Anda di halaman 1dari 12

POLITISASI AGAMA DI MEDIA ONLINE PADA PILPRES 2019

RICKY RONALDO
1715010062

Abstrak : Agama dalam konsep ideal dipahami sebagai panduan ukuran moral.
Agama adalah cara hidup yang memiliki doktrin dengan makna universal dan
melintasi ruang dan waktu selalu relevan dalam semua konteks, termasuk
politik. Tapi perspektif ini pada situasi nyata menyimpang. Agama saat ini
bergeser dari posisinya sebagai pembimbing menjadi hanya instrument dan
dapat dipahami dengan fleksibel sesuai dengan pemahaman orang yang
mengeksploitasi agama itu sendiri. Tulisan ini ingin mencari jawaban (1) apa
faktor penyebab agama di eksploitasi pada kontestasi pilpres 2019, (2)
bagaimana bentuk eksploitasi agama di media dalam kontestasi pilpres 2019
(3 ) apa dampak dari fenomena eksploitasi agama pada pilpres 2019. Dengan
menggunakan data dari dokumentasi, tulisan ini menemukan (1) factor
penyebab mayoritas politisi memasukkan agama ke dalam politik adalah untuk
mendapatkan kekuatan, dan suara umat Islam (2) dan bentuk-bentuk eksploitasi
agama di media pada pilpres 2019 menempatkan simbol-simbol agama dalam
spanduk politik, dan menggunakan ulama sebagai instrumen untuk
meningkatkan elektabilitas politik, menyebarkan foto-foto islamis di media
berita online. Jika fenomena ini dibiarkan, waktu mendatang akan membawa
dampak dalam pemahaman agama menjadi dangkal dan parsial. Tulisan ini
merekomendasikan untuk para pemangku kepentingan politisi, ulama,
akademisi, dan masyarakat Indonesia untuk mengambil bagian mereka sendiri
dalam politik, sehingga agama dapat dipahami dan dilakukan sebagaimana
aslinya.
Kata Kunci : Eksploitasi, Agama, Dan Politik.

Pendahuluan
Penggunaan isu-isu agama sebagai alat politik untuk memperoleh
kekuasaan dalam pemilu marak terjadi akhir-akhir ini (Syahputri 2018). Agama
sebagai sesuatu yang suci dan merupakan hal yang fundamental bagi manusia
dijadikan sebagai senjata ampuh untuk mempengaruhi sentiment pemilih serta
menggiring opini. Karena agama yang bersifat sacral dan merupakan hal yang
fundamental bagi penganutmya, hal ini telah menjadikan nilai agama sangat
sensitive apabila dibenturkan dengan agenda politik. Maka tidak heran jika
para politikus dalam usahanya memperoleh kekuasaan sering menggunakan
isu-isu agama untuk mengambil hati publik dan meraup suara mereka.
Tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui tentang politisasi agama di
media online pada Pilpres 2019 di Indonesia, bagaimana nilai-nilai atau isu-isu
agama itu dipropaganda, dimanfaatkan dan dipelintir serta disebarluaskan di
media oleh para politisi untuk kepentingan politik pragmatis.
Dari hasil pengamtan penulis di media, Isu agama masih laris digunakan
dalam kontestasi politik. Pemanfaatan isu agama (ulama, simbol, bahasa) untuk
kepentingan politik akan menyebabkan krisis kepercayaan terhadap agama,
karena disaat agama masuk dalam ranah politik maka kesucian/kemurnian
agama itu menurun karena politik ini merupakan hal yang dianggap kotor dan
tidak sesuai dengan fitrah agama yang suci. Selain itu pemanfaatan isu agama
untuk kepentingan politik juga bisa menjadi pemecah belah keutuhan bangsa.
Hal ini bisa terjadi karena Indonesia merupakan Negara yang heterogen secara
Agama. Setidaknya ada enam agama resmi yang berada di Indonesia, jika
penggunaan isu-isu agama ini tidak disiasati sejak sekarang maka akan
menyebabkan konflik antar umat beragama yang berkehidupan di Negara
tercinta kita Indonesia.

Kerangka Teoritis
Politisasi menurut KBBI, adalah hal membuat keadaan (perbuatan,
gagasan, dan sebagainya) bersifat politis. Sedangkan agama adalah
kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak
Illahi yang mengatur alam semesta (JP.Chaplin : 2004).
Menurut Glock & Stark (dalam Robert H. Thoules 2003:10) agama adalah
system symbol, system keyakinan, system nilai dan system perilaku yang
terlembagakan yang semuanya berpusat pada persoalan-persoalan yang
dihayati sebagai yang paling maknawi.
Media online secara umum, yaitu segala jenis atau format media yang
hanya bisa diakses melalui internet berisikan teks, foto, video, dan suara.
Dalam pengertian umum ini, media online juga bisa dimaknai sebagai sarana
komunikasi secara online. (M.Romli & Asep Syamsul : 2012 ; 34)
Sedangkan politisasi agama menurut (Siti Faridah: 2018) dalam jurnalnya
yang berjudul “Politisasi Agama Pemecah Keutuhan Bangsa Dalam Pemilu”
Politisasi agama adalah politik hitam yang memanipulasi pemahaman dan
pengetahuan seseorang mengenai agama dengan cara propaganda yang
bermaksud untuk mempengaruhi agama/kepercayaan dalam upayanya
memasukan kepentingan kedalam sebuah agenda politik.
Ada banyak studi yang terkait dengan pemanfaatan agama untuk
kepentingan politik diantaranya, Pertama penelitian yang dilakukan oleh
Abdul Malik & Aryandi Batubara (2014) tentang Komodifikasi Agama Dalam
Ruang Politik Di Sebrang Kota Jambi. Tulisan ini akan mencoba memahami
dan menjelaskan apa yang menjadi dasar rasionalitas terjadinya
komodifikasi agama dalam ruang politik di Seberang Kota Jambi tersebut, baik
menyangkut motivasi dan latar belakang terjadinya komodifikasi, maupun
bentuk-bentuk komodifikasinya, dan implikasinya dalam konteks kekinian
(Batubara 2014)
Penelitian ini menemukan (1) motivasi mayoritas politisi di Seberang
Kota Jambi memasukkan agama ke dalam politik adalah untuk mendapatkan
kekuatan. (2) bentuk-bentuk komodifikasi agama di ruang politik di
Seberang Kota Jambi menggunakan Kitab Yasin sebagai promosi politik,
menempatkan simbol-simbol agama dalam spanduk politik, dan menggunakan
ulama sebagai instrumen untuk meningkatkan elektabilitas politik. (3) Jika
fenomena ini dibiarkan, waktu mendatang akan membawa implikasi dalam
pemahaman agama menjadi dangkal dan parsial.
Kedua, Peneletian Nurul Hasfi (2017) tentang politik keshalehan personal
dalam pemilihan presiden 2014 dalam media sosial twitter. Studi ini
menunjukkan bahwa nilai-nilai agama terlibat aktif dalam proses kontestasi
politik pada konstruksi kepemimpinan politik religius di Twitter yang disebut
penulis sebagai politik keshalehan personal (politics of personal piety).
Politik keshalehan personal beroperasi dengan menggunakan nilai agama
mayoritas yakni Islam yang mendefinisikan kepemimpinan politik yang ideal
sebagai sosok yang mampu dan taat menjalankan rukun Islam. Nilai Islam ini
dalam proses politik Indonesia telah ternaturalisasi dalam masyarakat politik di
Indonesia dan secara tidak langsung telah meminggirkan dan mengeluarkan
(exclude) nilainilai agama/kepercayaan minoritas dari ruang diskusi politik di
ruang maya (Hasfi 2017)
Politik keshalehan personal merefleksikan kegagalan dari kegagalan
kontestan politik dalam menerapkan prosedur demokrasi yang disebut
Habermas sebagai dialog netral. Kegagalan dialog netral ini terjadi saat
perdebatan politik lebih menggunakan landasan argumen religius dalam
perspektif nilai-nilai partikular agama yang primordial dan bukan berangkat
dari argumen religius dari sudut pandang nilai-nilai universal yang dapat
diterima semua agama.
Dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam konteks khusus
yakni diskusi politik tentang kepemimpinan politik religius yang dimediasi
oleh Twitter dalam pemilihan presiden 2014, hubungan agama dan demokrasi
masih problematik. Praktik demokrasi liberal yang saat ini lebih dominan
berlangsung di Indonesia memberikan ruang tak terbatas bagi nilai-nilai agama
untuk diekspresikan sebagai bentuk dari Hak Asasi Manusia yang dilindungi
oleh demokrasi.
Namun disisi lain, kebebasan tersebut juga secara bersamaan telah
mencederai proses demokrasi karena pada praktiknya ada keterlibatan nilai
partikular agama yang secara sadar atau tidak sadar telah meminggirkan nilai
agama/kepercayaan minoritas. Dari studi ini, penulis melihat, nilai-nilai Islam
sebagai nilai agama mayoritas masyarakat Indonesia akan selalu menjadi
tantangan dalam proses demokrasi politik di Indonesia. Hal ini disebabkan
karena Islam merupakan agama terbesar di Indonesia sehingga logikanya akan
menjadi ideologi dominan yang menjadi acuan. Hal yang perlu diwaspadai
yakni manakala hegemoni Islam mulai mengarah pada penggunaan nilai-nilai
primordialisme agama yang justru mendegradasi dan mendestruksi proses
demokrasi di Indonesia yang pluralis ini.
Ketiga, Penelitian M. Fajar Shodiq Ramadlan (2018) tentang Marketing
Isu Agama Dalam Pemilihan Kepala Daerah Di Indonesia 2015-2018. Hasil
penelitian ini menemukan bahwa Sepanjang penyelenggaraan pilkada serentak
paa tahun 2015 hingga 2017, dari 901 pilkada yang diselenggarakan, terdapat 7
pilkada yang diwarnai isu agama. Dalam strategi marketing politik, ada dua
jenis isu agama (konten) yang muncul, yakni: pertama, ajakan untuk memilih
kandidat yang seagama, atau tidak memilih kandidat yang tidak seagama;
kedua, adalah black campaign (hujatan, fitnah atau informasi yang belum jelas
kebenarannya)(Ramadlan 2018).
Produksi isu agama (konten) tidak lepas dari dua konteks: sosial-politik di
level lokal/ daerah dan konteks kompetitor dalam pilkada. Konteks sosial
politik di level lokal, berkaitan dengan konteks historis atau pengalaman
konflik terkait agama di masa lalu. Persoalan atau konflik agama yang pernah
berkembang sebelum penyelenggaraan pilkada (konteks), dihubungkan dengan
isu-isu (konten) untuk mendiskreditkan lawan politik.
Dalam konteks ini, konten isu agama digunakan melalui black campaign.
Bentuknya bisa sangat beragam, ada yang menggunakan spanduk, selebaran,
maupun kampanye negatif melalui media sosial. Konteks ini dapat dilihat
misalnya pada pilkada Jabar dan Depok. Sedangkan konteks kompetitor,
muncul biasanya jika terdapat salah satu calon kepala daerah yang mempunyai
latara belakang minoritas. Identitas minoritas kandidat menjadi sumber untuk
memproduksi isu agama.
Dalam konteks ini, isu agama yang muncul misalnya berupa larangan
memilih pemimpin dari latar belakang minoritas. Konteks ini misalnya muncul
di Pilgub DKI Jakarta dan Pilwali Surakarta. Penjelasan ini menunjukkan
bahwa isu agama muncul di sepanjang penyelenggaraan pilkada 2015-2018
dengan cara, bentuk dan pola dimana konten dan konteks saling berkaitan.

Metodologi Kajian
Tulisan ini merupakan penelitian kepustakaan (library re-search), yakni
penelitian yang dilakukan dengan mengkaji sejumlah bahan pustaka yang
bertujuan untuk mendeskripsikan dan atau merekonstruksikan fenomena-
fenomena sosial tertentu secara objektif dan akurat.
Adapun lokasi penelitian ini adalah di media online. Penelitian ini penulis
lakukan di media online dengan beberapa alasan yang pertama, karena penelitian
ini mengkaji politisasi agama yang terjadi pada masa pemilihan presiden atau
pilrpes yang kejadiannya telah berlalu, sehingga untuk mengambil data pada
kejadian yang telah berlalu itu adalah dengan dokumen.

Dalam konteks penelitian ini, bahan-bahan kepustakaan yang dibutuhkan


yang berhubungan dengan permasalahan penelitian, yakni politisasi isu agama
yang dilakukan para politikus dimedia online.
Menurut A. Chaedar Alwasilah (2002) jenis dokumen yang dapat
dimanfaatkan dalam penelitian kepustakaan sangat beragam, yakni antara lain:
surat, memoar, otobiografi, diari, jurnal, buku teks, surat wasiat, makalah, pidato,
artikel Koran, editorial, catatan medis, pamphlet propaganda, publikasi
pemerintah, media cetak dan online, foto, dan lain sebagainya. Penelitian ini akan
memanfaatkan dokumen yang berbentuk teks pada media online yang di post oleh
kalangan atau pendukung joko widodo.
Dengan demikian, penelitian ini akan menggunakan teknik pengumpulan
data documenter. Sebagaimana telah dijelaskan, penelitian ini akan memanfaatkan
media online pendukung jokowi sebagai sumber data.
Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
analisis framing. Dalam hal ini, analisis framing dirasa mampu untuk mencari
tahu bagaimana media online melakukan proses pembingkaian berita agama
dalam mengkampanyekan calon presiden dan wakil presiden (Jokoi-Ma’ruf)
2019.
Memakai analisa yang dikembangkan oleh Robert N. Entman. Penulis
memilih perangkat framing Entman dalam penelitian ini dengan argumen
perangkat frame Entman mampu membantu peneliti dalam mendefinisikan
masalah politisasi agama dalam pemilihan Presiden dan wakil Presiden yang
diungkap oleh media dan memperkirakan penyebab dari masalah itu. Selanjutnya,
pisau analisa ini akan membantu penulis dalam mencari tahu makna didalam
pembingkaian berita tersebut Dalam pandangan Entman, framing dipandang
sebagai penempatan informasi- informasi dalam konteks yang khas sehingga isu
tertentu mendapat alokasi penempatan yang lebih besar daripada isu lainnya
(Anggoro 2014).
Define Problems Bagaimana suatu peristiwa / isu dilihat? Sebagai apa?
(pendefinisian masalah) Atau sebagai masalah apa?
Diagnose causes Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh apa? Apa yang
(memperkirakan masalah atau dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah?
sumber masalah) Siapa (aktor) yang dianggap sebagai penyebab
masalah?
Make moral judgement Nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan
(membuat keputusan moral) msalah? nilai moral apa yang dipakai untuk
melegitimasi atau mendegitimasi suatu tindakan?
Treatment Recommendation Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk
(menekankan penyelesaian) mengatasimasalah / isu? Jalan apa yang
ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi
masalah?

Sejarah Politisasi Agama Di Indonesia


Ternyata di Indonesia pemanfaatan isu agama untuk kepentingan politik
tidak hanya terjadi pada tahun 2019 saja. Pada pemilihan presiden tahun 2014
misalnya, yang mana kandidat yang bertarung kala itu ialah Jokowi-Jusuf
kalla melawan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Isu yang ditujukan kepada
jokowi kala itu adalah bahwa ia beragama Nasrani, keturunan tionghoa,
keturunan PKI, dan bahasa-bahasa yang digunakan dalam memberitakan
jokowi pun banyak yang memakai terma agama (Widyawati 2014).
Pada pemilihan presiden tahun 2009 juga tidak luput dari cengkraman isu
agama, pada 2009 ada tiga kandidat yang bertarung. Yaitu pertama SBY-
Boediono, Megawati-Prabowo, dan JK-Wiranto. Isu agama yang berkembang
kala itu misalnya adalah politisasi yang dilakukan oleh PKS sebagai partai
pengusung pasangan SBY-Boediono. Yang mana pada kala itu mereka(PKS)
menggunakan isu agama dalam hal ini adalah Simbol dan ritual agama.
Sebagaimana diketahui bahwa kedua istri dari capres dan cawapres ini tidak
memakai jilbab, maka oleh PKS mereka instruksikan untuk mengenakan jilbab.
Kedua ialah kasus umrah nya Boediono. Dimana kala itu beredar bahwa
Boediono dan istrinya adalah penganut islam kejawen. Untuk mengatasi hal itu
PKS membawa boediono berserta istrinya pergi ke Mekkah melaksanakan
Umrah untuk menegaskan identitas keIslaman Boediono (Muzakki 2014).

Politisasi Agama Pada Pilpres 2019


Pada pesta demokrasi 2019 di Indonesia khususnya pemilihan presiden,
telah banyak terjadi politisasi terhadap agama yang dilakukan oleh para
politikus. Mulai dari politisasi terhadap tokoh agama (ulama) dalam hal ini
pemilihan wakil presiden yang dilakukan oleh kubu Joko Widodo yang
memilih KH Ma’ruf Amin yang merupakan ulama besar Indonesia menjadi
pasangan nya pada pemilihan presiden 2019. Pemilihan Ma’ruf Amin sebagai
cawapres bisa dikatakan sebagai bentuk politisasi agama (ulama) karena
Jokowi mengetahui kalau Ma’ruf Amin punya efek electoral yang luar biasa
besar dari kalangan muslim, karena Ma’ruf Amin merupakan salah satu tokoh
muslim berpengaruh di Indonesia, beliau juga merupakan mantan ketua Majelis
Ulama Indonesia sekaligus Rais ‘Aam Syuriah NU. Dengan sederat
keunggulan itu Ma’ruf Amin selain diharapkan bisa mendulang suara di akar
rumput kalangan muslim, juga diharapkan bisa menjadi tameng bagi Jokowi
yang sedang di isukan anti Islam dan anti Ulama.
Kedua yaitu banyak beredar foto-foto Jokowi sedang berbusana muslim
bahkan ada pula beredar foto jokowi sedang menjadi imam shalat berjamaah,
untuk menekankan identitas keislaman jokowi.

Di kubu Prabowo isu-isu agama juga banyak digunakan, mulai dari


symbol sampai bahasa agama namun yang paling banyak tampak adalah
bahasa-bahasa agama. Baik dalam kampanye maupun dalam debat atau dalam
pidato-pidato capres di media sering kali terdengar bahasa agama yang keluar
dari mulut mereka. Seperti misalnya yang diucapkan oleh calon wakil presiden
kubu 02 yaitu Sandiaga salahudin uno yang mengatakan apabila terpilih nanti
maka dia dia tidak akan mengambil gajinya sepeserpun karena akan ia
sumbangkan ke fakir miskin dan kaum dhuafa, kemudian dia juga berjanji jika
terpilih akan menurunkan biaya naik Haji (DetikNews: 2019). Dan banyak lagi
lainnya.
Banyak media yang memberitakan bahwa prabowo-sandi di dukung oleh
Ulama ( Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya dukungan dari ketua Front
Pembela Islam yaitu Habieb Rizieq Shihab. Yang juga sangat jelas terjadinya
politisasi terhadap agama terutama tokoh agama adalah terjadi ijtima’ ulama
hingga tiga kali yang hasilnya menyatakan kubu prabowolah yang layak
menjadi pemimpin Indonesia saat ini ( TagarNews : 2019)
Kesimpulan
Berdasrkan analisis di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa isu agama
masih laris digunakan dalam kontestasi politik. Pemanfaatan isu agama (ulama,
simbol, bahasa) untuk kepentingan politik akan menyebabkan krisis
kepercayaan terhadap agama, karena disaat agama masuk dalam ranah politik
maka kesucian/kemurnian agama itu menurun karena politik ini merupakan
hal yang dianggap kotor dan tidak sesuai dengan fitrah agama yang suci. Selain
itu pemanfaatan isu agama untuk kepentingan politik juga bisa menjadi
pemecah belah keutuhan bangsa. Hal ini bisa terjadi karena Indonesia
merupakan Negara yang heterogen secara Agama. Setidaknya ada enam agama
resmi yang berada di Indonesia, jika penggunaan isu-isu agama ini tidak
disiasati sejak sekarang maka akan menyebabkan konflik antar umat beragama
yang berkehidupan di Negara tercinta kita Indonesia.
Menurut analisis penulis berikut alasan kenapa agama masih terus
digunakan dalam kontestasi politik di indonsia. Pertama, karena agama
merupakan nilai keyakinan ilahiah yang sacral bagi setiap orang. Umat
beragama akan mudah digerakkan untuk melakukan sebuah tindakan atas
nama agama. Apalagi jika menyentuh istilah-istilah ritus-dogma yang
transenden seperti jihad, kafir, musyrik dan sejenisnya. Kedua, pengaruh
kesuksesan masa lalu. Dimana kala itu pada pilkada Jakarta isu agama berhasil
dijalankan dibuktikan dengan dipenjaranya Ahok yang di anggap telah
menistakan agama.
Ketiga, merosotnya moral politikus dan tingginya hasrat akan kekuasaan.
Memang benar orang yang berpendidikan tinggi belum tentu mempunyai moral
yang baik, para politikus yang ada di Indonesia ini bukanlah orang-orang
bodoh melainkan para sarjana bahkah bergelar doctor, namun sebagaimana kita
lihat fenomena yang terjadi begitu banyak penyimpangan yang dilakukan oleh
para politikus, ini menunjukan betapa gelar akademik tidak menjamin moral
seseorang. Selanjutnya ialah hasrat untuk berkuasa,di Indonesia pejabat Negara
hidupnya mewah dan banyak fasilitas dan tunjangan yang di dapat saat menjadi
pejabat Negara, hal ini lah yang menyebabkan orang rela melakukan apa saja
untuk bisa menduduki kekuasaan bahkan rela memanfaatkan agama.
Menurut Idrus Ruslan dalam penelitianya tentang Paradigma politisasi
Agama :Upaya Reposisi Agama Dalam Wilayah Publik (2014). Mengatakan
perilaku tersebut(menpolitisasi agama) dapat dianalisis dengan menggunakan
teori dramaturgi yang diintroduksikan oleh Erving Gofmann dan manipulasi
identitas yang dikemukakan oleh Karen Amstrong.
Menurut teori Dramaturgi dunia ini adalah panggung sandiwara, manusia
adalah para pelakunya, di atas panggung itu manusia memainkan peran sesuai
dengan hal yang dekat atau disukai penonton. Jika kita refleksikan dengan
fenomena politisasi agama, yang mana agama adalah yang dekat dengan
manusia maka teori ini benar. Kemudian menurut teori Manipulasi identitas
yang dikemukakan oleh Karen Amstrong, seseorang dapat memanipulasi
identitasnya/berubah menjadi orang lain sebagaimana yang ia kehendaki.
Dalam tulisan yang sama Amien Rais juga mengatakan :
Jika ungkapan-ungkapan dan simbol-simbol keagamaan digunakan
untuk meningkatkan dukungan politik, agama akan menjadi sebuah isu
yang memecah belah kaum muslimin, dan prinsip-prinsip serta
keyakinan-keyakinan yang sensitif yang mungkin tidak dapat
dinegosiasikan akan membebani politik pemilu.
Perilaku semacam itu dianggap sah-sah saja asalkan termanifestasi dalam
kehidupan realitas empirik serta faktual dan dilakukan secara
bertanggungjawab. Sebab nilai-nilai atau moralitas yang diajarkan agama
bukan untuk sekedar aksesori belaka, tetapi untuk diaplikasikan ke dalam
realitas kehidupan sehari-hari. Di luar batas tersebut, maka yang terjadi adalah
hipokretisme (kemunafikan).

DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, Ayub Dwi. 2014. “MEDIA, POLITIK Dan KEKUASAAN (Analisis
Framing Model Robert N. Entman Tentang Pemberitaan Hasil Pemilihan
Presiden, 9 Juli 2014 Di TV One Dan Metro TV ).” Jurnal Aristo 2 n0 2.
Batubara, Abdul Malik Dan Aryandi. 2014. “Komodifikasi Agama Dalam Ruang
Politik Di Sebrang Kota Jambi.” Kontekstualita 29(politik):111.
Hasfi, Nurul. 2017. “Politik Keshalehan Personal Dalam Pemilihan Presiden 2014
Dalam Media Sosial Twitter.” Jurnal Pemikiran Sosiologi 4 NO 2.
Herdiyansyah, Ari Ganjar. 2017. “Politisasi Identitas Dalam Kompetisi Pemilu Di
Indonesia Pasca 2014.” Jurnal Bawaslu 3 no 2.
Hilmy, Masdar. 2018. “Agama_Dan_Demokrasi.” Agama Dan Demokrasi
1(p0litik):23.
Muzakki, Akh. 2014. “Islamisme Dan Politisasi Agama Model PKS Dalam
Pilpres 2009.” ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman 5(1):61.
Ramadlan, M. Fajar Shodiq. 2018. “MARKETING ISU AGAMA DALAM
PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA 2015-2018.” Jurnal
Penelitian Politik 15.
Syahputri, Ayu Dwi. 2018. “POLITISASI AGAMA DALAM PEMILIHAN
KEPALA DESA (STUDI TERHADAP PEMILIHAN KEPALA DESA
LAUT DENDANG KECAMATAN PERCUT SEI TUAN PERIODE 2016-
2022).”
Syamsul, Asep. 2012. “Panduan Praktis Mengelola Media Online.” Nuansa
Cendekia 2 no 2.
Widyawati, Nina. 2014. Etnisitas Dan Agama Sebagai Isu Politik. pertama. edited
by A. H. jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai