Anda di halaman 1dari 5

POLITIK DALAM GEREJA

Kajian Kritis Terhadap Perilaku Berpolitik di Lingkungan Gereja dalam


Penghayatan Iman Kristen
(Oleh: Marthen Kambeij)

Pendahuluan
Poltik dan Gereja selalu menjadi dua hal yang sangat berbeda, namun dalam
pelaksanaannya keduanya memiliki hubngan yang unik. Dalam hubungannya satu sama lain
yakni pada satu sisi terkadang keduanya tidak dapat dipisahkan dan dapat saling mendukung
tetapi di satu sisi keduanya saling bertolak belakang. Bentuk-bentuk hubungan ini masih terus
dan tetap bertahan hingga sekarang. Hal ini luput dari peran baik para pelaku-pelaku agama
maupun para pelaku-pelaku politik.
Sekarang ini bukan lagi merupakan hal yang tabuh saat melihat oknum-oknum yang
memiliki peran penting dalam Gereja mencoba meraih posisi politik untuk memperoleh
keuntungan pribadi maupun golongan/kelompok tertentu. Sebaliknya juga ada oknum-oknum
pelaku politik dalam pemerintahan yang demi memperoleh ataupun melanggengkan kekuasaan
memanfaatkan agama sebagai alat untuk mencapai kepentingan politik.
Pada masa sekarang seakan sudah sulit untuk membedakan mana yang benar-benar murni
kepentingan agama dan mana yang kepentingan politik. Sehingga fenomena yang nampak jelas
membingungkan masyarakat, khususnya juga anggota jemaat yang juga merupakan bagian dari
masyarakat. Dampaknya akan mengarah pada sasaran yang tidak lain dan tidak bukan
merupakan kaum/kelompok/golongan marginal dimana mereka semakin sulit memperoleh
kesejahteraan yang seharusnya merupakan hak setiap masyarakat. Hal ini nampak jelas dalam
PILKADA 2016 di Provinsi SULUT, dimana seorang oknum pemerintah kabupaten saat dirinya
di daulat memberikan sambutan dalam sebuah event tahunan PKB GMIM di Kanonang, beliau
menyampaikan sejumlah hal salah satu diantaranya,
“jika seharusnya warga GMIM bias saling mendukung dalam pemerintahan dan politik.
Sehingga kedepannya semua pimpinan pemerintahan bias dipegang warga GMIM. Di PILGUB
Pak Olly dan Steven sempat diragukan karena keduanya warga GMIM. Namun buktinya mampu
memperoleh kemenangan. Itu karena persatuan warga GMIM. Begitu pula di daerah lain dan
bahkan bukan di wilayah GMIM seperti Sangihe serta Sitaro. Selain itu JWS pun menyatakan
bahwa itu bukan bagian berpoltik dalam Gereja, melainkan upaya untuk menyatukan warga
GMIM dalam pentas demokrasi nanti.”1

Hal ini secara tidak langsung mendiskriminasi para kelompok/komunitas/golongan


tertentu yang termarginalkan. Dampaknya bukan hanya dirasakan satu atau dua orang tapi lebih
dan hal ini dapat memprovokasi perpecahan dalam jemaat bahkan dalam masyarakat. Para
oknum pelaku agama seakan mengabaikan arti dan bentuk agama yang konkret. Agama

1
Berita terlansir dalam surat kabar “Media SULUT”, 06 September 2016. Hlm.48

1
seharusnya tidak dijadikan sebagai alat pemecah-belah namun yang semestinya menjadi
jembatan penghubung antara hubungan manusia dengan manusia yang lain. Dalam hal ini saya
sangat setuju dengan pernyataan Musdah Mulia yang berpendapat bahwa, “agama merupakan
ajaran yang konkret sehingga tidak ada alasan untuk agama dijadikan alat untuk melegitimasi
kepentingan kelompok atau golongan yang mayoritas menguasai ataupun bertindak semena-
mena terhadap kaum yang termarginalkan.”2
Di tengah sistem pemerintahan yang sepenuhnya ada di tangan rakyat ini jelas dapat kita
lihat dampaknya dimana pada satu sisi kebebasan setiap orang dijamin oleh hukum negara.
Namun di sisi lain, banyak orang yang oleh karena ingin menggunakan kebebasan tersebut malah
justru memenjarakan kebebasan orang lain. Ini terjadi bukan hanya dalam bermasyarakat tapi
juga dalam berjemaat. Biasanya jika kita berbicara tentang politik, selalu erat kaitannya dengan
penguasa(pemerintahan), namun ternyata politik juga didapati penulis juga diterapkan dalam
Gereja sehingga istilah yang tepat jika dikaitkan dalam lingkungan Gereja disebut sebagai
perilaku berpolitik.
Sejak dulu hingga sekarang oknum-oknum pelaku agama serng terlibat dalam ranah
poltik yang erat kaitannya dengan dunia pemerintahan, Namun, ada juga yang sekalipun tidak
terlibat dalam pemerintahan tapi justru berperilaku politik dalam menjalankan pelayanan.
Sehingga berdasarkan pemahaman ini penulis merasa perlu untuk mengkaji secara kritis terhadap
perilaku berpolitik di lingkungan Gereja dalam penghayatan iman Kristen.

Membaharui Main Set Beriman, Berpikir dan Bertindak


Berbicara soal politik di lingkungan gereja, tentu kita akan pernah mendapat istilah yang
secara jelas mengidentifikasikan politik yang serupa dengan pemahaman politik dalam
pemerintahan. Hal yang akan kita dapati adalah Politik Kristen, istilah ini menunjuk pada peran
aktif orang Kristen dalam percaturan politik di Indonesia dengan mengedepankan nilai, visi atau
simbol-simbol Kristen.3 Agama Kristen di Indonesia mulai terlibat aktif dalam dunia politik
sejak masa-masa kemerdekaan hingga sekarang.
Memang merupakan bagian yang penting pelaku-pelaku agama terlibat aktif dalam dunia
politik tetapi dari waktu ke waktu banyak dari mereka mulai meninggalkan nilai, visi dan misi
Kristen. Sama seperti yang penulis sampaikan di awal, ternyata yang menjadi akar permasalahan
adalah masalah spiritualitas sehingga perlu dilakukan pengkajian kembali perilaku berpolitik
dalam penghayatan iman Kristen
Jika kita melihat jauh ke belakang sebenarnya unsur kepercayaan telah lama ada. Sejak
manusia mulai menyadari adanya "kuasa dan kekuatan" yang melebihi kekuatannya. "Kuasa dan
kekuatan" tersebut hadir dan masing-masing orang menurut daerah dan budayanya masing-
masing mengekspresikan pengakuan itu yang kemudian dalam pandangan agama-agama disebut
2
John Campbell-Nelson,dkk. Teologi Politik: Panggilan Gereja di Bidang Politik Pascaorde Baru.
(Makassar: OASE INTIM, 2013). Hlm. 170-174.
3
Ibid, hlm. 19

2
Ilah selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu dikenal dengan nama Tuhan. Dari dasar
pemahaman ini penulis memahami bahwa agama merupakan bentuk pengakuan manusia atas
ketidakberdayaan dirinya yang memiliki keterbatasan sehingga manusia memasrahkan
kepadaNya.
Dalam proses terbentuknya sebuah agama, semuanya berdasar atas sikap dan tindakan
kepasrahan diri manusia. Keberadaan agama seharusnya dihayati sebagai ketidakberdayaan
manusia sehingga memperlengkapi manusia. Dengan beragama manusia bukan berarti telah
sepenuhnya sempurna. Sebab sekalipun lewat agama manusia telah mendekatkan diri dengan
Tuhan belum tentu manusia dapat menyamai Tuhan oleh karena wujud imago dei dalam dirinya
telah tercoreng oleh karena kejatuhan manusia dalam dosa. 4 Dengan begitu manusia sama sekali
tidak dapat berbangga pada dirinya. Sekalipun kesempurnaan telah dinyatakan dalam
keselamatan lewat anak-Nya, namun kesempurnaan itu belum mutlak dan masih merupakan
proses yang belum akan berakhir hingga Sang Anak datang kembali dengan kemuliaan-Nya.
Kebanggaan yang seperti inilah yang menjadi sumber permasalahan yang membuat para
pelaku-pelaku agama terlena dan terbuai sehingga merasa diri adalah makhluk yang sempurna.
Dari hal ini tidaklah mengherankan bila bermunculan orang-orang Kristen yang bersikap 'fanatik'
yang berlebihan sehingga mengarah pada sikap memusuhi bahkan tidak segan-segan untuk
memerangi agama lain.
Maksud penulis melalui pemahaman secara mendasar tentang agama maupun konsep
imago dei, mau menegaskan kepada kita dalam penghayatan iman Kristen ketika berperilaku
politik yang paling penting harus melihat kehidupan kemajemukan dan memandang diri kita dan
orang lain, semua sejajar di mata Tuhan tanpa membeda-bedakan ras, golongan atau agama
tertentu.

Perilaku Berpolitik yang Memberdayakan Bukan Memperdayakan.


Saat berbicara politik seakan jauh kaitannya dengan ruang lingkup Gereja. Sebelum saya
membahas lebih lanjut, kita perlu mengetahui apa itu politik.
a. Pengertian Politik 5
Secara etimologi, politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics,
yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani, dari akar kata τα πολιτικά (politika - yang
berhubungan dengan negara) dengan akar katanya πολίτης (polites - warga negara) dan πόλις
(polis - negara kota). Kata "politik" masih berhubungan dengan polisi, kebijakan. Kata "politis"
berarti hal-hal yang berhubungan dengan politik. Kata "politisi" berarti orang-orang yang
menekuni hal politik.
Sedangkan politik secara terminologis dapat diartikan menunjuk kepada satu segi
kehidupan manusia bersama dengan masyarakat. Lebih mengarah pada politik sebaga usaha
4
Bastian Kruithof. 1968. Man in God's Milieu. Grand Rapids, Michigan: Baker Book House. Hlm.48-52.
5
Pamungkas Edi Kurnianto. Kamus Politik.(Karala Media Nusa, 2012). Hlm. 62-65.

3
untuk memperoleh kekuasaan, memperbesar atau memperluas serta mempertahankan kekuasaan
(politics).
b. Tantangan Perilaku Berpolitik
Dari pengertian tentang politik baik etimologi maupun terminologi, berbicara politik
berarti juga berbicara tentang kekuasaan atau pemerintahan. Memang di lingkungan Gereja
secara struktural tidak ada yang istilah atasan-bawahan. Dalam Alkitab semua memiliki
tingkatan yang sama dan hanya Mesias yang layak disebut Pemimpin,
“Janganlah pula kamu disebut pemimpin karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu
Mesias. Barang siapa terbesar di antara kamu hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan
barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan
diri, ia akan ditinggikan.”6

Dalam pengajaran Yesus dijelaskan dan ditekankan bahwa untuk menjadi seorang yang terbesar
diantara yang lain penekanan terhadap kata hendaklah7, mengartikan bahwa untuk menjadi yang
terbesar berarti memiliki tanggung jawab mutlak untuk menjadi pelayan terhadap sesama. Acuan
ini merupakan bentuk tantangan dari dalam berkaitan dengan penghayatan iman Kristen.
Menjadi pengikut Kristus berarti siap menjadi seorang pelayan yang selalu mengikuti
kehendak Sang Pemimpin untuk memberitakan Kabar Baik kepada siapapun dan dimanapun
serta kapanpun baik-buruknya situasi yang dihadapi sesuai dengan kehendak-Nya. Hal ini harus
menjadi nyata dalam kehidupan orang percaya sehari-hari baik dalam bersikap dan berperilaku.
Selain itu pula tantangan yang terbilang cukup sulit yakni penguasaan diri untuk tidak menguasai
orang lain.

PENUTUP

Dalam tulisan ini saya berkesimpulan bahwa Gereja telah lama mengenal politik, justru
pandangan-pandangan agama terhadap politik dapat memberi sumbangsih besar dalam
pelaksanaan perpolitikan di Indonesia. Jika dalam pemerintahan sangat dikenal dengan istilah
politik, karena secara etimologi pengertian politik erat kaitannya dengan tata kota/negara. Maka
dalam Gereja penulis menganjurkan istilah yang lebih tepat untuk digunakan adalah perilaku
berpolitik.
Tujuan dari pelaksanaan politik semata-mata untuk kepentingan bersama bukan untuk
kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Politik berdasarkan pemahaman dasarnya dipakai
untuk menata agar semuanya menjadi lebih teratur, namun diperlukan kekuasaan untuk
melaksanakannya.

Kepustakaan :

Campbell-Nelson, John, dkk. Teologi Politik: Panggilan Gereja di Bidang Politik Pascaorde
Baru. Makassar: OASE INTIM, 2013.
6
Injil Matius Pasal 23 Ayat 10-12
7
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna setara dengan kata ‘seharusnya’.

4
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka,2008.

Kruithof, Bastian. 1968. Man in God's Milieu. Grand Rapids, Michigan: Baker Book House.

Kurnianto, Pamungkas Edi. Kamus Politik. Karala Media Nusa, 2012

LAI, Alkitab. Jakarta, 2006.

Media SULUT, 2016.

Anda mungkin juga menyukai