RICKY RONALDO
1715010062
Abstrak : Agama dalam konsep ideal dipahami sebagai panduan ukuran moral.
Agama adalah cara hidup yang memiliki doktrin dengan makna universal dan
melintasi ruang dan waktu selalu relevan dalam semua konteks, termasuk
politik. Tapi perspektif ini pada situasi nyata menyimpang. Agama saat ini
bergeser dari posisinya sebagai pembimbing menjadi hanya instrument dan
dapat dipahami dengan fleksibel sesuai dengan pemahaman orang yang
mengeksploitasi agama itu sendiri. Tulisan ini ingin mencari jawaban (1) apa
faktor penyebab agama di eksploitasi pada kontestasi pilpres 2019, (2)
bagaimana bentuk eksploitasi agama di media dalam kontestasi pilpres 2019
(3 ) apa dampak dari fenomena eksploitasi agama pada pilpres 2019. Dengan
menggunakan data dari dokumentasi, tulisan ini menemukan (1) factor
penyebab mayoritas politisi memasukkan agama ke dalam politik adalah untuk
mendapatkan kekuatan, dan suara umat Islam (2) dan bentuk-bentuk eksploitasi
agama di media pada pilpres 2019 menempatkan simbol-simbol agama dalam
spanduk politik, dan menggunakan ulama sebagai instrumen untuk
meningkatkan elektabilitas politik, menyebarkan foto-foto islamis di media
berita online. Jika fenomena ini dibiarkan, waktu mendatang akan membawa
dampak dalam pemahaman agama menjadi dangkal dan parsial. Tulisan ini
merekomendasikan untuk para pemangku kepentingan politisi, ulama,
akademisi, dan masyarakat Indonesia untuk mengambil bagian mereka sendiri
dalam politik, sehingga agama dapat dipahami dan dilakukan sebagaimana
aslinya.
Kata Kunci : Eksploitasi, Agama, Dan Politik.
Pendahuluan
Penggunaan isu-isu agama sebagai alat politik untuk memperoleh
kekuasaan dalam pemilu marak terjadi akhir-akhir ini (Syahputri 2018). Agama
sebagai sesuatu yang suci dan merupakan hal yang fundamental bagi manusia
dijadikan sebagai senjata ampuh untuk mempengaruhi sentiment pemilih serta
menggiring opini. Karena agama yang bersifat sacral dan merupakan hal yang
fundamental bagi penganutmya, hal ini telah menjadikan nilai agama sangat
sensitive apabila dibenturkan dengan agenda politik. Maka tidak heran jika
para politikus dalam usahanya memperoleh kekuasaan sering menggunakan
isu-isu agama untuk mengambil hati publik dan meraup suara mereka.
Tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui tentang politisasi agama di
media online pada Pilpres 2019 di Indonesia, bagaimana nilai-nilai atau isu-isu
agama itu dipropaganda, dimanfaatkan dan dipelintir serta disebarluaskan di
media oleh para politisi untuk kepentingan politik pragmatis.
Dari hasil pengamtan penulis di media, Isu agama masih laris digunakan
dalam kontestasi politik. Pemanfaatan isu agama (ulama, simbol, bahasa) untuk
kepentingan politik akan menyebabkan krisis kepercayaan terhadap agama,
karena disaat agama masuk dalam ranah politik maka kesucian/kemurnian
agama itu menurun karena politik ini merupakan hal yang dianggap kotor dan
tidak sesuai dengan fitrah agama yang suci. Selain itu pemanfaatan isu agama
untuk kepentingan politik juga bisa menjadi pemecah belah keutuhan bangsa.
Hal ini bisa terjadi karena Indonesia merupakan Negara yang heterogen secara
Agama. Setidaknya ada enam agama resmi yang berada di Indonesia, jika
penggunaan isu-isu agama ini tidak disiasati sejak sekarang maka akan
menyebabkan konflik antar umat beragama yang berkehidupan di Negara
tercinta kita Indonesia.
Kerangka Teoritis
Politisasi menurut KBBI, adalah hal membuat keadaan (perbuatan,
gagasan, dan sebagainya) bersifat politis. Sedangkan agama adalah
kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak
Illahi yang mengatur alam semesta (JP.Chaplin : 2004).
Menurut Glock & Stark (dalam Robert H. Thoules 2003:10) agama adalah
system symbol, system keyakinan, system nilai dan system perilaku yang
terlembagakan yang semuanya berpusat pada persoalan-persoalan yang
dihayati sebagai yang paling maknawi.
Media online secara umum, yaitu segala jenis atau format media yang
hanya bisa diakses melalui internet berisikan teks, foto, video, dan suara.
Dalam pengertian umum ini, media online juga bisa dimaknai sebagai sarana
komunikasi secara online. (M.Romli & Asep Syamsul : 2012 ; 34)
Sedangkan politisasi agama menurut (Siti Faridah: 2018) dalam jurnalnya
yang berjudul “Politisasi Agama Pemecah Keutuhan Bangsa Dalam Pemilu”
Politisasi agama adalah politik hitam yang memanipulasi pemahaman dan
pengetahuan seseorang mengenai agama dengan cara propaganda yang
bermaksud untuk mempengaruhi agama/kepercayaan dalam upayanya
memasukan kepentingan kedalam sebuah agenda politik.
Ada banyak studi yang terkait dengan pemanfaatan agama untuk
kepentingan politik diantaranya, Pertama penelitian yang dilakukan oleh
Abdul Malik & Aryandi Batubara (2014) tentang Komodifikasi Agama Dalam
Ruang Politik Di Sebrang Kota Jambi. Tulisan ini akan mencoba memahami
dan menjelaskan apa yang menjadi dasar rasionalitas terjadinya
komodifikasi agama dalam ruang politik di Seberang Kota Jambi tersebut, baik
menyangkut motivasi dan latar belakang terjadinya komodifikasi, maupun
bentuk-bentuk komodifikasinya, dan implikasinya dalam konteks kekinian
(Batubara 2014)
Penelitian ini menemukan (1) motivasi mayoritas politisi di Seberang
Kota Jambi memasukkan agama ke dalam politik adalah untuk mendapatkan
kekuatan. (2) bentuk-bentuk komodifikasi agama di ruang politik di
Seberang Kota Jambi menggunakan Kitab Yasin sebagai promosi politik,
menempatkan simbol-simbol agama dalam spanduk politik, dan menggunakan
ulama sebagai instrumen untuk meningkatkan elektabilitas politik. (3) Jika
fenomena ini dibiarkan, waktu mendatang akan membawa implikasi dalam
pemahaman agama menjadi dangkal dan parsial.
Kedua, Peneletian Nurul Hasfi (2017) tentang politik keshalehan personal
dalam pemilihan presiden 2014 dalam media sosial twitter. Studi ini
menunjukkan bahwa nilai-nilai agama terlibat aktif dalam proses kontestasi
politik pada konstruksi kepemimpinan politik religius di Twitter yang disebut
penulis sebagai politik keshalehan personal (politics of personal piety).
Politik keshalehan personal beroperasi dengan menggunakan nilai agama
mayoritas yakni Islam yang mendefinisikan kepemimpinan politik yang ideal
sebagai sosok yang mampu dan taat menjalankan rukun Islam. Nilai Islam ini
dalam proses politik Indonesia telah ternaturalisasi dalam masyarakat politik di
Indonesia dan secara tidak langsung telah meminggirkan dan mengeluarkan
(exclude) nilainilai agama/kepercayaan minoritas dari ruang diskusi politik di
ruang maya (Hasfi 2017)
Politik keshalehan personal merefleksikan kegagalan dari kegagalan
kontestan politik dalam menerapkan prosedur demokrasi yang disebut
Habermas sebagai dialog netral. Kegagalan dialog netral ini terjadi saat
perdebatan politik lebih menggunakan landasan argumen religius dalam
perspektif nilai-nilai partikular agama yang primordial dan bukan berangkat
dari argumen religius dari sudut pandang nilai-nilai universal yang dapat
diterima semua agama.
Dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam konteks khusus
yakni diskusi politik tentang kepemimpinan politik religius yang dimediasi
oleh Twitter dalam pemilihan presiden 2014, hubungan agama dan demokrasi
masih problematik. Praktik demokrasi liberal yang saat ini lebih dominan
berlangsung di Indonesia memberikan ruang tak terbatas bagi nilai-nilai agama
untuk diekspresikan sebagai bentuk dari Hak Asasi Manusia yang dilindungi
oleh demokrasi.
Namun disisi lain, kebebasan tersebut juga secara bersamaan telah
mencederai proses demokrasi karena pada praktiknya ada keterlibatan nilai
partikular agama yang secara sadar atau tidak sadar telah meminggirkan nilai
agama/kepercayaan minoritas. Dari studi ini, penulis melihat, nilai-nilai Islam
sebagai nilai agama mayoritas masyarakat Indonesia akan selalu menjadi
tantangan dalam proses demokrasi politik di Indonesia. Hal ini disebabkan
karena Islam merupakan agama terbesar di Indonesia sehingga logikanya akan
menjadi ideologi dominan yang menjadi acuan. Hal yang perlu diwaspadai
yakni manakala hegemoni Islam mulai mengarah pada penggunaan nilai-nilai
primordialisme agama yang justru mendegradasi dan mendestruksi proses
demokrasi di Indonesia yang pluralis ini.
Ketiga, Penelitian M. Fajar Shodiq Ramadlan (2018) tentang Marketing
Isu Agama Dalam Pemilihan Kepala Daerah Di Indonesia 2015-2018. Hasil
penelitian ini menemukan bahwa Sepanjang penyelenggaraan pilkada serentak
paa tahun 2015 hingga 2017, dari 901 pilkada yang diselenggarakan, terdapat 7
pilkada yang diwarnai isu agama. Dalam strategi marketing politik, ada dua
jenis isu agama (konten) yang muncul, yakni: pertama, ajakan untuk memilih
kandidat yang seagama, atau tidak memilih kandidat yang tidak seagama;
kedua, adalah black campaign (hujatan, fitnah atau informasi yang belum jelas
kebenarannya)(Ramadlan 2018).
Produksi isu agama (konten) tidak lepas dari dua konteks: sosial-politik di
level lokal/ daerah dan konteks kompetitor dalam pilkada. Konteks sosial
politik di level lokal, berkaitan dengan konteks historis atau pengalaman
konflik terkait agama di masa lalu. Persoalan atau konflik agama yang pernah
berkembang sebelum penyelenggaraan pilkada (konteks), dihubungkan dengan
isu-isu (konten) untuk mendiskreditkan lawan politik.
Dalam konteks ini, konten isu agama digunakan melalui black campaign.
Bentuknya bisa sangat beragam, ada yang menggunakan spanduk, selebaran,
maupun kampanye negatif melalui media sosial. Konteks ini dapat dilihat
misalnya pada pilkada Jabar dan Depok. Sedangkan konteks kompetitor,
muncul biasanya jika terdapat salah satu calon kepala daerah yang mempunyai
latara belakang minoritas. Identitas minoritas kandidat menjadi sumber untuk
memproduksi isu agama.
Dalam konteks ini, isu agama yang muncul misalnya berupa larangan
memilih pemimpin dari latar belakang minoritas. Konteks ini misalnya muncul
di Pilgub DKI Jakarta dan Pilwali Surakarta. Penjelasan ini menunjukkan
bahwa isu agama muncul di sepanjang penyelenggaraan pilkada 2015-2018
dengan cara, bentuk dan pola dimana konten dan konteks saling berkaitan.
Metodologi Kajian
Tulisan ini merupakan penelitian kepustakaan (library re-search), yakni
penelitian yang dilakukan dengan mengkaji sejumlah bahan pustaka yang
bertujuan untuk mendeskripsikan dan atau merekonstruksikan fenomena-
fenomena sosial tertentu secara objektif dan akurat.
Adapun lokasi penelitian ini adalah di media online. Penelitian ini penulis
lakukan di media online dengan beberapa alasan yang pertama, karena penelitian
ini mengkaji politisasi agama yang terjadi pada masa pemilihan presiden atau
pilrpes yang kejadiannya telah berlalu, sehingga untuk mengambil data pada
kejadian yang telah berlalu itu adalah dengan dokumen.
DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, Ayub Dwi. 2014. “MEDIA, POLITIK Dan KEKUASAAN (Analisis
Framing Model Robert N. Entman Tentang Pemberitaan Hasil Pemilihan
Presiden, 9 Juli 2014 Di TV One Dan Metro TV ).” Jurnal Aristo 2 n0 2.
Batubara, Abdul Malik Dan Aryandi. 2014. “Komodifikasi Agama Dalam Ruang
Politik Di Sebrang Kota Jambi.” Kontekstualita 29(politik):111.
Hasfi, Nurul. 2017. “Politik Keshalehan Personal Dalam Pemilihan Presiden 2014
Dalam Media Sosial Twitter.” Jurnal Pemikiran Sosiologi 4 NO 2.
Herdiyansyah, Ari Ganjar. 2017. “Politisasi Identitas Dalam Kompetisi Pemilu Di
Indonesia Pasca 2014.” Jurnal Bawaslu 3 no 2.
Hilmy, Masdar. 2018. “Agama_Dan_Demokrasi.” Agama Dan Demokrasi
1(p0litik):23.
Muzakki, Akh. 2014. “Islamisme Dan Politisasi Agama Model PKS Dalam
Pilpres 2009.” ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman 5(1):61.
Ramadlan, M. Fajar Shodiq. 2018. “MARKETING ISU AGAMA DALAM
PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA 2015-2018.” Jurnal
Penelitian Politik 15.
Syahputri, Ayu Dwi. 2018. “POLITISASI AGAMA DALAM PEMILIHAN
KEPALA DESA (STUDI TERHADAP PEMILIHAN KEPALA DESA
LAUT DENDANG KECAMATAN PERCUT SEI TUAN PERIODE 2016-
2022).”
Syamsul, Asep. 2012. “Panduan Praktis Mengelola Media Online.” Nuansa
Cendekia 2 no 2.
Widyawati, Nina. 2014. Etnisitas Dan Agama Sebagai Isu Politik. pertama. edited
by A. H. jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.