Dalam kaitannya dengan peran publik agama, perlu didefinisikan terlebih dahulu apa
yang dimaksud dengan istilah ruang "publik Seperti dijelaskan oleh Jurgen Habermas (1989),
istilah ruang publik (public sphere) merujuk pada domain kehidupan sosial tempat opini
publik terbentuk serta kegiatan-kegiatan intelektual dan politik diaktualisasikan; atau, dalam
bahasa Casanova, tempat yang memungkinkan kegiatan sosial memperoleh "publisitas" atau
memasuki penciptaan kehidupan publik.
Mengenai keterlibatan institusi agama dalam ranah publik, Casanova mengajukan
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi.Pertama, dengan memasuki ranah publik, suatu
agama tidak hanya dituntut untuk membela kebebasannya sendiri melainkan juga kebebasan
penganut agama lain; dengan demikian, agama- agama akan mencegah lahirnya absolutisme
negara atas nama satu agama Kedua, dengan memasuki ranah publik, agama-agama secara
aktif mempersoalkan absolutisme dunia sekuler, namun tidak dengan keinginan untuk
menggantikan atau menentukan jalannya negara, tetapi menggugat realitas sekuler itu secara
etis. Ketiga, dalam memasuki ranah publik, agama membela pola dan tata nilai kehidupan
tradisional dari penetrasi ataupun kolonisasi dunia teknis dan administrasi negara modern
yang anonim; akan tetapi, agama tidak perlu berfantasi untuk kembali ke paguyuban
keagamaan purba yang diidealisasikan, tetapi menjadikan dunia kehidupan tradisinya yang
khas itu sebagai wacana publik yang terbuka seraya mengubah cara kerjanya sesuai dengan
tantangan zaman (Intan, 2006: 16-17, Sinaga, 2007:13-14).
BAB 3
Kemanusiaan Universal
Dalam ungkapan Hatta, "Pengakuan kepada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa
mengajak manusia melaksanakan harmoni di dalam alam, dilakukan terutama dengan jalan
memupuk persahabatan dan persaudaraan antara manusia dan bangsa. Dalam kesadaran
kemanusiaan universal, Indonesia hanyalah sebuah noktah kecil di muka bumi, tetapi
merupakan bagian penting dari planet ini. Komitmen perjuangan kemanusiaan ini secara ideal
bersifat universal, namun pelaksanaannya secara historis-sosiologis bersifat partikular.
Dengan demikian, komitmen untuk menjunjung tinggi kemanusiaan universal (humanity)
yang adil dan beradab itu mengandung implikasi ganda. Di satu sisi, seperti diungkapkan
oleh Soekarno, "kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan
chauvinisme", melainkan "kebangsaan yang menuju kepada kekeluargaan bangsa-bangsa
(internasionalisme).
Dalam konteks ini, nilai-nilai universal dalam wacana kemanusiaan harus didialogkan
dengan khazanah kearifan lokal, visi global harus dipadukan dengan daya cerna budaya lokal.
Dalam perjuangan kemanusiaan bangsa Indonesia, proses dialogis ini dikembangkan melalui
jalan eksternalisasi dan internalisasi. sebagaimana tertera pada (alinea 4) Pembukaan UUD
1945. Ke dalam, bangsa kita harus menerima, apa yang disebut oleh Muhammad Yamin,
"benda ruhani berupa pengakuan dan pemuliaan hak asasi kemanusiaan" (Yamin, 1956: 186-
187).
Perspektif Historis
Menurut Stephen Oppenheimer (2004, 2010), konsentrasi manusia prasejarah dalam
lingkungan geografi, klimatologi, dan kekayaan alam Nusantara yang berlimpah memberi
alasan mengapa Nusantara (khususnya Dataran Sunda yang menjadi bagian tidak terpisahkan
dari daratan Asia Tenggara) menjadi pelopor cikal-bakal peradaban di muka bumi. Kondisi
lingkungan alam-geologis Nusantara yang berse vulkanis juga sejak dahulu kala
memengaruhi kehidupan manus di seantero dunia.
Letusan Gunung Toba (Sumatera Utara) yang terjadi sekita 73.000-75.000 tahun yang
lalu, dikenal sebagai letusan paling dahsyat (supervolcano) dengan dampak yang begitu besar
bagi ke dupan umat manusia. Menurut Oppenheimer (2004). ledakan dahsyat (supereruption)
Gunung Toba membawa perubahan besar bagi perjalanan kehidupan manusia di jagad bumi
Ledakannya menimbulkan nuclear winter selama enam tahun yang segera diikuti oleh zaman
es selama 1000 tahun. Akibatnya, terjadi kekurangan cadangan pangan dan bencana
kelaparan yang menimbulkan penciutan populasi manusia di muka bumi hingga kurang dari
10.000 orang.
Setelah zaman es berakhir dan Nusantara menjadi gugus ke- pulauan, nenek moyang
bangsa Indonesia merupakan perintis dan penarik arus-arus pelayaran internasional yang
membuka jalan ke arah globalisasi. Fakta bahwa segala jurusan di Nusan tara ini terpotong
oleh jalan-jalan air, dan kenyataan begitu dekat- nya jarak dari pedalaman ke pantai, kecuali
di Kalimantan, dengan hampir 80 % wilayah kepulauan itu terdiri dari air, maka sejak masa
purbakala nenek moyang bangsa Indonesia sudah terbiasa meng- arungi air, dan merupakan
satu-satunya bangsa di muka bumi yang menamai negerinya dengan sebutan "Tanah Air".