Anda di halaman 1dari 16

TEOLOGI POLITIK

KELOMPOK 7

1. 712021230_MATHDEN LETARE MANURUNG


2. 712021236_MARIANA MINIKE DE LIMA
3. 712021238_INTAN SUMERLINA TOINENO
4. 712021139_NOVRI FERSON SEMBIRING
5. 712021246_JACKSON JONATAN SIMATUPANG
6. 712021247_JHODY KRISNA ARITONANG
7. 712021250_RULYANA TAMELAN

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2022
PENDAHULUAN

Berbicara mengenai teologi politik, politik sendiri tidak terlepas dari negara, untuk itu
kita perlu mengetahui, apa itu politik? Politik berasal dari bahasa Yunani (gerika) yaitu polis
yang berarti kota yang berstatus negara kota, sedangkan teologi adalah dialog mengenai Allah.
Teologi politik muncul sejak Stoisisme dan dulu teologi politik sering kali dianalogikan dengan
keterkaitan dunia politik karena tidak ada pemisahan antara agama dan negara, atau agama dan
negara dicampuradukan sehingga tidak bisa dibuat pembedaan yang mana perkara negara dan
perkara agama.

Tidak adanya pemisahan antara agama dan negara membuat agama Kristen pada waktu
itu menjadi agama borjuis,1 karena agama Kristen memberikan legistimasi terhadap para
penguasa kelas atas atau kaum borjuis yaitu mereka yang memiliki modal atau harta milik. 2
Johann Baptis Metz memberikan perhatiannya pada apa saja yang sedang bergerak dan apa saja
yang sedang tidak baik dalam masyarakat. Ia menemukan keadaan nyata yang memperlihatkan
bahwa banyak orang masih memegang pikiran Marxisme. Oleh karena itu pada tahun 1970-an,
agama diperhadapkan dengan kenyataan pahit bahwa terjadi proses brutal (para mahasiswa yang
menentang kemapanan), perang (di Vietnam yang berkepanjangan), pemiskinan dan
kolonialisme baru (di dunia ketiga). Semua tragedi tersebut merupakan buatan manusia, sehingga
kenyataan pahit itu mendorong dan mengasah refleksi iman secara lebih serius untuk menggugat
ortodoksi agama yang adem ayem, yang mencampuradukan religiositas dalam pengalaman
rohani pribadi (orang per oraang) dan religiositas dalam lembaga keagamaan.

Kenyataan historis tersebut membuat Metz tersentuh sehingga membidani lahir dan
bangkitnya kembali teologi politik. Pada akhirnya, Johann Baptis Metz memberikan makna baru
pada istilah teologi politik yang memberikan dua definisi, yaitu yang pertama, teologi politik
mencoba untuk mencegah adanya privatisasi iman. Privatisasi iman merupakan sebuah fenomena
di mana orang-orang nyaman dengan penghayatan agamanya, ketika agama dihayati sebagai
urusan personal yang tidak berkaitan dengan masalah sosial. Definisi kedua, teologi politik
bermaksud mewartakan nilai-nilai Injil atau nilai-nilai Kristiani sesuai dengan konteks atau

1
Eddy Kristiyanto, Sakramen Politik,
2
Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1999), 152.
situasi yang terjadi dalam masyarakat, itulah yang menjadi refleksi dan penghayatan umat
Kristen.

Oleh karena itu, kami kelompok perlu menegaskan bahwa teologi politik itu sama sekali
bukan berbicara mengenai suatu kekuasaan atau mengenai praktik politis atau bagaimana
memperebutkan suatu kekuasaan atau menjadi seorang politikus. Akan tetapi, teologi politik
bertolak dari rasa ketersentuhan untuk menggugat agama dan iman sebagai urusan pribadi
semata-mata dan menekankan tanggung jawab sosial orang-orang yang mengakui beriman dan
memiliki kepercayaan. Metz tidak bermaksud mempolitisasi agama, melainkan dengan teologi
politik, ia mau menunjukkan apa saja implikasi iman dan kepercayaan di hadapan tata susunan
politik dan sosial, dan bagaimana refleksi teologi mampu mencerahi dan akhirnya mendorong
munculnya sikap solider pada para korban ketidakadilan.3

PEMBAHASAN

TEOLOGI POLITIK

Teologi secara umum dipahami sebagai wacana tentang Tuhan dan manusia, hubungan
dengan Tuhan. Sedangkan politik dipahami sebagai kekuasaan untuk mengatur suatu masyarakat
untuk mencapai tujuannya. Jadi, teologi politik adalah analisis atau kritik terhadap kehidupan
politik menurut cara Tuhan mengaturnya. Secara tidak langsung, teologi politik memberikan
dasar untuk refleksi tentang hubungan antara gereja dan negara. Agar teologi kontemporer mana
pun dapat bertanggung jawab, agar tetap bersifat teologis, ia haruslah bersifat politis. Pada saat
yang sama, teologi politik mencerminkan hubungan antara keyakinan dan karakter politik atau
masyarakat. Teologi ini terutama berkaitan dengan kebutuhan yaitu kebutuhan sosial. Teologi
politik adalah teologi dasar yang ingin menjelaskan keyakinan dan harapan dalam realitas
masyarakat.4

3
Eddy Kristiyanto, Sakramen Politik,
4
Mitra Agustina, Kajian Teologi Politik terhadap Pemahaman dan Partisipasi Politik Warga Jemaat GKPI Bekasi
dalam Perpolitikan di Indonesia,
Sebagai teologi dasar, itu bersifat teoretis dan dasar bagi jawaban empiris praktis. Dengan
teologi politik, gereja tidak hanya berurusan dengan imam-imam tetapi juga dengan lingkup
sosial. Melalui fakta ini, gereja tidak asing dengan isu-isu politik, bahkan memiliki pergumulan
yang mendalam dengan teologi politik. Para reformis radikal mulai menjauh dari isu-isu politik,
karena mereka menganggap isu-isu yang dikendalikan oleh dosa, dan lebih berfokus pada
penginjilan di bagian-bagian dunia yang terpencil. Berbekal fakta ini, teologi politik dapat
dipelajari dengan membandingkan gereja Katolik Roma dan peran politik para pemimpin gereja.
Walter Brugman, seorang ahli Perjanjian Lama dari Jerman, percaya bahwa peristiwa dalam
Keluaran adalah contoh dari teologi politik Israel. Drama campur tangan Tuhan dalam
pembebasan Israel dari Mesir menunjukkan intervensi politik Tuhan dalam tatanan politik
Fir'aun, yang melaluinya dapat terlihat campur tangan politik Tuhan dalam tatanan politik negara
yaitu Mesir. Jadi, Tuhan menjadi pemain politik, menuntut dan memaksa Firaun untuk
mengubah keputusan politiknya terhadap Israel.5

TELAAH TEOLOGIS

Teologi Politis dapat berarti beberapa hal dan oleh karena itu ambigu. Halnya juga
mendapat implikasi-implikasi historis. Teologi politis pertama-tama memiliki keberatan terhadap
pelaksanaan nilai-nilai Kristiani dan doktrin-doktrin Gereja. Oleh karena itu, teologi politik
menuju arah politik lembaga agama. Teologi semacam ini bertolak dan lahir dari rasa
tersentuhan. Teologi ini mengatakan secara sangat jelas apa yang harus dilakukan yang
menekankan akat dan tidak seminggu, bahkan dalam keadaan darurat harus beragitasi Inilah
teologi aksi yang berseberangan dengan teologi mistik. Bagi kita tidak ada kebenaran yang dapat
dipertahankan seandainya orang tidak mengindahkan penggunaan korupsi dan ketidakpastian
hukum. Tidak ada arti hidup yang dapat dipertahankan seandainya orang udak menghiraukan
penggusuran, korupsi dan ketidakpastian hukum, kebusukan pemimpin.

Dengan sikap demikian, kita tidak lagi berorientasi pada konsep-konsep sebuah sisse,
melainkan pada konsep-korey pribadi menelanjangi kelemahan dasar teolog agama-agama yang
apatis dan acuh tak acuh terhadap benuara sejarah bangsa manusia.

5
Mitra Agustina, Kajian Teologi Politik terhadap Pemahaman dan Partisipasi Politik Warga Jemaat GKPI Bekasi
dalam Perpolitikan di Indonesia,
Dalam situasi Indonesia sekarang ini, iman model apakah yang sebenarnya kita hayali
jika kita tidakinak el keadaan kasam sejarah bangsa ini. Mungkan sikap acuh tak acuh semacam
iman, yang tidak mencerminkan pangplas Keagamaan, totopi percaya akan hal itu dan dalam
keyakinas u justru mengilati jalannya sendiri. Semacam iman yang dikaitkan pada identitas ses
kita man yang tidak tan menderita atau bertela rasa sepenuh hati dalam geertaan, tetapi yakin
bahwa ia turut meidenta dan di halik perisai keyakinan itu memelihara sikap apatis, hal yang wat
kila len benman dan berdoa, sementara korban pgguran, korupsi dan ketidakpastian hukum
terkapar di mata kita.

ASAS-ASAS ALKITAB BAGI PERHUBUNGAN IMAN KRISTEN DAN POLITIK


1. Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian Lama berkembang warta bahwa Tuhan Allah itu Khalik langit dan bumi,
kepada Allah tunduklah segala sesuatu. Tuhan ialah Pembentuk hukum bagi seluruh makhluk.
Sebaliknya seluruh makhluk wajib memuliakan Nama Tuhan. Segala yang hidup, pujilah Tuhan.
Demikianlah anjuran segenap Perjandjian Lama. Di dalam kisah jatuhnya manusia ke dalam
dosa, kita dapat menyaksikan pertobatan manusia untuk melawan perintah dan pemerintahan
Tuhan. Manusia menjadi pendurhaka di hadirat Tuhan dan berkeinginan memutarbalikkan
perhubungan antara Tuhan dan manusia. Tetapi Tuhan Allah yang rahmani mengampuni
manusia dengan anugerah-Nya serta melaksanakan rancangan-Nya untuk memuliakan hidup
manusia yang berdosa.

Abraham dijadikan pembawa janji-janji Tuhan yaitu akan membangunkan sebuah polis,
sebuah negara, yaitu tempat kediaman semua makhluk yang hidup dalam ketaatan kembali
kepada pemerintahan Tuhan yang membahagiakan. Daripada Abraham ditumbuhkan suatu
bangsa dan dalam lingkungan bangsa itu Tuhan membangun Theokrasi (pemerintahan Tuhan).
Di tengah-tengah bangsa-bangsa kafir yang dalam hidup politik, kesusilaan, dan kerohanian
mencari pedoman pada kehendaknya sendiri, maka Tuhan Allah berkenan mengaruniakan
kepada Israil hukum-hukum Allah untuk hidup keagamaan, kemasyarakatan, kesusilaan, dan
politik. Dengan Theokrasi itu Allah bermaksud untuk memberikan bayang-bayang daripada
langit baru dan bumi baru, yang akan datang. Tuhan menghendaki agar supaya agama,
kesusilaan dan hukum mewujudkan kesatuan batin. Dalam hukum-upacara, kewarganegaraan
dan kesusilaan bangsa Israil, Tuhan melukiskan sebuah teladan tentang kesatuan itu.
Tetapi Israil tidak mentaati perjanjian Theokrasi dan hukum-hukum Tuhan itu, maka Tuhan
menyuruhkan nabi-nabi-Nya. Nabi-nabi itu melawan dosa bangsa dan penguasa Israil. Mereka
berseru supaya bangsa dan penguasa Israil bertobat, dan mereka menjelaskan bahwa Tuhan pada
waktu-Nya akan mendatangkan kerajaan-Nya di mana Tuhan Allah ialah semuanya yang ada
dalam semuanya. Bukan maksudnya bahwa Theokrasi dari Perjandjian Lama ditiru dalam
Perjanjian Baru. Theokrasi bangsa Israil, seperti halnya dengan imamat dan upacara kurban
harus berakhir. Theokrasi bangsa Israil merupakan lambang dan bersifat terbatas pada
kebangsaan. Bentuk lambang dan sifat kebangsaan itu harus menyingkir di hadapan Kerajaan
Surga yang datang dan sedang mendatang oleh karya Tuhan Yesus Kristus. Dalam Perjanjian
Lama, Tuhan telah memberikan pengertian yang jelas, bahwa Theokrasi bersifat sementara, dan
dimaksudkan berlangsung dalam waktu yang terbatas serta merupakan suatu lambang. Tuhan
membangkitkan harapan akan kedatangan kerajaan lain, di mana tembok penyekat yang
memisahkan Israil dari bangsa-bangsa lain dirobohkan, di mana bentuk lambang dan sifat
kebangsaan akan dilenyapkan, supaya warga kerajaan Allah berasalkan daripada seluruh bangsa
di dunia. Tetapi arti yang besar daripada Theokrasi Perjanjian Lama itu ialah bahwa kita
ditunjukkan betapa Tuhan Allah menghendaki agar kehidupan keagamaan, kemasyarakatan dan
politik tidak dipisahkan melainkan dipersatukan menjadi satu kesatuan batin yang erat. Sebab itu,
perlulah kita umat Kristen dalam menyelidiki soal-soal politik bertanya manfaat apa yang dapat
kita peroleh dari Theokrasi Israil , dan perlulah kita mendengar kesaksian Hukum Taurat serta
kesaksian para nabi-nabi dari Perjanjian Lama.

Sungguhpun benar, bahwa harapan akan langit baru dan bumi baru itu memenuhi Perjanjian
Baru, tetapi kebenaran itu tidak berarti bahwa harapan itu tidak penting untuk sikap kita dalam
praktek hidup di dunia dan praktek hidup dalam politik. Perhubungan yang praktis antara
harapan akan masa depan dan sikap hidup sehari-hari yang praktis di dunia ini diungkapkan
sedalam-dalamnya dalam 2 Petrus 3:12 dan 13, di mana kita dapat membaca pengajaran bahwa
kita wajib menantikan dan menyegerakan kedatangan hari Allah itu karena kita menantikan
langit yang baru dan sebuah bumi yang baru, yang berisi kebenaran."

2. Perjanjian Baru

Pikiran asasi yang terdapat dalam Perjanjian Baru ialah: Bertobatlah, karena Kerajaan Surga
sudah dekat. Kerajaan Surga itu ketertiban baru yang dibangun oleh Allah melalui karya Kristus.
Bagaimana datang kerajaan Allah itu? Kerajaan itu tidak datang dengan kekuasaan dan
kekerasan, melainkan datangnya melalui kepercayaan dan tobat. Undang dasar Kerajaan itu
terdapat dalam Kesepuluh Hukum (Dekalog), Khotbah Tuhan Yesus di bukit, dan dalam pasal-
pasal penghabisan surat-surat Rasul Paulus. Dalam Kerajaan Allah (Surga) itu Tuhan
mengaruniakan anugerah-Nya, yaitu pengampunan dosa dan pembaharuan hidup dan pada akhir
zaman: langit baru dan sebuah bumi yang baru. Sebaliknya, dalam Kerajaan anugerah itu, Tuhan
Allah menghendaki kita menyerahkan diri kita sepenuhnya. Tuhan menitahkan agar supaya kita
taat kepada pemerintahan-Nya dalam segala lapangan hidup. Orang kadang-kadang berpendapat
bahwa Perjanjian Baru mengarahkan perhatian kita hanya kepada langit baru dan bumi baru saja.

Menantikan berarti bahwa kita tidak boleh berharap akan perkembangan Kerajaan Allah
yang sepenuhnya dalam batas sejarah manusia. Dosa di dunia akan senantiasa merajalela.
Kekuasaan Kerajaan Iblis akan senantiasa nampak dengan jelas. Keadaan dunia sebelum akhir
zaman tidak akan melukiskan dengan sempurna apa yang akan terlaksana dalam Kerajaan Surga.
Di mulai bumi ini tidak akan ada penguasa yang patuh sepenuhnya terhadap hukum dan
kehendak Allah. Di muka bumi ini tidak akan terdapat rakyat yang menyatakan dengan
sempurna kehendak Tuhan dalam usahanya di lapangan politik. Tetapi di samping menantikan
kita wajib juga menyegerakan, wajib mengusahakan penyegeraan itu dengan segala daya-upaya.
Kita wajib turut menyegerakan pelaksanaan apa yang akan datang, walaupun sumbangan kita
sedikit sekalipun. Rasul Paulus menyatakan bahwa kita ini warga negara Kerajaan Allah. Dalam
kedudukan kita sebagai warga negara Kerajaan Surga itu kita wajib berjuang agar dapat
melaksanakan serta mencapai sesuatu yang menyerupai unsur Kerajaan Surga itu. Kerajaan
Surga itu akan merupakan Kerajaan yang berkeadilan ekonomi dan berkeadilan sosial, sebab itu
kita wajib menyegerakan tercapainya keadilan ekonomi dan keadilan sosial. Kita wajib
mempergunakan sarana yang dapat kita pertanggungjawabkan di hadirat Tuhan untuk
memperjuangkan perbaikan gaji kaum buruh, untuk memperbaiki pembagian produksi dan
kekayaan bangsa, untuk memperbaiki perumahan rakyat. Kerajaan Allah itu mewudjudkan
Kerajaan yang berkeadilan di antara bangsa-bangsa (racial justice). Segala jenis bangsa dan
bahasa wajib saling berhamba dan beribadat kepada Tuhan Allah dalam martabat yang sama.
Sebab itu kita wajib menolak segala rasis kriminasi (perbedaan perlakuan antara bangsa-bangsa)
dan kita semua wajib berjuang bagi perbaikan perhubungan antara bangsa-bangsa dan antara
semua jenis manusia. Kerajaan Allah itu akan mewujudkan Kerajaan yang berkeadilan politik,
sebab itu kita wajib berjuang dengan sekuat tenaga untuk memperoleh dan merebut hak-hak
politik untuk memperoleh hak-hak asasi, hak-hak kebebasan fundamentil dan hak-hak sosial bagi
seluruh manusia dalam negara. Barangsiapa mendengarkan dengan baik-baik maklumat dalam
Perjanjian Baru maka ia akan mengetahui, bahwa di sini terdapat pula suatu maklumat politik,
yakni suatu maklumat yang menempatkan hidup politik dalam lingkungan perjanjian
dan hukum Tuhan.

DUNIA DAN AGAMA

Pemahaman terhadap dunia dalam tatapan historis-teologis diorientasikan pada masa


depan. Semua orang Kristen berdasarkan baptisan dipanggil untuk membangun dunia baru,
bukan hanya untuk menafsirkan (menginterpretasikan) dunia ini, melainkan juga untuk masuk
dan terlibat dalam (teologi) politik, suatu bidang yang secara tetap dan terus menerus mengkritik
"kota" (polis) seturut kaidah-kaidah atau ukuran-ukuran Kerajaan Allah. Dengan demikian
"tinggal dalam menara gading", atau acuh tak acuh sama terhadap peristiwa kemasyarakatan
sama dengan melarikan diri dari tanggungjawab duniawi. Orang Kristen memang perlu
"meninggalkan dunia" sebagai suatu bentuk penolakan terhadap pemutlakan dunia ini. Memang
tidak jarang ada sikap yang menjadikan "dunia" ini seakan-akan sudah identik dengan Kerajaan
Allah. Dunia ini sama sekali bukan Kerajaan Allah. Oleh kerena itu, segala sesuatu yang terdapat
di dunia ini menjadi subyek kritisisine, termasuk (bahkan dan dalamnya, kritisisme terhadap)
setiap lembaga agama, sepert Gereja yang cenderung mapan dan puas diri.

Lembaga agama pertama-tama adalah bukan nonworld melainkan segmen dari dunia
yang mengakui Sang Tuhan dan menghayati atau menghidupi dalam terang pengakuan iman
kepercayaan. Agama dengan demikian adalah komunitas harapan, maksudnya suatu (komunitas
relasional yang hidup selalu bagi yang lain dalam kepedulian mutlak pada sesama. Mirip
meskipun tidak dapat diidentikkan (dalam hal pendekatan) dengan Teologi-teologi Pembebasan
Amerika Latin, tetapi tekanannya diletakkan pada keutamaan iman sebagai praksis lebih
daripada keutamaan pengharapan.

Karl Rahner mengingatkan kita bahwa kematian merelatifkan semua petunjuk besar kita.
Kematian memberikun tanda kurung kegelapan dan kekelaman eksistensi manusia. Hanya dalam
Allah kita memiliki pengharapan. Adalah pengharapan yang membuat kita bebas; apa yang kita
harapkan karena kita tidak dapat hadirkan pada masa yang akan datang, dan apa yang kita
nikmati di sini dan sekarang ini bukanlah apa yang kita akhimya harapkan.

Karena itu, orang Kristen akan selalu dipandang sebagai seorang utopian oleh para
pesimis yang absolut (mereka yang selalu melihat tidak ada kehidupan setelah kematian dan
melihat hidup ini sebagai sesuatu yang absurd) dan oleh para optimis yang absolut (mereka yang
menemukan kehidupan ini penuh makna semata-mata dan oleh karena itu referensi pada semua
kehidupan sesudah kematian). Orang beragama bukanlah orang yang menggenggam sesuatu
yang dapat disentuh sedemikian rupa sehingga dia dapat menikmatinya sampai kematian tiba,
bukan karena ia seorang pribadi yang mengalami kegelapan dunia sedemikian serius sehingga
dia tidak dapat lagi berspekulasi percaya akan terang abadi yang melampauinya.”

Eksistensi agamawan, tentu saja, selalu eksistensi historis. Kita mengalami kegembiraan
pada suatu saat dan duka cita pada lain kesempatan. Kita mengalami vitalitas dan kebesaran
kehidupan insani, dan juga mengalami kekecewaan, kegagalan dan kematian. Akan tetapi agar
dapat membuka diri pada realitas kehidupan dengan bebas dan tidak sistematik, dan kita
melakukan ini tanpa pemutlakan baik kehidupan maupun kematian duniawi. Hal ini dapat
dilakukan hanya oleh seseorang yang percaya dan berpengharapan, bahwa totalitas kehidupan
yang dapat kita alami dicakup oleh misteri suci tentang kasih yang abadi."

GEREJA DAN NEGARA

Dalam diskursus teologi Kristen, pembicaraan tentang hubungan gereja dan negara
bukanlah sesuatu hal yang di adakan, namun merupakan sesuatu yang tidak dapat
terhindarkan. Hal ini karena gereja dalam penantian eskatologisnya ada di dalam dunia ini (Yoh.
17:18) atau ada di wilayah kekuasaan dari suatu pemerintahan atau teritorial suatu negara
tertentu.Oleh karena itu gereja akan selalu berhubungan dengan suatu pemerintahan di
wilayah kekuasaan tertentu di mana ia berada.

Gereja diartikan sebagai komunitas orang-orang percaya yang mengalami kelahiran baru dan
menaruh iman kepada Yesus Kristus Tuhan. Alkitab menyebut gereja sebagai tubuh Kristus
sebagai pernyataan bahwa gereja adalah milik Kristus (1Kor. 12:27; Ef.1:23). Sebagai
komunitas orang percaya, ia juga memanifestasikan dirinya sebagai suatu realitas sosial dalam
berbagai bentuk denominasi. Sedangkan pengertian negara, yang dalam bahasa Jerman “Staat”
dan dalam bahasa Inggris “State,” berart dua hal, yakni: “Pertama, negara adalah masyarakat
atau wilayah yang merupakan satu kesatuan politis. Kedua, negara adalah lembaga pusat yang
menjamin kesatuan politis itu, yang menata dan dengan demikian menguasai. Bisa disimpulkan
bahwa negara berarti sebuah komunitas yang teratur yang di dalamnya ada yang memerintah
(rulers) dan yang diperintah (ruled).

Pandangan ideal Rasul Paulus tentang negara tidak menjadikan gereja harus berkesimpulan
bahwa negara, sebagai hamba Allah yang menyandang pedang, tidak dapat salah dalam
kebijakannya, tindakannya, hukum, dan peraturan yang dimiliki serta dilakukannya. Sikap yang
menganggap negara tidak dapat salah adalah interpretasi yang keliru dalam pemahaman teologi
Kristen tentang negara. Sebagaimana dikatakan oleh Liem Khiem Yang, “Sudah terlalu sering
terjadi bahwa mereka mendekati Rm. 13:2-7 sebagai ajaran Kristen tentang pemerintahan
duniawi, menarik kesimpulan bahwa oleh karena itu jemaat Kristen harus selalu tunduk kepada
segala pemerintahan duniawi yang ditetapkan oleh Allah.

SAKRAMEN POLITIK

Menyintesiskan fakta dunia, agama, tanggungjawab dan harapan-harapannya yang hidup


tidak berlebihan kiranya jika kerasulan di bidang politik merupakan sakramen politik agama-
agama. Seperti halnya terhadap kematian, orang tidak dapat mengelak atau melarikan diri
daripadanya, demikian pula halnya dengan politik. Tegasnya, jika kita mau selamat, kita harus
menempuh kerasulan dan bersikap kooperatif dalam berpolitik. Pada prinsipnya, kita berbicara
tentang relasi antara iman Kristen dengan dunia. Horison ini merupakan masa depan. Dan itu
menyingkapkan dunia sebagai sejarah, sejarah sebagai sejarah final (Endgeschichte), iman
sebagai pengharapan, teologi sebagai eskatologi. Horison ini mencirikhaskan usaha teologi untuk
melampaui dan melewati teologi transendental, personalistik dan eksistensial tanpa merendahkan
insights-nya yang berharga. Teologi transendental, personalistik dan eksistensial ini menekankan
dengan sangat jelas peranan manusia dalam kontras dengan pandangan yang semata-mata
obyektif teologi skolastik. Akan tetapi teologi ini menghadapi dua bahaya. Teologi antropologis
ini cenderung membatasi iman dengan memusatkan perhatian pada the actual moment keputusan
pribadi orang beriman. Masa depan menjadi tenggelam.

Selain itu, teologi antropologis ini cenderung menjadi urusan privat dan individualistik.
Teologi semacam ini gagal membawa ke dalam keluhuran dimensi-dimensi sosial dan politik
iman dan tanggungjawab orang beriman. Maka kiranya dalam konteks pembicaraan tentang
lembaga agama dan dunia, kita perlu mengembangkan tesis berikut ini. Pertama, sebuah tesis
tentang pemahaman modern tentang dunia, dengan tekanannya pada masa depan dan. orientasi
operasionalnya. Kedua, sebuah tesis tentang sumber alkitabiah pemahaman kita berkenaan
dengan dunia, - suatu pemahaman yang didasarkan pada ajaran ilahi setiap agama. Ketiga,
sebuah tesis tentang paham iman sebagai suatu relasi kreatif terhadap dunia yang dipahami
dalam terang ajaran ilahi setiap agama," Untuk membangun kehidupan politik yang sungguh
manusiawi, tidak ada yang lebih baik kiranya daripada. Menumbuhkan semangat batin keadilan
dan kebaikan hati serta pengabdian demi kesejahteraan umum; lagi pula memantapkan
keyakinan-keyakian dasar tentang hakikat sejati negara, dan tentang pelaksanaan serta batas-
batas wewenang pemerintah.

PERAN GEREJA DALAM POLITIK

Peran gereja dalam politik yang seharusnya adalah merupakan hubungan kemitraan yang
setara, berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah, dan mempunyai objek yang sama pula yaitu
kesejahteraan manusia. Gereja mempunyai tanggung jawab kenegaraan (politik), antara lain
dengan membina umatnya untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan membantu
mengingatkan negara untuk menjalankan fungsi kenegaraannya dengan bermoral. Di sinilah
peran politik pemimpin gereja di perlukan. Berikut adalah beberapa pandangan tentang peran
politik dari empat ahli teologi, yakni:

1. Martin Luther

Teori “Dua Pedang”, Martin Luther menegaskan bahwa untuk masalah-masalah sekuler
Tuhan telah mengaruniakan “Pedang” atau mandat kekuasaan yang penuh kepada penguasa
negara. Dan oleh sebab itu, dalam masalah-masalah duniawi, semua orang dituntut ketaatan yang
penuh dan iklas terhadap pemerintahan yang sah, terlepas dari apakah pemerintahan tersebut
bijak atau lalim, kristen atau bukan. Hanya di dalam satu hal saja, orang Kristen boleh
melakukan perlawanan terhadap pemerintahan, yaitu apabila negara melanggar atau mencampuri
apa yang seharusnya menjadi wewenang gereja. Dalam hal ini, perlawanan hanya boleh
dilakukan dalam bentuk perlawanan rohani (spiritual resistence). Bukan dengan melakukan
pemberontakan bersenjata. Berlatar belakang pemahaman yang seperti itu, tidak salah untuk
mempunyai kesan bahwa Martin Luther mengajarkan adanya pemisahan mutlak antara gereja
dan negara. Dan ketaatan penuh kepada negara dalam hal yang bersifat non-spiritual. Luther,
percaya akan mandat kekuasaan yang amat luar biasa besarnya yang diberikan kepada negara,
apalagi dengan dilegitimasikan oleh keyakinan agama. Luther memang ingin membebaskan
gereja, khususnya para pemimpinnya dari kecenderungan melakukan intrik-intrik politik praktis.
Sebab kecenderungan berpolitik praktis semacam inilah yang tanpa sadar membuka pintu gereja
untuk dimasuki dan kemudian menjadi arena permainan kekuatan-kekuatan politik dunia.
Mengembalikan gereja kepada jati dirinya sebagai institusi rohani. Teori “Dua Pedang” adalah
refleksi teologis dan sekaligus kepedulian pastoralnya terhadap apa yang ia yakini sebagai faktor
yang telah mengganggu kemurnian gereja. Yaitu intervensi gereja ke dalam politik, dan
sekaligus intervensi politik ke dalam gereja. Akibat langsung dari “gereja”nisasi politik tidak
dapat tidak, adalah politisasi gereja, pencampuradukan yang salah antara iman dan politik, telah
menyebabkan gereja tidak lagi gereja, seharusnya, let the church be the church.

2. John A Titaley

Dasar teologis keterlibatan gereja dalam politik di Indonesia, gereja harus memiliki landasan
teologik untuk semua kegiatannya, termasuk dalam keterlibatan gereja dalam kehidupan politik,
sehingga nampak beda antara gereja dan partai dengan ideologinya. Gereja-gereja di Indonesia
menganggap politik kotor, padahal Kristus memberikan teladanan-Nya dalam politik seperti di
lingkungan Romawi. Sebelum melihat keterlibatan gereja dalam politik, harus dilihat terlebih
dahulu apakah Indonesia sudah dipahami secara teologik dan tidak bertentangan dengan hakikat
dari Injil Yesus Kristus sehingga dari situlah rumusan peran dan keterlibatan gereja di Indonesia
dapat dirumuskan. Hakekat yang dimaksud didasarkan pada Injil Yohanes 8:1-11, sehingga
dapat dipahami bahwa hakikat Injil Yesus Kristus adalah kesetaraan kemanusiaan. Di jelaskan,
bahwa titik berteologi gereja-gereja saat ini harus dimulai dari kesadaran bahwa gereja harus
berpijak kembali pada Pancasila dan UUD yang dibuat tahun 1945. Dalam Pancasila dan UUD
1945 terdapat kenyataan Indonesia yang menghargai semua manusia secara setara. Namun
nampaknya para pemimpin politik masa kini telah melupakan komitmen para pendiri negara
sehingga tantangan bagi gereja terkait keterlibatannya dalam politik di Indonesia antara lain
harus mampu meneruskan nilai ke Indonesiaan yang setara ini serta memahami sejarah yang
benar bagi bangsa agar memiliki pemahaman yang tepat tentang Indonesia.
Pemahaman terhadap gereja dan agama yang dengan sengaja hendak mengabaikan sisi sosial
dan budayanya, tidak akan menghasilkan suatu kehidupan bergereja dan beragama yang realistis.
Demikian pula sebaliknya, dalam pemahaman bersama itulah, gereja menemukan dirinya yang
sejati, baik dari segi sosial, maupun segi teologiknya. Konteks sosial gereja kini adalah
kehidupan bernegara yang demokratik. Supaya gereja fungsional, gereja perlu memahami
konteks sosialnya yakni negara dan politik, oleh karena di situlah gereja hidup dan berkarya.
Pemahaman ini perlu, karena melaluinya, gereja dapat meletakkan dirinya dalam perspektif
moralitas rakyat. Dalam upaya memahami konteks sosialnya, gereja perlu mencari
pemahamannya dari alkitab dan tradisi gereja.

GEREJA DAN POLITIK DI INDONESIA

Gereja adalah persekutuan umat Allah yang berziarah ke seluruh dunia. Dasar iman Gereja
adalah hidup dan pelayanan Yesus sendiri sebagaimana diceritakan dalam Kitab Suci. Di dalam
Yesus, Allah terlibat dalam dunia dan sejarah manusia yang penuh dengan dosa dan delusi dosa.
Hal ini memiliki beberapa konsekuensi, yaitu yang pertama, campur tangan Tuhan dalam diri
Yesus menjadi tanda keselamatan, tindakan sakramental sebagaimana terwujud dalam
Penjelmaan, tidak netral. Allah melakukan tindakan nyata yang positif dengan berpihak pada
yang lemah dan berdosa, membiarkan mereka diselamatkan melalui pendamaian. Pilihan ini
mempengaruhi nasib orang yang akan dilindungi. Jadi Tuhan yang kita percayai sebenarnya
bersifat politis. Politik di sini dipahami dalam arti yang lebih luas dari sekedar politik kekuasaan.
Gereja terus melestarikan kehadiran Yesus Kristus di dunia. Gereja pertama kali dipahami
sebagai komunitas orang percaya. Gereja adalah sarana yang dengannya kerajaan Allah dibawa
ke dalam dunia. Hal ini dikemukakan oleh Karl Rahner, salah satu teolog Katolik terbesar abad
ke-20.

Karl Rahner mengklarifikasi paradoks di sini. Di satu sisi, ada pemisahan antara agama dan
negara, antara gereja dan birokrasi pemerintah. Agama, di sisi lain, memiliki tanggung jawab
sosial untuk berpartisipasi di dunia dan mengadopsi sikap dan pendirian yang pasti tentang
peristiwa-peristiwa dunia. Tentang kekuasaan politik, gereja tidak ikut campur dalam perebutan
kekuasaan. Kekuasaan politik, bagaimanapun, selalu berkaitan dengan nasib, kepentingan, dan
keselamatan rakyat, sehingga gereja harus terlibat dan bertanggung jawab untuk mengawasi
kerja kekuasaan politik. Oleh karena itu, Gereja tidak boleh netral secara etis dalam hubungan
politik dan selalu mengambil sikap yang jelas, sebagaimana dicatat dalam kitab Injil, hal ini
didiktekan oleh Yesus sendiri ketika Ia masih hidup.

Hal yang penting dalam mencari partisipasi gereja Indonesia dalam perpolitikan adalah
memastikan bahwa gereja secara sadar memosisikan diri sebagai bagian dari proses
demokratisasi di Indonesia dan gerakan masyarakat sipil (civil society). Dalam situasi
kemajemukan agama, suku dan denominasi-denominasi dalam tiap agama, serta dalam rangka
menyikapi adanya sikap intoleransi dari periode-periode politik sebelumnya, maka bagian dari
partisipasi politik gereja adalah dengan mengembangkan relasi lintas agama dan komunikasi
lintas budaya untuk membangun Indonesia demokratis. Gerakan antar iman dan aliansi nasional
lintas etnis (eksternal) dan lintas denominasi gereja (internal) akan menolong bangsa ini
membuka sumbatan-sumbatan komunikasi politik secara terstruktur. Masing-masing denominasi
harus membuka diri untuk menerima perbedaan dogma, selanjutnya antar pemeluk agama tiba
saatnya untuk memahami ajaran agama orang lain agar tidak salah dalam habitus spiritual yang
saling memahami dan menerima perbedaan. Hal ini merupakan gerakan yang benar, guna
menemukan pemimpin sejati dari tengah-tengah masyarakat Indonesia yang nasionalis, kesatria,
agamais dan berintegritas. Berdasarkan pijakan dan atas tujuan tersebut, maka untuk urusan
politik maka gereja penting untuk menyadari bahwa yang pertama, dalam politik moral (etis),
gereja harus mengupayakan (aktif) pendidikan politik yang rapi, biblis (alkitabiah), untuk
kemuliaan Tuhan. Misalnya pemilihan Penatua, Sintua atau Majelis gereja, bahkan hingga
kegiatan rutin periodisasi pendeta dalam permutasian yang disusun oleh sinode merupakan
contoh praktis demokrasi dan politik jemaat, dengan memberi tontonan politik dengan bumbu
etika Kristen murni atas dasar kajian alkitab yang bertanggungjawab.

Selain itu, hal yang kedua terkait untuk urusan politik maka gereja penting untuk menyadari
bahwa peran gereja dalam bidang politik adalah politik praktis. Artinya adalah memberikan
sumbangsih nyata langsung kepada partai-partai politik yang eksis dengan cara-cara elegan
sebagai bagian pelayanan gereja dalam perpolitikan di Indonesia. Hal ini bisa diwujudkan
dengan mengusulkan (mempersembahkan) jemaat secara langsung untuk dipakai oleh partai
politik dalam pengusungan kepada daerah atau anggota legislative, dengan anggapan bahwa
gereja tidak boleh pilih buluh untuk “menyalurkan” jemaatnya kepada partai-partai. Gereja
yang melihat jemaat secara nyata sanggup hidup dan bergelut dalam perpolitikan, hendaknya
diusulkan kepada semua partai agar dipertimbangkan untuk menduduki
kepengurusan/fungsionaris dalam partai hingga pencantuman dalam DCT (daftar calon tetap).

KESIMPULAN

Pemerintahan bukan sesuatu yang buruk bila dipahami sebagai anugerah Allah. Di mana
kekuasan yang ada berasal dari Allah dan bertujuan untuk mendatangkan kebaikan bagi
masyarakat. Jabatan dan kekuasaan itu dipandang sebagai kesempatan untuk mengabdi kepada
kepada Tuhan. Setiap orang Kristen semestinya tunduk kepada pemerintah karena pemerintah
merupakan hamba Allah. Pemahaman bahwa pemerintahan itu ada karena ketetapan Allah dan
mereka menjadi hamba Allah untuk menjalankan roda kepemimpinan yang ada di dunia.

Orang yang percaya kepada Allah melihat keterlibatan dalam politik praktis sebagai
bentuk pelayanan kepada Allah. Adanya panggilan sebagai politikus Kristen di mana
menempatkan dirinya dipakai Allah sebagai penerima kekuasaan. Kehadirannya di pemerintahan
untuk mewujudkan kerinduan Allah dalam menyatakan Injil.

ANALISIS KELOMPOK

Kelebihan dari teologi politik adalah dengan kehadiran teologi politik, gereja maupun
orang percaya mampu melihat kembali dan menyadari bahwa iman dan kepercayaan mereka
bukan semata-mata ucapan yang dikeluarkan seperti “saya orang yang beriman”, melainkan iman
dan kepercayaan tersebut merupakan tanggung jawab yang harus dijalankan dalam kehidupan
sebagai makhluk sosial. Dengan adanya teologi politik ini mampu membuat gereja dan orang
percaya untuk berefleksi terhadap keadaan sosial yang terjadi dan mampu untuk mengambil
tindakan yang jelas sesuai dengan kehendak Tuhan. Kelemahan dari teologi politik adalah ketika
semua orang dengan aktif ingin terlibat dalam pemberian diri sebagai politisi guna mengawasi
kerja kekuasaan politik, maka dapat menyebabkan terjadinya persaingan tidak sehat yang dapat
merusak relasi di antara para politisi karena pemberian dirinya tidak lagi didasarkan pada
ketersentuhan untuk melayani masyarakat.
Kelompok kami setuju dengan pernyataan bahwa gereja harus terlibat dan bertanggung
jawab untuk mengawasi kerja kekuasaan politik. Hal ini dikarenakan perhatian gereja tidak
hanya tertuju pada iman saja, melainkan pada tanggung jawab atas iman atau refleksi atas iman
tersebut melalui keterlibatannya dalam kesosialan. Dalam hal politik, gereja tidak boleh netral
dengan mengikuti secara pasif tanpa berbuat sesuatu terhadap apa yang terjadi dalam
kepolitikan, melainkan gereja harus aktif dengan menanamkan nilai-nilai kebenaran kepada para
penguasa dalam menjalankan kekuasaan. Dengan demikian, gereja mengantisipasi terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan dalam politik karena jika gereja tidak melakukan hal tersebut dan
membiarkan para penguasa melakukan dengan kehendak mereka sendiri maka gereja sama saja
dengan gereja borjuis yaitu gereja yang melegistimasi para penguasa.

DAFTAR PUSTAKA

Notohamidjojo, O. Iman Kristen dan Politik. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1972.

Kristiyanto, Eddy. Sakramen Politik

Magnis-Suseno, Franz. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan


Revisionisme. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.

Anda mungkin juga menyukai