Anda di halaman 1dari 10

ETIKA POLITIK DAN KEWARGANEGARAAN

DALAM BINGKAI PENDIDIKAN IPS

Oleh Muh Sholeh


Email: muhsholeh@mail.unnes.ac.id

Abstrak
Politik secara nyata dimaknai sebagai proses merebut, mempertahankan, dan
melestarikan kekuasaan melalui mekanisme yang disepakati (dan dilanggar) oleh para
pelakunya, baik pelaku individu maupun kelompok. Wajah politik adalah wajah
mengatasnamakan rakyat dan agama dengan mengorbankan nailai-nilai yang ada di
dalamnya. Politik seharusnya dimaknai sebagai upaya menata dan membersihkan
kotoran-kotoran proses pembangunan untuk menghasilkan produk aktivitas yang
mencerminkan nilai-nilai budaya dan agama seperti gotong royong, persatuan, saling
menghargai, dan menerima apapun hasil secara jantan. Etika politik merupakan kunci
utama untuk menghasilkan politikus atau aktor politik yang mencerminkan wajah politik
yang bermartabat. Etika politik perlu dipupuk sejak awal melalui kegiatan pembelajaran
di kelas, termasuk pada kelas atau mata pelajaran Pendidikan IPS.

Kata Kunci: Pendidikan Politik, Etika Kewarganegaraan

A. Pendidikan Politik dan Pendidikan Etika Sebagai Ranah Filsafat Moral


Zoon Politicon merupakan sebuah istilah yang digunakan oleh Aristoteles untuk
menyebut makhluk sosial. Kata Zoon Politicon merupakan padanan kata dari kata Zoon
yang berarti "hewan" dan kata politicon yang berarti "bermasyarakat". Secara harfiah
Zoon Politicon berarti hewan yang bermasyarakat. Dalam pendapat ini, Aristoteles
menerangkan bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi
satu sama lain, sebuah hal yang membedakan manusia dengan hewan. Implikasi dari
sebutan tersebut manusia mempunyai dinamika untuk berinteraksi antar sesama dalam
rangka mewujudkan salah satu cita-cita besarnya, yaitu mewujudkan kesejahteraan
masyarakat melalui politik yang beretika dan bermartabat. Untuk menuju terwujudnya
kehidupan politik yang beretika dan bermartabat, diperlukan pendidikan politik bagi
warga negara dengan beragam usia dan peran.
Etika, merupakan upaya mewujudkan kehidupan politik yang beretika dan
bermartabat, secara umum etika perlu dimaknai sebagai garis batas kehidupan
masyarakat sehari-hari. Secara umum etika mempunyai beberapa manfaat, yaitu:
1. Manusia hidup dalam jajaran norma moral, religius, hukum, kesopanan, adat istiadat
dan permainan. Oleh karena itu, manusia harus siap mengorbankan sedikit
kebebasannya.
2. Norma moral memberikan kebebasan bagi manusia untuk bertindak sesuai dengan
kesadaran akan tanggung jawabnya = human act, dan bukan an act of man. Menaati
norma moral berarti menaati diri sendiri, sehingga manusia menjadi otonom dan
bukan heteronom.
3. Sekalipun sudah ada norma hukum, etika tetap diperlukan karena norma hukum
tidak menjangkau wilayah abu-abu, norma hukum cepat ketuinggalan zaman,
sehingga sering terdapat celah-celah hukum, norma hukum sering tidak mampu
mendeteksi dampak secara etis dikemudian hari, etika mempersyaratkan
pemahaman dan kepedulian tentang kejujuran, keadilan dan prosedur yang wajar
terhadap manusia, dan masyarakat, asas legalitas harus tunduk pada asas moralitas.
4. Manfaa tetika adalah mengajak orang bersikap kritis dan rasional dalam mengambil
keputusan secara otonom, mengarahkan perkembangan masyarakat menuju suasana
yang tertib, teratur, damai dan sejahtera.
Begitu pentingnya etika politik dalam kehidupan bermasyarakat. Istilah
pendidikan politik dalam Bahasa Inggris sering disamakan dengan istilah political
sucialization. Istilah political sosialization jika diartikan secara harfiah ke dalam
bahasa Indonesia akan bermakna sosialisasi politik. Oleh karena itu, dengan
menggunakan istilah politicalsosialization banyak yang mensinonimkan istilah
pendidikan politik dengan istilah Sosialisasi Politik, karena keduanya memiliki
makna yang hampir sama. Dengan kata lain, sosialisasi politik adalah pendidikan
politik dalam arti sempit.
Ramlan Surbakti menekankan, bahwa dalam memberikan pendidikan politik
harus dijelaskan terlebih dahulu mengenai sosialisasi politik. Sosialisasi politik
dibagi dua yaitu pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Pendidikan politik
merupakan suatu proses dialogik diantara pemberi dan penerima pesan. Melalui
proses ini para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-
norma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem politik
seperti sekolah, pemerintah, dan partai politik.
Pendapat di atas secara tersirat menyatakan bahwa pendidikan politik
merupakan bagian dari sosialisasi politik. Pendidikan politik mengajarkan
masyarakat untuk lebih mengenal sistem politik negaranya. Dapat dikatakan bahwa
sosialisasi politik adalah proses pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota
masyarakat. Melalui proses sosialisasi politik inilah para anggota masyarakat
memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang berlangsung dalam
masyarakat.
David Easton dan Jack Dennis (Suwarma Al Muchtar, 2000:39) dalam
bukunya Children in the Political System memberikan batasan mengenai
politicalsosialization yaitu bahwa "Political sosialization is development process
which persons acquire arientation and paterns of behaviour”. Sedangkan Fred I.
Greenstain (Suwarma Al Ntuchtar, 2000:39) dalam bukunya Political Socialization
berpendapat bahwa: Political sosialization is all political learning formal and
informal, delibrete and unplanne, at every stage of the life cycle inchiding not only
explicit political tearning but also nominally nonpolitical learning of political lie
relevant social attitudes and the acquistion of politically relevant personality
characteristics.
Kedua pendapat di atas mengungkapkan bahwa pendidikan politik adalah
suatu bentuk pendidikan yang dijalankan secara terencana dan disengaja baik dalam
bentuk formal maupun informal yang mencoba untuk mengajarkan kepada setiap
individu agar sikap dan perbuatannya dapat sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku
secara sosial. Dalam hal ini dapat terlihat bahwa pendidikan politik tidak hanya
mempelajari sikap dan tingkah laku individu, namun pendidikan politik mencoba
untuk mengaitkan sikap dan tingkah laku individu tersebut dengan stabilitas dan
eksistensi sistem politik.
Kartini Kartono (1990:vii) memberikan pendapatnya tentang hubungan
antara pendidikan dengan politik yaitu "pendidikan dilihat sebagai faktor politik dan
kekuatan politik. Sebabnya, pendidikan dan sekolah pada hakekatnya juga
merupakan pencerminan dari kekuatan-kekuatan sosial-politik yang tengah berkuasa,
dan merupakan refleksi dari orde penguasa yang ada".
Berdasarkan pendapat di atas, dapat kita ketahui bahwa pendidikan dan
politik adalah dua unsur yang saling mempengaruhi. Pengembangan sistem
pendidikan harus selalu berada dalam kerangka sistem politik yang sedang dijalankan
oleh pemerintahan masa itu. Oleh karena itu segala permasalahan yang terjadi di
dunia pendidikan akan berubah menjadi permasalahan politik pada saat pemerintah
dilibatkan untuk memecahkannya.
Pengertian dari pendidikan politik yang lebih spesifik dapat diambil dari
pendapatnya Alfian (1981:235) yang mengatakan bahwa:"pendidikan politik dapat
diartikan sebagai usaha yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik
masyarakat sehingga mereka rnemahami dan menghayati betul nilai-nilai yang
terkandung dalam sistem politik yang ideal yang hendak dibangun".
Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial
politik di suatu negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya
bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara.
Lebih dari itu, keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi.
Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam
membentuk perilaku politik masyarakat di negara tersebut. Begitu juga sebaliknya,
lembaga-lembaga dan proses politik di suatu negara membawa dampak besar pada
karakteristik pendidikan yang ada di negara tersebut.
Pemaparan di atas telah menggambarkan secara jelas bahwa terdapat
hubungan yang erat dan dinamis antara pendidikan dan politik di setiap negara.
Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal
perkembangan peradaban manusia dan menarik perhatian banyak kalangan.
Di Indonesia, kepedulian terhadap hubungan pendidikan dan politik sudah
mulai berkembang dalam wacana publik. Walaupun belum menjadi satu bidang
kajian akademik. Publikasi berbagai seminar ataupun diskusi yang mengangkat tema
tentang pendidikan dan politik masih kurang terdengar. Andaipun ada, fokus
bahasannya belum begitu menyentuh aspek-aspek substantif hubungan politik dan
pendidikan, hanya masih di seputar aspek-aspek ideologis politik pendidikan.
Walaupun demikian, keyakinan akan adanya hubungan yang tak terpisahkan antara
politik dan pendidikan sudah mulai terbentuk.
Mochtar Buchori (M. Shirozi, 2005:30) mengemukakan bahwa terdapat
beberapa pemikiran yang mendukung mulai berkembangnya kesadaran masyarakat
terhadap hubungan antara pendidikan dan politik yaitu:
Pertama, adanya kesadaran tentang hubungan yang erat antara pendidikan dan
politik. Kedua, adanya kesadaran akan peran penting pendidikan dalam menentukan
corak dan arah kehidupan politik. Ketiga, adanya kesadaran akan pentingnya
pemahaman tentang hubungan antara pendidikan dan politik. Keempat, diperlukan
pemahaman yang lebih luas tentang politik. Kelima, pentingnya pendidikan
kewarganegaraan (civic education).
Penjelasan Muchtar Buchori di atas menggambarkan suatu keyakinan
terhadap hubungan erat antara pendidikan dan politik. Terdapat keyakinan yang
sangant kuat bahwa melalui pendidikan dapat menghasilkan pemimpin politik yang
berkualitas.
Paparan penjelasan di atas, pada akhirnya dapat menimbulkan satu pertanyaan
mengenai hubungan pendidikan dengan politik. Akankah politik harus memasuki
wilayah pendidikan untuk menjalankan fungsi dan tujuannya dan juga sebaliknya?
Melalui pendidikan seorang siswa akan paham secara tidak langsung mengenai seluk
beluk politik. Begitu pula sebaliknya, bahwa dunia politik adalah salah satu sarana untuk
rnengaplikasikan berbagai ilmu yang telah didapat siswa melalui dunia pendidikan. Para
siswa tidak dapat acuh tak acuh terhadap segala sesuatu yang terjadi di luar dunia
sekolahnya.
Dari dua definisi yang tertera di atas, dapat kita ambil dua tujuan utama
yang dimiliki oleh pendidikan politik. Pertama, dengan adanya pendidikan politik
diharapkan setiap individu dapat mengenal dan memahami nilai-nilai ideal yang
terkandung dalam sistem politik yang sedang diterapkan. Kedua, bahwa dengan
adanya pendidikan politik setiap individu tidak hanya sekedar tahu saja tapi juga
lebih jauh dapat menjadi seorang warga negara yang memiliki kesadaran politik
untuk mampu mengemban tanggung jawab yang ditunjukkan dengan adanya
perubahan sikap dan peningkatan kadar partisipasi dalam dunia politik. Rusadi
Kartaprawira (1988:54) mengartikan pendidikan politik sebagai "upaya untuk
meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara
maksimal dalam sistem politiknya."
Berdasarkan pendapat Rusadi Kartaprawira tersebut, maka pendidikan
politik perlu dilaksanakan secara berkesinambungan agar masyarakat dapat terus
meningkatkan pemahamannya terhadap dunia politik yang selalu mengalami
perkembangan. Pembelajaran pendidikan politik yang berkesinambungan diperlukan
mengingat masalah-masalah di bidang politik sangat kompleks, bersegi banyak, dan
berubah-ubah.

B. Politik dan Etika Sebagai Sumber Inspirasi Etika Politik Kewarganegaraan


Etika berasal dari bahasa Yunani ethos, yang berarti tempat tinggal yang biasa,
padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; watak; perasaan, sikap, cara berpikir. dalam
bentuk jamak ta etha artinya adat kebiasaan. Dalam arti terakhir inilah terbentuknya
istilah etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika
berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Ada
juga kata moral dari bahasa Latin yang artinya sama dengan etika.
Secara istilah etika memunyai tiga arti: pertama, nilai-nilai dan norma-norma
moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya. Arti ini bisa disebut sistem nilai. Misalnya etika Protestan, etika Islam,
etika suku Indoan. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral (kode etik).
Misalnya kode etik kedokteran, kode etik peneliti, dll. Ketiga, etika berati ilmu tentang
yang baik atau buruk. Etika menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis menjadi
bahan refleksi bagi suau penelitian sistematis dan metodis. Di sini sama artinya dengan
filsafat moral.
Amoral berarti tidak berkaitan dengan moral, netral etis. Immoral berarti tidak
bermoral, tidak etis. Etika berbeda dengan etiket. Yang terakhir ini berasal dari kata
Inggris etiquette, yang berarti sopan santun. Perbedaan keduanya cukup tajam, antara
lain: etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan, etika menunjukkan norma
tentang perbuatan itu. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, etika berlaku baik baik saat
sendiri maupun dalam kaitannya dengan lingkup sosial. etiket bersifat relatif, tergantung
pada kebudayaan, etika lebih absolut. Etiket hanya berkaitan dengan segi lahiriyah, etika
menyangkut segi batiniah.
Moralitas merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, menjadi ciri
yang membedakan manusia dari binatang. Pada binatang tidak ada kesadaran tentang
baik dan buruk, yang boleh dan yang dilarang, tentang yang harus dan tidak pantas
dilakukan. Keharusan memunyai dua macam arti: keharusan alamiah (terjadi dengan
sendirinya sesuai hukum alam) dan keharusan moral (hukum yang mewajibkan manusia
melakukan atau tidak melakukan sesuatu).
Kata “politik” berasal dari bahasa Yunani polis yang artinya “kota” atau
“negara” dan teta yang berarti “urusan”. Kata “politik” pertama kali digunakan oleh
Aristoteles yang awalnya disebut zoon politikon. Kemudian arti itu berkembang menjadi
polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan
negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti
kewarganegaraan. Dengan demikian, politik berarti urusan negara atau pemerintahan.
Secara konsep, kata politik itu sendiri masih berhubungan dengan kata polisi.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-
macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses
menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.
Pengambilan keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari
sistem politik itu menyangkut seleksi terhadap beberapa alternatif dan penyusunan skala
prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih. Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-
tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang
menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari
sumber-sumber (resources) yang ada. Untuk bisa berperan aktif melaksanakan
kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority)
yang akan digunakan baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan
konflik yang mungkin timbul dalam proses itu. Cara-cara yang digunakan dapat bersifat
meyakinkan (persuasive) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur
paksaan, kebijakan itu hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent)
belaka.
Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang
dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar
di lingkungan kekuasaan negara atau tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh
penguasa negara. Dalam beberapa aspek kehidupan, manusia sering melakukan tindakan
politik, baik politik dagang, budaya, sosial, maupun dalam aspek kehidupan lainnya.
Demikianlah politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public
goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Politik menyangkut kegiatan
berbagai kelompok, termasuk partai politik dan kegiatan-kegiatan perseorangan
(individu).
Dinamika masyarakat untuk berpolitik merupakan penanda kehidupan manusia
untuk mendapatkan kedudukan dan memperjuangkan aspirasinya. Fakta tersebut dapat
dipahami karena manusia adalah zoon politicon. Zoon Politicon merupakan sebuah
istilah yang digunakan oleh Aristoteles untuk menyebut makhluk sosial. Kata Zoon
Politicon merupakan padanan kata dari kata Zoon yang berarti "hewan" dan kata
politicon yang berarti "bermasyarakat". Secara harfiah Zoon Politicon berarti hewan
yang bermasyarakat. Dalam pendapat ini, Aristoteles menerangkan bahwa manusia
dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain, sebuah hal yang
membedakan manusia dengan hewan.
Sedangkan menurut Adam Smith, ia menyebut istilah mahkluk sosial dengan
Homo Homini socius, yang berarti manusia menjadi sahabat bagi manusia lainnya.
Bahkan, Adam Smith menyebut manusia sebagai makhluk ekonomi (homo economicus),
makhluk yang cenderung tidak pernah merasa puas dengan apa yang diperolehnya dan
selalu berusaha secara terus menerus dalam memenuhi kebutuhannya. Sedangkan
Thomas Hobbes menggunakan istilah Homini Lupus untuk menyebut manusia sebagai
makhluk sosial, yang berarti manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia lainnnya.
Antara etika dan politik dapat dilihat dari dua kemungkinan. Kemungkinan
pertama, etika dan politik sebagai kesatuan konsep yang menghasilkan definisi praktis,
yaitu bagaimana seseorang dalam berpolitik mempunyai etika, bagaimana masyarakat
diberi pemahaman bahwa untuk mempengaruhi masyarakat agar mengetahui dan
memahami program-program politiknya, diperlukan cara santun dan terhormat. Cara-
cara yang dipergunakan politisi perlu berpedoman pada etika yang berlaku di tengah
masyarakat. Untuk mendapatkan kekuasaan, misalnya menjadi calon anggota legislatif,
politisi perlu memahami sampai batas mana cara-cara tersebut dapat dipergunakan.
Politisi perlu menghindari cara-cara yang mendegradasikan kehormatan politik,
misalnya penggunaan politik uang, intimidasi, memberikan janji palsu, dan cara negatif
lain.
Kemungkinan kedua, antara etika dan politik perlu ditempatkan sebagai dua
bidang yang berbeda dengan struktur dan paradigma yang seimbang. Artinya, di kedua
bidang (etika dan politik) mempunyai paradigma struktur keilmuan, yaitu ontologis,
epistemologis, dan aksiologis.

C. Model Pembelajaran Pendidikan Politik dan Etika Kewarganegaraan


Memang perlu dipahami bersama bahwa etika politik khususnya pendidikan
etika politik perlu diberikan kepada siswa, di level sekolah dasar sampai perguruan
tinggi dengan harapan peserta didik mempunyai pemahaman, wawasan, dan sikap
kedewasaan dalam mencermati dinamika aktivitas manusia dalam mendapatkan dan
mengelola kekuasaan dalam perspektif mereka sebagai warga negara. Adapun jika
peserta didik kelak menjadi politisi, dapat mengeimplementasikan aktivitas berpolitik
secara terhormat. Untuk itu perlu model pembelajaran yang tepat agar kegiatan
pembelajaran tersebut tepat sasaran. Tentu saja akan berbeda wujud kegiatan
pembelajaran pada siswa SD dengan SMP, apalagi dengan siswa SMA dan mahasiswa.
Model pembelajaran diartikan sebagai prosedur sistematis dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Dapat juga diartikan suatu
pendekatan yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Model pembelajaran
merupakan serangkaian perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran yang
dapat diterapkan oleh guru dalam kegiatan pembelajaran yang mendasarkan pada teori-
teori pendidikan yang berlaku. Jadi, sebenarnya model pembelajaran memiliki arti yang
sama dengan pendekatan, strategi atau metode pembelajaran. Saat ini telah banyak
dikembangkan berbagai macam model pembelajaran, dari yang sederhana sampai model
yang agak kompleks dan rumit karena memerlukan banyak alat bantu dalam
penerapannya.
Ada beberapa ciri-ciri model pembelajaran secara khusus diantaranya adalah,
yaitu a) rasional teoritik yang logis yangdisusun oleh para pencipta atau
pengembangnya, b) landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar, c)
tingkah laku mengajar yang diperlukanagar model tersebut dapat dilaksanakandengan
berhasil, dan lingkungan belajar yang duperlukanagar tujuan pembelajaran dapat
tercapai.
Sedangkan model pembelajaran menurut Kardi dan Nur ada lima model
pemblajaran yang dapat digunakan dalam mengelola pembelajaran, yaitu: pembelajaran
langsung; pembelajaran kooperatif; pembelajaran berdasarkan masalah; diskusi; dan
learning strategi.
Untuk membelajarkan materi etika politik, diperlukan model pembelajaran
yang dianggap cocok. Penentuan tersebut penting karena tidak semua model
pembelajaran cocok diterapkan dalam pembelajaran dengan materi etika politik. Seorang
guru harus mampu memilih model pembelajaran yang tepat bagi peserta didik. Karena
itu dalam memilih model pembelajaran, guru harus memperhatikan keadaan atau kondisi
siswa, bahan pelajaran serta sumber-sumber belajar yang ada agar penggunaan model
pembelajaran dapat diterapkan secara efektif dan menunjang keberhasilan belajar siswa.
Guru diharapkan memiliki motivasi dan semangat pembaharuan dalam proses
pembelajaran yang dijalaninya. Menurut Sardiman A. M. (2004:165), guru yang
kompeten adalah guru yang mampu mengelola program belajar-mengajar. Mengelola di
sini memiliki arti yang luas yang menyangkut bagaimana seorang guru mampu
menguasai keterampilan dasar mengajar, seperti membuka dan menutup pelajaran,
menjelaskan, menvariasi media, bertanya, memberi penguatan, dan sebagainya, juga
bagaimana guru menerapkan strategi, teori belajar dan pembelajaran, dan melaksanakan
pembelajaran yang kondusif. Pendapat serupa dikemukakan oleh Colin Marsh (1996:
10) yang menyatakan bahwa guru harus memiliki kompetensi mengajar, memotivasi
peserta didik, membuat model instruksional, mengelola kelas, berkomunikasi,
merencanakan pembelajaran, dan mengevaluasi. Semua kompetensi tersebut mendukung
keberhasilan guru dalam mengajar. Setiap guru harus memiliki kompetensi adaptif
terhadap setiap perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan di bidang pendidikan,
baik yang menyangkut perbaikan kualitas pembelajaran maupun segala hal yang
berkaitan dengan peningkatan prestasi belajar peserta didiknya.
Dalam pembelajaran etika politik, salah satu model pembelajaran yang bisa
saya laksanakan adalah dengan menerapkan pembelajaran saintifik berkarakter.
Maksudnya adalah bahwa pembelajaran yang menurut saya layak dilaksanakan adalah
melaksanakan proses pembelajaran yang ditandai dengan pembelajaran yang
menerapkan prinsip-prinsip saintifik khas ilmu-ilmu sosial untuk mendorong munculnya
keterampilan sosial. Keterampilan sosial tersebut dapat dikerucutkan lagi menjadi
keterampilan dalam mengelola informasi.
Ada beberapa pertimbangan, mengapa pembelajaran saintifik layak diterapkan
dalam pembelajaran etika politik:
1. Siswa perlu mendapatkan informasi yang benar tentang konsep politik dan etika
dalam berpolitik. Informasi benar yang dimaksud adalah informasi tentang definisi
politik dan definisi etika dari berbagai pendapat para ahli sehingga siswa
mempunyai pemahaman tentang apa itu politik dan apa itu etika politik.
2. Siswa adalah warga negara yang diharapkan punya peran aktif dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, sehingga sejak dini harus mempunyai sikap positif
sebagai warga negara. Perlu diketahui bahwa tujuan pendidikan IPS adalah agar
siswa menjadi warga negara yang baik, dan pendidikan etika politik
kewarganegaraan merupakan rumpun pendidikan IPS yang mendorong peserta didik
menjadi warga negara yang baik dengan segala hak dan kewajiban.
3. Dalam kegiatan akademik, peserta didik perlu dilatih untuk mendapatkan informasi
yang baik melalui sumber-sumber informasi yang dapat dipertanggungjawabkan,
baik itu buku, majalah, koran, internet, dan sumber lain yang relevan sehingga pada
ahirnya peserta didik dapat membedakan mana informasi yang baik dan mana
informasi yang tidak sesuai dalam kegiatan pembelajaran.
4. Siswa perlu dilatih bagaimana mereka memilih dan menyeleksi informasi-informasi
tersebut untuk mengkonstruk pengetahuan mereka sehingga peserta didik dapat
mendefinisikan pengertian politik, dan etika sesuai dengan bahasa mereka masing-
masing. Dengan demikian, pemahaman dan wawasan peserta didik betul-betul
mencerminkan sebagai warga negara yang baik.
5. Melalui pembelajaran tersebut, peserta didik mampu berinteraksi dan
berkomunikasi dengan sesama peserta didik melalui diskusi, menseleksi informasi,
membagi tugas, menngkomunikasikan dengan peserta didik lain. Kelas adalah ruang
bersama untuk sama-sama belajar, bukan kumpulan individu yang belajar. Dengan
cara tersebut peserta didik akan terbiasa bekerja sama dalam suka dan duka. Itulah
esensi dari pendidikan etika politik kewarganegaraan yang diharapkan
menumbuhkan sikap-sikap positif warga negara.

D. Contoh Lesson plan Model Pendidikan Politik dan Kewarganegaraan


Berikut ini adalah tawaran contoh rencana pembelajaran model pendidikan
politik dan kewarganegaraan pada mata pelajaran IPS kelas VII.
Kompetensi Dasar
3.3. Memahami jenis-jenis kelembagaan sosial, budaya, ekonomi, dan politik dalam
masyarakat.
4.2. Menghasilkan gagasan kreatif untuk memahami jenis-jenis lembaga sosial,
budaya, ekonomi, dan politik di lingkungan masyarakat sekitar
Indikator
1. Memahami kehidupan dan etika dalam politik dalam kehidupan berbangsa di
Indonesia
2. Memberikan contoh-contoh partai politik dalam kehidupan politik di Indonesia
Skenario
Kegiatan awal/pendahuluan (10’)
1. Guru mengucap salam dilanjutkan memperkenalkan diri, mempresensi siswa
2. Guru menanyakan kondisi siswa, kemudian senantiasa mengajak siswa agar
mensyukuri nikmat Tuhan yang diterima, dan selalu berdoa agar diberi
perlindungan. Guru juga mengajak siswa berdoa agar Bangsa Indonesia secepatnya
dijauhkan dari musibah.
3. Guru menyampaikan beberapa pertanyaan seputar keragaman budaya Indonesia,
termasuk keragaman partai politik di Indonesia, kemudian guru menyampaikan
tujuan pembelajaran.
Kegiatan inti (70’)
4. Guru menyampaikan keragaman partai politik di Indonesia
5. Siswa dibagi menjadi 7 kelompok
6. Setiap kelompok menerima sumber informasi dan lembar kerja dengan pembagian:
 Kelompok 1 dan 4 menerima sumber informasi tentang partai politik
berbasis agama di Indonesia
 Kelompok 2 dan 5 menerima sumber informasi tentang fungsi partai politik
 Kelompok 3 dan 6 menerima sumber informasi tentang dinamika partai
politik di Indonesia.
7. Siswa secara berkelompok mengamati sumber informasi yang diterima, kemudian
mendiskusikannya untuk mendapatkan informasi tentang partai politik di Indonesia.
8. Hasil diskusi siswa menghasilkan produk pengetahuan kehidupan partai politik di
Indonesia.
9. Siswa mengkomunikasikan pengetahuan dan pemahaman tentang partai politik
melalui presentasi
10. Guru memberikan tambahan informasi tentang partai politik dan menambahkan
perlunya etika dalam mewujudkan kehidupan politik yang beretika dan bermartabat
11. Secara berkelompok siswa menganalisis sumber informasi tentang keragaman partai
politik Indonesia dengan mengajukan pertanyaan yang beraitan dengan sumber
informasi tersebut.
12. Siswa mengimplementasikan gagasan kreatif dengan menganalisis pertanyaan yang
telah ditentukan secara berkelompok untuk mencari solusi yang bisa dilakukan,
dengan mengandaikan jika siswa menjadi ketua partai politik
13. Hasil analisis solusi seorang ketua partai politik kemudian dikomunikasikan
melalui presentasi hasil.
14. Siswa melakukan kunjung karya.
15. Siswa kembali ke tempat duduk masing-masing

Kegiatan penutup (10’)


16. Guru memberi penguatan tentang partai politik
17. Guru bersama siswa menyimpulkan hasil pembelajaran
18. Guru mengajak siswa mensyukuri keragaman budaya Indonesia sebagai bentuk
kekayaan, termasuk keragaman partai politik dengan menghormati dan menghargai
keragaman tersebut.
19. Siswa menyusun refleksi
20. Guru menutup pelajaran

E. Penutup
Pendidikan IPS mempunyai tanggungjawab yang sangat besar untuk
meyakinkan siswa bahwa setiap kebaikan akan menghasilkan tatanan positif di dalam
masyarakat, dan sebaliknya. Meskipun hal ini sepele, sangan penting ditekankan sebagai
dasar menanamkan nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari Pancasila, agama, dan
budaya bangsa untuk mewujudkan negara yang sejahtera. Tanggungjawab tersebut
sangat berat mengingat sering terjadi teori-teori yang diajarkan tentang kebaikan dan
nilai-nilai yang harus dilaksanakan dan dilestarikan harus berhadapan dengan fakta-fakta
sosial yang merobohkan bangunan-bangunan nilai-nilai kebaikan yang diajarkan kepada
siswa. Siswa lebih sering mendengar kasus-kasus yang mementahkan ajaran-ajaran
nilai-nilai kebaikan yang diajarkan oleh gurunya, termasuk bagaimana proses politik
berseliweran dalam ruang-ruang kehidupan masyarakat, khususnya siswa. Dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa para guru IPS pada hakekatnya sedang berjuang dan
berjihad dalam mebentuk karakter siswa-siswanya.

Anda mungkin juga menyukai