegah terjadinya integrasi kekuatan ekonomi keturunan Tionghoa
dengan kekuatan politik Boemipoetra, jang bisa membahayakan kekuasaan kolonial, sejak
zaman VOC, telah dikeluarkan pelbagai ordonansi untuk melakukan segregasi penduduk.
Pada mulanya, pendirian pers vernakular ini didorong oleh logi- ka pasar, yakni
peningkatan jumlah penduduk melek huruf, akibat kebijakan baru pendidikan, yang masih
menggunakan bahasa lokal sebagai bahasa utama. Dalam perkembangannya, kemunculan
industri pers vernakular ini berdampak signifikan bagi perkembangan bahasa-bahasa
vernakular. Dampak yang paling mencolok ialah meningkatnya popularitas bahasa Melayu
pasar ("rendah") yang cara perlahan menjadi bahasa ibu bagi penduduk yang terus meningkat
di kota-kota pesisir Nusantara (Maier, 1993 47).
Ketika ekonomi Liberal cenderung menyentuh sektor media massa, pertimbangan
akan potensi pasar dan persepsi akan kesederhanaan dan fleksibilitas dari bahasa Me-
"rendah" ini secara berangsur-angsur membuat bahasa Melayu pasar menjadi bahasa
pengantar utama dalam jurnalisme. Ketika orang-orang keturunan Tionghoa berperan dalam
sektor ini, mereka mengembangkannya lebih jauh dalam bentuk publikasi sastra- Melayu
peranakan. Selain berperan penting dalam pengembangan bahasa dan sastra Melayu,
keturunan Tionghoa juga turut berjasa dalam memperluas penggunaan huruf Romawi/Rumi
(biasa disebut "letter Ol- landa) yang merupakan kunci penting pembuka kemajuan dunia saat
itu.
Keterlibatan keturunan Tionghoa dalam industri ini terangsang peh pembaca potensial
dari pers dan sastra Melayu pasar, mulai dari para pedagang, serdadu, dan misionaris Eropa
yang telah arbiasa menggunakan ragam bahasa ini dalam kontak-kontak mereka dengan
penduduk pribumi, sampai dengan orang-orang leturunan Tionghoa yang melek huruf dan
akrab dengan bahasa Sno-Melayu yang jumlahnya terus meningkat, serta orang-orang
Boemipoetra yang melek huruf, yang telah lama terbiasa dengan bahasa Melayu. Pergeseran
menuju media massa yang berorientasi kemadjoeon dan ini pada awalnya digerakkan oleh
logika kapitalisme itu sendir Pada saat media massa berbahasa vernakular semakin banyak
jum lahnya, kompetisi untuk memenangkan para pelanggan menjad sengit. Hal ini terutama
terjadi manakala orang-orang keturunan Tionghoa mulai mendirikan pers mereka sendiri
untuk para pembaca keturunan Tionghoa agar meninggalkan pers milik orang Belanda/Indo.
Dalam rangka gerakan ini, pers-pers tersebut tidak sekadar merespons kepentingan-ke- orang
Benerbitan, pentingan komersial saja, namun juga melayani aspirasi-apsirasi juga di
kemajuan dari kaum inteligensia yang sedang tumbuh.
Gerakan nasionalisme Tiongkok mencapai perkembangan lar penting pada 1912,
ketika Dr. Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka. Negara Tiongkok merdeka ini
berdasarkan pada "pandangan dunia" (Weltanschauung) yang telah dicanangkan sejak 1885
dalam prinsip San Min Chui (tiga prinsip rakyat); Mintsu (nasionalisme), Min Chuan
(demokrasi), dan Min Sheng (sosialisme), Perkembangan di Tiongkok ini mendorong
revivalisme komunitas Tionghoa di Hindia dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan
berorientasi kemajuan dan kebangkitan. Alhasil, kemajuan yang dicapai komunitas Tionghoa
dalam perekonomian, penerbitan, pendidikan, dan perhimpunan sering menjadi rujukan bagi
gerakan-gerakan kemajuan komunitas lain.
Melalui proses belajar wakilan (vicarious learning) yang difasilitasi oleh pers,
literatur, asosiasi, dan persekolahan modern, dihasilkan kekuatan refleksi- dini untuk
menakar sampai seberapa jauh kemajuan masyarakat Nusantara telah melaju, dibanding
bangsa-bangsa Asia lainnya. Dengan meluasnya penyebaran pers ver- nakular, definisi-
definisi atas realitas sosial yang tersedia bagi ko- munitas inteligensia semakin banyak yang
berasal dari orang-orang asing yang berjarak jauh, dari kelompok-kelompok yang secara
geografis, kultural, dan historis juga jauh, dan yang mungkin ber- tentangan dengan apa yang
disajikan oleh elite lokal yang mapan dan rezim-rezim kolonial. Demikianlah, kemajuan
keturunan Tionghoa dan kebangkitan nasionalisme di China serta pelbagai negeri lainnya di
Asia mem beri inspirasi bagi gerakan-gerakan kemajuan dan kebangkitan d Tanah Air.

Negosiasi Antarperadaban dalam Konstruksi Kebangsaan Indonesia.


Memasuki dekade kedua abad ke-20, pergumulan antararus peradaban itu mengalami
gelombang pasang. Pada titik ini, gerakan-gerakan sosial inteligensia menjadi beraneka
bentuk, merepresentasikan keragaman afinitas peradaban, arkeologi pengetahuan, dan
intensitas kesadaran politik, terutama sebagai reaksi terhadap politik segregasi sosial yang
dikembangkan oleh kolonial. Struktur peluang politik pada dekade ini mencerminkan
karakter khas kepemimpinan Gubernur Jenderal Idenburg (1909-1916) dan penerusnya Van
Limburg Stirum (1916-1921), yang tergolong kaum Ethici progresif yang memiliki
kepedulian besar terhadap kemajuan dan pergerakan di tanah jajahan Karekteristik ini bertaut
dengan situasi Perang Dunia I (1914-1918), yang sangat memengaruhi negeri Belanda dan
negeri jajahannya. Tekanan dari perang tersebut memaksa Inggris untuk membatasi
melintasnya kapal-kapal netral di Samudera Hindia. Pembatasan ini menyebabkan
renggangnya hubungan antara negeri Belanda dan Nusantara.
Dalam tahun-tahun kepemimpinan Idenburg, kelompok-kelom- pok misi Kristen
memperoleh angin segar. Selain seorang Ethici progresif, dia juga seorang pendukung gigih
Partai Kristen yang darinya, komunitas Kristen mendapatkan banyak bantuan. Intensifikasi
usaha Kristenisasi ini berbenturan dengan intensi- fikasi Islamisasi. Terinspirasi oleh ide-ide
reformisme-modernisme Islam dan Pan-Islamisme dari Timur Tengah, gerakan revivalisme
Islam yang mulai disemai sejak peralihan abad itu kini menjelma menjadi gelombang pasang
yang menggerakkan turbin kebang- kitan Islam. Pada dekade ini, organisasi-organisasi
keislaman yang mengandung anasir reformis-modernis seperti Muhammadiyah dan Sarekat
Islam mulai mengembangkan sayapnya melampaui batas-batas kedaerahan. Faktor lain yang
menyebabkan makin memanasnya ruang pu blik dalam dekade tersebut adalah meningkatnya
kepercayaan diri orang-orang keturunan Tionghoa. Meningkatnya kesadaran dir dan
ekspektasi sosial dari kalangan ini didorong oleh daya tawar ekonomi dan tingkat pendidikan
mereka yang bertaut dengan kebangkitan nasional yang terjadi di Tiongkok.
Pada dekade ini, orang-orang peranakan campuran Eropa- Indonesia (Indo) juga
meramaikan ruang publik dengan mendirikan partai politik Hindia pertama berbasis
multikulturalisme, Indische Partij (IP), pada 1912. Berawal dari Insulinde, sebuah
perhimpunan berorientasi Indo yang berdiri pada 1907, kemunculan partai ini dimotivasi oleh
adanya perasaan dislokasi sosial komunitas Indo sebagai akibat segregasi sosial yang ada
dalam struktur kolonial. Last but not least, dekade ini juga ditandai oleh keterlibatan langsung
organisasi-organisasi politik Belanda dalam urusan-urus- an politik di Hindia. Yang paling
penting, dalam dekade inilah benih-benih Marxisme dan komunisme revolusioner mulai
secara sistematis disemaikan di bumi Hindia. pada dekade kedua ini, tibalah beberapa
propagandis Marxisme dan Komunisme, terutama mantan aktivis dari Partai Buruh Sosial
De- mokrat Belanda (SDAP) dan Partai Sosial Demokrat Belanda (SDP).
Para propagandis Marxisme/komunisme menggenapi kete- gangan ruang publik
dengan membentuk perhimpunan-per- himpunan kiri. Dimulai dengan kampanye sosialisme
melalui ak- tivitas-aktivitas jurnalistik dan serikat buruh pekerja kereta api (VSTP), Sneevliet
melangkah lebih jauh dengan mengorganisasi sebuah pertemuan orang-orang sosial demokrat
di Surabaya pada 9 Mei 1914, yang menghasilkan pembentukan Indische Sociaal-
Democratische Vereeniging (ISDV). Perhimpunan sosialis Hindia yang pertama, "Sama Rata
Hindia Bergerak" didirikan di Surabaya pada 1917 di bawah inisiatif Adolf Baars (McVey,
1965: 17-18). Perhimpunan ini hanya bertahan sekitar satu tahun, tetapi usaha yang lebih
serius untuk membentuk kader-kader sosialis radikal di kalangan pribumi dikerjakan oleh
ISDV.
Melalui strategi "blok dalam" (block within), yaitu strategi penye- maian kader
komunis dalam organisasi tertentu, terutama dalam tubuh Sarekat Islam yang luas
pengaruhnya, komunisme secara ce- pat memperoleh banyak pengikut. Kerjasama antara
kader-kader komunis di dalam dan di luar SI membentuk Perserikatan Komunis di India pada
1920, dan setelah kader-kadernya di dalam Si di keluarkan pada 1921, perserikatan ini
bermetamorfosis menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1924 (McVey, 1965: 21-22).
Tampilnya ISDV dengan segera disaingi dengan berdirinya Nederlandsch Indische
Vrijzinnige Bond (NIVB Perhimpunan Liberal) pada akhir tahun 1916. Perhimpunan ini me-
miliki hubungan dengan kaum Liberal moderat di negeri Belanda dan didirikan dengan tujuan
untuk menyatukan kalangan progresif yang moderat dari semua ras.
Selanjutnya, sebagai perlawanan terhadap operasi partai-partai sekuler ini di Hindia,
berdirilah Christelike Ethische Partij (Partai Etis Kristen, CEP) dan Indische Katholieke Partij
(Partai Katholik Hindia, IKP) masing-masing pada tahun 1917 dan 1918, sebagai
perpanjangan dari Partai Kristen Belanda. Tujuan dari CEP dan IKP ialah untuk
mempromosikan otonomi yang lebih luas bagi Hindia, namun dengan tetap memiliki asosiasi
yang kuat dengan negeri Belanda, serta untuk menjadikan Kristen sebagai basis ideologi
negara. Semua organisasi ini merekrut keanggotaan campuran yang terdiri dari kaum blijvers,
kaum trekkers, orang- orang Timur asing, dan para elite Hindia. Di bawah bayang-bayang
kesadaran sosial dan kepentingan yang saling bersaing, beragam gerakan sosial tumbuh
dengan mengekspresikan keanekaragaman ideologis. Kesadaran kemajuan dan pembebasan
kaum terjajah muncul di sepanjang garis perbedaan identitas kolektif. Situasi ini mendorong
kebangkitan protonasionalisme berbasis kesamaan identitas etnis, agama, dan kelas.
Perbenturan antaridentitas kolektif terjadi antara lain karena unsur-unsur "tradisi
kecil" (little tradition) dalam lokalitas tertentu mempertautkan diri dengan "tradisi besar"
(great tradition) ber- skala global. Demikianlah, dalam gelombang pasang persaingan
antarideologi di Tanah Air, segmen komunitas Islam mempertautkan diri dengan Pan-
Islamis- me, segmen komunitas komunis mempertautkan diri dengan Ko- munis
Internasional, segmen komunitas Tionghoa mempertautkan din dengan paham
kosmopolitanisme Tiongkok Klasik, segmen komunitas Kristen mempertautkan diri dengan
Kristendom atau setidaknya dengan politik asosiasi" dalam kerangka Netherland Raya.
Beruntunglah, betapapun terjadi persaingan, kesemuanya di. persatukan oleh komitmen pada
pembebasan kemanusiaan, untuk menghadirkan keadilan dan keadaban bagi kaum terjajah.
Dalam kenyataan lokal selalu terbuka kemungkinan proses penyerbukan silang-bu daya
(cross-culture fertilization) antarperadaban, sehingga setiap peradaban, tidak menampakkan
diri sebagai total paket yang monolitik (univocal), melainkan suatu mozaik yang mengandung
kera- gaman (multivocal), yang memberi peluang bagi proses negosiasi percampuran, dan
kerjasama lintas-peradaban.
Demikianlah, ideologi Pan-Islamisme Al-Afghani dan reformis- me-modernisme
Islam ala 'Abduh pada mulanya memang menjadi sumber inspirasi bagi perumusan ideologi
Islam di Tanah Air se- bagai respons terhadap kolonialisme dan kehadiran komunisme. Akan
tetapi, pengaruh kehadiran intelektual kiri dan relevansi dok- trin-doktrin sosialis bagi rakyat
terjajah juga menstimulus para in- telektual Islam untuk memodifikasi ideologi tersebut
dengan me- ngombinasikan pandangan-pandangan doktrin Al-Quran yang progresif dengan
ideal-ideal sosialis-Marxistis. Di sisi lain, kosmopolitanisme komunis internasional juga
terbukti memerlukan adaptasi terhadap realitas lokal. Tan Malaka, dalam kapasitas sebagai
seorang pemimpin komunis sejak akhir 1921, berusaha meredakan ketegangan antara para
pemimpin komunis dan Islam sebelum ditangkap pada bulan Maret 1922. Dari tempat
pengasingan, dia juga melanjutkan perjuangannya untuk merukunkan hubungan antara
komunisme dan Islamisme melalui Kongres Komintern Keempat pada bulan November
1922. Pada kesempatan itu, dia mengecam sikap permusuhan Komintern terhadap Pan-
Islamisme karena hal itu dipandangnya sebagai cerminan kekuatan borjuis yang tidak bisa
dipercaya. Dia juga mene- kankan "potensi revolusioner dalam Islam di daerah-daerah
jajahan dan kebutuhan partai-partai komunis untuk bekerja sama dengan kelompok-kelompok
radikal Islam" (Anderson, 1972: 272; Malaka, 1991 92-93).
Munculnya gerakan nasional yang memperjuangkan kemerde nasionalis kaan
Indonesia membawa pengaruh besar kepada kalangan ketu- runan Tionghoa di Indonesia
untuk terserap ke dalam orbit sema. ngat kebangsaan Indonesia. Dalam kaitan ini,
Mohammad Hatta menyatakan bahwa tidak seperti keturunan Tionghoa di Malaysia yang
cenderung lebih mempertahankan kecinaannya secara eks- kusit Tionghoa peranakan di
Indonesia secara umum tidak ingin disebut China, "tetapi menganggap diri mereka sebagai
warga Ne- gara Indonesia keturunan Cina". Mengapa demikian? Bung Hatta menjelaskan:
penyebabnya adalah, sebelum Perang Dunia ke-II, tidak terdapat gerakan nasional yang
menuntut Malaya dimerdekakan. Perasaan nasional ini baru lahir setelah munculnya beberapa
negara baru yang merdeka dan berdaulat di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Pada masa
penjajahan Belanda, sebuah gerakan nasional telah aktif di Indonesia dan memberikan
pengaruh besar terhadap masyarakat Cina di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai