i
BAB I
A. PENDAHULUAN
Perencanaaan merupakan titik awal berbagai aktivitas organisasi yang sangat
menentukan keberhasilan suatu organisasi. Perencanaanperpustakaan meliputi semua
kegiatan yang ada pada seluruh bagian dan bidang di perpustakaan. Mulai dari
penganggaran, pengadaan koleksi, pengolahan koleksi, pelayanan perpustakaan,
pemeliharaan bahan pustaka, promosi,laporan tahunan, perencanaan gedung
perpustakaan,perabot dan perlengkapan perpustakaan dll.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Perpustakaan
Perpusatakaan adalah sebuah ruangan, bagian sebuah gedung, ataupan gedung
itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku dan terbitan lainnya yang
biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu untuk digunakan pembaca, bukan
untuk dijual (Sulistyo-Basuki, 1993). Menurut Sutarno NS (2006 :11) perpustakaan
adalah bagian dari sebuah gedung atau bangunan atau bangunan tersendiri yang
didalamnya berisi buku-buuku koleksi, yang diusun dan diatur sedemikian rupa,
sehinngga mudah untuk dicari dan dipergunakan sewaktu-waktu yang dbutuhkan
oleh pembaca.Istilah perpustakaan bahkan bermula sejak zaman Mesopotamia dan
budaya mesir Kuno saat mana orang menggunakan “Scroll, papyri, tanah liat
sebelum system tulisan lahir. Sedangkan fungsi perpustakaan selama berabad-abad
adalah untuk: “to collect, to preserve, and to make available.” (1988:307).
Menurut Undang-Undang No. 47 tahun 2007 tentang Perpustakaan,
“perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau
karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan
1
pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka”.
Perpustakaan memiliki ciri-ciri umum dan persyaratan tertentu, seperti tersedianya
ruangan atau gedung, memiliki koleksi, terdaat petugas yang melyani pemustaka,
pemustakka, dan prasarana dan sistem yang mengatur tata cara agar perpustakaan
dapat berjalan sesuai dengan lancar. Dalam pelaksanaan perpustakaan harus sesuai
dengan sistem manajemen yang telah ditetapkan.
2. Pengertian Manajemen
Manajemen mempunyai arti yang sangat luas, yang dapat berarti proses, seni,
ataupun ilmu. Manajemen menurut G.R. Terry (2010:16) menjelaskan bahwa
manajemen merupakan sebuah proses Manajemen merupakan proses perencanaan,
pengorganisasian, dan pengawasan sumber daya manusia dan sumber-sumber lain
untuk mencapai tujuan ataupun sasaran secara efektif dan efisien (Lasa,
2005:2).Sedangkan pengertian manajemen itu sendiri dalam penerapanya di
perpustakaan, Bryson (1990; 4) menyatakan bahwa manajemen perpustakaan
merupakan upaya pencapaian tujuan dengan adanya pemanfaatan sumberdaya
manusia, informasi, sistem dan sumber dana dengan tetap memperhatikan fungsi
manajemen, peran dan keahlian. Dapat disimpulkan bahwa menajemen adalah
sebuah proses dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan
melalui pemanfaatan sumber daya dan sumber-sumber lainnyta secaea efektif dan
efisien untuk mencapai tujuan tertentu (Athoillah, 2010)
2
(SDM), sumber informasi, sistem, dan sumber dana dengan tetap memperhatikan
manajemen, peran, dan keahlian.
Kebutuhan SDM untuk perpustakaan perlu direncanakan dengan
mempertimbangkan faktor-faktor: jenis kegiatan, kualitas tenaga, spesialisasi,
pemanfaatan teknologi informasi, dana, dan tingkat pendidikan pemakai. Oleh
karena itu, kebutuhan tenaga oleh satu jenis perpustakaan berbeda dengan
kebutuhan tenaga untuk jenis perpustakaan yang lain.Perlu dipikirkan pula jenis
bahan informasi yang akan dikelola oleh suatu perpustakaan, apakah terdiri atas
bahan buku (book materials) atau bahan non buku (nonbook materials). Hal itu
disebabkan oleh keanekaragaman bahan informasi memerlukan spesialisasi tenaga
yang akan menanganinya.
3
3) Untuk memungkinkan adanya pengawasan.
b. Tujuan Perencanaan
1) Menyediakan arahan dan kerangka kerja perpustakaan yang akan memandu
pengambilan keputusan dan pemecahan masalah
2) Meningkatkan layanan perpustakaan melalui kontrol pelaksanaan kegiatan,
kontrol penggunaan anggaran dan lain-lain.
3) Untuk memastikan pengembangan yang rasional dan efektif baik bagi
sumber-sumber informasi yang menjadi koleksi perpustakaan maupun bagi
pengembangan pelayanankepada pengguna sesuai dengan rencana induk
pengembangan universitasnya.
4) Memungkinkan mengatisipasi kebutuhan sumber-sumber informasi dengan
caramembuat perencanaan berdasarkan keadaan saat ini dan proyeksi
keadaan dimasadatang.
5) Memberikan pengalaman dan keahlian bagi pustakawan perguruan tinggi
dalam membuat perencanaan.
c. Fungsi Perencanaan
Perencanaan merupakan titik awal kegiatan akan menetukan sasaran yang
akan dicapai, tindakan yang akan dilakukan, bentuk organisasi yang tepat, dan
orang-orang yang bertanggungjawab atas suatu kegiatan. Perencanaan yang
matang berfungsi untuk:
1) Membantu tercapainya tujuan
Dengan perencanaan yang disusun berdasarkan alasan-alasan yang kuat dan
pemikiran yang mendalam, keragu-raguan dapat dibatasi atau bahkan dihilangkan.
Sehingga dapat mencapai suatu tujuan yang diinginkan.
4
yaitu suatu perencanaan hanya untuk sekali pakai saja. Dalam artian jika
rencana tersebut telah tercapai, maka tidak akan digunakan lagi.
b) Repeats Planning,
yaitu perencanaan yang dipakai secara berulang-ulang, walaupun sudah
dilaksanakan berkali-kali.
2) Jenis perencanaan menurut prosesnya :
a) Policy Planning, suatu rencana yang memuat kebijakan kebijakan saja,
tentang garis besar atau pokok dan bersifat umum. Mengenai apa dan
bagaimana melaksanakan kebijakan itu tidak dirumuskan. Contohnya
ada pada GBHN.
b) Program Planning, merupakan perincian dan penjelasan daripada policy
planning. Dalam perencanaan ini biasanya memuat, hal-hal berikut: 1)
ikhtisar tugas-tugas yang harus dikerjakan, 2) Sumber-sumber dan
bahan-bahan yang dapat digunakan, 3) Biaya, personalia, situasi dan
kondisi pekerjaan, 4) Prosedur kerja yang harus dipatuhi, 5) Struktur
organisasi yang harus dipenuhi
c) Operational Planning (perencanaan kerja), yakni suatu perencanaan yang
memuat hal- hal yang bersifat teknis seperti cara-cara pelaksanaan tugas
agar berhasil mencapai tujuan yang lebih tinggi. Hal-hal yang seringkali
dimuat dalam perencanaan ini adalah: 1) Penetapan prosedur kerja, 2)
Metode-metode kerja, 3) Tenaga-tenaga pelaksana, 4) Waktu, dan
sebagainya
3) Jenis perencanaan menurut jangka waktunya :
a) Long Range Planning, yaitu perencanaan jangka panjang yang dalam
pelaksanaannya membutuhkan waktu lebih dari tiga tahun
b) Intermediate Planning, yaitu perencanaan jangka menengah yang waktu
pelaksanaanya membutuhkan waktu antara 1 hingga tiga tahun
c) Short Range Planning, yaitu perencanaan jangka pendek yang
pelaksanaannya membutuhkan waktu kurang dari 1 tahun.
4) Jenis perencanaan menurut wilayah pelaksanaannya:
a) National Planning, yakni rencana yang diperuntukkan bagi seluruh
wilayah negara
b) Regional Planning, yakni rencana untuk suatu daerah
c) Local Planning, yakni rencana untuk suatu daerah yang sangat terbatas
5) Jenis perencanaan menurut materinya:
5
a) Personnal planning, yaitu suatu perencanaan mengenai masalah-masalah
kepegawaian. Dalam planning ini, masalah pegawai ditinjau dan dibahas
dari berbagai segi secara mendalam dan mendetail.
b) Financial planning, yaitu suatu perencanaan mengenai masalah keuangan
ataupun permodalan (anggaran belanja) secara menyeluruh atau
mendetail dari suatu kegiatan kerja sama untuk mencapai tujuan
bersama.
c) Industrial planning, yaitu perencanaan yang menyangkut kegiatan
industry yang direncanakan sedemikian rupa agar terhindar dari
hambatan dan rintangan dalam pencapaian tujuan.
d) Education planning, yaitu suatu perencanaan dalam kegiatan pendidikan
(misalnya :planning mengenai pendidikan SMEA, SMA, dan lain-lain).
6) Jenis perencanaan menurut segi umum dan khusus :
a) General plans (rencana umum), yaitu suatu rencana yang dibuat garis-
garis besarnya saja dan menyeluruh dari suatu kegiatan kerja sama.
b) Special planning (rencana khusus), yaitu suatu perencanaan mengenai
suatu masalah yang dibuat secara mendetail dan terperinci. Misalnya
:production planning, education planning.
c) Overall planning, yaitu suatu perencanaan yang memberikan pola secara
keseluruhan dari pekerjaan yang harus dilaksanakan. Dalam hal ini,
perencanaan merupakan landasan dari fungsi-fungsi manajemen lainnya.
6
Tujuan adalah sasaran yang akandicapai perpustakaan sekolah dalam waktu
dekat dan hasilnya dapat dirasakan. Pembuatan tujuan perpustakaan sekolah
harus jelas dan dalam penyusunan tujuan melibatkan seluruh komponen yang
terlibat dalam perpustakaan.
d. Analisis KEKEPAN (Kekuatan, Kelemahan,Peluang,dan Ancaman)
Kekuatan perpustakaan perlu dikembangkan dalam rangka mencapai tujun
perpustakaan sekolah, halyang harus dikembangkan antara lain, perhatian
pimpinan sekolah, potensi orang tua siswa, keunggulan sekolah
Kelemahan perpustakaan adalah keadaan yang dapat menghambat
perkembangan perpustakaan. Antara lain, struktur yang kurang jelas, miskin
anggaran, cueknya pimpinan sekolah, guru malsa berkunjung e perpustakaan,
ruang yang sumpek sempit dan sesak, miskin koleksi.
Peluang adalah faktor yang mungkin dapat membantu perkembangan
perpustakaan sekolah antara lain, seponsor,bantuan dari Pemerintah
Daerah,bantuan dari LSM,proyek.
Ancaman adalah faktor yang mungkin dapat menghambat perkembangan
perpustakaan sekolah, ancaman ini dapat berasal dari luar dan dari dalam. Kalau
dari dalam kurang minat baca siswa, guru kurang memberi contoh membaca,
cueknya pimpinan sekolah, tak pedulinya ketua komite sekolah terhadap
perkembangan sekolah. Sedangkan yang dari luar adalah maraknya playstation,
merebaknya mall, dan tayangan televisi.
7
f. Cahaya dalam ruang harus terang
g. Ventilasi udara harus baik
h. Lingkungan yang tenang
i. Tempat parkir
j. Taman, dll.
C. RANGKUMAN
Dalam pengelolaan perpustakaan sekolah membutuhkan manajeman yang baik
dan tenaga yang berkualitas. Di samping kejelasan status atau kedudukan perpustakaan
di dalam organisasi memberikan kejelasan posisi dari tugas-tugas yang harus
dilaksanakan. Kepala sekolah dan kepala perpustakaan memegang peranan penting atas
keberhasilan hasil kerja perpustakaan. Perhatian kepala sekolah tentunya sangat
dibutuhkan demi perkembangan perpustakaan sekolah, baik alokasi dana, tenaga,
maupun sarana prasarana. Tujuan perpustakaan sekolah mendukung terlaksananya dan
tercapainya tujuan sekolah dan tujuan pendidikan pada umumnya.
LATIHAN
TES FORMATIF
8
D. mencari dan melengkapi bahan penelitian
B. mengumpulkan informasi
C. menyebarkan informasi
D. menjual informasi
4. Kata manajemen sering kita temui baik dalam percakapan maupun dalam tulisan.
Sesungguhnya kata manajemen tersebut mempunyai pengertian ....
A. ilmu pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan sosial ekonomi
B. orang yang mengatur, misalnya lalu lintas, kapten kesebelasan sepak bola
D. suatu usaha dari seseorang atau sekelompok orang untuk memproduksi barang
atau jasa yang dipasarkan kepada masyarakat umum guna dikonsumsi
B. menentukan sasaran kerja dan tidak termasuk menentukan tindakan yang harus
dilakukan, bentuk organisasi dan personel yang harus melakukan kegiatan
9
1. C. (Diskusi dan introspeksi)
2. B. (Lokasi yang jauh dari pusat kota)
3. D. (Menjual informasi)
4. B. (Orang yang mengatur, misalnya lalu lintas, kapten kesebelasan sepak bola)
5. A. (Menentukan sasaran yang ingin dicapai, tindakan yang harus dilakukan, bentuk
organisasi dan personel/tenaga kerja)
PENUGASAN
DAFTAR PUSTAKA
Gaspersz, Vincent. 2005. Total Quality Management. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Husein, Husaini. 2008. Manajemen Teori Praktek dan Riset. Jakarta: Bumi Aksara
Qalyubi, Syihabuddin. 2007. Dasar-dasar Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Yogyakarta: Jurusan
Ilmu Perpustakaan dan Informasi
Wexley, Kenneth N dan Gary A Yuki. 2005. Perilakau Organisasi dan Psikologi Personalia.
Jakarta: Rineka Cipta
10
BAB II
PELAKSANAAN PROGRAM PERPUSTAKAAN SEKOLAH
11
c) Data is descriptions of things and events that we face (data merupakan gambaran
tentang sesuatu atau peristiwa yang kita hadapi.
d) Gordan B. Davis dalam buku Management Information System: Conceptual
Foundations, Structures and Development yang dikutip oleh Teguh Wahyono
dalam buku Sistem Informasi, menyebut data sebagai bahan mentah (raw
materias) yang dirumuskan sebagai sekelompok lambang-lambang tidak acak
yang menunjukkan jumlah atau tindakan, atau hal lain.
Dari keempat pengertian di atas, dapat disebutkan bahwa data adalah bahan
baku yang didefinisikan sebagai kelompok teratur simbol-simbol yang mewakili
kuantitas tindakan, benda, dan sebagainya. Data terbentuk dari karakter yang bisa
berupa huruf alfabet, angka, maupun simbol khusus seperti *, # dan /. Data disusun
untuk diolah dalam bentuk struktur data, struktur file dan basis data.
12
2) Tentang Informasi
Banyak sekali pengertian tentang informasi yang dirumuskan, dinyatakan dan
tulis oleh para ahli. Teguh Wahyono (2004) merangkum beberapa pengertian
informasi dari beberapa ahli sebagai berikut.
a) Informasi adalah data yang telah diolah menjadi bentuk yang berguna bagi
penerimanya, nyata dan berupa nilai yang dapat dipahami di dalam keputusan
sekarang maupun masa depan (Gordon B. Davis dalam buku Management
Information System: Conceptual Foundations Structures and Development).
b) Informasi merupakan sesuatu yang menunjukkan hasil pengolahan data yang
diorganisasi dan berguna bagi orang yang menerimanya (Berry E, Cushing
dalam buku Accounting Information System and Business Organization).
c) Informasi adakah suatu kenyataan, data, item yang menambah pengetahuan bagi
penggunanya (Robert N. Anthony dan John Dearden dalam buku Management
Control Systems).
d) Informasi adalah kenyataan atau bentuk-bentuk yang berguna yang dapat
dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan bisnis (Stephen A. Moscove dan
Mark G. Simkin dalam buku Accounting Information Systems: Concept and Practice).
Dari keempat pengertian tersebut dapat dirangkumkan sebuah pengertian
informasi sebagai: ”Sekumpulan data, kenyataan, atau bentuk yang diolah agar
dapat memiliki kegunaan, baik untuk sumber pengetahuan maupun sebagai dasar
pengambilan keputusan bagi individu dan atau organisasi yang menerimanya”.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa informasi tidak terbentuk dengan
sendirinya, tetapi harus ada sebuah kegiatan atau usaha yang dilakukan secara
sengaja untuk membentuknya dari sekumpulan data, menerimanya agar memiliki
kegunaan.
3) Karakteristik Informasi
Setiap informasi memiliki beberapa karakteristik yang menunjukkan sifat, yaitu
antara lain:
a) Benar atau salah. Karakteristik ini berhubungan dengan nyata atau tidaknya
sebuah informasi atau data yang dijadikan sumber informasi.
b) Baru. Sebuah informasi harus benar-benar baru sama sekali bagi penerimanya.
c) Tambahan. Sebuah informasi harus menjadi tambahan atau perbaharuan pada
informasi maupun pengetahuan yang telah ada dimiliki oleh penerima.
d) Korektif. Sebuah informasi harus dapat dijadikan bahan koreksi bagi informasi
13
sebelumnya yang keliru atau palsu.
e) Penegas. Informasi harus dapat mempertegas informasi yang telah diterima
sebelumnya sehingga dapat meningkatkan persepsi penerima atas kebenaran
informasi yang dimilikinya.
4) Nilai Informasi
RANGKUMAN
Pengertian data banyak sekali dikemukakan yang berujung pada sebuah pengertian
yang umum yaitu bahwa data adalah sekumpulan fakta atau peristiwa atau lambang yang
masih bersifat mentah dan belum dapat dimanfaatkan. Data terbentuk dari karakter yang
bisa berupa huruf alfabet, angka, maupun simbol khusus seperti *, # dan /. Sedangkan
pengertian informasi adalah sekumpulan data, kenyataan, atau bentuk yang diolah agar
dapat memiliki kegunaan, baik untuk sumber pengetahuan maupun sebagai dasar
pengambilan keputusan bagi individu dan atau organisasi yang menerimanya, kemudian
bisa diartikan bahwa informasi tidak terbentuk dengan sendirinya, tetapi harus ada sebuah
kegiatan atau usaha yang dilakukan secara sengaja untuk membentuknya dari
sekumpulan data, menerimanya agar memiliki kegunaan. Bernilai atau tidaknya sebuah
informasi ditentukan apakah infromasi memberikan manfaat yang lebih besar daripada
biaya yang dikeluarkan untuk pengambilan sebuah keputusan
14
TES FORMATIF 1
15
pemecahan masalah atau pengambilan keputusan?” Informasi dikatakan
relevan jika dapat memberikan manfaat bagi penerima yang kemudian
memakainya. Relevansi informasi bagi satu orang dan orang lainnya akan
berbeda-beda, misalnya informasi tentang hasil penjualan barang kurang
relevan bagi manajer teknik, dan hanya relevan bagi manajer pemasaran.
b) Akurasi
Sebuah informasi disebut akurat jika informasi tersebut tidak bias atau
menyesatkan, dan jelas maksudnya.
Akurasi informasi dapat dipelihara atau terganggu oleh beberapa hal,
yaitu: Pertama adalah kelengkapan informasi, yaitu informasi yang
merupakan satu kesatuan utuh dan menyeluruh, mencakup seluruh hal
yang berkaitan. Informasi yang terpecah-pecah akan menghasilkan
pengambilan keputusan yang tidak tepat, dan melemahkan kemampuan
mengontrol atau memecahkan masalah. Kedua adalah kebenaran informasi
yang dapat dilihat dari kesesuaian informasi dengan perhitungan-
perhitungan dalam proses pembuatannya. Ketiga, yaitu keamanan
informasi. Artinya infromasi yang ditujukan untuk pihak tertentu hanya
dapat diakses oleh pihak yang memang menjadi tujuannya.
Komponen lain yang juga banyak digunakan untuk menentukan
kualitas informasi oleh para ahli antara lain adalah: Ekonomis, yaitu banyak
atau sedikitnya biaya dan sumber daya yang digunakan untuk
mengumpulkan dan mentransformasi data menjadi informasi. Efisiensi,
yaitu bahwa informasi yang diciptakan tepat dan sesuai bagi kebutuhan
pengguna sehingga tidak ada data yang terbuang percuma. Kemudian
informasi disebut berkualitas jika dapat dipercaya. Kepercayaan ini bisa
dibangun dengan cara memilih sumber-sumber data yang sudah dikenal,
legal dan dijamin keasliannya.
2) Usia Informasi
Usia sebuah informasi berhubungan dengan waktu digunakannya
informasi yang terkandung dalam sebuah laporan. Sebagai contoh, laporan
yang bersifat periodik akan lebih jelas menggambarkan usianya, seperti
laporan operasi bulanan, laporan posisi keuangan pada akhir sebuah periode,
dan lain sebagainya.
Pada dasarnya, menurut Teguh Wahyudi (2004), usia sebuah informasi
dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu:
a) Usia Informasi Berdasarkan Data Kondisi
16
Usia tersebut merupakan usia informasi yang berhubungan dengan
sebuah titik waktu, misalnya adanya persediaan barang per 31 Desember
2002 dalam laporan inventaris.
b) Usia Informasi Berdasarkan Data Operasi
Usia informasi yang mencerminkan terjadinya perubahan data selama
satu periode waktu, seperti laporan penjualan barang selama seminggu
dari tanggal 1 sampai dengan 7 Agustus 2003.
3) Fungsi Informasi
Fungsi utama informasi, dalam konteks sistem informasi, adalah untuk
meningkatkan pengetahuan dan mengurangi ketidakpastian dari pengguna.
Informasi yang disebarluaskan kepada pengguna merupakan hasil masukan
(input), data, proses, dan luaran (output) dalam suatu model keputusan.
Dalam suatu pengambilan keputusan yang kompleks, informasi hanya
dapat meningkatkan kemungkinan yang pasti, dan mengurangi variasi pilihan.
Sebagai contoh dapat dilihat pada gambar berikut!
17
mengakibatkan pengambil keputusan memilih, akan tetapi informasi itu
mengurangi ketidakpastian dia dalam mengambil keputusan pada apa yang
diketahuinya. Fungsi utama informasi lainnya adalah menyajikan suatu
standar, aturan pengukuran, dan aturan keputusan untuk penentuan dan
penyebaran umpan balik sebagai proses kendali. Dengan kata lain, jika
pengambil keputusan menanamkan investasi pada suatu proyek maka
infromasi diperlukan untuk membantu mengendalikan berjalannya proyek
tersebut.
RANGKUMAN
Kualitas informasi sangat dipengaruhi atau ditentukan oleh tiga hal pokok, yaitu
relevansi, akurasi dan ketepatan waktu. Akurasi informasi dapat dipelihara atau terganggu
oleh beberapa hal, yaitu: kelengkapan informasi, yaitu informasi yang merupakan satu
kesatuan utuh dan menyeluruh, kebenaran informasi yang dapat dilihat dari kesesuaian
informasi dengan perhitungan-perhitungan dalam proses pembuatannya., keamanan
informasi yang berarti bahwa informasi yang ditujukan untuk pihak tertentu hanya dapat
diakses oleh pihak yang memang menjadi tujuannya.
Usia sebuah informasi berhubungan dengan waktu digunakannya informasi yang
terkandung dalam sebuah laporan. Pada dasarnya usia sebuah informasi dapat dibedakan
menjadi dua kelompok yaitu: usia informasi berdasarkan data kondisi dan usia informasi
berdasarkan data operasi. Informasi berfungsi untuk meningkatkan pengetahuan dan
mengurangi ketidakpastian pengguna.
TES FORMATIF 2
18
A. sebagai dasar untuk mengukur ketepatan waktu
B. untuk mengurangi ketidakpastian
C. menambah aset perusahaan
D. dijadikan komoditas jual beli dalam bisnis
19
7. Penyimpanan. Pengoperasian ini menempatkan data pada beberapa media
penyimpanan, seperti kertas, microfilm, pita kaset, disket CD-rom, yang
bukan saja dapat menyimpan data tetapi juga dapat melakukan proses
pengambilan data jika diperlukan.
8. Pengambilan. Pengoperasian ini memerlukan akses pencarian dan perolehan
kembali elemen data yang spesifik dari medium di mana data tersebut
tersimpan.
9. Penggandaan. Pengoperasian ini meniru data dari satu medium kepada
medium lainnya, atau pada posisi lain dari medium yang sama. Sebagai
contoh, sebuah file data yang tersimpan pada CD-rom dapat disimpan ulang
pada disket, untuk pengamanan rusaknya data asli pada CD-rom.
10. Penyebaran/pengombinasian. Pengoperasian ini mentransfer data dari satu
tempat ke tempat lain. Sebagai contoh data dapat dipindahkan dari pembuat
data kepada pengguna data. Tujuan akhir dari pengolahan data adalah
menyebarkan informasinya kepada pengguna akhir.
b. Metode Pengolahan Data
Sistem informasi pada kebanyakan organisasi umumnya terdiri dari variasi
metode teknis dan manualnya. Untuk mencapai efektivitas dengan
menggunakan variasi alat dan teknik tersebut maka digunakan pengolahan
data dalam empat metode, yaitu (1) manual, (2) elektromekanik, (3)
perlengkapan punched card (kartu pencatat), dan (4) komputer elektronik
(termasuk di dalamnya penggunaan CD-rom).
Pada metode manual, seluruh pengoperasian data dilaksanakan dengan
tangan, dengan peralatan pokok seperti pencil, kertas, penggaris, papan tulis
dan sebagainya. Metode elektromagnetik adalah perpaduan antara manusia dan
mesin. Contoh metode ini adalah ketika operator bekerja dengan mesin fotokopi,
cash register, dan sebagainya.
Metode perlengkapan kartu pencatat memerlukan penggunaan seluruh alat
yang sering kali digunakan sebagai suatu unit sistem pencatat. Prinsipnya
adalah data mengenai orang, objek atau kejadian secara normal dicatat (punched)
dalam suatu kartu. Sejumlah kartu yang mengandung data tentang objek yang
serupa tersebut (misalnya pembayaran atau penyimpanan barang) disatukan
dalam suatu tumpukan kayu, yang biasanya disebut sebagai file. Sistem ini
biasanya terdiri dari alat: tombol kunci, pengecek, penyortir, penyusun,
pengganda, mesin pencatat, mesin penghitung, penerjemah dan tombol
peringkas.
20
Komputer merupakan suatu konfigurasi yang terdiri dari alat input, central
processing unit (CPU), dan output. CPU terdiri dari empat pokok komponen,
yaitu: (1) unit arithmetic-logic, (2) unit control, (3) unit primary storage, dan (4)
console.
Penemuan CPU didasari konsep program penyimpanan (stored program),
yang menunjukkan suatu proses di mana instruksi-instruksi disimpan di dalam
unit primary storage. Setiap CPU terdiri dari daftar instruksi yang menampung
semua operasinya sehingga komputer tersebut dapat melakukan apa yang
diperintahkan. CPU inilah yang dapat dianggap sebagai otaknya komputer.
Akan tetapi hasil yang diperoleh melalui ”pemikiran” otak komputer tadi,
semuanya bergantung kepada input datanya. Dengan kata lain, output data
bergantung kepada input data. Akan tetapi, pengolahan data dengan metode
komputer ini dapat menyajikan banyak data dan menghasilkan juga banyak
informasi yang diperlukan, dengan kecepatan lebih baik dibanding dengan tiga
metode sebelumnya.
c. Pengolahan Pemilihan Data
Proses pemilihan metode pengolahan data yang tepat memerlukan seorang
analis sistem. Analis sistem ini juga dapat memahami dengan baik semua
perlengkapan pengolahan data dan kinerja masing-masing metodenya. Untuk
perlengkapan pengolahan data diperlukan pemikiran sebagai berikut: (1)
volume elemen data, (2) kompleksitas data yang dibutuhkan, (3) waktu
pengolahan data, dan (4) permintaan penghitungan. Pemahaman keempat hal
tersebut sangat penting, jika analis data akan memilih metode pengolahan data
yang tepat untuk suatu organisasi. Dalam beberapa organisasi, satu elemen
mungkin sangat dominan, sedangkan elemen lain tidak. Misalnya, bank yang
besar mengerjakan banyak cek yang harus diproses sehingga volume menjadi
masalah utama dan diperlukan komputer untuk pengesahannya. Sedangkan
sebuah bank kecil memerlukan waktu yang lama untuk satu pengolahan data
bagi pengesahan pengajuan kredit, karena masalah ketersediaan tenaga sumber
daya manusianya.
Memahami kemampuan kinerja metode pengolahan data adalah juga
merupakan hal yang sangat penting. Paling tidak terdapat lima belas faktor
kinerja suatu metode pengolahan data, sebagai berikut.
1. Penanaman modal awal. Upaya yang diperlukan dalam bentuk bahan atau
mesin yang dibutuhkan dalam pengolahan data.
2. Persiapan. Upaya ini diperlukan untuk mempersiapkan catatan data awal
21
untuk proses selanjutnya.
3. Konversi. Upaya perubahan dalam pengolahan data yang awal dengan
metode baru.
4. Kebutuhan keahlian personel. Tingkat pendidikan dan pelatihan individu
yang terlibat dalam pengolahan data.
5. Variabel harga. Harga unit data yang mengikuti perubahan volumenya.
6. Pengaturan. Kemampuan untuk meningkatkan atau menurunkan
kemampuan pengolahan dilihat dari keperluannya.
7. Fleksibilitas. Kemampuan untuk mengubah prosedur pengolahan untuk
memperoleh kepuasan atau perubahan keperluannya.
8. Keragaman. Kemampuan untuk melaksanakan tugas yang berbeda.
9. Kecepatan pengolahan. Waktu yang digunakan untuk menyelesaikan input
sampai dengan output.
10. Kemampuan perhitungan. Kemampuan untuk mengerjakan penghitungan
matematika yang kompleks.
11. Kontrol pengolahan. Kemampuan untuk menguji seluruh proses pengolahan
dataseperti yang telah direncanakan.
12. Pendeteksi kesalahan yang otomatis. Kemempuan merode untuk
mengidentifikasi kesalahan pengoperasian secara otomatis.
13. Kemampuan pembuatan keputusan. Kemampuan untuk memilih di antara
alternatif dalam upaya untuk melanjutkan pengolahan data.
14. Degadrasi sistem. Tingkat sistem pengolahan data mengalami penurunan
kemampuan atau kerusakan.
15. Tingkat otomasi. Bagaimana tingkat sistem pengolahan dalam kemampuan
secara otomatis untuk mengolah data.
d. Nilai Ekonomis Suatu Informasi
Dalam setiap organisasi informasi merupakan sumber yang bernilai. Tanpa
informasi formal, sebuah organisasi tidak dapat bertahan. Oleh karena itu, dalam
setiap organisasi memiliki kecenderungan untuk mengembangkan kegunaan
dan efektivitas informasi melalui, pertemuan resmi, rapat atau pertemuan rutin
dalam pemecahan masalah.
Persiapan untuk mendapatkan informasi formal tidak gratis; usaha itu
memerlukan biaya. Berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh suatu organisasi
untuk informasi tersebut adalah bergantung kepada sejauh mana penghargaan
organisasi terhadap informasi itu.
Tugas seorang analis sistem informasi untuk memperhitungkan berapa
22
biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh informasi dalam upaya untuk
mengoptimalisasikan fungsi sistem informasi. Berikut ini lima hal yang dapat
digunakan untuk pertimbangan biaya dalam pengolahan data pada sebuah
sistem informasi.
e. Harga Informasi
Untuk menentukan berapa harga informasi yang harus ditawarkan pada
pihak pembeli informasi, seorang analis dan penyedia informasi dapat
menggunakan beberapa komponen dasar penghitungan berikut ini:
1. Biaya untuk perangkat kerasnya. Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk
penyediaan sarana pengolah data dalam bentuk perangkat keras, misalnya
untuk penyediaan komputer.
2. Biaya perancangan dan penerapan analisis sistem. Berapa biaya yang harus
disediakan mulai proses perancangan sampai penerapan suatu sistem yang
digunakan, misalnya harga sebuah software program analisis.
3. Biaya untuk faktor pengendali lingkungan. Harga ini beragam, bergantung pada
kondisi lingkungannya. Misalnya harga untuk penyewaan ruangan,
peralatan AC, sistem pengamanan. Semakin banyak kebutuhan akan
pengendalian lingkungan maka semakin tinggi biaya yang harus
dikeluarkan.
4. Biaya konversi. Harga yang harus dikeluarkan jika terjadi perubahan dalam
sistem, atau metode pengolahan data. Termasuk di dalamnya kebutuhan
akan perangkat kerasnya.
5. Biaya pengoperasian. Harga ini juga bervariasi bergantung kepada kebutuhan,
misalnya menyangkut keragaman fasilitas, personel, sistem pemeliharaan,
dan sebagainya.
f. Nilai Informasi
Selain harga yang harus diperhatikan, nilai informasi adalah juga menjadi
faktor penting. Terdapat sepuluh faktor yang mempengaruhi nilai informasi,
yaitu:
1. Aksebilitas. Bagaimana kemampuan dan kecepatan informasi yang
dihasilkan dapat diperoleh. Misalnya dalam satuan waktu menit dalam dua
puluh empat jam.
2. Kelengkapan. Bagaimana kelengkapan isi informasi sesuai dengan yang
dibutuhkan. Hal ini bukan dalam ukuran volume, akan tetapi dalam ukuran
aspek-aspek yang mempengaruhi output informasi. Biasanya agak sukar
diukur jumlahnya.
23
3. Keakuratan. Bagaimana tingkat output informasi dalam kebebasan dari
kesalahan. Dalam pengolahan data biasanya muncul dua kesalahan, yaitu
kesalahan penulisan dan kesalahan penghitungan.
4. Ketepatan. Seberapa baik output informasi sesuai dengan permintaan
pengguna.
5. Singkat waktu. Seberapa singkat penggunaan waktu dari input, proses,
output dan diterima oleh pengguna.
6. Kejelasan. Bagaimana tingkat bebasnya informasi dari hal yang
membingungkan.
7. Kelenturan. Bagaimana tingkat adaptasi output informasi tidak hanya pada
satu keputusan, tetapi pada lebih banyak pembuat keputusan.
8. Kemampuan diuji. Bagaimana pengguna dapat menguji output informasi dan
menghasilkan kesimpulan yang sama.
9. Kebebasan dari bias. Bagaimana kemungkinan menghasilkan informasi lain
untuk memperoleh kesimpulan lain.
10. Dapat dihitung. Bagaimana informasi itu dapat dihasilkan dari sistem
informasi yang formal, bukan berasal dari desas-desus, rumors, bisik- bisik
dan sebagainya.
Tujuan suatu sistem informasi adalah untuk memperoleh tingkat optimum
di mana nilai marginal informasi seimbang dengan biaya pengadaan informasi
tersebut. Akan tetapi terdapat tiga kemungkinan hubungan antara nilai marginal
dan biaya marginal dari informasi tersebut. dan bagaimana pengaruhnya
terhadap output informasi, yaitu:
1. Jika nilai marginal > biaya marginal = peningkatan output
2. Jika nilai marginal < biaya marginal = penurunan output
3. Jika nilai marginal = biaya marginal = output optimum.
RANGKUMAN
Data merupakan elemen dasar untuk pembuatan informasi. Data dapat diubah
menjadi sesuatu yang berarti melalui proses dalam suatu model keputusan. Informasi
merupakan produk pokok dari sistem informasi. Hal yang mendasari suatu proses
keputusan adalah ketidaktentuan. Informasi mempunyai dua fungsi dasar, yaitu
mengurangi keragaman dan memberikan umpan balik. Informasi merupakan komoditas
yang berguna dan bernilai, dan sebagai konsekuensinya diperlukan biaya untuk
menghasilkannya. Agar lebih ekonomis maka biaya untuk menghasilkan informasi harus
sesuai dengan nilainya. Pengolahan data menjadi informasi dapat melalui empat metode,
24
yaitu (1) manual, (2) elektromekanik, (3) perlengkapan punched card (kartu pencatat), dan
(4) komputer elektronik (termasuk di dalamnya penggunaan CD-rom). Untuk memahami
kemampuan/kinerja metode pengolahan data perlu memperhatikan: penanaman modal
awal; persiapan; konversi; kebutuhan; kecepatan pengolahan; kemampuan penghitungan;
kontrol pengolahan; pendeteksian kesalahan otomatis; kemampuan pembuatan keputusan;
degradasi sistem dan tingkat otomasi. Pengadaan informasi memerlukan biaya.
Pertimbangan biaya dalam sebuah pengolahan informasi dapat memperhatikan: harga
perangkat kerasnya; harga perancangan dan penerapan analisis sistem; harga untuk faktor
kendali lingkungan; harga suatu konversi; dan harga pengoperasian.
Selain harga, nilai informasi perlu juga mendapat perhatian analis sistem, yaitu
menyangkut pada: aksesibilitas, kelengkapan, keakuratan, ketepatan, singkat waktu,
kejelasan, kelenturan, kemampuan diuji, kebebasan dari bias; dan dapat dihitung.
TES FORMATIF 3
KUNCI JAWABAN
TES FORMATIF 1
25
TES FORMATIF 2
1) D (Kebutuhan penerimanya)
2) C (Data operasi)
3) B (Untuk mengurangi ketidakpastian)
TES FORMATIF 3
1) B (Penggandaan)
2) D (Peningkatan output informasi)
DAFTAR PUSTAKA
Burch, J.G.Jr and Strater, F.R. Jr. (1974). Information Systems: Theory and Practice. New York:
John Wiley & Sons, Inc.
Jogiyanto, H.M. (1995). Analisis & Desain Sistem Informasi: Pendekatan Terstruktur.
Yogyakarta: Andi Offset.
Murdick, Ross. (1993). Sistem Informasi untuk Manajemen. Cetakan V. Jakarta: Erlangga.
Simatupang, Togar M. (1995). Teori Sistem: Suatu Perspektif Teknik Industri. Yogyakarta:
AndiOffset.
Wahyudi, Teguh. (2004). Sistem Informasi: Konsep dasar, analisis desain dan implementasi.
Yogyakarta: GrahaIlmu.
26
Perpustakaan merupakan sistem informasi berfungsi dalam
menyediakan dan menyampaikan informasi yang terdapat dalam koleksinya.
Oleh karena itu, koleksi perpustakaan perlu diolah, diatur sedemikian rupa
sehingga informasinya dapat disimpan dan ditemukan kembali secara cepat
dan tepat pada saat dibutuhkan. Dengan demikian, dalam perpustakaan
diperlukan suatu sistem temu kembali informasi.
Setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan mampu menjelaskan:
a) Pengertian tentang sistem informasi di perpustakaan.
27
2. dikenali melalui sajian ringkas dari materi pustaka yang disebut dengan
cantuman bibliografi.
28
dan pengguna perpustakaan (pemustaka). Keempat komponen sistem
informasi tersebut diuraikan di bawah ini.
(1) Bahan Pustaka (Materi Pustaka)
Bahan pustaka merupakan media informasi rekam baik tercetak
maupun noncetak yang merupakan komponen utama di setiap sistem
informasi baik perpustakaan maupun unit informasi lainnya. Dengan
adanya perkembangan
(2) Susunan Koleksi
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, saat ini terdapat berbagai jenis
materi pustaka elektronik, tetapi koleksi buku tercetak masih banyak
dan tetap dibutuhkan oleh semua pihak. Untuk itu, dalam
pembahasan kali ini yang dimaksud dengan susunan koleksi adalah
susunan koleksi buku tercetak. Penempatan koleksi perpustakaan
merupakan hal yang perlu diperhatikan juga. Sistem temu kembali
informasi sangat berkaitan dengan sistem penempatan koleksinya.
Penempatan koleksi perpustakaan hanya dapat disusun berdasarkan
salah satu ciri materi pustaka. Ada dua cara yang dapat dipilih untuk
menyusun koleksi perpustakaan, sebagai berikut.
a. Penempatan relatif yang menampilkan susunan koleksi
berdasarkan subjek buku. Dalam hal ini yang diberi tanda adalah
bukunya sehingga buku baru dapat disisipkan dalam susunan
koleksi tersebut.
b. Penempatan tetap, menampilkan susunan koleksi berdasarkan
salah satu ciri buku, kecuali ciri subjek. Dalam hal ini, yang diberi
nomor adalah rak. Dengan demikian, setiap buku menempati
tempat tetap dalam susunan koleksi sehingga tidak mungkin untuk
menyisipkan buku baru sebagai koleksi perpustakaan.
(3) Sarana Temu Kembali Informasi
Untuk mengetahui materi pustaka apa saja yang dimiliki oleh
perpustakaan dan dalam hal ini materi pustaka tersebut disimpan
diperlukan alat bantu yang disebut dengan sarana temu kembali
informasi. Ada beberapa sarana temu kembali yang biasa digunakan
oleh pemustaka, di antaranya berikut ini.
a. Bibliografi.
b. Katalog.
c. Indeks.
29
d. Search engines.
Dalam modul ini, akan dibahas salah satu alat bantu yang
digunakan di perpustakaan, yaitu katalog perpustakaan. Terdapat
beberapa bentuk katalog, yaitu bentuk buku, kartu, bentuk mikro, dan
katalog terbacakan mesin yang dikenal dengan OPAC (Online Public
Accsess Catalogue). Dewasa ini, banyak perpustakaan yang sudah
menyediakan OPAC sehingga katalog berbentuk kartu sudah jarang
digunakan. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, saat
ini banyak perpustakaan dan pusat-pusat informasi yang sudah
menyediakan sistem katalog berbasis web sehingga koleksi
perpustakaan dapat diakses dari mana dan kapan saja melalui
jaringan internet, tanpa harus mengunjungi perpustakaannya.
(4) Pengguna Perpustakaan (Pemustaka)
Pemustaka adalah pengguna perpustakaan yang akan
memanfaatkan koleksi perpustakaan. Istilah pengguna yang
digunakan dalam Undang- Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang
perpustakaan adalah pemustaka. Pemustaka melakukan penelusuran
informasi baik melalui katalog maupun langsung ke jajaran koleksi.
Seperti telah dijelaskan di atas, saat ini sudah banyak perpustakaan
yang menggunakan sistem katalog berbasis web dalam hal
penelusurannya dapat melalui internet sehingga pemustaka dapat
melakukan penelusuran informasi kapan dan di mana saja tanpa harus
mendatangi perpustakaan.
30
kalangan perpustakaan adalah pengatalogan, yaitu sebagai proses
pembuatan katalog. Bagaimana melakukan pengindeksan akan
dibahas secara rinci dalam buku materi ini.
(2) Temu Kembali Informasi
Proses temu kembali dikerjakan pada bagian keluaran oleh
pemustaka melalui penelusuran yang ditunjukkan dengan garis
putus-putus pada Gambar 1.1. Proses temu kembali berakhir dengan
penyampaian buku dari susunan koleksi kepada pemustaka, yang
ditunjukkan dengan garis lurus. Tentunya buku yang diperlukan
tidak selalu dapat disampaikan karena ada kalanya buku tersebut
tidak dapat ditemukan dalam susunan koleksi.
Pengindeksan sebagai kegiatan dalam teknik bibliografi
mensyaratkan adanya pemahaman mengenai materi pustaka yang
ditangani serta kemampuan dalam menggunakan peraturan
pengatalogan, membuat analisis subjek, dan menggunakan alat-alat
bantu untuk menentukan kandungan informasi atau subjek materi
pustaka. Pengindeksan meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu pengatalogan
deskriptif dan pengindeksan subjek. Berikut akan dijelaskan secara
garis besar kegiatan pengindeksan yang dilakukan di perpustakaan.
d) Pengatalogan Deskriptif
Pengatalogan deskriptif merupakan kegiatan mengidentifikasi dari
ciri- ciri fisik suatu materi pustaka, seperti pengarang, judul, tempat terbit,
nama penerbit, jumlah halaman, dan lain sebagainya. Hasil identifikasi
materi pustaka tersebut lazim disebut dengan istilah deskripsi bibliografi
yang memberikan sajian ringkas untuk membedakan satu materi pustaka
dari materi pustaka lain. Pembuatan deskripsi bibliografi pada dasarnya
sama untuk semua jenis materi pustaka.
Dalam melakukan kegiatan pengatalogan deskriptif, yang perlu
diperhatikan adalah keseragaman dan ketaatazasan. Oleh karena itu,
diperlukan peraturan standar sebagai pedoman dalam pengatalogan
tersebut. Saat ini, peraturan pengatalogan standar adalah The Anglo
American Cataloging Rules (AACR), yang digunakan secara internasional
untuk kegiatan pengatalogan deskriptif, sedangkan untuk melakukan
otomasi pengatalogan dapat menggunakan format MARC (Machine
Readable Cataloging) yang mulai diperkenalkan oleh Library of Congress
pada akhir tahun 60 an. Selain itu, dengan berkembangnya teknologi
31
informasi maka berkembang pula format lain untuk kebutuhan
pengolahan materi pustaka baik untuk materi pustaka digital maupun
nondigital, seperti DCMES (Dublin Core Metadata Element set), dan format
lainnya.
e) Pengindeksan Subjek
Setelah Anda melakukan pengatalogan deskriptif, yaitu
mengidentifikasi ciri-ciri fisik materi pustaka yang menghasilkan deskripsi
bibliografi dan tajuk entri, langkah selanjutnya adalah melakukan
pengindeksan subjek. Dalam pengertian umum, banyak orang menyebut
kegiatan pengindeksan subjek ini dengan istilah klasifikasi.
Pengertian klasifikasi ialah suatu kegiatan yang mengelompokkan
sesuatu benda yang memiliki beberapa ciri yang sama. Dengan adanya
pengklasifikasian tersebut akan memudahkan dalam penyimpanan dan
pencarian kembali. Dalam proses pengindeksan subjek, pustakawan harus
mengetahui subjek apa atau mengenai apa materi pustaka tersebut. Oleh
karena itu, setiap materi pustaka yang masuk ke perpustakaan harus
dianalisis terlebih dahulu mengenai apa atau tentang apa materi pustaka
tersebut. Kegiatan ini disebut dengan istilah analisis subjek.
f) Klasifikasi dan Tajuk Subjek
Dalam kegiatan pengindeksan subjek yang meliputi klasifikasi dan
penentuan tajuk subjek, diperlukan pemahaman mengenai:
(1) teori yang mendasari analisis subjek;
(2) mekanisme skema klasifikasi dan daftar tajuk subjek yang digunakan
untuk menentukan nomor kelas dan tajuk subjek.
Di samping itu, dalam pelaksanaan pengindeksan subjek harus
disesuaikan dengan sarana temu kembali informasi yang akan disusun
dalam sistem informasi di perpustakaan, khususnya yang berkaitan
dengan pendekatan subjek. Untuk itu, dalam pembahasan materi
pengolahan materi pustaka ini diasumsikan bahwa sarana temu kembali
yang akan disusun adalah:
(1) susunan koleksi menurut klasifikasi subjek (penempatan relatif);
(2) katalog subjek berabjad.
Pedoman yang digunakan dalam pengindeksan subjek ini adalah
Dewey Decimal Classification dan Daftar Tajuk Subjek untuk Perpustakaan.
RANGKUMAN
32
Di perpustakaan, pengolahan materi pustaka berkisar pada pelbagai kegiatan yang
bertujuan agar setiap materi pustaka dalam koleksi perpustakaan dapat: diketahui tempat
fisiknya melalui nomor panggil, dan juga dapat dikenali melalui sajian ringkas dari materi
pustaka yang disebut dengan cantuman bibliografi.
Dalam sistem informasi terdapat 4 (empat) komponen, yaitu (1) materi
pustaka; (2) susunan koleksi; (3) sarana temu kembali; dan (4) pemustaka. Di samping
empat komponen di atas terdapat dua proses yang terjadi, yaitu (1) pengindeksan yang
merupakan kegiatan pokok dalam pengaturan materi pustaka yang ada, serta (2) sistem
temu kembali yang dilakukan oleh pemustaka untuk menemukan materi pustaka yang
dibutuhkan.
TES FORMATIF 1
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
33
diketahui dari materi pustaka itu adalah
a. nama pengarang;
b. judul;
c. subjek.
2. Untuk menunjukkan karya-karya yang dimiliki perpustakaan
a. oleh pengarang tertentu;
b. mengenai subjek tertentu;
c. dalam jenis (atau bentuk) literatur tertentu.
3. Untuk membantu dalam pemilihan buku dari segi
a. edisinya;
b. karakternya (seperti sastra atau topik).
1) Sistem Katalog
Dari tujuan katalog di atas dapat disimpulkan bahwa untuk
memungkinkan pemustaka menemukan materi pustaka lewat pengarang,
judul, dan subjek maka perpustakaan harus menyediakan 3 (tiga) macam
susunan katalog, yaitu katalog pengarang, katalog judul, dan katalog subjek.
Satu perangkat katalog atau satu sistem katalog perpustakaan dapat
memberikan tiga pendekatan atau titik akses, yaitu dari sisi pengarang, judul,
maupun subjek.
Ada 2 macam sistem katalog di perpustakaan, yaitu:
a) Sistem katalog berkelas.
Sistem katalog berkelas sifatnya tak langsung (indirect), artinya
pendekatan subjek tidak dapat dilakukan langsung karena susunan
katalognya berdasarkan nomor kelas sehingga untuk mengetahui nomor
kelas dari subjek yang dicari harus dilihat dahulu dalam indeks subjek.
Setelah nomor kelasnya diperoleh baru dapat dilanjutkan dengan
penelusuran dalam katalog berkelas.
b) Sistem katalog berabjad.
Sistem katalog berabjad bersifat langsung (direct), artinya pendekatan
subjek dapat dilakukan langsung karena katalognya disusun menurut
abjad.
2) Bentuk Katalog
Katalog perpustakaan pada saat ini ada berbagai bentuk, antara lain
katalog kartu, katalog berkas dan buku, online public catalog (OPAC), dan
katalog induk.
a) Katalog Kartu
34
Kebanyakan katalog perpustakaan secara tradisional disajikan dalam
bentuk fisik berupa katalog kartu (card catalog) yang menggunakan kartu
berukuran 12.5 x 7.5 cm. yang disusun dalam laci-laci katalog. Contoh
kartu katalog perpustakaan dapat dilihat pada gambar berikut
020
SUL SULISTYO-BASUKI
1. Ilmu I. Judul
Perpustakaan
35
d) Katalog Induk
Selain sistem katalog di atas, dikenal juga istilah katalog induk (union
catalog), yaitu katalog gabungan koleksi beberapa perpustakaan. Adanya
katalog induk memungkinkan seseorang untuk mengetahui koleksi
perpustakaan lain, tanpa harus pergi ke perpustakaan yang menyimpan
koleksi tersebut.
RANGKUMAN
36
Tujuan katalog adalah:
TES FORMATIF 2
37
d. Kebijakan dalam Pengatalogan
Setelah Anda mempelajari materi kerangka dasar sistem informasi,
diharapkan dapat memahami ruang lingkup kegiatan pengolahan materi pustaka.
Inti dari kegiatan pengolahan materi pustaka yang dikenal dengan pengatalogan
adalah menghasilkan sarana temu kembali informasi yang terdiri atas katalog dan
susunan koleksi perpustakaan. Dalam melakukan pengolahan materi pustaka,
perlu direncanakan terlebih dahulu kebijakan dalam sistem pengolahan yang
akan dilaksanakan baik dalam menentukan standar yang akan digunakan
maupun sistem katalog yang akan dihasilkan serta sistem penempatan koleksinya.
Keberhasilan temu kembali materi pustaka dan kualitas rekaman bibliografi
tidak hanya dipengaruhi oleh standar yang digunakan dalam pengolahan materi
pustaka. Ada faktor-faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu:
1. Pencatatan keputusan-keputusan tata kerja, pemeliharaan jajaran, dan
catatan-catatan itu supaya selalu sesuai dengan keadaan kini;
2. Pengaturan tata kerja yang memudahkan tiap tahap pengolahan materi
pustaka;
3. Pemeliharaan dan penyuntingan sistem katalog secara terus-menerus.
38
Contoh Tampilan Katalog Artikel berbasis Web
Dari katalog artikel di atas, deskrispi lengkap dari artikel tersebut dapat dilihat
pada gambar berikut ini.
2) Pengatalogan Terbatas
Istilah pengatalogan terbatas (limited cataloging) digunakan untuk
pengurangan yang diterapkan pada proses pengatalogan. Ada 2
kemungkinan untuk mengadakan pengurangan tersebut, yaitu:
a) Mengurangi jumlah entri per materi pustaka, yang dikenal dengan istilah
pengatalogan selektif (selective cataloging), misalnya dengan membatasi
pembuatan entri tambahan.
b) Mengurangi elemen-elemen dalam deskripsi bibliografi, yang dikenal
dengan istilah pengatalogan sederhana (simplified cataloging). Misalnya,
dengan menghilangkan elemen penerbit, ukuran, dan data bibliografi
lainnya yang mungkin dipandang kurang bermanfaat untuk lingkungan
yang dilayani.
39
Penghematan merupakan tujuan utama pengatalogan terbatas, tetapi
hal ini sebenarnya juga bukan satu-satunya jalan untuk berhemat.
Penghematan dapat juga dicapai dengan cara:
a) memilih skema klasifikasi dan aturan pengatalogan yang efektif;
b) menghindari duplikasi dalam tata kerja;
c) mendasarkan pengatalogan pada bahan yang sedang diolah untuk
mengurangi penelusuran data bibliografi yang memerlukan buku-buku
referens dan atau bibliografi. Cara ini dikenal dengan istilah no-conflict
cataloging (pengatalogan langsung atau tak ubah).
Menetapkan apa saja yang harus dikurangi dari deskripsi bibliografi
sebenarnya tidak semudah yang dikira. Oleh karena itu, semua pengurangan
harus didasarkan pada aturan pengatalogan dan atau skema klasifikasi yang
digunakan.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan
pengatalogan terbatas adalah:
a) jenis materi pustaka (fiksi, buku anak, pamflet biasanya tidak
memerlukan pengatalogan lengkap);
b) jenis pelayanan (ada anggapan bahwa dengan pelayanan terbuka,
pemakai tidak akan banyak menggunakan katalog);
c) format katalog dan cara memperbanyak entri katalog (entri katalog yang
harus diketik satu per satu mungkin sangat memerlukan adanya
pengatalogan sederhana);
d) keperluan masyarakat yang dilayani
e) keperluan staf perpustakaan
3) Pengatalogan Sentral
Istilah pengatalogan sentral (centralized cataloging) digunakan untuk
pengatalogan yang dikerjakan oleh suatu badan di luar perpustakaan.
Tujuannya adalah untuk menghindari duplikasi pengatalogan materi pustaka
yang sama. Dengan demikian, sebuah materi pustaka hanya sekali di katalog
oleh badan sentral itu, dan hasil pengatalogannya dapat dimanfaatkan
perpustakaan-perpustakaan yang kebetulan juga hendak memasukkan
materi pustaka itu ke dalam koleksinya. Pengatalogan sentral dapat
menghasilkan:
a) Pelayanan kartu katalog yang berupa kartu dasar. Perpustakaan dapat
membeli kartu dasar saja dan memperbanyaknya sesuai dengan kartu
40
tambahan yang diperlukan, atau yang dibeli dapat juga satu kesatuan
kartu-kartu (unit card) sehingga yang perlu dikerjakan hanyalah
menambah tajuk entri tambahan yang diperlukan.
b) Pelayanan bibliografi yang entri-entrinya dapat dikutip untuk keperluan
pembentukan katalog. Selain itu, bibliografi tersebut dapat dipakai
sebagai sarana bantu dalam pemilihan materi pustaka.
c) Pelayanan katalog terbacakan mesin (Machine Readable Cataloging) yang
menyimpan cantuman bibliografi secara online. Perpustakaan dapat
menggunakannya langsung untuk penelusuran dengan komputer, atau
menggunakannya sebagai dasar pembentukan katalog tradisional.
d) Katalog dalam terbitan (KDT) atau Catalog in Publication (CIP), yakni hasil
pengatalogan yang dicantumkan dalam terbitannya. KDT adalah hasil
kerja sama antara badan pengatalog dan penerbit. Pekerjaannya adalah
sebelum buku itu diterbitkan. KDT berupa entri utama yang dicetak pada
verso halaman judul buku.
Keberhasilan suatu usaha pengatalogan sentral tergantung pada:
a) keseragaman dalam aturan pengatalogan dan klasifikasi di sejumlah
besar perpustakaan;
b) duplikasi materi pustaka yang diperlukan perpustakaan-perpustakaan;
c) mekanisme yang dapat menjamin adanya pengawasan terhadap terbitan
baru;
d) keuangan yang memadai untuk menjalankan usaha itu;
e) sarana yang memungkinkan pencetakan biliografi dan kartu-kartu
katalog secara cepat dan ekonomis.
Seperti halnya kegiatan-kegiatan lainnya maka dalam melakukan
pengatalogan sentral terdapat keuntungan dan kerugiannya, sebagai berikut:
a) ekonomis, terutama menghemat tenaga profesional dan menghindari
duplikasi pengatalogan buku-buku yang sama di pelbagai perpustakaan.
b) pada umumnya, hasil pengatalogan mendekati sempurna karena
dikerjakan oleh tenaga-tenaga yang betul-betul profesional, meskipun
keperluan yang khusus sering juga tidak dapat terpenuhi.
c) keseragaman katalog yang diperoleh merupakan jasa khusus yang
membantu para pemakai, pustakawan, dan penyusun bibliografi.
d) secara umum, proses pengatalogan di perpustakaan dapat dikerjakan
lebih cepat, meskipun sering juga terlambat oleh keterlambatan
41
datangnya kartu-kartu yang dipesan. Dengan adanya jasa on-line hal ini
bukan merupakan masalah.
e. Otomasi Pengatalogan
Seperti telah dibicarakan sebelumnya, bahwa saat ini sedang terjadi
perubahan konsep dari perpustakaan tradisional ke perpustakaan hibrida, dan
sampai ke perpustakaan digital. Perkembangan ini mempunyai dampak terhadap
kegiatan pengolahan materi pustaka yang hasil akhir dari kegiatan ini adalah
sarana temu kembali informasi seperti katalog. Berbagai perangkat lunak dan
format metadata digunakan oleh perpustakaan dan atau unit informasi lainnya,
mereka membuat metadata sesuai dengan kebutuhan lembaga tersebut.
Menurut Aditirto (2005) ada panduan yang mencakup prinsip-prinsip
dari A Framework of Guidance for Building Good Digital Collections dari NISO
(National Information Standars Organization dari Amerika Serikat) dan saran-saran
dari sumber lainnya, diantaranya sebagai berikut:
1) Pilihlah skema yang cocok untuk materi pustaka dalam koleksi, pengguna
koleksi, dan penggunaan baik sekarang maupun di masa mendatang.
2) Buatlah sistem metadata dengan levels of control, demi efisien biaya, waktu dan
tenaga. Dengan berkonsentrasi pada sumber penting saja, kualitas metadata
lebih terjamin.
3) Gunakan lebih dari satu skema bila perlu, misalnya MARC untuk sumber-
sumber yang paling penting, dan Dublin Core yang sederhana untuk yang
kurang penting.
4) Utamakan kebutuhan pengguna. Skema yang sederhana mungkin lebih
mudah bagi staf perpustakaan yang harus membuat metadata, tetapi
pengguna dirugikan karena resource discovery menjadi kurang lancar, rumit,
dan hasilnya mengecewakan.
5) Jangan terkecoh oleh kemudahan semu. Skema sederhana belum tentu lebih
mudah diaplikasikan daripada skema yang lebih kompleks.
6) Gunakan kosakata terkendali yang standar, daftar pengendali (authority files)
untuk nama orang, badan korporasi, dan unsur lain yang dijadikan titik temu
(access point) yang dapat menjamin keseragaman dan konsistensi isi unsur-
unsur.
7) Buatlah meta metadata yang mampu menunjang pengelolaan sumber digital
berjangka panjang.
42
8) Cantuman berisi metadata merupakan sumber digital pula dan oleh karena
itu, harus juga memenuhi syarat archivability, persistence, unique identification.
9) Susunlah panduan penyusunan metadata yang menjelaskan How-What-
Where-When-Why bagi staf agar kebijakan yang telah ditetapkan
dilaksanakan dengan taat azas.
10) Laksanakan control metadata secara teratur.
RANGKUMAN
Keberhasilan temu kembali materi pustaka dan kualitas rekaman bibliografi tidak hanya
dipengaruhi oleh standar-standar yang digunakan dalam pengolahan materi pustaka. Ada
faktor-faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu:
1. Pencatatan keputusan-keputusan tata kerja, pemeliharaan jajaran, dan catatan-catatan
itu supaya selalu sesuai dengan keadaan kini;
2. Pengaturan tata kerja yang memudahkan tiap tahap pengolahan materi pustaka;
3. Pemeliharaan dan penyuntingan sistem katalog secara terus- menerus.
Terdapat beberapa kebijakan yang mungkin terjadi di beberapa perpustakaan, yaitu:
1. Pengatalogan analitik (analytical cataloging)
Tujuan pengatalogan analitik adalah untuk mengeluarkan bagian materi pustaka yang
akan tersembunyi dalam entri yang dibuat untuk materi pustaka itu secara keseluruhan.
2. Pengatalogan terbatas.
Istilah pengatalogan terbatas (limited cataloging) digunakan untuk pengurangan yang
diterapkan pada proses pengatalogan.
3. Pengatalogan sentral.
Istilah pengatalogan sentral (centralized cataloging) digunakan untuk pengatalogan yang
dikerjakan oleh suatu badan di luar perpustakaan. Tujuannya untuk menghindari
duplikasi pengatalogan materi pustaka yang sama.
TES FORMATIF 3
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
43
2. Istilah pengatalogan terbatas (limited cataloging) digunakan untuk pengurangan yang
diterapkan pada....
A. Proses pengatalogan
B. Materi pustaka yang di katalog
C. Jumlah katalog
D. Katalog subjek
TES FORMATIF 1
TES FORMATIF 2
TES FORMATIF 3
1) A (Mengeluarkan bagian materi pustaka yang akan tersembunyi dalam entri yang
dibuat untuk materi pustaka itu secara keseluruhan)
2) A (Proses pengatalogan)
DAFTAR PUSTAKA
Aditirto, Irma Utari. (2005). Metadata: Pengatalogan untuk Abad Ke-21 (dalam Perpustakaan
Digital: Perspektif Perpustakaan Digital, hal. 137- 138).
Somadikarta, L.K. (1998). Titik akses dalam organisasi informasi di perpustakaan. Jakarta: FS-UI.
44
2. MENERAPKAN TIK PERPUSTAKAAN
a. Pendahuluan
Pada pertengahan abad 20 tepatnya pada tahun 1945 seorang Vannevar Bush
memimpikan sebuah mesin kerja yang dikemudian hari dikenal dengan
perpustakaan digital (digital library). Tidak mudah memang untuk mencapai
perpustakaan digital seperti sekarang ini. Tahapan perpustakaan digital ini
dimulai dengan penggunaan komputer untuk pengelolaan perpustakaan yang
dikenal dengan otomasi perpustakaan (library automation). Teknologi informasi
telah berperan penting dalam melahirkan otomasi perpustakaan dan kemudian
perpustakaan digital ini. Hal ini dipicu oleh tuntutan pemakai perpustakaan
terhadap kualitas layanan perpustakaan.
Perpustakaan digital menawarkan kemudahan bagi para penggunanya untuk
mengakses sumber informasi elektronik dengan alat yang menyenangkan pada
waktu dan kesempatan yang terbatas tanpa terikat pada jam layanan
perpustakaan dimana pengguna harus hadir atau mengunjungi perpustakaan
untuk mendapatkan informasi. Disinilah perpustakaan digital sebagai alat dapat
memfasilitasi dan memecahkan persoalan keterbatasan akses tersebut.
Selain masalah-masalah di atas, kita juga harus mengetahui rambu- rambu
atau peraturan yang berkaitan dengan alih media dari dokumen tercetak menjadi
dokumen digital yaitu peraturan yang berkaitan dengan hak kekayaan
intelektual (HaKI) atau intellectual property right, diantaranya undang-undang hak
cipta yang dikenal dengan undang-undang nomor 19 tahun 2002 tentang hak
cipta.
Supaya mahasiswa memahami apa sebenarnya perpustakaan digital,
bedanya perpustakaan digital dengan perpustakaan konvensional, bedanya
otomasi perpustakaan dengan perpustakaan digital maka modul ini membahas
pengertian perpustakaan digital, sejarah perkembangan perpustakaan digital,
serta aspek-aspek lain yang menjadi latar belakang lahirnya perpustakaan digital.
45
b. Pengertian, Manfaat dan Kelebihan Perpustakaan Digital
Saat ini kita sering mendengar istilah library without wall (perpustakaan tanpa
dinding), virtual library (perpustakaan maya), digital library (perpustakaan digital),
virtual catalog (katalog maya) baik dalam pembicaraan sehari-hari maupun dalam
literatur. Istilah-istilah itu sebelumnya hanya merupakan istilah asing dan
mungkin tidak mempunyai efek apa-apa bagi pustakawan, khususnya
pustakawan di Indonesia.
Namun istilah tersebut saat ini sudah mulai akrab dengan sebagian
pustakawan kita. Hal ini disebabkan karena beberapa tahun belakangan ini
teknologi informasi dan telekomunikasi (TIK) makin merambah segala aspek
kehidupan salah satunya bidang perpustakaan. Perpustakaan konvensional
selama ini tidak terlalu menggembirakan dan meskipun namanya populer namun
tidak banyak dimanfaatkan orang. Pengunjung perpustakaan tidak terlalu
banyak, apalagi yang memanfaatkannya. Kurang populernya perpustakaan
konvensional ini mungkin disebabkan oleh kurang menariknya koleksi yang
dimiliki oleh perpustakaan, misalnya karena tidak up-to-date, atau jumlahnya yang
tidak mencukupi; pelayanan yang kurang profesional; fasilitas yang kurang
memadai, dan masih banyak lagi alasan-alasan yang bisa dikemukakan.
Kehadiran perpustakaan digital ini diharapkan dapat menjadi solusi bagi
perpustakaan konvensional yang biasanya mempunyai keterbatasan seperti yang
disebutkan di atas, antara lain keterbatasan koleksi perpustakaan. Seperti kita
ketahui bahwa koleksi merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan
mutu layanan suatu perpustakaan. Sayang- nya koleksi perpustakaan (dalam hal
ini buku dalam arti luas) harganya sangat mahal sehingga sulit dijangkau oleh
masyarakat. Selain itu, buku yang dipublikasi (diterbitkan) di Indonesia sangat
sedikit khususnya buku-buku yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan.
Jumlah terbitan Indonesia tahun 2002 dan 2003 rata-rata hanya mencapai 6.000 –
7.000 judul per tahun (Saleh dkk, 2004). Untuk mengatasi kekurangan bahan
perpustakaan ini maka salah satu solusinya adalah mengembangkan
perpustakaan digital.
Menurut Pendit (2007) sebelum istilah ”perpustakaan digital” menjadi
populer, kalangan pustakawan sudah sering berbicara tentang perpustakaan
elektronik (electronic library). Dalam bukunya, Pendit mengutip Kenneth Dowlin,
salah satu pendukung ide tentang perpustakaan elektronik, yang
menggambarkan ciri perpustakaan elektronik seperti:
1. Memakai komputer untuk mengelola sumber daya perpustakaan,
46
2. Menggunakan saluran elektronik untuk menghubungkan penyedia informasi
dengan pengguna informasi,
3. Memanfaatkan transaksi elektronik yang dapat dilakukan dengan bantuan
staf jika diminta oleh pengguna,
4. Memakai sarana elektronik untuk menyimpan, mengelola, dan
menyampaikan informasi kepada pengguna.
47
readily and economically available for use by a defined community or set
of communities.”
Dari beberapa pengertian di atas, istilah-istilah yang tersebut di atas
dapat diartikan sebagai berikut. Perpustakaan Elektronik dapat
didefinisikan sebagai sekumpulan kegiatan yang menggabungkan
koleksi- koleksi, layanan, dan orang yang mendukung penuh siklus
penciptaan, diseminasi, pemanfaatan, dan penyimpanan informasi serta
pengetahuan dalam segala format yang telah dievaluasi, diatur, diarsip,
dan disimpan. Sementara itu, Perpustakaan Digital atau digital library
adalah organisasi yang menyediakan sumber-sumber dan staf ahli untuk
menyeleksi, menyusun, menyediakan akses, menerjemahkan,
menyebarkan, memelihara kesatuan, dan mempertahankan
kesinambungan koleksi-koleksi dalam format digital sehingga selalu
tersedia dan murah untuk digunakan oleh komunitas tertentu atau
ditentukan. Sementara itu, Virtual Library adalah penggabungan dari
sistem informasi perpustakaan melalui web ataupun secara elektronik
dengan koleksi-koleksi dalam format digital. Selain itu, dapat juga berarti
sebagai perpustakaan yang bisa menampung ataupun menyediakan
fasilitas- fasilitas yang biasa disediakan oleh perpustakaan konvensional.
Perpustakaan digital menurut Chisenga (2003) sebagaimana dikutip
Oppenheim dan Smithson adalah sebuah jasa informasi dimana semua
sumber informasi tersedia dalam bentuk hasil pemrosesan komputer dan
mempunyai fungsi dari pengadaan, penyimpanan, temu kembali, dan
akses yang kemudian disajikan yang semua itu dilakukan dengan
bantuan teknologi digital (Achmad, 2006).
Menurut Widyawan (2005) perpustakaan digital itu tidak berdiri
sendiri, melainkan terkait dengan sumber-sumber informasi lain dan
pelayanan informasinya terbuka bagi pengguna di seluruh dunia. Koleksi
perpustakaan digital tidak terbatas pada dokumen elektronik pengganti
bentuk tercetak saja, ruang lingkup koleksinya malah sampai pada
artefak digital yang tidak bisa tergantikan oleh bentuk tercetak.
Dengan demikian, maka Achmad (2006) menyimpulkan bahwa
dalam pengembangan perpustakaan digital ada beberapa elemen penting
yang perlu diperhatikan antara lain yaitu:
(1) Perpustakaan digital adalah organisasi-organisasi dengan tujuan
khusus. Pada umumnya tujuan pengembangan perpustakaan digital
48
adalah untuk, mengumpulkan, mengelola, menyimpan informasi
atau bahan perpustakaan dalam format digital. Kemudian, informasi
digital tersebut disajikan agar mudah diakses oleh pengguna melalui
jaringan komunikasi.
(2) Perpustakaan digital mempunyai fungsi-fungsi dan proses-proses
yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan, atau visi dan misi
organisasi tersebut. Hal ini termasuk memilih sumber daya yang
perlu diadakan untuk pengembangan koleksi, membuka akses, serta
untuk mendistribusikan sumber daya tersebut. Fungsi dan proses
tersebut dilakukan dengan bantuan sumber daya manusia dan
teknologi.
(3) Perpustakaan digital berisi koleksi digital. Hal ini meliputi wakil
dokumen seperti cantuman bilbliografis dan indeks di samping
dokumen teks lengkap, audio, video, image yang sebagian tidak dapat
diwakili atau dipencarkan dalam bentuk cetakan.
(4) Perpustakaan digital diakses melalui jaringan. Ini berarti koleksi
digital ditempatkan pada satu tempat, yang kemudian dapat diakses
melalui jaringan, baik LAN, WAN, intranet maupun Internet. Sudah
barang tentu perlu teknologi yang mendukung agar akses yang
bersamaan (tidak lagi single user), dapat memuaskan penggunanya.
(5) Perpustakan digital memerlukan staf dengan keahlian khusus. Hal
ini menjadi keharusan bagi pustakawan untuk mempunyai keahlian
khusus disamping keahlian yang dimiliki sebelumnya. Keahlian
khusus tersebut sudah barang tentu berkaitan dengan pemanfaatan
teknologi informasi untuk perpustakaan.
49
Pemilik mesin ini akan bekerja seperti mengetik, membaca, memeriksa,
menganalisis dengan berbagai berkas yang tersimpan dalam „meja kerja‟
tersebut yang saling berhubungan satu sama lain secara otomatis.
Dia dapat membuka berkas yang akan dibaca, membuka berkas
yang akan ditulis, dan menutupnya kembali jika sudah tidak
dibutuhkannya (Pendit, 2009: 13; Lesk, 2005:14). Pikiran Bush ini muncul
akibat penyimpanan informasi manual yang menghambat akses
terhadap penelitian yang sudah dipublikasikan. Intinya adalah Bush
ingin agar informasi atau ilmu pengetahuan yang ada dalam berbagai
bentuk dan format tersebut dapat diorganisasikan supaya dapat dengan
mudah disimpan dan ditemukan kembali apabila diperlukan.
Perkembangan perpustakaan digital dimulai dengan otomasi
perpustakaan dimana fungsi-fungsi perpustakaan dikerjakan dengan
bantuan komputer. Otomasi perpustakaan ini mulai berkembang pada
tahun 1980an. Namun, pada saat itu hanya perpustakaan-perpustakaan
besar saja yang menerapkan otomasi perpustakaan mengingat biaya
investasinya yang begitu mengintegrasikan teks lengkap pada basis data
elektronik. Library of Congress di Amerika yang telah
mengimplementasikan sistem tampilan dokumen elektronik (electronic
document imaging systems) untuk kepentingan penelitian dan operasional
perpustakaan. Dari sudut pandang pengguna, komputer bukanlah
bagian dari fasilitas manajemen perpustakaan melainkan hanya
pelayanan untuk digunakan staf perpustakaan.
Pada awal 1990-an berkembang perangkat lunak yang
meng”otomasi” hampir seluruh fungsi perpustakaan seperti online public
access catalogue (OPAC), kontrol sirkulasi, pengadaan bahan
perpustakaan, interlibrary loan (ILL) atau pinjam antar perpustakaan,
manajemen koleksi, manajemen keanggotaan, dan lain-lain. Dengan
pengembangan jaringan lokal (Local Area Network/LAN) dan jaringan
yang lebih luas (Wide Area Network/WAN) pada periode ini komunikasi
antarperpustakaan dapat dilakukan dengan mudah dan lancar. Fasilitas
online searching atau penelusuran informasi jarak jauh dengan teknologi
peer to peer juga berkembang. Pada periode ini kita kenal layanan online
searching dari DIALOG, DATA STAR, MEDLINE dan lain-lain.
Di Indonesia sendiri perkembangan teknologi informasi yang
mendasari pengembangan otomasi perpustakaan dan perpustakaan
50
digital ini dimulai pada akhir 1970an dengan dicanangkannya jaringan
kerjasama IPTEK berbasis komputer yang dikenal dengan nama
IPTEKNET. Pada dekade 1980an dibentuk jaringan perguruan tinggi
yang dikenal dengan nama University Network atau UNINET. Otomasi
perpustakaan di Indonesia dimulai oleh Perpustakaan Institut Teknologi
Bandung (ITB) dan Perpustakaan Lembaga Manajemen Kelistrikan
(LMK) dengan memelopori penggunaan komputer pribadi (Personal
Computer/PC) untuk pengelolaan perpustakaan. Akhir tahun 1980an
banyak perpustakaan menggunakan CDS/ISIS dalam mengelola data
bibliografinya. Seperti diketahui CDS/ISIS versi DOS dirilis pertama kali
oleh UNESCO pada tahun 1986. Pada akhir 1980an sampai 1990an
banyak perpustakaan di Indonesia memulai otomasi diantaranya seluruh
perguruan tinggi negeri (PTN) melalui proyek Bank Dunia XXI yang
dikoordinasi oleh UKKP (Unit Koordinasi Kegiatan Perpustakaan)
membeli perangkat lunak Dynix.
Tidak mau kalah, Perpustakaan Nasional juga membeli perangkat
lunak VTLS dan VTLS versi “micro”nya disebarkan ke Perpustakaan
Nasional Provinsi di seluruh Indonesia. Departemen Agama juga
“membagikan” perangkat lunak untuk manajemen perpustakaan yang
diberi nama INSIS dan dibuat oleh PT CursorInformatics kepada seluruh
IAIN di Indonesia. Setelah itu, berkembang perangkat-perangkat lunak
untuk otomasi perpustakaan seperti Spectra oleh UK Petra Surabaya,
SIPISIS oleh Perpustakaan IPB, Adonis oleh Perpustakaan Universitas
Andalas, ISISonline dan GDL oleh Perpustakaan ITB, Laser oleh
perpustakaan UMM, Digilib oleh perpustakaan USU, BDeL oleh
Universitas Bina Darma Palembang, LEIC oleh Universitas Syah Kuala,
LEIC oleh Politeknik Negeri Sriwijaya, Digital Library oleh Widya
Mandala Surabaya, LONTAR oleh Universitas Indonesia dan masih
banyak lagi pihak-pihak yang mengembangkan perangkat lunak sejenis.
Ada juga perangkat lunak yang dikembangkan oleh vendor yang murni
komersial, sebut saja NCI Bookman oleh PT Nuansa Cerah Informasi,
SIMPUS dan lain-lain. Dengan berkembangnya perangkat lunak “open
source” ada beberapa lembaga yang juga ikut bermain dalam
pengembangan perangkat lunak pengelolaan otomasi perpustakaan dan
perpustakaan digital. Kita bisa menyebut SLiMS atau Senayan Library
and Information Management System sebagai salah satu produk “open
51
source” yang diproduksi oleh Perpustakaan Departemen Pendidikan
Nasional di Senayan. Sebenarnya ISISOnline dan GDL juga dirilis sebagai
perangkat lunak “open source”.
52
ditemukannya daerah baru, berkembangnya ilmu baru, berkembangnya
pendidikan maupun lembaga keilmuan, meningkatkan jumlah publikasi
ilmiah. Semua ini menuntut perbaikan dalam mengelola koleksi buku
(perpustakaan). Abad 20 ditandai dengan proses seleksi buku yang lebih
cermat bagi suatu perpustakaan. Mulai ada pembagian dalam
administrasi perpustakaan dan konsep penyiangan dalam mengelola
koleksi buku. Dasa warsa 50-an mulai dicoba pemakaian komputer untuk
perpustakaan, walaupun masih terpisah penanganannya untuk setiap
fungsi dalam suatu perpustakaan.
Perkembangan yang sangat menakjubkan dalam teknik komputer
dan telekomunkasi sangat berpengaruh pada organisasi, manajemen,
dan penemuan kembali informasi. Hal ini mendorong penelitian
teoritis tentang ilmu perpustakaan dan informasi. Abad21 tentu saja
ditandai dengan perkembangan perpustakaan digital yang semakin
matang. Teknologi informasi semakin maju sehingga dapat memproses
informasi dalam jumlah besar dalam waktu yang sangat singkat.
Teknologi penyimpanan juga semakin maju dengan peralatan yang
semakin kecil ukuran fisiknya tetapi mempunyai daya simpan yang
sangat besar, bahkan belum pernah dibayangkan oleh manusia pada
pertengahan abad yang lalu (PNRI, 2006).
53
untuk menampilkan transaksi sirkulasi. Pada tingkatan ini dikenal
dengan integrated system (sistem terintegrasi). Pada sistem terintegrasi ini
perpustakaan menampilkan katalog online yang datanya sekaligus dapat
dimanfaatkan sebagai sumber data untuk transaksi peminjaman,
pengembalian, pencatatan pembayaran denda, penagihan keterlambatan
pinjaman, statistik sirkulasi dan lain-lain. Dengan demikian, pustakawan
dapat mengamati aktivitas peminjaman secara detail guna memenuhi
kebutuhan pengguna. Kemudian, perpustakaan harus bisa menerapkan
teknologi informasi untuk komunikasi antarperpustakaan, misalnya
katalog online yang dapat diakses dari luar perpustakaan dan lain-lain.
Perpustakaan dapat menggunakan jaringan ini untuk mengirim dan
menerima surat elektronik dan jika perlu dapat melakukan komunikasi
untuk pinjam antarperpustakaan.
Perkembangan selanjutnya adalah perpustakaan dapat
menyediakan informasi selain katalog perpustakaan namun juga dalam
bentuk teks lengkap, terutama untuk informasi yang sudah menjadi
publik domain atau informasi yang tidak dilindungi oleh undang-undang
hak cipta. Banyak dokumen yang bersifat seperti ini seperti pustaka
kelabu atau grey literature misalnya. Untuk menampilkan dokumen yang
dilindungi oleh undang- undang hak cipta tentu harus mengikuti aturan
main yang berlaku.
54
1.000 halaman. Jumlah ini sama dengan jumlah seluruh koleksi buku dari
perpustakaan ukuran kecil sampai sedang. Sementara itu, perpustakaan
konvensional yang koleksinya berupa buku atau dokumen tercetak
memerlukan ruangan yang besar. Untuk jumlah buku yang sama yaitu
12.000 judul (eksemplar) maka diperlukan luas ruangan kira-kira 50–100
meter persegi (hanya untuk menempatkan fisik buku saja).
b) Akses Ganda (Multiple access)
Kekurangan perpustakaan konvensional adlaah akses terhadap
koleksinya bersifat tunggal. Artinya apabila bsebuah buku dipinjam oleh
seorang anggota maka anggota lain yang ingin meminjam buku tersebut
harus menunggu buku tersebut dikembalikan. Sedangkan pada
perpusteakaan digital akses koleksinya bersifat ganda (multiple acces).
Artinya koleksi digital bisa diakses dengan mengunduh atau
membacanya lebih dari satu anggota dalam waktu yang bersamaan.
c) Tidak dibatasi oleh ruang dan waktu
Perpustakaan digital dapat diakses dari mana saja dan kapan saja
dengan catatan ada jaringan komputer (computer internetworking)
sehingga antara komputer server dimana koleksi perpustakaan digital
tersimpan dapat berhubungan dengan komputer pengguna (client).
Selain jaringan tentu saja ada syarat lainnya seperti arus listrik (power)
sehingga masing-masing komputer yang akan berhubungan tersebut
dapat ”bekerja”. Sementara itu, perpustakaan konvensional tidak bisa
diakses dengan bebas karena terbatas pada operasional perpustakaan
seperti jam layanan perpustakaan. Selain itu, keterbatasan jarak seperti
letak perpustakaan yang jauh, juga membuat perpustakaan tidak bisa
diakses secara bebas.
d) Koleksi dapat berbentuk multimedia
Koleksi perpustakaan digital tidak hanya koleksi yang bersifat teks
saja atau gambar saja. Koleksi perpustakaan digital dapat berbentuk
kombinasi antara teks gambar, dan suara. Bahkan koleksi perpustakaan
digital dapat menyimpan dokumen yang hanya bersifat gambar bergerak
dan suara (film) yang tidak mungkin digantikan dengan bentuk teks.
e) Biaya lebih murah
Secara relatif dapat dikatakan bahwa biaya untuk dokumen digital
termasuk murah. Mungkin memang tidak sepenuhnya benar. Untuk
memproduksi sebuah e-book mungkin perlu biaya yang cukup besar.
55
Namun, bila melihat sifat e-book yang bisa digandakan dengan jumlah
yang tidak terbatas dan dengan biaya sangat murah, mungkin kita akan
menyimpulkan bahwa dokumen elektronik tersebut biayanya sangat
murah. Belum lagi jika diperhitungkan biaya distribusi dari dokumen
digital dibandingkan dengan dokumen konvensional maka pengiriman
dokumen digital akan ribuan kali lebih murah dibandingkan dengan
biaya distribusi dokumen digital.
System Web
Rak
Koleksi
LAN
udiovisu
a al
Computers
Proyektor
Silde
56
4) Otomasi Perpustakaan Vs Perpustakaan Digital
Secara umum Otomasi perpustakaan (library automation) adalah sebuah
proses pengelolaan perpustakaan dengan menggunakan bantuan teknologi
informasi (TI)agar lenih efektif dan efiseien. Selain itu, proses pengolahan
data koleksi menjadi lebih akurat dan cepat untuk ditelusur kembali. Dengan
demikian, para pustakawan dapat menggunakan waktu lebihnya untuk
mengurusi pengembangan perpustakaan karena beberapa pekerjaan yang
bersifat berulang (repetable) sudah diambil alih oleh komputer.
Sementara itu, Perpustakaan digital (Inggris: digital library atau
electronic library atau virtual library) seperti telah didefinisikan di atas adalah
perpustakaan yang mempunyai koleksi buku sebagian besar dalam bentuk
format digital dan yang bisa diakses dengan komputer. Jenis perpustakaan
ini berbeda dengan jenis perpustakaan konvensional yang berupa kumpulan
buku tercetak, film mikro (microform dan microfiche), ataupun kumpulan kaset
audio, video, dan lain-lain. Isi dari perpustakaan digital berada dalam suatu
komputer server yang bisa ditempatkan secara lokal, maupun di lokasi yang
jauh, namun dapat diakses dengan cepat dan mudah lewat jaringan
komputer.
Menurut Widyawan (2005) pada dasarnya perpustakaan digital sama
saja dengan perpustakaan biasa, hanya saja memakai prosedur kerja berbasis
komputer dan sumber daya digital. Perpustakaan Digital atau digital library
menawarkan kemudahan bagi para pengguna untuk mengakses sumber-
sumber elektronik dengan alat yang menyenangkan pada waktu dan
kesempatan yang terbatas. Pengguna bisa menggunakan sumber-sumber
informasi tersebut tanpa harus terikat kepada jam operasional perpustakaan
(seperti jam kerja atau jam buka perpustakaan). Istilah yang digunakan untuk
perpustakaan digital (digital library) sering dipertukarkan dengan
perpustakaan elektronik (e-library), dan perpustakaan maya (virtual library).
RANGKUMAN
57
Organisasi yang bertugas untuk mengumpulkan, mengelola, menyimpan informasi atau
bahan perpustakaan dalam format digital; (2) fungsi-fungsi dan proses-proses yang harus
dilakukan untuk mencapai tujuan atau visi dan misi organisasi; (3) koleksi perpustakaan
digital; (4) akses via jaringan; (5) staf atau SDM dengan keahlian khusus.
Dari perpustakaan kuno sampai munculnya perpustakaan digital telah terjadi
perubahan yang sangat besar terhadap konsep pengelolaan perpustakaan, khususnya dari
pengolaan secara manual menjadi pengelolaan secara elektronik. Perubahan yang paling
signifikan adalah sejak berkembangnya penggunaan komputer di perpustakaan yaitu
mulai dari otomasi perpustakaan yang sangat sederhana yaitu menampilkan katalog
dengan komputer, kemudian adanya sistem terintegrasi yang meliputi katalog komputer
dan sistem peminjaman dan administrasi perpustakaan yang menjadi satu, dan kemudian
menjadi perpustakaan digital, dimana koleksi perpustakaannya berupa informasi dalam
bentuk digital. Kelebihan perpustakaan digital dibandingkan dengan perpustakaan
konvensional antara lain adalah: (1) Menghemat ruangan; (2) Akses ganda (Multiple access);
(3) Tidak dibatasi oleh ruang dan waktu; (4) Koleksi dapat berbentuk multimedia; (5) Biaya
lebih murah. Ada perbedaan antara perpustakaan digital dengan otomasi perpustakaan.
Perpustakaan digital merupakan perpustakaan dengan koleksi buku yang sebagian besar
dalam bentuk digital yang diakses dengan komputer, sedangkan otomasi perpustakaan
merupakan sebuah proses pengelolaan perpustakaan yang menggunakan bantuan
komputer sehingga pekerjaan perpustakaan dapat dipercepat dengan tingkat ketepatan
yang tinggi.
TES FORMATIF 1
58
mengakses sumber-sumber elektronik
D. untuk membangun perpustakaan digital sebuah perpustakaan harus memiliki
perpustakaan konvensional terlebih dahulu
3. Pernyataan yang tidak benar mengenai kelebihan perpustakaan digital di bawah ini
adalah..
A. menghemat ruangan
B. memiliki akses ganda
C. terbatas oleh ruang dan waktu
D. koleksinya dapat berbentuk multimedia
59
ganda (multiple acces) dimana satu buku bisa diakses lebih dari satu
pengguna.
b) Perpustakaan konvensional memiliki titik cari (access point) yang sangat
terbatas. Artinya, titik cari pada perpustakaan konvensional hanya bisa
dilakukan pada nama keluarga pengarang (sesuai dengan aturan
katalogisasi); judul yang dimulai dengan kata pertama pada judul;
subyek yang sudah ditentukan oleh pustakawan melalui aturan
penentuan tajuk subyek. Dengan perpustakaan digital, pengguna dapat
melakukan pencarian yang tidak dapat dilakukan pada perpustakaan
konvensional. Misalnya, pengguna dapat melakukan pencarian kata
yang merupakan bagian dari judul.
c) Perpustakaan konvensional memerlukan kontrol yang rumit dalam
penggunaannya, misalnya pada sistem peminjaman saja memerlukan
banyak sekali langkah seperti pencatatan peminjaman, pencatatan
pengembalian, pencatatan denda, penagihan keterlambatan pinjaman,
pencatatan statistik peminjaman dan lain-lain. Pada perpustakaan digital
proses tersebut bisa disederhanakan. Begitu metadata dibuat dan
dokumen digitalnya disimpan di server maka proses pencatatan
selanjutnya dapat dilakukan secara otomatis oleh sistem komputer atau
perangkat lunak komputer.
d) Pada perpustakaan konvensional banyak pekerjaan yang bersifat fisik
dan memerlukan banyak tenaga kerja. Pada perpustakaan digital
pekerjaan ini dapat dipangkas atau bahkan ditiadakan.
e) Perpustakaan konvensional dengan koleksi berupa dokumen tercetak
tentu memerlukan ruangan yang luas. Tentu saja ruangan yang luas
tersebut berhubungan dengan biaya yang mahal, tidak saja untuk
membangun ruangan tersebut, namun juga memerlukan biaya untuk
kebersihan dan pemeliharaan. Dengan perpustakaan digital maka
penggunaan ruangan dapat dipangkas dan diperkecil.
2) Manfaat Perpustakaan Digital
Perpustakaan digital bertujuan untuk membuka akses seluas-luasnya
terhadap informasi yang sudah dipublikasikan. Tujuan perpustakaan digital
menurut Association of Research Libraries (1995) sebagaimana dikutip oleh
Purtini (tanpa tahun) yang dimuat dalam IDLN (http://digilib.itb.ac.id/) adalah
sebagai berikut:
a) Untuk melancarkan pengembangan yang sistematis tentang cara
60
mengumpulkan, menyimpan, dan mengorganisasi informasi dan
pengetahuan dalam format digital.
b) Untuk mengembangkan pengiriman informasi yang hemat dan efisien di
semua sektor.
c) Untuk mendorong upaya kerjasama yang sangat mempengaruhi
investasi pada sumber-sumber penelitian dan jaringan komunikasi.
d) Untuk memperkuat komunikasi dan kerjasama dalam penelitian,
perdagangan, pemerintah, dan lingkungan pendidikan.
e) Untuk mengadakan peran kepemimpinan internasional pada generasi
berikutnya dan penyebaran pengetahuan ke dalam wilayah strategis
yang penting.
f) Untuk memperbesar kesempatan belajar sepanjang hayat.
Sementara itu, manfaat perpustakaan digital menurut Chisenga (2003)
sebagaimana dikutip oleh Achmad (2006) adalah:
a) Penambahan koleksi lebih cepat dengan kualitas lebih baik.
b) Dapat mempercepat akses sehingga informasi yang dibutuhkan dapat
segera dimiliki dan dimanfaatkan oleh pengguna.
c) Lebih bebas dan dapat memotong mata rantai administrasi untuk
memperoleh informasi.
d) Dapat diakses dimana saja, kapan saja asal ada komputer yang
terkoneksi dengan jaringan.
e) Pengguna dapat mengakses bukan hanya dalam format cetak tapi juga
format suara, gambar, video dll.
Selanjutnya, Achmad (2006) juga mengutip pendapat Arms (2000)
tentang manfaat perpustakaan digital sebagai berikut:
a) Perpustakaan digital membawa perpustakaan ke pengguna. Pengguna tak lagi
perlu datang secara fisik ke perpustakaan, dengan perpustakaan digital
pengguna bisa mengakses perpustakaan kapanpun dan dimanapun.
b) Komputer dapat dimanfaatkan untuk mengakses dan menjelajah (browsing).
Untuk mencari informasi dengan komputer tentu saja lebih mudah dari
pada menggunakan metode konvensional atau manual. Komputer sangat
bermanfaat dalam menelusur informasi karena dilengkapi dengan
hyperlink yang memungkinkan penelusur meloncat dari dokumen yang
satu ke dokumen yang lain.
c) Informasinya dapat digunakan secara bersama (sharing). Di dalam
perpustakaan digital maka pustakawan harus menempatkan informasi
61
ini dalam suatu jaringan sehingga tersedia untuk diakses oleh setiap
orang.
d) Informasi yang ada mudah untuk perbaharui (di-update). Suatu keuntungan
yang tidak diperoleh pada perpustakaan konvensional adalah bahwa
perpustakaan digital dapat diperbaharui atau di-update secara terus
menerus setiap saat (secara real time).
e) Informasi selalu tersedia sepanjang hari, sepanjang masa, sepanjang hayat.
Pintu perpustakaan digital harus terbuka lebar setiap saat, sehingga
pengguna dapat berkunjung setiap saat secara maya. Koleksi
perpustakaan tidak pernah dibawa pulang oleh pembaca, atau salah
tempat di rak. Koleksi perpustakaan digital tidak akan pernah keluar
kampus (dalam arti fisik). Sehingga cakupan koleksi bisa terus
berkembang tanpa melihat batas fisik gedung perpustakaan (dikenal
dengan perpustakaan tanpa dinding/library without wall).
f) Memungkinkan bentuk informasi baru. Perpustakaan konvensional pada
umumnya menyimpan koleksi cetak. Namun, bentuk cetak tidak selalu
cocok untuk menyimpan dan mendisseminasikan atau memencarkan
informasi.
62
secara teknis menggunakan Digital Library Management System untuk
mengembangkan komponen-komponen pembentuk perpustakaan
digital.
4) Koleksi Perpustakaan Digital
Sesuai dengan namanya maka koleksi perpustakaan digital tentunya
terdiri dari dokumen berformat digital. Dokumen digital ini mempunyai
format bermacam-macam antara lain format html atau hypertext mark up
language, Portable Document Format (PDF), Microsoft Word atau MS- Word,
Microsoft Excel terutama untuk dokumen teks. Sementara itu, dokumen
gambar (grafis) kita sering jumpai dalam format JPEG, GIF dan sebagainya.
Anda akan mempelajari jenis-jenis format dokumen digital pada Modul 3.
Berikut ini diberikan sekadar contoh dokumen digital.
63
Media untuk menyimpan koleksi digital atau elektronik ini bermacam-
macam. Ada yang disimpan di dalam harddisk komputer (internal) yang tidak
bebas dibawa kemana-mana. Namun ada juga yang disimpan di dalam media
yang bisa bebas dibawa kemana-mana seperti harddisk ekternal, disket, CD
atau CD-ROM ataupun DVD, dan flash disk atau dikenal juga dengan nama
handy drive. Bahkan sekarang ini dokumen elektronik ini bisa disimpan secara
virtual di server internet.
5) Isu Hak Cipta Berkaitan Dengan Perpustakaan Digital
Kemudahannya dalam hal akses dan perpindahan dokumen digital
membawa konsekuensi sendiri berkaitan dengan kontrol terbitan. Dokumen
digital relatif lebih sulit dikontrol dibandingkan dengan dokumen tercetak.
Sekali dokumen digital disimpan dalam perpustakaan digital maka dokumen
tersebut akan tersedia bagi pemakai dengan jumlah tidak terbatas. Bagi
pemakai informasi hal ini sangat menguntungkan, sebab ketersediaan
informasi baginya sangat melimpah dan dapat diperoleh kapan saja. Bagi
penulis hal ini juga sangat menguntungkan, sebab karyanya dapat dikenali
dan dinikmati oleh lebih banyak orang dibandingkan jika ia menulis dalam
bentuk tercetak. Bagi penerbit juga menguntungkan, sebab pasar semakin
terbuka sehingga terbitannya dapat tersebar lebih luas, bahkan tidak dibatasi
oleh wilayah atau batas-batas negara. Namun, dari aspek ekonomi keadaan
ini agak kurang menguntungkan. Penulis dan penerbit tidak dapat
mengontrol berapa banyak karyanya terjual dan menghasilkan uang jika
akses terhadap karya tersebut dapat dilakukan kepada perpustakaan digital
dari manapun. Sebuah buku elektronik dapat disimpan pada sebuah server
yang berlokasi entah dimana, dan dapat diambil atau diunduh (download)
salinannya tanpa harus menghilangkan dokumen aslinya dari server. Kalau
perpustakaan konvensional dapat meminjamkan sebanyak dokumen yang
tersedia sekaligus maka perpustakaan digital dapat meminjamkan atau lebih
tepat menyebarkan dokumennya dalam jumlah yang tidak terbatas,
walaupun perpustakaan tersebut hanya memiliki satu kopi berkas (file) saja.
Karena sifatnya yang seperti ini maka perpustakaan yang bermaksud
membangun perpustakaan digital harus memperhatikan aspek-aspek hukum
yang mengatur kepemilikan hak cipta (copyright) karya tersebut serta aturan
mengenai transaksi elektronik.
64
Hukum hak cipta bertujuan melindungi ciptaan-ciptaan para pencipta
yang bisa sebagai pengarang, artis, musisi, dramawan, pemahat, programmer
komputer dan sebagainya. Hak cipta adalah sejenis kepemilikan pribadi atas
suatu ciptaan yang berupa perwujudan dari suatu ide pencipta di bidang seni,
sastra, dan ilmu pengetahuan (Lindsay dkk, 2005). Hak cipta pada dasarnya
tidak melekat kepada fisik dokumen. Oleh karena itu, sebanyak apapun
dokumen tersebut direproduksi, hak ciptanya tetap hanya satu dan tetap
dipegang oleh pengarangnya sebagai pencipta dokumen (creator), sampai
hak cipta tersebut secara resmi dipindahkan kepada orang lain. Jika membeli
sebuah buku maka buku tersebut adalah milik orang tersebut secara fisik.
Buku tersebut dapat disimpan dan dipinjamkan atau dijual kembali namun
orang tersebut tidak memiliki hak untuk mereproduksi dan menjual hasil
reproduksinya tersebut.
Hak cipta pada hakikatnya sama pada setiap negara yaitu melindungi
pemegangnya sebagai pencipta karya (creator) namun dengan panjang waktu
yang berbeda. Di Indonesia hak cipta diberikan kepada pencipta suatu karya
secara otomatis atau tanpa harus mendaftarkan karyanya. Hak cipta tersebut
berlaku selama pencipta tersebut hidup ditambah dengan 50 tahun sesudah
pemegang hak cipta tersebut meninggal. Sebagian besar negara mengizinkan
suatu karya disalin atau dikopi untuk tujuan penggunaan secara pribadi
untuk penelitian. Di Amerika hal ini dikenal dengan konsep fair use.
Akhir-akhir ini banyak perpustakaan di Indonesia yang
mengembangkan perpustakaan digital dengan melakukan alih bentuk dari
dokumen tercetak menjadi dokumen elektronik. Untuk melakukan hal seperti
ini maka kita perlu memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan undang-
undang hak cipta sehingga kita terbebas dari tuntutan pelanggaran hak cipta
dikemudian hari. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain adalah
apakah dokumen yang akan dialihbentukkan tersebut merupakan dokumen
yang tidak memiliki hak cipta atau dengan kata lain merupakan dokumen
milik publik atau public domain? Jika jawabannya ya, maka dapat melakukan
alih bentuk tanpa harus meminta ijin kepada siapapun dan dijamin tidak akan
menimbulkan masalah hukum dimasa yang akan datang. Jika dokumen yang
akan dialihbentukkan tersebut adalah dokumen yang dihibahkan oleh
pemegang hak cipta dengan tujuan untuk dialihbentukkan maka dapat
mengalihbentukkan dokumen tersebut karena telah mendapatkan izin dari
pemegang hak ciptanya. Namun, untuk menghindari tuntutan dikemudian
65
hari, harus meminta agar hibah dan hak mengalih- bentukkan tersebut dibuat
secara tertulis. Beberapa dokumen kelabu atau Grey Literature merupakan
dokumen yang bersifat publik domain. Namun, ada juga yang hak ciptanya
berada pada lembaganya.
6) Komponen yang Perlu Dipersiapkan
Untuk membuat dokumen digital beberapa persiapan perlu dilakukan
agar dalam pembuatan dokumen digital tersebut lancar. Persiapan tersebut
meliputi:
a) Perangkat Keras
Perangkat keras yang perlu disiapkan antara lain seperti:
(1) Komputer
66
tersebut dengan ukuran rpm atau rotation per menit, semakin besar ukuran
rpm dari suatu harddisk maka akan semakin cepat proses akses terhadap
data yang ada di harddisk tersebut dan semakin cepat pula komputer
tersebut.
(2) Alat Pemindai (Scanner)
67
bolak balik) maka operator harus membalik dokumen tersebut untuk
memindai sisi sebelahnya. Namun, ada pula alat pindai yang secara
otomatis dapat memindai kedua belah sisi tanpa campur tangan operator.
b) Perangkat lunak
Salah satu alat yang harus dipersiapkan untuk melakukan digitalisasi
dokumen adalah perangkat lunak. Fungsi perangkat lunak ini adalah
untuk menjalankan perangkat keras seperti yang telah dijelaskan pada
bagian lain dalam modul ini. Perangkat lunak yang kita perlukan adalah
Operating System seperti Windows atau O/S yang lain, perangkat lunak
aplikasi seperti MS-Office, Adobe Photoshop, Adobe Acrobat, dan perangkat
lunak pendukung lainnya. Secara rinci perangkat lunak yang diperlukan
adalah sebagai berikut:
(1) Vistascan atau HPscan atau perangkat lunak pemindai yang lain
(biasanya disertakan pada waktu kita membeli alat pemindai atau
scanner);
(2) Adobe Acrobat (versi lengkap) untuk menghasilkan dokumen dalam
format PDF (Portable Document Format);
(3) MSWord untuk menulis dokumen yang kemudian disimpan dalam
format DOC, RTF, ataupun PDF.
RANGKUMAN
Beberapa hal yang menjadi faktor penunjang dalam pengembangan perpustakaan
digital adalah: (1) tersedianya teknologi informasi dan komunikasi; (2) tersedianya
infrastruktur jaringan internasional untuk mendukung sambungan; (3) semakin
berkembang dan meluasnya informasi berbasis online; (4) semakin berkembangnya akses
ke internet. Sementara itu, alasan perpustakaan digital dikembangkan adalah: (1)
Perpustakaan konvensional mempunyai kelemahan dalam melakukan layanan dimana
ada batas fisik; (2) Perpustakaan konvensional memiliki titik cari (access point) yang sangat
terbatas; (3) Perpustakaan konvensional memerlukan kontrol yang rumit dalam
penggunaannya; (4) Pada perpustakaan konvensional banyak pekerjaan yang bersifat fisik
dan memerlukan banyak tenaga kerja; (5) Perpustakaan konvensional dengan koleksi
berupa dokumen tercetak tentu memerlukan ruangan yang luas.
Tujuan perpustakaan digital antara lain adalah: (1) Untuk mengembangkan cara
mengumpulkan, menyimpan, dan mengorganisasi informasi dan pengetahuan dalam
format digital; (2) Untuk mengembangkan pengiriman informasi yang hemat dan efisien
di semua sektor; (3) Untuk mendorong upaya kerjasama; (4) Untuk memperkuat
68
komunikasi dan kerjasama dalam penelitian, perdagangan, pemerintah, dan lingkungan
pendidikan; (5) Untuk mengambil peran kepemimpinan internasional pada generasi
berikutnya dan penyebaran pengetahuan ke dalam wilayah strategis yang penting; dan (6)
Untuk memperbesar kesempatan belajar sepanjang hayat. Setidaknya, ada empat pihak
yang terlibat dalam pengembangan perpustakaan digital yaitu: (1) Pengguna perpustakaan
digital; (2) Perancang perpustakaan digital; (3) Administrator sistem perpustakaan digital;
dan (4) Pengembang komponen-komponen pembentuk perpustakaan digital. Koleksi
perpustakaan digital tentunya terdiri dari dokumen digital atau dokumen elektronik.
Dalam mengembangkan perpustakaan digital kita harus mempertimbangkan
aspek-aspek hukum yang mengatur kepemilikan hak cipta (copyright) karya tersebut serta
aturan mengenai transaksi elektronik. Hak cipta adalah sejenis kepemilikan pribadi atas
suatu ciptaan yang berupa perwujudan dari suatu ide pencipta di bidang seni, sastra, dan
ilmu pengetahuan. Tujuan dibuatnya undang-undang hak cipta adalah untuk melindungi
ciptaan-ciptaan para pencipta terutama terhadap ciptaan yang dialih bentuk dari dokumen
tercetak menjadi dokumen elektronik.
Beberapa komponen yang harus dipersiapkan dalam pengembangan perpustakaan
digital adalah perangkat keras seperti komputer, alam pemindai dan lain-lain, perangkat
lunak untuk pemindaian, dan pengelolaan dokumen elektronik.
TES FORMATIF 2
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
69
D. informasi yang ada mudah untuk perbaharui (di update).
TES FORMATIF 1
TES FORMATIF 2
DAFTAR PUSTAKA
Kadir, Abdul (2003). Pemrograman Web mencakup HTML, CSS, Java script, dan PHP.
Yogyakarta: Andi.
Lesk, Michael (2005). Understanding Digital Libraries. 2nd Edition. New York: Elsevier.
Pendit, Putu Laxman (2009). Perpustakaan Digital: Kesinambungan dan Dinamika. Jakarta: Cita
Karyakarsa Mandiri.
Pendit, Putu Laxman (2005). Perpustakaan Digital: Perspektif perpustakaan Perguruan Tinggi
Indonesia. Jakarta: Perpustakaan Universitas Indonesia.
Purbo, Onno dkk. (1998). TCP/IP: Standar, Desain, dan Implementasi. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
70
Purtini, Winy (tanpa tahun). Digital Library: from Indonesia DLN. http://digilib.itb.ac.id/
diakses tanggal 8 April 2010.
Witten, I.H. and Bainbridge, D. (2003). How to Build a Digital Library. New York: Morgan
Kaufman Publishing.
Yuadi, Imam (tanpa tahun). Perpustakaan digital: paradigma, konsep dan teknologi informasi
yang digunakan. http://journal.unair.ac.id/filerPDF/PERPUSTAKAAN DIGITAL.pdf.
Diakses tanggal 8 April 2010.
71
samping kebutuhan pokok manusia dalam kehidupan sehari-hari. Pada
masyarakat informasi, banyak kemudahan yang didapat dari penggunaan
teknologi informasi dalam segala aspek kehidupan, baik sosial budaya,
pendidikan, maupun ekonomi. Inti dari penggunaan teknologi informasi
pada masyarakat informasi adalah teknologi informasi menjadi alat bantu
untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi baru melalui saluran-
saluran komunikasi baru.
Prinsip perkembangan masyarakat informasi adalah menuju penerapan
pengetahuan dalam teknologi. Sumber daya manusia dalam masyarakat
informasi dapat diketahui dari tingkat kesadaran, pemahaman, dan
pendayagunaan teknologi informasi dan komunikasi yang disebut literasi
informasi. Menyadari pentingnya informasi dalam segala aspek kehidupan,
keberadaan perpustakaan sebagai sumber informasi menjadi sangat penting.
Perpustakaan didirikan untuk memberikan kemudahan akses informasi ke
masyarakat pemakainya. Pelayanan yang diberikan perpustakaan kepada
masyarakat diharapkan mampu memberikan layanan informasi yang dibutuhkan.
Kemudahan tersebut belum dapat dirasakan oleh masyarakatnya karena
perpustakaan belum dapat berperan secara maksimal dalam memberikan layanan
informasi. Teknologi informasi di perpustakaan tidak hanya berfungsi sebagai
sarana pendukung untuk meningkatkan pelayanan, tetapi juga mampu
memberikan nilai tambah dalam hal kecepatan dan ketepatan pelayanan
perpustakaan.
Proses pemenuhan kebutuhan informasi akan berhasil jika semua elemen
dalam perpustakaan memahami literasi informasi. Pengertian literasi informasi
berdasarkan perspektif pendidikan sebagai berikut. “Information Literacy defines as
the ability to access, evaluate, organise and use information in order to learn, problem-
solve, make decisions in formal and informal learning contexts, at work, at home and in
educational settings.”
Pengertian di atas menunjukkan bahwa literasi informasi merupakan sebuah
kemampuan mengakses, mengevaluasi, mengorganisasi, dan menggunakan
informasi dalam proses belajar, pemecahan masalah, membuat keputusan formal
dan informal dalam konteks belajar, pekerjaan, rumah, ataupun dalam
pendidikan. Pada modul ini, akan diuraikan tentang makna dari literasi informasi
pada saat ini yang mencakup hal yang amat luas. Literasi dapat diartikan sebagai
literasi teknologi informasi, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan
tempat tinggal. Literasi informasi juga mengurasi bagaimana memenuhi
72
kebutuhan informasi, mengakses, mengevaluasi, mengorganisasi, dan
menggunakan serta memanfaatkan informasi. Hal utama yang membuat perlunya
literasi informasi adalah kebutuhan seseorang akan kemampuan belajar terus-
menerus dan mandiri agar dapat hidup sukses dalam masyarakat informasi. Belajar
sebenarnya adalah melakukan perubahan tingkah laku. Setelah mempelajari
modul ini, diharapkan mampu:
1) menjelaskan konsep literasi informasi;
2) menjelaskan pengertian literasi informasi;
3) menjelaskan pentingnya literasi informasi;
4) menjelaskan hubungan literasi informasi dengan perpustakaan;
5) menjelaskan kemampuan dan keterampilan literasi informasi.
73
disebabkan jumlah informasi semakin meningkat banyak dan setiap orang dapat
mencari, membuat, mengakses, serta menyebarkan informasi sesuai
keinginannya. Mencari, membuat, mengakses, dan menyebarkan informasi
tersebut juga dibicarakan pada konferensi tingkat tinggi tentang masyarakat
informasi (World Summit on Information Society/WSIS) pada tahun 2003. Dalam
pertemuan tersebut, para peserta membuat deklarasi bahwa setiap orang dapat
membuat, mengakses, dan memanfaatkan informasi secara bersama-sama.
Deklarasi ini bermakna bahwa setiap individu, komunitas, atau masyarakat dapat
membuat, mengakses, dan memanfaatkan informasi untuk kepentingan pribadi,
kelompok, dan masyarakat. Informasi yang disajikan diharapkan dapat
meningkatkan kualitas hidup masyarakat sebagai individu ataupun kelompok.
Makna lain yang disampaikan dalam deklarasi WSIS tersebut adalah mendorong
terwujudnya masyarakat informasi.
Ciri utama dari masyarakat informasi sebagai berikut.
1) Informasi menjadi semacam modal penting untuk mewujudkan kesejahteraan.
2) Adanya peradaban saat informasi sudah menjadi komoditas utama.
3) Interaksi antarmanusia sudah berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
Makna tersebut menjelaskan bahwa informasi dapat diperoleh dan
dipublikasikan dengan mudah. Informasi menjadi bebas dan dapat dimanfaatkan
oleh siapa saja, tanpa dibatasi oleh waktu dan geografis. Banyaknya informasi
tersebut juga memiliki sisi kelemahan, yaitu masyarakat mengalami kebingungan
dalam memilih informasi mana yang dapat dipercaya atau siapa sumber yang
layak dikutip.
Pada masyarakat informasi, informasi tidak lagi dimaknai sebagai kumpulan
kata yang membentuk kalimat dan paragraf, tetapi informasi menjadi barang yang
sangat penting dan berguna sekaligus berbahaya. Bahkan, sering diartikan bahwa
informasi memiliki dua pengaruh. Pertama, informasi harus sampai ke konsumen
yang benar agar informasi tersebut dapat meningkatkan kesejahteraannya. Kedua,
jika informasi tersebut sampai ke konsumen yang salah, hasilnya dapat berakibat
fatal. Sebagai contoh, informasi yang berhubungan dengan bahan-bahan kimia,
jika dicampurkan, akan menjadi bahan peledak yang sangat berbahaya. Jika
informasi semacam ini sampai kepada konsumen yang tidak bertanggung jawab,
akibatnya akan merugikan orang lain.
Kini, informasi dengan mudah dapat diakses oleh siapa pun dan dengan
mudah pula dipergunakan untuk tujuan apa saja. Penggunaan teknologi
informasi dan komunikasi sebagai alat bantu penyimpanan dan temu kembali
74
informasi telah menjadikan masyarakat sebagai konsumen yang rakus informasi.
Pertumbuhan informasi akibat penggunaan alat bantu teknologi informasi dan
komunikasi menyebabkan jumlah informasi bertambah semakin cepat. Informasi
tidak akan dapat diperlambat pertumbuhannya, tetapi memberikan jalan bagi
arus informasi dengan cara meningkatkan keterampilan literasi informasi
masyarakat. Keterampilan literasi informasi yang dimaksud adalah mendidik
masyarakat berpikir kritis terhadap informasi yang diterima. Keterampilan literasi
informasi sangat penting dimiliki supaya terdapat kemudahan dalam
menemukan informasi sesuai dengan kebutuhannya.
Literasi secara umum diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan
menulis. Sebagaimana dinyatakan dalam Kamus Oxford berikut:
“Literacy is ability to read and write. Artinya, literasi adalah kemampuan membaca
dan menulis. Sementara itu, information is fact to talk, heart and discovered about
somebody/something.” Artinya, fakta tentang seseorang atau sesuatu yang
dibicarakan, didengar, dan dikemukakan. Jika berdasarkan pengertian di atas,
literasi informasi dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang membaca dan
menulis sesuatu yang sedang dibicarakan, didengarkan, dan dikemukakan
(fakta). Dalam perkembangannya, literasi memiliki arti yang luas sehingga ada
bermacam-macam jenis literasi, misalnya literasi komputer (computer literacy),
literasi media (media literacy), literasi teknologi (technology literacy), literasi
ekonomi (economy literacy), literasi informasi (information literacy), dan literasi
moral (moral literacy).
Konsep literasi informasi pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974 di
Amerika oleh Paul Zurkowski (president of Information Industries Association).
Konsep literasi informasi dipergunakan dalam sebuah proposal yang ditujukan
kepada The National Commisionon Libraries and Information Science (NCLIS) USA
(Zurkowski, 1974: 6). Zurkowski berpendapat, “people trained in the application of
information resources to their work can be called information literate. They are learned
techniques and skill for utilizing the wide range of information tools as well as prmary
sources in molding information solution to their problems.”
Makna dari konsep tersebut yang dimaksud dengan literasi informasi adalah
orang yang terlatih untuk menggunakan sumber-sumber informasi dalam
menyelesaikan tugas mereka yang disebut juga orang literasi informasi. Mereka
telah mempelajari teknik dan kemampuan untuk menggunakan bermacam-
macam alat dan juga sumber-sumber informasi utama dalam pemecahan masalah
mereka (Eisenberg, 2004). Dalam pengertian di atas, Zurkowski mengusulkan:
75
1) sumber informasi digunakan di lingkungan kerja;
2) teknik dan keterampilan dibutuhkan dalam menggunakan alat informasi dan
sumber-sumber primer;
3) informasi digunakan untuk memecahkan masalah (Behrens, 1994).
Konsep ini menunjukkan bahwa kompetensi keterampilan memanfaatkan
informasi dan mengenali sumber-sumber informasi sebagai alat bantu temu
kembali informasi. Konsep yang kedua ini menunjukkan bahwa literasi informasi
sebagai berikut.
1. Memberikan kemampuan teknik dan keterampilan menggunakan berbagai
sumber informasi melalui pelatihan.
2. Teknik dan keterampilan yang dilatihkan adalah memanfaatkan sumber
informasi, menggunakan alat bantu temu kembali informasi, dan
memanfaatkan informasi.
3. Menggunakan informasi sebagai sumber utama dalam menyelesaikan masalah
yang dihadapi.
Konsep literasi informasi sebagaimana disebutkan dalam Dictionary for Library
and Information Science oleh Reitz (2004: 356) diartikan sebagai :
“skill in finding the information one needs and understanding of how libraries are
organized, familiarty, with resource the provide (incuding information formats and
automated search tools) nad knowledge of commonly use techniques. The concept also
includes the effectively as well as understanding of the technological insfrastructure on
which information transmission is based, including itd social, and cultural context and
impact.”
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa literasi informasi sebagai
kemampuan untuk menemukan informasi yang dibutuhkan, mengerti bagaimana
perpustakaan diorganisasi, familiar dengan sumber daya yang tersedia (termasuk
format informasi dan alat penelusuran yang terautomasi), serta pengetahuan dari
teknik yang biasa digunakan dalam pencarian informasi.
Pada tahun 1999, SCONUL, Society of College, Universitas Nasional, dan
perpustakaan di Inggris menerbitkan tujuh pilar informasi literasi model untuk
memfasilitasi pengembangan lebih lanjut ide-ide diantara para praktisi di
lapangan dalam usaha merangsang munculnya gagasan atau ide-ide. Gagasan
yang dimaksud itu mengenai bagaimana literasi informasi dapat digunakan oleh
perpustakaan dan staf lain dalam pendidikan dengan mengembangkan
kemampuan siswa. Berdasarkan gagasan tersebut, sejumlah negara telah
mengembangkan standar literasi informasi. UNESCO dalam Information for All
76
Programme (2008) mengemukakan bahwa literasi merupakan kecakapan seseorang
untuk menyadari kebutuhan informasi, menemukan dan mengevaluasi kualitas
informasi yang didapatkan, menyimpan dan menemukan kembali, membuat dan
menggunakan informasi secara etis dan efektif, serta mengomunikasikannya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Shapiro (1996: 31). Ia menyatakan
bahwa : “information literacy is refer to a new liberal art that extends from knowing how
to use komputers and access information to critical reflection on the nature of information
itself, its technical infrastructure, and its social, cultural and even philosophical context and
impact. “
Pernyataan Shapiro tersebut menjelaskan bahwa literasi informasi ditujukan
sebagai sebuah seni liberal baru dalam rangka mengetahui bagaimana
menggunakan komputer serta mengakses informasi untuk berpikir secara kritis
terhadap informasi itu sendiri, infrastruktur teknologi dan aspek sosial, aspek
budaya, konteks filosofi, serta dampaknya. Pengertian Shapiro ini semakin
mempersempit pengertian tentang literasi informasi. Ia berpandangan bahwa
literasi informasi sebagai berikut.
1) Suatu seni baru tentang bagaimana cara menggunakan komputer (teknologi
informasi dan komunikasi) untuk mengakses informasi.
2) Sarana berpikir kritis terhadap informasi yang diperoleh. Itu artinya informasi
tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan untuk menyelesaikan masalahnya.
3) Kritis terhadap aspek sosial, budaya, dan filosofi dari informasi yang
diperolehnya serta dampaknya terhadap aspek tersebut.
Sementara itu, Library of Conggres Subject Heading (LCSH) menyertakan
literasi informasi dengan diikuti pengertian “here are entered work on the ability to
recognize when information is needed and to locate, evaluate and use the required
information effectively.” LCSH memberikan pengertian literasi informasi sebagai
kemampuan untuk mengenali kapan informasi dibutuhkan serta untuk mencari,
mengevaluasi, dan menggunakan informasi yang diperlukan secara efektif.
Konsep ini menunjukkan bahwa kapan seseorang membutuhkan informasi, kapan
mencari, mengevaluasi, dan menggunakannya sesuai dengan kebutuhannya.
Konsep ini semakin memperjelas pengertian literasi informasi. Literasi informasi
sebagai keterampilan yang penting bagi warga untuk belajar seumur hidup dan
meningkatkan produktivitasnya berdasarkan informasi yang dimiliki.
Pengertian literasi informasi berdasarkan perspektif pendidikan disampaikan
oleh Bruce (2003: 3). Ia mengatakan bahwa :
“information literacy defines as the ability to access, evaluate, organise and use
77
information in order to learn, problem-solve, make decisions in formal and informal
learning contexts, at work, at home and in educational settings.”
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa literasi informasi merupakan
sebuah kemampuan mengakses, mengevaluasi, mengorganisasi, dan
menggunakan informasi dalam proses belajar, pemecahan masalah, membuat
keputusan formal dan informal dalam konteks belajar, pekerjaan, rumah, ataupun
dalam pendidikan.
UNESCO dalam Information for All Programme (2008) mengemukakan bahwa
literasi informasi merupakan kemampuan seseorang untuk:
1) menyadari kebutuhan informasi;
2) menemukan dan mengevaluasi kualitas dari informasi yang diperoleh;
3) menyimpan dan menemukan kembali informasi;
4) membuat dan menggunakan informasi secara etis dan efektif;
5) mengomunikasikan pengetahuan.
Pendapat yang senada juga dikemukan oleh Pendit (2008: 119). Ia menyatakan
bahwa kemampuan-kemampuan masyarakat pengguna yang ingin diberdayakan
sebagai berikut:
1) menetapkan hakikat tentang rentang informasi yang dibutuhkan;
2) mengakses informasi yang dibutuhkan secara efektif dan efisien;
3) mengevaluasi informasi dan sumbernya secara kritis;
4) menggunakan informasi untuk keperluan tertentu.
Pendapat lain menyatakan bahwa literasi informasi secara umum adalah
kemelekan atau keberaksaraan informasi. Dalam kamus bahasa Inggris,
pengertian literacy adalah kemelekan huruf atau kemampuan membaca,
sedangkan information adalah informasi. Jadi, pengertian literasi informasi dapat
diartikan sebagai kemampuan membaca informasi. Namun, istilah literasi
informasi belum begitu familiar dan menjadi istilah yang asing di kalangan
masyarakat. Pengertian literasi informasi dalam buku ini akan dipahami sebagai
kemampuan membaca. Oleh karena itu, istilah yang digunakan adalah kata
literasi informasi. Seseorang dikatakan literasi berarti mampu memahami
informasi walaupun saat ini literasi informasi biasanya selalu dikaitkan dengan
penggunaan perpustakaan dan penggunaan teknologi informasi.
Kemampuan dasar dilakukan dalam menentukan kebutuhan informasi,
menempatkan, mengevaluasi, membuat, serta menerapkan informasi dalam
konteks budaya dan sosial. Sebagai kunci dan pedoman, seseorang dapat
mengakses informasi secara efektif. Sementara itu, penggunaan dan pembuatan
78
konten itu mendukung pembangunan ekonomi, pendidikan, kesehatan,
pelayanan manusia, dan aspek lainnya.
Bundy (2004) mengemukakan tiga elemen utama yang ada dalam literasi
informasi sebagai berikut:
1) keterampilan umum yang terdiri atas pemecahan masalah, kolaborasi, kerja
sama, komunikasi, dan berpikir kritis;
2) keterampilan informasi yang terdiri atas pencarian informasi, penggunaan
informasi, dan kemampuan teknologi informasi;
3) nilai dan kepercayaan yang terdiri atas menggunakan informasi secara bijak dan
etis serta tanggung jawab sosial dan partisipasi komunitas.
Doyle dalam Eisenberg (2004) mengatakan bahwa literasi informasi adalah
kemampuan mengakses, mengevaluasi, dan menggunakan informasi dari
berbagai sumber. Doyle juga menetapkan 10 sifat literasi informasi seseorang,
yaitu kemampuan untuk:
79
atas. Kesepakatan seumur hidup dan merupakan dasar pada era digital
seperti sekarang ini.Kesepakatan tersebut berupa kemampuan dasar dalam
menentukan kebutuhan informasi, menempatkan, mengevaluasi, membuat,
dan menerapkan informasi dalam konteks budaya dan sosial;
2) sebagai kunci dan pedoman seseorang dalam mengakses informasi secara
efektif serta penggunaan dan pembuatan konten dalam mendukung
pembangunan ekonomi, pendidikan, kesehatan, pelayanan manusia, dan
aspek lainnya (Garner, 2006: 3);
3) kemampuan dasar dalam mempelajari teknologi informasi.
Hasil dari pertemuan di Mesir tersebut menjadikan literasi informasi
menempati posisi yang sangat penting karena kemampuan itu sangat penting.
Dengan memahami teknologi informasi, semakin mudah seseorang memenuhi
kebutuhan informasinya. Penelitian yang dilakukan Nasution (2009: 57)
sebelumnya mengenai literasi informasi di perguruan tinggi pada mahasiswa
Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi USU menunjukkan bahwa program
studi yang kurikulumnya mengandung literasi informasi akan menjadikan
mahasiswa menjadi literat terhadap informasi. Ini dapat dilihat dari kemampuan
mahasiswa dalam mengidentifikasi, mengakses, mengevaluasi, dan
mengomunikasikan informasi. Hal yang sama juga diungkapkan dalam
penelitian-penelitian yang dilakukan di berbagai universitas lainnya, yaitu
Outhern Association of Colleges and Schools, the Western Association of Colleges
and Schools, Western University, dan lain-lain.
Berdasarkan berbagai pengertian literasi informasi yang diuraikan di atas,
berikut ini secara ringkas pengertian literasi informasi.
1) Kemampuan yang dimiliki seseorang dalam
a. mencari informasi;
b. menemukan informasi;
c. menganalisis informasi;
d. mengevaluasi informasi;
e. mengkomunikasikan informasi;
2) Literasi informasi juga didukung oleh peranan perpustakaan dalam
a. memperkenalkan istilah literasi informasi;
b. membantu memperoleh kemampuan literasi informasi tersebut;
c. memberikan kemudahan akses informasi.
Oleh karena itu, pentingnya literasi informasi merupakan proses
pembelajaran seumur hidup yang akan menjadi bekal seseorang dalam mencari
80
informasi, bukan hanya dalam pendidikan, tetapi juga dalam bermasyarakat. Di
samping itu, memberikan pembelajaran kepada masyarakat tentang keterampilan
literasi informasi menjadi sangat penting.
Akhir tahun 1980-an, beberapa terbitan berperan penting dalam peningkatan
dan penyebarluasan model literasi informasi yang banyak dikenal pada tahun
1990-an. Tahun 1987, Washington Library Media Association (WLMA)
menerbitkan salah satu langkah proses penelitian dan keterampilan yang
dibutuhkan oleh siswa. Terbitan nasional tahun 1988 dan 1989 menentukan arah
penting dalam proses pengembangan dan penerapan model literasi informasi
yang diterbitkan ALA.
Jadi, literasi dapat diartikan kemampuan menggunakan teknologi,
kemampuan memahami informasi, berpikir kritis, peka terhadap lingkungan,
bahkan juga peka terhadap politik. Seorang dikatakan literat jika ia sudah bisa
memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan melakukan sesuatu
berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut. Kemampuan literasi
pada seseorang tentu tidak muncul begitu saja. Tidak ada manusia yang sudah
literat sejak lahir. Menciptakan generasi literat membutuhkan proses panjang dan
sarana yang kondusif.
Literasi informasi (information literacy) telah menjadi perhatian utama dunia
pendidikan. Menurut American Library Association (ALA), literasi informasi
merupakan salah satu kemampuan penting yang harus dimiliki setiap orang dan
berkontribusi dalam mencapai pembelajaran seumur hidup(long life education).
Kompetensi literasi informasi bukan sekadar pengetahuan di kelas formal, tetapi
juga praktik yang melekat pada pribadi masing-masing orang dalam lingkungan
masyarakat. Literasi informasi juga sangat diperlukan dalam setiap aspek
kehidupan manusia dan berlangsung seumur hidup.
Di negara maju, seperti Amerika, beberapa disiplin ilmu mempertimbangkan
literasi informasi sebagai hasil utama siswa di perguruan tinggi (American Library
Association, 2000: 4) sebab membangun pembelajaran seumur hidup merupakan
misi pendidikan. Literasi informasi memastikan setiap individu memiliki
kemampuan intelektual untuk berpikir kritis dan berargumentasi serta belajar
bagaimana cara belajar. Itu sebabnya literasi informasi selalu dikaitkan dengan
pembelajaran seumur hidup (long life learning). Menurut Chan Yuen Chin (2001:
1):
1) literasi informasi sangat penting untuk kesuksesan belajar seumur hidup;
2) literasi informasi merupakan kompetensi utama dalam era informasi;
81
3) literasi informasi memberi kontribusi pada perkembangan pengajaran dan
pembelajaran.
Sebelum kita mempertimbangkan definisi literasi informasi dan konsekuensi
pada dunia pendidikan, kita harus melihat konteks sejarah literasi informasi dan
literasi huruf. Pendidikan akan terus berkembang seiring dengan perkembangan
kualitas sumber daya manusianya. Sumber daya manusia merupakan faktor
penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Upaya meningkatkan kualitas
pendidikan yang tinggi sangat berkaitan erat dengan penyelenggaraan
pendidikan. Usaha peningkatan sumber daya manusia pendidikan tidak hanya
dilakukan di negara maju, tetapi juga di Indonesia.
Dalam undang-undang tersebut, dinyatakan dalam Pasal 1 bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dalam proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mampu
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam undang-
undang tersebut, jelas-jelas dinyatakan bahwa “… proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mampu mengembangkan potensi dirinya ...” artinya
adalah pembelajaran harus mampu mengarahkan dan mendorong peserta didik
untuk mengembangkan dan memperluas materi secara mandiri. Pengembangan
dan memperluas materi secara mandiri dapat dilakukan melalui diskusi, studi
literatur, studi dokumentasi, serta peserta didik diperkenalkan cara belajar yang
dapat menumbuhkan dan memupuk motivasi dirinya untuk belajar secara
mendalam (learning how to to learn). Cara belajar yang dimaksud adalah
memberikan kemampuan mengindentifikasi, menemukan, mengevaluasi,
menyusun, menciptakan, menggunakan, dan mengomunikasikan hasil belajarnya
dalam bentuk informasi. Kemampuan tersebut selanjutnya dikenal dengan istilah
literasi informasi. Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Johnson dan Webber
(2006).
Penguasaan literasi informasi dianggap dapat menciptakan literasi yang
berbasis keterampilan, termasuk kemampuan mencari informasi, memilih,
menilai, dan mengklasifikasikan sumber informasi serta menggunakan dan
menyajikan informasi berdasarkan etika. Apabila dikaitkan dengan peradaban
modern sekarang ini, literasi informasi dapat diterapkan oleh siapa saja yang
membutuhkan informasi, seperti mahasiswa, dosen, peneliti, bahkan masyarakat
umum (pengayuh becak, sopir taksi, atau para pembantu rumah tangga). Mereka
82
mempunyai kebutuhan dalam menentukan informasi yang dibutuhkan untuk
memecahkan masalah, menunjang pekerjaannya, atau seluruh kebutuhan yang
menyangkut aspek kehidupannya.
Berdasarkan pendapat tersebut, dikatakan bahwa literasi informasi adalah
kemampuan dalam menemukan informasi yang dibutuhkan, mengerti bagaimana
perpustakaan diorganisasi, biasa menggunakan sumber daya informasi yang
tersedia (termasuk format kemasan informasi dan alat penelusuran yang
terautomasi), serta pengetahuan tentang teknik yang biasa digunakan dalam
pencarian informasi.
Literasi informasi secara umum dinyatakan sebagai kemampuan seseorang
mengenali kapan informasi itu dibutuhkan serta seperangkat keterampilan yang
dimiliki seseorang dalam mencari, menemukan, menganalisis, mengevaluasi, dan
mengomunikasikan informasi yang berfungsi dalam pemenuhan kebutuhan
informasi yang akan memecahkan berbagai masalah. Literasi informasi juga
didukung oleh peranan perpustakaan dalam memperkenalkan istilah literasi
informasi dan memperoleh kemampuan literasi informasi tersebut. Penguasaan
teknologi informasi juga akan sangat memudahkan seseorang untuk memiliki
literasi informasi. Oleh karena itu, literasi informasi merupakan proses
pembelajaran seumur hidup yang akan menjadi bekal seseorang dalam mencari
informasi, bukan hanya dalam pendidikan.
83
informasi tertentu.
UNESCO (2005: 1) menyatakan bahwa literasi informasi memberikan
kemampuan seseorang untuk menafsirkan informasi sebagai pengguna informasi
dan menjadi penghasil informasi bagi dirinya sendiri. UNESCO juga menyatakan
bahwa tujuan literasi informasi sebagai berikut.
1) Memberikan keterampilan seseorang agar mampu mengakses dan
memperoleh informasi mengenai kesehatan, lingkungan, pendidikan,
pekerjaan mereka, dan lain-lain.
2) Memandu mereka dalam membuat keputusan yang tepat mengenai
kehidupan mereka.
3) Lebih bertanggung jawab terhadap kesehatan dan pendidikan mereka.
Di era globalisasi informasi pemakai memiliki kemampuan dengan
menggunakan informasi dan teknologi komunikasi serta aplikasinya untuk
mengakses dan membuat informasi. Contohnya, kemampuan dalam
menggunakan alat penelusuran internet. Berdasarkan tujuan yang diuraikan di
atas, literasi informasi itu membantu seseorang dalam memenuhi kebutuhan
informasinya, baik untuk kehidupan pribadi, pekerjaan, maupun lingkungan
sosial masyarakat.
Literasi informasi merupakan keterampilan yang sangat dibutuhkan
seseorang dalam era globalisasi informasi. Keterampilan tersebut bertujuan agar
seseorang memiliki kemampuan menggunakan informasi dan teknologi
komunikasi serta aplikasinya untuk mengakses dan membuat informasi. Sebagai
contoh, kemampuan menggunakan alat penelusuran informasi lewat internet
dengan menggunakan search engine, seperti google.com, yahoo.co, dan lain- lain.
Berdasarkan tujuan yang diuraikan di atas, literasi informasi memiliki tujuan
untuk membantu seseorang memenuhi kebutuhan informasi dalam kehidupan
pribadi (pendidikan, kesehatan, pekerjaan) ataupun lingkungan masyarakat.
84
berikut.
a) Membantu mengambil keputusan. Literasi informasi sangat berperan
dalam membantu menyelesaikan suatu persoalan. Untuk mengambil
keputusan dalam menyelesaikan masalah, seseorang harus memiliki
informasi tentang keputusan yang akan diambil.
b) Menjadi manusia pembelajar di era informasi. Kemampuan literasi
informasi memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan
kemampuan seseorang menjadi manusia pembelajar. Semakin terampil
seseorang mencari, menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan
informasi, semakin terbukalah kesempatan untuk selalu melakukan
pembelajaran secara mandiri.
c) Menciptakan pengetahuan baru. Seseorang dikatakan telah berhasil
dalam belajar apabila mampu menciptakan pengetahuan baru.
Seseorang dengan kemampuan literasi informasi akan memiliki
keterampilan memilih informasi mana yang benar dan mana yang salah
sehingga tidak mudah saja percaya dengan informasi yang diperoleh
3) Menurut Hancock (2004: 1), manfaat literasi informasi sebagai berikut.
a) Untuk pelajar
Peserta didik dan pengajaran dapat menguasai pelajaran dalam proses
belajar mengajar dan siswa tidak akan tergantung kepada guru karena
dapat belajar secara mandiri dengan kemampuan literasi informasi yang
dimiliki. Hal ini dapat dilihat dari penampilan dan kegiatan mereka di
lingkungan belajar. Peserta didik yang literat juga akan berusaha belajar
mengenai berbagai sumber daya informasi dan cara penggunaan
sumber-sumber informasi.
b) Untuk masyarakat
Literasi informasi bagi masyarakat sangat diperlukan dalam kehidupan
sehari-hari dan dalam lingkungan pekerjaan. Mereka mengidentifikasi
informasi yang paling berguna saat membuat keputusan, misalnya saat
mencari bisnis atau mengelola bisnis dan berbagi informasi dengan
orang lain.
c) Untuk pekerja
Kemampuan dalam menghitung dan membaca belum cukup dalam
dunia pekerjaan karena dunia saat ini dipenuhi dengan informasi sehingga
pekerja harus mampu menyortir dan mengevaluasi informasi yang
diperoleh. Bagi pekerja, literasi informasi akan mendukung pelaksanaan
85
pekerjaan serta memecahkan berbagai masalah terhadap pekerjaan yang
dihadapi dan dalam membuat kebijakan.
Keputusan ketika menghadapi berbagai masalah ataupun ketika membuat
suatu kebijakan. Berdasarkan beberapa pendapat yang diuraikan di atas, dapat
dikatakan bahwa literasi informasi bermanfaat di era informasi bagi semua orang,
baik peserta didik, pekerja, maupun dalam lingkungan masyarakat. Setiap orang
yang menguasai literasi informasi dapat menciptakan pengetahuan baru. Lalu, ia
menggabungkannya dengan pengetahuan sebelumnya yang telah dimiliki
sehingga memudahkannya dalam pengambilan
2) Attitudes (sikap)
Karakteristik yang kedua adalah sikap. Sikap ini meliputi ketekunan,
perhatian secara detail, dan keragu-raguan (misalnya penyebab menerima
informasi yang diperoleh).
86
bagaimana menggunakan teknologi komputer dalam mencari informasi.
Berdasarkan dua pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa apabila kriteria
tersebut dapat terpenuhi oleh seseorang ataupun suatu negara, tingkat
keterpakaian terhadap informasi akan tinggi dan tidak ada lagi yang buta
terhadap informasi. Namun, untuk memenuhi kriteria tersebut,
diperlukannya bantuan, seperti pustakawan. Oleh karena itu, pustakawan
juga harus mengerti kriteria tersebut dan menguasai literasi informasi.
87
c) Mengajukan pertanyaan
Kegiatan ini bertujuan untuk mendorong berpikir secara kritis.
d) Memvisualisasikan pemikiran (mind mapping)
Kegiatan memvisualisasikan pemikiran dilakukan dengan penggambaran
hubungan di antara konsep-konsep.
2) Mengidentifikasi sumber informasi
Sumber-sumber informasi terdiri atas sumber informasi tercetak (buku,
jurnal, majalah, dan laporan penelitian) serta sumber elektronik (melalui
internet, yaitu jurnal elektronik, buku elektronik, dan informasi-informasi
elektronik lainnya). Ada beberapa kriteria penilaian sumber informasi
berikut.
a) Relevansi
Relevansi adalah menilai sejauh mana informasi yang dikandung sesuai
dengan topik yang dibahas dan dapat dilihat dari kedalaman dan sumber
referensi yang jelas.
b) Kredibilitas
Kredibilitas adalah menentukan sejauh mana sumber informasi dapat
dipercaya. Kredibilitas dapat dilihat dari berikut ini. Pertama, kredibilitas
pencipta dan penanggung jawab. Hal tersebut dilihat dari sejauh mana
suatu lembaga dan pencipta menghasilkan karya dan bagaimana latar
belakang dari penanggung jawab dan pencipta bisa dilihat dari biografi
penanggung jawab. Kedua, proses pembuatan yang dapat dilihat dari
proses penelaan. Suatu karya akan semakin berkualitas apabila melewati
suatu proses penelaan dari para ilmuwan.
c) Pemanfaatan
Pemanfaatan sumber informasi dapat dilihat dari seberapa sering orang
menggunakan sumber informasi tersebut atau dengan kata lain tingkat
pemanfaatannya.
d) Kemuktahiran
Kemutakhiran sumber informasi dapat dilihat dari tahun terbit,
keterangan kapan revisi terakhir kali, keterangan kapan revisi secara
berkala, dan daftar pustaka. Kalau melalui sumber internet, kemutakhiran
dapat dilihat kapan situs tersebut dibuat dan kapan terakhir kali di-up date.
3) Mengakses informasi
Langkah-langkah dalam mengakses informasi sebagai berikut.
a) Mengetahui kebutuhan informasi.
88
b) Mengidentifikasi alat penelusuran yang relevan, seperti di perpustakaan
OPAC, katalog, WEBPAC, dan di internet melalui search engine atau meta
search engine.
c) Menyusun strategi penelusuran, misalnya dengan operator Boolean.
4) Menggunakan informasi
Sumber informasi yang ditawarkan di era globalisasi informasi sangat
banyak, tetapi belum semua informasi tersebut sesuai dengan kebutuhan
informasi. Maka itu, perlu dilakukan seleksi terhadap informasi dengan
kriteria berikut.
a) Relevan
Informasi dikatakan relevan jika sesuai dengan masalah yang dibahas.
b) Akurat
Informasi yang akurat adalah informasi yang tidak menyesatkan. Untuk
membuktikannya, perlu diperiksa terlebih dahulu.
c) Objektif
Suatu karya dikatakan objektif apabila berdasarkan fakta dan fenomena
yang dapat diamati.
d) Kemutakhiran
Kemutakhiran informasi dapat dilihat dari waktu pengumpulan
informasi, waktu publikasi, waktu pemberian hak cipta atau paten, dan
waktu publikasi sumber-sumber yang mendukung apabila berbentuk
tulisan.
e) Kelengkapan dan kedalaman suatu karya
Kelengkapan dan kedalaman suatu karya dapat dilihat dari sejauh mana
kemampuan pencipta informasi menguasai bidang tersebut.
5) Menciptakan karya
Penciptaan suatu karya harus berdasarkan persyaratan COCTUC yaitu:
a) Clarifity (kejelasan)
Suatu karya ditulis harus berdasarkan langkah-langkah, tidak berbelit-
belit/langsung ke topik permasalahan, disusun secara logis dan
menggunakan sudut pandang yang konsisten.
b) Organization (organisasi)
Pengorganisasian suatu karya dilakukan dengan cara penyusunan ide- ide
yang akan dibahas dalam karya tersebut.
c) Coherence (koherensi dan pertalian)
89
Pertalian suatu karya dapat dilihat dari hubungan yang jelas antara ide- ide
ataupun gagasan-gagasan yang dibahas dalam topik tersebut.
d) Transision (transisi)
Transisi diperlukan agar suatu informasi mudah dimengerti. Transisi
disebut juga dengan penghubung. Transisi dibuat antara kalimat- kalimat,
paragraf ke paragraf, dan ide ke ide. Transisi juga bisa dilakukan dengan
menggunakan kata ganti.
e) Utility (kesatuan)
Suatu karya yang baik adalah apabila memiliki satu kesatuan, misalnya
kalimat demi kalimat dan paragraf demi paragraf.
f) Conciseness (kepadatan)
Kepadatan suatu karya dapat dilakukan dengan cara menghindari
penggunaan kata-kata atau frasa-frasa berlebihan dan berbelit-belit.
Plagiarisme merupakan hal yang harus dihindari dalam menciptakan
suatu karya. Hal ini dilakukan dengan mencantumkan sumber informasi
yang diambil setiap kali digunakan.
6) Mengevaluasi
Kegiatan mengevaluasi suatu karya dapat dilakukan dengan membaca karya
yang akan dievaluasi. Kita harus membaca secara teliti agar dapat melihat
kesalahan-kesalahan yang mungkin timbul baik pada bagian pendahuluan,
isi, dan penutup.
7) Menarik pelajaran
Pelajaran dapat diperoleh berdasarkan kesalahan-kesalahan, kegagalan-
kegagalan, dan pengalaman, baik pengalaman sendiri maupun orang lain.
Pelajaran ini juga dilakukan dengan membuat sebuah catatan mengenai apa
saja yang telah dilakukan dan dipelajari.
Ada beberapa langkah dalam memperoleh kemampuan literasi informasi
seperti berikut.
1) Merumuskan kebutuhan informasi
Merumuskan kebutuhan informasi merupakan tahap awal dalam melakukan
penelusuran informasi. Kegunaan dari identifikasi informasi adalah
seseorang akan mengetahui apa kegunaan informasi yang dicari, misalnya
untuk pendidikan, kesehatan, dan hubungan dengan masyarakat.
2) Mengalokasikan dan mengevaluasi kualitas informasi
Mengalokasikan informasi dapat dilakukan dengan cara manual ataupun
membuatnya ke dalam database agar suatu saat diperlukan bisa ditemu
90
kembali. Kualitas dari informasi dapat dilihat dari penggunaan informasi
tersebut dan kredibilitas dari informasi tersebut. Apabila kriteria informasi
dipenuhi oleh suatu informasi, kualitasnya semakin baik.
3) Menyimpan dan menemukan kembali informasi
Seseorang harus mampu menyimpan informasi yang sudah diperoleh agar
suatu saat informasi tersebut mudah ditemukan kembali ketika akan
digunakan. Penyimpanan dapat dilakukan dengan menggunakan sistem
manual ataupun elektronik. Sistem manual dapat dilakukan dengan
menggunakan rak-rak perpustakaan, sedangkan sistem elektronik dapat
dilakukan dengan menggunakan komputer.
4) Menggunakan informasi secara efektif dan efisien
Kemampuan ini digunakan agar seseorang mampu menggunakan informasi
yang diperoleh secara efektif dan efisien.
5) Mengomunikasikan pengetahuan
Kemampuan ini bertujuan untuk memampukan seseorang dalam
menciptakan pengetahuan baru dan menyebarkan atau
mengomunikasikannya kepada orang lain yang membutuhkan informasi
tersebut.
Berdasarkan kriteria literasi informasi tersebut, dapat ditarik simpulan bahwa
untuk memahami, memiliki, dan menguasai literasi informasi seseorang harus
benar-benar mengerti dan mampu mengimplementasikan literasi informasi.
Breivik (1991: 1) menyarankan agar literasi informasi menjadi bagian penting dalam
proses pendidikan dan proses tersebut akan berjalan dengan baik apabila
didukung oleh kompetensi literasi informasi. Menurut Hasugian (2009: 204),
manfaat kompetensi literasi informasi dalam dunia pendidikan, yaitu
menyediakan metode yang telah teruji untuk dapat memandu peserta didik ke
berbagai sumber informasi yang terus berkembang.
RANGKUMAN
Literasi informasi pertama kali ditemukan oleh pemimpin American Information
Industry Association, Paul G. Zurkowski, pada tahun 1974 dalam proposalnya yang
ditujukan kepada The National Commission on Libraries and Information Science (NCLIS)
di Amerika Serikat. Paul Zurkowski menggunakan ungkapan tersebut untuk
menggambarkan ―teknik dan kemampuanǁ yang dikenal dengan istilah literasi informasi,
yaitu kemampuan untuk memanfaatkan berbagai alat informasi serta sumber informasi
primer untuk memecahkan masalah mereka. Istilah literasi informasi selalu dikaitkan
91
dengan computer literacy, library skills, dan critical thinking yang merupakan pendukung
terhadap perkembangan literasi informasi.
Literasi informasi adalah kemampuan dalam menemukan informasi yang
dibutuhkan, mengerti bagaimana perpustakaan diorganisasi, familiar dengan sumber daya
yang tersedia (termasuk format informasi dan alat penelusuran yang terautomasi), serta
pengetahuan dari teknik yang biasa digunakan dalam pencarian informasi. Hal ini
termasuk kemampuan yang diperlukan untuk mengevaluasi informasi dan
menggunakannya secara efektif, seperti pemahaman infrastruktur teknologi pada transfer
informasi kepada orang lain, termasuk konteks sosial, politik, dan budaya serta
dampaknya.
Literasi informasi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mencari,
menemukan, menganalisis, mengevaluasi serta mengomunikasikan informasi yang
berfungsi dalam memenuhi kebutuhan informasi yang akan memecahkan berbagai
masalah. Literasi informasi juga didukung oleh peranan perpustakaan dalam
memperkenalkan istilah literasi informasi dan memperoleh kemampuan literasi informasi
tersebut.
Penguasaan teknologi informasi juga akan sangat memudahkan seseorang
memiliki literasi informasi. Oleh karena itu, literasi informasi merupakan proses
pembelajaran seumur hidup yang akan menjadi bekal seseorang dalam mencari informasi,
bukan hanya dalam pendidikan. Tiga elemen utama yang ada dalam literasi informasi:
1. keterampilan umum yang terdiri atas pemecahan masalah, kolaborasi, kerja sama,
komunikasi, dan berpikir kritis;
2. keterampilan informasi yang terdiri atas pencarian informasi, penggunaan informasi,
dan kemampuan teknologi informasi;
3. nilai dan kepercayaan yang terdiri atas menggunakan informasi secara bijak dan etis
serta tanggung jawab sosial dan partisipasi komunitas.
Seseorang yang memiliki kemampuan informasi memiliki pemahaman terhadap hal
berikut.
1. Kebutuhan informasi
Kemampuan yang pertama ini adalah seseorang dapat memahami bahwa dirinya
membutuhkan informasi, dan mengetahui bahwa informasi yang tersebar itu tersedia
dalam berbagai format (tercetak dan digital).
92
mengidentifikasi secara efektif sehingga informasi yang didapat benar-benar relevan
dengan kebutuhan.
4. Bagaimana mengevaluasi informasi hasil temuan
Ini dapat diartikan bahwa seseorang dapat mengevaluasi keaslian, keakuratan, dan
kekinian informasi yang telah ditemukannya.
5. Bagaimana mengolah informasi
Menganalisis dan mengolah informasi untuk menciptakan informasi yang akurat
sehingga dapat dikomunikasikan kepada orang lain dan juga dapat menciptakan suatu
pengetahuan dan pemahaman yang baru.
6. Penggunaan informasi secara bertanggung jawab dan etis Mengetahui mengapa
informasi harus digunakan secara bertanggung jawab dan etis.
7. Bagaimana mengomunikasikan informasi/hasil temuan kepada orang lain
Setelah menemukan dan mengolah informasi, tahap berikutnya adalah
mengomunikasikannya dengan orang lain.
8. Bagaimana menyimpan informasi
Informasi yang telah selesai digunakan/dikomunikasikan kemudian disimpan. Sistem
penyimpanan yang efektif suatu saat informasi yang sama dibutuhkan kembali dapat
ditemukan secara mudah.
Berdasarkan berbagai pendapat, diketahui bahwa literasi informasi merupakan
kunci utama dalam meningkatkan pengetahuan peserta didik. Dengan literasi informasi,
peserta didik akan mampu belajar secara mandiri, berhadapan dengan berbagai sumber
informasi, dan menjadi bekal dalam pelaksanaan pembelajaran sepanjang hayat di era
globalisasi informasi ini.Literasi informasi juga sangat berguna dalam dunia perguruan
tinggi untuk mendukung pendidikan dan dalam implementasi kurikulum berbasis
kompetensi yang mengharuskan peserta didik untuk menemukan informasi bagi dirinya
sendiri dan memanfaatkan berbagai sumber informasi. Selain itu, dengan memiliki literasi
informasi, para peserta didik mampu berpikir secara kritis dan logis serta tidak mudah
percaya terhadap informasi yang diperoleh sehingga perlu mengevaluasi terlebih dahulu
informasi yang diperoleh sebelum menggunakannya.
TES FORMATIF 1
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat.
1. Literasi informasi merupakan kemampuan seseorang untuk menyadari kebutuhan
informasi; menemukan dan mengevaluasi kualitas dari informasi yang diperoleh;
menyimpan dan menemukan kembali informasi; membuat dan menggunakan
93
informasi secara etis dan efektif; serta mengomunikasikan pengetahuan. Standar
kemampuan tersebut dikeluarkan oleh ....
A. American Library Asssociation
B. The Prague Declaration
C. president of Information Industry Association of United States
D. UNESCO
2. Information literacy kira-kira mempunyai makna yang sama dengan ....
A. information skills
B. information mediacy
C. information ablity
D. information is fact
94
Cooper, 1997; Bruce, 2000; Seaman, 2001). Pada 1930-an, kata orientasi
perpustakaan dan instruksi perpustakaan umum digunakan dalam
kepustakawanan Anglo-Amerika untuk mengenalkan aktivitas pendidikan
pengguna perpustakaan. HW Wilson, yang diterbitkan sejak tahun 1921,
diindeks pada bahan penidikan pengguna perpustakaan dari periode 1930-
1988 di bawah instruksi pengguna perpustakaan dan kemudian instruksi
perpustakaan. Pada tahun 1988, instruksi pengguna perpustakaan diubah
menjadi instruksi bibliografi dan kata instruksi bibliografi tetap dipakai untuk
kegiatan pendidikan perpustakaan atau pengguna informasi. LISA: Library
Information Science abstract usedlibraries: use instruction: from 1970 to 1992 and in
1993 changed to two headings: information literacy and user training (Peterson,
2001). Pada tahun 1992, istilah literasi informasi juga ditambahkan sebagai
deskriptor ke Thesaurus ERIC (Spitzer et al, 1998). Literasi perpustakaan
biasanya didefinisikan sebagai pembelajaran keterampilan dasar mencari
informasi‘ (Lubans, 1978) dan mengacu pada kompetensi dalam penggunaan
perpustakaan dengan penekanan khusus pada kemampuan untuk membuat
keputusan tentang sumber-sumber informasi. Beberapa pendapat (Arp, 1990,
Rader, 1991; Lenox & Walker, 1992; Rader & Coons, 1992; Miller, 1992;
Murdock, 1995; Snavely & Cooper, 1997) membahas hubungan antara istilah
yang disebutkan. Namun, menurut Bawden (2001), kesimpulan mereka tidak
berarti bertetapan penuh.
Pada tahun 1976, Burchinal menyatakan bahwa literasi informasi
merupakan satu set keterampilan dan literasi informasi terkait dengan:
a) keterampilan menemukan dan menggunakan informasi;
b) penggunaan informasi untuk pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan;
c) efisien dan efektif menemukan lokasi informasi dan pemanfaatan.
The Information Industry Association (IIA) mendefinisikan orang yang
literasi informasi adalah orang yang tahu teknik dan keterampilan
menggunakan alat bantu penelusuran informasi untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapinya (Garfield, 1979; Behrens, 1994). Taylor
memperkenalkan istilah ini dalam journal ( Library Journal) melalui hubungan
antara unsur literasi informasi dan pustakawan dalam ruang lingkup yang
luas (Taylor, 1979; Behrens, 1994). Definisi tahun 1970 menyoroti sejumlah
persyaratan literasi informasi, tetapi tidak mengidentifikasi pengetahuan dan
keterampilan yang dibutuhkan untuk menemukan informasi dan
95
penggunaannya. Namun, literasi informasi juga dilihat sebagai sesuatu yang
melayani fungsi masyarakat. Behrens menunjukkan bahwa definisi dari tahun
1970-an dikembangkan dalam menanggapi peningkatan jumlah informasi
yang tersedia dengan cepat dan untuk mengatasi informasi yang berlebihan
(Spitzer et al, 1998). Sepanjang 1980-an, pustakawan, ahli komunikasi, dan
pendidik memberikan kontribusi terhadap pengembangan definisi literasi
informasi. Dua set definisi dan standar yang dikembangkan dalam
pendidikan K-12 dan pendidikan tinggi. A Nation at Risk diterbitkan pada
tahun 1983 oleh the National Commission on Excellence in Education marked
the development of information literacy in K-12 education. Dalam menanggapi hal
itu, anggota US National Commission on Library and Information Science
(NCLIS) setuju bahwa sebuah konsep harus ditulis dalam bentuk makalah
untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan keterampilan informasi
mendidik siswa. Hasilnya adalah sebuah buku yang diterbitkan tahun 1986
oleh Mancall, Aaron, dan Walker (Spitzer et al, 1998) dengan judul Educating
Students to Think: the Role of the School Library Media Program. Kulthau
menyatakan bahwa Information Skills for an Information Society: A Review of
Research (1987) termasuk keterampilan menggunakan perpustakaan dan
keterampilan komputer, yang dalam pengertian tersebut menyatakan bahwa
literasi informasi dalam perkembanganya memberikan kontribusi dengan
menunjukkan bahwa literasi informasi tidak satu set keterampilan diskrit,
melainkan sebagai cara belajar (Kuhlthau, 1987; Behrens, 1994; Spitzer et al,
1998). The Big Six Skills Approach dikembangkan oleh Eisenberg & Berkowitz
(1988) yang merupakan perkembangan paralel untuk K-12. Mereka
menekankan pentingnya menggunakan keterampilan informasi untuk
pemecahan masalah di seluruh situasi dan model dengan cara memberi siswa
suatu kerangka kerja sistematis untuk memecahkan masalah informasi
(Spitzer et al, 1998). Seaman (2001) menyatakan, meskipun kata literasi
informasi tidak muncul sebagai konsep dasar, komponen ini diidentifikasi
menjadi suatu pendekatan literasi informasi. Model big six skills menekankan
gagasan mengintegrasikan instruksi perpustakaan ke dalam kurikulum
sekolah daripada memperlakukan instruksi perpustakaan sebagai unit
instruksional yang berdiri sendiri dan diajarkan agar tidak kehilangan
instruksional (Seaman, 2001).
Dalam pengelolaan pendidikan tinggi, definisi yang diberikan oleh
Martin Tessmer untuk Perpustakaan Auraria di Kampus Denver University of
96
Colorado (1985) menyatakan bahwa literasi informasi adalah kemampuan
untuk mengakses secara efektif dan mengevaluasi informasi untuk kebutuhan
pokok. Ini memberikan daftar keterampilan yang dibutuhkan sebagai
karakteristik literasi informasi. Demo (1986) dan Behrens (1994) dianggap
perumusan definisi ini sangat sesuai dan Behrens menyoroti sejumlah aspek
penting dari definisi ini sebagai berikut.
97
umum:
a) mengenali kebutuhan informasi;
b) mengidentifikasi informasi apa yang akan mengatasi masalah tertentu;
c) mencari informasi yang dibutuhkan;
d) mengevaluasi informasi yang ditemukan;
e) mengatur informasi;
f) menggunakan informasi yang efektif dalam menemukan masalah
khusus (ALA, 1989).
Laporan ini menyatakan bahwa literasi informasi juga cakupan
pembelajaran seumur hidup. Meningkatkan keterampilan masyarakat
dengan cara menekankan agar sekolah dan perguruan tinggi menghargai dan
mengintegrasikan konsep literasi informasi ke dalam program belajar mereka
dan memainkan peran kepemimpinan dalam melengkapi individu dan
lembaga untuk mengambil keuntungan dari peluang yang muncul dalam
masyarakat informasi. Pada akhirnya, orang yang literasi informasi adalah
mereka yang telah belajar bagaimana untuk belajar. Mereka adalah orang-
orang siap untuk belajar seumur hidup karena mereka selalu dapat
menemukan informasi yang diperlukan untuk setiap tugas atau keputusan
diambil (ALA, 1989: 3).
Menurut Behrens (1994: 316—17), definisi selama tahun 1980 ditambahkan
dengan lingkup literasi informasi berikut ini.
a) Ini harus dipertimbangkan berkaitan dengan cara saat mereka dapat
membantu menangani informasi dan keterampilan yang diperlukan
untuk mereka gunakan.
b) Sikap tertentu, seperti kesadaran akan kebutuhan informasi, kesediaan
untuk mencari dan menggunakan informasi, apresiasi nilai informasi,
serta memanfaatkan informasi dengan tepat.
c) Kecakapan berpikir kritis seperti memahami dan mengevaluasi
informasi yang diperlukan jika lokasi informasi tidak diketahui.
d) Meskipun perpustakaan dianggap sebagai repositori utama sumber
informasi, mereka tidak harus dilihat sebagai satu-satunya sumber daya.
e) Keterampilan mengelola perpustakaan tidak cukup lengkap untuk
memahami literasi informasi, tetapi juga keterampilan komputer.
f) Program pendidikan pemakai membutuhkan pergeseran paradigma
untuk mengakomodasi berbagai macam keterampilan yang dibutuhkan
dalam literasi informasi.
98
g) Dalam masyarakat informasi, literasi informasi dapat dilihat sebagai
perpanjangan dari literasi yang sebenarnya.
h) Literasi informasi merupakan prasyarat untuk masyarakat yang aktif
dan bertanggung jawab.
i) Tujuan dari literasi informasi adalah pencapaian keterampilan seumur
hidup yang memungkinkan orang untuk menjadi pembelajar mandiri
dalam segala bidang kehidupan.
j) Literasi informasi pengajaran dapat meningkatkan upaya reformasi
pendidikan yang bertujuan menghasilkan pelajar yang mandiri.
k) Belajar literasi informasi adalah kepustakawanan gabungan dan masalah
pendidikan yang membutuhkan kerja sama antara kedua disiplin, yaitu
ilmu pendidikan dan ilmu perpustakaan.
l) Agar pembelajaran literasi informasi menjadi efektif di bidang
pendidikan, keterampilan literasi informasi harus diajarkan di seluruh
kurikulum dengan pendekatan pembelajaran berbasis sumber daya
informasi.
m) Berbagai keterampilan informasi yang diperlukan untuk literasi
informasi:
(1) mengetahui ketika ada kebutuhan untuk informasi,
(2) mengidentifikasi informasi yang diperlukan dalam rangka
mengatasi masalah,
(3) menemukan informasi yang dibutuhkan,
(4) mengevaluasi informasi yang terletak,
(5) mengorganisasikan informasi,
(6) menggunakan informasi secara efektif untuk mengatasi masalah
(Behrens, 1994: 316—17).
Pada awal 1990-an, makna literasi informasi seperti yang diusulkan oleh
ALA secara umum diterima. Literasi informasi dianggap sebagai bagian dari
rangkaian literasi yang luas. Banyak lembaga pendidikan tinggi membentuk
komite untuk bekerja meningkatkan hasil kelulusannya, termasuk
mengembangkan literasi informasi dan beberapa kelompok dan individu
juga ikut serta mengembangkan literasi informasi (Spitzer et al, 1998).
Beberapa upaya dilakukan selama tahun 1990-an dalam upaya
mengembangkan pengertian literasi informasi. Rader memperluas
pengertian dengan menambahkan bahwa orang yang literasi informasi tahu
bagaimana menjadi pembelajar seumur hidup dalam masyarakat informasi
99
dan literasi informasi menjadi sangat penting bagi kelangsungan hidup di
masa depan. Dia menekankan bahwa literasi informasi masyarakat akan
dipersiapkan untuk memperoleh dan memanfaatkan informasi yang tepat
dalam setiap situasi, di dalam atau di luar perpustakaan, lokal ataupun global
(Rader, 1990; 1991).
Doyle, dalam hasil studi Delphi-nya yang dilakukan pada awal 1990-an,
menciptakan definisi literasi informasi sebagai berikut. ―Literasi informasi
adalah kemampuan untuk mengakses, mengevaluasi, dan menggunakan
informasi dari berbagai sumber (Doyle, 1992: 2). Lalu, ia mendefinisikan literasi
informasi sebagai berikut.
a) Mengakui bahwa informasi yang akurat dan lengkap adalah dasar untuk
membuat keputusan cerdas.
b) Mengakui perlunya informasi.
c) Merumuskan pertanyaan berdasarkan informasi yang dibutuhkan.
d) Mengidentifikasi potensi sumber informasi.
e) Mengembangkan strategi pencarian.
f) Mengakses sumber informasi termasuk berbasis komputer dan teknologi
lainnya.
g) Mengevaluasi informasi.
h) Mengatur informasi untuk aplikasi praktis.
i) Mengintegrasikan informasi baru ke dalam tubuh pengetahuan yang
telah dimiliki.
j) Menggunakan informasi dalam berpikir kritis dan pemecahan masalah
(Langford, 1998).
Shapiro & Huges mendefinisikan literasi informasi sebagai seni liberal
baru yang membentang dan dimulai dari mengetahui bagaimana
menggunakan komputer dan akses informasi untuk kajian kritis pada
informasi itu sendiri, infrastruktur teknis, konteks sosial, budaya, dan
bahkan dampak filosofis (Shapiro & Huges, 1996).
Pada tahun 1997, Bruce menawarkan pendekatan baru dalam meneliti
dan mendefinisikan literasi informasi. Bruce menekankan pentingnya
memahami konsep literasi informasi dan cara yang dipahami oleh pengguna
informasi itu sendiri. Dia menyarankan model relasional untuk literasi
informasi dengan menekankan pada model perilaku yang didominasi dalam
bidang penelitian yang diyakini. Pendekatan yang digunakan dalam
penelitiannya adalah phenomenography. Dia mengembangkan tujuh konseps
100
literasi informasi yang sampel penelitiannya adalah pendidik. Definisi literasi
informasi yang disampaikan adalah:
a) penggunaan teknologi informasi,
b) penggunaan sumber informasi,
c) melaksanakan proses;
d) pengendalian informasi untuk pengambilan keputusan;
e) memperoleh pengetahuan,
f) memperluas pengetahuan, dan
g) mendapatkan kebijaksanaan (Bruce, 1997a, 1997b).
Berdasarkan karya Doyle (1994) dan Bruce (1994), dapat disimpulkan
bahwa literasi informasi menggabungkan kualitas dan kemampuan dengan:
a) memiliki nilai-nilai yang mempromosikan penggunaan informasi;
b) memiliki pengetahuan tentang dunia informasi;
c) mengakui bahwa informasi yang akurat merupakan dasar untuk
membuat keputusan cerdas;
d) mengakui perlunya informasi;
e) merumuskan pertanyaan yang didasarkan pada kebutuhan;
f) mengidentifikasi sumber-sumber potensial dan informasi dengan tepat;
g) mengembangkan strategi pencarian;
h) mengakses berbagai sumber informasi termasuk berbasis komputer dan
teknologi lainnya;
i) mengevaluasi informasi terhadap semua fase informasi pemecahan
masalah;
j) mengatur informasi untuk aplikasi praktis;
k) mengintegrasikan informasi baru ke dalam tubuh dan pengetahuan telah
dimiliki;
l) menggunakan pemikiran kritis dalam memecahkan masalah informasi;
m) pendekatan pemecahan masalah informasi secara dinamis dan reflektif;
n) terlibat secara pribadi dan belajar mandiri;
o) mempertimbangkan kebutuhan informasi dari orang lain ketika
berkomunikasi.
Sementara itu, Snavely & Cooper (1997) menyimpulkan bahwa literasi
informasi digunakan untuk membedakan tingkat kesepakatan yang
menggambarkan tren baru dalam instruksi perpustakaan. Secara khusus, hal
tersebut meliputi:
101
a) belajar mandiri dengan harapan siswa mampu melakukan semua
langkah definisi yang disampaikan oleh ALA;
b) kemampuan untuk menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran seumur
hidup;
c) variasi instruksi yang lebih luas dalam berbagai jenis sumber daya
informasi (cetak serta elektronik);
d) beralih dari cakupan yang tegas dari berbasis instruksi pada sumber daya
tertentu ke proses pendekatan berbasis kepada pemakai;
e) kerja sama antarfakultas;
f) asosiasi dengan teknik instruksional baru, seperti belajar aktif dan
berpikir kritis.
Diskusi tentang konsep literasi informasi telah dimulai di Amerika
Serikat. Namun, beberapa sarjana di Eropa juga telah membahas konsep
literasi informasi dan keterampilan informasi. Sebagai contoh, Fjällbrant dan
Malley (1984) menyatakan hubungan antara pendidikan pemakai dan
keterampilan informasi. Dalam pendidikan untuk pemakai bagi siswa
sekolah, tidak semua aktivitas menggambarkan ‗keterampilan informasi‘.
Pengertian keterampilan informasi tersebut merupakan sebuah kerangka
jangka panjang dalam upaya menggabungkan kemampuan belajar,
keterampilan belajar, dan keterampilan komunikasi.
Selama beberapa tahun terakhir, diskusi tentang istilah literasi informasi
dan keterampilan informasi serta konsep literasi informasi di Inggris
mempunyai pendekatan yang berbeda dalam penggunaan istilah literasi
informasi dan keterampilan informasi serta banyak definisi yang diusulkan
oleh beberapa organisasi, lembaga, dan penulis (Virkus, 2003). Misalnya,
definisi berbasis keterampilan informasi dalam pendidikan tinggi dari
Standing Conference of National and University Libraries (SCONUL)
mencerminkan dimensi yang sama antara pengguna informasi yang
kompeten pada tingkat dasar dan seseorang yang literasi informasi. Untuk
tingkat kedua, penggunaan istilah keterampilan informasi digunakan untuk
literasi informasi. Oleh karena itu, baik keterampilan informasi maupun
keterampilan teknologi informasi (TI) dipandang sebagai bagian penting dari
konsep yang lebih luas tentang literasi informasi. Pengembangan literasi
informasi SCONUL mengusulkan tujuh set keterampilan. Garis besar model
keterampilan informasi yang dihasilkan dalam briefing paper telah dikenal
sebagai seven pillars model. Pilar-pilar menunjukkan proses berulang, yaitu
102
kemajuan pengguna informasi melalui kompetensi keahlian dengan berlatih
keterampilan (Bainton, 2001).
The Chartered Institute of Library and Information Professionals (CILIP)
dan Policy Advisory Groups (PAGs) menjelaskan pengertian literasi informasi
dalam pendekatannya sebagai berikut.
Kami telah mengadopsi perbedaan umum antara literasi informasi dan
keterampilan informasi. Literasi informasi adalah bagaimana menyiapkan semua
anggota masyarakat memiliki kompetensi informasi yang diperlukan agar berfungsi
secara efektif dalam masyarakat. Pengertian ini mungkin disebut sebagai literasi
informasi fungsional. Perdebatan keterampilan informasi berkaitan dengan
kompetensi tingkat lebih tinggi dari spesialis informasi (PAG, 2001: 15; Muir &
Oppenheim, 2001).
Mereka mendefinisikan literasi informasi sebagai seperangkat
kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh semua orang. Namun, definisi
terbaru dari CILIP menggambarkan literasi informasi sebagai berikut.
Literasi informasi adalah mengetahui kapan dan mengapa Anda membutuhkan
informasi, di mana menemukannya, serta bagaimana mengevaluasi, menggunakan,
dan mengomunikasikan dengan cara yang etis (CILIP, 2005).
The Glossary of Information Terms at the British Open University (OU)
menyatakan bahwa lokasi perpustakaan tampaknya mendukung pendekatan
yang sama dalam memberikan pengertian literasi informasi. Pengertian yang
dimaksud dengan literasi informasi adalah keterampilan yang melibatkan
kemampuan agar berhasil menggunakan informasi, termasuk mencari
informasi dengan menggunakan berbagai alat penelusur informasi (misalnya,
internet, database) dan mampu mengevaluasi hasil penelusurannya secara
kritis (OU, 2003).
Perbedaan dan perdebatan yang tidak hentinya mendorong Mutch (1996)
menyampaikan kekhawatiran tentang istilah literasi informasi yang akan
berdampak pada keterampilan dan didefinisikan sebagai kompetensi yang
lebih luas dan lebih kompleks berdasarkan sikap, pendekatan, dan
keterampilan yang di singgung di atas. Kekhawatiran tersebut disebabkan
literasi berhubungan erat dengan teks dan tampilan informasi sebagai benda.
Dia menunjukkan bahwa literasi informasi membutuhkan definisi informasi
yang mengakui sebagai data yang tidak terstruktur atau terbatas pada kata
dicetak dan sumber formal serta mencakup wawasan dari berbagai bidang
disiplin ilmu. Dia lebih melihat bahwa nilai dari konsep literasi informasi
103
sebagai konsep strategis (Mutch, 1996).
Boekhorst (2003) dari Belanda mengemukan bahwa semua definisi dan
deskripsi literasi informasi yang disajikan selama bertahun-tahun dapat
diringkas dalam tiga konsep berikut.
a) Konsep ICT: melek informasi mengacu pada kompetensi dalam
menggunakan ICT untuk mengambil dan menyebarkan informasi.
b) Konsep sumber informasi: literasi informasi mengacu pada kompetensi
untuk menemukan dan menggunakan informasi secara mandiri atau
dengan bantuan perantara.
c) Konsep proses informasi: literasi informasi mengacu pada proses
mengenali kebutuhan informasi, mengambil, mengevaluasi,
menggunakan, dan menyebarkan informasi untuk memperoleh atau
memperluas pengetahuan. Konsep ini mencakup ICT dan sumber
informasi.
Bawden (2001) berpendapat bahwa istilah literasi informasi telah banyak
digunakan dalam literatur dan cenderung membingungkan. Sejumlah istilah
saling terkait antara satu dan yang lainnya. Istilah-istilah juga menggunakan
konsep yang sama atau serupa, termasuk literasi komputer (atau literasi
teknologi informasi, literasi elektronik, atau literasi informasi elektronik),
literasi perpustakaan, media literacy (mediacy); literasi jaringan (literasi
internet/ hiper-literasi), literasi digital (melek informasi digital); dan
informacy.
Muir & Oppenheim (2001) mengikuti perkembangan istilah literasi
informasi di seluruh dunia terhadap kebijakan informasi nasional. Mereka
menyimpulkan bahwa literasi informasi tidak memiliki definisi yang
disepakati dan sejumlah pakar telah menawarkan pandangan mereka tentang
literasi informasi sesuai dengan yang dipikirkannya tentang literasi
informasi. Di Inggris, telah disepakati mendefinisikan istilah literasi
informasi. Dalam kesepakatan tersebut, juga dibahas perbedaannya dengan
keterampilan informasi.
Beberapa kombinasi istilah yang digunakan oleh para ahli tentang literasi
informasi antara lain adalah infoliteracy, informacy, pemberdayaan informasi,
informasi kompetensi, kompetensi informasi, keterampilan literasi informasi,
literasi informasi dan keterampilan, keterampilan informasi literasi,
kompetensi literasi informasi, informasi kompetensi literasi, keterampilan
kompetensi informasi, keterampilan menangani informasi, masalah
104
pemecahan informasi, keterampilan pemecahan, masalah informasi
kelancaran, informasi mediacy, serta penguasaan informasi. Peneliti Finlandia
Reijo Savolainen menyarankan agar istilah kompetensi informasi mencakup
literasi informasi serta menambahkan media dan kompetensi keterampilan
perpustakaan. Label baru dalam mendeskripsikan jenis keahlian tertentu terus
diperkenalkan. Hal tersebut mencerminkan perkembangan TIK sebagai upaya
mengembangkan klasifikasi yang sesuai dengan informasi yang
berhubungan dengan keahlian yang tampaknya menjadi sia-sia (Savolainen,
2002).
Di beberapa negara, istilah yang digunakan untuk melek informasi
dengan jelas mengacu pada kompetensi. Contohnya, di Denmark informations
competence, di Finlandia informatio kompetensi (juga informaatiolukutaito), di
Jerman informations kompetenz, di Norwegia informasjons kompetanse, dan di
Swedia informations kompetens. Istilah tersebut telah digunakan untuk literasi
informasi (Virkus, 2003). Oleh karena itu, perbedaan antara definisi dan
pemahaman konsep tampaknya sangat berhubungan dengan cara konsep
kompetensi dan keterampilan informasi tersebut didefinisikan.
The International Adult Literacy Survey (IALS) mendefinisikan literasi
sebagai tingkat kemampuan penggunaan informasi dalam masyarakat dan
berfungsi ekonomis. Literasi didefinisikan sebagai kapasitas tertentu dan
perilaku, kemampuan memahami serta menggunakan informasi yang
dicetak dalam kegiatan sehari-hari, di rumah, di tempat kerja, dan di
masyarakat. Dalam IALS, literasi diukur secara operasional dengan tiga
domain, yaitu literasi prosa, literasi dokumen, dan literasi kuantitatif. Lima
tingkat keaksaraan didefinisikan sebagai berikut.
a) Tingkat 1 menunjukkan orang-orang dengan keterampilan yang sangat
miskin, misalnya tidak dapat menentukan jumlah dengan benar untuk
memberikan anak dari informasi yang tercetak pada kemasan obat.
b) Tingkat 2, responden hanya dapat berurusan dengan bahan yang
sederhana, jelas ditata, dan tugas-tugas yang terlibat tidak terlalu rumit.
Ini menunjukkan tingkat lemahnya keterampilan, tetapi lebih
tersembunyi dari Level 1. Ini mengidentifikasi orang-orang yang bisa
membaca, tetapi buruk. Mereka mungkin telah mengatasi keterampilan
dengan mengembangkan atau mengelola tuntutan literasi sehari-hari.
Namun, tingkat kemampuan mereka rendah sehingga membuat mereka
sulit untuk menghadapi tuntutan baru, seperti pekerjaan belajar
105
keterampilan baru.
c) Tingkat 3 dianggap minimal cocok untuk mengatasi tuntutan kehidupan
sehari-hari dan bekerja di kompleks masyarakat yang maju. Ini
menunjukkan kira-kira tingkat keterampilan yang dibutuhkan untuk
berhasil menyelesaikan sekolah menengah dan masuk perguruan tinggi.
Misalnya, tingkat yang lebih tinggi membutuhkan kemampuan untuk
mengintegrasikan beberapa sumber informasi dan memecahkan masalah
yang lebih kompleks.
d) Tingkat 4 dan 5 menggambarkan responden yang menunjukkan
keterampilan pengolahan informasi (OECD/Statistik Kanada, 2000: xi).
Pada tahun 2002, Bruce menyimpulkan ide literasi informasi muncul
seiring dengan berkembangnya teknologi informasi pada awal tahun 1970.
Literasi informasi mulai tumbuh, berkembang, dan diakui sebagai literasi
yang sangat penting pada abad ke-21. Literasi informasi diartikan sebagai
sejumlah kemahiran. Literasi informasi juga digambarkan sebagai literasi
menyeluruh terhadap semua aspek kehidupan pada abad ke-21. Hari ini,
literasi informasi adalah terkait dengan praktik informasi dan pemikiran
kritis terhadap lingkungan teknologi komunikasi dan informasi.
106
semua warga Australia mendukung pentingnya literasi informasi dalam
perspektif pribadi, politik, ekonomi, dan global (Bundy, 2002). Terdapat
beberapa referensi untuk perkembangan literasi informasi di Kanada, Cina,
Jepang, Meksiko, Namibia, Selandia Baru, Singapura, dan Afrika Selatan.
Menurut Rader (2003), banyak kekhawatiran dan masalah yang sangat mirip
dengan isu yang dihadapi oleh pustakawan akademik di Amerika Serikat.
Mereka juga menyebutkan bahwa selama lebih dari 20 tahun Perpustakaan
Universitas Thsinghua telah menawarkan program intensif, yaitu instruksi
perpustakaan, termasuk tujuh program yang dibutuhkan. Kebutuhan
instruksi perpustakaan juga ditangani secara individual dan melalui
pendidikan jarak jauh. Informasi Standar Kompetensi Literasi ACRL
diterjemahkan oleh pustakawan dari Universitas Tshinghua, Cina.
Di Jepang, Inoue et al (1997) telah menekankan kebutuhan merevisi
kurikulum dan untuk mempromosikan literasi informasi. Mereka mencatat
bahwa literasi informasi harus sama-sama diposisikan sebagai ―membaca,
menulis, dan kalkulusǁ menjadi salah satu anugerah dasar siswa dan siswa
yang hidup dalam masyarakat informasi canggih. Mereka juga menekankan
kebutuhan untuk membangun moralitas informasi (Inoue et al, 1997) serta
mencatat bahwa definisi literasi informasi oleh Departemen Pendidikan
Jepang terdiri atas empat elemen:
a) kemampuan evaluasi, seleksi, organisasi, dan pengolahan informasi serta
penciptaan informasi dan komunikasi;
b) memahami karakteristik masyarakat informasi serta efek dari informasi
terhadap masyarakat dan manusia;
c) pengakuan pentingnya dan tanggung jawab informasi;
d) pemahaman dasar ilmu informasi serta belajar keterampilan dasar
informasi dan teknologi informasi (terutama komputer) (Muir et al, 2001,
hlm.175— 176).
Pada Februari 2001, Asosiasi Perpustakaan dan Informasi dari Selandia
Baru Aotearoa (LIANZA) menerbitkan dokumen strategi nasional menuju
informasi. LIANZA/TRW merekomendasikan strategi informasi nasional
yang diharapkan menjadi cetak biru untuk menciptakan masyarakat
informasi di Selandia Baru. LIANZA telah melakukan koordinasi atau
perencanaan tentang hal-hal yang mendorong/menciptakan masyarakat
informasi bagi warganya.
Dasar dari strategi ini adalah pendekatan tiga cabang pengetahuan:
107
a) infrastruktur akses pengetahuan bermanfaat untuk memberikan
kemudahan akses pengetahuan melalui jaringan telekomunikasi ataupun
perpustakaan dan lain-lain;
b) isi pengetahuan, yaitu ketersediaan isi pengetahuan dan dapat diakses
melalui infrastruktur informasi (perangkat pencarian dan database);
ekuitas pengetahuan, yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk
mengubah
c) informasi menjadi pengetahuan dan literasi ICT (keterampilan komputer
dasar) serta keterampilan literasi informasi.
Perlu ditekankan juga bahwa kebutuhan formal dari literasi informasi
adalah keterampilan penting dalam masyarakat informasi. LIANZA
menekankan bahwa sistem perpustakaan umum harus diperkuat agar
memberikan kemudahan akses informasi kepada masyarakat umum,
sedangkan perpustakaan sekolah di bidang pendidikan. Keduanya dapat
memainkan peran serupa dalam literasi informasi. LIANZA yakin satu-
satunya cara untuk menanggulangi penyebab kesenjangan digital adalah
menyediakan infrastruktur informasi yang baik agar akses pengetahuan,
cakupan yang relevan, dan literasi informasi. Hal ini menekankan bahwa
literasi informasi menyediakan fondasi untuk mendasari:
a) partisipasi efektif dalam demokrasi;
b) prestasi dalam semua bidang dan jenjang pendidikan formal dan
pembelajaran seumur hidup;
c) pengembangan inovatif, ekonomi berbasis pengetahuan, dan produksi
pengetahuan baru;
d) inklusi sosial dan budaya;
e) pemberdayaan individu dan masyarakat;
f) kemampuan individu untuk mengelola kompleksitas tantangan
informasi dan informasi yang jumlah semakin banyak.
108
visi literasi informasi terkoordinasi, terpusat, dan lintas sektoral. Strategi
Selandia Baru yang dicanangkan adalah upaya melengkapi dan
memperkuat inisiatif pemerintah yang ada dan strategi yang
berkontribusi kepada pencapaian tujuan pemerintah.
Dalam LIANZA (2001). Ancaman yang akan menjadi masalah literasi
informasi disebutkan sebagai berikut:
a) kurangnya kesadaran dan pemahaman tentang konsep literasi informasi
dan implikasinya;
b) fragmentasi inisiatif dan kepentingan di semua tingkat nasional;
c) meremehkan pemanfaatan di bawah kontribusi perpustakaan;
d) adanya kebijakan dan kerangka kerja strategi;
e) kurangnya penelitian, dokumentasi, penilaian, dan evaluasi;
f) kurangnya kejelasan mengenai peran dan tanggung jawab;
g) kelemahan keseluruhan basis keterampilan di semua tingkat populasi;
h) penekanan oleh banyak organisasi tentang cara menggunakan komputer
dan persepsi bahwa ini adalah semua yang ada untuk literasi informasi.
LIANZA merekomendasikan upaya mendorong pemerintah dalam
mengembangkan strategi literasi informasi nasional sebagai bagian integral
menjadi suatu kebijakan informasi nasional secara keseluruhan untuk
Selandia Baru. Di sisi lain, ada juga keinginan untuk mendirikan forum
antardepartemen dengan tujuan eksplisit mencapai pemahaman bersama
tentang pentingnya literasi informasi, untuk menekankan aspek inisiatif
dalam literasi informasi saat ini dan kebijakan kerja yang terkait dengan TIK,
untuk mengakui peran perpustakaan sebagai elemen penting dalam
informasi yang diperlukan dan prasarana pembelajaran untuk Selandia Baru.
Pada tahun 1987, tujuh sekolah menengah berpartisipasi dalam program
perpustakaan tentang keterampilan informasi. Program tersebut merupakan
percontohan yang dipublikasikan dalam suatu paket keterampilan informasi
dan perpustakaan. Program tersebut direvisi pada tahun 1991 dan menjadi
dikenal sebagai ― buku hitamǁ, diajukan untuk sekolah menengah. Isi
buku tersebut antara lain membahas skimming dan scanning;keterampilan
mendengarkan, mengambil, dan membuat catatan, organisasi, dan
perencanaan dalam melaksanakan sebuah proyek penelitian; keterampilan
melihat dan menafsirkan informasi grafis; dan keterampilan perpustakaan
merupakan bagian dari sebuah buku; membaca koran, menggunakan kamus,
menggunakan ensiklopedia, membaca untuk tujuan yang berbeda,
109
mempertanyakan kemampuan, menggunakan informasi, serta keterampilan
presentasi. Pelaksanaan dan penggabungan paket keterampilan informasi ke
dalam kurikulum itu tidak wajib dan diserahkan kepada kebijaksanaan dari
sekolah dan guru. Buku yang lainnya adalah ―buku oranyeǁ yang membahas
keterampilan informasi untuk sekolah dasar. Buku ini diterbitkan pada tahun
1991 sebagai bagian dari program instruksi perpustakaan. Isi ―buku oranyeǁ
termasuk bagaimana mengatur waktu menggunakan ensiklopedia,
menggunakan kamus, menggunakan tesaurus,bagaimana melaksanakan
sebuah proyek (perencanaan, menemukan sumber- sumber cetak, mencatat,
dan mengatur informasi) serta bahan referensi lainnya.
Telah banyak kegiatan yang berhubungan dengan literasi informasi
dalam sektor pendidikan tinggi. The Cape Library Cooperative (CALICO)
mendukung proyek INFOLIT yang pada awalnya didanai oleh Readers
Digest. Tujuan INFOLIT adalah mempromosikan literasi informasi terhadap
lima perguruan tinggi di Afrika Selatan. INFOLIT mempromosikan literasi
informasi terutama dalam sektor tersier, tetapi juga antara sekolah dan
masyarakat (Karelse, 2000). The University of Orange Free State juga
menjalankan program literasi informasi (Muir et al, 2001: 177). Afrika Selatan
lebih aktif mengembangkan literasi informasi daripada daerah lain.
British Open University (OU) melakukan pekerjaan besar, yaitu
mengeksplorasi penggunaan teknologi untuk mengajarkan literasi informasi
dalam program pembelajaran jarak jauh dan beberapa model pembelajar
telah berhasil diuji coba. Misalnya, Safari adalah program Perpustakaan OU
untuk menyediakan tutorial keterampilan informasi yang berupa paket
pengajaran interaktif berbasis web untuk siswa, guru, dan staf yang
diluncurkan pada Januari 2001. Safari dapat digunakan dalam berbagai cara,
yaitu paket pelatihan yang mencakup topik menarik. Mosaic adalah kursus
online dua belas minggu yang ditawarkan oleh Perpustakaan Fakultas
Pendidikan yang berhubungan dengan pengajaran bahasa. Pembelajaran
dilaksanakan oleh sebuah tim dengan memberikan dukungan terhadap
pembelajaran melalui telepon, email, dan sistem manajemen pembelajaran
(FIRSTCLASS). Siswa memiliki kesempatan belajar melalui paket pengajaran
dengan cara mengembangkan keterampilan informasi yang akan dievaluasi
atau dinilai melalui kursus atau membuat kajian literatur. The SCONUL
satuan tugas keterampilan informasi (sekarang Komite SCONUL penasihat
literasi informasi) bertindak sebagai penilai dalam kursus tersebut. SCONUL
110
memperkenalkan pengajaran dan pembelajaran online (ITLO) dari OU
Institut Teknologi Pendidikan, yaitu program yang dirancang untuk
mendukung staf OU dalam pengembangan pengajaran dan pembelajaran
online. Situs ini terdiri atas serangkaian kegiatan interaktif secara online yang
bertujuan membantu tim dalam membuat keputusan tentang aspek
pengajaran online. Unit menangani literasi informasi dan sebagai unit yang
memberikan dukungan tentang latar belakang literasi informasi dan aspek-
aspek literasi informasi untuk membantu tim memutuskan aspek apa yang
harus dimasukkan dalam program mereka. Pendekatan OU dapat
digambarkan sebagai integrasi antara inisiatif keterampilan dan dirancang
sebagai pelengkap untuk program studi atau sebagai program yang berdiri
sendiri (Dillon, et al, 2002; OU, 2003; Virkus, 2003).
Hepworth (2000b) juga menegaskan bahwa panduan berbasis web
seperti panduan untuk mencari literatur semakin umum. Stubbings & Brine
(2003) menganalisis 47 paket literasi informasi elektronik di Inggris dan
dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tour virtual (empat), tutorial OPAC
(sembilan), dan tutorial keterampilan informasi (28). Sebanyak 21 tutorial
literasi informasi terdiri atas empat subjek tertentu dengan sisanya bersifat
umum. Isi serta prinsip-prinsip desain instruksional bervariasi. Sebagian
besar tidak selalu mengacu pada pedagogi. Terkadang tutorial juga terlalu
berbasis teks, kurang interaktivitas, dan kurang memberikan pengalaman
belajar yang memadai. Bournemouth University menyelenggarakan tutorial
perpustakaan berbasis web berdasarkan prinsip-prinsip pedagogis dan
informasi-informasi umum yang memungkinkan dilihat oleh orang lain dari
luar universitas. Informasi tersebut sebagai sesuatu yang bisa diadaptasi
untuk mereka gunakan sendiri. Mereka juga menekankan prinsip belajar
mandiri dengan memberikan penguatan melalui tutorial secara terus-
menerus untuk kelompok pemakai tertentu (Virkus, 2003).
Beberapa universitas di Skotlandia juga mengembangkan program
literasi informasi yang ekstensif. Dengan mengacu pada beberapa kegiatan
literasi informasi di beberapa lembaga pendidikan di Irlandia, beberapa
negara menunjukkan bahwa perkembangan literasi informasi menjadi sangat
penting, selama dua dekade terakhir. Chalmers University of Technology ikut
mengembangkan program literasi informasi yang komprehensif.
Fjällbrant dkk menargetkan tujuan literasi informasi seperti yang
dipahami saat ini sudah dilakukan. Subjek yang dijadikan kajian literasi
111
informasi adalah elektronik. Kajian ini dirancang untuk memperkenalkan
mahasiswa pascasarjana dan para peneliti mengenai berbagai jaringan
informasi elektronik. Dalam implementasinya, literasi informasi
memanfaatkan TI untuk memberikan instruksi kepada siswa lebih awal agar
efisien sehingga penerapan TI tersebut memberikan kebebasan terhadap
pustakawan dalam mengembangkan pengajaran keterampilan informasi
elektronik kepada siswa tingkat atas dan pascasarjana. Banyak perpustakaan
universitas lain memberikan kursus literasi informasi. Misalnya, di
Universitas Linköping, pustakawan dan fakultas telah melakukan percobaan
selama lebih dari 10 tahun dengan mengajarkan kepada siswa keterampilan
informasi (Rader, 2002a). Di Institut Karolinska, literasi informasi terkait
dengan pembelajaran berbasis masalah. Di Malmö University, staf yang
bekerja mengintegrasikan literasi informasi ke dalam kurikulum (Virkus,
2003).
Pengajaran literasi informasi sebagai kegiatan yang berkembang pesat di
perpustakaan Denmark. The Danish Electronic Research Library (DEF) sangat
berpengaruh terhadap inisiatif perkembangan literasi informasi dalam
pendidikan tinggi. DEF bersama dengan fakultas bahasa dan perpustakaan
di Århus School of Business (LASB) mengerjakan proyek inovatif TI pada
tahun 2001—200. Dalam proyek tersebut, LASB bertindak sebagai
pembelajaran dan unit pendukung presentasi pengajaran berbasis IT dan
penyebaran informasi serta menjadi penyedia konten paket kursus
elektronik. Sejak tahun 1998, LASB telah bekerja sama dengan fakultas di
Århus School of Business dengan mengintegrasikan fasilitas perpustakaan
elektronik ke lingkungan e-Learning. Akibatnya, beberapa paket program
berbasis web telah dikembangkan, yaitu LASB telah memberikan sumber
daya perpustakaan elektronik, dibebaskannya hak cipta terhadap bahan-
bahan elektronik, serta mengajarkan keterampilan informasi dan
membangun TI dan platform paket kursus elektronik.
Beberapa contoh lain dari praktik literasi informasi yang perlu diketahui
sebagai berikut. Di Perpustakaan Universitas Aalborg dengan kegiatan yang
diberi judul MILE (model informasi pendidikan literasi) , kegiatan ini
bertujuan untuk menciptakan dan menguji model instruksi literasi informasi
pengguna berdasarkan pedagogi inovatif dan ICT. Produk ini terdiri atas
kombinasi tutorial multimedia atau berbasis web serta instruksi yang
terintegrasi dalam proses pengajaran/pembelajaran. Di Royal Veterinary dan
112
Universitas Pertanian, Farmasi Universitas Denmark, University of Southern
Denmark, dan Technical University of Denmark, kursus dalam mencari
informasi adalah bagian dari materi pembelajaran produktif yang kemudian
dikenal dengan program mata kuliah wajib. Contoh sukses inisiatif literasi
informasi juga mencakup SWIM (streaming informasi berbasis web modul).
Proyek ini dikembangkan oleh Perpustakaan Universitas Aalborg yang
menggunakan teknologi server streaming dengan memberikan tutorial
kepada siswa agar mampu membuat sejumlah pilihan tentang strategi
pencarian dan pemecahan masalah dengan cara mengintegrasi literasi
informasi ke dalam kurikulum di Holstebro, Sekolah Occupational Therapy
dan Terapi Fisik (Skov & Skǽrbak, 2003).
Homann memberikan gambaran tentang perkembangan pendidikan
pemakai dan literasi informasi di perpustakaan akademik di Jerman. Dia
menyoroti orientasi terhadap konsep pedagogis baru dan pengaruh model
Anglo-Amerika literasi informasi pada akhir tahun 1990-an. University of
Heidelberg dan University of Hamburg bereksperimen dengan program
literasi informasi dan tutorial online selama beberapa tahun. Pendekatan
pengajaran modular dikembangkan di Perpustakaan Universitas Heidelberg
dan model dynamis literasi informasi (dynamisches modell der
informationskompetenz/DYMIK) berdasarkan model literasi informasi
Anglo-Amerika yang disesuaikan dengan kebutuhan perpustakaan.
Perpustakaan mempertimbangkan integrasi literasi informasi dalam kegiatan
e-learning baru dari universitas dan perluasan program literasi informasi.
Kegiatan ini dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir oleh Departemen
Perpustakaan dan Informasi di Hamburg University of Applied Sciences.
Program modular dan metode pengajaran aktif digunakan di berbagai
perpustakaan universitas di Jerman. Namun, menurut Homann (2001),
sebagian besar pustakawan tidak memenuhi syarat dalam pelaksanaan tugas
mengajar. Oleh karena itu, kursus tentang perencanaan pendidikan pemakai
ditawarkan pada pertemuan regional yang diselenggarakan sebagai ajang
untuk berbagi pengalaman. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Amsterdam
pada tahun 1997 juga memulai modul wajib literasi informasi bagi mahasiswa
tahun pertama. Modul tersebut terdiri atas keterampilan komputer,
keterampilan perpustakaan, menulis, dan presentasi lisan. Modul tersebut
dibuat berdasarkan penelitian yang berpusat pada masalah yang berasal dari
subjek sendiri dan subjek diminta merumuskan jawabannya. Subjek juga
113
harus melakukan presentasi lisan dan membuat laporan tertulis mengenai
prosedur pencarian.
Menurut Feo (1998), banyak inisiatif literasi informasi berlangsung dari
awal 1980-an di beberapa perguruan tinggi di Prancis yang pelaksanaannya
didorong oleh kementerian pendidikan yang bertanggung jawab terhadap
teknis informasi ilmiah. Sebagai contoh, pada tahun 1986 di University of
Paris (Universite Vincennes-Saint-Denis Paris), kursus metodologi informasi
didirikan di beberapa departemen. Coulon (1999) juga mengevaluasi dampak
positif pengajaran mata kuliah literasi informasi di universitas yang sama,
yaitu layanan penggunaan informasi secara bersama di University of Paris
(Université Paris Sorbonne-Paris) dalam pembelajaran keterampilan
informasi untuk sarjana tahun ketiga dan mahasiswa pascasarjana.
Tujuannya adalah mendidik mahasiswa melakukan penelitian dan
eksploitasi informasi sehingga memperoleh keuntungan dari program
tersebut untuk penyusunan skripsi atau memperoleh derajat kesarjanaan
yang lebih tinggi (Fayet, 1999). Nieuwenhuysen (2000) juga melaporkan
inisiatif literasi informasi di universitas-universitas Belgia. Dia menjelaskan
program studi yang ditawarkan di Vrije Universiteit Brussel (VUB) dan
Universitaire Instelling Antwerpen (UIA) yang merupakan bagian dari
University of Antwerp (UA). Lalu, tingkat program yang dijalankan di
universitas pada studi tahun ketiga dan tingkat master. Pendekatan
kolaborasi dalam menawarkan program literasi informasi online ditekankan
untuk memenuhi kebutuhannya (Virkus, 2003).
Sada (1999) menjelaskan kegiatan literasi informasi dari perpustakaan
Universitas Katolik Milan, Italia. Sada mencatat bahwa mahasiswa Italia tidak
benar-benar tahu apa perpustakaan atau apa yang bisa mereka lakukan. Hal
ini juga menarik untuk dicatat bahwa ia menggunakan istilah metakompetensi
yang dijelaskan sebelumnya dan mengacu pada kompetensi yang terkait
informasi (Virkus, 2003). Perlu dicatat bahwa di bekas negara-negara blok
timur, ada beberapa program pembelajaran siswa mengenai aspek literasi
informasi. Borovansky dari Arizona State University bekerja di Universitas
Teknik Ceko di Praha pada tahun 2000 dan membantu pendidikan insinyur
dalam menggunakan sumber informasi. Ia menyampaikan bahwa upaya
serius yang dijalankan oleh beberapa pustakawan profesional mempunyai
dedikasi meningkatkan pendidikan insinyur dan untuk meningkatkan
literasi informasi mereka. Di Institut Teknologi Kimia Praha pada tingkat
114
pertama, sebagian besar fakultas (perguruan tinggi) menawarkan kursus
pengantar literasi informasi bagi siswa. Pada tingkat lanjutan kedua,
perpustakaan menawarkan kursus literasi informasi khusus. Di Technical
University Brno, administrasi universitas menyetujui pengenalan wajib
selama empat jam saja mengenai literasi informasi bagi semua mahasiswa
tahun pertama. Dua jam yang dikhususkan untuk pengantar komputasi,
sedangkan dua jam lainnya dihabiskan berurusan dengan penggunaan
komputer di perpustakaan/aplikasi informasi. Staf pusat komputer
mengajarkan bagian pertama, sedangkan pustakawan di perpustakaan pusat
bagian kedua. Proporsi antara teori dan yang praktik adalah 2:1 (Borovansky,
2000). Pejova dari Slovenia dalam makalahnya yang disajikan dalam Expert
Meeting UNESCO menjelaskan bahwa pendidikan literasi informasi di Estonia
dikelola dengan baik.
115
kegiatan serupa. Asosiasi Pekerja Informasi Perpustakaan Sekolah (APISI)
yang didirikan pada tahun 2006 aktif dalam membina pustakawan sekolah
sebagai anggota asosiasi dan menjadikan pustakawan perpustakaan sekolah
memahami konsep literasi informasi. Di samping itu, APISI mulai melakukan
implementasi membangun kompetensi literasi informasi pada tingkat sekolah
menengah.
Departemen Pendidikan Nasional telah menyusun standar kompetensi
tenaga perpustakaan sekolah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan
pada tahun 2007 dengan menetapkan literasi informasi sebagai salah satu
kompetensi yang harus dimiliki oleh tenaga perpustakaan sekolah. Pada
November 2006, tidak mau ketinggalan Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI)
sebagai organisasi para pustakawan di Indonesia telah menunjukkan
ketertarikannya terhadap literasi informasi dengan menjadikan literasi
informasi sebagai tema kongresnya yang ke-10 di Denpasar, Bali.
Pada tingkat pendidikan tinggi, beberapa universitas secara rutin telah
menyelenggarakan pendidikan literasi yang dilaksanakan terhadap
mahasiswa baru permulaan masa kuliah. Kegiatan ini dilakukan, baik oleh
universitas negeri maupun swasta, yang telah menyadari peran strategis
literasi informasi bagi mahasiswa dalam masa studinya dan juga
meningkatkan jaminan mutu pendidikannya. Hasil dari program pendidikan
literasi informasi belum dapat dilihat keberhasilannya karena masih
dilakukan sebatas upaya mengenal konsep literasi informasi kepada peserta
didik.
Tindakan ini merupakan rekomendasi mengenai pentingnya pendidikan
pemakai bagi pemakai perpustakaan. Pustakawan pun mulai memperhatikan
hubungan antara pendidikan pengguna, literasi informasi, dan pembelajaran
seumur hidup. Pemikiran lebih lanjut adalah pustakawan harus mengajarkan
pemakai tentang cara mengelola informasi. Untuk mencapai hasil optimal,
sebaiknya materi tersebut terintegrasi dengan kurikulum di sekolah atau di
pendidikan tinggi.
Pustakawan juga mulai yakin terhadap peran perpustakaan dalam
membantu pencapaian kemajuan pendidikan. Untuk dapat mendukung
kemajuan pendidikan, secara tegas perpustakaan harus menempatkan literasi
informasi sebagai kombinasi antara perpustakaan dan isu pendidikan. Untuk
meningkatkan kualitas pendidikan, mahasiswa harus dibantu agar menjadi
pembelajar seumur hidup. Syarat yang harus dipenuhi adalah mahasiswa
116
harus menjadi konsumen informasi secara efektif dan mampu mendapatkan
informasi secara tepat untuk segala kebutuhan dalam kehidupan pribadi
ataupun profesi mereka. Untuk itu, mahasiswa harus paham terhadap literasi
informasi. Harus diakui bahwa belum banyak perpustakaan di Indonesia
yang mengembangkan program pendidikan pemakai ke arah pencapaian
literasi informasi. Namun, kepedulian pustakawan terhadap literasi
informasi cukup tinggi. Hal ini terbukti dari beberapa kegiatan yang dilakukan
oleh perpustakaan tertentu yang membahas literasi informasi. Beberapa
literatur, bahkan lembaga lain juga sangat menaruh perhatian pada
peningkatan literasi informasi masyarakat.
Sementara itu, penelitian mengenai literasi informasi tidak banyak yang
terpublikasikan sehingga kesulitan untuk mengukur atau memperkirakan
tingkat literasi masyarakat Indonesia. Kalau ditinjau secara awam, kondisi
masyarakat di Indonesia belum memiliki perhatian yang tinggi terhadap
literasi infomasi. Bahkan, pemerintah juga belum mulai berupaya untuk
meningkatkan tingkat literasi masyarakat Indonesia. Kalaupun sudah ada
upaya peningkatan, masih dilakukan oleh sebagian kecil lembaga
pendidikan, baik negeri maupun swasta dan sebagian masyarakat umum.
Keadaan itu tentu disebabkan oleh banyak faktor yang menjadi penyebabnya,
antara lain faktor ekonomi dan kesempatan. Masih banyak masyarakat yang
menyatakan bahwa buku dan akses informasi masih menjadi barang mahal.
Di samping itu, faktor kepedulian masyarakat terhadap literasi informasi
sendiri kurang. Hal lain yang tidak kalah penting adalah pola pembelajaran
di lembaga pendidikan yang masih berpusat pada guru, belum berpusat pada
informasi.
Untuk konteks masyarakat Indonesia, perpustakaan perlu mempunyai
pemahaman bahwa tiap kelompok masyarakat memiliki budaya dan
kebiasaan yang berbeda. Hal ini sangat penting untuk mengetahui bagaimana
masyarakat mencari, menggunakan informasi, dan bagaimana mereka
memaknai informasi. Selain itu, perpustakaan belum begitu populer di
masyarakat Indonesia. Orang ke perpustakaan tidak sama dengan kebutuhan
orang akan informasi. Artinya, dalam mencari informasi, perpustakaan
bukanlah satu-satunya tempat yang dituju masyarakat. Mungkin
perpustakaan menjadi pilihan terakhir jika sebuah informasi tidak berhasil
ditemukan di tempat lain.
Kekurangtertarikan masyarakat terhadap budaya baca dan literasi
117
informasi disebabkan hal berikut.
a) Karakter pengguna perpustakaan memiliki ciri yang khas dan beragam,
yaitu lebih suka berbicara daripada menulis.
b) Kesempatan terhadap akses informasi tidak dimiliki oleh setiap kelompok
masyarakat. Masing-masing kelompok mempunyai keterbatasan akses
yang berbeda. Perkembangan teknologi informasi yang tidak merata di
setiap daerah membuat kesenjangan ini semakin lebar. Masyarakat yang
memiliki akses terhadap internet cenderung lebih memercayai informasi
yang ada di internet, tanpa berupaya mengevaluasi atau mencari sumber
lain.
c) Kurikulum belum mendukung literasi informasi. Proses pembelajaran yang
telah dijalankan belum ‗memaksa‘ peserta didik untuk berpikir kritis.
Guru masih menjadi acuan utama.
Kembali ke masalah pendidikan pemakai di perpustakaan, pengelola
perpustakaan dituntut lebih ‗berani‘ melakukan terobosan baru untuk
membantu masyarakat meningkatkan literasinya. Integrasi dengan
kurikulum bukanlah persoalan mudah karena menyangkut berbagai pihak.
Namun, bukan alasan pula untuk mengabaikannya. Sinergi antara berbagai
jenis perpustakaan yang ada merupakan satu solusi efektif, mengingat
pengguna perpustakaan juga memiliki perilaku berbeda.
Malley (1984) membagi user education ke dalam dua hal, yaitu library
orientation dan library instruction. Orientasi perpustakaan bertujuan
mengenalkan pemustaka tentang keberadaan perpustakaan dan layanan apa
saja yang tersedia di perpustakaan yang juga memungkinkan pemustaka
mempelajari secara umum bagaimana menggunakan perpustakaan, jam
buka, letak koleksi tertentu, dan cara meminjam koleksi perpustakaan.
Tujuan dari kegiatan ini adalah mengetahui fasilitas yang tersedia di
perpustakaan; mengetahui kewajiban yang harus dipenuhi; mengetahui tata
letak gedung, ruang koleksi, dan layanan yang tersedia; mengerti tata cara
menggunakan katalog, komputer, dan media teknologi lain; mampu
memanfaatkan perpustakaan secara maksimal dengan efektif dan efisien;
mampu menemukan koleksi yang dibutuhkan dengan cepat dan tepat; dapat
menggunakan sumber-sumber penelusuran referensi, baik secara tradisional
maupun media elektronik yang ada; serta termotivasi senang belajar di
perpustakaan. Pendidikan pemustaka bertujuan agar para pemakai dapat
memperoleh informasi yang diperlukan dengan tujuan tertentu serta dengan
118
menggunakan semua sumber daya dan bahan yang tersedia di perpustakaan.
Instruksi perpustakaan berkaitan dengan temu kembali informasi. Tujuan
library instruction, menurut Ratnaningsih (1994), adalah memberikan
bimbingan bagi pemakai dengan tingkatan tertentu dan dengan tujuan
berikut.
a) Mampu memanfaatkan perpustakaan secara efektif dan efisien.
b) Mempunyai rasa percaya diri yang tinggi dalam penemuan informasi
yang mereka butuhkan.
c) Mampu menelusuri informasi melalui sarana-sarana informasi yang ada.
d) Memahami penelusuran bibliografi, baik secara manual (katalog)
maupun dengan media teknologi (komputer, CD ROM, dan lain-lain).
Implementasi literasi informasi di Indonesia memang masih sangat jauh
dari harapan, tetapi paling tidak telah terjadi kesepakatan antara
perpustakaan, pustakawan, dan lembaga pendidikan yang menyatakan
bahwa perpustakaan sebagai pusat sumber informasi. Oleh karena itu,
perpustakaan dapat bertindak menjadi perantara terjadinya proses belajar.
Proses belajar mengajar tersebut terjadi karena adanya transfer informasi
ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki perpustakaan dengan bebas
dan dapat dimanfaatkan oleh pemustakanya. Namun, pada kenyataannya,
masih banyak pemustaka yang tidak dapat memanfaatkan perpustakaan.
Mereka rata-rata belum memiliki pengetahuan tentang bagaimana
menggunakan perpustakaan dan bagaimana menggali informasi yang ada di
perpustakaan.
Untuk membekali pemustaka dengan pengetahuan yang menggunakan
perpustakaan dan memanfaatkan informasi, para pustakawan sepakat untuk
menerapkan pendidikan pemakai sebagai ajang untuk membekali pemakai
dengan cara-cara menggunakan perpustakaan dan memanfaatkan informasi.
Program pendidikan pemakai perpustakaan (user education) bagi pemustaka
disebut sebagai salah satu dari keterampilan literasi informasi yang harus
dimiliki oleh pemustaka. Berikut ini berbagai alasan dikemukakan bahwa
pendidikan pemakai tersebut dilaksanakan oleh perpustakaan.
a) Kemampuan mahasiswa dalam memanfaatkan perpustakaan
merupakan dasar yang amat penting dalam mencapai keberhasilan
pendidikan.
b) Perpustakaan diharapkan mampu mendidik mahasiswa untuk menjadi
pemustaka yang tertib dan bertanggung jawab.
119
c) Perpustakaan senantiasa mengupayakan segala kekayaan dalam bentuk
koleksi, baik tercetak maupun terekam.
Literacy informasi sebagai keterampilan yang mencakup kemampuan
untuk menyadari kapan informasi dibutuhkan, mengidentifikasi informasi
yang dibutuhkan beserta sumber-sumbernya, menempatkan dan mengakses
informasi secara efektif dan efisien, mengevaluasi informasi secara kritis,
menata dan menggabungkan informasi ke dalam pengetahuan,
menggunakan informasi secara legal dan etis, serta mengomunikasikan
informasi tersebut. Wijaya dalam Hak (2008) menyatakan bahwa terdapat lima
aspek terkait yang merupakan integrasi dan aplikasi kemampuan kognitif
dan teknis sebagai berikut.
a) Akses adalah mengetahui bagaimana mengumpulkan dan mendapatkan
informasi.
b) Mengelola, yaitu menerapkan skema klasifikasi atau organisasi.
c) Mengintegrasikan, yaitu menginterpretasikan dan menggambarkan
ulang informasi, termasuk membuat ringkasan, membandingkan, dan
menggarisbawahi.
d) Mengevaluasi, yaitu memutuskan kualitas, keterkaitan, kegunaan, atau
efisiensi informasi.
e) Menciptakan, yaitu menciptakan informasi baru dengan cara
mengadopsi, menerapkan, mendesain, membuat, atau menulis
informasi.
Jika aspek-aspek tersebut terintegrasi dalam kemampuan yang
sifatnya kognitif (teori), aspek tersebut akan menjadi kemampuan yang
dibutuhkan setiap saat. Kemampuan tersebut dapat berupa kemampuan
memecahkan masalah, numerik, dan visualisasi. Sementara itu, kemampuan
teknis diartikan sebagai kemampuan memahami perangkat keras, perangkat
lunak, jaringan, dan elemen teknologi digital. Atas dasar dua pengertian
tersebut, diketahui bahwa literasi informasi sangat dibutuhkan dalam era
informasi, baik untuk menyelesaikan permasalahan sekolah, bekerja, maupun
sosial (kehidupan bermasyarakat). Untuk itu, peran pustakawan sangat
diperlukan dalam melaksanakan program literasi informasi untuk
menunjang proses belajar mengajar. Kegiatan literasi informasi juga
merupakan bagian dari instruksi perpustakaan yang bertujuan agar para
pemakai dapat memperoleh informasi yang diperlukan dengan
menggunakan semua sumber daya dan bahan yang tersedia di perpustakaan.
120
Metode penyampaian yang cocok untuk program tingkat ini adalah
dibagikan makalah, ceramah, praktik penelusuran, dan soal- soal latihan,
misalnya dengan membuat panduan pustaka (path finder).
Adapun cara dan waktu pelaksanaan pendidikan pengguna berbeda-
beda antara lain.
a) Ada yang memasukkan program pada saat orientasi studi dan
pengenalan kampus (ospek).
b) pula yang memasukkannya dalam mata kuliah tertentu. Pendidikan
pengguna dimasukkan dalam mata kuliah kapita selekta dengan 2 sks
dan bersifat wajib.
c) Ada yang mewajibkan mahasiswa baru mengikuti program sebagai
syarat mendapatkan kartu anggota perpustakaan, tetapi ada yang tidak
mewajibkan mahasiswa baru dan hanya melayani mereka yang
berminat.
Pada hakikatnya, pustakawan memahami bahwa literasi informasi
berkaitan dengan keterampilan pemustaka yang mencakup kemampuan
untuk menyadari kapan informasi dibutuhkan, mengidentifikasi informasi
yang dibutuhkan beserta sumber-sumbernya, menempatkan dan mengakses
informasi secara efektif dan efisien, mengevaluasi informasi secara kritis,
menata dan menggabungkan informasi ke dalam pengetahuan,
menggunakan informasi secara legal dan etis, serta mengomunikasikan
informasi tersebut.
a) Ada beberapa hal mengapa program pendidikan literasi informasi perlu
dilakukan di perpustakaan perguruan tinggi seperti berikut. (a)
Kemampuan mahasiswa dalam memanfaatkan perpustakaan merupakan
dasar yang amat penting dalam mencapai keberhasilan pendidikan. (b)
Selain itu, perpustakaan diharapkan mampu berfungsi dalam mendidik
mahasiswa untuk menjadi pemustaka yang tertib dan bertanggung
jawab. (c) Perpustakaan senantiasa mengupayakan agar segala kekayaan
dalam bentuk koleksi, baik tercetak maupun terekam dengan segala
fasilitas dan pelayanannya, dapat digunakan secara maksimal oleh
pemustaka.
b) Ada beberapa cara dalam melaksanakan literasi informasi di
perpustakaan perguruan tinggi, yaitu bisa melalui orientasi studi dan
pengenalan kampus (ospek), dimasukkan dalam mata kuliah tertentu,
serta ada juga yang mewajibkan mahasiswa baru mengikuti program
121
literasi informasi yang dimasukkan dalam pendidikan pemakai
perpustakaan sebagai syarat mendapatkan kartu anggota perpustakaan.
Penjelasan tersebut memang belum dapat menunjukkan implementasi
literasi di Indonesia. Akan tetapi, paling tidak telah terjadi kesepakatan secara
informal bahwa program pendidikan pemakai sangat penting untuk
menyosialisasikan perpustakaan dan pemanfaatan perpustakaan. Materi
program pendidikan pemakai memang beragam untuk tiap-tiap
perpustakaan, tetapi paling tidak terdapat materi penelusuran informasi, baik
melalui OPAC maupun jaringan global. Materi program pendidikan pemakai
tersebut secara tidak sadar telah mengarah pada penerapan literasi informasi
walaupun materi tersebut merupakan bagian kecil dari literasi informasi.
TES FORMATIF 2
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
1. Masyarakat diharapkan tidak buta lagi terhadap informasi dan dapat mengetahui apa
yang mereka perlukan, tahu ke mana, dan bagaimana harus mencari, menimbang,
menggunakan, dan menyebarkannya dengan benar. Kondisi masyarakat semacam ini
dalam istilah bahasa Inggris disebut sebagai….
A. information literate
B. literasi kebudayaan
C. literasi tradisional
D. literasi teknologi
2. Kata orientasi perpustakaan dan instruksi perpustakaan yang umum digunakan
dalam kepustakawanan Anglo-Amerika untuk mengenalkan aktivitas perpustakaan
yang berupa....
A. Pendidikan pemakai perpustakaan
B. Pendidikan keterampilan informasi
C. pendidikan penelusuran informasi
D. pendidikan literasi informasi dan literasi teknologi informasi
122
1. D (UNESCO)
2. B (information mediacy)
TES FORMATIF 2
1. A (information literate)
2. A (Pendidikan pemakai perpustakaan)
DAFTAR PUSTAKA
123
Borovansky, V. T. (2000). ―Education for Information Literacy in Czech Technical
Universities.ǁ 2000 IATUL Conference Queensland University of Technology, Brisbane,
Queensland, Australia 3rd - 7th July. Retrieved
10 February 2003 from http://educate.lib.chalmers.se/IATUL/
proceedcontents/qutpap/borovan_full.html.
Breivik, P.S. (1991). ―Literacy in an Information Society,‖ diakses pada 28 Februari 2012.
[www.libraryinstruction.com/informationliteracy2.htm].
Bruce, Christine. (2003). ―Seven Faces of Information Literacy: Towards Inviting Students
into New Experiences.‖ 15 Oktober 2008.
http://crm.hct.ac.ae/events/archive/2003/speakers/bruce.pdf.
Bruce, C. S. (1994). ―Portrait of an Information Literate Person.ǁ HERDSA News, 16(3), Nov,
9—11.
Bruce, C. S. (1997a). ―The Relational Approach: A New Model for Information Literacy.‖ The
New Review of Information and Library Research, 3, 1—22.
Bruce, C. S. (1997b). The Seven faces of Information Literacy. Adelaide: Auslib Press.
Bruce, C. S. (2000). ―Information Literacy Research: Dimensions of the Emerging
Collective Consciousness.‖ Australian Academic & Research Libraries 31,2 (June): 91—109.
2003): 1—8.
Cheuk, B. W. (1998). ―An Information Seeking and Using Process Model in the Workplace: A
124
Constructivist Approach.ǁ Asian Libraries, 7, 12: 375—390.
Cheuk, B. W. (2000). ―Exploring Information Literacy in the Workplace: A Process
Approach,‖ In: Information literacy around the world: advances in programs and research,
edited by C.S. Bruce and P.C. Candy. Wagga Wagga, NSW: Charles Sturt University.
125
Homann, B. (2001). ―Difficulties and new approaches in user education in Germany.ǁ In:
Proceedings of the 67th IFLA Council and General Conference, August 16—25, 2001.
The Hague: International Federation of Library Associations. Retrieved 10 February
2003 from http://www.ifla.org/IV/ifla67/papers/072-126e.pdf.
Hopkins, D., ed. (1987). Knowledge, Information Skills and the Curriculum. London: British
Library Research and Development Department. (Library and information research
report 46).
Inoue, H., Naiti, E. & Koshizuka, M. (1997). ―Mediacy: What It is? Where to Go?ǁ In: First
International Congress on Ethical, Legal, and Societal Aspects of Digital Information,
Congress Center of Monte Carlo, Principality. of Monaco, 10-12 March 1997:
Proceedings. Paris: UNESCO. Retrieved 10 March 2002 from
http://mirror.eschina.bnu.edu.cn
/Mirror2/unesco/www.unesco.org/webworld/infoethics/ speech/inoue.htm.
Johnson, B dan Webber S. (2006). ―As We May Think: Information Literacy as A Discipline for
the Information Age,ǁ Research Strategies, 20 (3) 108— 121, 2006.
Karelse, C. (2000). ―INFOLIT: A South African Experience of Promoting Quality
Education,‖ In: Information literacy around the world: advances in programs and research,
edited by C. S. Bruce and P. C. Candy. Wagga Wagga, NSW: Charles Sturt University.
Keen, K. (1992). Competence: What is It and how Can it be Developed?ǁ In: J. Lowyck, P. de
Potter, & J. Elen (Eds.). Instructional Design: implementation issues, 111-122. Brussels:
IBM International Education Center.
Koper, R. (2000). From Change to Renewal: Educational Technology Foundations of Electronic
Learning Environments. Heerlen: Open University of the Netherlands, Educational
Technology Expertise Center.
Kuhlthau, C. C. (1987). Information Skills for an Information Society: A Review of Research.
Syracuse, NY: ERIC Clearinghouse on Information Resources. ED 297740.
Kuhlthau, C. (1993). Seeking Meaning: A Process Approach to Library and Information Services.
Greenwich CT, Ablex.
Langford, L. (1998). ―Information Literacy: A Clarification.‖ School Libraries Worldwide, 4, 1,
59—72.
Leckie, G.J., Pettigrew, K.E., Sylvain, C. (1996). ―Modeling the Information Seeking of
Professionals: A General Model Derived from Research on Engineers, Health Care
Professionals, and Lawyers.ǁ Library Quarterly, 66, 2, 161—93.
Lenox, M.F. & Walker, M.L. (1993). ―Information Literacy in the Educational Process.ǁ The
Educational Forum 57,3: 12—324.
Library and Information Association of New Zealand Aotearoa (2001).
―Towards A National Information Strategy: LIANZA/TRW Recommendations for A
National Information Strategy.‖ Wellington: LIANZA. Retrieved 16 January
126
2007
fromhttp://www.lianza.org.nz/text_files/nis_7nov02.pdf.
METRO (2003). ―Aarhus: Aarhus School of Business.‖ Retrieved 10 January 2013 from
http://metro.asb.dk/Webnize/metro/English/start/.
OECD and Statistics Canada. (2000). Literacy in the Information Age: Final Report of the
International Adult Literacy Survey. Paris: OECD and Statistics Canada.
Open University.Library (2003). Glossary of Information Terms. Milton Keynes: Open
University. Retrieved 10 Februay 2003 from
http://library.open.ac.uk/help/helpsheets/intglossary.html.
Oxford Dictionary. http://oxforddictionaries.com/definition/english/literacy. (23 Maret 2013).
Pendit, Putu Laxman. (2008). Perpustakaan Digital dari A sampai Z. Jakarta: Cita Karyakarsa
Mandiri.
127
Edukacyjna Wydawnictwa eMPI2s.c. Available:
http:/./www.idp.mdh.se/informationsdesign/forskning/rapport/Poznan- 2000_Literacies.pdf.
Rader, H. (1991). ―Bibliographic Instruction or Information Literacy.‖ College and Research
Libraries News, 51(1): 18—20.
Rader, H. (1990). ―Information Literacy: A Revolution in the Library.ǁ RQ 31 (Fall 1991): 25—
29.
Rader, H., & Coons, W. (1992). ―Information Literacy: One Response to the New Decade.ǁ In
B. Baker & M. E. Litzinger (Eds.), The Evolving Educational Mission of the Library. Chicago:
American Library Association.
Rader, H. B. (2002a). Information Literacy: An Emerging Global Priority. (White paper
prepared for UNESCO, the U.S. National Commission on Libraries and Information
Science, and the National Forum on Information Literacy, for use at the Information
Literacy Meeting of Experts, Prague, The Czech Republic.) Retrieved 10 January 2013
from http://www.nclis.gov/libinter/infolitconf&meet/papers/rader-fullpaper.pdf.
Reitz, Joan M. (2004). Dictionary for Library and Information Science.
Savolainen, R. (2002). ―Network Competence and Information Seeking on the Internet: from
Definitions Towards A Social Cognitive Model.ǁ Journal of Documentation, 58 (2), 211—
226.
Seaman, N. H. (2001). ―Information Literacy: A Study of Freshman Students.ǁ Perceptions,
with Recommendations: Dissertation Submitted to the Faculty of Virginia Polytechnic
Institute and State University in partial fulfillment of the requirements for the degree of
Doctor of Philosophy in Curriculum and Instruction (Instructional Technology).
Blacksburg, Virginia.
Shapiro, Jeremy J dan Sherley K Husghes. (1996). ―International Literacy as a Liberal Art,ǁ
Education Review, (312): (mar/Apr 1996).
Shapiro, J. J. & Hughes, S. K. (1996). ―Information Literacy as A Liberal Art: Enlightenment
Proposals for A New Curriculum.ǁ EDUCOM Review, 31(2), March/April: 31—35
Available: http://www.educause.edu.
Skov, A. & Skǽrbak, H. (2003). ―Fighting an Uphill Battle: Teaching Information
Literacy in Danish Institutions of Higher Education.ǁ Library Review, 52 (7), 326—333.
Snavely , L. & Cooper, N. (1997). ―The Information Literacy Debate.‖ Journal of Academic
Librarianship, 23(1): 9—20.
Spitzer, K. et al. (1998). ―Information Literacy: Essential Skills for the Information Age.ǁ
ERIC Clearinghouse on Information and Technology. New York: Syracuse.
128
Stubbings & Brine. (2003). ―Reviewing Electronic Information Literacy Training
Packages.‖ Innovations in Teaching and Learning in Information and Komputer Sciences
(ITALICS), 2 (1). Retrieved 13 July from
http://www.ics.ltsn.ac.uk/pub/italics/issue1/stubbings/010.html.
129
2. PROMOSI PERPUSTAKAAN
a. Pemasaran
1) Pendahuluan
Semua organisasi, baik organisasi massa, sosial, partai politik,
perusahaan, yayasan, atau organisasi apa pun pasti memerlukan pemasaran.
Organisasi sosial ingin sekali masyarakat luas mengetahui dan memahami
organisasi tersebut sehingga mereka mau menyumbangkan sebagian
hartanya untuk kegiatan sehari-hari. Setiap organisasi media massa perlu
untuk menyosialisasian kegiatannya agar diketahui oleh orang banyak
sehingga organissi mereka dapat berjalan dengan baik , dan orang-orang
yang mengenalnya mau masuk sebagai anggotanya.
Singkat kata, organisasi- organisasi di atas perlu dirinya dikenal oleh
banyak orang. Untuk itu, sebenarnya mereka memerlukan upaya pemasaran
pada pihak lain.
Barangkali sebagian orang memahami bahwa organisasi yang tidak
bergerak dalam penjualan tidak memerlukan pemasaran sebab mereka masih
beranggapan bahwa pemasaran adalah penjualan. Perpustakaan merupakan
organisasi yang bergerak dalam bidang jasa yang tidak berorientasi pada
keuntungan finansial sehingga mereka beranggapan perpustakaan tidak
memerlukan pemasaran. Anggapan ini tidak benar. Perpustakaan harus
mengenalkan layananannya kepada masyarakat pemakainya. Perpustakaan
perlu mengomunikasikan pada masyarakat bahwa perpustakaan sangat
mendukung upaya pembelajaran seumur hidup (long life learning). Artinya,
siapa pun harus belajar sepanjang hidupnya, baik mereka golongan kaya,
miskin, sarjana, atau siapa saja.
Mengingat teori pemasaran berawal dari kegiatan bisnis, maka teori
pemasaran perpustakaan yang ada dalam buku ini akan mengadopsi banyak
teori bisnis tersebut. Buku ini mencoba menerapkan teori pemasaran bidang
bisnis lalu diterapkan di perpustakaan yang kegiatan di dalamnya adalah
kegiatan yang berorientasi nirlaba yang ditujukan untuk pemakainya.
130
Istilah pemasaran sudah sangat melekat di telinga kita. Hampir setiap
saat kita mendengar istilah tersebut. Istilah pemasaran berasal dari kata
pasar. Karena istilah tersebut berasal dari kata dasar pasar, maka ketika kita
mendengar pemasaran kita selalu ingat dengan pasar, baik pasar tradisional
ataupun modern.
Tidak salah kalau istilah pemasaran diidentikkan dengan pasar. Kamus
Besar Bahasa Indonesia versi online mendefinisikan pasar sebagai tempat
orang berjual beli. Ketika mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” kata pasar
menjadi istilah pemasaran yang oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia
didefinisikan sebagai proses, cara, perbuatan memasarkan suatu barang
dagangan.
Bila dilihat lebih jauh, dalam pemasaran terjadi suatu pertukaran dan
jual beli merupakan bagian kecil dari pemasaran. Pertukaran dapat dilihat
dalam gambar berikut
131
Para ahli mendefinisikan pemasaran dengan bermacam-macam definisi.
Definisi ini tergantung cara pandang mereka terhadap pemasaran itu sendiri.
Ada yang menitik beratkan pada segi fungsi, segi barang, segi
kelembagaannya ataupun menitikberatkan pada sisi sistemnya. . Dalam
pandangan Philip Kotler, sebenarnya pertukaran merupakan titik pusat
kegiatan pemasaran manakala seseorang menawarkan sejumlah nilai kepada
orang lain. Dengan adanya pertukaran maka kebutuhan kelompok sosial
tertentu dapat dipenuhi kebutuhannya (Basu, 2009).
Ada juga yang mengidentikkan pemasaran dengan menjual karena
dalam kegiatan jual-menjual terjadi suatu pertukaran. Selanjutnya, Kotler
dalam Basu (2009, 5) mendefinisikan pemasaran sebagai “kegiatan manusia
yang diarahkan pada usaha untuk memuaskan keinginan dan kebutuhan
melalui proses pertukaran”.
Kemudian Stanton memberi penjelasan pemasaran dalam bentuk
gambar, yaitu:
Tabel 1.1
Definisi pemasaran
Pemasaran adalah
Sebuah sistem dari kegiatan bisnis
Dirancang untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan,
dan mendistribusikan.
Sesuatu yang bernilai Barang-barang dan jasa yang dapat memuaskan keinginan
132
2) Sejarah Konsep Pemasaran
Konsep pemasaran muncul pada awal tahun 1900an. Pada saat itu,
konsep pemasaran dipahami dengan sederhana. Pemasaran pada saat itu
dimaknai sebagai kegiatan yang mengarahkan aliran barang dan jasa dari
produsen ke konsumen. Pada tahap ini sering disebut sebagai periode
penemuan. Tahun 1910-1920 ditengarai sebagai periode konseptualisasi.
Tahun 1920-1930 disebut sebagai periode integrasi. Tahun 1930-1940 disebut
sebagai periode pengembangan. Pada tahun 1940-1950 merupakan periode
pengujian kembali dan pada tahun 1950-1960 merupakan periode
rekonseptualitas (Sheth & Gardner dalam Nugroho (2003, 4).
Pada tahun 1920an pemasaran juga sudah dijadikan sebagai kajian
formal (Parkinson & Viera, 1993). Konsep pemasaran berubah pada tahun
1960an. Kalau pada tahun 1900an pemasaran dititikberatkan pada kegiatan
usaha, sementara tahun 1960an pemasaran bergeser pada manajemen
pemasaran. Pada tahun 1970an juga mengalami perubahan karena konsep
pemasaran mengalami perluasan, yaitu meliputi kegiatan dari organisasi
nirlaba maupun yang berorientasi pada laba. Pada tahun tersebut pemasaran
dipahami sebagai pertukaran sebagaimana dikemukakan Kotler di muka.
Pemasaran Penjualan
Tujuan Melayani keinginan Melayani keinginan perusahaan,
konsumen untuk terutama untuk meningkatkan
mendapatkan laba pendapatan
perusahaan
Falsafah Mengidentifikasi keinginan Membuat produk, lalu meyakinkan
konsumen atau pelanggan, konsumen untuk membelinya
lalu tahu bagaimana caranya
memuaskan mereka dan
berusaha untuk
memenuhinya
133
Staf yang Seluruh staf yang ada di Tenaga penjualan
terlibat lembaga yang
bersangkutan
Orientasi Laba usaha Volume penjualan
Perencanaan berorientasi pada jangka Berorientasi pada hasil jangka
panjang berdasar pada pendek berdasar pada produk dan
produk baru, pasar hari pasar.
besuk, dan pertumbuhan
yang akan datang.
Dalam kegiatan sehari-hari, kita cenderung menyamakan antara
pemasaran dan penjualan. Sekilas dua istilah tersebut sama, padahal
sebenarnya berbeda. Perbedaan dua istilah tersebut dapat dilihat dalam
gambar:
134
produk tersebut dibutuhkan oleh masyarakat dan laku di pasaran seperti
yang diinginkan oleh perusahaan.
Orientasi pemasaran muncul sebagai akibat dari kurang maksimalnya
orientasi terdahulu, yaitu produksi dan penjualan. Orientasi pemasaran
memiliki tujuan ganda, yaitu orientasi pada konsumen/pelanggan dan
volume penjualan yang menguntungkan.
Tahap tanggung jawab sosial dan orientasi manusia merupakan periode
manakala tumbuh kesadaran bahwa dalam manajemen pemasaran harus
memerhatikan sumber daya manusia. Ada perubahan orientasi manakala
sekarang kebanyakan orang sudah lebih banyak mengonsumsi jasa daripada
konsumsi barang.
b) Barang
Sebagian besar yang dipasarkan oleh dunia bisnis adalah barang-barang
fisik. Hampir semua negara memasarkan produk berupa barang,
Indonesia misalnya. Dalam setiap tahun memasarkan mebel air, kain,
rotan, dan masih banyak lagi. Demikian juga banyak negara maju juga
memasarkan produk barang, seperti mobil, hardware komputer, kulkas,
televisi, dan masih banyak lagi.
c) Acara
135
Pemasar/marketer mempromosikan produk acara dengan pameran
perdagangan, pertunjukan seni, perhelatan olah raga dunia, seperti
olimpiade, piala dunia sepak bola. Produk-produk tersebut dapat
ditawarkan pada orang perseorangan maupun pada lembaga tertentu.
d) Pengalaman
Biasanya sebuah perusahaan dapat memadukan antara barang dan jasa
untuk memasarkan dan menjual pengalaman. Misalnya saja perusahaan
tertentu memberi izin bagi pengunjung untuk memberi kesempatan
menjadi konduktor, atau menghabiskan waktu akhir pekan bersama
legenda olah raga. Mungkin saja pengunjung merasakan sensasi menjadi
konduktor atau berbagi informasi mengobrol dengan mantan
olahragawan terkenal.
e) Orang
Dewasa ini, sangat mungkin seseorang atau organisasi mengundang
sebuah tim sepak bola dari klub di luar negeri misalnya untuk dapat
bertanding, misalnya mengundang bintang olah raga dari negara lain
untuk bermain di Indonesia dengan harapan pemain Indonesia dapat
menimba ilmu dari pertandingan tersebut. Seperti ketika tim kesebelasan
dari LA Galaxy yang salah satu bintangnya adalah David Beckham
datang ke Jakarta untuk sebuah pertandingan exibisi. Dengan
bertanding, para bintang sepak bola dapat berbagi pengalaman dengan
pemain lokal Indonesia.
f) Tempat
Kota, negara, atau provinsi tertentu selalu berusaha menarik pihak lain
agar mengunjungi kota atau negaranya. Di Indonesia, yang selalu
menjadi primadona kunjungan tamu dari luar negeri adalah Pulau Bali.
Pulau ini sangat terkenal sehingga kebanyakan orang di mancanegara
mengenal Bali lebih banyak dari pada Negara Indonesia, padahal Bali
merupakan salah satu dari sekian banyak provinsi di Indonesia.
Wisatawan mancanegara memang tidak salah dapat mengenal Bali lebih
dalam sebab Bali menawarkan wisata yang sangat indah. Banyak tempat
di sana yang menawarkan keindahan bagi pengunjungnya, baik
pengunjung dalam negeri maupun pengunjung dari mancanegara.
Karena indahnya pemandangan di sana, orang menyebut Bali sebagai
pulau dewata (pulau para dewa).
g) Properti
Properti adalah hak kepemilikan seseorang atau sekelompok orang
terhadap suatu entitas (maujud). Umumnya, bentuk properti adalah
tanah yang sering disebut sebagai real property, kekayaan pribadi, dan
juga kekayaan intelektual. Hak tersebut menjamin pemiliknya untuk
melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Jadi, seseorang bebas
untuk menggunakan hak tersebut maupun tidak menggunakan sama
sekali haknya. Misalnya, dalam dunia perbukuan terdapat tanda © yang
136
bermakna bahwa karya berupa buku tersebut hak ciptanya dimiliki oleh
katakan seseorang yang menempel pada tanda ©.
h) Organisasi
Organisasi berupaya keras untuk membangun citra yang kuat.
Organisasi berorientasi laba membangun citra yang positif agar dapat
lebih dikenal oleh masyarakat dan pada gilirannya mereka membeli
produk perusahaan tersebut. Organisasi nirlaba juga ingin terkenal agar
lebih banyak donatur yang rela menyumbang banyak pada organisasi
tersebut
i) Ide
Ide merupakan gagasan dasar sehingga sering kali mendapat temuan
baru dalam bidang tertentu. Misalnya air putih, hampir semua orang
membutuhkan air putih (fresh water) baik untuk kegiatan di dalam
maupun luar ruangan. Adalah tidak mungkin membawa air dengan
tempat yang ada dalam kemasan rumah tangga maka muncullah ide
membungkus air dalam botol plastik. Air putih yang awalnya berharga
murah, menjadi mahal hanya dikemas dalam botol plastik. Ide ini sangat
cemerlang karena telah menjadikan air berharga mahal, tetapi semua
orang bersedia membelinya.
j) Informasi
Informasi adalah apa yang dihasilkan, dipasarkan, dan didistribusikan
oleh buku sekolah, dan produk universitas dengan harga tertentu kepada
orang tua, siswa, dan komunitas. Ada produk tertentu yang menjual
informasi kepada khalayak umum, majalah CHIP misalnya. Majalah
tersebut merupakan majalah komputer yang diterbitkan di beberapa
negara termasuk di dalamnya di Indonesia. Majalah tersebut berisi
informasi terbaru dari industri komputer, hasil tes perangkat keras,
perangkat lunak, serta tips dab triks. Tidak hanya itu, CHIP juga memberi
gambaran aktual dari layanan online yang ada dan memberikan bantuan
bagi pengguna dalam memasuki dunia maya.
RANGKUMAN
Pemasaran berasal dari kata pasar mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” yang
oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai proses, cara, perbuatan
memasarkan suatu barang dagangan. Menurut terminologi, pemasaran merupakan suatu
fungsi organisasi dan serangkaian proses untuk menciptakan, mengomunikasikan, dan
memberikan nilai kepada pelanggan, dan untuk mengelola hubungan pelanggan dengan
cara menguntungkan organisasi dan pemangku kepentingannya. Menurut ahli pemasaran,
istilah pemasaran tidak hanya ada dalam dunia bisnis saja, melainkan juga dalam
kehidupan masyarakat sehari- hari, termasuk di dalamnya ketika kita menyarankan
137
seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, seperti halnya
menyumbang PMI, menyumbang sejumlah uang pada pembangunan tempat ibadah, tidak
membuang sampah sembarangan, menghemat bahan bakar minyak, memilih calon anggota
DPR, dan mengajak seseorang untuk menikah. Masih menurut pandangan ahli pemasaran,
kegiatan tersebut termasuk kegiatan pemasaran. Setiap hubungan antar individu atau antar
organisasi sekalipun yang melibatkan tukar menukar atau transaksi adalah pemasaran.
Jadi, inti pemasaran adalah transaksi atau tukar menukar yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan manusia.
TES FORMATIF 1
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
1. Dalam bahasa yang sederhana pemasaran adalah
A. hibah
B. hadiah
C. pertukaran
D. pemberitahuan
138
melihat obyek wisata langsung dalam waktu yang seefisien mungkin. Untuk
inilah maka banyak agen wisata yang menawarkan jasa agar para pengunjung
dapat memakai jasanya. Jasa yang diberikan agen wisata adalah tumpangan
kendaraan serta bimbingan mengenai lokasi wisata. Tumpangan kendaraan,
arahan guide adalah jasa yang tidak bersifat konkret. Lalu, apa pengertian jasa,
apa ciri-cirinya, dan apa beda jasa dengan barang-barang pada umumnya?
Jasa merupakan produk yang tidak nyata secara fisik dan tidak dapat
disentuh dengan tangan kita (intangible), namun sangat dapat dirasakan. Jasa ini
muncul dari hasil kegiatan timbal balik antara pemberi jasa dengan penerima jasa
(konsumen, pelanggan, pengguna) melalui suatu aktivitas guna memenuhi
kebutuhan pelanggan. Berdasar ilustrasi di atas maka dapat disimpulkan bahwa
jasa merupakan produk intangible yang diberikan agen wisata kepada pelanggan
melalui suatu kegiatan pariwisata. Zeithani dan Bitner dalam Oka (1999, 1)
memberi definisi jasa sebagai :
“Service is include all economic activities whose output is not phisicla product or
constraction is generally consumed at that time is tis produced, and provides
added value in forms (such as) convinience, amusement, confort or health“.
(jasa merupakan semua kegiatan ekonomi yang hasilnya tidak merupakan produk
dalam bentuk fisik dan konstruksi, yang biasa dikonsumsi pada saat yang sama
dengan waktu memproduksi sambil memberikan nilai tambah, seperti
kenyamanan, hiburan, kesenangan, atau kesehatan).
Sementara, menurut ahli pemasaran Kotler & Keler (2009, 36) jasa adalah:
“layanan adalah semua tindakan atau kinerja yang dapat ditawarkan satu pihak
kepada pihak lain yang pada intinya tidak berwujud dan tidak menghasilkan
kepemilikan apapun. Produksinya tidak terdapat atau terkait dengan produksi
fisik. Meskipun demikian, semakin banyak produsen, distributor, dan pengecer
yang menyediakan jasa bernilai tambah, atau layanan pelanggan yang baik untuk
mendifrensiasikan diri mereka”.
139
harus datang pada produsen.
d) Konsumen terlibat langsung dalam proses produksi.
e) Jasa tidak dapat ditimbun karena dalam jasa penggunaan gudang tidak
diperlukan.
f) Jasa tidak memiliki standar dan ukuran yang obyektif.
g) Jasa sering kali tidak dapat dicicipi lebih dulu.
h) Kualitas jasa tidak tergantung pada mesin.
i) Permintaan produk berupa jasa sangat tergantung pada tenaga manusia
dan sering kali tidak dapat digantikan oleh mesin.
j) Umumnya perantara tidak diperlukan untuk penggunaan terbatas.
Adapun perbedaan tersebut adalah:
140
produk jasa yaitu mereka menawarkan sebuah pelayanan yang diberikan
kepada konsumen.
2) Karakteristik Jasa
Menurut kotler & Keller (2009) jasa memiliki empat karakteristik yang
berbeda, yaitu tidak berwujud (intangibility), tak terpisahkan (inseparabality),
bervariasi (variability), dan dapat musnah (perishability).
a) Tidak berwujud
Jasa merupakan produk yang tidak berwujud ((intangibility) yang tidak
dapat dirasakan, diraba, didengar, dicium sebelum produk jasa tersebut
dibeli. Demikian juga seseorang tidak akan dapat merasakan layanan jasa
seorang dokter sebelum dia sendiri datang untuk memeriksakan dirinya
pada dokter tersebut. Untuk mengurangi ketidakpastian dan untuk
mengetahui kualitas jasa layanan, pelanggan atau pembeli setidaknya akan
melihat tempat, orang, peralatan, bahan komunikasi, simbol, dan harga.
Perusahaan dan organisasi yang bergerak dalam bidang jasa harus mampu
memperlihatkan kualitas dirinya melalui bukti yang secara fisik dapat
disaksikan oleh pelanggannya.
b) Tak terpisahkan
Produk barang, seperti tv misalnya, terjadi pemisahan antara ketika tv
diproduksi dengan pemanfaatan tv tersebut oleh pelanggan. Dalam
produk barang pelanggan tidak dapat memanfaatkan langsung dari pabrik
setelah barang tersebut diproduksi. Hal ini sangat berbeda dengan produk
jasa yang dapat dinikmati pada waktu bersamaan. Seseorang yang akan
memotongkan rambutnya di salon mendapatkan jasa potong langsung
setelah dia mendatangi salon tersebut dan meminta agar rambutnya
dipotong. Bila dalam pembelian produk barang, pelanggan dapat saja
meminta agar barang tersebut dihantar ke rumahnya sementara tidak
demikian dengan pemotongan rambut manakala pelanggan harus datang
langsung dan tidak dapat diwakili oleh orang lain dalam mencukur
rambutnya.
c) Bervariasi
Kualitas jasa tergantung pada siapa yang menyediakan, kapan, dan di
mana jasa tersebut ada, kepada siapa jasa tersebut diberikan. Dari sini
kelihatan bahwa jasa sangat bervariasi. Beberapa langkah yang harus
diambil untuk meningkatkan kendali kualitas, yaitu:
d) Dapat musnah
141
Jasa tidak seperti barang yang dapat disimpan. Jasa dapat dibeli dan
dimanfaatkan sesuai dengan waktu pemanfaatannya. Jasa tersebut akan
hangus manakala tidak dimanfaatkan pada waktu yang sudah disepakati.
Seseorang yang membeli tiket pesawat terbang akan dijadwal sesuai
dengan keinginannya. Akan tetapi, bila jadwal tersebut lewat maka tiket
yang sudah dibeli tidak akan berarti lagi.
1) setiap jasa berbeda kualitasnya dan tidak ada yang persis sama;
2) tingkat hidup dan pendapatan masyarakat berbeda;
3) penggunaan jasa memiliki income yang berbeda-beda;
4) adanya faktor hari libur yang sangat memengaruhi permintaan jasa;
5) pertumbuhan industri pariwisata yang selalu meningkat terus dari
waktu ke waktu.
Kotler & Keller (2009) menggambarkan tiga pihak yang berperan dalam
menyukseskan perusahaan jasa, yaitu perusahaan itu sendiri, karyawan,
atau staf dan pelanggan. Ketiga unsur tersebut tampak dalam gambar
berikut:
Pemasaran Interaktif
142
tanggung jawab;
3) Menciptakan pemahaman umum mengenai bisnis organisasi atau
perusahaan;
4) Mendorong karyawan untuk menawarkan jasa atau layanan yang luar
biasa bagi pelanggan;
Menciptakan koordinasi yang baik serta kerja sama antar departemen
dalam satu perusahaan atau organisasi.
RANGKUMAN
Jasa merupakan produk yang tidak nyata secara fisik dan tidak dapat disentuh
dengan tangan kita (intangible), namun sangat dapat dirasakan. Jasa ini muncul dari hasil
kegiatan timbal balik antara pemberi jasa dengan penerima jasa melalui suatu aktivitas
guna memenuhi kebutuhan pelanggan. Penerima jasa tersebut sering disebut sebagai
konsumen, pelanggan, atau pengguna.
Ciri khas dari sebuah jasa adalah bahwa jasa tidak dapat diraba atau disentuh
langsung sebab bersifat tidak nyata (bukan benda konkret); produksi dan konsumsi jasa
tersebut terjadi pada saat bersamaan; jasa tidak dapat dipindahkan, dan untuk
mengonsumsinya, pelanggan harus datang pada produsen; konsumen terlibat langsung
dalam proses produksi; jasa tidak dapat ditimbun karena dalam jasa penggunaan gudang
tidak diperlukan; Jasa tidak memiliki standar dan ukuran yang obyektif; jasa sering kali
tidak dapat dicicipi lebih dulu; kualitas jasa tidak tergantung pada mesin; permintaan
produk berupa jasa sangat tergantung pada tenaga manusia dan sering kali tidak dapat
digantikan oleh mesin.
TES FORMATIF 2
143
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
1. Berikut ini merupakan karakteristik yang khas dari sebuah jasa, kecuali:
A. tidak berwujud
B. tak terpisahkan
C. bervariasi
D. berbentuk barang
2. Seseorang telah membeli tiket pesawat terbang untuk penerbangan tanggal 3
Desember. Namun, pada jam yang telah ditentukan dia tidak dapat berangkat karena
suatu alasan dan tiket tersebut tidak dapat digunakan untuk keesokan harinya. Kasus
tersebut merupakan contoh karakteristik jasa berupa:
A. tidak berwujud.
B. tak terpisahkan.
C. Bervariasi.
D. dapat musnah.
c. Pemasaran Perpustakaan
1) Pengertian
Konsep perpustakaan sebagai lembaga selalu berkembang. Dulu,
perpustakaan dinilai baik bilamana koleksi bukunya tersedia dalam jumlah yang
sangat melimpah. Namun, ketika media penyimpan informasi semakin
berkembang pesat, kualitas perpustakaan tidak hanya menekankan pada
seberapa besar koleksinya, tetapi seberapa banyak layanan yang dapat
ditawarkan perpustakaan tersebut kepada pelanggannya. Istilah yang
digunakan sedikit bergeser, kalau dulu pihak yang memanfaatkan perpustakaan
adalah pengguna, namun sebutan pengguna sudah mulai berubah menjadi
pelanggan (customer) atau pemustaka sebagaimana digunakan dalam UU No 43
tahun 2007. Barangkali dalam beberapa tahun ke depan perpustakaan dapat
menjelma menjadi organisasi yang menghasilkan produk untuk dijual. Bila
konsep ini benar-benar terwujud, tentu definisi perpustakaan harus berubah.
Konsep pemasaran untuk organisasi nonprofit seperti perpustakaan
dikenalkan oleh Kotler pada akhir tahun 1960an. Kemudian, pada tahun 1982 dia
mengurai strategi pemasaran untuk organisasi nonprofit tersebut. Menurutnya
organisasi nonprofit seperti halnya perpustakaan sebenarnya lebih banyak
terkait dengan produk jasa daripada produk barang. Jasa sangat berbeda
dibanding dengan barang manakala jasa punya karakteristik berupa “tidak dapat
disentuh”, “tidak terpisah”, dan “musnah”. Karena karakteristik ini, jasa layanan
informasi membutuhkan pendekatan yang berbeda dengan barang. Jasa layanan
144
informasi tidak hanya sebagai komoditas yang bernilai, tetapi juga komoditas
yang dapat dijual seperti halnya produk lainnya.Oldman dalam (Jose dan Bhat,
2007, 24) mengidentifikasi mengapa orang-orang tidak sering datang ke
perpustakaan. Dia mengemukakan alasannya, yaitu:
a) Informasi yang dibutuhkan oleh seorang sering kali lebih cepat tersedia di
tempat lain daripada di perpustakaan. Kebutuhan informasi antara satu orang
dengan yang lain pasti berbeda. Cara mendapatkan informasi inilah yang
bervariasi. Tantangan bagi perpustakaan adalah bagaimana caranya agar
orang yang membutuhkan informasi dapat menghampirinya.
b) Mengobrol menjadikan lebih menarik ketimbang membaca buku. Di beberapa
negara maju, barangkali pemandangan mengobrol di tempat umum (di kereta
api) jarang ditemui. Rata-rata penumpang kereta api di Jepang umpamanya
sudah menyiapkan bacaan untuk menghabiskan waktu selama dalam
perjalanan. Pemandangan ini berbanding terbalik dengan di Indonesia. Di
Indonesia, kebanyakan penumpang kereta api lebih memilih mengobrol atau
tidur untuk menghabiskan waktunya dalam perjalanan.
c) Banyak orang tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka punya masalah
informasi. Kebutuhan informasi merupakan kebutuhan non-fisiologis atau
bukan kebutuhan pokok sehingga sebagian masyarakat kita tidak peduli akan
kebutuhan informasi biarpun sebenarnya mereka butuh. Pengguna potensial
perpustakaan cenderung melupakan layanan yang diberikan oleh
perpustakaan . Pengguna cenderung beranggapan yang dimiliki oleh
perpustakaan biasa saja, atau bahkan kadang pengguna perpustakaan tidak
secara maksimal memanfaatkan fasilitas yang ada di perpustakaan.
Sebenarnya, perpustakaan punya fungsi strategis yaitu, fungsi edukasi, fungsi
informasi, fungsi riset, fungsi rekreasi, fungsi publikasi, fungsi deposit,
fungsi impretasi.
d) Sebagian pemakai punya pengalaman tidak mengenakkan ketika berkunjung
ke perpustakaan. Barangkali ini menjadi pekerjaan rumah buat pengelola
perpustakaan bahwa pemakai akan mengenang kesan pertama kali waktu
mereka mengunjungi suatu perpustakaan. Sering kali bila kesan pertama
menyenangkan, pengguna cenderung mengingat kesan baik tersebut, namun
kebalikannya bila mereka mendapat kesan yang kurang bagus, mereka tidak
melupakan, dan mungkin bahkan enggan berkunjung untuk kedua kalinya.
145
2) Mengapa Perpustakaan Harus Memasarkan Dirinya?
Dewasa ini praktisi manajemen selalu mengingatkan betapa penting
pemasaran buat suatu organisasi, termasuk di dalamnya perpustakaan. Sering
kali suatu organisasi atau perpustakaan dinilai baik atau kebalikannya buruk,
berdasarkan pada sejauh mana organisasi atau perpustakaan tersebut dapat
memasarkan dirinya kepada masyarakat pembacanya (Leisner, 1995). Leisner
juga melihat bahwa pemasaran pun selalu mempunyai tujuan yang sama sebagai
berikut.
a) Setiap lembaga menginginkan pelanggan dapat mencapai kepuasan pada
tingkat tinggi.
b) Setiap lembaga ingin meningkatkan nilai layanan yang mereka yang mereka
sediakan.
c) Setiap lembaga pasti ingin tetap bertahan hidup (survive).
Dalam pandangan Doucett, pengertian pemasaran perpustakaan adalah
proses mengidentifikasi pemakai yang secara potensial mau memanfaatkan
perpustakaan. Dengan kata lain, “cerita” perpustakaan adalah cerita mengenai
peran perpustakaan yang dapat dimainkan dalam masyarakat. . Cerita
perpustakaan adalah memberi informasi kepada siapa saja bahwa menggunakan
perpustakaan merupakan sesuatu yang spesial dan bermakna. Isi cerita
mengenai perpustakaan dapat berisikan bahwa perpustakaan memiliki tempat
yang menarik, menyediakan bacaan yang mengasyikkan, dan perpustakaan juga
merupakan tempat untuk berkumpul banyak orang atau menjalin komunikasi
dengan pihak lain.
Dalam konteks perguruan tinggi, perpustakaan merupakan tempat yang
mengasyikkan untuk berdiskusi, mencari informasi ilmiah yang meliputi karya
akhir civitas academika perguruan tinggi tertentu, ataupun tempat yang
menyediakan untuk akses online journal. Tidak hanya itu, bagi pemakai yang
menyukai karya-karya fiksi, perpustakaan perguruan tinggi juga menyediakan
bahan tersebut. Bagi masyarakat umum, perpustakaan dapat menjadi pilihan
sebagai tempat yang spesial sebab perpustakaan dapat menyediakan jasa
informasi yang beragam dari bacaan anak-anak sampai orang dewasa. Dari
bacaan ilmiah sampai hobi. Perpustakaan yang diperuntukkan masyarakat
umum sering disebut sebagai perpustakaan umum (public library) merupakan
perpustakaan yang boleh diakses oleh masyarakat umum.
Perpustakaan umum merupakan lembaga yang paling egaliter sebab tempat
146
tersebut dapat dikunjungi oleh semua lapisan masyarakat dari anak- anak
sampai orang tua, dan juga tidak terbatasi oleh agama, ras, golongan, dan juga
warna kulit tertentu.
147
c) Pustakawan (pengelola perpustakaan) perlu menyampaikan apa yang
dimiliki oleh perpustakaan kepada masyarakat agar mereka dapat
memanfaatkan layanan perpustakaan tersebut dengan maksimal.
Pemanfaatan fasilitas oleh pemakai akan membantu perpustakaan dalam
penambahan biaya dari lembaga induknya.
d) Pemasaran akan memberi citra positif bagi pustakawan (pengelola
perpustakaan).
Di luar teknik pemasaran seperti dikemukakan di atas, lembaga nirlaba
seperti perpustakaan tetap saja memiliki hambatan dalam pemasaran. Kotler
mengidentifikasi hambatan tersebut (Fuady, 1996, 3) sebagai berikut.
a) Pemasaran suatu institusi nonprofit berkaitan dengan layanan yang ideal
terhadap organisasi, dan masyarakat.
b) Sasaran yang ingin dicapai sangat kompleks, disamping kerugian dan
keberhasilan sulit dikuantifikasi dalam bentuk uang.
c) Keuntungan layanan lembaga nonprofit tidak dihubungkan dengan besarnya
konsumen.
d) Lembaga nonprofit melakukan fungsi ekonomi pada segmen pasar yang tidak
jelas.
Perpustakaan selalu mendapat tuntutan agar dapat melayani dengan
sempurna pada penggunanya, baik dari perorangan maupun organisasi.
Melayani dengan sebaik-baiknya adalah moto sebuah pelayanan bagi lembaga
yang berkecimpung dalam pelayanan jasa.
RANGKUMAN
Kualitas perpustakaan tidak hanya menekankan berapa besar koleksinya, tetapi
seberapa banyak layanan yang dapat ditawarkan perpustakaan tersebut kepada pelanggan
(customer) atau pemustaka sebagaimana digunakan dalam UU No 43 Tahun 2007.
Organisasi nonprofit seperti halnya perpustakaan, sebenarnya lebih banyak terkait
dengan produk jasa daripada produk barang. Jasa sangat berbeda dibanding dengan barang
ketika jasa punya karakteristik berupa “tidak dapat disentuh”, “tidak terpisah”, dan
“musnah”. Pemasaran perpustakaan sangat diperlukan karena banyak hal yang dapat
dilakukan sesuai fungsinya agar perpustakaan tetap harus mempertahankan bisnisnya,
yaitu memberi layanan informasi pada pelanggannya (pemustaka). Pelanggan merupakan
pihak yang memanfaatkan jasa layanan perpustakaan. Posisi pengguna bagi perpustakaan
148
sangat penting karena atas alasan mereka keberlangsungan perpustakaan bertahan.
Melayani dengan sebaik-baiknya adalah moto sebuah pelayanan bagi lembaga yang
berkecimpung dalam pelayanan jasa termasuk perpustakaan.
TES FORMATIF 3
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
1. UU NO 43 Tahun 2007 menyebut istilah pelanggan dengan:
A. klien
B. kolega
C. customer
D. pemustaka
2. Perpustakaan merupakan lembaga yang paling egaliter sebab
A. semua kalangan boleh memanfaatkan koleksinya.
B. keanggotaan tidak didasarkan pada kesamaan agama dan budaya.
C. keanggotaan terbuka umum.
D. anggota perpustakaan terbatas pada masyarakat sekitar perpustakaan.
1. C (pertukaran)
2. D (masing-masing pihak tidak punya iktikad)
Tes formatif 2
1. D (berbentuk barang)
2. D (dapat musnah)
Test Formatif 3
1. D (pemustaka)
2. D (anggota perpustakaan terbatas pada masyarakat sekitar perpustakaan)
149
DAFTAR PUSTAKA
Antony, J. & Bhat, I. ( 2007). Marketing of library and information services: a
strategic perspective. VISION—The Journal of Business Perspective l Vol. 11 l No. 2
l April–June 2007.
Doucett, E. (2008). Creating Library Brand: Communicating Your Relevance and Value
to Your Patrons. Chicago: American Library Association.
Fuadi Munir. (1996). Bauran Promosi Organisasi Nonprofit. Jakarta: FISIP UI (Tesis
Magister).
Jakarta: Erlangga.
-------------------------------(2009). Manajemen Pemasaran. Edisi 13, jil 2.
Jakarta: Erlangga
Kotler, P. & Trias De Bes, F. (2004). Lateral Marketing: Berbagai Teknik Baru untuk
Mendapatkan Ide-Ide Terobosan. Jakarta: Erlangga.
Nugroho J. Setiadi. (2003). Prilaku Konsumen: Konsep dan Impliaksi untuk Stategi
dan Penelitian Pemasaran. Jakarta: Premada Media.
Oka A. Yoeti. (1999). Strategi Pemasaran Hotel. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
150
------------------ (1985). Prinsip Pemasaran, Edisi ketujuh jilid 2. Jakarta:
Erlangga.
D. PERAWATAN KOLEKSI
1. Pelestarian, Macam Sifat Bahan Pustaka, dan Latar Belakang Sejarahnya
Bahan pustaka adalah salah satu unsur penting dalam sebuah sistem
perpustakaan, sehingga harus dilestarikan mengingat nilainya yang mahal. Bahan
pustaka di sini berupa terbitan buku, berkala (surat kabar dan majalah), dan bahan
audiovisual seperti audio kaset, video, slide dan sebagainya.
Menurut Purwono (2010:47) dalam The Principles for the Preservation and
Coservation of Library Materials yang disusun oleh J.M. Dureau dan D.W.G Clements,
Pelestarian (preservation) mempunyai arti yang lebih luas yaitu mencakup unsur-
unsur pengelolaan keuangan, cara penyimpanan, tenaga, metode dan teknik untuk
melestarikan informasi dan bentuk fisik bahan pustaka.
Menurut Wendy yang dikutip oleh Purwono (2010:48) dari National Library of
Australia preservation (pelestarian) adalah semua kegiatan yang bertujuan
memperpanjang umur bahan pustaka dan informasi yang ada di dalamnya. Pelestarian
tidak hanya menyangkut pelestarian dalam bidang fisik, tetapi juga pelestarian
informasi yang terkandung di dalamnya. Perawatan terhadap bahan pustaka perlu
dilakukan untuk menjamin bahan koleksi yang dimiliki oleh perpustakaan.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa preservation (pelestarian) adalah
semua kegiatan yang bertujuan memperpanjang usia bahan pustaka serta upaya untuk
menyimpan informasi yang ada didalamnya ke dalam bentuk bahan perpustakaan
aslinya dengan cara ahli media dan mengusahakan agar bahan pustaka yang
dikerjakan tidak cepat mengalami kerusakan agar dapat digunakan dalam jangka
waktu yang lama dan bisa menjangkau lebih banyak pembaca perpustakaan.
Pelestarian bahan pustaka tidak hanya menyangkut pelestarian dalam bidang
fisik, tetapi juga pelestarian dalam bidang informasi yang terkandung di dalamnya.
Maksud pelestarian ialah mengusahakan agar bahan pustaka yang kita kerjakan
tidak cepat mengalami kerusakan. Bahan pustaka yang mahal, diusahakan agar awet,
bisa dipakai lebih lama dan bisa menjangkau lebih banyak pembaca perpustakaan.
Tujuan pelestarian bahan pustaka dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. menyelamatkan nilai informasi dokumen
151
b. menyelamatkan fisik dokumen
c. mengatasi kendala kekurangan ruang
d. mempercepat perolehan informasi
Pelestarian bahan pustaka memiliki beberapa fungsi sebagai berikut:
a. melindungi
b. pengawetan
c. kesehatan
d. pendidikan
e. kesabaran
f. sosial
g. ekonomi
h. keindahan
Berbagai unsur penting yang perlu diperhatikan dalam pelestarian bahan pustaka
adalah:
a. manajemen
b. tenaga yang merawat bahan pustaka
c. laboratorium
d. dana
153
3) Abrasi (Keausan)
Terjadi pada bahan pustaka disebabkan perlakuan yang kurang tepat
terhadap bahan pustaka dalam pengiriman, penempatan pada rak, frekuensi
pemakaian, pemakaian oleh pembaca atau petugas pada waktu pengambilan
dan penempatan kembali pada rak.
b. Faktor Kimiawi
1) Suhu dan Kelembaban Udara
Kerusakan kertas yang diakibatkan oleh suhu yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan perekat pada jilidan buku menjadi kering. Disamping itu, suhu
yang tinggi dapat mengakibatkan kertas menjadi rapuh, warna kertas menjadi
kuning. Sebaliknya apabila lembab nisbi terlalu tinggi, buku akan menjadi
lembab. Sebagai akibatnya, buku mudah diserang jamur, rayap, kecoa, kutu
buku, dan ikan perak. Peningkatan suhu umumnya mempercepat reaksi
kimia dan keseimbangan petumbuhan jenis cendawan tertentu. Suhu ideal
untuk bahan ketas adalah 20-24 derajat celcius. Kelembaban lebih dari 65%
akan mempercepat kerusakan bahan pustaka, terutama didaerah tropis
seperti di Indonesia. Kelembaban ideal untuk bahan kertas adalah 40-55%.
2) Reaksi Kimiawi
Terjadi karena proses oksidasi dan hidrolisa bahan selulose merupakan salah
satu bahan campuran kertas. Proses hidrolisa dipercepat oleh adanya asam-
asam kuat seperti HCI, H2SO4, HNO3 serta unsur-unsur logam berat seperti
Fe, Cu yang merupakan residu yang terkandung dalam kertas sebagai
katalisator.
3) Pencemaran Udara
Pencemaran udara yang ditimbulkan oleh gas-gas SO2, NO2, H2S pada
konsentrasi tinggi, jika terjadi dalam kelembaban dan suhu udara yang cukup
tinggi akan menghasilkan asam-asam kuat yang dapat merusak bahan kertas,
film dan alat-alat dari logam.
c. Faktor Hayati
1) Manusia
Dalam hal ini pemakai perpustakaan dapat merupakan lawan atau juga
kawan. Pemakai perpustakaan menjadi kawan bilamana membantu
melakukan pengamanan terhadap buku dengan cara menggunakan bahan
pustaka secara cermat dan hati-hati. Manusia merupakan penyebab
kerusakan bahan pustaka karena kecerobohannya, tidak menjaga kebersihan,
154
membuat coretan atau merobek kertas dan seterusnya.
2) Bencana Alam
Bencana alam seperti kebanjiran, kebakaran dan gempa bumi merupakan
suatu kerusakan yang sangat merugikan. Kerusakan yang terjadi karena
kebanjiran akan menimbulkan noda dan kotoran yang terdapat dalam air.
Noda yang ditimbulkan oleh jamur sangat sulit untuk dihilangkan serta
kebakaran dapat memusnahkan kertas dalam waktu yang relatif singkat.
d. Binatang Pengerat dan Serangga
Bahan pustaka terdiri atas selulosa, perekat dan protein yang merupakan sumber
makanan bagi makhluk hidup seperti jamur, serangga, binatang pengerat dan lain-
lain. Makhluk tersebut dapat hidup dengan kondisi lingkungan yang kelembaban
dan suhunya tinggi. Bila ruang tempat penyimpanan bahan pustaka lembab dan
dibiarkan berlarut-larut maka akan banyak dijumpai bahan pustaka yang rusak
berat.
Selain manusia dan hewan, debu, jamur, zat kimia dan alam semesta juga bisa
merusak bahan pustaka. Agar bahan pustaka tidak lekas rusak, setiap pustakawan
harus mengetahui cara-cara merawat bahan pustaka. Karena itu, setiap pustakawan
hendaknya mengetahui cara menyusun kembali dan mengangkut buku untuk
dikembalikan ke rak, cara mengontrol buku yang dikembalikan oleh pembaca apakah
pembaca merusakkan buku atau tidak. Mencegah masuknya binatang mengerat dan
serangga ke perpustakaan juga merupakan hal penting yang harus diketahui seorang
pustakawan. Begitu pula cara menghindari debu masuk ke perpustakawan cara,
mengontrol suhu dan kelembaban ruangan.
Tempatkan kapur barus dan akar “loro setu” di antara buku-buku agar serangga
segan menghampirinya. Yang paling baik ialah menyediakan ruangan khusus untuk
perbaikan bahan pustaka dengan petugasnya sekaligus, sehingga kalau diperlukan
perbaikan bahan pustaka, dapat dikerjakan dengan cepat. Jangan menunggu
kerusakan menjadi lebih berat.
Cepatlah bertindak, jagalah selalu kebersihan dan kerapihan sehingga
mengundang pembaca untuk memakai perpustakaan dengan baik, dan bagi
pustakawan sendiri akan semakin senang bekerja dengan baik.
6. Penjilidan
a. Mengenal Bahan Jilidan
Buku bukan merupakan tumpukan kertas yang berdiri sendiri, tapi
merupakan struktur yang satu sama lain saling terikat. Struktur buku terdiri atas:
segi, foredge, kertas hujungan, badan buku, papan jilidan, ikatan timbul, groove,
tulang pita kapital dan sebagainya. Agar struktur itu tidak lepas satu sama lainnya,
maka buku perlu dijilid.
Perlengkapan penjilidan meliputi: pisau, palu, pelubang, gunting, tulang
pelipat, penggaris besi, kuas, gergaji, jarum, benang, pengepres, pemidang jahit,
mesin potong dan sebagainya.
Mutu kualitas jilid selain ditentukan oleh kemahiran dalam bekerja juga
ditentukan oleh bahan yang digunakan.
Bahan penjilid meliputi kertas, kain linen, perekat, benang dan kawat jahit.
Arah serat kertas merupakan hal yang penting bagi pekerjaan penjilidan. Arah
serat yang salah akan mengakibatkan jilidan tidak rapi dan lemah.
b. Menyiapkan Penjilidan dan Jenis-jenis Penjilidan
Sebelum dijilid, buku perlu dipersiapkan secara baik. Kekeliruan atau
kekurangan dalam persiapan, dapat berakibat fatal dan mengecewakan. Juga
merupakan pemborosan jika harus dijilid ulang. Persiapan penjilidan meliputi dua
hal yaitu: (1) penghimpunan kertas-kertas atau bahan pustaka, (2) penggabungan.
Penghimpunan harus dikerjakan secara teliti, jangan salah mengurutkan nomor
halaman. Kalau majalah, jangan salah mengurutkan nomor penerbitannya.
Panjang-pendek, serta lebar kertas harus disamakan. Rapihkan sisi sebelah kiri
agar pemotongan dan perapihan dapat dikerjakan untuk ketiga sisi yang lain.
158
Petunjuk penjilidan harus disertakan, agar hasilnya sesuai dengan yang kita
kehendaki.
Dalam melakukan penggabungan kita harus melihat jilidan macam apa yang
dikendaki sesuai dengan slip petunjuk penjilidan.
Ada lima macam jilidan yang dapat dipilih: (1) jilid kaye, (2) signature binding, (3) jilid
lem punggung, (4) jilid spiral, (5) jilid lakban.
165
3. Buatlah katalog kartu beserta nomor klasifikasinya judul buku di perpustakaan
sekolah masing-masing (maksimal 20 judul buku).
4. Buatlah inventarisasi 30 daftar judul buku dari aplikasi otomasi perpustakaan (hasil
screenshot setelah itu dicetak/print)
5. Buatlah program kegiatan dalam rangka untuk promosi perpustakaan sekolah.
6. Buatlah daftar kerusakan buku (maksimal 20 buku).
166
BAB III
EVALUASI PROGRAM PERPUSTAKAAN SEKOLAH
A. EVALUASI PROGRAM
Tujuan sebagai unsur penting pada sebuah komponen. Tujuan dapat berfungsi
sebagai pengarah dan acuan untuk mengetahui sejauhmana komponen tersebut dapat
dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Menurut Mardapi yang dikutip Ratnawulan dan Rusdiana tujuan evaluasi
dilakukan untuk melihat dan mengetahui proses yang terjadi didalam proses
pelaksanaan program sehingga dapat diperoleh informasi mengenai hal-hal yang telah
dan belum tercapai. Oleh karena itu, perlu bagi evaluator untuk memperjelas dirinya
dengan apa tujuan program yang akan dievaluasi. Selain itu menurut Widoyoko
menjelaskan bahwa tujuan evaluasi adalah:
“untuk memperoleh informasi yang akurat dan objektif tentang suatu program.
Informasi tersebut dapat berupa proses pelaksanaan program, dampak/hasil yang
dicapai, efisiensi serta pemanfaatan hasil evaluasi yang difokuskan untuk program itu
sendiri, yaitu untuk mengambil keputusan apakah program itu dilanjutkan, diperbaiki
atau dihentikan. Selain itu, juga dipergunakan untuk kepentingan penyusunan
168
program berikutnya maupun penyusunan kebijakan yang terkait dengan program.”
Tujuan evaluasi menurut Scriven mempunyai dua fungsi yaitu fungsi formatif
dan fungsi sumatif. Fungsi formatif yaitu evaluasi dipakai untu kperbaikan dan
pengembangan kegiatan yang sedang berjalan (program,orang, produk dan
sebagainya) sedangkan fungsi sumatif yaitu evaluasi dipakai untuk
pertanggungjawaban, keterangan, seleksi atau lanjutan. Dengan kata lain evaluasi
bertujuan membantu pengembangan, implementasi kebutuhan suatu program,
perbaikan program, pertanggungjawaban, seleksi, motivasi, menambah pengetahuan,
dan dukungan dari yang terlibat (Tayibnapis, 2000:4).
Menurut Endang Mulyatiningsih (2011: 114-115), evaluasi program dilakukan
dengan tujuan untuk :
a. Menunjukkan sumbangan program terhadap pencapaian tujuan organisasi. Hasil
evaluasi ini penting untuk mengembangkan program yang sama ditempat lain.
b. Mengambil keputusan tentang keberlanjutan sebuah program, apakah program
perlu diteruskan, diperbaiki atau dihentikan.
Dilihat dari tujuannya, yaitu ingin mengetahui kondisi sesuatu, maka evaluasi
program dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk penelitian evaluatif. Oleh
karena itu, dalam evaluasi program, pelaksana berfikir dan menentukan langkah
bagaimana melaksanakan penelitian.
Sejalan dengan pengertian di atas menurut Darussalam tujuan evaluasi program
yaitu untuk meninjau kembali atas pencapaian tujuan dan membantu memberikan
alternatif berikutnya dalam pengambilan keputusan. Dari pengertian beberapa ahli,
dapat disimpulkan tujuan evaluasi pada dasarnya untuk memperoleh informasi dari
program/kebijakan yang sudah dilaksanakan lalu mengetahui sejauhmana tujuan
program/kebijakan tersebut dapat tercapai, hasilnya dapat digunakan sebagai
alternatif bagi pengambilan keputusan.
Implementasi program harus senantiasa di evaluasi untuk melihat sejauh mana
program tersebut telah berhasil mencapai maksud pelaksanaan program yang telah
ditetapkan sebelumnya. Tanpa adanya evaluasi, program-program yang berjalan tidak
akan dapat dilihat efektifitasnya. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan baru
sehubungan dengan program itu tidak akan didukung oleh data. Karenanya, evaluasi
program bertujuan untuk menyediakan data dan informasi serta rekomendasi bagi
pengambil kebijakan (decision maker) untuk memutuskan apakah akan melanjutkan,
memperbaiki atau menghentikan sebuah program.
Secara singkat evaluasi program merupakan upaya untuk mengukur
169
ketercapaian program, yaitu mengukur sejauh mana sebuah kebijakan dapat
terimplementasikan. Berikut ini beberapa contoh kegiatan sederhana yang merupakan
program dan yang bukan program.
a. Kegiatan membaca, Tujuan kegiatan ini adalah untuk menangkap isi bacaan.
Sedangkan tujuan evaluasi kegiatan adalah untuk mengetahui apakah pembaca
dapat menangkap isi bacaan yang dibaca.
b. Program seminar, Tujuan program ini adalah untuk membahas sesuatu topik di
dalam forum peserta seminar. Sedangkan tujuan evaluasi program ini adalah
untuk mengetahui (melalui pengumpulan data) apakah topik yang diajukan
dalam seminar sempat dibahas, dan apakah peserta seminar mempunyai
kesempatan untuk membahas topik yang diajukan dalam forum seminar.
c. Program usaha kesehatan sekolah (UKS), Tujuan program ini adalah untuk
mengatasi masalah kesehatan siswa dan personel lain di sekolah yang
bersangkutan. Sedangkan tujuan evaluasi programnya adalah untuk
mengumpulkan informasi tentang tertanganinya masalah kesehatan di sekolah,
antara lain untuk mengetahui apakah Iayanan yang diberikan oleh UKS
memuaskan bagi Para siswa dan personel sekolah lainnya.
Dari ketiga contoh di atas, dapat ditentukan mana kegiatan yang merupakan
penelitian dan mana yang penelitian tetapi juga sekaligus evaluasi program. Evaluasi
program dilakukan dengan cara yang sama dengan penelitian. Jadi, evaluasi program
adalah penelitian yang mempunyai ciri khusus, yaitu melihat keterlaksanaan program
sebagai realisasi kebijakan, untuk menentukan tindak lanjut dari program dimaksud.
Keduanya dimulai dari menentukan sasaran (variabel), membuat kisi-kisi, menyusun
instrumen, mengumpulkan data, analisis data, dan mengambil kesimpulan. Yang
membedakan adalah langkah akhirnya. Jika kesimpulan penelitian diikuti dengan
saran maka evaluasi program selalu harus mengarah pada pengambilan keputusan,
sehingga harus diakhiri dengan rekomendasi kepada pengambil keputusan.
Di samping itu berdasarkan aplikasinya secara umun ada dua macam tujuan
evaluasi, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum diarahkan pada
program secara keseluruhan, sedangkan tujuan khusus diarahkan pada masing-
masing komponen. Agar dapat melakukan tugasnya maka seorang evaluator program
dituntut untuk mampu mengenali komponen-komponen program.
Keberhasilan suatu program/kebijakan dapat dilihat setelah dilakukan evaluasi
terhadap output yang dihasilkan. Output dapat dijadikan bahan pertimbangan
sejauhmana program/kebijakan dapat berhasil, maka dari itu evaluasi dinilai sangat
170
penting dilakukan melihat banyak manfaat evaluasi yang hasilkan. Menurut Roswati
dalam Munthe manfaat evaluasi program yaitu:
a. Memberikan masukan apakah suatu program dihentikan atau diteruskan;
b. Memberitahukan prosedur mana yang perlu diperbaiki;
c. Memberitahukan strategi atau teknik yang perlu dihilangkan atau diganti;
d. Memberi masukan apakah program yang sama dapat diterapkan ditempat lain;
e. Memberi masukan dana seharusnya dialokasikan kemana;
f. Memberi masukan apakah teori/pendekatan tentang program dapat
diterima/ditolak.
Sejalan dengan pemaparan di atas, Menurut Arikunto dan Jabar, ada empat
manfaat pelaksanaan evaluasi bagi sebuah program yaitu:
a. Menghentikan program, karena dipandang bahwa program tersebut tidak ada
manfaatnya, atau tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan.
b. Merevisi program, karena ada bagian-bagian yang kurang sesuai dengan harapan
(terdapat yang kurang sesuai dengan harapan (terdapat kesalahan tetapi hanya
sedikit).
c. Melanjutkan program, karena pelaksanaan program menunjukkan bahwa segala
sesuatu sudah berjalan sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang
bermanfaat.
d. Menyebarluaskan program (melaksanakan program di tempat-tempat lain atau
mengulangi lagi program di lain waktu), karena program tersebut berhasil
berhasil dengan baik maka sangat baik jika dilaksanakan lagi di tempat dan waktu
yang lain.
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa evaluasi sangat penting
dilakukan mengingat kebutuhan informasi yang akurat dan objektif bagi suatu
lembaga untuk melihat sejauhmana program/kebijakan yang dibuat dapat berhasil.
Informasi tersebut sebagai wujud dari hasil evaluasi yang akan bermanfaat bagi
pengambilan keputusan terhadap program/kebijakan yang sudah dilaksanakan.
171
capaian yang seharusnya.
Menurut Wirawan model evaluasi sebagai penjabaran teori evaluasi dalam
praktik melaksanakan evaluasi. Suatu model evaluasi mengemukakan pengertian
mengenai evaluasi dan proses bagaimana melaksanakannya. Sedangkan menurut
Sukardi, evaluator akan lebih mudah memahami dan mengembangkan evaluasi
dengan mempelajari secara intensif tentang model evaluasi, karena model evaluasi
dianggap sebagai penyederhanaan konsep yang dapat digunakan untuk memperoleh
pemahaman fenomena yang ingin diterangkan.
Menurut Kaufman dan Thomas model evaluasi dapat dibagi menjadi delapan
macam, yaitu sebagai berikut:
“Goal Oriented Evaluation Model, dikembangkan oleh Ralph Tyler; Goal Free Evaluation
Model, dikembangkan oleh Michael Scriven; Formatif Summative Evaluation Model,
dikembangkan oleh Michael Scriven; Countenance Evaluation Model, dikembangkan oleh
Stake; Responsive Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake; CSE-UCLA Evaluation
Model, menekankan pada “kapan” evaluasi dilakukan; CIPP Evaluation Model, yang
dikembangkan oleh Stufflebeam; Discrepancy Evaluation Model, yang dikembangkan oleh
Propus.”
Model evaluasi masih banyak jenisnya selain yang di atas, sesuai dengan
karakteristik masing-masing dan penggagas model evaluasi. Adapun model evaluasi
yang digunakan dalam penelitian evaluasi ini yaitu Discrepancy Evaluation Model/
Model Kesenjangan.
Kata discrepancy adalah istilah bahasa Inggris, yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia menjadi “kesenjangan”. Model ini dikembangkan oleh Malcolm
Provus. Provus berasumsi bahwa untuk mengetahui kelayakan suatu program,
evaluator dapat membandingkan antara apa yang seharusnya dan diharapkan terjadi
(standard) dengan apa yang sebenarnya terjadi (performance) sehingga dapat diketahui
ada atau tidaknya kesenjangan (discrepancy) antara keduanya yaitu standar yang
ditetapkan dengan kinerja sesungguhnya. Dengan demikian suatu lembaga dapat
mengetahui ketimpangan yang terjadi dengan standar yang seharusnya, sehingga
dapat memiliki alternatif dalam pengambilan keputusan terhadap suatu
kebijakan/program.
Menurut Widoyoko pada dasarnya model kesenjangan yang dilaksanakan oleh
evaluator yaitu untuk mengukur besarnya kesenjangan yang ada di setiap komponen
program. Dengan terjabarkan kesenjangan di setiap komponen program maka
langkah- langkah perbaikan dapat dilakukan. Maka dari itu berbagai langkah-langkah
172
evaluasi harus dilaksanakan, menurut model ketimpangan, proses model ini
memerlukan enam langkah dalam pelaksanaannya;
a. Mengembangkan suatu desain dan standar-standar yang menspesifikasi
karakteristik-karakteristik implementasi ideal dari evaluasi (objek evaluasi):
kebijakan, program atau proyek;
b. Merencanakan evaluasi menggunakan model evaluasi discrepansy;
c. Menjaring data mengenai kinerja program;
d. Mengidentifikasi ketimpangan antara standar dengan kinerja;
e. Menentukan alasan penyebab ketimpangan;
f. Menyusun aktivitas untuk menghilangkan ketimpangan.
Ketimpangan-ketimpangan ditentukan melalui mempelajari tiga aspek dari
program yaitu masukan, proses, dan keluaran pada tingkat-tingkat pengembangan
program;
a. Definisi program yang memfokuskan pada desain dan sifat dari program,
termasuk objektif, siswa, staf, aktivitas, dan sebagainya;
b. Implementasi program
c. Proses program, difokuskan pada tingkat formati di mana objektif sedang dicapai;
d. Produk program atau perbandingan outcome dengan standar atau objektif.
Sedangkan menurut Provus dalam jurnal berjudul Evaluation As Public Policy
dikatakan model ini kompleks karena memandang program sebagai suatu kegiatan
yang terdiri dari berbagai aspek yang berkaitan satu sama lain. Aspek yang dimaksud
yaitu aspek input yang mencakup sumber daya dan kondisi, aspek proses yang
mencakup perawatan atau transaksi dan aspek output yang mencakup produk dan
kinerja. Ketiga aspek ini merupakan aspek penting dalam proses menentukan
keberhasilan sebuah program.
Model ini menekankan pada terumuskannya standar, performance, dan discrepancy
secara rinci dan terukur. Evaluasi dengan model ini dilaksanakan oleh evaluator
dengan mengukur besarnya kesenjangan yang ada di setiap komponen program.
Dengan adanya penjabaran kesenjangan pada setiap komponen maka langkah-
langkah perbaikan dapat dilakukan secara jelas.
Model ketimpangan mempunyai keunggulan dan kelemahan yaitu sebagai
berikut. Keunggulan model ketimpangan antara lain:
a. Model evaluasi ketipangan sederhana dan mudah dilaksanakan. Model ini hanya
membandingkan kinerja program dengan standar kinerja yang jelas didefinisikan
dan diformulasikan;
173
b. Model ini memperkenalkan konsep manajemen informasi, proses ruangan kelas
dan pentingnya membangun pangkalan data yang menghubungkan karakteristik
siswa dan kinerja para siswa;
c. Model ini mengembangkan hubungan yang terus-menerus antara staf evaluator
permanen dan perencana dan pengembangan program;
d. Model ini menggunakan evaluasi formatif untuk merevisi dan mengoreksi
program untuk mengarahkan kembali pada awal pengembangan dan instalasi
program.
Kelemahan model ketimpangan antara lain:
a. Untuk melaksanakan model ini memerlukan waktu yang panjang karena
pertanyaan yang harus dijawab secara berurutan untuk sampai kepada keputusan.
Salah satu tujuan dari pertanyaan-pertanyaan adalah untuk mengikutsertakan staf
program dalam proses evaluasi;
b. Taksonomi yang diidentifikasi sebagai suatu standar untuk definisi dari program
merupakan daftar kategori. Standar yang sesungguhnya, seperti jumlah dan
waktu pelatihan guru harus dikembangkan ditempat lain.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, evaluasi menggunakan model
kesenjangan merupakan upaya untuk melihat kesenjangan yang terjadi pada setiap
komponen kebijakan/program. Hal ini dilakukan untuk menghasilkan suatu
rekomendasi bagi lembaga, guna menghilangkan kesenjangan yang terjadi pada
kebijakan/program.
4. Kriteria Evaluasi
Kriteria evaluasi memiliki peran penting pada pelaksanaan evaluasi, yaitu
sebagai ukuran keberhasilan pada kegiatan evaluasi. Menurut Arikunto dan Jabar
istilah “kriteria” dalam penilaian sering dikenal dengan kata “tolok ukur” atau
“standar”. Dari istilah-istilah tersebut dapat dipahami bahwa kriteria adalah sesuatu
yang digunakan sebagai patokan atau batas minimal untuk sesuatu yang diukur.
Kriteria dibuat oleh evaluator secara bersama untuk bahan pengevaluasian,
tentunya disesuaikan dengan objek yang akan di evaluasi. Maka perlu dasar dalam
pembuatan kriteria. Menurut Arikunto dan Jabar dasar pembuatan kriteria memiliki 7
sumber pengambilan kriteria yaitu sebagai berikut:
a. Sumber Pertama. Apabila yang dievaluasi merupakan suatu implementasi
kebijakan maka yang dijadikan sebagai kriteria atau tolok ukur adalah peraturan
174
atau ketentuan yang sudah dikeluarkan berkenaan dengan kebijakan yang
bersangkutan. Apabila penentu kebijakan tidak mengeluarkan ketentuan secara
khusus maka penyusun kriteria menggunakan ketentuan yang pernah berlaku
umum yang sudah dikeluarkan oleh pengambil keputusan terdahulu dan belum
pernah diabut masa berlakunya;
b. Sumber Kedua. Kriteria dapat disusun melalui buku pedoman atau petunjuk
pelaksanaan (juklak);
c. Sumber Ketiga. Apabila tidak ada ketentuan atau petunjuk pelaksanaa yang dapat
digunakan oeh penyusun sebagai sumber kriteria maka penyusun dapat
menggunakan konsep atau teori- teori yang terdapat dalam buku-buku ilmiah;
d. Sumber Keempat. Apabila jika tidak ada ketentuan, peraturan atau juklak dan juga
tidak ada teori yang diacu, maka penyusun disarankan untuk menggunakan hasil
penelitian. Dianjurkan menggunakan hasil penelitian yang telah dipublikasikan
atau diseminarkan;
e. Sumber Kelima. Apabila penyusun tidak menemukan acuan yang tertulis dan
mantap, dapat minta bantuan pertimbangan kepada orang yang dipandang
memiliki kelebihan dalam bidang yang sedang dievaluasi sehingga langkah ini
dikenal dengan expert judgement;
f. Sumber Keenam. Apabila sumber tidak ada, sedangkan ahli yang dapat
diandalkan juga sukar dicari maka penyusun dapat menentukan kriteria secara
bersama dengan anggota tim atau beberapa orang yang memiliki wawasan
tentang program yang akan dievaluasi;
g. Sumber Ketujuh. Dalam keadaan sangat terpaksa karena acuan tidak ada, ahli juga
tidak, dan melakukan diskusi dengan orang yang memiliki wawasan sulit maka
jalan terakhir yaitu melakukan pemikiran sendiri.
Kriteria sebaiknya dibuat bersama, dengan orang-orang yang memiliki tujuan
yang sama, seperti calon evaluator dengan bantuan ahli evaluasi agar hasilnya lebih
akurat sehingga pada waktu evaluasi tidak terjadi banyak kesalahan.
TES FORMATIF
1. Suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat tingkat
keberhasilan program. Merupakan pengertian dari ….
A. Evaluasi
175
B. Pendidikan
C. Evaluasi Program
D. Program
2. Tujuan evaluasi menurut Scriven mempunyai berapa fungsi ….
A. 3
B. 2
C. 4
D. 5
3. Evaluasi bertujuan membantu pengembangan, implementasi kebutuhan suatu program,
perbaikan program, pertanggungjawaban, seleksi, motivasi, menambah pengetahuan,
dan dukungan dari yang terlibat. Pendapat tersebut dinyatakan oleh ….
A. Tayibnapis
B. Arikunto
C. Widoyoko
D. Darussalam
4. Menurut Roswati dalam Munthe ada berapakah manfaat evaluasi program ….
A. 4
B. 5
C. 6
D. 7
5. Menurut Arikunto dan Jabar istilah “kriteria” dalam penilaian sering dikenal dengan kata
….
A. Juklak
B. Evaluasi
C. Kriteria
D. Tolok Ukur/Standar
1. C (Evaluasi Program)
2. B (2)
3. A (Tayibnapis)
4. C (6)
5. D (Tolok Ukur/Standar)
176
PENUGASAN
Buatlah evaluasi terhadap program kerja tahunan yang telah anda buat di
perpustakaan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi dan Cepi Safrudin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2014), h. 4.
Nina Permatasari, “Evaluasi Program Layanan Bimbingan Karir di SMK Negeri se-Kota
Banjarmasin,” Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, 2016,
h. 21, tidak dipublikasikan.
Wirawan, Evaluasi Teori, Model, Metodologi, Standar, Aplikasi dan Profesi, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2016), h. 25.
177
BAB IV
MENERAPKAN WAWASAN KEPENDIDIKAN
A. Pendahuluan
Saat ini, kehadiran perpustakaan bukanlah merupakan hal yang baru, di mana-mana
terdapat perpustakaan, bahkan di era globalisasi informasi ini keberadaannya sudah
merupakan salah satu unit kerja atau lembaga yang diperlukan oleh masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan akan informasi. Salah satu lembaga yang mempunyai
perpustakaan adalah lembaga pendidikan. Mulai dari lembaga pendidikan sekolah
dasar sampai dengan sekolah menengah atas.
Terkait dengan lembaga pendidikan sebagai satuan pendidikan di berbagai jenjang,
mulai dari sekolah dasar, menengah dan tingkat atas, baik itu yang dikelola pemerintah
maupun swasta, dewasa ini semakin perlu memiliki dan mengelola yang namanya
perpustakaan sekolah (School Library), tentunya yang lengkap dan berperan optimal
sebagai salah satu sarana penunjang pencapaian sasaran pendidikan yang telah
dicanangkan oleh badan induknya. Unit kerja ini berupaya menyediakan dan mengelola
dengan sistem yang baku berbagai bahan perpustakaan sebagai sumber informasi bagi
para pemustakanya, yaitu mulai dari para siswa, pendidik sampai kepada para
administratif yang bekerja di bagian tata usaha dan unit pelaksana teknis sekolah
tersebut.
Dengan demikian, perpustakaan sekolah sebagai bagian integral dari kekuatan dan
keberadaan suatu lembaga pendidikan perlu dikelola oleh sumber daya manusia yang
memiliki kompeten di bidangnya, yaitu oleh para pustakawan atau guru pustakawan
yang memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang seluk beluk penyelenggaraan
perpustakaan.
Sehubungan dengan hal di atas, pada modul ini akan dibahas berbagai hal yang
berkaitan dengan bekal bagi calon pustakawan atau guru pustakawan mengenai konsep
dasar perpustakaan sekolah, yaitu meliputi: hakikat, tujuan dan fungsi, serta unsur
utama perpustakaan sekolah, manajemen dan organisasi perpustakaan sekolah, dan tata
kerja perpustakaan sekolah. Setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan dapat
menjelaskan hakikat, tujuan dan fungsi serta unsur utama perpustakaan sekolah.
178
Istilah Perpustakaan berasal dari kata dasar “pustaka”. Pustaka ini dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti kitab atau buku. Sedangkan dalam Bahasa
Inggris dikenal istilah library, yang berasal dari bahasa Latin yaitu liber atau libri
yang berarti buku. Selain itu dikenal juga dalam bahasa asing lainnya yaitu kata
biblia (Yunani) yang berarti pula buku, kitab sehingga timbul kata bibliotheek
(Belanda), bibliothek (Jerman), bibliotheque (Prancis) dan bibliotheca
(Spanyol/Portugis). (Sulistyo-Basuki, 1991).
a. koleksi buku-buku dan bahan bacaan lainnya yang dipelihara untuk membaca,
belajar, dan konsultasi;
b. suatu tempat, gedung, ruang yang ditata untuk memelihara dan menggunakan
koleksi buku-buku, dan lain-lain;
c. koleksi film, foto, dan bahan pustaka bukan buku, pita, dan disk baik dari bahan
plastik atau logam, pita komputer, disket, dan programprogram; semuanya
sebagaimana bahan tercetak dan dokumen manuskrip, dapat disediakan dalam
suatu bagian dari suatu perpustakaan yang besar atau bahkan mungkin suatu
perpustakaan hanya membatasi pada satu jenis material saja;
d. (program komputer) seperangkat rutinitas yang tersimpan dalam suatu file;
secara lebih umum diterapkan pada beberapa koleksi software aplikasi yang
dikumpulkan atau terdiri dari berbagai koleksi file data untuk tujuan tertentu
(Harrod‟s Library Glossary edisi ke-9, 2000).
Perpustakaan sekolah dapat diartikan sebagai perpustakaan yang berada pada lembaga
pendidikan sekolah, yang merupakan bagian integral dari sekolah yang bersangkutan,
dan merupakan sumber belajar untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan
sekolah yang bersangkutan. Sedangkan pengertian perpustakaan sekolah berdasarkan
Dictionary for Library and Information Science adalah suatu perpustakaan di sekolah
dasar dan lanjutan baik milik pemerintah maupun swasta yang memberikan jasa
layanan untuk memenuhi kebutuhan informasi para siswa dan kebutuhan pemenuhan
kurikulum dari para guru dan karyawan sekolah tersebut, dengan mengelola koleksi
perpustakaan berupa buku-buku, terbitan berseri dan media lainnya yang cocok untuk
tingkatan sekolah tersebut (School library is a library in public or private elementary or
179
secondary school that serves the information needs of its students and the curriculum
needs of its teachers and staff, usually managed by a school library collection usually
contains books, periodicals and educational media suitable for the grade level served).
(Reitz, 2004).
Berdasarkan buku Pedoman Penyelenggaraan Perpustakaan Sekolah (Perpusnas RI,
2001), yang termasuk perpustakaan sekolah adalah perpustakaan:
a. Sekolah Dasar,
b. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama,
c. Sekolah Menengah Umum,
d. Sekolah Ibtidaiyah,
e. Madrasah Tsanawiyah,
f. Madrasah Aliyah, dan lain-lain sesuai jenjang dan bentuk satuan pendidikan
sebagaimana dimaksud pada Peraturan Pemerintah No.27, 28 dan 29 Tahun 1990
serta No.72 Tahun 1991.
Sedangkan, tentang penyelenggaraan Perpustakaan Sekolah atau Madrasah termaktub
dalam Bab VI, Bagian Ketiga Undang-undang No. 43 tentang Perpustakaan dinyatakan
bahwa:
a. setiap sekolah/madrasah menyelenggarakan perpustakaan yang memenuhi
standar nasional perpustakaan dengan memperhatikan Standar Nasional
Pendidikan
b. perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki koleksi buku
teks wajib pada satuan pendidikan yang bersangkutan dalam jumlah yang
mencukupi untuk melayani semua peserta didik dan pendidik.
c. perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengembangkan koleksi lain
yang mendukung pelaksanaan kurikulum pendidikan.
d. perpustakaan sekolah/madrasah melayani peserta didik pendidik kesetaraan
yang dilaksanakan di lingkungan satuan pendidikan yang bersangkutan.
e. perpustakaan sekolah/madrasah mengembangkan layanan perpustakaan
berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
f. sekolah/madrasah mengalokasikan dana paling sedikit 5% dari anggaran belanja
operasional sekolah/madrasah atau belanja barang di luar belanja pegawai dan
belanja modal untuk pengembangan perpustakaan.
Berbicara masalah perpustakaan sekolah, mau tidak mau terkait dengan Undang-
Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Menurut undang-undang
tersebut, dalam upaya menyelenggarakan pendidikan yang baik, satuan pendidikan perlu
180
didukung oleh sumber daya pendidikan yang memadai. Yang dimaksud dengan sumber
daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan
pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana, dan prasarana.
Pentingnya dukungan sarana dan prasarana tersebut ditetapkan pada Bab XII Pasal
45 dalam Undang-undang tersebut, bahwa setiap satuan pendidikan formal dan nonformal
menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional,
dan kejiwaan peserta didik karenanya setiap sekolah baik yang diselenggarakan oleh
pemerintah maupun masyarakat perlu menyediakan sarana sumber belajar yang memadai,
salah satunya adalah perpustakaan sekolah (School Library). Perpustakaan ini harus
memungkinkan para tenaga pendidik, kependidikan, dan peserta didik memperoleh
kesempatan untuk memperluas dan memperdalam pengetahuan dengan membaca bahan
pustaka yang mengandung ilmu pengetahuan yang diperlukan dalam proses belajar
mengajar di sekolah.
Manifesto Perpustakaan Sekolah yang dikeluarkan oleh IFLA/UNESCO pada tahun
2000 tentang perpustakaan sekolah menjelaskan tentang kewajiban dan wewenang
pembinaan perpustakaan sekolah, yaitu setiap pemerintah melalui kementrian yang
bertanggung jawab atas bidang pendidikan harus mengembangkan strategi, kebijakan, dan
perencanaan yang l1.6 Pengelolaan Perpustakaan Sekolah berkaitan dengan pelaksanaan
prinsip-prinsip Manifesto ini (Governments, through their ministries responsible for
education, are urged to develop strategies, policies and plans that implement the principles
of this Manifesto) yang meliputi: misi dan kebijakan; sarana dan prasarana; sumber daya
manusia; program dan aktivitas serta promosi.
Sehubungan dengan itu, apabila mencermati Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, bahwa setiap satuan pendidikan wajib memenuhi
standar pengelolaan pendidikan yang berlaku secara nasional. Standar pengelolaan
pendidikan sebagaimana dimaksudkan tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini,
dan yang terkait dengan perlunya penyelenggaraan perpustakaan sekolah di lingkungan
satuan pendidikan dasar dan menengah dapat ditemui pada Bidang Sarana dan Prasarana,
yang mana setiap sekolah/madrasah menetapkan kebijakan program secara tertulis
mengenai pengelolaan sarana dan prasarana.
Program tersebut mengacu pada Standar Sarana dan Prasarana dalam hal:
a. merencanakan, memenuhi, serta mendayagunakan sarana dan prasarana
pendidikan.
181
b. mengevaluasi dan melakukan pemeliharaan sarana dan prasarana agar tetap
berfungsi mendukung proses pendidikan.
c. melengkapi fasilitas pembelajaran pada setiap tingkat kelas di
sekolah/madrasah
d. menyusun skala prioritas pengembangan fasilitas pendidikan sesuai dengan
tujuan pendidikan dan kurikulum masing-masing tingkat
e. pemeliharaan semua fasilitas fisik dan peralatan dengan memperhatikan
kesehatan dan keamanan lingkungan.
Sarana dan prasarana pendidikan pada satuan pendidikan di antaranya adalah
perpustakaan. Berdasarkan Peraturan Mendiknas tersebut maka pengelolaan
perpustakaan sekolah/madrasah perlu:
menyediakan petunjuk pelaksanaan operasional peminjaman buku dan bahan pustaka
lainnya
a. merencanakan fasilitas peminjaman buku dan bahan pustaka lainnya sesuai
dengan kebutuhan peserta didik dan pendidik
b. membuka pelayanan minimal enam jam sehari pada hari kerja
c. melengkapi fasilitas peminjaman antar perpustakaan, baik internal maupun
eksternal
d. menyediakan pelayanan peminjaman dengan perpustakaan dari
sekolah/madrasah lain baik negeri maupun swasta.
182
d. mempercepat proses penguasaan materi pelajaran yang disampaikan guru
e. membantu guru memperoleh dan menyusun materi-materi pembelajaran
f. membantu kelancaran dan penyelesaian tugas para karyawan sekolah
g. mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi seluruh sivitas
sekolah.
184
Fungsi penyimpanan dan pelestarian pada perpustakaan sekolah bukanlah
merupakan fungsi utamanya. akan tetapi, perpustakaan sekolah tetap harus
menyimpan dan melestarikan koleksi bahan perpustakaan tercetak maupun
terekam sebagai hasil karya putra bangsa yang masih relevan dan diperlukan oleh
masyarakat pemustakanya, yaitu siswa, pendidik, dan staf administrasi sekolah
dalam rangka menyokong pencapaian sasaran pendidikan dan pembelajaran para
siswanya secara optimal.
b. Pusat Pendidikan
Perpustakaan sekolah didirikan dengan fungsi utama sebagai salah satu sarana
yang menunjang pencapaian tujuan penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang
bersangkutan. Keberadaannya harus sejalan dengan prinsip
sistem pendidikan nasional, yang mana pendidikan diselenggarakan sebagai suatu
proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung
sepanjang hayat, juga diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca,
menulis dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. Perpustakaan sekolah
harus menyediakan dan mengelola berbagai bahan perpustakaan sebagai sumber
literatur yang berhubungan dengan pendidikan dan proses belajar-mengajar
sehingga dapat berfungsi sebagai tempat dan sumber belajar bagi siswa, sumber
rujukan bagi guru dan petugas administrasi sekolahnya.
c. Pusat Penyedia Materi Penelitian
Perpustakaan sekolah juga berfungsi sebagai tempat mendapatkan informasi yang
mendukung penelitian para siswa dan guru pembimbingnya. Kegiatan penelitian
sederhana dapat dilakukan oleh pemakai perpustakaan mulai dari anak-anak di
bangku sekolah dasar, sekolah menengah dan sekolah tingkat atas. Bentuk jasa
perpustakaan yang dapat diberikan adalah dengan melalui penyediaan berbagai
literatur sebagai bahan rujukan yang menjadi koleksi perpustakaan. Baik literatur
primer, sekunder, tersier, ataupun berbagai alat peraga pendidikan lainnya.
d. Pusat Informasi
Perpustakaan sekolah menyediakan informasi bagi pemustakanya, baik informasi
tentang berbagai bahan pustaka yang dimilikinya (seperti: cakupan, jenis,
penempatan, dan lain-lain), informasi tentang berbagai aktivitas dan layanan
perpustakaan yang ditawarkan, juga informasi tentang lingkungan sekitar
perpustakaan tersebut.
185
e. Pusat atau Sarana Rekreasi dan Kultural
189
RANGKUMAN
Untuk lebih memantapkan pemahaman Anda atas materi pembelajaran ini maka bacalah
rangkuman berikut ini.
1. Pengertian Perpustakaan Sekolah menurut Undang-Undang No.20 Tahun 2003 adalah
perpustakaan yang berada pada lembaga pendidikan sekolah, yang merupakan bagian
integral dari sekolah dan merupakan sumber belajar untuk mendukung tercapainya
tujuan pendidikan sekolah yang bersangkutan.
2. Manifesto Perpustakaan Sekolah yang dikeluarkan oleh IFLA/UNESCO tahun 2000
menyatakan bahwa setiap pemerintah melalui kementrian yang bertanggung jawab atas
bidang pendidikan harus mengembangkan strategi, kebijakan dan perencanaan yang
berkaitan dengan pelaksanaan prinsip-prinsip manifesto ini yang meliputi: misi dan
kebijakan; sarana dan prasarana; sumber daya manusia; program dan aktivitas serta
promosi.
3. Manfaat perpustakaan sekolah antara lain dapat:
a. menimbulkan kecintaan para siswa terhadap budaya membaca;
b.memperkaya pengalaman belajar; menanamkan kebiasaan belajar mandiri dan belajar
sepanjang hayat;
c. mempercepat proses penguasaan materi;
d.membantu guru memperoleh dan menyusun materi-materi pembelajaran; membantu
kelancaran dan penyelesaian tugas para karyawan sekolah;
e. mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
4. Secara sederhana, perpustakaan sekolah yang merupakan bagian integral dalam sistem
kurikulum sekolah berfungsi sebagai: pusat kegiatan belajar mengajar; pusat penelitian
sederhana dan pusat membaca guna menambah ilmu pengetahuan dan rekreasi.
5. Unsur-unsur utama perpustakaan sekolah adalah
a. organisasi,
b. gedung/ruangan,
c. perabot dan perlengkapan,
d. koleksi,
e. tenaga,
f. layanan,
g. anggaran.
190
TES FORMATIF
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
1) Kalimat di bawah ini benar tentang asal usul istilah Perpustakaan, kecuali
A. kata “Pustaka” dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti buku atau kitab suci
B. perpustakaan dalam Bahasa Inggris dikenal istilah library
C. library yang berasal dari bahasa Latin, yaitu liber atau libri
D. kata „biblia „ berasal dari bahasa Yunani yang berarti buku
3) Menurut Sulistyo-Basuki (1991), agar dapat memberikan jasa layanan informasi yang
profesional, guru pustakawan harus mengetahui informasi mengenai....
A. yang diminta oleh pemakai
B. berapa cepat penyediaan informasi
C. dalam bentuk dan harga yang pantas
D. apa saja yang tidak diminta
191
5) Perpustakaan sekolah harus mempunyai sejumlah perabot dan perlengkapan yang
memadai. Hal ini diperlukan untuk hal-hal berikut ini, kecuali kelancaran....
A. jasa layanan
B. penyelenggaraan aktivitas kerja para pustakawan
C. penyelenggaraan aktivitas kerja para pemustaka
D. alur kerja perpustakaan
PENUGASAN.
Daftar pustaka
192
Bangun, Antonius. 1992. Bunga Rampai 40 Tahun Pendidikan Ilmu Perpustakaan di Indonesia.
Jakarta: Kesaint Blanc.
________________. 1992. Kepustakawanan Indonesia: Potensi dan Tantangannya. Jakarta: Kesain
Blac.
Harahap, Basyral. 1998. Kiprah Pustakawan. Seperempat Abad Ikatan Pustakawan Indonesia 1979
– 1998. Jakarta: Pengurus Besar Ikatan pustakawan Indonesia.
Holroyd, Gileon. 1977. Studies in Library Management. London: Clive Bingley
IFLA, UNESCO. Pedoman Perpustakaan Sekolah. http://www.ifla.org/
Ikatan Pustakawan Indonesia. 2006. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta Kode
Etik Ikatan Pustakawan Indonesia. Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Pustakawan Indonesia.
Line Maurice B. 1990. Academic Library Management. London: LA Publishing.
Menteri Pendidikan Nasional. “Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah”
McKee, Bob. 1989. Planning Library Service. London: Library Association Publishing
Martoatmojo. 1993. Pelayanan Bahan Pustaka. Jakarta: Universitas Terbuka.
Murniaty. 2006. Manajemen dan Organisasi Perpustakaan Sekolah. Medan: Makalah Diklat
Pustakawan Perpustakaan Sekolah.
Nebraska Educational Media Assosiation (NEMA). 200... Guide for Developing and Evaluating
School Library Media Programs. Colorado: Libraries Unlimitied.
193
BAB V
MENGEMBANGKAN PROFESIONALITAS PUSTAKAWAN
A. Karya Ilmiah
1. Pengertian
Karya ilmiah adalah satu karangan yang disusun secara sistematis dan bersifat
ilmiah. Sistematis berarti bahwa karangan atau karya tulis tersebut disusun menurut
aturan tertentu sehingga kaitan antara bagian-bagian tersebut sangat jelas dan padu.
Bersifat ilmiah, berarti bahwa karya tulis tersebut menyajikan satu deskripsi, gagasan,
argumentasi atau pemecahan masalah yang didasarkan pada berbagai bukti empirik
atau kajian teoretis sehingga para pembacanya dapat merunut atau melacak
kebenaran bukti empirik atau teoritik yang mendukung gagasan tersebut.
a. Dari segi isi, karya ilmiah menyajikan pengetahuan yang dapat berupagagasan,
deskripsi tentang sesuatu, atau pemecahan satu masalah.
b. Pengetahuan yang disajikan tersebut didasarkan pada fakta atau data(kajian
empirik) atau pada teori-teori yang telah diakui kebenarannya.
c. Mengandung kebenaran yang objektif serta kejujuran dalam penulisan.
d. Bahasa yang digunakan adalah bahasa baku dan banyak menggunakan istilah
teknis, di samping istilah-istilah yang bersifat denotatif.
e. Sistematika penulisan mengikuti cara tertentu.
194
Tujuan seperti ini pada umumnya terkait dengan karya ilmiah yang berupa artikel
yang dimuat dalam berbagai media massa.
b. Memenuhi tugas yang diberikan sebagai persyaratan dalam studi. Tujuanseperti ini,
terkait dengan tugas penulisan makalah dari guru atau dosen, serta penulisan
skripsi, tesis, dan disertasi.
c. Mendiskusikan gagasan dengan kalangan tertentu dalam sebuahpertemuan
ilmiah. Misalnya, karya ilmiah yang disusun untuk satu seminar, simposium,
diskusi panel, dan sejenisnya.
d. Mengikuti perlombaan penulisan karya ilmiah.
e. Menyebarkan hasil penelitian kepada masyarakat luas atau kalangan tertentu,
seperti berbagai artikel penelitian yang dimuat dalam berbagai majalah ilmiah.
Karya ilmiah yang berupa artikel ilmiah, lebih-lebih yang akan dipublikasikan
menuntut adanya Abstrak (sari pati tulisan) yang dimuat setelah judul artikel dan
nama penulis. Karya ilmiah berupa laporan penelitian juga mencantumkan lampiran
untuk mendukung laporan tersebut. Karya ilmiah berupa skripsi, tesis, dan disertasi
dilengkapi dengan beberapa komponen lain, seperti abstrak, daftar gambar dan tabel,
ucapan terima kasih (kata pengantar), dan tentu saja daftar pustaka dan lampiran.
Penulis karya ilmiah harus mampu mengendalikan diri. Dia tidak dapat
memutarbalikkan fakta karena dia harus menyajikan masalah/topik sesuai dengan
kenyataannya. Sikap penulis seperti ini, tercermin dalam gaya bahasa karya ilmiah
yang bersifat impersonal, yang ditandai dengan banyak menggunakan bentuk pasif
dan tidak menggunakan kata ganti orang pertama atau kedua, yang semuanya
memberi kesan bahwa penulis mengambil jarak dari tulisannya. Penggunaan ragam
bahasa resmi atau formal membantu penulis untuk menampilkan sikap ini.
9. Penggunaan Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam karya ilmiah adalah ragam bahasa tulis baku.
Ragam bahasa tulis baku dapat dilihat dari kata/istilah dan kalimat yang digunakan.
Kata/istilah yang digunakan adalah kata/istilah baku, yang digunakan dengan makna
yang tepat. Satu istilah atau kata dikatakan baku jika pembentukannya dan cara
penulisannya sesuai dengan kaidah pembentukan kata/istilah bahasa Indonesia.
RANGKUMAN
Karya ilmiah merupakan karya tulis yang menyajikan gagasan, deskripsi atau
pemecahan masalah secara sistematis, disajikan secara objektif dan jujur, dengan
menggunakan bahasa baku, serta didukung oleh fakta, teori, dan atau bukti-bukti empirik.
Tujuan penulisan karya ilmiah, antara lain untuk menyampaikan gagasan, memenuhi
tugas dalam studi, untuk mendiskusikan gagasan dalam suatu pertemuan, mengikuti
perlombaan, serta untuk menyebar- luaskan ilmu pengetahuan/hasil penelitian.
Karya ilmiah dapat berfungsi sebagai rujukan, untuk meningkatkan wawasan, serta
menyebarluaskan ilmu pengetahuan. Bagi penulis, menulis karya ilmiah bermanfaat untuk
meningkatkan keterampilan membaca dan menulis, berlatih mengintegrasikan berbagai
gagasan dan menyajikannya secara sistematis, memperluas wawasan, serta memberi
kepuasan intelektual, di samping menyumbang terhadap perluasan cakrawala ilmu
pengetahuan.
Karakteristik sebuah karya ilmiah dapat dikaji dari minimal empat aspek, yaitu
struktur sajian, komponen dan substansi, sikap penulis, serta penggunaan bahasa.Struktur
sajian karya ilmiah sangat ketat, biasanya terdiri dari bagian awal (pendahuluan), bagian inti
(pokok pembahasan), dan bagian penutup. Bagian awal merupakan pengantar ke bagian inti,
sedangkan bagian inti merupakan sajian gagasan pokok yang ingin disampaikan yang dapat
terdiri dari beberapa bab atau subtopik. Bagian penutup merupakan simpulan pokok
pembahasan serta rekomendasi penulis tentang tindak lanjut gagasan tersebut.
Komponen karya ilmiah bervariasi sesuai dengan jenisnya, namun semua karya ilmiah
mengandung pendahuluan, bagian inti, penutup, dan daftar pustaka. Artikel ilmiah yang
dimuat dalam jurnal mempersyarat- kan adanya abstrak.Sikap penulis dalam karya ilmiah
adalah objektif. Tulisan disampaikan dengan menggunakan gaya bahasa impersonal,
denganbanyak menggunakan bentuk pasif, tanpa menggunakan kata ganti orangpertama
atau kedua.Bahasa yang digunakan dalam karya ilmiah adalah bahasa baku. Kebakuan itu
tercermin dari pilihan kata/istilah, dan kalimat-kalimat yang efektif dengan struktur yang
baku.
b. Tujuan Abstrak
Tujuan Abstrak antara lain adalah
1) Membantu seseorang yang sibuk untuk dapat mengetahui suatu artikel, hasil
penelitian, berita yang terbaru tanpa harus membaca full text.
2) Menghemat waktu, tenaga dan biaya
3) Membantu dalam memecahkan masalah dalam penguasaan bahasa
4) Dapat dipakai sebagai pengganti artikel asli
5) Sebagai salah satu alat kelengkapan dalam penelusuran surut/pencarian
informasi
6) Sarana untuk membuat indeks
c. Fungsi abstrak
fungsi abstrak adalah untuk merekam dan menunjukkan isi suatu artikel
(majalah/ jurnal/ surat kabar) laporan hasil penelitian, dll.
2. Indeks
a. Pengertian Indeks
Indeks berasal dari bahasa latin “indicare” = menunjukkan tempat, maka indeks
adalah alat atau sarana penunjukkan tempat dimana informasi dapat
ditemukan.Indeks merupakan daftar susunan kata-kata yang disusun
berdasarkan alphabetis
PENUGASAN
202
2. Buatlah abstraknya dari karya ilmiah tersebut
3. Buatlah indeksnya dari karya ilmiah tersebut
TES FORMATIF
2. Di antara judul berikut, yang manakah yang paling sesuai untuk judul sebuah karya
ilmiah?
A. Senjata Makan Tuan.
3. Untuk membedakan karya ilmiah dari karya bukan ilmiah, seseorang dapat mengkaji
berbagai aspek tulisan. Salah satu aspek yang dapat digunakan sebagai pembeda adalah
….
A. sistematika tulisan
B. panjang tulisan
C. ragam bahasa
D. pengarang
B. pemacu semangat
C. sarana penunjang
D. rujukan
203
5. Karya ilmiah ditulis dengan berbagai tujuan berikut, kecuali ….
A. menyebarluaskan ilmu pengetahuan
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, E. Z. (1993). Penulisan Karangan Ilmiah dengan Bahasa Indonesia yang Benar
(Pedoman Praktis untuk Perguruan Tinggi). Jakarta: PT Medyatama Sarana Perkasa.
. (1987). Petunjuk Praktis Penyusunan Karya Tulis (untuk SMA dan SMTA yang
Sederajat). Jakarta: Medyatama Sarana Perkasa.
Direktorat Kemahasiswaan. (2000). Pedoman Umum Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI)
Mahasiswa. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional: Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi.
Papers. New York: The Modern Language Association of America. Keraf, G. (1989).
Argumentasi dan Narasi. Jakarta: PT Gramedia.
Nasution, S. & Thomas, M. (1999). Buku Penuntun Membuat Tesis, Skripsi, Disertasi
Makalah. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
204
Prayitno, H. J., Thoyibi, M. & Sunanda, A. (Editor). (2000). Pembudayaan Penulisan Karya
Ilmiah. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Tim Peneliti. (2008). Penilaian Kinerja Lulusan Jurusan Pendidikan Dasar Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Terbuka. Jakarta: Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas Terbuka.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1997). Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Wardani, IG.A.K.; Andayani; Siti Julaeha; Sugilar; & Yohana Arismanti. (2002). Kinerja Guru
Lulusan Program Penyetaraan D II PGSD Guru Kelas Kurikulum 1996. Jakarta: Pusat
Penelitian Kelembagaan, Lembaga Penelitian, Universitas Terbuka.
205