Anda di halaman 1dari 19

Makalah Agama

Pandangan Iman Kristen Terhadap Politik dan


Hukum

Kelompok 3
Anggota : Arian Natan Imanuel Sihombing, Glenn Petri Sitio, khevin Arizona
Sembiring
I. DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

I. DAFTAR ISI

II. KATA PENGANTAR

III. PERSPEKTIF IMAN KRISTEN TERHADAP POLITIK DAN HUKUM

A. PERSPEKTIF IMAN KRISTEN TERHADAP POLITIK

1. Pengertian Politik

2. Keterlibatan Lembaga-lembaga Masyarakat dalam Politik

3. Konsep Alkitab terhadap Politik

3.1. Politik Kesejahteraan

3.2. Realitas dan Pemaknaan Teokrasi

3.2.1. Regnum Sacerdotale, Sacerdotal Kingdom

3.2.2. Ketegangan Pengangkatan Melekh (Raja)

3.3. Berasal dari Allah

4. Teologi Politik Kristen di Indonesia

5. Tanggung Jawab Sosial Politik Umat Kristen

6. Implikasi-implikasinya

7. Sikap terhadap Pemerintah yang Salah Menggunakan Otoritas

8. Etika Politik

B. PERSPEKTIF IMAN KRISTEN TERHADAP HUKUM

1. Pengertian Hukum

2. Unsur-unsur Hukum

3. Sejarah Pemikiran Deklarasi Universal HAM

4. HAM dalam Perspektif Kristiani

4.1. Sumber HAM

4.2. Keadilan Allah sebagai Dasar Implementasi HAM

4.3. Kebebasan Beragama Menurut Alkitab

IV. KESIMPULAN

V. DAFTAR PUSTAKA
II. KATA PENGANTAR

Di zaman modern ini, kata ‘politik’ dan ‘hukum’ bukan lagi kata yang jarang didengar oleh masyarakat.
Apalagi di masa reformasi yang semakin menunjukkan banyak terjadi penyimpangan dalam bidang
politik dan hukum. Jadi tidaklah mengherankan apabila banyak hal yang terjadi di dunia ini dihubungkan
dengan politik dan hukum. Ada begitu banyak respon dan tanggapan dari berbagai kalangan yang
berbeda, termasuk menurut agama Kristen.

Cukup banyak orang Kristen, termasuk mahasiswa Kristen, yang takut atau antipati terhadap politik. Hal
ini terjadi akibat imej negatif dari politik yang dianggap tempat iblis atau setan bermain. Adanya konsep
pemikiran seperti ini timbul karena mereka tidak memahami esensi dan makna politik dengan benar.
Sebab mau tidak mau masyarakat, khususnya umat Kristen, pasti dihadapkan dengan masalah politik
dan hukum.

Semakin banyak peran dan pengaruh gereja dalam politik dan hukum diharapkan semakin menunjukkan
citra Kristus yang ada dalam setiap jemaat-Nya. Karena kita diciptakan untuk menjadi kepala dan bukan
ekor, serta manusia telah diberikan kuasa untuk menaklukan dunia, meruntuhkan tembok yang
berabad-abad telah memisahkan kekristenan dengan dunia luar sehingga bisa membawa pembaharuan
di negeri yang dipilih Tuhan untuk kita berdiam.

Dalam makalah ini kami menguraikan tentang politik, hukum, pandangan Alkitab dan iman Kristen
terhadap hal tersebut, aplikasinya, dan segala yang berhubungan dengan politik dan hukum menurut
iman Kristen. Kami mengharapkan ada suatu pelajaran yang bisa dipetik dari makalah ini dan setiap dari
kita bisa mengaplikasikannya dalam hidup sehari-hari. Kami mengucapkan terima kasih untuk semua
pihak yang telah membantu kami dalam penyelesaian makalah ini. Kami menyadari dalam penyusunan
makalah ini ada begitu banyak kekurangan sehingga kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk menjadikannya lebih baik lagi.

Tim Penyusun

Kelompok 5
III. PERSPEKTIF IMAN KRISTEN TERHADAP POLITIK DAN HUKUM

A. PERSPEKTIF IMAN KRISTEN TERHADAP POLITIK

1. Pengertian Politik

Dilihat dari sisi etimologisnya, kata ‘politik’ berasal dari kata Yunani, yaitu Po’lis yang
diartikan sebagai kota (city). Dalam perkembangan berikutnya, kota-kota memperluas diri
atau menyatukan diri dan kemudian disebut negara. Sebagai ilmu, politik merupakan analisa
tentang pemerintahan, proses-proses di dalamnya, bentuk-bentuk organisasi, lembaga-
lembaga dan tujuannya (William Ebenstein; Political Science, 1972. p.309). Dalam bentuk
yang lebih operasional, politik merupakan pembuatan keputusan yang dilakukan
masyarakat; suatu pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan-kebijakan
publik (Joice &William Mitchel; Political Analysis and Public Policy, 1969. p. 4).

Banyak pendapat masyarakat mengenai definisi politik. Di antaranya yaitu menyatakan


politik adalah proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat bagi
masyarakat/proses alokasi dan distribusi inti proses politik adalah : Keputusan yang
mengikat masyarakat, melibatkan sejumlah ketentuan-ketentuan politik (partai politik,
kelompok, kepentingan, dan sebagainya) untuk kepentingan dan kebaikan bersama.

2. Keterlibatan Lembaga-lembaga Masyarakat dalam Politik

Lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat, terutama kelompok-kelompok kepentingan,


(termasuk lembaga keagamaan) merupakan kekuatan tersendiri untuk mempengaruhi
kebijakan publik atau keluarnya suatu peraturan. Lembaga-lembaga yang ada itu dapat
mendengar dan menyalurkan pelbagai keprihatinan dan aspirasi yang ada di tengah-tengah
sekelompok masyarakat  untuk menekan penguasa memberi perhatian atau mengeluarkan
kebijakan pada tuntutan masyarakat tersebut.

Keterlibatan politik secara kritis (critical engagement) dari lembaga-lembaga atau kelompok-
kelompok kepentingan dalam masyarakat akan menjadi sarana dan alat yang sangat efektif 
untuk mengontrol segala tingkah pongah penguasa dan dengan itu batas-batas etis
kekuasaan yang layak tetap terjaga. Upaya-upaya melakukan kritik, menekan pemerintah
dan melakukan kontrol, jika dilakukan secara berkesinambungan dan terhormat, tentu saja
akan membiasakan suatu bangsa atau negara hidup dalam keseimbangan yang terukur.
Juga, pemerintah akan dididik untuk tunduk pada yang seharusnya.

Perubahan-perubahan yang dilakukan penguasa terhadap kebijakannya yang salah atas


desakan masyarakat merupakan pendidikan politik yang paling baik. Dengan itu akan lahir
kebiasaan-kebiasaan positif yang pada akhirnya akan berujung pada suatu karakter politik
yang terbuka serta mau berubah ke arah yang lebih baik dan maju. Namun, satu hal yang
harus disadari adalah bahwa semua itu tidak akan berjalan dan tercapai dengan sendirinya.
Sangat diperlukan proses yang terus-menerus untuk membuka kesadaran bersama dalam
pengelolaan politik. Salah satu poin yang terpenting dalam hal itu adalah persoalan
perspektif pilihan sadar dan sengaja dari tiap insan politik alias manusia itu sendiri yang
sejatinya merupakan mahluk politik.

3. Konsep Alkitab terhadap Politik

Menurut Alkitab, politik  adalah suatu upaya dan proses sadar untuk memahami dan
memaknai realitas politik dari cara pandang dan pola pikir Alkitab. Pertanyaan kuncinya
jelas: apa kata Alkitab terhadap politik? Bagaimana konsepsi dan sistem politik yang
sesungguhnya dikandung Alkitab? Bagaimana penerjemahannya secara tepat ke dalam
realitas? Atau lebih pas: bagaimana konsep atau doktrin politik itu mengalami
‘pemanusiaan’ dan ‘penduniaan’?. Berangkat dari pertanyaan itulah penjelajahan
menyangkut konsepsi politik Alkitab dilakukan.

3.1.Politik Kesejahteraan 

Perkatan politik (city) muncul dengan tegas dalam Yeremia(29:7): And seek the peace of
the city … and pray to the Lord for it (city:red); for in its (city:red.) peace you will have
peace. (Holy Bibel: Gideon International, 1980). Mencari atau mengupayakan
kesejahteraan kota (politik), jelas merupakan amanat Alkitab pada umat Tuhan. Dengan
demikian, penataan politik tidak bisa dilepaskan dari urusan Tuhan di segala tempat,
ruang dan waktu.

Amanat atau perintah Alkitab untuk berpolitik bagi umat di dalam kitab Yeremia itu,
tidak serta merta diikuti dengan suatu bentuk atau sistem, apalagi yang menyangkut
prosedur dan mekanisme penataan politik yang detail. Pertanyaan penting muncul:
Apakah Alkitab memberi konsep kosong atau memberi keleluasaan kepada umat
terutama para pemimpinnya?

Tampaknya, jawaban yang ‘imaniah’ adalah: keleluasaan. Alkitab tidak memberikan


suatu paku mati, konsep baku dan menyeluruh menyangkut upaya perealisasian dari
politik itu. Formula politik itu tidak menjadi urusan Alkitab, tetapi menjadi suatu
keharusan yang dirumuskan umat Tuhan. Alkitab hanya memberikan suatu konsepsi
yang sangat fundamental: to seek peace (mengupayakan kesejahteraan politik). Kepada
umat Tuhan, Alkitab memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk merumuskan
suatu formula politik, baik itu menyangkut dasar dan sistem politik, bentuk, prosedur
dan mekanisme pemerintahan. Alkitab hanya memberi satu tekanan dan kepastian:
kesejahteraan.

3.2.Realitas dan Pemaknaan Teokrasi

3.2.1. Regnum Sacerdotale, Sacerdotal Kingdom

Merujuk kepada naskah yang lebih muda di Alkitab, kisah penciptaan memberikan
suatu konsepsi menyangkut citra dan peran manusia di dalam proses dan realitas
politik. Pencitraan manusia sebagai imago dei (Kej. 1:28) merupakan  konsepsi
politik Alkitab untuk menjelaskan hubungannya dengan semesta alam. Demikian
juga pemberian kuasa dan mandat bagi manusia untuk menata dan mengelola
alam, sangat jelas sifat politisnya.

Suatu bentuk dan ciri politik dinyatakan kepada Musa. ‘Engkau akan menjadi
kerajaan imamat dan bangsa yang kudus…’ (Kel 19:6).  Di sini jelas ada suatu
progres dari pengelolaan politik yang disampaikan kepada bangsa Israel.
Pernyataan Tuhan kepada Musa mengenai penataan politik itu tidak dapat
dilepaskan dari proses awal eksodus yang dialami bangsa Israel. Mereka hidup
dalam situasi ‘tohu wavohu’ , (campur baur dan kosong) dalam arti politik. Status
budak yang melepaskan diri melalui perlawanan, digiring menuju tanah perjanjian
yang bagi sebagian besar kaum awamnya tidak jelas kapan tibanya.

Paling tidak kita dapat menangkap tiga hal dari teks kerajaan imamat itu, yakni: a)
bentuk politik itu adalah kerajaan; b) ciri dari kerajaan itu adalah imamat dan
memiliki ciri dan jati diri tersendiri. Artinya kerajaan yang harus berbeda (kudus)
dari segala kerajaan atau bentuk politik yang lain di dunia ini; c) istilah kerajaan
imamat dari perspektif politik pasti membawa kita  pada pemikiran bahwa
penguasa politik atau pemimpin pemerintahan adalah para orang kudus yang
disebut Imam. Sumber kader kepemimpinan atau penguasa politik sudah jelas:
para imam. Inilah yang disebut regnum sacerdotale atau sacerdotal Kingdom. 

Undang-Undang Dasar dalam bentuknya yang sangat embrional diberikan kepada


bangsa yang secara politik belum memiliki wilayah itu. Dasar titah dapat dilihat
pada dua bagian, Kel. 20:1-17 dan Ul. 5:6-21.  Untuk yang lebih praktis dalam
pengaturan kebutuhan keseharian pada masa itu (semacam penjabaran dari UUD)
diberikan hukum ringkas berupa ritual decalog dan ethical decalog (Kel. 34:12-16).
Termasuk kewajiban memperingati hari bersejarah secara ritual (34:18).

Realitas politik yang berangkat dan mengacu dari penelusuran Alkitab di atas,
sangat dipahami, bahkan diyakini sebagai teokrasi (pemerintahan Tuhan).
Kenyataan yang demikian dapat menggiring kita kepada kesimpulan bahwa
kelihatannya Alkitab tidak memberi penjelasan mengenai suatu bentuk
pemerintahan. Rumusan atau penjelasan yang tiba kepada kita adalah: Tuhan
menjadi penguasa tunggal dan manusia berada dalam naungan kedaulatanNya.

3.2.2. Ketegangan Pengangkatan Melekh (Raja)

Israel sebagai komunitas pilihan Tuhan, pada tahap yang sangat awal kelihatannya
baru mulai belajar untuk membentuk diri menjadi identitas politik. Tatanan
sosialnya sebagai suatu bangsa, belum memiliki kesanggupan untuk menjadi
perangkat politik. Suku-suku yang ada, hanya diikat dan terikat pada satu
keyakinan terhadap Yahwe yang membebaskan mereka dari penindasan Mesir.
Dari tinjauan politik, keterikatan tersebut jelas sangat longgar.

Namun, berangkat dari fondasi satu-satunya itu, yakni keyakinan pada Yahwe
tersebut, suku-suku Israel terbentuk atau membentuk diri menjadi aliansi politik.
Liga suku-suku itulah yang kemudian menjadi konfederasi Israel. Keterikatan
politik yang didasari keyakinan agamiah itu yang menjadikan para Imam sebagai
pemimpinnya, disadari atau tidak menjadi satu perangkat politik dalam tatanan
sosial keagamaan Israel.

Gerakan bagi adanya seorang raja manusia (melekh) mulai muncul. Gerakan ini,
tanpa disadari merupakan suatu perlawanan terhadap tradisi pewarisan turun-
temurun berdasarkan garis darah dalam kepemimpinan selama ini, terutama
untuk imam (dari garis suku Lewi). Dua anak Samuel,  Yoel dan Abia, yang diangkat
Samuel menjadi hakim di Bersyeba, digugat para tetua Israel (1 Sam: 8:4). Kualitas
moral kedua anak Samuel menjadi dasar dari gugatan para tetua itu: ‘mereka
mengejar laba, menerima suap dan memutarbalikkan keadilan’ (1.Sam 8:3).

Kelompok Imam dan kaum konservatif dengan keras menolak aspirasi gerakan
‘melekh’ tersebut. Hal itu sangat jelas tercermin dalam pernyataan Samuel
dengan mengangkat dasar legitimasi tertinggi konfederasi Israel sendiri, yakni:
Yahwe.“sebab bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah (Yahwe: red) yang
mereka tolak, supaya jangan Aku (Yahwe: red) menjadi raja atas mereka.’ (1 Sam.
8:7 b).
Dengan kemenangan gerakan ‘melekh’, konsekuensi politisnya adalah  
dekonstruksi doktrinal atau ‘amandemen UUD’. Itu berarti, pemaknaan dan
perumusan menyangkut kerajaan Allah atau teokrasi mengalami perubahan.
Dasar hukum dari pengadaan dan pengangkatan “melekh’ harus ditetapkan.
Persoalan mengenai ketertautan Yahwe dengan Israel atas adanya seorang raja,
mau tidak harus dirumuskan.

Saul dari keluarga Matri, kaum Kish dari suku yang terkecil keturunan Benyamin
dipilih Tuhan menjadi raja di hadapan suku-suku Israel. Dengan merujuk pada
proses keterpilihan dan pengangkatan Saul sebagai raja dan sekaligus pelaksanaan
kekuasaannya sebagai raja (1 Sam. 9-15), penggantinya raja Daud (16-24), dan
pengangkatan Salomo (1. Raja. 1), ada berapa hal yang berkaitan dengan
pemaknaan teokrasi: 

Pertama, pada proses Saul, kedaulatan Yahwe (teokrasi) atas Israel tetap
dipertahankan dan diakui.  Yahwe sendiri yang memilih, menentukan dan
mengurapi Saul (1. Sam. 9 dan 10). Pencabutan mandat atas Saul juga dilakukan
Yahwe (15) dan sekaligus pilihan atas penggantinya, Daud (16) yang berasal dari
suku Efrata.

Kedua, perjanjian Sinai bahwa Yahwe adalah sumber dan dasar Israel (teokrasi),
tetap dipertahankan.  Meskipun aspirasi gerakan ‘melekh’ diterima sebagai
realitas politik,  namun hal itu diakui sebagai dosa dan bangsa Israel meminta
ampun untuk itu (12: 17-19).

Ketiga, fungsi Imam sebagai perantara (medium) Yahwe dan sekaligus pengawas
atas tugas-tugas raja juga tetap dipertahankan. Kedudukan Imam sebagai medium
dan advisori, inilah yang sekaligus menandai hakikat teokrasi itu.

Keempat, proses peralihan kekuasaan dari Saul kepada Daud tidak berjalan mulus.
Saul tetap mempertahankan kekuasaannya dan berupaya melenyapkan Daud.
Dalam konteks ini, lembaga kerajaan (Saul) mengabaikan dan mengebiri lembaga
Imam dan dengan itu menjadikan dirinya juga medium (perantara) langsung
dengan Yahwe (teokrasi).

Kelima, dalam garis teokrasi yang demikian terjadi peralihan kekuasaan dari Daud
ke penggantinya. Daud sendiri yang menetapkan  Salomo, anak haram,  hasil
perselingkuhannya dengan Batsyeba, setelah melampaui persaingan internal
keluarga.  Fungsi Imam, nabi Natan kelihatan hanya melaksanakan seremoni bagi
legitimasi kekuasaan raja. Bermula dari hanya ‘mezbah’ sebagai medium bagi
Yahwe menyatakan kedaulatan dan titahnya, teokrasi Israel  bergerak membentuk
‘tahta’ yang juga mediumNya. Keduanya tetap eksis, pada waktu dan tempat yang
sama, bergayut pada Allah yang sama: Yahwe.

3.3.Berasal dari Allah


Berangkat dari keyakinan teokratis, dengan Yahwe yang perkasa, Israel kemudian
Yahudi mengembangkan doktrin messianis: kejayaan bangsa dengan datangnya
pemimpin nan digdaya untuk menaklukkan semua orang dan memerintah atas seluruh
dunia. Namun, pada akhirnya, Israel sebagai entitas agama dan politik, patah terkulai,
dilanda kemunduran dan kehancuran.

Kelahiran Yesus (yang dimaknai sebagai awal kehadiran gereja) memasuki era yang
sangat berbeda. Gereja tidak hanya bergumul dengan pemikiran dan perumusan  politik
teokrasinya, tetapi hidup di dalam dan dan berhadapan realitas politik yang sama sekali
tidak mengenal Allah. Para pengikut Yesus, yang hidup dan menjadi bagian dari politik
negaranya, menuntut pemahaman terutama menyangkut loyalitas. Kepada siapa
loyalitas tertinggi ditaruh dan dipertaruhkan: kepada raja atau kepada Allah.

Berhadapan dengan realitas yang demikian, teologia politik dirumuskan Yohanes bin
Zebedeus, manakala kekaisaran imperium Romawi di tangan raja Dominiatus. Persekusi
besar-besaran terhadap seluruh pengikut Kristus diperintahkan di seluruh imperium
Romawi itu. Terhadap realitas itu kitab Wahyu memberi makna teologis menyangkut
sifat dan hakikat kekuasaan yang kuat, sadis dan kejam. Namun semua itu bukanlah
akhir, bukanlah bentuk final dari segala-galanya. Kuasa Allah ada di ujung, yang
mengatasi dan mengakhiri semua itu. Karenanya, inti teologia politik kitab Wahyu
adalah: orang  Kristen sama sekali tidak boleh tunduk menyembah raja atau ilah
manapun, selain Tuhan.

Paulus memberikan panduan teologis berupa pemahaman yang sangat positif mengenai
pemerintah. Pemaknaan secara teologis dengan muatan teokrasi diberikan: ‘… sebab
tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah, dan pemerintah-pemerintah yang
ada ditetapkan oleh Allah’ (Roma 13: 1b) ... ’karena pemerintah adalah hamba Allah …’
(13:4a). Dalam garis pemikiran itulah kepada tiap orang diarahkannya untuk ‘takluk’
dengan batasan yang jelas: ‘… barangsiapa yang melawan pemerintah, ia melawan
ketetapan Allah …’ (Roma 13:2).

4. Teologi Politik Kristen di Indonesia 

Upaya berteologia politik telah lama ada dalam khasanah keristenan di Indonesia. Sebagai
suatu proses yang tidak pernah berhenti, eksperemintasi berteologia politik itu telah dicatat
sejarah pada masa penjajahan. Bahkan dapat dikatakan unik, sebab upaya itu tidak
berangkat dari laboratorium intelektual, tetapi justru dari kalangan publicans, seperti
Pattimura yang melakukan gerakan politik dengan mengangkat senjata di Maluku dan
Manullang dan kawan-kawan di tanah Batak yang melakukan bentuk-bentuk penyadaran
dan pengorganisasian yang mengusung tema-tema kemandirian dan kerja keras.

Pada masa-masa pembebasan diri dari penjajahan, orang-orang kristen juga telah
melakukan bentuk-bentuk teologia yang operasional dengan mendirikan organisasi-
organisasi kemasyarakatan dan sebagain merubah diri menjadi partai politik. Kita dapat
mencatat perkumpulan sosail Mardi Pratojo yang kemudian menjadi Partai Perserikatan
Kaum Kristen (PKC) atau Christelijke Ambonche Volksbond (CAV), dll. Hal yang sama juga
terjadi pada saat Indonesia merdeka. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) hadir sebagai
bagian dari upaya dan proses berteologia politik secara operasional.

Hanya saja, proses-proses tersebut mengalami pasang surut disebabkan faktor internal dan
situasi politik negara. Muatan atau tema-tema yang diusung dan dikomunikasikan kepada
orang-orang kristen adalah dari dan demi kepentingan ‘orang kristen’. Sesuatu yang
seringkali dikatakan orang sebagai lebih berpolitik ‘teknis’ ketimbang berpolitik ‘etis’. 
Disadari atau tidak, telah terjadi pembiaran yang berkepanjangan dalam tataran konseptual
teologia politik kristen di Indonesia. Dasar berpijak dalam tabung ‘independensi’ gererja,
dalam realitasnya seringkali diterjemahkan sebagai netralitas dan sterilisasi politik dalam
semua ruang gereja. Tidaklah mengherankan bila kekristenan mengalami kegamangan demi
kegamangan menghadapi pelbagai realitas politik di Indonesia.

Sesungguhnya, independensi tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan dan tanggung jawab
politik gereja. Perumusan menyangkut keterlibatan dalam konteks independensi harus
dirumuskan batasan-batasannya secara teologis. Berangkat dari pemahaman dan kesadaran
yang demikian, gereja-gereja akan terdorong dan dimampukan melahirkan teologia
politiknya yang otentik.

5. Tanggung Jawab Sosial Politik Umat Kristen

Orang kristen harus menghormati kewibawaan pemerintahan dunia selama kebijakan itu
dilakukan demi kesejahteraan masyarakat dan didasarkan pada undang-undang yang
berlaku. Tetapi kebijakan itu tidak boleh mengambil alih kewibawaan atau wewenang Allah.
Bagaimana seharusnya orang kristen sebagai warga negara menaati lembaga-lembaga resmi
negara yang mengatur kehidupan masyarakat dalam usahanya menegakkan kebenaran dan
keadilan kesejahteraan masyarakat ditulis di Roma 13:13. Sikap orang kristen terhadap
politik ada 3 bersifat antagonistis, rejektif, dan menyesuaikan. Respon yang benar itulah
yang lebih penting dan menentukan sikap kita terhadap berbagai gejolak politik yang terjadi.
Allah menghendaki orang kristen taat kepada pemerintah, sesuai dengan pengertian bahwa
pemerintah menjalankan tugas dan wewenang yang diberikan oleh Allah. Tentunya
pmerintah harus mempertanggungjawabkannya kepada pemberi kekuasaan yaitu Allah
sendiri (ayat 1).

Jika orang kristen tidak taat kepada pemerintah dan berpartisipasi secara aktif sebagai
warga negara yang bertanggung jawab maka citra kekristenan akan rusak. Orang kristen
harus mengakui lembaga pemerintahan yang diadakan oleh karena kehendak Allah (ayat 1).

Panggilan tersebut tentu menuntut peran aktif, yang harus dimulai dari pasal 12, yaitu
penyerahan diri kepada Allah (Roma 12:1, 2) sehingga tidak menjadi serupa dengan dunia.
Dengan demikian pemerintah dapat berperan sebagai hamba Allah (Roma 13:4). Ayat 5, ”…
dengan suara hati”.

Justru di sinilah tugas dan tanggung jawab gereja (dalam pengertian umat Allah, bukan
dalam pengerrtian organisasi) supaya memampukan pemerintah menjadi hamba Allah. Ini
dapat terjadi hanya apabila orang kristen memenuhi panggilannya. Jadi sudah seharusnya
kita menjawab panggilan itu, untuk menjadi garam dan terang dunia, biar melalui diri kita
citra Kristus boleh terpancar sehingga semua orang memuji dan memuliakan Allah.

6. Implikasi-implikasinya

Sikap orang kristen dalam kehidupan politik hendaknya didasari atas penghayatan:

a. Kekuasaan sebagai anugerah Allah

Kekuasaan bukan sesuatu yang buruk. Dengan demikian, jabatan dan kekuasaan itu
dipandang sebagai kesempatan untuk mengabdi kepada rakyat dan Tuhan .

b. Keberpihakan kepada yang lemah


Para politikus kristen dipanggil karena memiliki keberpihakan kepada yang lemah,
karena dua alasan penting yaitu: 1) kelompok masyarakat inilah yang sering kali menjadi
korban penindasan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Keberpihakan mereka
tidak boleh dilandasi oleh sentimen yang bersifat primodial (suku, ras, atau agama).
Namun, keberpihakan itu juga tidak membuat, dalam arti bahwa aturan dan hukum
tidak berlaku bagi kelompok ini.

c. Memiliki visi dan misi yang berorientasi pada rakyat dan kerajaan Allah

Visi dan misi para politikus kristen hendaknya tidak hanya dibatasi oleh lingkup dan
waktu. Maksudnya kiprah dalam dunia politik tidak hanya dibatasi oleh konstituennya
saja (kelompok pemilihnya) ataupun jangka waktu memiliki jabatan itu. Bahkan lebih
jauh lagi para politikus kristen juga sekaligus adalah agen-agen eskatologis dan
seharusnya ikut serta dalam menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah (keadilan,
kebenaran, perdamaian dan keutuhan ciptaan) sampai dengan sepenuhnya.

d. Mendorong perubahan yang benar dalam masyarakat Indonesia

Para politikus kristen hendaknya juga menjadi agen-agen perubahan. Untuk itu
dibutuhkan keteladanan sikap perilaku yang baik. Setiap politikus kristen harus berani
mengatakan “tidak” atas semua tawaran, bujukan, atau strategi-strategi yang dapat
membuat jatuh pada tindak korupsi, kolusi ataupun nepotisme; menjauhi segala bentuk
premanisme dan menegakkan hukum secara konsisten dan konsekuen.

7. Sikap terhadap Pemerintah yang Salah Menggunakan Otoritas

Berkaitan dengan pemerintah (kepatuhan kepada pemerintah), Roma 13:1-7 menyatakan


bahwa pemerintah adalah hamba Allah. Kekuasaan pemerintah berasal dari Allah, oleh
karena itu pemerintah wajib menjalankan kehendak Allah untuk mengupayakan keamanan
dan kesejahteraan rakyat. Maka titik tolak pelaksanaan tugas-tugas pemerintah (hukum
atau undang-undang) haruslah bersesuaian dengan kehendak Allah. Sehubungan dengan
itu, pemerintah berhak dan wajib menjalankan hukuman kepada orang yang bersalah.

Sebagai umat yang telah mengenal kebenaran di dalam Kristus, tentunya setiap orang
percaya bisa menilai apakah sesuatu itu benar atau tidak. Kematian Kristus adalah untuk
menghancurkan kerajaaan kegelapan dan menegakkan Kerajaan Allah, dan orang kristen
dipanggil untuk menyatakan kehendak Allah dan memuliakan nama-Nya dalam segala
bidang kehidupan. Di dalam kemenangan Kristus, bumi menjadi pusaka orang rendah hati,
sehingga orang kristen tidak boleh menyia-nyiakan perkara yang di bumi termasuk
kebangsaan. Kebangsaan itu tidak lahir dari si iblis, tetapi dari Tuhan Allah. Kecintaan
kepada bangsa itu tidak boleh dipisahkan dengan kecintaan hal kita. Demikian menurut
pengajaran dari natur dan pengajaran Alkitab.

Oleh sebab itu, orang kristen mempunyai kewajiban yang lebih berat dalam perkara politik
daripada orang lain. Sebab di bidang politik dan pemerintahan, peran orang kristen bukan
semata-mata demi kesejahteraan bangsa, tetapi yang terutama semuanya dilakukan untuk
kemuliaan nama Tuhan.

Otoritas yang berkuasa ditunjuk oleh Tuhan adalah Rasul Paulus pernah membuat
pernyataan yang jelas mengenai bagaimana kita seharusnya berespon terhadap otoritas.
Dalam hal ini kita seharusnya berespon terhadap otoritas “tiap-tiap orang harus takluk
kepada pemerintah yang di atasnya” (Roma 13:1). Frasa setiap orang menyatakan tidak
adanya pengecualian. Kita sebagai orang kristen tidak boleh menentang otoritas yang sah di
dalam kehidupan kita. Sebab tidak ada pemerintah yang tidak ditetapkan oleh Allah.
Pada zaman kita, otoritas memiliki reputasi negatif. Banyak pemimpin, baik dalam negara
maupun kalangan sosial, salah menggunakan otoritas yang dimiliki. Tidak heran rasa hormat
terhadap otoritas tampak seperti kebodohan yang naif. Namun kembali lagi, Tuhan
mengatakan kalau kita harus menghormati otoritas yang sah, tidak peduli bagaimanapun
otoritas tersebut karena “semua otoritas berasal dari Tuhan”. Bahkan dengan lebih tegas
lagi, semua otoritas ditetapkan oleh Allah.

Banyak orang yang benar-benar bergumul dengan arti dari ayat ini, perintah ini bisa tampak
begitu sangat tinggi untuk mungkin ditaati oleh setiap orang kristen. Tetapi itulah
tantangan untuk menjadi seorang pengikut Kristus.

8. Etika Politik

Arena politik merupakan ruang yang sangat memungkinkan bagi pemberlakuan syalom
Kerajaan Allah, tetapi sekaligus juga menjadi wilayah yang sangat terbuka bagi terjadinya
pemberontakan terhadap Allah. Absolutisme yang merupakan prerogatif Allah semata dan
tidak terbagi terhadap siapapun, ternyata dalam sejarah bisa ditarik dan diambil paksa oleh
manusia. Namun, selalu ada konsekuensi dari sikap pemberontakan itu, yang selalu
merugikan pihak manusia, termasuk orang-orang yang saleh.

Etika politik sesungguhnya berbicara pada tatanan nilai tentang negara dan proses-proses
yang manusiawi di dalamnya. Kesadaran tentang keberdosaan manusia dan
kecenderungannya untuk menjadi ilah, membuka kesadaran perlunya batas-batas etis
menyangkut proses dan perilaku politik dalam suatu negara. Karena itu politik tidak bisa
dibiarkan berjalan begitu saja, hanya sekadar diurus orang-orang tertentu atau diserahkan
kepada para politisi semata.

Lembaga-lembaga yang ada di dalam masyarakat, terutama kelompok-kelompok


kepentingan, termasuk lembaga keagamaan, merupakan kekuatan tersendiri untuk
mempengaruhi kebijakan publik atau keluarnya suatu peraturan. Lembaga-lembaga yang
ada itu dapat mendengar dan menyalurkan pelbagai keprihatinan dan aspirasi yang ada di
tengah-tengah sekelompok masyarakat untuk menekan penguasa memberi perhatian atau
mengeluarkan kebijakan pada tuntutan masyarakat tersebut.

Pendidikan politik suatu bangsa akan berjalan dengan baik di dalam dan melalui proses
kesadaran kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat untuk terus menerus
membiasakan diri melakukan kritik dan kontrol terhadap proses politik yang sedang
berjalan. Suatu bangsa atau negara, yang berjalan dalam situasi demikian, akan
membiasakan dirinya terbuka dan siap melakukan perbaikan. Di samping itu, politik tidak
akan menjadi suatu potret seram yang menakutkan, tetapi sesuatu yang wajar dan biasa-
biasa saja. Kritik tidak akan dianggap sebagai ancaman, dan para pengritik tidak
diperlakukan sebagai musuh.

Perubahan-perubahan yang dilakukan penguasa terhadap kebijakannya yang salah atas


desakan masyarakat merupakan pendidikan politik yang paling baik. Dengan itu akan lahir
kebiasaan-kebiasaan yang positif, yang pada akhirnya akan berujung pada suatu karakter
politik yang terbuka dan mau berubah ke arah yang lebih baik dan maju. Kebiasaan-
kebiasaan baik yang berjalan dalam pemerintahan itu, akan menjadi etika politik suatu
bangsa.
B. PERSPEKTIF IMAN KRISTEN TERHADAP HUKUM

1. Pengertian Hukum

Hukum memiliki pengertian yang beragam karena memiliki ruang lingkup dan aspek yang
luas. Hukum dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan, disiplin, kaedah, tata hukum,
petugas (hukum), keputusan penguasa, proses pemerintahan, perilaku yang ajeg atau sikap
tindak yang teratur dan juga sebagai suatu jalinan nilai-nilai. Hukum juga merupakan bagian
dari norma, yaitu norma hukum.

Ada beberapa pengertian hukum yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain:

a) E. M. Meyers

Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan


kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan menjadi pedoman sebagai
penguasa-penguasa dalam melakukan tugasnya.

b) Immanuel Kant

Hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang
yang satu dapat menyesuaikan diri kehendak bebas dari orang lain, menuruti peraturan
hukum tentang kemerdekaan.

c) S. M. Amin, S,H.

Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri atas norma dan sanksi-sanksi
serta bertujuan untuk mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga
keamanan dan ketertiban terpelihara

d) M. H. Tirto Atmidjaya, S.H.

Hukum adalah semua aturan (Norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-
tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika
melanggar aturan-aturan itu membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang
akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.

2. Unsur-unsur Hukum

Dari pengertian hukum yang dikemukakan ahli dapat disimpulkan bawa unsur-unsur hukum
meliputi:

a. Peraturan atau norma mengenai pergaulan manusia dalam pergaulan masyarakat.

b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.

c. Peraturan itu bersifat memaksa.

d. Sanksi terhadap pelanggar peraturan tersebut tegas, berupa hukuman.

3. Sejarah Pemikiran Deklarasi Universal HAM


Hak kebebasan beragama merupakan hak yang harus dihormati oleh semua manusia hal
tersebut dinyatakan secara tegas dalam Deklarasi Universal HAM dalam pasal 1 dan 18 yang
berbunyi: Seluruh umat manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat dan hak.
Mereka dikaruniai akal serta nurani dan harus saling bergaul dalam semangat
persaudaraan (pasal 1). Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan
beragama; hak ini meliputi kebebasan untuk mengubah agama atau keyakinannya, serta
kebebasan secara pribadi, atau bersama-sama dengan orang-orang lain dan secara terbuka
atau pribadi, untuk menjalankan agama atau keyakinannya dalam pengajaran, praktek,
ibadah dan kataatan.

Pernyataan mengenai kebebasan beragama dalam Deklarasi Universal HAM merupakan


sesuatu yang dipengaruhi oleh seruan Presiden Roosevelt tentang 4 macam kebebasan.
Dimana salah satunya adalah kebebasan untuk setiap orang bertakwa kepada Tuhan
menurut caranya sendiri (Freedom of every person to worship God in his way).

Pengakuan kebebasan beragama secara internasional nyata dengan adanya pengakuan


kebebasan beragama dalam The Peace of Westphalia tahun 1648 yang mengakhiri
peperangan 30 tahun. Pada waktu itu ada perlindungan bagi orang-orang Protestan dalam
Negara Katolik, demikian juga orang-orang Katolik dalam negara Reformed. Westphalia pada
waktu itu mulai memberikan kebebasan beragama. Pemisahan antara agama dan negara
yang merupakan kelahiran negara sekuler dipelopori oleh pengakuan “ Peace of
Westphalia” dan pengakuan ini jugalah yang mempengaruhi lahirnya negara sekuler
Amerika Serikat yang menghargai kebebasan beragama. Dokumen Peace of Westphalia juga
dianggap sebagai karya manusia modern.

Pengakuan hak kebebasan beragama tetap dianggap sebagai karya manusia sekuler, bukan
saja karena keyakinan bahwa dokumen Peace of Westphalia merupakan anak kandung dari
proses Renaissance, tetapi juga karena lahirnya Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat
yang memiliki pengaruh terhadap dimasukkannya kebebasan beragama dalam Deklarasi
Universal HAM dianggap dilatarbelakangi oleh pikiran John Locke, seorang filsuf jaman
modern. Pernyataan Hak Kebebasan Beragama yang dituangkan dalam Deklarasi Amerika
Serikat dilindungi oleh negara yang memisahkan antara agama dan negara (Negara Sekuler)
dan konsep tersebut dianggap dilahirkan oleh Locke yang tertuang dalam tulisannya yang
berjudul “A Letter Concerning Toleration” yang ditulis oleh Locke ketika berada dalam
pengasingan di Belanda pada tahun 1965.

Tidaklah mengherankan jika perlindungan hak kebebasan beragama yang telah diakui secara
internasional lebih awal dibandingkan dengan hak-hak lain, dalam implementasinya
ternyata menjadi sesuatu yang paling sulit terlebih lagi dengan adanya perbedaan
pandangan mengenai kebebasan beragama (paham universal dan relativisme HAM), baik
yang berasal dari negara atau kelompok agama tertentu. Namun demikian usaha untuk
menegakkan kebebasan beragama tetap mengalami perkembangan, hal ini terlihat setelah
Deklarasi Universal HAM tahun 1948, kemudian dibuat suatu covenant on Human Rights
tahun 1966 dan kemudian pada tahun 1981 ada hal yang lebih menggembirakan yaitu
adanya “Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and Discrimination Based
on Religion or Belief” Pernyataan deklarasi tersebut memang dapat menunjukkan bahwa
pelanggaran hak kebebasan beragama masih terus berlangsung dan perlu penanganan terus
menerus secara lebih serius. Namun kesadaran yang mendorong dicetuskannya deklarasi
tersebut menunjukkan bahwa kebebasan beragama merupakan kerinduan milyaran
manusia di bumi ini, karena itu harus terus diperjuangkan.
4. HAM Dalam Perspektif Kristiani

Dalam perspektif kristiani, HAM sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Universal HAM
tahun 1948 merupakan sesuatu yang telah lama diakui. Pernyataan bahwa semua manusia
memiliki martabat dan hak-hak yang sama (pasal 1-2), pengakuan akan
hak-hak sipil (pasal 3-21), dan hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan (pasal 22-27) serta
pasal-pasal penutup (pasal 28-30) yang menetapkan bahwa setiap orang berhak atas
ketertiban sosial dan internasional dengan menjalankan kewajibannya dalam masyarakat,
adalah sesuatu yang telah lama dinyatakan oleh Alkitab.

4.1.Sumber HAM

Pernyataan Deklarasi Universal HAM yang menjelaskan bahwa “ All human beings are
born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience
and should act towards one another in a spirit of brotherhood.” Bukanlah
sesuatu yang baru ada dalam pemahaman John Locke yang terkenal dengan hukum
kodrat, dimana dipahami bahwa HAM merupakan sesuatu yang melekat dengan
manusia karena ia diciptakan sebagai manusia, sebagai hak-hak yang bersifat inheren,
bukan diberikan oleh manusia. Sehingga dengan demikian tidak seorangpun yang
mempunyai kuasa untuk merampas hak-hak tersebut dari diri manusia.

Konsep hukum kodrati yang menjadi dasar bagi sumber dari HAM merupakan sesuatu
yang telah diakui sejak lama dalam masyarakat Kristen. Hanya saja dalam pandangan
Kristiani HAM tidak mungkin dimengerti dengan baik tanpa melihatnya dalam hubungan
dengan Allah pencipta manusia. Jadi dasar dari penerimaan akan manusia yang
mempunyai martabat dan hak-hak yang sama itu bergantung pada pernyataan Allah
sendiri. Dalam hal ini Alkitab menyatakan dalam kejadian 1:27 bahwa manusia
diciptakan segambar dengan Allah dan manusia berbeda dengan ciptaan lainnya,
manusia adalah raja atas dunia yang adalah ciptaan Allah. Dan kekuasaan manusia
sebagai raja diberikan oleh Allah, sehingga manusia adalah wakil Allah dalam dunia ini.
Dan Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan, keduanya berada dalam
kesederajatan. Karena itu semua manusia harus diperlakukan sama karena ia diciptakan
demikian oleh Allah. Manusia tidak boleh menguasai sesamanya karena ia sederajat.
Jadi HAM adalah semua hak manusia untuk menjadi manusia. Manusia yang diberikan
martabat yang mulia oleh Allah, harus dapat hidup dengan menikmati martabatnya
sebagai gambar dan rupa Allah. Dan tidak boleh seorangpun mengambil hak-hak itu dari
manusia, kecuali Allah sendiri. Manusia pada hakikatnya sama-sama mulia dan
mempunyai hak-hak yang sama, sehingga tidak boleh seorangpun memperlakukan
sesamanya secara diskriminatif. HAM diberikan oleh Allah maka dalam pandangan
Kristen HAM tidak berarti tidak tanpa batas, karena HAM dibatasi oleh Hukum Allah
sendiri. Manusia yang memiliki hak-hak yang sama tersebut, wajib menjaga hak-hak
orang lain, jika tidak maka ia akan berhadapan dengan Allah hakim yang agung. Maka
dalam pandangan Kristiani HAM secara bersamaan juga kewajiban untuk menghormati
hak-hak orang lain yang diberikan oleh Allah, keberbedaan talenta seseorang tidak
boleh menghalangi seseorang untuk dapat bekerja dan mendapatkan kehidupan yang
layak.

4.2.Keadilan Allah sebagai Dasar Implementasi HAM


Pada waktu manusia bertambah banyak dan ingin membangun pemerintahan sendiri,
Allah mencerai-beraikan mereka di Menara Babel. Allah terus menjaga ciptaannya
dengan memilih Abraham untuk membangun komunitas yang hidup menyembah Allah
dan menghormati sesama manusia sebagai ciptaan Allah. Tetapi ternyata bangsa Mesir
melakukan penjajahan terhadap umat Allah. Dengan kekuasaannya Allah membebaskan
Israel untuk dapat hidup mulia dengan sesamanya dalam keterikatan pada Allah. 10
hukum Allah merupakan Undang-Undang Dasar bagi Teokrasi Israel secara langsung,
hukum ini berisi keadilan Allah yang jika dilaksanakan dengan baik akan menciptakan
proteksi terhadap HAM, karena hukum yang diberikan oleh Allah berisi penghormatan
yang mulia terhadap HAM. Namun karena kejahatan manusia, Israel sebagai suatu
komunitas yang dijadikan contoh bagi bangsa-bangsa lain untuk hidup menghormati
sesamanya dengan bergantung pada Allah tidak dapat mengikuti kehendak Allah.
Namun itu tidak berarti bahwa Allah tidak menegakkan HAM, karena pada hakikatnya
semua manusia akan berhadapan dengan pengadilan Allah pada waktunya. Jadi Allah
tetap menjaga HAM dalam kehidupan sesama manusia.

Kejahatan manusia ternyata tidak berhenti, sehingga akhirnya Allah memakai bangsa-
bangsa lain untuk menjadi hakim atas umatnya. Umat Allah berada dalam penjajahan
bangsa yang tidak mengenal Allah. Namun perlindungan Allah tetap ada pada mereka.
Jika pada mulanya Allah memerintah secara langsung “pemerintahan teokrasi”,
kemudian Allah memakai pemerintahan sekuler untuk tetap memelihara umatnya.
Memang pernah terjadi sekelompok orang yang menginginkan kekuasaan memasukkan
aturan yang tidak berkeadilan dalam pemerintahan Babel, dan yang terkena dampak
langsung dari ketidak adilan tersebut adalah Sadrak, Mesakh dan Abednego. Tetapi oleh
kedaulatan Allah mereka dipelihara Allah di dalam kerajaan Nebukadnezar, tetapi
sebagai alat Tuhan Sadrakh, Mesakh dan Abednego harus berjuang bagi adanya hukum
yang berkeadilan. Penghormatan terhadap bangsa yang berbeda dan pemeluk agama
yang berbeda tetap terjaga dalam pemerintahan sekuler karena negara tempat dimana
Israel dibuang oleh Allah dapat disebut negara sekuler dimana pluralisme suku dan
agama dihargai. Jadi Allah dengan keadilannya tetap memelihara HAM, walaupun tidak
berarti orang percaya tidak berusaha untuk memperjuangkannya.

Dalam perjanjian baru Allah tetap memakai pemerintahan sekuler untuk memelihara
umat-Nya dan seluruh ciptaan-Nya. Kerajaan Romawi tempat dimana gereja lahir dan
bertumbuh adalah pemerintahan sekuler. Pada waktu itu masih ada penghormatan
terhadap kebebasan beragama, dimana dilaporkan oleh Alkitab bahwa murid-murid
Tuhan Yesus dapat berkumpul dan beribadah kepada Allah. Mereka tetap dapat
beribadah sesuai dengan agama mereka. Pelanggaran kebebasan beragama terjadi
karena gereja yang lahir dalam agama Yahudi dianggap bidat. Pemerintah yang
membutuhkan dukungan komunitas Yahudi yang besar pada waktu itu berpihak kepada
agama Yahudi, sehingga kekristenan yang dianggap bidat Yahudi mendapat perlakuan
yang amat diskriminatif dari pemerintah yang berkuasa. Pada waktu pemerintahan yang
adalah alat Allah untuk menegakkan keadilan-Nya demi terjaganya kesejahteraan
ciptaan Allah dalam memenuhi panggilan Allah sebagai manusia yang diciptakan Allah
mulia tidak lagi menegakkan keadilan Allah, maka terjadilah pelanggaran HAM. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa keadilan Allah bagi kekristenan merupakan dasar yang
penting bagi suatu negara untuk dapat menjaga implementasi HAM secara maksimal.
Apabila negara menegakkan keadilan Allah maka hubungan antar sesama manusia akan
terpelihara dengan baik, walaupun kekristenan juga percaya bahwa tidak ada
seorangpun yang dapat sempurna berpegang pada keadilan Allah, sehingga tak
seorangpun manusia atau lembaga yang dapat menjadikan dirinya sumber atau agen
keadilan, sebaliknya setiap pribadi atau lembaga harus tunduk kepada hukum yang
berkeadilan, sehingga perjuangan penegakkan HAM bagi kekristenan bersamaan
dengan perjuangan untuk menegakkan supremasi hukum yang berkeadilan dan
bersumber pada Allah.

4.3.Kebebasan Beragama Menurut Alkitab

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa HAM merupakan pemberian Allah dan
dapat diimplementasikan dengan baik didalam hukum yang berkeadilan dan bersumber
pada Allah, maka menurut pandangan kristiani kebebasan beragama juga harus
didasarkan pada Allah dan hukum keadilan Allah.

Alkitab memerintahkan dalam Keluaran 20:3, “Jangan ada padamu allah lain dihadapan-
Ku”, dan dalam Perjanjian Baru Yesus mengatakan “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan
segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu”(Matius
22:37). Kebenaran tersebut dinyatakan oleh Yesus karena manusia tidak dapat
menyembah kepada dua tuan (Matius 6:24). Pernyataan-pernyataan di atas
menunjukan bahwa manusia hidup dihadapan Allah. Sehingga semua manusia hidup
pada hakekatnya beragama karena semua manusia diperintahkan untuk menyembah
Allah. Jadi semua kehidupan manusia adalah agama.

Jadi menurut pandangan Kristen Kebebasan beragama bukan hanya kebebasan untuk
memilih hari Sabtu atau hari Minggu untuk beribadah, tetapi jika hidup manusia adalah
agama, maka kebebasan beragama berarti juga kebebasan untuk untuk memilih setiap
area kehidupannya. Berarti hak kebebasan beragama juga berarti hak untuk melepaskan
keyakinan agamanya atau berganti agama sebagaimana dinyatakan dalam pasal 18 dari
Deklarasi Universal HAM. Hak Kebebasan Beragama adalah kemerdekaan untuk
memeluk agamanya yang didasarkan kehendak bebas manusia (sesuai dengan keinginan
hati nuraninya), tidak seorangpun dapat dipaksa untuk menyembah apa yang dia ingin
sembah atau apa yang ia tidak ingin menyembahnya. Sedang menurut Vatikan II tahun
1965, kebebasan beragama merupakan hak yang didasarkan pada martabat manusia
yang dinyatakan oleh Firman Allah.

Selanjutnya kebebasan beragama tersebut juga berarti kemerdekaan berkumpul karena


aktivitas agama bersifat komunal. Namun hak tersebut juga berarti hak untuk
menyendiri, karena hak tersebut juga berarti hak untuk tidak beragama. Karena itu
aktivitas penyembahan agama merupakan sesuatu yang tidak boleh dibelenggu. Hak
menyembah Allah sesuai dengan keyakinan dan agama seseorang baik pribadi maupun
secara berkelompok bukan sesuatu yang diberikan oleh pemerintah, tetapi pemerintah
wajib menjaga agar hak kebebasan beragama tersebut dapat terimplementasi dengan
baik. Karena itu penyembahan kepada Allah baik secara pribadi maupun kelompok tidak
memerlukan ijin dari pemerintah. Namun karena kebebasan beragama tidak tanpa
batas, maka kebebasan beragama secara bersamaan juga merupakan kewajiban untuk
umat beragama lain dapat melaksanakan kebebasan beragamanya.
Dalam pandangan kristiani hak kebebasan beragama merupakan hak yang diberikan
oleh Allah, maka negara agamapun tidak dapat melakukan diskriminasi terhadap agama
lain, karena dasar hukum dari pelaksanaan tugas negara adalah menegakkan keadilan
Allah. Jika Allah sendiri memberikan kebebasan kepada manusia untuk menyembah
Allah atau tidak meyembahnya walaupun dengan ganjaran akan menghadapi pengadilan
Allah, maka negara agama tidak dapat memakai kekuasaan negara untuk melakukan
diskriminasi terhadap umat beragama lain, karena hak tersebut yang memberikan Allah
dan negara hanya berkewajiban untuk menjaga implementasi dari hak kebebasan
beragama tersebut.

Hak kebebasan beragama dalam dalam pandangan Martin Luther seorang tokoh
Reformasi, secara bersamaan juga merupakan hak setiap orang untuk menafsirkan
Alkitab dengan cara mereka sendiri sesuai dengan hati nuraninya, pada waktu itu tidak
setiap orang boleh membaca Alkitab dan menafsirkannya, dan tidak setiap orang boleh
tidak setuju dengan penafsiran dari pemimpin-pemimpin gereja ... . Sehingga bidat
didalam sejarah kekristenan mendapatkan hambatan yang besar dari gereja dengan
memakai tangan negara. Hal ini merupakan sesuatu yang bertentangan dengan
kebebasan beragama dalam perspektif Kristiani. Selama bidat-bidat Kristen atau bidat-
bidat agama lain tetap melaksanakan kewajibannya untuk memberikan kebebasan
beragama bagi kelompok di luar bidat tersebut, maka keberadaan mereka tidak boleh
dihalangi oleh orang Kristen, baik oleh kelompok Kristen itu sendiri, maupun dengan
menggunakan kekuasaan pemerintah. Memang tidak ada bentuk pemerintahan yang
pasti yang diperintahkan oleh Alkitab untuk menjamin hak kebebasan beragama. Dalam
negara agama yang mampu menegakkan keadilan Allah dalam hukum pemerintahannya
kebebasan beragama akan dapat terlaksana dengan baik. Walaupun dalam sejarah
umumnya negara agama tidak mampu toleran dengan umat beragama lain, hal ini
dikarenakan memang negara sangat mudah untuk disimpangkan. Kebebasan beragama
umumnya lebih dapat terjaga dalam negara demokrasi yang mengakui hak-hak individu,
pluralisme agama dan sekularisme yang tidak berpihak pada agama tertentu, sehingga
usaha untuk mengawal kebijakan pemerintah dalam menegakkan hukum yang adil
melibatkan peran serta seluruh masyarakat, sehingga tidak mengherankan dalam
negara demokrasi proteksi HAM lebih terjaga, walaupun tidak selalu demikian. Dalam
negara yang menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi namun tidak menghargai
Pluralisme agama, kebebasan beragama seringkali tetap terbelenggu, karena adanya
usaha agama untuk memiliki akses yang lebih besar dalam pemerintahan dan kemudian
tidak peduli apakah tindakannya merupakan sesuatu yang bersifat diskriminatif
terhadap agama lain.

Apapun bentuk pemerintahan, yang terutama diperlukan dalam penegakkan kebebasan


beragama adalah pemisahan antara negara dan agama. Pemisahan tersebut harus
terjadi karena negara mempunyai kedaulatan yang berbeda dengan gereja. Negara
seharusnya menyadari bahwa kekuasaannya berasal dari Tuhan dan harus menjalankan
fungsinya sesuai apa yang telah Tuhan tetapkan, dimana negara harus menjaga institusi
yang ada, termasuk individu-individu untuk tidak melampaui batas kekuasaan mereka,
sehingga tidak terjadi pembelengguan terhadap hak-hak institusi atau individu lain.
Negara dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik apabila memiliki toleransi
terhadap Religious Pluralism. Negara juga harus menjamin kedaulatan individu
(Sovereignty of individual person), karena setiap individu berkedudukan sebagai seorang
raja dalam hati nuraninya, kecuali dari semua kewajiban-kewajibannya. Manusia
memiliki “Absolute Liberty of Conscience” baik untuk beragama maupun tidak
sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Universal HAM. Pengakuan adanya kedaulatan
individu ini merupakan hak asasi yang paling utama dan negara harus menjaga hak-hak
ini, baru dapat dikatakan bahwa ada proteksi HAM dalam suatu negara. Kemerdekaan
hati nurani ini juga merupakan akar dari “Civil Rights”.

IV. KESIMPULAN

Dalam dunia politik dan hukum, sikap gereja yang perlu dkembangkan adalah sikap positif, kritis,
dan kreatif. Positif artinya memandang dunia politik dan hukum sebagai bidang pengabdian dan
pelayanan panggilan dari Tuhan serta karena itu berasal dari pandangan positif ketika kita
memberikan kontribusi sesuai iman Kristen. Kritis artinya tidak ragu-ragu member kritik jika
penguasa berbuat kesalahan, menyimpang dari hukum dan prinsip-prinsip yang berlaku. Kritik
yang sesuai dengan etika Kristen adalah kritik yang konstruktif (membangun, santun, dan
memperdayakan), bukan kritik yang destruktif (menjatuhkan, vulgar, dan mencari kesalahan).
Kreatif artinya berusaha memberikan terobosan atau alternative baru di tengah kebuntuan
terhadap politik maupun hukum. Kita harus mampu berkomunikasi terbuka dan dialogis, tidak
alergi terhadap perubahan.

Selain itu, gereja juga dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam bidang politik dan
hukum antara lain:

a) Gereja perlu terlibat dalam politik dan hukum. Dalam arti yang luas, ia mengikuti dengan
seksama berbagai perkembangan politik dan hukum.

b) Gereja perlu melakukan pertemuan konsultatif secara berkala dengan anggota-anggota


jemaatnya yang terlibat dalam politik dan hukum praktis.

c) Gereja juga perlu mendengar masukan dari berebagai LSM ataupun perguruan tinggi Kristen
yang menaruh perhatian terhadap kehidupan politik.

d) Gereja perlu menyelenggarakan berbagai pembinaan ataupun juga forum diskusi yang
menggumuli masalah-masalah dan etikanya bagi anggota jemaatnya sehingga pemahaman
salah yang dimiliki oleh anggota dapat dipatahkan dengan memperdalam kehidupan politik
dan hukum sesuai kapasitas dan kemampuannya.

e) Gereja perlu terlibat dalam forum-forum dialog antarumat beragama.


V. DAFTAR PUSTAKA

William Ebenstein; Political Science, 1972

Joice &William Mitchel; Political Analysis and Public Policy, 1969

Max Weber: Ancient Judaism, trans.: Hans Gerth & Dona Matindale, Illionis, The Free Press 1952

Holy Bibel: Gideon International, 1980

Davies, Peter, Hak-Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1994)

Bevere John, 2004

Bagaimana Anda Meresponi Ketika Anda Diperlakukan Tidak Adil, Jakarta: Light Publishing

http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=786&res=almanac/

Sinulingga, Risnawaty, Pendidikan Agama Kristen untuk Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum,
Medan: Pustaka Bangsa Press, 2006

http://syehaceh.wordpress.com/2009/03/17/pengertian-hukum-dan-norma-serta-hierarki-
perundang-undangan-di-indonesia/

http://sobatbaru.blogspot.com/2008/11/pengertian-hukum.html

Anda mungkin juga menyukai