Anda di halaman 1dari 37

LEGITIMASI POLITIK TUAN GURU

PADA PEMILU LEGISLATIF 2019


(DI DAPIL NTB II KABUPATEN LOMBOK BARAT– LOMBOK
UTARA)

oleh

Rizki Ajhelis
LEGITIMASI POLITIK TUAN GURU PADA PEMILU
LEGISLATIF 2019
(Di Dapil NTB II Lombok Barat-Lombok Utara)
A. Latar Belakang
Politik pada dasarnya merupakan suatu fenomena yang sangat
berkaitan dengan manusia, yang pada kodratnya selalu hidup bermasyarakat.
Manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang dinamis dan berkembang,
serta selalu menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya. Sebagai anggota
masyarakat, seseorang atau kelompok tentu terikat oleh nilai-nilai dan aturan-
aturan umum yang diakui dan dianut oleh masyarakat tersebut. Oleh kerena
itu, politik akan selalu menggejala, mewujudkan dirinya dalam rangka proses
perkembangan manusia. Dengan keterkaitan hal di atas, maka manusia
menjadi inti utama realitas politik. Apapun alasannya pengamatan atau
analisa politik tidak dapat begitu saja meninggalkan eksistensi manusia. Ini
menunjukkan bahwa hakekat politik adalah perilaku manusia, baik berupa
aktifitas atau pun sikap yang bertujuan mempengaruhi atau mempertahankan
tatanan sebuah masyarakat dengan menggunakan kekuasaan. Penyelenggara
kekuasaan secara konstitusional adalah mencakup pembagian kekuasaan
politik yang mencakup masalah: sumber kekuasaan politik, proses legitimasi,
pemegang kekuasaan tertinggi, penyelenggaraan kekuasaan, fungsi-fungsi
kekuasaan/tugas ringan dan tujuan politik yang mudah dicapai. 1
Bahwa Pengaruh Tuan Guru yang lebih dominan dalam agama dan
politik, yang memungkinkannya keterlibatan dalam politik praktis adalah
suatu keharusan dengan menggunakan dan melakukan berbagai macam
metode dan strategi bahkan memakai simbol-simbol keagamaan untuk
mencapai tujuan. Sedangkan untuk mempengaruhi proses dukungan dengan
melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan seperti, pengajian rutin yang di
adakan baik di dalam Pondok Pesantren ataupun di luar Pondok Pesantren
dengan membentuk panitia-panitia pengajian. Contoh, Sebagai Tuan Guru,
yang mempunyai Pondok Pesantren dan juga sebagai pengurus Partai Politik.
Keterlibatannya sebagai pemimpin agama dan pemimpin partai politik,
tentunya sudah jelas bahwa agama yakni Islam dan politik tidak bisa di
pisahkan. Tuan Guru yang terjun ke dunia politik tentunya untuk
kemaslahatan umat, sehingga dengan mudah menjadi pemeran utama dalam
Pemilu Legislatif seperti mencalonkan diri sebagai Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD).maka keterlibatan Tuan Guru pada Pemilu Legislatif
2019 yang lalu bisa dilihat dari cara pandang Tuan Guru tentang politik.
1
Abdulkadir B.Nambo Dan Muhamad Rusdiyanto Puluhuluwa, “Memahami Tentang
Beberapa Konsep Politik”, (Jurnal, Volume XXI No. 2 April-Juni 2005. hlm, 262
pertama, pemahaman Tuan Guru tentang hubungan antara Islam dan Politik.
kedua, berkaitan dengan sikap Tuan Guru terhadap format politik yang ada.
Dalam hal ini Tuan Guru memandang hubungan Islam dan Politik sebagia
sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Keterlibatan Tuan Guru juga berkaitan
dengan pengakuan jamaah maupun masyarakat terhadap figur sebagai
pemimpin agama. Terlihat bahwa Tuan Guru meyakini melalui pengakuan
jamaah dan masyarakat sudah cukup sebagai modal untuk mendapatkan
suara. Ini bisa di lihat dari keaktifan Tuan Guru dalam keterlibatannya pada
politik yang ada dan mencalonkan dirinya sebagai calon DPRD Provinsi.
Ketika Tuan Guru terjun langsung ke dalam politik praktis untuk
mencalonkan diri dalam pemilihan Anggota Legislatif, banyak di antara Tuan
Guru yang ikut dalam kontestasi untuk mencalonkan diri menjadi Anggota
Legislatif namun hanya beberapa Tuan Guru yang terpilih. Misalnya Di NTB
II ( Dapil Lombok Barat-Lombok Utara ) dalam Pemilihan DPRD Provinsi
Nusa Tenggara Barat pada Tahun 2019, Dapil NTB II terdapat Empat orang
Tuan Guru yang mencalonkan diri, mereka harus tertatih-tatih untuk
mendapatkan suara dan simpati rakyat, yakni: Pertama TGH. Mahalli Fikri
dari Partai Demokrat, Kedua TGH. Hasanain Juaini dari Partai Nasdem,
Ketiga TGH. Satriawan Lc. MA dari PKS, dan Keempat TGH. Muammar
Arafat, SH. MH dari PPP. Di antara empat calon hanya dua yang lolos ke
Udayana untuk mendapatkan kursi Parlemen yakni: TGH. Mahalli Fikri dari
Partai Demokrat dan TGH. Satriawan Lc. MA dari PKS 2. Masalah
memudarnya kharisma Tuan Guru yang terjun ke Politik praktis, karena
biasanya Tuan Guru hanya berkutat pada bidang Dakwah dan Pondok
Pesantren semata. Masalah dakwah terkait dengan kesabaran, kejujuran,
sopan santun dan berorientasi kepada surga. Sedangkan politik adalah urusan
dunia, terkait merebut dan mempertahankan kekuasaan, kinerja politisi de
facto jelek, karena mendengar istilah “politik”, orang mengernyitkan alisnya
seraya berkata, “politik itu kotor”3
Akan tetapi dalam Pemilu Legislatif 2019, Tuan Guru memainkan
peran yang menonjol dalam politik yang ada di Lombok. Pencalonan Tuan
Guru di Pemilu Legislatif 2019 memberikan bukti bahwa tokoh agama tidak
hanya sebagai pemimpin keagamaan, melainkan juga dapat memimpin
Pemerintahan. Tuan Guru sudah merupakan bagian dari stakeholders
(pemangku kepentingan) mempunyai tanggung jawab yang sama juga dengan
2
http://opendata.kpu.go.id/open_data/data/detail/48645
Diakses pada tanggal 12 Januari 2021, pukul 20.45.
3
Agus Dedi Putrawan, “Dekarismatisasi Tuan Guru”,(Jurnal Agama dan Hak Azazi
Manusia, Vol. 3, No. 2, Mei 2014). hlm, 283
pemangku kepentingan Daerah. Tuan Guru baik sebagai pengasuh Pondok
Pesantren, tokoh masyarakat, pengasuh madrasah, pengurus atau anggota
Partai Politik mempunyai posisi strategis untuk memotivasi, meningkatkan
partisifasi dan memberdayakan masyarakat. 4 Terjunnya Tuan Guru di ranah
Politik praktis menuai pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Tuan
Guru dengan kharisma yang dimilikinya di satu sisi berpeluang besar untuk
menang di setiap Pemilihan Umum (dalam dunia Demokrasi), namun sisi
yang lain tindakan (mencalonkan diri dalam Pemilu) dapat menjadi serangan
balik bagi dirinya, dalam arti menjadi ajang pembuktian otoritas kharismatik
atas institusi ke Tuan Guru-annya selama ini. Otoritas kharismatik adalah
bentuk dari institusi kuno yang bersifat personal yang mampu menciptakan
Gerakan Sosial Komunal di tengah-tengah masyarakat/pengikut/jamaah.
Dalam hal kedudukan Tuan Guru sebagai pengurus atau anggota
Partai Politik yang juga berprofesi sebagai politikus, sosok Tuan Guru
memiliki peran sentral dalam masyarakat. Tuan Guru di jadikan referensi
atau rujukan dalam berbagai bidang kehidupan, tidak saja dalam persoalan
Agama, tetapi juga persoalan sosial, politik dan budaya. 5 Hasil penelitian
menunjukan bahwa paling tidak ada tiga alasan mendasar yang melatar
belakangi kecenderungan Tuan Guru untuk melegitimasi dirinya melalui
ranah politik praktis.6 Fanatismenya jamaah atau masyarakat terhadap sosok
atau figur Tuan Guru. Kedua, alasan teologis, hubungan Islam dengan
Politik, mayoritas ulama sunni mengemukakan bahwa dalam Islam tidak ada
pemisahan antara Agama (din) dengan Politik (siyasah), karena itu politik di
pandang sebagai integral dari Agama.7 Ketiga, otoritas Pondok Pesantren,
artinya ada citra yang di bangun oleh Tuan Guru di kalangan Pondok
Pesantren bahwa sangat sulit mencari manusia yang independent yang bisa
menjembatani kepentingan rakyat dengan Pemerintah dan masih sulitnya
menegakkan moralitas pada domain politik.Seorang pemimpin kharismatik
biasanya muncul ketika situasi dan kondisi di mana kebudayaan saling
bertentangan (kritis), yang disebabkan oleh perubahan sosial misalnya dalam
perang. Sehingga menciptakan situasi dan kondisi yang baru yang berbeda
dengan kondisi sebelumnya.8 Tuan Guru tidak bisa di abaikan dalam
persoalan-persoalan Politik dan Agama, Tuan Guru mampu memainkan

4
Firdaus Yuni Dharta dan Engkus Kuswarno, “Komunikasi Tuan Guru sebagai
Motivator dipesantren”,Sosiohumaniora Vol. 14 Nomor 1, Maret 2012. hlm. 67
5
Firdaus Yuni Dharta dan Engkus Kuswarno, “Komunikasi,… hlm. 70
6
Agus Dedi Putrawan, Runtuhnya,..hlm. 4
7
Firdaus Yuni Dharta dan Engkus Kuswarno, Komunikas,... hlm. 70
8
Max Weber, Sosio,…hlm. 94
peran yang signifikan sebagai pemimpin-pemimpin politik. Bahkan dari
kalangan jamaah sendiri, Tuan Guru tidak bisa di samakan dengan figur-figur
dan tokoh yang lainnya, fanatisme masyarakat terhadap Tuan Guru
memberikan gambaran bahwa pengaruh sebagai Tuan Guru dan terlebih lagi
mempunyai Pondok Pesantren menjadi sumber modal, baik itu sosial maupun
politik sehingga memperkuat legitimasinya sebagai seorang tokoh
agamawan.
Sumber dari kharisma terkait dengan tokoh Agama, menurut Weber
sebagaimana digambarkan oleh Saifullah dalam penelitiannya, kharisma
diperoleh dari doktrin Agama yang tetap (fixs), kemampuan memadai tentang
wahyu Tuhan dan disertai dengan karomah yang melekat pada dirinya, yang
dipercaya mempunyai kharisma yang luar biasa sehingga melahirkan
barokah. Jenis otoritas seperti ini, masyarakat, jamaah, atau pengikutnya
bersedia untuk mengikuti dan mematuhi seorang pemimpin kharismatik atas
dasar keyakinan mereka akan wibawa atau kharisma yang melekat pada
dirinya.9 Bahkan kenapa sampel politikus yang keturunan Tuan Guru maupun
tokoh jamaah sering membawa nama figur Tuan Guru dan
mendokumentasikan dirinya, sebab karena kefanatikannya dan guna untuk
memancing dukungan dari kelompok-kelompok masyarakat. Dalam hal ini
Tuan Guru memandang hubungan Islam dan Politik sebagia sesuatu yang
tidak bisa dipisahkan. Ini sesuai dengan pandangan pertama, bahwa Islam
tidak hanya mengurus soal ukhrowi saja akan tetapi juga mengurus urusan
keduniaan. Semua solusi lain bagi ketegangan antara politik dan agama
penuh dengan kompromi.10 Jadi, keterlibatan Tuan Guru dalam politik, yang
salah satunya melalui Pemilu Legislatif, suatu keharusan dan mempunyai
tanggung jawab yang sama dengan pemangku kepentingan Daerah.
Tuan Guru meyakini bahwa format politik yang sudah ada cukup
baik. Dengan “Agama dan kekuasaan atau politik tidak dapat dipisahkan,
sebab, Agama adalah landasan berpolitik. Agama dan politik ibarat saudara
kembar. Dimana Agama adalah landasan atau pondasi dan kekuasaan adalah
penjaga Agama. Menurutnya, Agama yang tidak di jaga oleh politik,
kemungkinan besar akan hilang, asing atau akan dicuri oleh kelompok anti
Agama. Sementara Politik yang tidak di landasi Agama, akan berjalan
tersesat dan hanya maju di urusan keduniaan”. 11 Dunia Pondok Pesantren di
kenal dengan nuansa tradisi Islam. dalam perspektif dan struktur Pendidikan
9
Agus Dedi Putrawan, Runtuhnya,..hlm 49
10
Max Weber, Sosio,…hlm. 412
11
http://ppp.or.id/berita/ppp-agama-dan-politik-tak-bisa-dipisahkan, diakses tanggal 27
Maret 2021, pukul 20.51.
berbasis Nasional, istilah Pesantren merupakan serangkaian mata rantai yang
sangat substantive. Perihal ini tidak hanya karena aspek historis
kemunculannya yang relative lama, tetapi juga kemunculan Pesantren telah
secara signifikan berpartisipasi dalam upaya mencerdaskan kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa. Dari sisi sejarah, pola Pendidikan pada
Pesantren adalah sistem kelembagaan berbasis masyarakat. Ini terbukti dalam
kenyataannya bahwa Pesantren telah lama mengakar dan tumbuh di
masyarakat dan kemudian di kembangkan oleh masyarakat pula yang terus
ber evolusi, sehingga kajian-kajian terkait Pesantren sebagai pusat sentral
dalam pengembangan masyarakat.12
Secara hitung-hitungan politik, Pondok Pesantren menjadi media
yang ampuh untuk kampanye “terang-terangan maupun terselubung” jika
melihat jaringan Pondok Pesantren begitu luas tersebar hingga ke pelosok. Di
Lombok misalkan seorang Tuan Guru pemilik Pondok Pesantren Nahdlatul
Wathan (pusat) mencalonkan diri dalam Pemilihan Umum, maka seluruh
Pondok Pesantren yang berafiliasi Nahdlatul Wathan di pulau Lombok dan
pulau Sumbawa akan memilihnya.13 Bila dilihat dari korelasi di atas berkaitan
dalam penelitian ini akan dikaji beberapa aspek dalam kaitannya dengan
Otoritas Pondok Pesantren. tentu tidak terlepas dari otoritas gift of grace
(Kharisma seorang Tuan Guru) “otoritas gift of grace (Kharisma) personal
dan luarbiasa, ketaatan personal absolut dan keyakinan personal pada wahyu,
heroisme, atau kualitas lain kepemimpinan individu. inilah yang di sebut
dominasi kharismatik, sebagaimana di praktikkan Nabi atau di bidang politik
oleh panglima perang terpilih, penguasa plebisitarian, para demagog besar,
atau pemimpin Partai Politik.”14
Pondok Pesantren yang mereka bina menjadi semacam markas bagi
institusi keTuan Guruan (Modal ekonomi), rutinisasi kharisma yang
dilakukan menjadi semacam pengkultusan keturunan-keturunan (geneologi)
sebagai pewaris lembaga (ormas, Ponpes) yang berkelanjutan dan terus
menerus. Kekuasaan Tuan Guru semakin terlegitimasi dengan harmonisasi
hubungan antara santri, orang tua santri, jamaah pengajian dengan Tuan
Guru. Hubungan tersebut menyebabkan keluarga santri secara langsung
menjadi pengikut sang Tuan Guru. Maka secara tidak langsung mereka juga

12
Zuhaeriah, “Manajemen modernisasi pendidkan Islam berwawasan lingkungan di
pondok pesantren Nurul Haramain Narmada lombok barat”, Schemata Vol. 8 Nomor 1,
Juni 2019, hlm. 79-80.
13
Agus Dedi Putrawan, Runtuhnya,…hlm. 63
14
Max Weber, Sosiologi,…hlm. 93
mengakui bahwa Tuan Guru itu adalah orang yang patut untuk diikuti. 15
Berdasarkan hasil kajian, peneliti melihat bahwa otoritas dalam Pondok
Pesantren tersebut tidak terlepas dengan tiga unsur yakni, guru, murid dan
wali murid dengan adanya tiga unsur tersebut sehingga dengan otomatis
melegitimasi individu Tuan Guru sebagai sang pemimpin Pondok Pesantren.
Otoritas kharismatik biasanya muncul ketika situasi dan kondisi di
mana kebudayaan saling bertentangan (kritis), yang disebabkan oleh
perubahan sosial misalnya dalam perang. Sehingga menciptakan situasi dan
kondisi yang baru yang berbeda dengan kondisi sebelumnya. 16 Para otoritas
kharismatik seperti Tuan Guru dalam Pemilu Legislatif 2019 menempati
posisi kuat dalam masyarakat Sasak terkhusus masyarakat di Kabupaten
Lombok Barat dan Lombok Utara, masyarakat disana masih mempercayai
bahwa tokoh Agama sebagai pemimpin atau wakilnya, mereka juga meyakini
kata-kata Tuan Guru tersebut masih sakral dikalangan masyarakat. Dengan
begitu strategi Tuan Guru agak berbeda dengan politisi yang lain, ada figur
yang berlatar belakang dari Ormas Nahdatul Wathon Diniyah Islamiah
(NWDI), tentunya menggunakan mesin organisasi NWDI dengan sayap-
sayap organisasi seperti Himmah NWDI, Muslimat NWDI dan Pemuda
NWDI yang tersebar di Wilayah Lombok. Organisasi sayap tersebut
bersepakat untuk ikut andil dalam memperjuangkan Guru di samping sebagai
pengurus dan kader Partai pengusungnya yakni Partai Demokrat, mereka
dengan sukarela berjuang untuk memenangkan calonnya dengan cara
melakukan survey suara, setiap kader mengamankan suara masing-masing
keluarganya, meramaikan media sosial. Dan memobilisasi massa dengan
doktrin Sami’na Waatha’na itu masih melekat didalam jamaah NWDI hingga
kemudian ini membuat jamaah sangat berperan aktif dalam memenangkan
salah satu calon yang diusung oleh organisasinya sendiri, bahkan untuk
jamaah NWDI yang loyal sampai dia berani juga untuk mengeluarkan bentuk
finansial supaya Tuan Gurunya menang dalam kontestasi Pemilu 2019.
Strategi yang digunakan Tuan Guru agar terpilih kembali adalah
dengan melakukan blusukan ke masjid-masjid untuk menjaga otoritas
kharismatiknya. Tuan Guru tersebut menjadikan dirinya sebagai Imam dan
Khatib disetiap Dusun maupun Desa, agar masyarakat kembali meyakini
bahwa sosok figur Tuan Guru yang dianggap sakral itu ada di tengah-tengah
mereka/masyarakat.Tuan Guru juga memberikan kupon kepada masyarakat
dan jamaahnya dengan harapan untuk menjaga konstituen, sehingga Tim-tim
Pemenangan Tuan Guru selalu membina masyarakat dan jamaah yang
15
Agus Dedi Putrawan, Runtuhnya,…hlm. 57-58
16
Max Weber, Sosiologi,…hlm. 94
memiliki kupon dengan menyediakan barang atau bahan yang dibutuhkan
kepada yang memiliki kupon dengan kesepakatan pada saat diberikan harus
memilihnya. Dari metode dan strategi yang di bangun tersebut Tuan Guru
bisa mempertahan kursinya. Di samping itu juga rutin mengadakan dan
mengisi majelis-majelis taklim serta pengajian-pengajian disetiap Dusun.
Tuan Guru tidak cukup dengan modal otoritas kharismanya dalam
membangun kepercayaan masyarakat untuk memperoleh suara. Karna
masyarakat tau jika Tuan Guru tersebut memenangkan Pemilu Legislatif
mereka hanya fokus kepada Pondok Pesantren yang ia bina sehingga banyak
masyarakat menilai bahwa Tuan Guru sudah terjun kedalam politik praktis
maka gelar Tuan Gurunya hilang, mereka akan disebut Bapak saja. Institusi
keTuan Guruan itu pada awalnya menghadapi persaingan ketat dari birokrasi
feodal patrimornial dengan otoritas kharisma yang melekat pada dirinya.
Pasca kemerdekaan hingga tahun-tahun belakangan dapat disaksikan bahwa
institusi Tuan Guru memenangkan dirinya atas perebutan posisi tertinggi
struktur masyarakat sembari menghapus (secara perlahan) lainnya. Institusi
kebangsawanan warisan kerajaan menjadi kehilangan posisi tawar di tengah-
tengah masyarakat Sasak. Faktor-faktor penyebabnya pun bermacam-macam
mulai dari trust (kepercayaan) masyarakat sampai kehilangan status
ekonomi.17
Pada dasarnya masing-masing Tuan Guru yang terlibat dalam politik
memiliki majelis-majelis taklim, yang sebelumnya majelis-majelis taklim
seringkali bisa diisi di setiap Minggu, kemudian terkadang tidak bisa terisi
karena adanya jadwal pertemuan dengan konstituen dan sebagainya. Citra
Tuan Guru dalam politik terkesan mulai negatif. Karena pada awalnya Tuan
Guru memiliki citra yang bagus, netral, akan tetapi kemudian masuk ke
politik, image itu berubah dalam masyarakat ketika berbicara tentang politik
apalagi telah menjadi dewan, misalnya citra diri yang akan banyak uang,
ketika di mintai sumbangan, menolak. Ketika menolak, maka stigmanya
negatif dan itu fakta terjadi di Lombok. Baginya, ada beberapa Tuan Guru
yang pada periode pertama di Pemilu Legislatif mendapakan kursi, tapi di
periode kedua ada yang gagal. Ini karena tidak bisa menjaga konstituen.
Perilaku politik yang di lakukan sebagai Tuan Guru sekaligus
Anggota Dewan tidak mampu memberdayakan konstituen. Yang kemudian
berdampak pada organisasi, jamaah menjadi trauma terhadap politik terutama
terhadap Tuan Guru.18 Komunikasi politik menurut Nimmo, politik berasal
17
Agus Dedi Putrawan, Runtuhnya,…hlm. 60
18
Muh. Samsul Anwar, “Dinamika peran politik Tuan Guru di lombok era reformasi”,
Thaqafiyyat Vol. 18 Nomor 2, Desember 2017, hlm. 163
dari kata “polis” yang berarti Negara, Kota yaitu secara totalitas merupakan
kesatuan antara Negara (Kota) dan mensyaratkannya. Kata “polis” ini
berkembang menjadi Politicous yang artinya kewarganegaraan. Dari kata
Politicous yang berarti politera hak-hak kewarganegaraan. Lebih lanjut
Nimmo menjelaskan kadang-kadang perbedaan ini merangsang argumen,
perselisihan dan percekcokan. Laswell memandang orientasi komunikasi
politik telah menjadikan dua hal sangat jelas. Pertama, bahwa komunikasi
politik selalu berorientasi pada nilai atau usaha mencapai tujuan nilai-nilai
dan tujuan itu sendiri dibentuk di dalam dan oleh proses perilaku
sesungguhnya merupakan suatu bagian. Kedua, bahwa komunikasi politik
bertujuan menjangkau masa depan dan bersifat mengantisipasi serta
hubungan dengan masa lampau dan senantiasa memperhatikan kajian masa
lalu.
Komunikasi politik (politic communication) adalah komunikasi yang
melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan
kekuasaan, Pemerintahan dan kebijakan Pemerintah. Dengan pengertian ini,
sebagai ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru, komunikasi
politik juga dapat dipahami sebagai komunikasi antara Pemerintah dan yang
diperintah. Lanjut Althof, komunikasi politik sebagai suatu proses dimana
informasi politik yang relevan diteruskan dari satu bagian sistem politik
kepada bagian lainnya.19 Mengacu pada komunikasi politik Tuan Guru
dengan Partai Politik pengusung seharusnya seiring sejalan dalam
membesarkan Partai Politik tersebut, namun yang terjadi ada semacam mis
komunikasi yang mengakibatkan tidak berjalannya kaderisasi. Padahal Tuan
Guru sangat potensial untuk mendongkrak suara Partai. Kenapa terjadi
demikian, Kekhawatiran pun muncul ketika transformasi Tuan Guru menjadi
politisi. Pertama, akan berkurangnya orang-orang yang peduli, lebih-lebih
pemimpin agama yang mendudukan dirinya ditengah-tengah antara rakyat
dan penguasa. Akan berkurangnya orang-orang yang secara adil dan
seimbang apabila terjadi konflik antara warga bangsa ini. Kedua, menjadi
politisi lebih menguntungkan, karena menjadi politisi akan mudah
memperjuangkan moralitas dan idealitas padahal praktik politik kita bukan
sarana efektif dalam memperjuangkan idealitas dan moralitas. Serta takut
akan banyaknya kehilangan kharisma dan otoritas moral. 20
Sosialisasi dukungan di luar Pondok Pesantren juga mempengaruhi
Legitimasi keberadaan Tuan Guru tersebut, dimana ketika Tuan Guru sudah
19
Ahsanul Rijal, “Politik Tuan Guru versus politik media “pilpres 2019 di lombok”
antara dakwah dan politik, Tasamuh Vol. 16 Nomor 2, Juni 2019, hlm. 25-27
20
Muh. Samsul Anwar, Dinamika,…hlm. 163-164
masuk dalam ranah politik pastinya Pondok Pesantren sebagai modal utama
untuk alat perjuangannya dan terfokus menjadikan Pondok Pesantren tersebut
sebagai wadah konsolidasi, karena merasa percaya diri sehingga masyarakat
di luar pondok terabaikan. Dengan demikian ketika seorang Tuan Guru aktif
berpartai politik tertentu, dan menjadi bagian dari pengurus, atau menjadi
Anggota Dewan, maka otomatis, majelis-majelis taklim dibawah kurang
mendapatkan perhatian. Peran Tuan Guru dalam mengajarkan Agama sudah
tidak signifikan lagi. Karena sudah tidak lagi independen, tidak lagi menjadi
otonom, tidak lagi milik rakyat secara umum.21
Dari beberapa faktor yang mempengaruhi Legitimasi Politik Tuan
Guru dalam kontestasi Pileg 2019, pengakuan Tuan Guru terhadap
masyarakat yang masuk dalam ranah politik praktis masih jauh dari yang
diharapkan. Tuan Guru dengan realitas dan Legitimasi kekuatan Pondok
pesantrennya belum berhasil memperoleh kursi di DPRD Propinsi Nusa
Tenggara Barat Hal-hal materil (yang dapat dimiliki nilai simbolik) dan
berbagai atribut yang tak tersentuh, namun memiliki signifikasi secara kultur,
misalnya prestis, kekayaan, status, dan otoritas (yang dirujuk sebagai modal
ekonomi).22 Walaupun demikian ada juga politisi yang memiliki nomor urut
tidak strategis akan tetapi bisa memaksimalkan kemenangannya, semua itu
tidak terlepas dari modal ekonomi sebagai penopang utama dengan begitu
politisi tersebut bisa mendapatkan suara, modal ekonomi dalam kontestasi
politik memerlukan biaya yang cukup besar dari mulai kampanye sampai
terlaksananya pemilihan Calon Legislatif tersebut.Dalam pelaksanaan Pemilu
Legislatif 2019, partisipasi masyarakat dalam menentukan pilihannya
cenderung menurun, hal ini yang membuat para Calon Legislatif terus
berupaya meyakinkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi, karena
pemahaman masyarakat masih rendah sehingga rentan terjadi pelanggaran
yang bertentangan dengan asas-asas Pemilu yang berlaku sehingga terjadilah
yang namanya Politik Uang ( Money Politic ) dan akhirnya Demokrasi pun
berubah sebagai pasar yang riuh dengan transaksi penjual dan pembeli suara.
Harga suara sering kali menjadi topik diskusi paling menarik di setiap tempat
kerumunan.
Begitu halnya juga dengan para Tuan Guru yang ikut dalam
kontestasi Pemilu Legislatif 2019 ikut tergerus dengan situasi terutama
mengenai Politik Uang. Hanya calon yang memiliki dana besar yang dapat
melakukan kampanye dan sosialisasi, ini memperkecil kesempatan bagi

21
Ibid., hlm. 164
22
Nanang Krisdinanto, Pierre bourdieu, Sang,..hlm. 203
kandidat yang memiliki dana terbatas, walaupun memiliki integritas tinggi
seperti Tuan Guru, mereka hanya cukup di kenal di kalangan jamaah saja
tetapi mereka tidak akan di kenal oleh masyarakat luas. Dalam
penyelenggaraan Pemilu juga merupakan salah satu sarana Demokrasi guna
mewujudkan Sistem Pemerintahan yang berkedaulatan. Baik Pemilihan
Umum Legislatif maupun Pemilihan Presiden adalah hal yang paling Aktual
terjadi pada Tahun 2019 yang telah dilaksanakan pada Bulan April karena
bersamaan Pemilu Legislatif dengan Pemilihan Presiden. Selain itu aspek
lainnya yang disoroti adalah Sistem Proporsional Terbuka yang mengatur
tentang peluang bagi Calon Anggota Legislatif yang memperoleh hasil suara
terbanyak dalam Daerah Pemilihannya maka ia berhak untuk mendapatkan
kursi.23
Legitimasi politik Tuan Guru di atas dimanfaatkan sebagai lahan
subur Perpolitikan dalam Pemilihan Legislatif dengan embel-embel
memanfaatkan Pondok Pesantrennya sebagai lumbung suara dan tak jarang
bahkan Tuan Guru ikut menyuarakan dakwah sebagai alat dalam politik
praktisnya.Sehingga Tuan Guru sebagai figur utama dalam membahas hal
yang terkait dengan masalah dakwah baik dakwah Billisan maupun dakwah
Bilhal (dakwah dengan kata-kata dan dakwah dengan tindakan atau materil)
dan sebagai juru bicara Umat yang di percaya oleh jamaahnya dalam proses-
proses untuk mendapatkan suara. Politik Tuan Guru hanya sebagai legitimasi
pada tataran keagamaan melainkan dapat memimpin pemerintahan,
pencalonan Tuan Guru ini juga memberikan warna pada dinamika politik
pada masyarakat sasak yang sebelumnya selalu dikuasai oleh golongan
menak karena dari semua calon yang ada memiliki interaksi korupsi maka
dari itu Tuan Guru adalah calon yang paling bersih dari calon-calon yang
ada.24
Berdasarkan observasi tanggal 05 oktober 2020 Legitimasi Politik
Tuan Guru dalam Pemilu 2019. Politik Tuan Guru memang cukup fenomenal
dikalangan masyarakat Lombok terutama Lombok Barat dan Lombok Utara
dengan berbagai pola pendekatan yang dilakukan untuk memperoleh
dukungan dari masyarakat. Dalam politik tidak ada kata lawan sejati maupun
kawan sejati hanya yang ada adalah tujuan dan kepentingan politik, kita
mungkin berbuat baik dan punya program yang kita anggap baik akan tetapi

23
Agus Dedi, “Analisis Pemilihan Umum Serentak”,(Jurnal Muderat, Volume 5, Nomor
3, Agustus 2019). hlm, 213-214.
24
https://www.kompasiana.com/agusdediputrawan/tuan-guru-sebagai-alat-kampanye-
refleksidari-buruknya-politik-kampanye-di-indonesia_54f3c9b4745513942b6c8069
diakses pada tanggal 17 Januari 2021, pukul 22.33.
dalam politik kebaikan tidak otomatis disukai oleh lawan politik maka dari
itu penting dalam Pileg untuk mempunyai strategi-strategi yang harus
digunakan untuk mencapai tujuan yang di inginkan. Strategi yang digunakan
oleh Tuan Guru dalam Pileg yaitu memanfaatkan figur yang sangat penting
terutama di masyarakat Sasak dan memiliki Sosial kelas yang tinggi sebagai
pemimpin Agama yang berpengaruh dalam politik dan Tuan Guru memiliki
status kultus apa yang di putuskan dianggap merupakan titah dari Tuhan dan
di ceritakan masalah kehebatannya entah dengan melakukan eksploitasi atau
memanipulasi simbol-simbol keIslaman untuk mendapatkan suara.
Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini dimana kepercayaan
masyarakat terhadap Tuan Guru sehingga berdampak pada melemahnya
kharisma Tuan Guru di mata Umat dalam konteks politik atau ruang politik
melemah, Tuan Guru yang eksis dalam ruang Agama terutama dakwahnya
mengalami rintangan dan tantangan ketika Tuan Guru mencoba memasuki
ruang yang lebih luas yaitu ruang politik dalam memperluas ruang
dakwahnya. Tuan Guru merupakan patokan berpendapat dan tindakan
masyarakat, contoh nyata dalam melakukan tindakan, dan bahkan kiblatnya
masyarakat Sasak dalam bertanya dan mengadu berbagai persoalan sosial
keagamaan tetapi dalam konteks politik yang lebih khusus yaitu seperti yang
terjadi di Kabupaten Lombok Barat menuai banyak persoalan.
Dilihat dari perspektif kepentingan, Tuan Guru barangkali tidak
bisa diabaikan berdasarkan kondisi dilapangan, peran Tuan Guru itu paling
tidak diasumsikan penting dalam dua perkara, pertama, sebagai perantara
jagat spiritualitas. Kedua, sebagai penguasa Pondok Pesantren. Sehingga para
Tuan Guru melibatkan diri dalam politik praktis karena dilihat dari
kemampuan memobilisasi masa pemilih.25 Walaupun demikian ada saja Tuan
Guru yang gagal dalam kontestasi Pemilu Legislatif 2019 sebagaimana yang
dialami oleh dua Tuan Guru yaitu TGH. Hasanain Juaini dan TGH.
Muammar Arafat. Kegagalan Tuan Guru tersebut mengalami beberapa
faktor. Pertama, persaingan Internal Partai dalam memperebutkan nomor
urut Calon, kedua, mempertimbangkan kendaraan politik.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti
dengan judul Legitimasi Politik Tuan Guru pada Pemilu Legislatif 2019.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas, maka
penelitian dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
25
Lalu Sopan Tirta Dkk,“Kegagalan Tuan Guru H. Lalu Farhan Rasiyd Makbul Dalam
Memenangkan Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2014”, (JGOP, Vol, 2 No. 1 Juli
2020). hlm, 8-9.
1. Bagaimana Legitimasi Politik Tuan Guru pada Pemilu Legislatif 2019 di
Dapil NTB II Kabupaten Lombok Barat-Lombok Utara
2. Bagaimana faktor yang mempengaruhi Legitimasi Politik Tuan Guru pada
Pemilu Legislatif 2019 di Dapil NTB II Kabupaten Lombok Barat-
Lombok Utara
C. Tujuan Dan Manfaat
1. Tujuan penelitian
Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut
a. Untuk mengetahui Legitimasi Politik Tuan Guru pada Pemilu
Legislatif 2019 di Dapil NTB II Kabupaten Lombok Barat-Lombok
Utara
b. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi Legitimasi Politik Tuan
Guru pada Pemilu Legislatif 2019 di Dapil NTB II Kabupaten Lombok
Barat-Lombok Utara 2019
2. Manfaat penelitian
Adapun manfaat penelitian terbagi menjadi dua
a. Manfaat teoritis
Pembahasan terhadap permasalahan sebagaimana yang telah
diuraikan diatas diharapkan mampu memberikan pemahaman bagi
pembaca mengenai Legitimasi Politik Tuan Guru pada Pemilu
Legislatif 2019 Dapil NTB II Kabupaten Lombok Barat-Lombok
Utara. Secara teoritis manfaat penulis akan membawa perkembangan
terhadap Ilmu Pengetahuan dan dapat dijadikan sebagai pertimbangan
sekaligus rujukan terutama pada Studi Legitimasi Politik Tuan Guru
pada Pemilu Legislatif 2019 Dapil NTB II Kabupaten Lombok Barat-
Lombok Utara.
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dikalangan
mahasiswa dan lapisan masyarakat luas terutama setiap orang yang
ingin memperdalam Ilmu Pemikiran Politik Islam disetiap Perguruan
Tinggi pada Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama serta menjadi
konstribusi pemikiran ilmiah bagi yang berkaitan dengan Ilmu
Pemikiran Politik Islam.

D. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian


1. Ruang lingkup penelitian
Agar penelitian ini terarah dengan baik, maka peneliti
membatasi ruang lingkup penelitian ini, hanya berfokus pada hal-hal yang
berkaitan dengan fokus masalah sebagaimana yang diuraikan diatas yaitu,
bagaimana Legitimasi Politik Tuan Guru pada Pemilu Legislatif 2019
Dapil NTB II Kabupaten Lombok Barat-Lombok Utara dan untuk
mengetahui upaya dan hambatan yang dilalui dalam Legitimasi Politik
Tuan Guru dalam Pemilu Legislatif 2019 Dapil NTB II Kabupaten
Lombok Barat-Lombok Utara.
2. Setting penelitian
Adapun tempat penelitian ini adalah di Kabupaten Lombok
Barat-Lombok Utara Provinsi Nusa Tenggara Barat. Ada beberapa
alasan diantaranya yaitu permasalahan ini ada yang belum diteliti.
E. Telaah Pustaka

Telaah pustaka merupakan salah satu penelusuran terhadap Karya-


karya atau Studi terdahulu yang terkait, dimana fungsinya agar terhindar dari
duplikasi, plagiasi, repitisi serta menjamin keaslian dan keabsahan pada
penelitian yang dilakukan. Pada telaah pustaka ini peneliti akan mencoba
mengangkat beberapa peneliti terdahulu yang mempunyai kaitan dengan
penelitian sekarang yang akan peneliti lakukan:

1. Muh. Samsul Anwar, Dinamika Politik Islam Sasak: Tuan Guru Dan
Politik Pasca Orde Baru, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta 30 Januari 2012. 26

Skripsi yang berjudul “Dinamika Politik Islam; Tuan Guru dan


Politik Pasca Orde Baru” ini membicarakan tentang bangkitnya Tuan
Guru dalam kancah politik, setelah terjadinya reformasi politik atau masa
politik pasca Orde Baru.
Persamaan antara penelitian yang dilakukan oleh Muh. Samsul
Anwar dengan peneliti sama-sama membahas tentang Politik Tuan Guru.
Namun terdapat perbedaan antara penelitian keduanya dimana penelitian
yang dilakukan oleh Muh. Samsul Anwar lebih fokus membahas politik
pasca Orde Baru sedangkan peneliti lebih berfokus ke Legitimasi Politik
Tuan Guru dalam Pemilu 2019.
2. Asmaul Husnah, Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid (Peranan dalam Pegulatan Politik Nahdlatul Wathan di Lombok
pada Tahun 1953-1977), Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan
Ampel Surabaya, Surabaya 22 Mei 2019.27
26
Muh. Samsul Anwar, “Dinamika Politik Islam Sasak: Tuan Guru Dan Politik Pasca
Orde Baru”, (Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta 30 Januari 2012).
27
Asmaul Husnah, “Tuan Guru kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid (peranan
dalam pegulatan politik Nahdlatul Wathan di Lombok pada tahun 1953-1977)”,
Ketidakstabilan politik yang terjadi di Indonesia pada pasca
kemerdekaan membawa banyak konflik yang terjadi dalam ranah nasional
maupun daerah. Adanya konflik yang terjadi di panggung politik, Tuan
Guru Kiyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mempunyai peran
yang penting dalam mengendalikan kondisi politik yang berada dalam
tubuh organisasi Nahdlatul Wathan di Lombok.
Persamaan antara penelitian yang dilakukan oleh Asmaul
Husnah dengan peneliti sama-sama membahas politik Tuan Guru. Namun
terdapat perbedaan antara keduanya, dimana didalam penelitian ini
peneliti membahas tentang Legitimasi Politik Tuan Guru dalam Pemilu
Legislatif 2019, dan dimana dalam penelitian yang dilakukan oleh saudari
Asmaul Husnah membahas tentang Peranan dalam Pergulatan Politik
Nahdlatul Wathan di Lombok pada Tahun 1953-1977.
3. Supriadin, Peranan Tuan Guru Haji (TGH) Abubakar Husainy dalam
Mengembangkan Islam di Bima Nusa Tenggara Barat (NTB), Fakultas
Adab dan Humaniora, UIN Alauddin Makassar, Makassar 03 Februari
2016.28
Skripsi ini adalah Studi tentang sejarah sebuah tokoh yang
sangat berperan penting di Bima dalam mengembangkan Islam dan
Pendidikan Islam, yakni tentang peranan Tuan Guru Haji Abubakar
Husainy dalam Mengembangkan Islam di Bima Nusa Tenggara Barat,
yang meneliti tiga permasalahan, yaitu: Bagaimana usaha-usaha Tuan
Guru Haji Abubakar Husainy dalam mengembangkan Islam di Bima
NTB, bagaimana metode TGH Abubakar Husainy dalam mengembangkan
Islam di Bima NTB, dan bagaimana pengaruh pemikiran keagamaan TGH
Abubakar Husainy yang di aplikasikan oleh murid-muridnya dan
Masyarakat di Bima NTB.
Persamaan antara penelitian yang dilakukan oleh saudara
Supriadin dengan peneliti sama-sama membahas tentang Politik Tuan
Guru. Namun terdapat perbedaan antara keduanya, dimana dalam
penelitian yang dilakukan oleh saudara Supriadin membahas tentang
peranan Tuan Guru, sedangkan peneliti berfokus tentang Legitimasi
Politik Tuan Guru dalam Pemilu Legislatif 2019 di Dapil NTB II
Kabupaten Lombok Barat-Lombok Utara.
F. Sistematika Pembahasan

(Skripsi, UIN Sunan ampel Surabaya, Surabaya 22 Mei 2019).


28
Supriadin, Peranan Tuan Guru Haji (TGH) Abubakar Husainy Dalam
Mengembangkan Islam Di Bima Nusa Tenggara Barat (NTB), (Skripsi, UIN Alauddin
Makassar, Makassar 03 Februari 2016).
Penulisan skripsi ini menggunakan Bahasa Indonesia yang
baik, baik tentang struktur kalimat maupun kata.
Pada BAB I, yaitu Pendahuluan, peneliti mengungkapkan
latar belakang masalah sehingga memunculkan keinginan untuk mengkaji
permasalahan yang menjadi tema dasar dari penelitian ini. Termasuk juga
dalam Bab ini diantaranya fokus kajian, tujuan dan manfaat penelitian,
telaah pustaka, kerangka teori yang menjadi acuan teori dari penelitian
lapangan ini. Kemudian pada Bab ini terdapat juga metode penelitian yang
peneliti gunakan dalam melakukan penelitian yang termasuk didalamnya
adalah pendekatan penelitian, kehadiran peneliti, lokasi penelitian, sumber
dan jenis data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan
kesahehan data.
Pada BAB II, yang berisi Paparan Data dari penelitian yang
ditemukan di lapangan. Dalam hal ini peneliti akan mencoba
menggambarkan secara singkat tentang lokasi penelitian dan temuan-
temuan dalam melakukan penelitian serta tanggapan dari beberapa
responden mengenai pembahasan dari penelitian ini.
Pada BAB III, berisi tentang Pembahasan dari penelitian ini
yang termasuk didalamnya temuan penelitian yang telah dipaparkan di Bab
II.
Pada BAB IV, berisi Penutup yang membuat kesimpulan
dan saran-saran dalam penelitian ini.
G. Kerangka Teori
Dalam menganalisa hasil penelitian di lapangan. Peneliti
menganalisis hasil temuan lapangan dengan teori Otoritas Tuan Guru yang
dikemukakan oleh Max Weber. Sebagai grand teori, setidaknya dalam
pandangan Weber terkait Otoritas, ada tiga Otoritas dalam masyarakat yang
harus kita pahami sebagai satu kesatuan yang mengikat dalam kehidupan
sosial masyarakat. Di antaranya Otoritas Tradisional, Otoritas Kharismatik,
serta Otoritas Legal-Rasional. Akan tetapi untuk mendefinisikan eksistensi
politik Tuan Guru, maka Teori Habitus yang dikemukan oleh Pierre Bordieu
sebagai teori pendukung untuk penelitian ini.
Peneliti menilai teori ini sangatlah relevan dengan judul yang
peneliti angkat dalam penelitian kali ini yakni tentang Legitimasi Politik
Tuan Guru pada Pemilu Legislatif 2019, dan sebagian besar masalah pokok
dalam penelitian ini yang akan peneliti uraikan adalah otoritas Tuan Guru
dan eksistensi Tuan Guru itu sendiri yaitu:
1. Sumber Daya dari Otoritas Tuan Guru
Di era reformasi, terjunnya Tuan Guru di ranah Politik Praktis
menuai pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Tuan Guru dengan
kharisma yang dimilikinya di satu sisi berpeluang besar untuk menang
di setiap Pemilihan Umum (dalam dunia Demokrasi), namun sisi yang
lain tindakan (mencalonkan diri dalam Pemilu) dapat menjadi serangan
balik bagi dirinya, dalam arti menjadi ajang pembuktian otoritas
kharismatik atas institusi ke Tuan Guru-annya selama ini. Otoritas
kharismatik adalah bentuk dari institusi kuno yang bersifat personal
yang mampu menciptakan Gerakan Sosial Komunal di tengah-tengah
masyarakat/pengikut/jamaah.
Apabila disederhanakan, kenapa orang biasa berkuasa atas
rakyatnya, pengikutnya maupun jamaahnya, baik secara suka rela
maupun terpaksa menurut Max Weber adalah karena terdapat Tiga
Otoritas: Otoritas Kharismatik, Otoritas Tradisional, dan Otoritas Legal-
Rasional29. Sejarah peradaban manusia memperlihatkan bahwa tiga pola
otoritas ini hadir, dimulai sejak manusia hidup berkelompok-kelompok,
nomaden (hidup berpindah-pindah), berburu (hunting gather society)
yang dipimpin oleh satu orang, selalu menganggap kelompok lain
adalah musuh sehingga sering terjadi perang besar antar kelompok.
Tokoh kharismatik timbul di saat perang, chaos, benturan antar
kebudayaan, krisis kepemimpinan, mereka dianggap utusan tuhan, orang
sakti, kata-kata mereka dianggap bertuah/sakral, yang membawa visi
masa depan kepada pengikutnya.
Di abad-abad selanjutnya, manusia sudah mulai bercocok
tanam, Bertani (agro-literal society) diketuai oleh kepala suku – kepala
suku yang mewarisi kepemimpinan secara turun menurun dari nenek
moyang mereka. Karena sifat otoritasnya yang tidak perlu dipertanyakan
lagi di tengah-tengah masyarakat suku disebutlah dengan istilah Otoritas
Tradisional. Otoritas ini bertugas melindungi masyarakat suku adat dari
serangan suku-suku lain. Ia selalu mempersiapkan calon tunggal
pengganti dirinya (keturunannya) memimpin suku sebagai kepala suku
secara tradisional.
Otoritas terakhir adalah Otoritas Legal-Rasional yang lahir dari
perjanjian-perjanjian tertulis (kotrak sosial: undang-undang) untuk
memerintah. Seorang pemimpin berhak mengatur, merencanakan,
mengorganisasikan, melaksanakan, mengontrol dan mengevaluasi
kinerja mesin birokrasinya menggunakan pedoman-pedoman tertulis

29
Max Weber,”Sosiologi”,(Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 293-297.
yang sudah disepakati bersama. Ia bertanggung jawab untuk mentaati
aturan-aturan tertulis itu secara legal dan kekuasaannya berakhir ketika
ia tidak mentaati aturan-aturan tertulis tersebut. Otoritas ini dapat kita
rasakan hari ini, sistem-sistem negara terbentuk akibat perjanjian-
perjanjian tertulis.
Para Tuan Guru dipastikan tumbuh dalam otoritas kharisma
klasik di masyarakat suku Sasak. Ia hadir di tengah-tengah masyarakat
yang sedang kehilangan harapan, ia tertindas. Selanjutnya masyarakat
Sasak melembagakan kharisma Tuan Guru menjadi kharisma rutinisasi
yang pada ujungnya menjadi kepemimpinan turun menurun secara
tradisional. Di era kontemporer saat ini Tuan Guru bergelut dalam
dimensi ruang dan waktu yang berbeda dengan Tuan Guru klasik ketika
institusi keTuan Guruan itu lahir.30
2. Pola pelaksanaan otoritas yang dijelaskan oleh Tuan Guru
Pola pelaksaan otoritas Tuan Guru pada perkembangannya,
mendapatkan posisi penting pada regulasi spiritual dan adat duniawi.
Posisi ini secara langsung dan tidak langsung didapatkan dari
masyarakat Sasak dengan kualifikasi kemampuan Ilmu-ilmu Agama dan
yang pasti harus sudah menunaikan Ibadah Haji.
Para Tuan Guru menempati posisi kuat dalam Masyarakat Sasak
yang berkemampuan dan terlegitimasi untuk memberikan wejangan,
petunjuk dan petuah dalam segala aspek kehidupan masyarakat, tidak
ketinggalan pada ranah kebudayaan dan komitmen politik untuk
masyarakat.
Sistem sosial baru muncul dengan eksistensi Tuan Guru sebagai
agen petuah dan petunjuk bagi pola budaya dan tingkah laku yang harus
dilakukan oleh Masyarakat Sasak dalam menjalankan rutinitas
kehidupannya. Tokoh-tokoh Agama memberikan pencerahan baru bagi
perubahan pemahaman masyarakat dalam memaknai dan memposisikan
adat dalam prikehidupan mereka. Adat menurut Tuan Guru dan tokoh
Agama merupakan artikulasi interprestasi nilai-nilai Agama yang
termaktub dalam sumber Ajaran Islam dan Ijtihad-ijtihad Ulama Fiqh
Islam. Interprestasi adat baru ini sedikit tidak menyebabkan reposisi
kompetensi tokoh adat dalam mengatur tata kehidupan bermasyarakat
sehingga ketergantungan kuat terhadap tokoh adat menjadi berkurang
dan memunculkan dialektika yang dinamis antar individu dan kelompok
masyarakat.
30
Agus Dedi Putrawan, “Runtuhnya karisma Tuan Guru”, (Mataram, Sanabil, 2017) hlm,
3-5
Mengingat masyarakat Sasak yang sangat kental dengan
ketaatan terhadap Agamanya dan tentu saja loyalitas terhadap Tuan
Guru yang ada, maka fanatisme terhadap sosok Tuan Guru tertentu
masih sangat banyak ditemukan. Fanatisme seperti kadang-kadang
sampai menyeberangi demarkasi yang tegas antar pranata sosial yang
sudah disepakati. Tidak mengherankan bila setiap kebijakan Pemerintah
Desa, harus atas prakarsa dan persetujuan dari tokoh Agama atau Tuan
Guru setempat.
Dalam konteks dinamika sosial masyarakat Sasak, para Tuan
Guru hadir tidak hanya memainkan peran sebagai “mekelar budaya”
(cultural broker), tetapi lebih jauh juga berperan sebagai kreator aktif
bagi perubahan sosial, yakni Tuan Guru memperkenalkan anasir sistem
luar dan menggerakkan perubahan dalam masyarakat. Sebagai mekelar
budaya, berupaya mengaitkan dunia kecil pesantren atau komunitas atau
diri dengan dunia luar. Mereka mengawasi (juga melangsungkan) atas
nilai-nilai universal yang merambah dunia kecil dan melakukan
universalisasi atas nilai-nilai lokal ke dunia luar. Sementara sebagai
aktor kreatif dari dinamika sosial, para Tuan Guru secara relatif efektif
menjadi figur panutan atau patron masyarakat. Untuk hal terakhir ini,
mereka benar-benar tampil sebagai penentu cetak-biru (blue-print)
wacana keagamaan di Lombok.
Para Tuan Guru melalui hubungan patron-klien, menikmati
cukup banyak “privilege sosial”. Secara umum itu memiliki lantaran
kapasitas intelektual keagamaan atau latar belakang sosial-ekonomi
politik mereka. Sistem sosial masyarakat Sasak hari ini telah banyak
mengalami pergeseran dan perubahan diferensiasi fungsional. Peran-
peran mediasi sosial Tuan Guru selama ini mulai banyak diwakili
(diambil-alih) oleh beragam mediasi institusional yang marak
bermunculan seiring dinamika cepat dunia modern. Namun tetap saja,
dalam derajat tertentu para Tuan Guru masih memiliki privilege sosial.
Sebab bagaimanapun, hingga saat ini secara de vacto masyarakat Sasak
masih menaruh kepercayaan besar pada mereka. Dengan “hak-hak
istimewa” selaku elite Agama itu, mereka bahkan masih dapat
mengambil peran sebagai “pressure group” dan “rulling class” pada
level tertentu dalam keseluruhan struktur sosial masyarakat. Dapat
dibayangkan betapa eksistensi mereka di tengah dinamika sosial
masyarakat Sasak31.
31
Masnun Tahir, “Tuan Guru Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok”, (Jurnal Asy-
Syir’ah), Volume 42 No. I, 2008. hlm, 95-97
3. Teori Pierre Bordieu
Inti dari karya Bordieu, terletak pada konsep habitus dan arena
hubungan diaklektis antara keduanya. Menurut pierre bourdieu terdapat
4 modal yang menjadi pertaruhan dalam sebuah arena yaitu modal
sosial, modal ekonomi, modal budaya, modal simbolik. Fungsi modal,
bagi Bourdieu adalah relasi sosial dalam sebuah sistem pertukaran, yang
mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang langka, yang layak di
cari dalam bentuk sosial tertentu.32
Beragam jenis modal dapat di pertukarkan dengan jenis modal –
modal lainnya. Penukaran yang paling dramatis adalah penukaran dalam
bentuk simbolik. Sebab dalam bentuk inilah bentuk modal-modal yang
berbeda dipersepsi dan dikenali sebagai sesuatu yang menjadi mudah
dilegitimasi. Teori yang digunakan untuk mencapai tujuan dari
penelitian ini menggunakan teori Modal atau Kapital Piere Bourdiue.
Modal menurut Bourdiue adaah sebuah hasil pekerjaan yang
terakumulasi. Modal berada dalam bentuk yang ‘terbendakan” atau
‘menubuh’ dalam istilah lainnya. Modal terjiwai dalam diri seseorang.
Dalam ranah atau field kontestasi atau pertarungan social, modal
dibutuhkan seseorang untu mempertahankan atau mengubah struktur
lingkungan atau sosialnya Pemakaian kata modal mengingatkan pada
metafora ekonomi untuk memahami kehidupan social. Modal
dikategorikan sebagai kekuatan yang spesifik yang berada atau
beroeprasi dalam ranah. Setiap ranah tertentu mengharuskan seseorang
untuk memiliki modal khusus. Bourdiue mencirikan bahwa modal harus
terakumulasi melalui model investasi. Modal tersebut bisa diberikan
kepada orang lain melalui warisan atau keuntungan adalah ciri lainnya
dari modal. Modal akan dipertaruhkan dalam sebuah kontestasi atau
sebuah pertarungan. Modal merupakan energy social yang hanya berada
dalam arena dima sesuatu memproduksi atau mereproduksi.
Bourdiue membahas mengkategorikan modal dalam empat jenis,
yakni; (1) modal ekonomi; (2) modal kultural (yang dapat berupa
berbagai pengetahuan yang sah; (3) modal social (hubungan yang
bernilai dengan individu lainnya); (4) dan modal simbolik. Keempat
modal tersebut memungkinkan untuk menciptakan atau mebentuk
struktur social Modal yang mudah untuk dikonersikan dalam bentuk
modal lainnya disebut Bourdiue, sebagai modal ekonomi. Modal
ekonomi dalam pemikiran Bourdiu, berkaitan dengan tradisi Marxian,
32
Nanang Krisdinanto, “Pierre bourdieu, Sang Juru Damai”, (Ilmu Komunikasi) Vol. 2
Nomor 2, Maret 2014, hlm. 203
bentuk modal ekonomi didefinisikan pada penguasaan ekonomi. Materi
benda, dan Alat-alat produksi dikategorikan sebagai modal ekonomi.
Modal ini, merupakan jenis modal yang relative independen dan
fleksibel. Modal sosial merupakan hubungan serta jaringan hubungan
yang merupakan sumber daya yang dapat digunakan dalam penentuan
ataupun untuk reproduksi kedudukan social. Bourdiue melihat posisi
pemilik modal dalam sebuah arena akan ditentukan oleh jumlah dan
bobot modal yang mereka miliki. Modal sosial juga menjadi sebuah
stretegi yang dijalankan pemilik modal untuk mencapai tujuannya. Pada
praktiknya, modal sosial dapat digunakan untuk segala kepentingan
dengan dukungan modal ekonomi dan modal kultural.
Modal social menekankan pada potensi individu atau kelompok
dengan ruang perhatian pada kepercayaan, jaringan dan nilai yang lahir
dari kelompok tersebut. Kemamfaan modal social sangat berkaitan
dengan cara dan upaya dilakukan pemilik modal untuk melestarikan,
memelihara, memperkuat, atau mungkin memperbaharuinya serta
komitmen dalam pendayagunaan modal social tersebut. Modal budaya
atau modal kultural terkait salah satunya dengan kualifikasi diri terkait
intelektual. Modal kultural dapat diproduksi melalui pendidikan formal
ataupun berupa keturuan. Modal kultural dapat berupa keyakinan akan
nilai nilai sesuatu yang dikategorikan benar dan diikuti upaya untuk
mengaktualisasikan keyakinan tersebut. Dalam istrumen lainnya, modal
budaya dapat berupa kemampuan individu untu mendominasi kelompok
kelas bawah. Berbagai aspek modal buaya seperti kemampuan
berbicara, bersikap, bertutur kata diwujudkan melalui proses
internalisasi dan penubuhan yang berupa disposisi tubuh dan pikiran
yang dihargai di eilayah tertentu. Oleh karenanya, modal kultural dapat
berupa representasi kemampuan intelektual.
Modal simbolik tidak dapat dilepaskan dari kekuasaan simbolik.
Kekuasaan simbolik dimaknai sebagai kekuasaan yang
memungkinankan seseorang untuk mendapatakan sesuatu yang setara
dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi. Modal
simbolik dapat berupa prestise dan juga dapat berupa bentuk ‘citra’
sebagai hal yang mampu ditukar dengan keuntungan dalam aspek
ekonomi. Modal simbolik dalam bentuk prestise muncul dalam barang
atau sesuatu hal yang dapat dijadikan sebagai nilai yang mampu
menaikkan keuntungan pada seseorang. Modal simbolik merupakan
sumber daya yang dioptimalkan untuk mencapai kekuasan simbolik.
Sebuah symbol memiliki kekuatan dalam mengkonstruksi realitas,
mampu menggiring dan meningkatkan kepercayaan, mengubah
pandangan seseorang kelompok pada sebuah realitas. Modal simbolik,
dapat mengacu pada akumulasi pristise, keterkenalan, kehormatan atau
konsekrasi. Dan kesemua itu dibangun dalam sebuah dialektika
pengetahuan (connaissance) dan pengenalan (reconnaissance). Pada
akhirnya modal simbolik sangat berkaitan dengan kekuasaan simbolik. 33
Modal Ekonomi memang dengan mudah dapat dikonversikan ke
dalam bentuk uang, dan dapat dilembagakan dalam bentuk hak
kepemilikan. Tetapi dalam kondisi tertentu modal budaya juga dapat
dikonversikan menjadi modal yang memiliki nilai ekonomi, dan dapat
dilembagakan, seperti kualifikasi Pendidikan. Demikian pula modal
sosial dalam kondisi tertentu dapat dikonversikan ke dalam modal
ekonomi dan bahkan dapat dilembagakan dalam bentuk gelar
keserjanaan. Sekalian diperoleh melalui perguruan tinggi yang sama dan
dalam jangka waktu Pendidikan yang sama, masing-masing gelar
kesarjanaan dengan bidang keahlian yang berbeda memiliki nilai”nilai
jual ekonomi”yang berbeda. Bahkan kesarjanaan dalam bidang sama
tetapi diperoleh dari perguruan tinggi yang berbeda akan mengandung
nilai ekonomi yang berbeda. Seorang tamatan perguruan tinggi yang
memiliki nilai akreditasi tinggi pada umumnya akan lebih mudah
mendapat pekerjaan dengan penghasilan yang lebih besar dibandingkan
dengan seorang tamatan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta
yang rendah nilai akreditasinya.34

G. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu cara bertindak menurut sistem


aturan atau tatanan yang bertujuan agar kegiatan praktis terlaksana secara
rasional dan terarah sehingga dapat mencapai hasil yang optimal. 35 Metode
merupakan sistem kerja yang digunakan oleh peneliti dalam mencari,
menggali, dan menganalisis objek penelitian, metode peneltian juga
menjadi penanda objek pokok penelitian serta batas-batas cakupan
penelitian. Metode penelitian menjadi panduan peneliti dalam proses

33
Haerul Saleh, Nuril Huda,”Modal Sosial, Kultural, Dan Simbolik Sebagai
Representasi Pelanggengan Kekuasaan Dalam Novel The President Karya Mohammad
Sobary (Kajian Pierre Bourdiue)”(METALINGUA. Jurnal Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia). Volume 6 No. 1 April 2021. hlm. 20-21
34
Rusydi Syahra,”Modal Sosial: Konsep dan Aplikasi”(Jurnal Masyarakat dan Budaya),
Volume 5 No. 1 Tahun 2003. hlm. 2-3
35
Anto H. Bakar, “Metode-Metode Filsapat”, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1989), hlm, 4.
observasi, penggalian data, analisis, hingga proses penulisan hasil
penelitian. Metode penelitian meliputi beberapa hal, antara lain:
1. Pendekatan Penelitian
Setiap penelitian memerlukan desain, yang menunjukkan
cara pengumpulan data, menganalisa data, dan memperoleh
kesimpulan agar penelitian dapat dilaksanakan secara efektif dan
efisien dengan tujuan penelitian. Desain yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian, misalnya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan,
secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah. 36
Penelitian kualitatf juga sebagai penelitian yang
menghasilkan data deskriptif yaitu kata-kata lisan maupun tertulis, dan
tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti.
Sehingga peneliti lebih mudah berhadapan dengan masyarakat banyak
dan berhubungan langsung antar peneliti yang diteliti.37
Menurut Suparlan, kualitatif tidak dikenal adanya sampel,
tetapi peneliti harus melakukan dengan teliti, mendalam, dan
menyeluruh untuk memperoleh gambaran mengenai prinsip-prinsip
umum atau pola-pola yang berlaku umum, sehubungan dengan gejala-
gejala yang ada pada kehidupan sosial masyarakat yang diteliti sebagai
kasus itu sendiri.38

2. Kehadiran Peneliti
Kehadiran peneliti di lokasi penelitian yaitu sebagai
instrumen kunci untuk mengumpulkan data, serta peneliti mengajukan
beberapa pertanyaan yang menyangkut isi dari penelitian dan peneliti
juga langsung melibatkan diri di dalam kegiatan subjek dan semua hal
yang berkaitan dengan subjek peneliti yang telah ditetapkan oleh
peneliti sesuai dengan jadwal penelitian. Sehingga peneliti

36
Lexi J.Moleong, “Metode Penelitian Kualitatif”, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya,
2011), hlm. 6.
37
Bagong Suyanto, “Metode Penelitian Sosial”, (Jakarta, Kencana Prenada Media Grup,
2005) hlm. 166.
38
Patelima Hamid, “Metode Penelitian Kualitatif”, Cetakan Kedua, (Bandung, Penerbit
Alfabeta, 2017), hlm. 3.
mendapatkan data akurat, valid, dan dapat dipertanggung jawabkan
serta dalam pengumpulan data peneliti berusaha mengumpulkan data
yang diperoleh baik dari hasil interview (wawancara), observasi, dan
metode dokumentasi.
Sebelum peneliti hadir dilapangan, peneliti memperoleh
izin terlebih dahulu dari pihak-pihak atau instansi-instansi terkait yang
bertanggung jawab sesuai prosedur yang berlaku. Peneliti hadir
sebagai pewawancara atau pengumpul data tanpa mempengaruhi
kehidupan subjek.
3. Subjek Peneliti
Istilah lain yang sering digunakan untuk menyebut subjek
penelitian adalah responden atau partisipan, yaitu orang yang
memberi respon atau suatu perlakuan yang diberikan. Peneliti dalam
menentukan informan menggunakan snowball, yakni peneliti memilih
orang tertentu yang dipertimbangkan akan memberikan data yang
diperlukan, melalui teknik snowball, pengambilan sampel sumber
data, yang pada awalnya jumlah sedikit, lama-lama menjadi besar.39
Peneliti menentukan informan kunci terlebih
dahulu,kemudian informan kunci tersebut akan mengarahkan peneliti
untuk mencari data dari informan lainnya. Adapun yang menjadi
informan kunci dalam penelitian ini adalah Jama’ah Tuan Guru dan
Tim Pemenangan calon dari Tuan Guru tersebut, dimana mereka yang
akan membawa peneliti ke informan lainnya.
4. Data dan Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian sehingga
mendapat data cocok dengan situasi yang empiris dan melakukan
fungsi teori, yaitu meramalkan, menerangkan, dan menafsirkan. 40 Dan
untuk keakuratan, kualitas, dan validitas informasinya di mana sumber
data dibagi menjadi dua yaitu:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer diperoleh secara langsung dari
lapangan melalui proses observasi, wawancara dan tindakan yang
dilakukan oleh subjek penelitian. Sumber data primer dalam
penelitian ini diperoleh dari subjek penelitian yaitu jama’ah Tuan
Guru, Siswa Pondok Pesantren dan Tim Pemenangan calon dari
Tuan Guru.
b. Sumber Data Sekunder
39
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: BPFE, 2006.), hlm. 59.
40
Saebani, “Metodelogi Penelitian”, (Bandung. Pustaka Setia, 2006), hlm. 93.
Sumber data sekunder diperlukan untuk mendukung dan
melengkapi data primer. Sumber data sekunder dalam penelitian ini
adalah tokoh masyarakat dan agama berupa dokumen atau arsip,
foto-foto maupun sumber-sumber tertulis lainnya yang berguna
untuk memperkuat bukti penelitian dan memperkuat data hasil
penelitian secara non verbal.
5. Teknik Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data merupakan salah satu hal yang
sangat penting bagi sebuah penelitian sehingga data yang diperoleh
benar-benar sesuai dengan judul yang ditentukan. Teknik
pengumpulan data tergantung pada permasalahan yang akan dikaji,
demikian pula dalam pemilihan permasalahan yang akan dikaji,
peneliti hendaknya sudah memikirkan kemungkinan dapat
dikumpulkannya data yang diperlukan.41
Dan teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan
melakukan observasi, wawancara, angket, dokumentasi, dan gabungan
dari keempatnya.42 Dalam penelitian yang dilakukan, teknik yang
digunakan penelitian adalah:
a. Teknik Observasi
Observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan
melakukan pengamatan secara langsung pada objek penelitian, 43
jenis observasi yang digunakan adalah observasi non partisipatif,
yaitu peneliti menggali data dengan cara terlibat langsung secara
aktif dalam objek yang diteliti atau ikut ambil bagian dalam
kehidupan orang yang diobservasi44.
Adapun target dari observasi adalah terlibat secara langsung
terkait bagaimana Legitimasi Politik Tuan Guru dipahami dan
dipersepsikan oleh masyarakat Kabupaten Lombok Barat-Lombok
Utara, kemudian bagaimana Legitimasi Politik Tuan Guru tersebut
menjadi status sosial keagamaan yang ikut dalam kontestasi Pemilu
Legislatif (politik praktis), sedangkan para Tuan Guru hanya
dikenal sebagai pendakwah.
b. Teknik Wawancara
41
Murti Sumarni, Salamah Wahyuni, “Metodologi Penelitian Bisnis”, (Yogyakarta, C.V
Andi Offset, 2006), hlm. 85.
42
Sugiyono, “Metodologi Penelitian Pndidikan; Pendekatan Kualitatif, kualitatif dan
R&D”, (Bandung, Alfabeta, 2006), hlm. 193.
43
Sutrisno Hadi, Metodelogi jilid II, t.t., 74.
44
Yulin Citriadin, “Metodelogi Penelitian Kualitatif”, (Mataram, Kalangan Sendiri,
2007), hlm. 65
Teknik wawancara merupakan salah satu cara pengumpulan
data dalam suatu penelitian. Karena menyangkut data, maka
wawancara merupakan salah satu elemen penting dalam proses
penelitian. Wawancara (interview) dapat diartikan sebagai cara
yang dipergunakan untuk mendapatkan informasi (data) dari
responden dengan cara bertanya langsung secara bertatap muka
(face to face). Namun demikian teknik wawancara ini dalam
perkembangannya tidak harus dilakukan dengan cara berhadapan
langsung, melainkan dapat saja dengan memanfaatkan sarana
komunikasi lain, misalnya telpon dan internet.45
Walaupun pada dasarnya penelitian ini, peneliti
menggunakan wawancara non terstruktur sehingga peneliti tidak
perlu membuat pedoman wawancara yang akan dipakai ketika
penelitian. Namun, tidak menghilangkan kesan ilmiah dalam
penelitian ini, dipandang perlu untuk membuat sebuah rancangan
serta target data yang ingin peneliti peroleh dari masing-masing
informen.
Dalam melakukan penelitian, peneliti hanya menggunakan
garis besarnya saja, dan peneliti sendiri menjabarkan pada saat
melakukan wawancara pada subjek penelitian, sehingga peneliti
tidak menyusun pernyataan yang terstruktur. Sedangkan wawancara
menurut Moleong adalah percakapan dengan maksud tertentu, yang
melibatkan dua pihak, yaitu wawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewe) yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu.46
Dari penjelasan teknik wawancara diatas dapat dipahami
wawancara ini dilakukan dengan melakukan tanya jawab secara
langsung kepada pihak-pihak yang terkait dengan menyediakan
informasi yang diperlukan dalam peneliti yaitu dari masyarakat
Kabupaten Lombok Barat-Lombok Utara tentang Legitimasi Politik
Tuan Guru pada Pemilu Legislatif 2019, yang dilihat dari
perubahan pemilih dan kharisma Tuan Guru.
c. Teknik Dokumentasi
Dokumentasi merupakan bahan tertulis maupun film,
dokumentasi digunakan dalam penelitian sebagai sumber data
karena dalam banyak hal dokumentasi sebagai sumber data
dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk
45
Bagong, “Metode penelitian”, hlm. 69.
46
Ibrahim, “Metodologi penelitian kualitatif”, (Alfabeta, Bandung, 2018), hlm, 88.
meramalkan.47 Metode dokumentasi ini juga merupakan tahapan
untuk mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
catatan, transkrip buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,
lengger, agenda, dan sebagainya.48
Adapun data yang dikumpulkan melalui metode
dokumentasi adalah data tentang gambaran umum lokasi dan data
kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh objek yang akan diteliti.
Sedangkan dokumentasi yang dimaksud dengan
dokumentasi adalah rekaman peristiwa yang lebih dekat dengan
percakapan, menyangkut persoalan pribadi, dan memerlukan
interprestasi yang berhubungan sangat dekat dengan konteks
rekaman peristiwa masa lalu tersebut. Dokumentasi menurut
Sugiyono adalah catatan-catatan peristiwa yang telah lalu, yang
biasa berbentuk tulisan, gambar, atau karya monumental
seseorang.49
Wawancara dilakukan kepada lima orang narasumber
berdasarkan kualifikasi subjek penelitian wawancara dilakukan
secara terstruktur serta wawancara tidak terstruktur untuk
memperoleh informasi terkait hal lain yang melingkupi atau masih
berkaitan dengan Legitimasi Politik Tuan Guru, sehingga akan
diperoleh informasi yang luas dan komprehensif terkait otoritas,
pemilih rasional, kharisma serta bagaimana Legitimasi Politik Tuan
Guru dipersepsikan oleh masyarakat sehingga melahirkan sikap-
sikap positif dalam kehidupan sosial keagamaan.
d. Teknik Analisis Data
Analisi data merupakan suatu proses mengatur urutan data,
mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategori, dan satuan aturan
dasar, dikarenakan data tersebut masih bersifat bertebaran, sehingga
peneliti diwajibkan mengklasifikasikan ke dalam kategori tertentu
untuk mendapatkan pemaknaan terhadap data. 50Untuk
mengelompokkan data yang diperoleh dari observasi, wawancara,
maupun dokumentasi penulisan menggunakan analisis data yang
ditampilkan secara deskriptif berupa ungkapan-ungkapan atau
kalimat-kalimat dan pemisahan menurut kategori yang ada untuk

47
Lexi j, “Metodologi penelitian”, hlm, 217.
48
Ibid, hlm, 274.
49
Ibrahim, “Metodologi penelitian kualitatif”, (Bandung. Alfebeta, 2018), hlm, 94.
50
Rachmat Kriyantono,”teknik praktis riset komunikasi”, (Jakarta, Kencana, 2006),
hlm, 196.
mendapatkan kesimpulan yang jelas dan rinci, prinsipnya teknik-
teknik analisis data menggunakan analisis induktif.
Selanjutnya peneliti akan melakukan analysing (analisis)
terhadap data-data penelitian dengan tujuan agar data mentah yang
telah diperoleh tersebut bisa lebih mudah untuk dipahami. analisis
ini menggunakan teori-teori yang relevan artinya teori-teori yang
berkaitan (sangkut paut) dengan masalah yang dibahas. Selanjutnya
peneliti mendiskripsikan melalui analisis dan nalar. Sehingga pada
akhirnya dapat diperoleh gambaran yang jelas secara diskriptif
kualitatif mengenai Legimasi Politik Tuan Guru.
1. Proses Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak
sebelum memasuki lapangan, setelah dilapangan dan setelah
selesai dilapangan. Namun dalam penelitian kualitatif, analisis
data lebih difokuskan selama proses dilapangan bersama dengan
pengumpulan data.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik analisis
data model Miles dan Huberman sebagai berikut. 51
a. Data Reduction (Reduksi Data)
Reduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang
pokok, memfokuskan dalam hal-hal yang penting, dengan
demikian data yang telah direduksi akan memberikan
gambaran yang jelas dan mempermudah peneliti untuk
melakukan pengumpulan data. Dalam penelitian ini peneliti
mereduksi data dengan memilih data-data hasil observasi,
wawancara dan mengelompokkan berdasarkan pokok-pokok
permasalahan yang diungkap.
b. Display (Penyajian Data)
Setelah direduksi maka langkah selanjutnya adalah
menyajikan dan mendisplaykan data. Dalam penelitian
kualitatif penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian
singkat, bagan, hubungan antara kategori.
c. Conclusion Drawing/Verification (Penarikan Kesimpulan
Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah
penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang
masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak
ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada
51
Sugiyono, “Memahami Penelitian Kualitatif”, (Bandung, Alfabeta CV, 2012), hlm,
91-95
tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila
kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung
oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti
kembali kelapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan
yang dikemukakan berupa kesimpulan yang kredibel.52
Dalam penelitian ini, kesimpulan dan verifikasi dilakukan
setelah rangkaian pengumpulan data selesai dilakukan.
Setelah data reduksi kemudian di display menggunakan
deskripsi naratif, kemudian ditarik satu tema dalam bentuk
kesimpulan yang berupa deskripsi atau temuan yang bersifat
umum untuk keperluan pengembangan lebih lanjut terkait
Legitimasi Politik Tuan Guru pada Pemilu Legislatif 2019
Dapil NTB II di Kabupaten Lombok Barat-Lombok Utara.
Singkatnya, makna-makna yang muncul dari data yang
lain harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan
kecocokannya, yakni yang merupakan validitasnya.
Kesimpulan akhir tidak hanya terjadi pada waktu proses
pengumpulan data saja, akan tetapi perlu diverifikasi agar
benar-benar dapat dipertanggung jawabkan. Secara skematis
proses analisis data model analisis data Miles dan Huberman
dapat dilihat pada bagan berikut:

Gambar 1.1
Pemetaan Konsep Pengumpulan
Data menurut Miles dan Huberman

Pengumpulan
Data Penyajian data

Verifikasi/penarikan
Display data kesimpulan

52
Ibid, hlm. 99
H. Keabsahan Data

Keabsahan data bertujuan untuk membuktikan bahwa apa yang


diamati oleh peneliti sesuai dengan apa yang sesungguhnya ada dalam
kenyataan. Dan apakah penjelasan yang diberikan tentang dunia nyata
sesuai dengan sebenarnya terjadi.
Untuk memperoleh keabsahan data atau data yang valid diperlukan
teknik pemeriksaan. Supaya diperoleh temuan-temuan dan informasi yang
absah dapat digunakan dengan teknik-teknik seperti, perpanjangan
keikutsertaan, ketekunan pengamatan, pengecekan sejawat, triangulasi,
kecukupan referensi, pengecekan anggota, dan auditing.53 Namun dalam
penelitian ini teknik pemeriksaan yang digunakan peneliti adalah:
kecukupan referensi, ketekunan pengamatan, pengecekan anggota.
a. Ketekunan Pengamatan
Pengamatan merupakan teknik pengumpulan data yang banyak
digunakan dalam penelitian. Dalam penelitian sosial yang bersifat
kualitatif, pengamatan menjadi teknik utama dan memilki peran yang
sangat signifikan. Melalui pengamatan, seorang peneliti bisa memahami
keadaan objek, mempelajari situasinya, menjelaskan dan menafsirkan
menjadi sebuah data penelitian.54
Sebagai sebuah teknik pengumpulan data, hasil pengamatan sangat
bergantung pada seorang pengamat (peneliti), baik yang bersifat internal
(psikologi) maupun eksternal (situasi dan kondisi yang diamati). Karena
itu, teknik pengamatan mesti dilakukan dengan lebih tekun, guna
mengasilkan data yang benar dan akurat.
Dengan kata lain, jika perpanjangan keikutsertaan menyediakan
ruang lingkup dan waktu (untuk memastikan kelengkapan data), maka
ketekunan pengamatan menyediakan kedalam (isi dan kebenaran data).
Dengan teknik ini hendaknya seorang peneliti dapat mengadakan
pengamatan dengan teliti dan rinci secara berkesinambungan terhadap
faktor-faktor yang menonjol.
b. Pengecekan Sejawat
Pengecekan teman sejawat dilakukan salah satu teknik pemeriksaan
keabsahan data dengan cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhir
yang diperoleh dalam bentuk diskusi bersama rekan-rekan sejawat.
Teknik ini juga dapat dilakukan dengan mengumpulkan teman-teman
sebaya, yang memiliki pengetahuan umum yang sama tentang apa yang
53
Lexi Moleong, “metode penelitian”, hlm, 175.
54
Ibrahim, “Metodologi penelitian Kualitatif”, (Alfebeta, Bandung, 2018), hlm, 123-124.
sedang diteliti, sehingga bersama mereka peneliti dapat me-revieu
persepsi, pandangan dan analisis yang sedang dilakukan.
Dengan kata lain, pengecekan teman sejawat dilakukan untuk
mendapat evaluasi, masukan dan saran terhadap apa yang telah
dihasilkan oleh seorang peneliti, termasuk dari aspek metodologinya.
Dari evaluasi, masukan dan saran inilah pada akhirnya peneliti
melengkapi datanya jika dipandang masih kurang, membetulkan jika
dianggap keliru, menyempurnakannya jika dipandang kurang tepat, dan
sebagainya.
Teknik ini dilakukan dengan cara melengkapi hasil semementara
atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekan-
rekan sejawat. Dengan demikian pemeriksaan sejawat berarti
pemeriksaan yang dilakukan dengan jalan mengumpulkan rekanrekan
yang sebaya, yang memiliki pengetahuan umum yang sama tentang apa
yang sedang diteliti, sehingga bersama mereka peneliti dapat me-review
persepsi, pandangan dan analisis yang sedang dilakukan.
c. Triangulasi
Triangulasi sumber data dilakukan dengan membandingkan dan
mengecek baik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh
melalui waktu dan cara yang berbeda.
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain. Diluar data itu untuk keperluan
pengecekan sebagai pembanding terhadap data itu. Untuk memperoleh
data yang valid diperlukan teknik pemeriksaan yang tepat. Salah satu
cara yang paling penting dan mudah dalam uji keabsahan hasil
penelitian adalah dengan melakukan Triangulasi sebagai teknik
pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber data, metode dan
teori.
a) Tringualasi sumber data
Triangulasi sumber data dilakukan dengan membandingkan dan
mengecek baik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh
melalui waktu dan cara yang berbeda. Hal tersebut dilakukan dengan
cara sebagai berikut :
1) Membandingkan hasil observasi dengan wawancara.
2) Membandingkan data hasil observasi, wawancara dengan
dokumentasi.
3) Membandingkan keadaan dan prsepektif seseorang dengan berbagai
pendapat orang lain
4) Membandingkan apa yang dikatakan didepan umum dengan apa yang
dikatakan secara pribadi.
Contoh triangulasi sumber data: Pada saat penelitian, dalam
mengumpulkan data peneliti memilih sumber yang berbeda-beda untuk
mendapatkan informasi atau data, kemudian membandingkan data dari
sumber yang berbeda tersebut seperti, untuk mengetahui pandangan
tentang Legitumasi Politik Tuan Guru. Untuk mendapatkan data atau
informasi dari masing-masing responden, peneliti menggunakan tekhnik
pengumpulan data yang sama yaitu dengan wawancara.
b) Tringualasi metode
Triangulasi metode dilakukan dengan menggunakan strategi:
1) Pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian dengan
beberapa teknik pengumpulan data.
2) Pengecekan beberapa sumber data dengan metode yang sama.
Triangulasi ini dilakukan untuk melakukan pengecekan terhadap
penggunaan metode pengumpulan data, apakah informasi yang didapat
dengan metode wawancara sama dengan metode observasi, atau apakah
hasil observasi sesuai dengan informasi yang diberikan ketika
wawancara. Begitu pula teknik ini dilakukan untuk menguji sumber
data, apakah sumber data ketika diwawancara dan diobservasi akan
memberikan informasi yang sama atau berbeda. Apabila berbeda, maka
harus dapat dijelaskan perbedaan itu, tujuannya adalah untuk mencari
kesamaan data dengan metode yang berbeda.
Contoh triangulasi sumber data: Pada saat penelitian, dalam
mengumpulkan data peneliti memilih sumber yang berbeda-beda untuk
mendapatkan informasi atau data, kemudian membandingkan data dari
sumber yang berbeda tersebut seperti, untuk mengetahui Legitimasi
Politik Tuan Guru pada Pemilu Legislatif 2019 di Kabupaten Lombok
Barat-Lombok Utara. Untuk mendapatkan data atau informasi dari
masing-masing responden, peneliti menggunakan tekhnik pengumpulan
data yang sama yaitu dengan wawancara.
d. Kecukupan Referensi
Dalam hal kecukupan referensi yang dimaksud adalah kelengkapan
referensi yang digunakan sebagai pendukung dalam penelitian ini baik
berupa catatan atau hasil penemuan. Kecukupan referensi sebagai salah
satu tehnik pemeriksaan keabsahan data dapat dilakukan dengan cara
menghimpun sebanyak mungkin sumber dukungan dalam penelitian,
baik sumber manusianya (berupa narasumber data di lapangan) maupun
sumber bahan rujukan yang relevan berupa buku-buku kepustakaan,
laporan penelitian dan karya-karya ilmiah lainnya.

e. Pengecekan Anggota
Teknik berikut yang dapat digunakan dalam memeriksa keabsahan
data penelitian adalah pengecekan dengan anggota yang terlibat dalam
proses pengumpulan data, baik tim peneliti (interviewer, observer,
enumerator, atau surveyor), maupun subjek yang diteliti (narasumber
dan atau informan). Pengecekan dimaksud meliputi data, kategori
analitis, penafsiran, dan kesimpulan.
Artinya, dengan teknik ini peneliti dapat membuat suatu ikhtisar
sementara hasil penelitiannya, kemudian minta tanggapan balik dari para
narasumber atau anggota yang lainnya mengenai ikhtisar tersebut.
f. Auditing
Auditing sebagai salah satu teknik pemeriksaan keabsahan data
dapat dipilih menjadi dua, yakni audit kepastian (confirmability
auditing) dan audit kebergantungan (dependability auditing). Teknik
auditing adalah sesunguhnya adalah konsep di dunia bisnis, khususnya
bidang fiskal yang digunakan untuk memeriksa kebergantungan dan
kepastian data, baik menyangkut proses maupun hasil atau keluaran.
Dengan demikian, proses auditing dalam pemeriksaan keabsahan
data dapat dilakukan dengan tahapan pra-entri, penetapan hal-hal yang
dapat di audit, kesepakatan formal, dan penentuan keabsahan data.
DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir B.Nambo Dan Muhamad Rusdiyanto Puluhuluwa, “Memahami


Tentang Beberapa Konsep Politik”, (Jurnal, Volume XXI No. 2 April-Juni
2005.

Agus Dedi Putrawan, “Dekarismatisasi Tuan Guru”,(Jurnal Agama dan


Hak Azazi Manusia, Vol. 3, No. 2, Mei 2014).

Agus Dedi Putrawan, “Runtuhnya karisma Tuan Guru”, (Mataram, Sanabil,


2017).

Agus Dedi, “Analisis Pemilihan Umum Serentak”,(Jurnal Muderat, Volume


5, Nomor 3, Agustus 2019).

Ahsanul Rijal, “Politik Tuan Guru versus politik media “pilpres 2019 di
lombok” antara dakwah dan politik, Tasamuh Vol. 16 Nomor 2, Juni 2019.

Anto H. Bakar, “Metode-Metode Filsapat”, (Jakarta, Ghalia Indonesia,


1989).

Asmaul Husnah, “Tuan Guru kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul


Madjid (peranan dalam pegulatan politik Nahdlatul Wathan di Lombok pada
tahun 1953-1977)”, (Skripsi, UIN Sunan ampel Surabaya, Surabaya 22 Mei
2019).

Bagong Suyanto, “Metode Penelitian Sosial”, (Jakarta, Kencana Prenada


Media Grup, 2005)

Firdaus Yuni Dharta dan Engkus Kuswarno, “Komunikasi Tuan Guru


sebagai Motivator dipesantren”,Sosiohumaniora Vol. 14 Nomor 1, Maret 2012.

Haerul Saleh, Nuril Huda,”Modal Sosial, Kultural, Dan Simbolik Sebagai


Representasi Pelanggengan Kekuasaan Dalam Novel The President Karya Mohammad
Sobary (Kajian Pierre Bourdiue)”(METALINGUA. Jurnal Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia). Volume 6 No. 1 April 2021

http://opendata.kpu.go.id/open_data/data/detail/48645

http://ppp.or.id/berita/ppp-agama-dan-politik-tak-bisa-dipisahkan,

https://www.kompasiana.com/agusdediputrawan/tuan-guru-sebagai-alat-
kampanye-refleksidari-buruknya-politik-kampanye-di-
indonesia_54f3c9b4745513942b6c8069
Ibrahim, “Metodologi penelitian kualitatif”, (Bandung. Alfebeta, 2018).

Lalu Sopan Tirta Dkk,“Kegagalan Tuan Guru H. Lalu Farhan Rasiyd


Makbul Dalam Memenangkan Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2014”,
(JGOP, Vol, 2 No. 1 Juli 2020).

Lexi J.Moleong, “Metode Penelitian Kualitatif”, (Bandung, PT Remaja


Rosdakarya, 2011).

Masnun Tahir, “Tuan Guru Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok”,


(Jurnal Asy-Syir’ah), Volume 42 No. I, 2008.

Max Weber,”Sosiologi”,(Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2009).

Muh. Samsul Anwar, “Dinamika peran politik Tuan Guru di lombok era
reformasi”, Thaqafiyyat Vol. 18 Nomor 2, Desember 2017

Muh. Samsul Anwar, “Dinamika Politik Islam Sasak: Tuan Guru Dan
Politik Pasca Orde Baru”, (Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta 30
Januari 2012).

Murti Sumarni, Salamah Wahyuni, “Metodologi Penelitian Bisnis”,


(Yogyakarta, C.V Andi Offset, 2006).

Nanang Krisdinanto, “Pierre bourdieu, Sang Juru Damai”, (Ilmu


Komunikasi) Vol. 2 Nomor 2, Maret 2014.

Patelima Hamid, “Metode Penelitian Kualitatif”, Cetakan Kedua,


(Bandung, Penerbit Alfabeta, 2017).

Rachmat Kriyantono,”teknik praktis riset komunikasi”, (Jakarta, Kencana,


2006).

Rusydi Syahra,”Modal Sosial: Konsep dan Aplikasi”(Jurnal Masyarakat


dan Budaya), Volume 5 No. 1 Tahun 2003.

Saebani, “Metodelogi Penelitian”, (Bandung. Pustaka Setia, 2006).

Sugiyono, “Memahami Penelitian Kualitatif”, (Bandung, Alfabeta CV,


2012).

Sugiyono, “Metodologi Penelitian Pndidikan; Pendekatan Kualitatif,


kualitatif dan R&D”, (Bandung, Alfabeta, 2006).
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: BPFE, 2006.).

Supriadin, Peranan Tuan Guru Haji (TGH) Abubakar Husainy Dalam


Mengembangkan Islam Di Bima Nusa Tenggara Barat (NTB), (Skripsi, UIN
Alauddin Makassar, Makassar 03 Februari 2016).

Sutrisno Hadi, Metodelogi jilid II, t.t., 74.

Yulin Citriadin, “Metodelogi Penelitian Kualitatif”, (Mataram, Kalangan


Sendiri, 2007).

Zuhaeriah, “Manajemen modernisasi pendidkan Islam berwawasan


lingkungan di pondok pesantren Nurul Haramain Narmada lombok barat”,
Schemata Vol. 8 Nomor 1, Juni 2019.

Anda mungkin juga menyukai