Anda di halaman 1dari 355

Penyelenggaraan

Pilkada
Serentak
2015 dan 2017
Penyelenggaraan

Pilkada
Serentak
2015 dan 2017
Penyelenggaraan
Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Jakarta, Komisi Pemilihan Umum, 2017

Pengarah
Juri Ardiantoro
Sigit Pamungkas
Arief Budiman
Ida Budhiati
Ferry Kurnia Rizkiyansyah
Hadar Nafis Gumay
Hasyim Asyari

Penanggung Jawab
1. Arif Rahman Hakim
2. Purwoto Ruslan Hidayat

Penyusun
1. Masykurudin Hafidz
2. Usep Hasan Sadikin

Editor
Harun Husein

Data dan Informasi


Tim Sekretariat Jenderal KPU RI

Desain dan Tata Letak:


1. Muhamad Ali Imron
2. Sarjono

Diterbitkan Oleh:
Komisi Pemilihan Umum
Jln. Imam Bonjol No. 29 Jakarta 10310
PENYELENGGARAAN
Telp. 021- 31937223, Faks. 021-3157759
ii Pilkada Serentak 2015 dan 2017
www.kpu.go.id
Sambutan
Ketua KPU RI

U
Assalamualaikum Warrahmatullah Wabarrakatuh,

ndang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara


Pemilihan Umum menjelaskan bahwa Pemilihan Umum
(Pemilu) adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat
yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan KPU adalah lembaga Penyelenggara Pemilu
yang bersifat nasional, tetap dan mandiri yang bertugas melaksanakan
Pemilu.
Alhamdulillah segala puji Kehadirat Allah Subhanahu wa Taala,
Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan hidayah-Nya, Komisioner
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia Periode Tahun 2012
s.d. 2017 telah mendapatkan karunia, rahmat dan ridho-Nya, sehingga
dapat menyelesaikan tugas dan masa bakti sebagai penyelenggara
Pemilihan Umum di KPU Pusat sesuai waktu yang ditetapkan.
Sebagai rekam jejak akan Pemilu yang dilaksanakan selama tahun
2012 s.d. 2017, KPU RI mempersembahkan Buku 5 Tahun Kinerja

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 iii
KPU, yaitu 5 (lima) buah buku dengan judul : Penyelenggaraan
Pemilu Legislatif 2014, Penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden 2014, Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2015 dan 2017,
Inovasi Pemilu : Mengatasi Tantangan, Memanfaatkan Peluang
dan Untuk Indonesia yang Demokratis: Pemilu Dalam Foto. Kelima
buku ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari tolak
ukur keberhasilan dan kinerja serta akuntabilitas atas pelaksanaan tugas
Komisioner KPU RI Periode 2012 s.d. 2017.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seluruh pihak yang
telah mendukung suksesnya penyelenggaraan Pemilu dari tahun 2012
s.d 2017. Selanjutnya, ungkapan terima kasih kami sampaikan pula
kepada seluruh tim penyusun Buku 5 Tahun Kinerja KPU.

Wassalamualaikum Warrahmatulahh Wabarakatuh.

Ketua Komisi Pemilihan Umum


Republik Indonesia

Juri Ardiantoro

PENYELENGGARAAN
iv Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Sekapur Sirih

K
PU Periode 2012-2017 telah mengemban amanat untuk
melaksanakan pilkada pada tahun 2012, 2013 dan Pilkada
serentak Tahun 2015 dan 2017. Tugas ini dilaksanakan
disamping melaksanakan tugas utama sebagai
penyelenggara pemilu DPR, DPD, DPRD dan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden Tahun 2014. Dalam rentang waktu lima tahun, praktis tidak ada
waktu yang kosong untuk bekerja mempersiapan dan melaksanakan
agenda-agenda kepemiluan tersebut.
Amanat Undang-undang No. 8 Tahun 2015 dan UU No 10 Tahun 2016
telah mengamanatkan bahwa pelaksanan pilkada mulai diserentakan
secara bertahap; yakni Pilkada serentak tahun 215 diikuti oleh 269
daerah; Pilkada 2017 diikuti oleh 101 daerah, pilkada 2018 diikuti oleh
171 daerah dan akan diserentakan secara nasional pada tahun 2024.
Keserentakan ini sebagai evaluasi dari pelaksanaan pilkada langsung
yang dilakukan 2005, dimana pilkada dilaksanakan atau dijadualkan
secara parsial sesuai dengan berakhirnya masa jabatan setiap kepala
daerah. Pilkada secara parsial dinilai memboroskan anggaran, politik
yang tidak stabil secara berkepanjangan dan berujunga pada konflik
yang berkepanjangan, dan membuat sistem pemerintahan tidak berjalan

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 v
efektif karena tidak kongkruen dengan wakaatau pemilihan DPR/DPD/
DPRD dan pemilihan presiden dan wakil presiden.
Ada banyak yang bisa dicatat tentang pelaksanaan pilkada ini.
Pertama, mengenai konstruksi hukum penyelenggaraannya. Sejak
awal pelaksanaan pilkada diperdebatkan mengenai kedudukannya,
apakah termasuk dalam rezim pemilu atau rezim pemerintahan
daerah. Perdebatan ini mempengaruhi juga posisi dan peran KPU yang
dalam konstitusi dan UU dinyatakan sebagai lembaga yang bertugas
melaksanakan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan
mandiri. Maka, tidak heran jika kemudian KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kab/Kota diposisikan sebagai lembaga yang diberi tugas tambahan
sebagai penyelenggara pilkada, sebagaimana ditegaskan dalam UU No.
8 Tahun 2015, Pasal 1 angka 7.
Pengertian ini pula yang membuat perdebatan mengenai pengertian
pemilihan gubernur, bupati dan walikota secara demokratis tidak hanya
dimaknai sebagai pemilihan langsung, tetapi juga dapat dimaknai
sebagai pemilihan oleh DPRD. Implikasi ikutan lainnya dalari masalah
ini adalah mengenai kedudukan. Dan, banyak lagi catatan mengenai
dasar hukum pelaksanaan pilkada ini.
Kedua, mengenai penyelenggaraannya itu sendiri. Secara umum
pilkada berlangsung lancar dan aman, melampaui banyak kekhawatiran
berbagai kalangan. Ada banyak keberhasilan sebagai bagian dari usaha
penguatan demokrasi (lokal). Sementara, tidak sedikit pula catatan
kelemahan yang harus diperbaiki. Dan ketiga, adalah mengenai dinamika
politik yang berkembang secara luas di luar penyelenggaraan dari relasi
dan peran stakeholders pilkada: antara KPU/KPU Provinsi/Kab/Kota
dan penyelenggara sampai tingkat bawah dengan Bawaslu/Bawaslu
Provinsi/Panwas hingga aparat penyelenggara samapai tingkat bawah,
pemerintah (pusat dan daerah), DPR/DPRD, partai politik, kandidat,
aparat keamanan, aparat penegakan hukum dan masyarakat.
Betapapun telah melaksanakan pilkada sejak tahun 2012, buku ini
lebih memfokuskan pada gambaran dan catatan pelaksaan Pilkada
Serentak 2015 dan 2017 sebagai bagian dari pertanggungjawaban kerja
KPU Periode 2012-2017 dengan seluruh jajaran. Kenapa hanya dua

PENYELENGGARAAN
vi Pilkada Serentak 2015 dan 2017
pilkada serentak saja? Disamping KPU telah mendokumentasikan
pelaksaan setiap pelaksanaan pilkada ditambah lagi banyak pihak
yang melakukan hal yang sama, dan dalam pilkaa serentak inilah kita
perlu memikirkan secara serius format pilkada ke depan dalam konteks
keserentakan dengan tujuan untuk semakin memperkuat demokrasi
dan menjadikan demokrasi semakin berkualita sebagai jalan masyarakat
(lokal) memperbaiki kehiduapnnya secara nyata.
Pilkada 2015 dan 2017 pun membuktikan kami bekerja serta berhasil
sebagai tim, baik komisioner maupun sekretarisat. Melalui salah satu
buku ini kami ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan
kepada seluruh penyelenggara pilkada seluruh negeri ini atas dedikasi
dan pengorbanan yang tak terhingga sehingga dapat mempersembahkan
pilkada yang berkualita. Berbagai hambatan dapat dihadapi dengan
baik, mulai dari usaha intervensi, ancaman, teror dan bahkan tidak
kekerasan yang dialamai oleh sebagai penyelenggara di beberapa
daerah, dengan tentu saja tidak melupakan beberapa penyelenggara
yang masih belum/tidak tidak profesional dan rendah intergritas.
Oleh karena itu, di bagian akhir pengantar buku ini, saya mewakili
KPU 2012-2017 ingin menyampaikan permohonan maaf kepada semua
pihak terutama seluruh masyarakat Indonesia jika dalam periode
kami, terutama dalam memfasilitasi pelaksanaan pilkada masih ada
kekurangan-kekurangan. Semoga, Buku Pilkada ini bisa menjadi bagian
dari evaluasi dan rekomendasi keberlanjutan pemilu dan demokrasi
Indonesia yang lebih baik.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 vii
PENYELENGGARAAN
viii Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Daftar Isi

SAMBUTANKETUA KPU RI............................................................. iii


SEKAPUR SIRIH .............................................................................. v
DAFTAR ISI .............................................................................. ix
DAFTAR TABEL .............................................................................. xiii
DAFTAR GRAFIS .............................................................................. xxi

A. Pendahuluan: Marwah Kemandirian KPU


dalam Keserentakan Pilkada............................. 1

BAB 1:
KONSEPSI PILKADA......................................................................... 3
1.1. Pilkada Langsung versus tak Langsung.............................. 5
1.2. Maksud Keserentakan dan Posisi KPU.................................... 8

BAB 2:
PILKADA SERENTAK TRANSISI................................................... 11
2.1. Tantangan Partisipasi Pemilih................................................... 33

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 ix
2.2. Soal Anggaran.............................................................................. 34
2.3. Kewenangan Alat Peraga........................................................... 38
2.4. Pasangan Calon Tunggal............................................................ 39
2.5. Sengketa Hasil.............................................................................. 40
2.6. Ancaman Kemandirian KPU..................................................... 41

BAB 3:
BUKU PENGHUBUNG PEMILU SERENTAK TRANSISI.......... 43
3.1. Metode, Teknik Pengumpulan Data, dan Sistematika Bab....... 64

B. Persiapan Penyelenggaraan Pilkada:


Komitmen Efisiensi, Partisipasi, dan
Kemandirian......................................................... 71

BAB 4:
ANGGARAN PILKADA..................................................................... 73
4.1. Efisiensi sebagai Tujuan Keserentakan..................................... 74
4.2. Dari APBN ke APBD................................................................... 78
4.2.1. Terancam Tertunda karena APBD tak Siap................ 81
4.3. Objektivitas Anggaran Pilkada Sumir...................................... 82
4.3.1. Intervensi Petahana yang Kembali Mencalonkan Diri 86
4.4. Serentak yang tak Serentak........................................................ 98
4.4.1 Bertambah Mahal Karena Kewenangan
Alat Peraga...................................................................... 101
4.5. Menuju Pemilu yang Efektif dan Efisien................................. 103
4.5.1. APBN Sebagai Konsekuensi Keserentakan................ 107
4.5.2. Konsekuensi Konstitusional KPU Nasional............... 108

PENYELENGGARAAN
x Pilkada Serentak 2015 dan 2017
BAB 5:
REKRUTMEN PENYELENGGARA................................................. 111
5.1. Tanggung Jawab Sebagai The Dream Team............................... 112
5.2. Afirmasi Perempuan Penyelenggara Pemilu.......................... 115
5.3. Tak Boleh Tiga Kali Berturut-tutur Jadi Panitia...................... 125
5.4. Menurunkan Syarat Usia Panitia.............................................. 127
5.5. Duka di Suasana Fitri dan Pergantian Ketua KPU................. 129

BAB 6:
PERATURAN KPU: MENJAMIN KEMANDIRIAN KPU DAN
KESERENTAKAN PILKADA............................................................ 131
6.1. Kemandirian dan Konsultasi Mengikat................................... 132
6.2. Paslon Tunggal Versus Setuju-Tidak Setuju........................ 134
6.3. Keprihatinan Kepengurusan Ganda Partai Politik................. 136
6.4. Mengatur yang Istimewa dan yang Khusus................... 138
6.4.1. Orang Aceh...................................................................... 139
6.4.2. Orang Asli Papua........................................................... 141
6.4.3. Kampanye, Cuti, dan Profesionalitas KPU DKI........ 143

C. Penyelenggaraan Pilkada: Memastikan Pesta


Demokrasi Lokal yang Bebas dan Adil........... 147

BAB 7:
PENDAFTARAN PEMILIH................................................................ 149
7.1. Prinsip Pendaftaran Pemilih...................................................... 150
7.2. Permasalahan Pendaftaran Pemilih.......................................... 152
7.2.1. Masalah Pengertian Pemilih......................................... 152
7.2.2. Masalah Data Dasar....................................................... 154
7.3. Demi Kepuasan Pasangan Calon.............................................. 156
7.4. Disabilitas dalam DPT................................................................ 158

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 xi
7.4.1. Keterangan Pemilih Disabilitas di DPT...................... 158
7.4.2. PKPU Pembela Disabilitas Mental/Psikososial......... 159
7.5. Daftar Pemilih Akurat untuk Menjamin Hak Memilih......... 161
7.5.1. DPT Pemilu Terakhir dan Data Penduduk BPS......... 161
7.5.2. Single Identity Number (SIN)....................................... 162
7.5.3. Menyederhanakan Pemilih....................................... 162
7.5.4. Keterangan Disabilitas Mental/Psikososial............... 164

BAB 8
PRODUKSI DAN DISTRIBUSI LOGISTIK................................... 165
8.1. Memastikan Produksi dan Logistik Sesuai Prinsip................ 166
8.1.1. Kendali Mutu Standar Logistik Pilkada..................... 166
8.1.2. Distribusi Logistik di Tengah Cuaca Buruk............... 173

BAB 9:
PENDAFTARAN BAKAL PASANGAN CALON.......................... 177
9.1. Perdebatan Uji Publik................................................................. 183
9.1.1. Mengapa Uji Publik?...................................................... 183
9.1.2. Dari Seremonial ke Substansial.................................... 185
9.2. Celah Politik Dinasti................................................................... 187
9.2.1 Politik Dinasti dan Korupsi.......................................... 187
9.2.2. Ditutup UU, Dibuka MK............................................... 194
9.2.3. Politik Dinasti Pascaputusan MK................................ 198
9.3. Kewajiban Mundur Legislator................................................... 203
9.3.1. Siasati Putusan MK........................................................ 203
9.3.2. Anggota DPR Wajib Mundur....................................... 207

PENYELENGGARAAN
xii Pilkada Serentak 2015 dan 2017
BAB 10:
PENETAPAN PASANGAN CALON................................................. 209
10.1. Rakyat, Calon, dan Partai........................................................... 212
10.1.1. Representasi Rakyat dalam Tahapan Pencalonan..... 212
10.1.2. Demokratisasi Calon Tunggal...................................... 216
10.2. Mengukur Kualitas Calon.......................................................... 227
10.2.1. Calon Tersangkut Kasus Hukum................................. 227
10.2.2. Calon dari Partai Bersengketa...................................... 232

BAB 11
KAMPANYE DAN DANA KAMPANYE......................................... 237
11.1. Masih Soal Akumulatif Kampanye....................................... 238
11.1.1. Kampanye SARA di pemilu.......................................... 239
11.1.2. Kampanye di tempat ibadah dan pendidikan........... 242
11.2. Dana Kampanye........................................................................... 245
11.2.1. Menciptakan Ruang Setara........................................... 252

BAB 12
MASA TENANG .............................................................................. 255
12.1. Operasi Senyap Politik Uang..................................................... 257
12.1.1. Serangan Fajar dan Bentuk-bentuk Lain
Politik Uang..................................................................... 257
12.1.2. Ikhtiar Menekan Politik Uang...................................... 260

BAB 13
PEMUNGUTAN DAN PENGHITUNGAN SUARA..................... 263
13.1. Teknologi di Sekitar Pemungutan, Penghitungan, dan
Rekapitulasi Suara....................................................................... 265
13.1.1. Dilema Pemungutan Suara Elektronik........................ 265
13.1.2. Rekapitulasi Elektronik................................................. 269

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 xiii
13.2. Jaminan Hak Memilih................................................................. 274
13.2.1. KTP Elektronik Sebagai Syarat Memilih..................... 274
13.2.2. Melayani Pemilih dengan KTP Elektronik................. 278

BAB 14
PENETAPAN HASIL............................................................................ 283
14.1. Sengketa Hasil.............................................................................. 285
14.1.1. Pemutus Sengketa Hasil Pilkada................................. 285
14.1.2. Mencari Keadilan di Sengketa Pilkada....................... 288
14.2. Pemerintahan Hasil Pilkada....................................................... 291
14.2.1. Pemerintahan Terbelah.................................................. 291
14.2.2. Pemerintahan Terputus................................................. 296

BAB 15
PARTISIPASI......................................................................................... 307
15.1. Mengakselerasi Partisipasi Pemilih........................................... 311
15.1.1. Strategi Mencapai Target............................................... 311
15.1.2. Menyeriusi Pemilih dengan Disabilitas...................... 315
15.2. Tumbuh Kembang Kerelawanan Politik.................................. 319
15.2.1. Dari Keterbukaan KPU.................................................. 319
15.2.2. Relawan Politik Penyokong Peserta Pemilu.............. 322

DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 325

PENYELENGGARAAN
xiv Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Daftar Tabel

Tabel 1: Jumlah Daerah di Indonesia............................................... 11


Tabel 2: Yang Pilkada 2015................................................................. 12
Tabel 3: Yang Pilkada 2017................................................................. 12
Tabel 4: Yang Pilkada 2018................................................................. 12
Tabel 5: Daftar 269 Daerah yang Pilkada 2015............................... 12
Tabel 6: Daftar 101 Daerah yang Pilkada 2017............................... 22
Tabel 7: Daftar 171 Daerah yang Pilkada 2018............................... 26
Tabel 8: Target dan Realisasi Partisipasi Pemilih Pilkada 2015
dan 2017 ................................................................................ 34
Tabel 9: Besar Anggaran per Pemilih pada Provinsi yang
Melaksanakan Pilkada 2015................................................ 83
Tabel 10: Besar Anggaran per Pemilih pada Provinsi yang
Melaksanakan Pilkada 2017................................................ 83
Tabel 11: Lima Daerah dalam Pilkada 2015 yang Paling Tinggi
Anggaran per Pemilihnya................................................... 85

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 xv
Tabel 12: Lima Daerah dalam Pilkada 2015 yang Paling Rendah
Anggaran per Pemilihnya................................................... 85
Tabel 13: Lima Daerah dalam Pilkada 2017 yang Paling Tinggi
Anggaran per Pemilihnya................................................... 86
Tabel 14: Lima Daerah dalam Pilkada 2017 yang Paling Rendah
Anggaran per Pemilihnya................................................... 86
Tabel 15: Pilkada Serentak 2015 yang Petahananya
Mencalonkan Diri dan Menyetujui Anggaran
100 Persen atau Lebih (Korelasi Petahana dan
Anggaran Pilkada 2015)...................................................... 88
Tabel 16: Pilkada Serentak 2017 yang Petahananya Mencalonkan
Diri dan Menyetujui Anggaran 100 Persen atau Lebih
(Korelasi Petahana dan Anggaran Pilkada 2017)............. 96
Tabel 17: Anggaran Pilkada Serentak 2015 di Provinsi dan
Kabupaten/Kota di Sumatera Barat.................................. 99
Tabel 18: Anggaran Pilkada Serentak 2015 di Provinsi dan
Kabupaten/Kota di Aceh.................................................... 100
Tabel 19: Gambaran Persentase Anggaran Alat Peraga
Pilkada 2015.......................................................................... 102
Tabel 20: Partisipasi Pemilih di Pilkada dengan Alokasi Anggaran
Alat Peraga Tinggi................................................................ 102
Tabel 21: Perolehan Suara Calon Anggota KPU dalam
Periode 2012-2017 dalam Fit and Proper Test DPR......... 112
Tabel 22: Perbandingan Syarat Calon Kepala Daerah
di UU 1/2015, UU 8/2015, dan UU 10/2016.................... 179
Tabel 23: Rekapitulasi Pasangan Calon Pendaftar
Pilkada 2015 dan 2017.......................................................... 182

PENYELENGGARAAN
xvi Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Tabel 24: Daftar Dinasti Politik di Indonesia.................................... 189
Tabel 25: Daftar Calon Kepala Daerah Pilkada 2015
yang Mempunyai Hubungan Darah dengan Petahana.. 197
Tabel 26: Daftar Calon Kepala Daerah Pilkada 2017 yang
Mempunyai Hubungan Daerah dengan Petahana......... 199
Tabel 27: Jumlah Paslon yang Memenuhi Syarat Penetapan
dengan Pekerjaan Sebagai Legislator pada Pilkada
2015 dan 2017........................................................................ 208
Tabel 28: Rekapitulasi Jumlah Calon Kepala Daerah pada
Pilkada 2015 dan 2017.......................................................... 210
Tabel 29: Rekapitulasi Jumlah Calon Kepala Daerah pada
Pilkada 2015 dan 2017 Berdasarkan Jenis Kelamin......... 211
Tabel 30: Daftar Daerah yang Menunda Pemungutan Suara
pada Pilkada 2015................................................................. 228
Tabel 31: Empat Fase Pembagian Politik Uang................................ 259
Tabel 32: Perbandingan Jumlah Pengguna Hak Pilih dengan
Total Suara Sah dan Tidak Sah........................................... 270
Tabel 33: Perbandingan Jumlah Pengguna Total Perolehan Suara
Seluruh Calon dengan Suara Sah ...................................... 271
Tabel 34: Jumlah TPS pada Provinsi yang Melaksanakan
Pilkada 2017.......................................................................... 272
Tabel 35: Gubernur, Partai Koalisi, dan Persentase Kursi
Koalisi Hasil Pilkada 2015................................................... 292
Tabel 36: Gubernur, Partai Koalisi, dan Persentase Kursi
Koalisi Hasil Pilkada 2017................................................... 293
Tabel 37: Kepala Daerah Terpilih, Partai Koalisi, dan Keselarasan
Koalisi dengan Pusat di Provinsi Hasil Pilkada 2015..... 298

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 xvii
Tabel 38: Kepala Daerah Terpilih, Partai Koalisi, dan Keselarasan
Koalisi dengan Pusat di Provinsi Hasil Pilkada 2017..... 299
Tabel 39: Perbandingan Koalisi Provinsi dan Kabupaten/
Kota Hasil Pilkada 2015....................................................... 301
Tabel 40: Perbandingan Koalisi Provinsi dan Kabupaten/
Kota Hasil Pilkada 2017....................................................... 302
Tabel 41: Pengelompokan Jenis Partisipasi Berdasar Manfaatnya 309
Tabel 42: Target dan Realisasi Partisipasi Pemilih Pilkada 2015 dan
2017 ................................................................................ 313
Tabel 43: Daftar Daerah dengan Tingkat Partisipasi Pemilih
Tertinggi dalam Pilkada 2015............................................. 313

PENYELENGGARAAN
xviii Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Daftar Gambar

Gambar 1: Gerakan Turun ke Jalan Mendukung


Pilkada Langsung............................................................. 4
Gambar 2: Fragmentasi Partai Parlemen Nasional......................... 46
Gambar 3: Fragmentasi DPRD Provinsi Sumatera Barat
2014-2019............................................................................ 46
Gambar 4: Fragmentasi DPRD Provinsi Kepulauan Riau
2014-2019............................................................................ 47
Gambar 5: Fragmentasi DPRD Provinsi Jambi 2014-2019.............. 48
Gambar 6: Fragmentasi DPRD Provinsi Bengkulu 2014-2019....... 49
Gambar 7: Fragmentasi DPRD Provinsi Kalimantan Tengah
2014-2019............................................................................ 49
Gambar 8: Fragmentasi DPRD Kalimantan Selatan 2014-2019..... 50
Gambar 9: Fragmentasi DPRD Provinsi Sulawesi Utara
2014-2019............................................................................ 51
Gambar 10: Fragmentasi DPRD Provinsi Sulawesi Tengah
2014-2019............................................................................ 52
Gambar 11: Fragmentasi DPRD Provinsi Aceh 2014-2019............... 53

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 xix
Gambar 12: Fragmentasi DPRD Kepulauan Bangka Belitung
2014-2019............................................................................ 54
Gambar 13: Fragmentasi DPRD Provinsi Banten 2014-2019............ 55
Gambar 14: Fragmentasi DPRD Provinsi DKI Jakarta 2014-2019... 56
Gambar 15: Fragmentasi DPRD Provinsi Gorontalo 2014-2019...... 57
Gambar 16: Fragmentasi DPRD Provinsi Sulawesi Barat
2014-2019............................................................................ 58
Gambar 17: Fragmentasi DPRD Provinsi Papua Barat
2014-2019............................................................................ 59
Gambar 18: Perbandingan Laki-laki dan Perempuan
Anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota.............. 116
Gambar 19: Dalil Permohonan Sengketa Hasil Pilkada
Serentak 2015..................................................................... 157
Gambar 20: Partai dan Jumlah Pasangan Calon yang Diusung
pada Pilkada 2017............................................................. 214
Gambar 21: Desain Surat Suara Pilkada 2015 dengan Satu
Pasang Calon..................................................................... 221
Gambar 22: Desain Surat Suara Pilkada 2017 dengan Satu Pasang
Calon ................................................................................ 222

PENYELENGGARAAN
xx Pilkada Serentak 2015 dan 2017
A. Pendahuluan:

Marwah
Kemandirian
KPU dalam
Keserentakan
Pilkada

PENYELENGGARAAN
Pilkada 2015 dan 2017 1
PENYELENGGARAAN
2 Pilkada 2015 dan 2017
1

Konsepsi Pilkada

S
ebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah (pilkada),
Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2012-2017
menghadapi setidaknya dua tantangan besar. Pertama, KPU
menjadi pelaksana keinginan dan kepercayaan publik untuk
mempertahankan keberhasilan pilkada langsung. Kedua, pada masa
kepemimpinan KPU periode 2012-2017, untuk pertama kalinya digelar
pilkada serentak.
Dalam hal tantangan pertama, KPU bertanggung jawab membuktikan
bahwa pilkada langsung yang merupakan hasil perjuangan rakyat,
merupakan pesta demokrasi yang tepat dan dibutuhkan masyarakat.
Sebab, kegagalan menyelenggarakanya, akan memunculkan kembali
tuduhan dari pihak yang mengendaki kepala daerah dipilih DPRD,
bahwa pilkada langsung merupakan metode pemilihan yang boros,
penuh kecurangan, serta mendorong konflik dan kekerasan. Artinya,
dalam suasana sentimental diskursus pilkada langsung dan tak
langsung, mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD bisa
dimaknai sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap KPU sebagai
penyelenggara pilkada.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 3
GAMBAR 1: GERAKAN TURUN KE JALAN MENDUKUNG PILKADA
LANGSUNG

PENYELENGGARAAN
4 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Sedangkan soal tantangan kedua, KPU harus menyelenggarakan
pilkada serentak dalam kondisi kekurangsiapan regulasi. UU No 1/2015
tentang Penetapan Perppu No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang, memang telah
direvisi menjadi UU No 8/2015. Namun, revisi terbatas tersebut masih
bersemangat asal pilkada langsung.
Padahal, keberhasilan penyelenggaraan pilkada serentak ini
sangat penting, untuk membuat ringkas jadwal pesta demokrasi di
Indonesia. Sebab, selama ini, pilkada hampir digelar setiap bulan,
yang berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Pakar pemilu, Ramlan
Surbakti, sering berkelakar soal jadwal pilkada yang masih berserak itu,
dengan ungkapan tiada hari tanpa pilkada. Sesuatu yang menguras
energi rakyat, termasuk para pakar yang senantiasa harus mencermati
perkembangan pilkada.

1.1 PILKADA LANGSUNG VERSUS TAK LANGSUNG


Pilkada langsung yang sudah dipraktikkan sejak tahun 2005, menjadi
tak langsung setelah DPR periode 2009-2014, di akhir masa jabatannya,
mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada yang di
dalamnya mengatur kepala daerah dipilih oleh DPRD. Alasannya,
pilkada langsung mahal di ongkos baik secara ekonomi, sosial, maupun
politik. Sudah demikian, pilkada langsung dianggap lebih sering
menghasilkan kepala daerah yang tak tak seiring dengan perencanaan
pembangunan nasional.
Sejak proses pembahasan RUU pilkada hingga pengesahannya
dalam rapat paripurna DPR, mendapat protes keras dari masyarakat.
Para pegiat pemilu dan demokrasi pun menggalang koalisi untuk
menolak pengembalian pemilihan kepala daerah ke DPRD. Karena,
menilai pengembalian pemilihan kepala daerah ke DPRD merupakan
langkah mundur yang berlawanan dengan semangat reformasi. Sebab,
setidaknya ada dua momen penting yang menjadi sebab kepala daerah

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 5
dipilih langsung. Pertama, pemilu presiden pertama pada 2004. Kedua,
otonomi daerah. Penerapan pemilihan pemimpin eksekutif secara
langsung di tataran nasional mendorong diterapkannya pemilihan
pemimpin eksekutif lokal secara langsung sebagai bagian perwujudan
otonomi daerah.
Memang, pengaturan pemilihan kepala daerah dalam konstitusi tak
setegas pemilihan presiden, anggota DPR/DPRD, dan anggota DPD.
Sebab, Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menyatakan Gubernur, Bupati, dan
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten,
dan kota dipilih secara demokratis.
Makna frasa dipilih secara demokratis dalam konstitusi tersebut,
tak pelak menjadi perebutan kubu pendukung pilkada langsung
maupun pilkada tak langsung. Berikut sejumlah pendapat yang
kemudian muncul ke permukaan:
Pertama, kepala daerah dipilih secara langsung di semua daerah
kecuali daerah istimewa atau khusus. Contoh pengecualian
adalah Daerah Istimewa Yogyakarta yang dalam dikonteks
provinsi kepemimpinannya berdasar garis keturunan Sultan.
Demikian pula dengan beberapa daerah di Provinsi Papua Barat
dan Papua, yang melalui sistem pemilihan Noken.
Pendapat itu memahami, konstitusi berkeinginan menuliskan
kepala daerah dipilih secara langsung melalui pemilu. Tapi,
perumus konstitusi sadar ada daerah yang pemilihan kepala
daerahnya tak melalui pemilu, sehingga agar praktik ini tak
inkonstitusional kalimat langsung melalui pemilu diubah
menjadi dipilih secara demokratis.
Kedua, frase dipilih secara demokratis adalah kepala daerah
dipilih secara tak langsung. Alasannya, pemilihan kepala daerah
merupakan bagian dari rezim regulasi pemerintahan daerah,
bukan rezim pemilu. Konsekuensinya, pemilihan kepala daerah
tak melibatkan Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga
penyelenggara pemilu. Mereka menafsirkan frase dipilih secara
demokratis sebagai pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
Ketiga, kepala daerah dipilih secara langsung untuk tingkat

PENYELENGGARAAN
6 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
kabupaten/kota. Gubernur sebagai perwujudan pemerintahan
nasional di provinsi, ditunjuk oleh Presiden melalui Kementerian
Dalam Negeri. Pemaknaan ini dinilai sebagai perwujudan utuh
NKRI yang menerapkan otonomi daerah.
Keempat, kepala daerah bisa diubah cara pemilihannya. Kepala
daerah bisa dipilih langsung, bisa juga dipilih tak langsung
melalui DPRD, sistem Noken, (keturunan) Kesultanan, atau yang
lainnya. Sehingga, makna dipilih secara demokratis dalam
pemilihan kepala daerah, penerapannya disesuaikan dengan
keadaan politik masing-masing daerah.

Di tengah banyaknya perdebatan tersebut --termasuk di internal


DPR-- RUU Pilkada disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 26
September 2014, melalui proses pemungutan suara (voting). Hasilnya,
sebanyak 226 anggota DPR menghendaki pilkada tak langsung melalui
DPRD, dan hanya 135 orang yang menginginkan pilkada langsung.
Proses voting tersebut hanya diikuti 361 anggota DPR, karena sebagian
fraksi melakukan walk out.
Setelah RUU Pilkada tersebut disetujui rapat paripurna, perdebatan
pilkada langsung versus tak langsung tetap tak mereda, bahkan semakin
semarak. Karena kuatnya tekanan publik, dua pekan sebelum masa
jabatannya berakhir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya
menerbitkan Perppu No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota.
DPR periode 2014-2019 kemudian mengesahkan Perppu No 1/2014
menjadi undang-undang yang kemudian menjadi UU No 1/2015--
pada rapat paripurna 20 Januari 2015. Selain pilkada melempangkan
jalan digelarnya pilkada langsung, UU No 1/2015 juga berhasil membuat
pengaturan pilkada serentak, yang gelombang pertamanya dijadwalkan
digelar pada akhir 2015.
Meski demikian, pengaturan pilkada langsung dalam UU No 1/2015
ini masih asal langsung. Tak heran bila sesaat setelah Perppu Nomor
1/2015 disetujui menjadi undang-undang, langsung berkembang
wacana untuk melakukan revisi terhadap pengaturan dalam undang-

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 7
undang yang sudah disetujui. Sebuah revisi terbatas yang diharapkan
tidak lagi membahas soal prinsip pilkada langsung dan tak langsung.
Revisi terbatas terhadap UU No 1/2015 tersebut kemudian berhasil
dilakukan. Hasil revisi itu menjadi UU No 8/2015 tentang Perubahan
Atas UU No 1/2015 tentang Penetapan Perppu No 1/2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU, yang resmi
diundangkan pada 18 Maret 2015.
KPU pun kemudian harus cepat menyesuaikan diri dengan regulasi
yang baru tersebut, antara lain dengan membuat sejumlah peraturan
KPU (PKPU) dalam waktu singkat, karena jadwal, tahapan, dan program
pilkada serentak gelombang pertama sudah di depan mata.

1.2. MAKSUD KESERENTAKAN DAN POSISI KPU


Kenapa pilkada diserentakkan? Pertanyaan ini sama pentingnya dan
berkait dengan pertanyaan, kenapa pilkada dibuat langsung? Kedua
pertanyaan ini beserta jawaban yang tepat menjadi penting untuk bisa
menempatkan KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Pemilihan langsung merupakan konsekuensi dari Indonesia yang
sejak reformasi bertransisi dari negara penganut presidensialisme rasa
parlementer, karena antara lain presiden dipilih oleh MPR, menjadi
negara yang menganut presidensialisme yang lebih murni. Amandemen
konstitusi juga membentuk penyelenggara pemilu KPU yang bersifat
nasional, tetap, dan mandiri, yang merupakan pembenahan atas kondisi
sebelumnya, di mana pemilu diselenggarakan KPU yang berada di
bawah Kementerian Dalam Negeri.
Setelah pemilihan presiden dibuat langsung, yang diterapkan
pertama kali pada tahun 2004, pemilihan kepala daerah pun juga dibuat
langsung melalui UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pilkada
langsung pertama dilaksanakan sejak tahun 2005. Namun, pilkada
langsung serentak dalam skala nasional baru dilaksanakan pada 2015
atau sepuluh tahun kemudian.
Mengapa pemilu dan pilkada perlu dibuat serentak, agar jadwalnya

PENYELENGGARAAN
8 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
tidak berserak. Jadwal yang berserak ini, menambah kompleksitas
pemilu Indonesia. Padahal, tanpa variabel jadwal berserak pun,
pemilu Indonesia merupakan salah satu yang terkompleks di dunia.
Kompleksitas itu masih ditambah pula dengan regulasi kepemiluan
yang berserak.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 9
PENYELENGGARAAN
10 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
2

Pilkada Serentak Transisi

P
ilkada serentak 2015, 2017, dan 2018 merupakan pilkada
serentak transisi. Tiga gelombang penyelenggaraan pesta
demokrasi lokal ini bertujuan menyamakan siklus pilkada
dan periode pemerintahan kepala daerah se-Indonesia.
Berdasar perhitungan masa jabatan kepala daerah tingkat provinsi
dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia, Kementerian Dalam Negeri
membagi jumlah daerah pilkada serentak gelombang pertama di 269
daerah, gelombang kedua di 101 daerah, dan gelombang ketiga di 172
daerah.

TABEL 1: JUMLAH DAERAH DI INDONESIA


DAERAH PILKADA JUMLAH
Provinsi 33
Kota 93
Kabupaten 416
542

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 11
TABEL 2: YANG PILKADA 2015
PILKADA 2015 JUMLAH
Provinsi 9
Kota 36
Kabupaten 224
269

TABEL 3: YANG PILKADA 2017


PILKADA 2017 JUMLAH
Provinsi 7
Kota 18
Kabupaten 76
101

TABEL 4: YANG PILKADA 2018


PILKADA 2018 JUMLAH
Provinsi 17
Kota 39
Kabupaten 116
172

TABEL 5: DAFTAR 269 DAERAH YANG PILKADA 2015

NO PROVINSI DAERAH PILKADA


1 SUMATERA UTARA 1. KABUPATEN ASAHAN
2 2. KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN
3 3. KABUPATEN KARO
4 4. KABUPATEN LABUHANBATU
5 5. KABUPATEN LABUHANBATU SELATAN
6 6. KABUPATEN LABUHANBATU UTARA
7 7. KABUPATEN MANDAILING NATAL
8 8. KABUPATEN NIAS

PENYELENGGARAAN
12 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
9 9. KABUPATEN NIAS BARAT
10 10. KABUPATEN NIAS SELATAN
11 11. KABUPATEN NIAS UTARA
12 12. KABUPATEN PAKPAK BHARAT
13 13. KABUPATEN SAMOSIR
14 14. KABUPATEN SIMALUNGUN
15 15. KABUPATEN SERDANG BEGADAI
16 16. KABUPATEN TAPANULI SELATAN
17 17. KABUPATEN TOBA SAMOSIR
18 18. KOTA BINJAI
19 19. KOTA GUNUNG SITOLI
20 20. KOTA MEDAN
21 21. KOTA PEMATANGSIANTAR
22 22. KOTA SIBOLGA
23 23. KOTA TANJUNG BALAI
24 SUMATERA BARAT PROVINSI SUMATERA BARAT
25 1. KABUPATEN AGAM
26 2. KABUPATEN DHARMASRAYA
27 3. KABUPATEN LIMA PULUH KOTA
28 4. KABUPATEN PADANG PARIAMAN
29 5. KABUPATEN PASAMAN
30 6. KABUPATEN PASAMAN BARAT
31 7. KABUPATEN PESISIR SELATAN
32 8. KABUPATEN SIJUNJUNG
33 9. KABUPATEN SOLOK
34 10. KABUPATEN SOLOK SELATAN
35 11. KABUPATEN TANAH DATAR
36 12. KOTA BUKITTINGGI

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 13
37 13. KOTA SOLOK
38 RIAU 1. KABUPATEN BENGKALIS
39 2. KABUPATEN INDRAGIRI HULU
40 3. KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI
41 4. KABUPATEN KUATAN SINGINGI
42 5. KABUPATEN PELALAWAN
43 6. KABUPATEN ROKAN HILIR
44 7. KABUPATEN ROKAN HULU
45 8. KABUPATEN SIAK
46 9. KOTA DUMAI
47 JAMBI PROVINSI JAMBI
48 1. KABUPATEN BATANGHARI
49 2. KABUPATEN BUNGO
50 3. KABUPATEN TANJUNGJABUNG BARAT
51 4. KABUPATEN TANJUNGJABUNG TIMUR
52 5. KOTA SUNGAI PENUH
53 SUMATERA SELATAN 1. KABUPATEN MUSI RAWAS
54 2. KABUPATEN MUSI RAWAS UTARA
3. KABUPATEN PENUNGKAL ABAB LEMATANG ILIR
55
UTARA
56 4. KABUPATEN OGAN ILIR
57 5. KABUPATEN OGAN KOMERING HULU
58 6. KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN
59 7. KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR
60 BENGKULU PROVINSI BENGKULU
61 1. KABUPATEN BENGKULU SELATAN
62 2. KABUPATEN BENGKULU UTARA
63 3. KABUPATEN KAUR

PENYELENGGARAAN
14 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
64 4. KABUPATEN KEPAHIANG
65 5. KABUPATEN LEBONG
66 6. KABUPATEN MUKOMUKO
67 7. KABUPATEN REJANG LEBONG
68 8. KABUPATEN SELUMA
69 LAMPUNG 1. KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
70 2. KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
71 3. KABUPATEN LAMPUNG TIMUR
72 4. KABUPATEN PESAWARAN
73 5. KABUPATEN PESISIR BARAT
74 6. KABUPATEN WAY KANAN
75 7. KOTA BANDAR LAMPUNG
76 8. KOTA METRO
77 KEP. BANGKA BELITUNG 1. KABUPATEN BANGKA BARAT
78 2. KABUPATEN BANGKA TENGAH
79 3. KABUPATEN BANGKA SELATAN
80 4. KABUPATEN BELITUNG TIMUR
81 KEP. RIAU PROVINSI KEPULAUAN RIAU
82 1. KABUPATEN BINTAN
83 2. KABUPATEN KARIMUN
84 3. KABUPATEN LINGGA
85 4. KABUPATEN NATUNA
86 5. KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS
87 6. KOTA BATAM
88 JAWA BARAT 1. KABUPATEN BANDUNG
89 2. KABUPATEN CIANJUR
90 3. KABUPATEN INDRAMAYU
91 4. KABUPATEN KARAWANG

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 15
92 5. KABUPATEN PANGANDARAN
93 6. KABUPATEN SUKABUMI
94 7. KABUPATEN TASIKMALAYA
95 8. KOTA DEPOK
96 JAWA TENGAH 1. KABUPATEN BLORA
97 2. KABUPATEN BOYOLALI
98 3. KABUPATEN DEMAK
99 4. KABUPATEN GROBOGAN
100 5. KABUPATEN KEBUMEN
101 6. KABUPATEN KENDAL
102 7. KABUPATEN KLATEN
103 8. KABUPATEN PEKALONGAN
104 9. KABUPATEN PEMALANG
105 10. KABUPATEN PURBALINGGA
106 11. KABUPATEN PURWOREJO
107 12. KABUPATEN REMBANG
108 13. KABUPATEN SEMARANG
109 14. KABUPATEN SRAGEN
110 15. KABUPATEN SUKOHARJO
111 16. KABUPATEN WONOGIRI
112 17. KABUPATEN WONOSOBO
113 18. KOTA MAGELANG
114 19. KOTA PEKALONGAN
115 20. KOTA SEMARANG
116 21. KOTA SURAKARTA
117 DI YOGYAKARTA 1. KABUPATEN BANTUL
118 2. KABUPATEN GUNUNG KIDUL
119 3. KABUPATEN SLEMAN

PENYELENGGARAAN
16 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
120 JAWA TIMUR 1. KABUPATEN BANYUWANGI
121 2. KABUPATEN BLITAR
122 3. KABUPATEN GRESIK
123 4. KABUPATEN JEMBER
124 5. KABUPATEN KEDIRI
125 6. KABUPATEN LAMONGAN
126 7. KABUPATEN MALANG
127 8. KABUPATEN MOJOKERTO
128 9. KABUPATEN NGAWI
129 10. KABUPATEN PACITAN
130 11. KABUPATEN PONOROGO
131 12. KABUPATEN SIDOARJO
132 13. KABUPATEN SITUBONDO
133 14. KABUPATEN SUMENEP
134 15. KABUPATEN TRENGGALEK
135 16. KABUPATEN TUBAN
136 17. KOTA BLITAR
137 18. KOTA PASURUAN
138 19. KOTA SURABAYA
139 BANTEN 1. KABUPATEN PANDEGLANG
140 2. KABUPATEN SERANG
141 3. KOTA CILEGON
142 4. KOTA TANGERANG SELATAN
143 BALI 1. KABUPATEN BADUNG
144 2. KABUPATEN BANGLI
145 3. KABUPATEN JEMBRANA
146 4. KABUPATEN KARANG ASEM
147 5. KABUPATEN TABANAN

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 17
148 6. KOTA DENPASAR
149 NUSA TENGGARA BARAT 1. KABUPATEN BIMA
150 2. KABUPATEN DOMPU
151 3. KABUPATEN LOMBOK TENGAH
152 4. KABUPATEN LOMBOK UTARA
153 5. KABUPATEN SUMBAWA
154 6. KABUPATEN SUMBAWA BARAT
155 7. KOTA MATARAM
156 NUSA TENGGARA TIMUR 1. KABUPATEN BELU
157 2. KABUPATEN MALAKA
158 3. KABUPATEN MANGGARAI
159 4. KABUPATEN MANGGARAI BARAT
160 5. KABUPATEN NGADA
161 6. KABUPATEN SABU RAIJUA
162 7. KABUPATEN SUMBA BARAT
163 8. KABUPATEN SUMBA TIMUR
164 9. KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA
165 KALIMANTAN BARAT 1. KABUPATEN BENGKAYANG
166 2. KABUPATEN KAPUAS HULU
167 3. KABUPATEN KETAPANG
168 4. KABUPATEN MELAWI
169 5. KABUPATEN SAMBAS
170 6. KABUPATEN SEKADAU
171 7. KABUPATEN SINTANG
172 KALIMANTAN TENGAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
173 1. KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR
174 KALIMANTAN SELATAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
175 1. KABUPATEN BALANGAN

PENYELENGGARAAN
18 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
176 2. KABUPATEN BANJAR
177 3. KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH
178 4. KABUPATEN KOTABARU
179 5. KABUPATEN TANAH BUMBU
180 6. KOTA BANJARBARU
181 7. KOTA BANJARMASIN
182 KALIMANTAN TIMUR 1. KABUPATEN BERAU
183 2. KABUPATEN KUTAI BARAT
184 3. KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA
185 4. KABUPATEN KUTAI TIMUR
186 5. KABUPATEN MAHAKAM ULU
187 6. KABUPATEN PASER
188 7. KOTA BALIKPAPAN
189 8. KOTA BONTANG
190 9. KOTA SAMARINDA
191 KALIMANTAN UTARA PROVINSI KALIMANTAN UTARA
192 1. KABUPATEN BULUNGAN
193 2. KABUPATEN MALINAU
194 3. KABUPATEN NUNUKAN
195 4. KABUPATEN TANA TIDUNG
196 SULAWESI UTARA PROVINSI SULAWESI UTARA
197 1. KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW SELATAN
198 2. KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW TIMUR
199 3. KABUPATEN MINAHASA SELATAN
200 4. KABUPATEN MINAHASA UTARA
201 5. KOTA BITUNG
202 6. KOTA MANADO
203 7. KOTA TOMOHON

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 19
204 SULAWESI TENGAH PROVINSI SULAWESI TENGAH
205 1. KABUPATEN BANGGAI
206 2. KABUPATEN BANGGAI LAUT
207 3. KABUPATEN MOROWALI UTARA
208 4. KABUPATEN POSO
209 5. KABUPATEN SIGI
210 6. KABUPATEN TOJO UNA-UNA
211 7. KABUPATEN TOLI-TOLI
212 8. KOTA PALU
213 SULAWESI SELATAN 1. KABUPATEN BARRU
214 2. KABUPATEN BULUKUMBA
215 3. KABUPATEN GOWA
216 4. KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR
217 5. KABUPATEN LUWU TIMUR
218 6. KABUPATEN LUWU UTARA
219 7. KABUPATEN MAROS
220 8. KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN
221 9. KABUPATEN SOPPENG
222 10. KABUPATEN TANA TORAJA
223 11. KABUPATEN TORAJA UTARA
224 SULAWESI TENGGARA 1. KABUPATEN BUTON UTARA
225 2. KABUPATEN KOLAKA TIMUR
226 3. KABUPATEN KONAWE KEPULAUAN
227 4. KABUPATEN KONAWE SELATAN
228 5. KABUPATEN KONAWE UTARA
229 6. KABUPATEN MUNA
230 7. KABUPATEN WAKATOBI
231 GORONTALO 1. KABUPATEN BONE BOLANGO

PENYELENGGARAAN
20 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
232 2. KABUPATEN GORONTALO
233 3. KABUPATEN POHUWATO
234 SULAWESI BARAT 1. KABUPATEN MAJENE
235 2. KABUPATEN MAMUJU
236 3. KABUPATEN MAMUJU TENGAH
237 4. KABUPATEN MAMUJU UTARA
238 MALUKU 1. KABUPATEN BURU SELATAN
239 2. KABUPATEN KEPULAUAN ARU
240 3. KABUPATEN MALUKU BARAT DAYA
241 4. KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR
242 MALUKU UTARA 1. KABUPATEN HALMAHERA BARAT
243 2. KABUPATEN HALMAHERA SELATAN
244 3. KABUPATEN HALMAHERA TIMUR
245 4. KABUPATEN HALMAHERA UTARA
246 5. KABUPATEN KEPULAUAN SULA
247 6. KABUPATEN PULAU TALIABU
248 7. KOTA TERNATE
249 8. KOTA TIDORE KEPULAUAN
250 PAPUA 1. KABUPATEN ASMAT
251 2. KABUPATEN BOVEN DIGOEL
252 3. KABUPATEN KEEROM
253 4. KABUPATEN MEMBRAMO RAYA
254 5. KABUPATEN MERAUKE
255 6. KABUPATEN NABIRE
256 7. KABUPATEN PEGUNUNGAN BINTANG
257 8. KABUPATEN SUPIORI
258 9. KABUPATEN YAHUKIMO
259 10. KABUPATEN YALIMO

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 21
260 11. KABUPATEN WAROFEN
261 PAPUA BARAT 1. KABUPATEN FAKFAK
262 2. KABUPATEN KAIMANA
263 3. KABUPATEN MANOKWARI
264 4. KABUPATEN MANOKWARI SELATAN
265 5. KABUPATEN PEGUNUNGAN ARFAK
266 6. KABUPATEN RAJA AMPAT
267 7. KABUPATEN SORONG SELATAN
268 8. KABUPATEN TELUK BINTUNI
269 9. KABUPATEN TELUK WONDAMA

TABEL 6: DAFTAR 101 DAERAH YANG PILKADA 2017

NO PROVINSI DAERAH PILKADA


1 ACEH PROVINSI ACEH 25/06/2017
2 1 KOTA BANDA ACEH 04/07/2017
3 2 KOTA LHOKSEUMAWE 05/07/2017
4 3 KOTA LANGSA 27/08/2017
5 4 KOTA SABAN 17/09/2017

6 5 KAB. ACEH BESAR 03/07/2017

7 6 KAB. ACEH UTARA 05/07/2017

8 7 KAB. ACEH TIMUR 06/07/2017

9 8 KAB. ACEH JAYA 09/07/2017

10 9 KAB. BENER MERIAH 11/07/2017

11 10 KAB. PIDIE 12/07/2017

12 11 KAB. SIMEULUE 16/07/2017

13 12 KAB. ACEH SINGKIL 17/07/2017

14 13 KAB. BIREUEN 06/08/2017


15 14 KAB. ACEH BRT DAYA 13/08/2017

PENYELENGGARAAN
22 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
16 15 KAB. ACEH TENGGARA 24/09/2017
17 16 KAB. GAYO LUES 25/09/2017
18 17 KAB. ACEH BARAT 08/10/2017
19 18 KAB. NAGAN RAYA 08/10/2017
20 19 KAB. ACEH TENGAH 27/12/2017
21 20 KAB. ACEH TAMIANG 28/12/2017
22 SUMATERA UTARA 24 KOTA TEBINGTINGGI 05/08/2016
23 25 KAB. TAPANULI TENGAH 09/08/2016
24 SUMATERA BARAT 14 KOTA PAYAKUMBUH 23/09/2017
25 15 KAB. KEP. MENTAWAI 05/12/2016
26 RIAU 10 KOTA PEKANBARU 26/01/2017
27 11 KAB. KAMPAR 11/12/2016
28 JAMBI 6 KAB. MUARO JAMBI 19/07/2016
29 7 KAB. SAROLANGUN 31/07/2016
30 8 KAB. TEBO 08/09/2016
31 SUMATERA SELATAN 8 KAB. MUSI BANYUASIN 16/01/2017
32 BENGKULU 9 KAB. BENGKULU TENGAH 17/04/2017
33 LAMPUNG 9 KAB. TULANG BAWANG BARAT 14/11/2016
34 10 KAB. PRINGSEWU 23/11/2016
35 11 KAB. MESUJI 13/04/2017
36 12 KAB. LAMPUNG BARAT 10/12/2017
37 13 KAB. TULANG BAWANG 17/12/2017
38 KEP. BANGKA BELITUNG PROVINSI KEP. BANGKA BELITUNG 07/05/2017
39 BANTEN PROVINSI BANTEN 11/1/2017
40 DKI JAKARTA PROVINSI DKI JAKARTA 15/10/2017
41 JAWA BARAT 9 KOTA CIMAHI 19/10/2017
42 10 KOTA TASIKMALAYA 14/11/2017
43 11 KAB. BEKASI 14/05/2017

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 23
44 JAWA TENGAH 22 KOTA SALATIGA 11/07/2016
45 23 KAB. BANJARNEGARA 18/10/2016
46 24 KAB. BATANG 13/02/2017
47 25 KAB. JEPARA 10/04/2017
48 26 KAB. PATI 07/08/2017
49 27 KAB. CILACAP 19/11/2017
50 28 KAB. BREBES 04/12/2017
51 DIY 4 KOTA YOGYAKARTA 20/12/2016
52 5 KAB. KULON PROGO 24/08/2016
53 JAWA TIMUR 20 KOTA BATU 26/12/2017
54 BALI 7 KAB. BULELENG 24/07/2017
55 NTT 10 KOTA KUPANG 01/08/2017
56 11 KAB. FLORES TIMUR 26/07/2016
57 12 KAB. LEMBATA 25/08/2016
58 KALIMANTAN BARAT 8 KOTA SINGKAWANG 17/12/2017
59 9 KAB. LANDAK 06/09/2016
60 KALIMANTAN TENGAH 2 KAB. BARITO SELATAN 19/09/2016
61 3 KAB. KOTAWARINGIN BARAT 30/12/2016
62 KALIMANTAN SELATAN 8 KAB. HULU SUNGAI UTARA 09/10/2017
63 9 KAB. BARITO KUALA 04/11/2017
64 SULAWESI BARAT PROVINSI SULAWESI BARAT 14/12/2016
65 SULAWESI UTARA 13 KAB. BOLAANG MONGONDOW 16/07/2016
66 14 KAB. KEP. SANGIHE 01/11/2016
67 SULAWESI TENGAH 9 KAB. BANGGAI KEP. 29/09/2016
68 10 KAB. BUOL 10/10/2017
69 SULAWESI SELATAN 12 KAB. TAKALAR 21/12/2017
70 SULAWESI TENGGARA 3 KAB. MUNA BARAT DOB
71 4 KAB. BUTON SELATAN DOB

PENYELENGGARAAN
24 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
72 5 KAB. BUTON TENGAH DOB
73 11 KOTA KENDARI 08/10/2017
74 12 KAB. BOMBANA 02/08/2016
75 13 KAB. KOLAKA UTARA 18/06/2017
76 14 KAB. BUTON 18/08/2017
77 GORONTALO PROVINSI GORONTALO 16/01/2017
78 4 KAB. BOALEMO 01/02/2017
79 MALUKU 5 KOTA AMBON 04/08/2016
80 6 KAB. SERAM BAGIAN BARAT 13/09/2016
81 7 KAB. BURU 02/02/2017
8 KAB. MALUKU TENGGARA
82 16/04/2017
BARAT
83 9 KAB. MALUKU TENGAH 08/09/2017
84 MALUKU UTARA 9 KAB. PULAU MOROTAI 08/09/2016
85 10 KAB. HALMAHERA TENGAH 23/12/2017
86 PAPUA 12 KOTA JAYAPURA 21/07/2016
87 13 KAB. NDUGA 30/09/2016
88 14 KAB. LANNY JAYA 25/10/2016
89 15 KAB. SARMI 28/12/2016
90 16 KAB. MAPPI 09/02/2017
91 17 KAB. TOLIKARA 10/07/2017
92 18 KAB. KEP. YAPEN 07/09/2017
93 19 KAB. JAYAPURA 06/10/2017
94 20 KAB. INTAN JAYA 22/11/2017
95 21 KAB. PUNCAK JAYA 08/12/2017
96 22 KAB. DOGIYAI 18/12/2017
97 PAPUA BARAT PROVINSI PAPUA BARAT 17/01/2017
98 10 KOTA SORONG 11/06/2017

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 25
99 11 KAB. TAMBRAUW 29/10/2016
100 12 KAB. MAYBRAT 21/11/2016
101 13 KAB. SORONG 12/06/2017

TABEL 7: DAFTAR 171 DAERAH YANG PILKADA 2018

NO PROVINSI DAERAH PILKADA


1 ACEH KOTA SUBULUSSALAM 05/05/2019
2 KAB. ACEH SELATAN 15/04/2018
3 KAB. PIDIE JAYA 03/02/2019
4 SUMATERA UTARA PROVINSI SUMATERA UTARA 17/06/2018
5 KOTA PD. SIDEMPUAN 04/01/2018
6 KAB. PADANG LAWAS UTARA 27/11/2018
7 KAB. BATU BARA 24/12/2018
8 KAB. PADANG LAWAS 10/02/2019
9 KAB. LANGKAT 20/02/2019
10 KAB. DELI SERDANG 14/04/2019
11 KAB. TAPANULI UTARA 16/04/2019
12 KAB. DAIRI 22/04/2019
13 SUMATERA BARAT KOTA SAWAHLUNTO 25/06/2018
14 KOTA PDG PANJANG 01/10/2018
15 KOTA PARIAMAN 09/10/2018
16 KOTA PADANG 13/05/2019
17 RIAU PROVINSI RIAU 19/02/2019
18 KAB. INDRAGIRI HILIR 22/11/2018
19 JAMBI KOTA JAMBI 31/10/2018
20 KAB. MERANGIN 06/08/2018
21 KAB. KERINCI 04/03/2019
22 SUMATERA SELATAN PROVINSI SUMATERA SELATAN 07/11/2018

PENYELENGGARAAN
26 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
23 KOTA LUBUKLINGGAU 24/02/2018
24 KOTA PAGAR ALAM 23/04/2018
25 KOTA PRABUMULIH 13/05/2018
26 KOTA PALEMBANG 21/07/2018
27 KAB. MUARA ENIM 20/06/2018
28 KAB. EMPAT LAWANG 26/08/2018
29 KAB. BANYUASIN 09/09/2018
30 KAB. LAHAT 09/12/2018
31 KAB. OGAN KOMERING ILIR 15/01/2019
32 BENGKULU KOTA BENGKULU 21/01/2018
33 LAMPUNG PROVINSI LAMPUNG 02/06/2019
34 KAB. TANGGAMUS 15/02/2018
35 KAB. LAMPUNG UTARA 25/03/2019
KEP. BANGKA
36 KOTA PANGKAL PINANG 14/11/2018
BELITUNG
37 KAB. BANGKA 25/09/2018
38 KAB. BELITUNG 31/12/2018
39 KEP. RIAU KOTA TNJ. PINANG 16/01/2018
40 JAWA BARAT PROVINSI JAWA BARAT 13/06/2018
41 KOTA BEKASI 10/03/2018
42 KOTA CIREBON 16/04/2018
43 KOTA SUKABUMI 13/05/2018
44 KOTA BANDUNG 05/07/2018
45 KOTA BANJAR 04/12/2018
46 KOTA BOGOR 07/04/2019
47 KAB. PURWAKARTA 13/03/2018
48 KAB. BANDUNG BARAT 17/07/2018
49 KAB. SUMEDANG 16/09/2018

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 27
50 KAB. KUNINGAN 04/12/2018
51 KAB. MAJALENGKA 12/12/2018
52 KAB. SUBANG 19/12/2018
53 KAB. BOGOR 30/12/2018
54 KAB. GARUT 23/01/2019
55 KAB. CIREBON 19/03/2019
56 KAB. CIAMIS 06/04/2019
57 JAWA TENGAH PROVINSI JAWA TENGAH 23/08/2018
58 KOTA TEGAL 23/03/2019
59 KAB. BANYUMAS 11/04/2018
60 KAB. TEMANGGUNG 29/07/2018
61 KAB. KUDUS 13/08/2018
62 KAB. KARANGANYAR 15/12/2018
63 KAB. TEGAL 08/01/2019
64 KAB. MAGELANG 29/01/2019
65 JAWA TIMUR PROVINSI JAWA TIMUR 12/02/2019
66 KOTA MALANG 13/09/2018
67 KOTA MOJOKERTO 08/12/2018
68 KOTA PROBOLINGGO 28/01/2019
69 KOTA KEDIRI 02/04/2019
70 KOTA MADIUN 29/04/2019
71 KAB. PROBOLINGGO 20/02/2018
72 KAB. SAMPANG 26/02/2018
73 KAB. BANGKALAN 04/03/2018
74 KAB. BOJONEGORO 13/03/2018
75 KAB. NGANJUK 16/04/2018
76 KAB. PAMEKASAN 22/04/2018
77 KAB. TULUNGAGUNG 30/04/2018

PENYELENGGARAAN
28 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
78 KAB. PASURUAN 09/07/2018
79 KAB. MAGETAN 23/07/2018
80 KAB. MADIUN 03/08/2018
81 KAB. LUMAJANG 26/08/2018
82 KAB. BONDOWOSO 16/09/2018
83 KAB. JOMBANG 24/09/2018
84 BANTEN KOTA SERANG 05/12/2018
85 KOTA TANGERANG 24/12/2018
86 KAB. TANGERANG 22/03/2018
87 KAB. LEBAK 15/01/2019
88 BALI PROVINSI BALI 29/08/2018
89 KAB. GIANYAR 21/02/2018
90 KAB. KLUNGKUNG 16/12/2018
NUSA TENGGARA PROVINSI NUSA TENGGARA
91 17/09/2018
BARAT BARAT
92 KOTA BIMA 24/07/2018
93 KAB. LOMBOK TIMUR 30/08/2018
94 KAB. LOMBOK BARAT 23/04/2019
NUSA TENGGARA PROVINSI NUSA TENGGARA
95 16/07/2018
TIMUR TIMUR
96 KAB. SIKKA 06/07/2018
97 KAB. SUMBA TENGAH 02/11/2018
98 KAB. NAGEKEO 23/12/2018
99 KAB ROTE NDAO 08/02/2019
100 KAB. MANGGARAI TIMUR 14/02/2019
101 KAB. TIMOR TENGAH SELATAN 06/03/2019
102 KAB. ALOR 17/03/2019
103 KAB. KUPANG 25/03/2019
104 KAB. ENDE 07/04/2019

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 29
105 KAB. SUMBA BARAT DAYA 08/09/2019
106 KALIMANTAN BARAT PROVINSI KALIMANTAN BARAT 14/01/2018
107 KOTA PONTIANAK 23/12/2018
108 KAB. KAYONG UTARA 25/06/2018
109 KAB. SANGGAU 05/02/2019
110 KAB. KUBU RAYA 17/02/2019
111 KAB. PONTIANAK 14/04/2019
112 KALIMANTAN TENGAH KOTA PALANGKARAYA 23/09/2018
113 KAB. KAPUAS 25/04/2018
114 KAB. SUKAMARA 22/07/2018
115 KAB. LAMANDAU 22/07/2018
116 KAB. SERUYAN 23/07/2018
117 KAB. KATINGAN 24/07/2018
118 KAB. PULANG PISAU 24/07/2018
119 KAB. MURUNG RAYA 26/07/2018
120 KAB. BARITO TIMUR 26/07/2018
121 KAB. BARITO UTARA 23/09/2018
122 KAB. GUNUNG MAS 28/05/2019
123 KALIMANTAN SELATAN KAB. TAPIN 19/02/2018
124 KAB. HULU SUNGAI SELATAN 17/06/2018
125 KAB. TANAH LAUT 24/07/2018
126 KAB. TABALONG 17/03/2019
127 KALIMANTAN TIMUR PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 17/12/2018
128 KAB. PANAJAM PASUT 31/07/2018
129 KALIMANTAN UTARA KOTA TARAKAN 01/03/2019
130 SULAWESI UTARA KOTA KOTAMOBAGU 22/09/2018
131 KAB. MINAHASA 17/03/2018
132 KAB. BOLMONG UTARA 05/09/2018

PENYELENGGARAAN
30 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
133 KAB. SITARO 08/09/2018
134 KAB. MINAHASA TENGGARA 24/09/2018
135 KAB. KEP. TALAUD 21/07/2019
136 SULAWESI TENGAH KAB. MOROWALI 25/05/2018
137 KAB. PARIGI MOUTONG 09/10/2018
138 KAB. DONGGALA 15/01/2019
139 SULAWESI SELATAN PROVINSI SULAWESI SELATAN 08/04/2018
140 KOTA PALOPO 06/07/2018
141 KOTA PAREPARE 30/10/2018
142 KOTA MAKASSAR 08/05/2019
143 KAB. BONE 18/04/2018
144 KAB. SINJAI 28/07/2018
145 KAB. BANTAENG 15/08/2018
146 KAB. ENREKANG 16/10/2018
147 KAB. SIDERENG RAPPANG 18/12/2018
148 KAB. JENEPONTO 30/12/2018
149 KAB. WAJO 10/02/2019
150 KAB. LUWU 15/02/2019
151 KAB. PINRANG 24/04/2019
PROVINSI SULAWESI
152 SULAWESI TENGGARA 18/02/2018
TENGGARA
153 KOTA BAU-BAU 30/01/2018
154 KAB. KONAWE 17/06/2018
155 KAB. KOLAKA 15/01/2019
156 GORONTALO KOTA GORONTALO 02/06/2019
157 5 KAB. GORONTALO UTARA 06/12/2018
158 SULAWESI BARAT KAB. MAMASA 18/09/2018
159 5 KAB. POLEWALI MANDAR 07/01/2019

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 31
160 MALUKU PROVINSI MALUKU 10/03/2019
161 KOTA TUAL 31/10/2018
162 KAB. MALUKU TENGGARA 31/10/2018
163 MALUKU UTARA PROVINSI MALUKU UTARA 05/05/2019
164 PAPUA PROVINSI PAPUA 09/04/2018
165 KAB. MEMBRAMO TENGAH 15/03/2018
166 KAB. PANIAI 16/04/2018
167 KAB. PUNCAK 25/04/2018
168 KAB. DEIYAI 20/08/2018
169 KAB. JAYAWIJAYA 18/12/2018
170 KAB. BIAK NUMFOR 13/03/2019
171 KAB. MIMIKA 06/09/2019

Secara umum, penyelenggaraan pilkada serentak berjalan lancar


dan damai. Tapi, di pilkada 2015 ada sejumlah permasalah seperti
penundaan pilkada di lima daerah. Pada Pilkada 2015, tantangan
penyelenggaraan pilkada serentak, salah satunya adalah faktor cuaca.
Sebab, KPU harus mempersiapkan dan menyelenggarakan pilkada
menjelang dan saat musim hujan. Undang-Undang No 8/2015 tentang
Pilkada menetapkan Desember sebagai waktu pemungutan suara, yang
kemudian dilaksanakan KPU pada tanggal 9 Desember 2015.
Pilkada 2017 dilaksanakan dengan regulasi yang lebih baik, setelah
UU No 8/2015 direvisi menjadi UU No 10/2016. Regulasi baru tersebut
antara lain mempertegas ketentuan pencalonan, sehingga tahapan tak
mengalami penundaan karena gugatan status calon. Demikian pula
pengaturan tentang kepengurusan ganda partai politik pengusung
calon yang diperbaiki untuk memperkecil kemungkinan perselisihan.
Sehingga, berbagai persoalan yang muncul pada Pilkada 2015, yang
mengakibatkan penundaan pilkada di sejumlah daerah, tak lagi terjadi
dalam Pilkada 2017.

PENYELENGGARAAN
32 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
2.1. TANTANGAN PARTISIPASI PEMILIH
Komisi Pemilihan Umum bertantangan lebih dalam meningkatkan
partisipasi pemilih di Pilkada Serentak 2015, 2017, dan 2018. Peningkatan
partisipasi pemilih memang merupakan salah satu tanggung jawab
utama penyelenggara pemilu di setiap pesta demokrasi. Tapi, pilkada
serentak punya konteks khusus yang membuat partisipasi pemilih jadi
pekerjaan rumah.
Pertama, karena KPU periode 2012-2017 merupakan lembaga
penyelenggara pemilu yang pertama kali menyelenggarakan pilkada
serentak skala nasional. KPU bertantangan mensinergikan ratusan
daerah itu secara nasional dalam penyelenggaraan pesta demokrasi
dengan ragam konteks lokal. Sebagai kelembagaan hirarkis, KPU
menentukan target partisipasi pemilu pilkada senasional yang belum
tentu cocok dengan keadaan masing-masing KPU tingkat provinsi dan
kabupaten/kota.
Kedua, dalam menyelenggarakan pilkada serentak skala nasional
itu, KPU baru saja menyelenggarakan pesta demokrasi nasional, Pemilu
Presiden-Wakil Presiden 2014. Setelah pemilihan presiden langsung ini,
KPU bukan hanya harus menguatkan kembali tenaga dan konsentrasi
dalam menyelenggarakan pilkada, tapi juga harus bangkit dari kegagalan
pencapaian target partisipasi pemilih. Dalam Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden 2014, KPU hanya bisa mencapai partisipasi pemilih sebanyak
69,58 persen. KPU seperti berada di bawah bayang-bayang partisipasi
pemilih presiden yang terendah sepanjang sejarah Indonesia, untuk
meningkatkan partisipasi memilih pemimpin lokal.
Ketiga, keharusan meningkatkan partisipasi pemilih di pilkada
berada dalam siklus pemilu yang terlalu rapat. Pada 2014, ada dua
pemilu, yaitu pemilu legislatif yang begitu kompleks, dan pemilu.
Setelah itu rakyat diharapkan menggunakan lagi hak pilihnya dalam
pilkada serentak pada akhir 2015, awal 2017, dan pertengahan 2018.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 33
TABEL 8: TARGET DAN REALISASI PARTISIPASI PEMILIH PILKADA
2015 DAN 2017

PILKADA 2015 PILKADA 2017


INDIKATOR Target Realisasi Target Realisasi
(persen) (persen) (persen) (persen)
Persentase Partisipasi
77,5 69,20 77,5 74,5
Pemilih dalam Pilkada

Secara umum, dibanding pemilu nasional, pemilu lokal sebenarnya


lebih bisa mengikat secara emosional, antara peserta pemilu dengan
pemilih. Partisipasi pemilih dalam pemilu legislatif relatif selalu tinggi
karena melibatkan politisi dan aktor pemilu lokal di tinggat kabupaten/
kota untuk posisi DPRD kabupaten/kota. Pemilu kepala daerah secara
langsung pun relatif lebih mengikat secara emosional karena dihadapkan
pada pemahaman penentuan masa depan pemerintahan lokal.
Tapi, terlepas dari jadwal pemilu yang terlalu mepet, ikatan emosional
yang lebih tinggi di pemilu tingkat lokal pun bisa lebih mengecewakan
pemilih jika pemerintahan hasil pemilunya berjalan buruk. Pilkada
Kota Medan 2015 bisa dibilang sebagai pilkada dengan partisipasi
pemilih terendah sepanjang pesta demokrasi lokal diselenggarakan di
bumi Indonesia. Partisipasi pemilih yang hanya 25,38 persen di daerah
tersebut, menggambarkan kekecewaan pemilih terhadap pemerintahan
korup yang dihasilkan dalam Pilkada Kota Medan sebelumnya.

2.2. SOAL ANGGARAN


Pilkada 2015 yang merupakan gelombang pertama pilkada serentak,
pernah mengalami ketakpastian anggaran yang cukup mengancam.
Betapa tidak, dari 269 daerah yang dijadwalkan menggelar pilkada,
sebanyak 66 di antaranya belum menandatangani Naskah Perjanjian
Hibah Daerah (NPHD) sampai dengan 22 Mei 2015.
Salah satu yang tertunda adalah Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.
KPU Kabupaten Barru sempat dilanda kegalauan karena tahapan pilkada
harus terus berjalan sementara anggaran belum cair. Terpaksa, lembaga

PENYELENGGARAAN
34 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
penyelenggara pemilu daerah itu pun berutang. Sejak dimulainya
tahapan pilkada hingga pembentukan Panitia Pemilihan Kecamatan
(PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS), jumlah hutang KPU Barru
mencapai Rp 200 juta (rumahpemilu.org: 23 Mei 2015).
Tapi, akhirnya masalah tersebut berhasil diatasi, berkat komitmen
penyelenggaraan dan kerja sama KPU secara struktural, dan Pilkada 2015
berhasil diselenggarakan serentak tanpa penundaan yang disebabkan
ketidaksiapan anggaran.
Pilkada serentak yang dibiayai APBD, memang membuat KPU mesti
berhadapan dengan keterbatasan keuangan daerah, dan tarik menarik
kepentingan. Berkaca pada Pilkada 2015, sumber anggaran dari APBD
berdampak terhadap pencairan yang tak serentak dan tersendat.
Pembiayaan pilkada yang bersumber APBD menjadi permasalahan
karena ruang fiskal daerah yang terbatas, sehingga pembiayaan pilkada
menjadi beban bagi APBD. Sebab, komponen dana perimbangan, seperti
Dana Alokasi Umum (DAU), sebagian besar telah dialokasikan untuk
belanja pegawai. Demikian pula dengan Dana Alokasi Khusus (DAK)
yang telah ditetapkan peruntukannya. Praktis, ruang fiskal daerah atau
keleluasaan daerah dalam mengalokasikan anggarannya, berasal dari
Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak dan Bukan Pajak, serta Pendapatan Asli
Daerah (PAD).
Pembiayaan pilkada oleh APBD, juga berdampak pada ketiadaan
standar anggaran pilkada. Sehingga, dalam praktiknya, terdapat
beberapa daerah yang biaya penyelenggaraanya cenderung tinggi, dan
juga terdapat beberapa daerah yang anggaranya rendah.
Meski demikian, usulan KPU dan sejumlah pihak agar Pilkada
serentak 2017 dan 2018 bisa menggunakan APBN, tak berhasil. Padahal,
sebagai penyelenggara pilkada, KPU secara konstitusional bersifat
nasional, tetap, dan mandiri. Dan, struktur KPU adalah dari pusat
hingga kabupaten/kota, sehingga mestinya penyelenggaran pilkada
dibiayai oleh APBN.
UU No 8/2015 tentang Pilkada menekankan efisiensi dalam
penyelenggaraan pilkada. Tetapi, efisiensi tersebut masih masih sulit
dilakukan, karena desain pilkada serentak pada 2015, 2017, dan 2018,

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 35
belum sepenuhnya sesuai dengan maksud tersebut. Pilkada serentak
akan efisien jika dua tingkat pilkada di suatu daera dibuat serentak.
Dalam hal ini, yang dibuat serentak pilkada gubernur dan kabupaten/
kota di suatu daerah. Karena, itu berarti, akan ada logistik dan personel
yang digunakan bersama, namun anggarannya hanya satu, sehingga
dengan sendirinya akan menjadi efisien.
Jika pilkada dua tingkat di suatu daerah dilaksanakan serentak,
anggaran panitia penyelenggaraan dua tinggat pilkada ini bisa dibuat
ke dalam satu anggaran bersama. Begitu pun dengan biaya logistik,
sosialisasi pemilih, kampanye pasangan calon, dan debat untuk pilkada
provinsi, kabupaten, dan kota, semuanya bisa dalam satu anggaran.
Bahkan, surat suara pilkada provinsi dan pilkada kabupaten/kota
pun bisa dibuat menjadi satu. Bagian atas surat suara berisi gambar
pasangan calon gubernur-wakil gubernur, sedangkan bagian bawah
surat suara berisi gambar pasangan bupati-wakil bupati atau wali kota-
wakil wali kota.

Pada gelombang pertama sampai ketiga pilkada serentak, sebagian


besar daerah tidak menyelenggarakan pilkada dua tingkat. Hanya

PENYELENGGARAAN
36 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
beberapa saja yang menyelenggarakan pilkada dua tingkat, karena
kebetulan di daerah tersebut bersamaan waktu penyelenggaraan pilkada
gubernur dengan pilkada kabupaten/kota.

2.3. KEWENANGAN ALAT PERAGA


Pilkada serentak punya kebijakan baru berdasar undang-undang,
yaitu kewenangan KPU dalam mengampanyekan peserta pemilu
melalui alat peraga kampanye. Bahkan, di Pilkada 2015, pasangan
calon dilarang berkampanye melalui alat peraga kampanye berbentuk
reklame. Kesetaraan kontestasi dan mengurangi pemborosan oleh
pasangan calon, menjadi tujuannya.
Tapi, kewenangan baru ini tak hanya membebani tata kelola
penyelenggaraan pilkada, melainkan juga anggaran. Padahal, efisiensi
merupakan salah satu tujuan keserentakan jadwal pilkada, dan desain
pilkada menjadi satu putaran --dari sebelumnya dua putaran, yang
dipandang terlalu memboroskan anggaran, waktu, dan energi.
Dalam pilkada serentak, ada empat item kampanye yang dibiayai

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 37
oleh KPUD dengan anggaran dari APBD. Yaitu, alat peraga, bahan
kampanye, debat, dan iklan. Pembiayaan alat peraga dan bahan
kampanye selain menambah anggaran, juga membuat KPU kewalahan
dalam pengawasannya. Belum ada mekanisme untuk menangani
alat peraga dan bahan kampanye yang rusak ataupun hilang. Sudah
demikian, beberapa pasangan calon juga mempersoalkan alat peraga dan
bahan kampanye tersebut dalam sengketa hasil pilkada di Mahkamah
Konstitusi.
Karena itu, biaya pencetakan alat peraga dan bahan kampanye
diusulkan agar dibebankan kembali kepada pasangan calon. Sehingga,
ke depan KPU hanya akan membiayai dua item, yakni debat kandidat
dan iklan di media massa. Meskipun nantinya biaya kampanye
kembali dibebankan kepada peserta, KPU akan menjamin kesetaraan
kontestasi dengan mengatur jumlah dan lokasinya, karena tujuan
awal pembiayaan kampanye oleh pemerintah adalah untuk menjamin
kesetaraan kontestasi.

2.4. PASANGAN CALON TUNGGAL


Salah satu fenomena baru yang muncul dalam pelaksanaan pilkada
serentak adalah munculnya pasangan calon (paslon) tunggal. Dalam
Pilkada 2015 lalu, ada tiga daerah yang berpaslon tunggal, yaitu
Tasikmalaya, Jawa Barat; Blitar, Jawa Timur; dan Timor Tengah Utara,
Nusa Tenggara Timur. Pada Pilkada Serentak 2017, jumlahnya bertambah
menjadi sembilan daerah yang berpaslon tunggal.
Meningkatnya jumlah paslon tunggal hingga 300 persen tersebut,
disebabkan dua banyak hal. Dua di antaranya, adalah: Pertama, sistem
pemilu pluralitas (satu putaran) mengurungkan partai mencalonkan
pasangan di luar radar elektabilitas, meski kualitasnya dinilai hebat;
Kedua, tingginya syarat dukungan untuk paslon yang maju dari jalur
perseorangan (nonpartai).
Menurut hema penulis, beberapa cara solusi untuk mencegah
munculnya paslon tunggal dalam pilkada adalah: Pertama, meringankan
syarat paslon yang maju dari jalur perseorangan. Kedua, menyerentakan

PENYELENGGARAAN
38 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
pemilu lokal, dalam hal ini menyerentakkan pemilihan kepala daerah
dengan pemilihan anggota DPRD.
Jika pilkada diserentakkan dengan pemilihan anggota DPRD, partai-
partai akan jauh lebih terdorong mencalonkan kepala daerah. Pilkada
provinsi yang diserentakan pemilu anggota DPRD provinsi, dan pilkada
kabupaten/kota yang diserentakan pemilu anggota DPRD kabupaten/
kota, akan meningkatkan kepentingan partai menaikkan elektabilitasnya
untuk mendapat kursi parlemen daerah dengan mengusung kader
partai di pilkada.
Karakter pemilu lokal serentak itu menutup kemungkinan calon
tunggal. Partai mendapat kerugian yang nyata jika tak mengusung calon
kepala daerah. Jika pemilu eksekutif dipisahkan jauh penyelenggaraannya
dengan pemilu legislatif, partai tak mendapat kerugian signifikan jika
tak mengusung calon eksekutif. Pragmatisme partai berpemahaman:
logika mendapat kursi di pemilu eksekutif tak otomatis berhubungan
dengan logika mendapat kursi di pemilu legislatif.
Sayangnya, para pihak yang berwenang dalam kebijakan, masih
banyak yang tak setuju solusi mencegah paslon tunggal itu. Selain tak
setuju meringankan syarat paslon dari jalur perseorangan, pilkada pun
masih diposisikan sebagai bukan bagian rezim pemilu, melainkan rezim
pemerintah daerah. Padahal, jika pilkada tak diserentakkan dengan
pemilu anggota DPRD, calon tunggal selamanya akan sangat mungkin
ada.

2.5. SENGKETA HASIL


Pada aspek sengketa hasil pilkada, MK cenderung menjadikan
syarat selisih suara maksimal dua persen --yang bergantung dengan
jumlah penduduk daerah-- sebagai dasar menerima proses permohonan
sengketa. Syarat ini ditetapkan untuk mencegah banjir perkara
perselisihan saat dilangsungkannya pilkada serentak.
Namun, kekhawatiran banjir sengketa itu ternyata tak terjadi dalam
Pilkada 2015 lalu. Sebab, permohonan perselisihan hasil pilkada yang
masuk di MK ternyata sangat sedikit, di luar prediksi pengamat pemilu.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 39
Perludem, misalnya, pernah memprediksi bahwa dari 264 daerah yang
menyelenggarakan Pilkada 2015, setidaknya akan ada 264 pemohon
dari paslon pemenang kedua. Tapi, ternyata jumlah permohonan yang
masuk ke MK hanya 132, yang berasal dari 132 daerah.
Kekhawatiran banjir perkara jika tak dibatasi selisih minimal dua
persen tersebut sebenarnya tak relevan. Karena, merujuk pengalaman
MK sendiri selama menangani sengketa pilkada, hanya satu permohonan
perselisihan hasil pilkada yang selisihnya lebih dari dua persen, yang
putusannya membalikan keadaan keterpilihan paslon. Yaitu, Pilkada
Kabupaten Kotawaringin Barat, pada 2010 lalu.
Itu membuktikan, penegakan prinsip pemilu yang jujur dan adil
dibutuhkan juga dalam kasus perselisihan hasil yang selisih suaranya
melebih dua persen. Karenanya, objektivitas kalkulasi MK pun menjadi
mungkin dalam kasus sengketa hasil pilkada yang selisih suaranya
tergolong jomplang. Sebab ada pelanggaran-pelanggaran yang masuk
kategori terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Berdasarkan penilaian
TSM itu, MK bisa mengeluarkan putusan beragam. Bisa ditolak, diterima
dengan melakukan pemungutan suara di sejumlah TPS, diterima dengan
melakukan pemungutan suara di seluruh TPS, dan diterima dengan
membalikkan keterpilihan pasangan calon.
Karena itu, konteks kekhawatiran banjir sengketa dalam pilkada
serentak --yang menjadi dasar syarat selisih suara dua persen di Pasal
158 sudah tak relevan. Menjadi relevan jika MK kembali merujuk pada
Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: MK berwenang
memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Sebab, kita tahu, bahwa
sengketa hasil bukan semata soal selisih suara.

2.6. ANCAMAN KEMANDIRIAN KPU


Melalui revisi Undang-Undang Pilkada, KPU telah diwajibkan
melakukan konsultasi yang mengikat dalam pembuatan peraturan
komisi pemilihan umum (PKPU). Kewajiban ini dapat menjebak Komisi
KPU ke dalam jerat kepentingan politik DPR dan Pemerintah.
Segera setelah hasil revisi itu menjadi UU No 10/2016 tentang

PENYELENGGARAAN
40 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Pilkada, KPU pun mengajukan uji materi ke MK. Yang dimohonkan uji
materinya menyangkut tugas dan kewenangan KPU yang diatur dalam
Pasal 9 huruf (a) UU No 10/2016.
Tugas dan kewenangan KPU, sebagaimana tertulis dalam Pasal 9
huruf (a) tersebut adalah: Menyusun dan menetapkan peraturan KPU dan
pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan setelah berkonsultasi dengan
DPR dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya
bersifat mengikat.
Sifat konsultasi yang mengikat ini dinilai banyak pihak merupakan
celah intervensi dalam penyusunan PKPU. Padahal, KPU yang
merupakan independent and regulator bodies mestinya bebas intervensi
dalam menyusun PKPU, termasuk PKPU yang mengatur soal pilkada.
Kemandirian KPU dijamin oleh konstitusi. Bahkan, secara eksplisit
UUD 1945 menyebut KPU sebagai lembaga yang bersifat nasional, tetap,
dan mandiri. Lembaga-lembaga negara lainnya yang setara dengan
KPU bahkan tidak disyaratkan untuk berkonsultasi dengan DPR dan
pemerintah dalam menyusun peraturan.
Selain itu, dalam sistem hukum dan sistem pemerintahan Indonesia,
KPU telah diberikan otoritas untuk menyusun peraturan di bawah
undang-undang yang berkaitan dengan pemilu. Sehingga, mestinya, jika
PKPU dipandang tidak sesuai dengan undang-undang, mekanismenya
adalah dengan menguji materi PKPU tersebut ke Mahkamah Agung.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 41
PENYELENGGARAAN
42 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
3

Buku Penghubung
Pemilu Serentak Transisi

K
omisi Pemilihan Umum berinisiatif membuat buku
pilkada dengan konteks penyelenggaraan periode 2012-
2017, untuk menyambung tren perbaikan manajemen
penyelenggaraan pesta demokrasi lokal. Kini, pilkada
memang sudah diserentakkan. Jadwal pilkada yang sebelumnya
berserak, segera menjadi satu, setelah tiga gelombang pilkada serentak
turut menyeleraskan masa jabatan kepala daerah. Tapi, jerih payah
keserentakan yang menghasilkan satu jadwal itu, oleh UU No 10/2016
malah ditumpuk dengan pemilu presiden dan legislatif dalam satu
tahun pada 2024 mendatang.
Jadwal pemilu bertumpuk selain diterapkan pada 2024, juga akan
berulang jika regulasi tak diubah. Menjadi tanggung jawab para
pemangku kepentingan menyadari permasalahan jadwal bertumpuk itu.
KPU periode 2017-2022 bisa saja menjadi pihak paling berkepentingan
melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. LSM dan para pakar
kepemiluan juga bisa merekomendasikan ulang agar undang-undang
pilkada masuk dalam penyatuan undang-undang pemilu, dalam
legislasi periode 2019-2024.
Karena sangat jelas bahwa jadwal pilkada yang ada dalam UU No

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 43
10/2016, yang bertumpuk dengan jadwal pemilu lain, telah keluar dari
desain pemilu serentak. Sebab, desain penjadwalan yang ada ternyata
bukan untuk menyatukan pemilu presiden, pemilu DPR, dan pemilu
DPD dalam satu keserentakan. Juga, bukan untuk menyatukan pilkada
dengan pemilu DPRD dalam satu keserentakan. Sehingga, desain
keserentakan tidak mengarah pada format pemilu nasional-lokal.
Padahal, format ini diperlukan untuk memberi kesempatan kepada
pemilih untuk melakukan evaluasi terhadap hasil pemilu, seperti halnya
dalam pemilu sela. Misalnya, mengevaluasi hasil pemilu nasional
melalui pemilu lokal.
Pakar pemilu, Ramlan Surbakti, sering mengatakan, pemilu Indonesia
belum berjalan dengan baik --salah satunya-- karena pembahasannya
sering dipisahkan dengan pembahasan sistem pemerintahan dan sistem
kepartaian. Profesor bidang politik ini mengingatkan, agar pemilu
menghasilkan pemerintahan yang berjalan maksimal, jangan lagi ada
dikotomi rezim pemilu, rezim pemerintahan, dan rezim partai politik
dalam perumusan undang-undang.
Tanggal 23 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan
penyelenggaraan pemilu serentak pada 2019. Para pakar ilmu politik
yang dekat dengan pembahasan pemilu menilai, putusan MK ini
merupakan momentum perbaikan sistem pemerintahan presidensial
Indonesia. Dan, undang-undang pemilu berserak yang disatukan
hendaknya mengacu pada pemahaman utuh-berkaitnya sistem pemilu,
sistem kepartaian, dan sistem pemerintahan.
Profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin
Haris, juga sering mengingatkan, penyelenggaraan pemilu parlemen
dan pemilu presiden yang selama ini terpisah tak mendukung sistem
pemerintahan presidensial. Indonesia menganut sistem pemerintahan
presidensial, tapi sistem kepartaian yang diperoleh melalui pemilu
merupakan sistem kepartaian multipartai ekstrim. Jadinya, pemerintahan
terpilih hasil pemilu tak serentak membuat presiden terpilih tak
didukung parlemen. Pemerintahan menjadi tak maksimal bekerja karena
kebijakannya sering terhambat oleh terlalu tingginya fragmentasi partai
di parlemen. Sejak diterapkannya pemilu presiden langsung pada tahun

PENYELENGGARAAN
44 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
2004, tren pemilu parlemen menghasilkan fragmentasi partai semakin
tinggi.

GAMBAR 2: FRAGMENTASI PARTAI PARLEMEN NASIONAL

Dari grafik di atas, tentu kita mempertimbangkan keadaan Pemilu


1955 dan 1999. Pemilu pertama Indonesia dan pemilu pertama di era
reformasi ini merupakan pemilu yang terbanyak pesertanya, lebih dari
40 partai. Tapi, hasil pemilu tak menciptakan fragmentasi parlemen yang
tinggi. Namun, fragmentasi parlemen menjadi tinggi setelah Indonesia
menerapkan pemilu presiden langsung, khususnya saat dalam pilpres
tak ada petahana yang mencalonkan lagi. Dalam data di atas, Pemilu
1971 sampai 1997 tidak dijadikan rujukan karena pesta demokrasi tidak
diselenggarakan dengan kompetisi yang sebenarnya.
Pada Pemilu Presiden 2014 lalu, Joko Widodo dan Jusuf Kalla
yang terpilih sebagai pasangan presiden dan wakil presiden terpilih,
awalnya hanya diusung empat partai pemilik kursi di parlemen, yaitu
PDIP, Nasdem, PKB, dan Hanura. Kursi koalisi Indonesia Hebat (KIH)
yang hanya 207, persentasenya kurang dari 37 persen total 560 kursi
DPR. Inilah koalisi terlemah pemerintahan dalam sejarah demokrasi
Indonesia. Sehingga, ada kemungkinan pemerintahan periode 2014-2019
akan menjadi pemerintahan paling tak produktif dalam menghasilkan
undang-undang.
Yang terjadi di pemerintahan nasional, terjadi juga di pemerintahan

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 45
lokal: provinsi dan kabupaten/kota. Kebijakan gubernur dan bupati/
wali kota tersendat selama periode menjabat, karena cenderung dihambat
kuatnya fragmentasi partai di parlemen lokal. Itulah sebabnya, setiap
pemilu menghasilkan pemerintahan terpilih, tapi kemudian dirasa tak
berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, karena pemerintahan tak
berjalan efektif.
Penyebab ketidakefektifan itu sama: pemilu parlemennya
terpisah dengan pemilu kepala eksekutifnya. Pemilu DPRD selalu
diselenggarakan dengan pemilu DPR. Lalu, sejak diterapkannya pilkada
langsung, pemilu kepala daerah diselenggarakan terpisah sendiri-
sendiri, sesuai periode pemerintahan kepala daerahnya.
Berikut fragmentasi DPRD provinsi periode 2014-2019, yang
pemilihan kepala daerahnya dilaksanakan pada tahun 2015 dan 2017
lalu:

GAMBAR 3: FRAGMENTASI DPRD PROVINSI SUMATERA BARAT 2014-


2019

SUMATERA BARAT (65)

ENPP: 9,08

PENYELENGGARAAN
46 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Pilkada Sumatera Barat 2015 menghasilkan Irwan Prayitno dan Nasrul
Abit sebagai gubernur dan wakil gubernur. Pasangan kepala daerah ini
meraih suara 58,57 persen. Tingkat partisipasi dalam pilkada adalah
59,03 persen (2.085.519 dari 3.517.022 pemilih yang menggunakan hak
pilih). Irwan-Nasrul diusung PKS dan Gerindra yang persentase kursi
koalisinya hanya 23,07 persen.

GAMBAR 4: FRAGMENTASI DPRD PROVINSI KEPULAUAN RIAU


2014-2019

KEPULAUAN RIAU (45)

ENPP: 7,64

Pilkada Kepulauan Riau 2015 menghasilkan Muhammad Sani dan


Nurdin Basirun sebagai gubernur dan wakil gubernur. Pasangan kepala
daerah ini meraih suara 53,24 persen, dengan tingkat partisipasi 56,34
persen (683.864 dari 1.213.797 pemilih terdaftar menggunakan hak pilih).
Sani-Nurdin diusung Demokrat, Nasdem, PKB, Gerindra, dan PPP yang
persentase kursi koalisinya hanya 37,77 persen.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 47
GAMBAR 5: FRAGMENTASI DPRD PROVINSI JAMBI 2014-2019
JAMBI (55)

ENPP: 9,02

Pilkada Jambi 2015 menghasilkan Zumi Zola Zulkifli dan Fachrori


Umar sebagai gubernur dan wakil gubernur. Pasangan kepala daerah
ini meraih suara 60,23 persen, dengan tingkat partisipasi 67,80 persen
(1.660.957 dari 2.449.883 pemilih). Zumi-Fachrori diusung NasDem,
PKB, PAN, Hanura, dan PBB yang persentase kursi koalisinya hanya
32,72 persen.

GAMBAR 6: FRAGMENTASI DPRD PROVINSI BENGKULU 2014-2019

BENGKULU (45)

ENPP: 9,41

PENYELENGGARAAN
48 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Pilkada Bengkulu 2015 menghasilkan Ridwan Mukti dan Rohidin
Mersyah sebagai gubernur dan wakil gubernur. Pasangan kepala daerah
ini meraih suara 57,35 persen dengan tingkat partisipasi 67,68 persen
(970.645 dari 1.434.099 pemilih). Ridwan-Rohidin diusung NasDem,
PKPI, Hanura, dan PKB yang persentase kursi koalisinya hanya 22,22
persen.

GAMBAR 7: FRAGMENTASI DPRD PROVINSI KALIMANTAN TENGAH


2014-2019

KALIMANTAN TENGAH (45)

ENPP: 7,31

Pilkada Kalimantan Tengah 2015 menghasilkan Sugianto Sabran dan


Said Ismail sebagai gubernur dan wakil gubernur. Pasangan kepala
daerah ini meraih suara 51,51 persen, dengan tingkat partisipasi 53,86
persen (1.051.725 dari 1.952.822 pemilih). Sugianto-Said diusung PAN,
Gerindra, PKB, dan Demokrat yang persentase kursi koalisinya hanya
42,22 persen.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 49
GAMBAR 8: FRAGMENTASI DPRD KALIMANTAN SELATAN
2014-2019

KALIMANTAN SELATAN (45)

ENPP: 7,39

Pilkada Kalimantan Selatan 2015 menghasilkan Sahbirin Noor dan


Rudy Resnawan sebagai gubernur dan wakil gubernur. Pasangan kepala
daerah ini meraih suara 41,05 persen dengan tingkat partisipasi 67,11
persen (1.906.249 dari 2.840.520 pemilih). Sahribin-Rudy diusung PDIP,
Gerindra, PKS, PAN, dan Hanura yang persentase kursi koalisinya
hanya 40 persen.

PENYELENGGARAAN
50 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
GAMBAR 9: FRAGMENTASI DPRD PROVINSI SULAWESI UTARA
2014-2019

SULAWESI UTARA (45)

ENPP: 5,86

Pilkada Sulawesi Utara 2015 menghasilkan Olly Dondokambey dan


Steven O.E Kandouw sebagai gubernur dan wakil gubernur. Pasangan
kepala daerah ini meraih suara 51,37 persen dengan tingkat partisipasi
65,35 persen (1.274.037 dari 1.949.629 pemilih). Olly-Steven diusung
PDIP yang persentase kursinya di DPRD hanya 28,88 persen.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 51
GAMBAR 10: FRAGMENTASI DPRD PROVINSI SULAWESI TENGAH
2014-2019

SULAWESI TENGAH (45)

ENPP: 8,9

Pilkada Sulawesi Tengah 2015 menghasilkan Longki Djanggola dan


Sudarto sebagai gubernur dan wakil gubernur. Pasangan kepala daerah
ini meraih suara 54,52 persen dengan tingkat partisipasi 70,53 persen
(1.391.675 dari 1.973.044 pemilih). Longki-Sudarto diusung Gerindra,
PAN, PKB, dan PBB yang persentase kursinya di DPRD hanya 20 persen.

PENYELENGGARAAN
52 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
GAMBAR 11: FRAGMENTASI DPRD PROVINSI ACEH 2014-2019

ACEH (81)

ENPP: 5,59

Pilkada Aceh 2017 menghasilkan Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah


sebagai gubernur dan wakil gubernur. Pasangan kepala daerah ini
meraih suara 37,15 persen dengan tingkat partisipasi 73,27 persen
(2.514.219 dari 3.443.583 pemilih). Irwandi-Nova diusung Partai Aceh,
Demokrat, Partai Damai Aceh, dan PKB yang persentase kursinya di
DPRD 48,14 persen.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 53
GAMBAR 12: FRAGMENTASI DPRD KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
2014-2019

KEP BABEL (45)

ENPP: 7,8

Pilkada Kepulauan Bangka Belitung 2017 menghasilkan Erzaldi


Rosman dan Abdul Fatah sebagai gubernur dan wakil gubernur.
Pasangan kepala daerah ini meraih suara 38,94 persen dengan tingkat
partisipasi 61,93 persen (567.344 dari 916.464 pemilih). Erzaldi-Abdul
diusung Gerindra, Nasdem, dan PKB yang persentase koalisinya hanya
20 persen.

PENYELENGGARAAN
54 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
GAMBAR 13: FRAGMENTASI DPRD PROVINSI BANTEN 2014-2019

BANTEN (85)

ENPP: 8,39

Pilkada Banten 2017 menghasilkan Wahidin Halim dan Andika


Hazrumy sebagai gubernur dan wakil gubernur. Pasangan kepala
daerah ini meraih suara 50,93 persen dengan tingkat partisipasi 63,37
persen (4.871.461 dari 7.732.644 pemilih). Wahidin-Andika diusung
Golkar, PKB, Hanura, Gerindra, Demokrat, PKS, dan PAN dengan
persentase koalisi 67,05 persen.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 55
GAMBAR 14: FRAGMENTASI DPRD PROVINSI DKI JAKARTA
2014-2019

DKI JAKARTA (106)

ENPP: 7,12

Pilkada DKI Jakarta 2017 merupakan satu-satunya pilkada yang


sistem pemilunya mayoritas (keterpilihan minimal 50 persen perolehan
suara). Karena diputaran pertama tak ada pasangan calon yang
memperoleh suara mayoritas (lebih dari 50 persen), maka perbandingan
koalisinya sebagai berikut:
Jika Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat terpilih
menjadi gubernur-wakil gubernur, pasangan ini punya koalisi DPRD
49,05 persen;
Jika Anies Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno terpilih menjadi
gubernur-wakil gubernur, pasangan ini punya koalisi DPRD 24,52
persen.

PENYELENGGARAAN
56 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
GAMBAR 15: FRAGMENTASI DPRD PROVINSI GORONTALO
2014-2019

GORONTALO (45)

ENPP: 6,49

Pilkada Gorontalo 2017 menghasilkan Rusli Habibie dan Idris Rahim


sebagai gubernur dan wakil gubernur. Pasangan kepala daerah ini
meraih suara 50,65 persen dengan tingkat partisipasi 81,6 persen (653.123
dari 800.347 pemilih). Rusli-Idris diusung Golkar dan Demokrat dengan
persentase koalisi hanya 35,55 persen.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 57
GAMBAR 16: FRAGMENTASI DPRD PROVINSI SULAWESI BARAT
2014-2019

SULAWESI BARAT (45)

ENPP: 7,2

Pilkada Sulawesi Barat 2017 menghasilkan Ali Baal dan Enny


Anggraeny Anwar sebagai gubernur dan wakil gubernur. Pasangan
kepala daerah ini meraih suara 38,76 persen dengan tingkat partisipasi
74,7 persen (639.363 dari 855.771). Ali-Enny diusung Golkar dan
Demokrat dengan persentase koalisi hanya 44,44 persen.

PENYELENGGARAAN
58 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
GAMBAR 17: FRAGMENTASI DPRD PROVINSI PAPUA BARAT
2014-2019

PAPUA BARAT (45)

ENPP: 6,46

Pilkada Papua Barat 2017 menghasilkan Dominggus Mandacan dan


Mohamad Lakotani sebagai gubernur dan wakil gubernur. Pasangan
kepala daerah ini meraih suara 57,27 persen dengan tingkat partisipasi
74,7 persen (487.691 dari 652.842). Dominggus-M.Lakotani diusung
Nasdem, PDIP, dan PAN dengan persentase koalisi hanya 26,66 persen.

lll

Hasil Pilkada Provinsi 2015 dan 2017 yang tak sebangun dengan
DPRD terjadi di hampir semua daerah, kecuali Banten. Tak heran
jika banyak pemerintahan daerah hasil pemilu tak banyak mengubah
keadaan daerah. Kepala daerah terpilih selalu tak didukung parlemen
daerah. Fragmentasi partai di parlemen daerah pun terlalu tinggi,
sehingga kebijakan kepala daerah sering terhambat dinamika perbedaan
pendapat fraksi partai di DPRD.
Karena itu, agar pemilu bisa terkelola secara sistemik, maka pemilu

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 59
Indonesia perlu menerapkan desain pemilu serentak nasional dan lokal.
Pemilu serentak adalah penggabungan pemilu eksekutif dan pemilu
legislatif dalam satu tahapan penyelenggaraan, khususnya tahap
pemungutan suara. Tujuannya bukan semata efisiensi anggaran, tapi
juga untuk menciptakan pemerintahan presidensial yang bisa bekerja
maksimal dengan dukungan parlemen yang kondusif.
Pemilu serentak nasional berarti menggabungkan pemilu presiden
dan pemilu parlemen nasional dalam satu waktu pemungutan suara.
Bentuk konkretya, pemilih dalam satu hari pemungutan suara
memilih presiden-wakil presiden bersamaan dengan memilih wakil
partai untuk duduk di DPR, serta memilih wakil daerah untuk duduk
di DPD. Sedangkan, pemilu serentak lokal berarti menggabungkan
pemilu kepala daerah dan pemilu parlemen daerah (DPRD). Sehingga,
dalam satu waktu pemungutan suara, pemilih memilih gubernur-wakil
gubernur serta wakil partai untuk DPRD provinsi, serta memilih bupati-
wakil bupati/walikota-wakil walikota serta wakil partai untuk DPRD
kabupaten/kota.
Banyak pakar pemilu menyimpulkan, pemilu serentak merupakan
salah satu yang harus dipenuhi dalam pemerintahan yang kepala
eksekutifnya dipilih langsung. Tujuannya untuk menciptakan
pemerintahan multipartai yang bisa bekerja maksimal.
Bagaimana membentuk pemerintahan yang tak sering diganggu
kegaduhan parlemen yang fragmentasi kepartaiannya tinggi? Ini soal
teknis yang berdampak sistemik. Jika di tahap pemungutan suara,
pemilih diberikan surat suara untuk memilih presiden sekaligus partai
pengusungnya, tinggi kecenderungan pemilih akan memilih partai yang
mengusung presiden pilihan si pemilih. Ini pengoptimalan efek tarikan
mantel (coattail effect), sehingga partai pengusung presiden terpilih akan
mendominasi parlemen.
Efek tarikan mantel sebetulnya terjadi pula pada pemilu presiden
dan parlemen yang terpisah. Di Pemilu 2014 misalnya, kita mengenal
efek Jokowi dan efek Prabowo. Pemilih Jokowi berkecenderungan akan
memilih PDIP, sedangkan pemilih Prabowo berkecenderungan akan
memilih Gerindra. Tapi, efek tarikan capres itu terhadap masing-masing

PENYELENGGARAAN
60 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
partai pengusungnya tak optimal. Pada Pemilu 2014 lalu, misalnya,
dalam survei PDIP punya elektabilitas 30-an persen jika mengusung
Jokowi sebagai capres. Kenyataannya, PDIP hanya meraih sekitar 19
persen suara atau sekitar 18 persen kursi DPR.
Efek tarikan mantel itu lebih tak relevan di pemilu lokal. Selain karena
pemilu kepala daerah dan DPRD tak serentak, waktu jeda keduanya pun
lebih lama, sampai bertahun-tahun. Dalam pemilu legislatif, kampanye
partai untuk pemilihan anggota DPRD dan kepentingan lokal bahkan
sering tertutup oleh hiruk-pikuk politik nasional. Sementara, dalam
menjalankan pemerintahan, kepala daerah hasil pilkada juga menghadapi
masalah koordinasi dengan pemerintahan di atasnya. Tiadanya
kesamaan platform dan program antara pemerintahan kabupaten/
kota dengan pemerintah provinsi, tentu semakin menurunkan kinerja
pemerintahan.
Namun, faktor lain yang lebih kuat pengaruhnya adalah fakta bahwa
sebagian besar bupati dan walikota, berasal dari partai atau koalisi partai
yang berbeda dengan gubernur. Sehingga, secara politik, hal ini kian
menyulitkan gubernur untuk mengkoordinasikan kerja pemerintahan di
wilayahnya. Hal yang sama juga dialami oleh presiden, karena sebagian
besar gubernur bukan berasal dari partai atau koalisi partai pendukung
presiden.
Pemilu serentak lokal yang jadwalnya di tengah periode
pemerintahan nasional hasil pemilu serentak, akan mengurangi
kemungkinan terputusnya pemerintahan nasional di daerah. Jadwal ini
bisa menjadi pemilu sela yang berfungsi mengevaluasi atau melanjutkan
pemerintahan nasional yang berjalan. Jika setelah dua atau dua setengah
tahun pemerintahan nasional berjalan baik, pemilih bisa mengapresiasi
dengan memilih lagi pemenang pemilu nasional untuk melanjutkan di
pemerintahan daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Jika sebaliknya,
tak berjalan baik, pemilih bisa menghukum dengan tak memilih
pemenang pemilu serentak nasional dalam pemilu serentak lokal.
Karena itu, pilkada masuk dalam desain pemilu serentak lokal yang
coba diupayakan para pakar pemilu melalui penyatuan/kodifikasi
undang-undang kepemiluan. Pemilu serentak lokal adalah pemilu

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 61
yang diselenggarakan KPU untuk memilih kepala daerah dan wakil
kepala daerah (provinsi dan kabupaten/kota), anggota DPRD provinsi,
serta anggota DPRD kabupaten/kota. Karena periode kepala daerah
dan DPRD saat ini belum sama, maka perlu penyelenggaraan pemilu
serentak lokal transisi.
Namun, demokrasi lokal Indonesia punya anomali dalam penerapan
pemilu serentak, yaitu Pilkada DKI Jakarta. Sistem pemilihan gubernur-
wakil Gubernur DKI Jakarta adalah satu-satunya yang menggunakan
sistem pemilu mayoritas, yang mempersyaratkan keterpilihan 50%+1.
Karena itu, Pilkada DKI sangat mungkin berlangsung dua putaran jika
diikuti oleh tiga atau lebih pasangan calon. Jika Pilkada DKI Jakarta
berlangsung dua putaran, itu berarti daerah ini tak sesuai dengan
keserentakan pilkada ratusan daerah lain yang menggunakan sistem
pluralitas (satu putaran). Pemilu Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta
tak akan bisa diserentakkan dengan Pemilu DPRD DKI Jakarta, walau
periode menjabatnya sudah sama.
Karena itu, selamanya Pilkada DKI Jakarta akan menghasilkan
pemerintahan terbelah. Gubernurnya akan kesulitan mengoptimalkan
APBD yang mengharuskan kesepakatan DPRD. Sehingga, gubernur
bisa cenderung lebih banyak mengupayakan anggaran di luar APBD.
Bisa anggaran dari pengembang maupun bantuan/investasi asing.
Persoalan lainnya dalam Pilkada DKI Jakarta, adalah syarat pasangan
calon dari jalur perseorangan. Karena khawatir dengan tingginya
elektabilitas Ahok dan dukungan Teman Ahok yang mempersiapkan
Ahok menjadi calon gubernur dari jalur perseorangan, DPR kemudian
memperberat syarat calon jalur perseorangan. Akibatnya, pemberatan
syarat ini tak hanya membuat sosok populer seperti Ahok akhirnya
berpindah ke jalur partai, tapi juga sebagai sebab bertambahnya pilkada
bercalon tunggal di 2015 ke 2017, dari tiga jadi sembilan daerah, karena
calon perseorangan di daerah lain menjadi jeri terhadap syarat berat
calon perseorangan.
Padahal, jalur inklusif kontestasi pemilu eksekutif akan menjadi
penyeimbang demokrasi yang bergantung pada partai. Syarat longgar
jalur perseorangan jauh lebih memungkinkan orang berkualitas hebat

PENYELENGGARAAN
62 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
bisa mencalonkan diri dalam pemilu dan terpilih. Keberadaan orang-
orang hebat dalam kepesertaan pemilu pun mendorong partai tak asal
mengusung calon dalam pemilu eksekutif lokal.
Dinamika Pilkada Jakarta yang Ahok sentris pun seharusnya
menyadarkan partai dan anggota Komisi II DPR mengenai tak
berdasarnya syarat kepemilikan kursi untuk mengusung calon dalam
pemilu eksekutif. Karena, pemilu serentak sejati seharusnya tak
mensyaratkan kepemilikan kursi parlemen bagi partai pengusung calon
di pemilu eksekutif. Karena, dengan mengoptimalkan coattail effect
pemilu serentak menjadi insentif kuat bagi partai untuk mengusung
calon di pemilu eksekutif. Elektabilitas calon di pemilu eksekutif akan
mengatrol elektabilitas partai di pemilu legislatif. Kita bisa rujuk Jokowi
effect dan Prabowo effect di Pemilu 2014. Jika pemilu eksekutif dan
pemilu partai diserentakkan, partai pengusung Jokowi dan Prabowo
akan jauh lebih banyak meraih suara dan kursi.
Dalam pemilu serentak, semua partai peserta pemilu berkepentingan
mengusung calon di pemilu eksekutif, sehingga tak akan ada calon
tunggal. Dan hebatnya, kita tak akan kesulitan atau kekurangan orang-
orang yang akan memimpin pemerintahan seperti di pesta demokrasi
lokal serentak diselenggarakan saat ini. Bukankah ini yang kita inginkan
dalam pemilu eksekutif langsung? Tak hanya di Jakarta tapi juga seluruh
daerah.
Jika apa yang dilakukan KPU 2012-2017 dituliskan dalam buku,
semoga menjadi pengingat bahwa dalam membuat kebijakan
kepemiluan, paradigma manajemen penyelenggaraan pemilu hendaknya
selalu menjadi rujukan utama. Berdasar pengalaman KPU, undang-
undang kepemiluan jauh lebih mungkin terbebas dari intervensi politik
kekuasaan pihak tertentu. Melalui evaluasi penyelenggaraan pemilu,
rekomendasi tak hanya mengacu pada baik/buruk-nya undang-undang
lama tetapi juga menyertakan pengalaman konkret.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 63
3.1. METODE, TEKNIK PENGUMPULAN DATA, DAN
SISTEMATIKA BAB
Penulisan buku ini berupaya menempatkan KPU sebagai penjelas
keadaan periode 2012-2017, khususnya dalam penyelenggaraan pilkada
serentak 2015 dan 2017. Beberapa bagian dibiarkan disampaikan apa
adanya untuk menggambarkan keadaan di lapangan. Di bagian yang
lain bisa merupakan opini untuk menekankan permasalahan. Tapi,
secara umum, buku ini mencoba menjelaskan apa yang KPU pahami
dari pengalaman penyelenggaraan pilkada.
Data yang digunakan dalam buku ini sebagian besar merupakan
data KPU. Pendataan KPU yang berlangsung seiring penyelenggaraan
pilkada digunakan untuk menjelaskan keadaan penyelenggaraan
pilkada dalam penulisan buku ini. Bisa dibilang, dari data yang ada
sebagian besar merupakan data primer karena langsung didapat oleh
KPU sebagai pihak pencari/penerima data dari pihak terkait seperti
peserta pilkada.
Buku ini berisi sejumlah bab yang menggambarkan tahapan persiapan
dan penyelenggaraan pilkada. Di tahap persiapan ada anggaran,
rekrutmen penyelenggara, dan PKPU. Di penyelenggaraan ada delapan
tahapan: pendaftaran pemilih, logistik, pendaftaran pasangan calon,
penetapan pasangan calon, kampanye dan dana kampanye, masa
tenang, pemungutan dan penghitungan suara, dan penetapan hasil.
Setelah itu ada bab yang membahas khusus tentang partisipasi.
Pada Bab Anggaran Pilkada digambarkan berubahnya penganggaran
Pilkada dari APBN menjadi APBD seiring revisi UU Pilkada. Sebagai
hasil revisi terbatas UU No 1/2015, UU No 8/2015 mengubah anggaran
pilkada dari semula berasal dari APBN menjadi berasal dari APBD.
APBN dalam UU No 1/2015 merupakan sumber utama anggaran
pilkada, sedangkan APBD merupakan anggaran pendukung. Dalam
UU No 8/2015, APBN hanya menjadi sumber pendukung anggaran
pilkada, sedangkan APBD menjadi sumber utama anggaran pilkada.
Di samping inefisien dan tak menjamin keserentakan pilkada,
KPU menolak anggaran pilkada berdasar APBD karena mengurangi

PENYELENGGARAAN
64 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
konstitusionalitas karakter lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat
nasional, tetap, dan mandiri. Merujuk pada sifat ini, anggaran pilkada
lebih tepat berasal dari APBN. KPU sebagai lembaga nasional yang
hierarkis, seharusnya dibiayai APBN. KPU sebagai lembaga mandiri,
menjadi terganggu relasinya dengan petahana sebagai calon, tapi masih
punya kewenangan menentukan anggaran pilkada.
Pada Bab mengenai Rekrutmen Penyelenggara Pemilu, KPU
menjelaskan bahwa keberhasilan KPU provinsi dan kabupaten/kota
dalam menyelenggarakan pilkada di rentang 2012-2017 tak lepas dari
proses rekrutmen anggota dan kepanitiaan. Memang, ada permasalahan
integritas dan etika pada sebagian penyelenggara pilkada, sehingga
diberhentikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Meski demikian, jauh lebih banyak penyelenggara yang berhasil
menjalankan peran pelaksana undang-undang dan peraturan.
Dalam kewenangannya merekrut anggota dan kepanitiaan, KPU
periode 2012-2017 yang pernah disebut oleh salah seorang pimpinan
DPR sebagai the dream team, banyak melakukan terobosan. Pertama,
afirmasi perempuan penyelenggara pemilu. Kedua, mengeluarkan
Surat Edaran No 183/KPU/IV/2015 yang mengatur batasan maksimal
dua periode berturut-turut sebagai anggota PPK, PPS, dan KPPS. Ketiga,
menurunkan syarat usia memilih.
Pada Bab PKPU: Menjamin Kemandirian dan Keserentakan Pilkada,
dijelaskan tentang kewenangan KPU dalam membuat peraturan
pelaksana pilkada, yang kian menentukan kesuksesan pilkada serentak.
Sebab, penyelenggaraan pilkada masih berdasar undang-undang yang
buruk kualitasnya. Peraturan KPU bertambah fungsi, bukan semata
menjadi regulasi yang implementatif, tapi juga menutupi beberapa
kelemahan dalam undang-undang tersebut.
Dalam Bab ini pun, ketegangan relasi KPU dan DPR mengenai Pasal
9 huruf a UU No 10/2016 digambarkan, yang mengharuskan adanya
konsultasi mengikat dalam pembuatan PKPU. Sifat mengikat dalam
konsultasi PKPU, bagi KPU, berarti mengintervensi. Sehingga, judicial
review Pasal 9 huruf a UU No 10/2016 tersebut menjadi kewajiban utama
kedirian (fardhu ain) KPU dan kewajiban utama kolektif (fardhu kifayah)

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 65
umat demokrasi Republik Indonesia.
Pada Bab tentang Pendaftaran Pemilih, KPU menekankan keharusan
kepastian data awal dan data pembanding. DPT pemilu terakhir
penting sebagai data awal, karena relatif lebih akurat serta aktual, dan
menempatkan KPU sebagai lembaga yang mandiri. Selain itu, perlu pula
mengubah data pembanding: dari Daftar Penduduk Pemilih Potensial
(DP4) yang berasal dari Daftar Agregat Kependudukan per-Kecamatan
(DAK2) menjadi data Badan Pusat Statistik (BPS).
Mengartikan ulang pengertian pemilih menjadi lebih demokratis dan
sederhana pun penting. Pertama, menghilangkan perkawinan di bawah
usia sebagai syarat pemilih karena bertentangan dengan cita kesetaraan
demokratisasi. Kedua, mengubah patokan hari pemungutan suara
untuk pemilih pemula menjadi patokan tahun agar bisa mengurangi
kompleksitas. Ketiga, mengembalikan hak pilih anggota TNI/Polri
sebagai bagian supremasi sipil dan upaya demokratisasi kelembagaan
TNI/Polri.
Bab tentang Logistik menggambarkan keadaan kompleks yang
meningkat dalam keserentakan pilkada. Tanggung jawab memastikan
keserentakan berhadapan dengan infrastruktur produksi yang tak selalu
tersedia di kabupaten/kota, sehingga harus mencetak di luar pulau.
Kondisi tersebut berdampak pada biaya, waktu, dan risiko kecelakaan
di perjalanan pada saat distribusi logistik.
Karena itu, penganggaran melalui APBN, selain sesuai dengan
kebutuhan pemilu serentak, juga bisa meregionalkan daerah-daerah
berpilkada dengan desentralisasi lokasi produksi logistik. Bisa jadi tak
semua daerah bisa mandiri memproduksi logistik pemilu. Tapi, bukan
berarti juga pusat menangani semua daerah. Meregionalkan daerah-
daerah berpilkada akan meningkatkan standar logistik dan efisiensi
anggaran, sekaligus lebih memastikan keserentakan.
Bab tentang Pendaftaran Bakal Pasangan Calon menyoroti tiga
catatan. Pertama, pengaturan soal uji publik. Kedua, pengaturan
soal konflik kepentingan dengan petahana. Ketiga, pengaturan soal
kewajiban mundur bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD. Tiga catatan
ini menambah kompleksitas keserentakan, bahkan hingga gagalnya

PENYELENGGARAAN
66 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
keserentakan.
Bab tentang Penetapan Pasangan Calon menggambarkan wajah
kontestan pilkada. Dari sisi kuantitas, ada penyusutan jumlah peserta
pilkada. Di Pilkada 2015, dari 269 daerah yang menyelenggarakan
pilkada serentak, jumlah kontestan yang bertarung tercatat sebanyak
827 pasangan calon, atau rata-rata tiga pasangan calon di setiap
pemilihan. Dari jumlah itu, 690 pasangan calon melaju dari jalur partai,
sedangkan 137 dari jalur perseorangan. Sementara, dalam Pilkada
2017, hanya terdapat 310 pasangan calon pendaftar di 101 daerah yang
menyelenggarakan pilkada, atau rata-rata tiga pasangan calon di setiap
pemilihan. Dari jumlah itu, 241 pasangan calon melaju dari jalur partai,
sedangkan 69 dari jalur perseorangan.
Penyusutan jumlah kontestan dari 2015 ke 2017 malah berbanding
terbalik dengan jumlah pasangan calon tunggal. Di Pilkada 2015 ada tiga
daerah dengan pasangan calon tunggal, sedangkan di Pilkada 2017 ada
sembilan daerah dengan pasangan calon tunggal. Meningkatnya jumlah
pilkada bercalon tunggal hingga 300 persen itu disebabkan banyak hal.
Pertama, sistem pemilu pluralitas (satu putaran) mengurungkan partai
mencalonkan pasangan di luar radar elektabilitas meski kualitasnya
dinilai hebat. Kedua, tingginya syarat dukungan jalur perseorangan.
Selain dengan meringankan calon perseorangan, solusi mencegah
pilkada bercalon tunggal adalah dengan menyerentakan pemilu lokal.
Jika pilkada diserentakan dengan pemilu DPRD, partai-partai jauh
lebih terdorong mencalonkan kepala daerah. Pilkada provinsi yang
diserentakkan dengan pemilu DPRD provinsi, dan pilkada kabupaten/
kota yang diserentakkan dengan pemilu DPRD kabupaten/kota,
meningkatkan kepentingan partai untuk menaikkan elektabilitasnya
untuk mendapat kursi parlemen daerah, dengan mengusung kader
partai di pilkada.
Bab tentang Kampanye dan Dana Kampanye menjelaskan keadaan
undang-undang keragaman identitas dan kelas dalam pengertian dan
ranah kampanye. Seberapa bebas dan adil kampanye diartikan dan tak
diskriminatif melibatkan/menggunakan ragam identitas warga. Dan,
seberapa bebas dan adil kelas ekonomi yang terlibat dan menggunakan

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 67
finansialnya. Sehingga, regulasi dan implementasi kampanye
menggambarkan wajah kebebasan dan keadilan pemilu.
KPU penting mengklarifikasi seberapa bebas dan seberapa
membatasinya keragaman identitas dan kelas ekonomi peserta dan
pemilih terlibat kampanye. Bagaimana memastikan kebebasan dan
keadilan ragam identitas warga di dalam pilkada? Dan, bagaimana
memastikan kebebasan dan keadilan kelas dalam dana kampanye. Di
isu SARA, KPU bertanggung jawab agar kebebasan ragam identitas
tak berdampak pada ketidakadilan mayoritas dan minoritas. Di isu
dana kampanye, KPU pun bertanggung jawab memberi kebebasan
partisipasi publik dalam pendanaan sekaligus membatasi agar tak
terjadi ketimpangan kontestasi dan intervensi penyumbang setelah
kepala daerah terpilih.
Bab tentang Masa Tenang menggambarkan ketidaktenangan
antarpihak berkepentingan. Karena justru di masa tenang muncul
serangan fajar dan kampanye terselubung. Oleh sebab itu, KPU harus
menjamin ketenangan yang sejatinya merupakan sebuah fase penentuan
bagi peserta dan pemilih. Rekomendasi dari keadaan tenang tapi tak
tenang itu adalah menghapus masa tenang. Masa tenang berdasar sifat
alamiah kontestasi dan dukungan tak relevan. Karena, peserta dan tim
sukses ingin menjamin kemenangan. Pemilih pun dengan ragam tingkat
dukungannya ingin jagoannya memenangkan pilkada. Sehingga,
menyediakan tahap masa tenang berarti menciptakan potensi untuk
mencederai prinsip jujur dan adil dalam pemilu.
Bab tentang Penetapan Hasil Pemilu. Pembahasannya membuat kita
sadar, penetapan hasil pilkada menjadi titik pijak yang dapat memberikan
gambaran pemerintahan seperti apa yang akan berjalan. Namun, pilkada
di Indonesia mengandung ironi: proses pilkada yang demokratis tak
selalu menghasilkan pemerintahan yang baik. Pengalaman Pilkada 2015
dan 2017 memberi pelajaran bahwa pemerintahan yang dihasilkan oleh
pilkada lebih banyak berupa pemerintahan daerah terbelah, di mana
kepala daerah terpilih bukan berasal dari partai koalisi yang kuat. Hal
ini membuat pengambilan kebijakan menjadi sulit, sebab pengambilan
keputusan di daerah tidak bisa semata-mata digantungkan pada kualitas

PENYELENGGARAAN
68 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
personal kepala daerah, tetapi juga harus dipengaruhi oleh peta politik
parlemen yang mendukungnya.
Pada Bab tentang Partisipasi, KPU berfokus tak hanya meningkatkan
angka partisipasi pemilih secara umum. KPU makin getol menggarap
segmen pemilih disabilitas agar makin mudah berpartisipasi di pemilu.
Prinsip demokrasi mengatakan bahwa setiap warga negara mempunyai
hak dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan, begitu juga bagi
para penyandang disabilitas. Mereka punya hak politik untuk memilih
dan dipilih dalam tata pemerintahan.
KPU menyediakan informasi yang dibutuhkan publik dengan
menyediakan portal resmi dan sistem informasi dengan muatan
informasi dan data kepemiluan yang dapat diakses secara online dan
mudah oleh masyarakat. Di pilkada, ada sistem informasi pencalonan,
sistem informasi logistik, sistem informasi tahapan, sistem informasi
daftar pemilih, dan sistem informasi lain yang dapat diakses di portal
pilkada2015.kpu.go.id dan pilkada2017.kpu.go.id.
Sebagai penutup pendahuluan, buku berkonteks 2012-2017 ini
sangat mungkin meluputkan hal-hal lain yang mesti ditulis. Tapi, yang
berhasil ditulis dalam buku ini selama tiga bulan juga semoga berhasil
menuliskan hal yang memang mesti ditulis.
Semoga buku ini bisa menjadi tambahan pengetahuan dan
pemahaman yang baik terhadap pemilu Indonesia, khususnya pilkada.
Menjelaskan pemilu berdasarkan alur manajemen penyelenggaraan
dan capaian aktor-aktornya ada harapan khusus. Bagaimana sesuatu
dijelaskan bisa menentukan kecintaan warga terhadap pemilu.
Kecintaan terhadap pemilu layaknya kecintaan terhadap sepakbola.
Awalnya, di antara kita banyak menyukai sepakbola karena tim atau
pemain bermain bagus, atau simbolnya dekat dengan kita. Tapi
kedewasaan cinta kita terhadap sepakbola, bisa lepas dari soal pemain
dan tim. Saat tim dan/atau pemain bermain di kompetisi bonafit,
toh kita tetap menonton sepakbola tanpa elemen yang kita sukai itu.
Awalnya, kita mungkin suka memuji tim dan/atau pemain yang kita
sukai dan menjelek-jelekan tim dan/atau pemain lain. Tapi, semakin
memahami sepakbola, kita bisa jadi menyadari adanya yang kurang di

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 69
tim dan/atau pemain yang kita sukai, dan ada keunggulan di tim dan/
atau pemain lain. Hilanglah marah kita, dan makin positif kita terhadap
sepakbola.
Proses strata kecintaan itu yang kami, sebagai penulis, juga alami. Tak
sedikit kita awalnya menyukai pemilu karena partai, politisi, kandidat
yang kita anggap bagus. Tapi, sedikit demi sedikit, seiring meningkatnya
pemahaman terhadap manajemen penyelenggaraan pemilu membuat
sadar bahwa pemilu penting diklarifikasi untuk dijalankan aktivitasnya
karena kepedulian terhadap hal yang menyangkut orang banyak.
Sehingga, sentimen yang dibangun bukan karena mendukung atau
menolak, menang atau kalah, tapi karena kecintaan yang berangkat dari
pemahaman bahwa tak mungkin pemerintahan demokratis dijalankan
tanpa pemilu.
Semoga yang membaca buku ini bisa mencintai dan makin cinta
terhadap pemilu. Khususnya pemilu Indonesia. Lebih khususnya,
pilkada: pesta demokrasi lokal.

PENYELENGGARAAN
70 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
B. Persiapan
Penyelenggaraan
Pilkada:

Komitmen Efisiensi,
Partisipasi,
dan Kemandirian

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 71
PENYELENGGARAAN
72 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
4

Anggaran Pilkada

Demokrasi itu memang mahal.


Jika mau murah, pilih otoritarian saja.

P
ernyataan itu beberapa kali diucapkan dalam pembelaan pe
nyelenggaraan pilkada langsung. Kita tahu, salah satu alasan
DPR periode 2009-2014 ingin mengubah pilkada langsung
menjadi tak langsung melalui Undang-undang Pilkada
adalah soal anggaran. Pilkada langsung dinilai sangat mahal. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang di dalam transisi peme
rintahannya terdapat anggaran pilkada, dinilai memberatkan banyak
pemerintahan daerah.
Mengklarifikasi mahalnya anggaran pilkada dengan pernyataan
de mokrasi memang mahal dibanding otoritarian merupakan hal
benar, tapi punya catatan. Kurang pas jika anggaran demokrasi cuma
dibandingkan dengan otoritarian untuk mewajarkan kemahalan. Kita
perlu juga sadar lalu membandingkan dengan banyak praktik demokrasi
di negara lain atau daerah lain yang jauh lebih murah.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 73
Penyelenggara pemilu pun berkeinginan membuat anggaran pilkada
menjadi murah. Tapi, keinginan memurahkan ini seharusnya tanpa
mengurangi nilai dan tujuan demokrasi. Karena, ungkapan dari, oleh,
dan untuk rakyat sebagai pengertian pemerintahan demokrasi tak
melulu soal politik kekuasaan, tapi juga anggaran. Sebab, pilkada juga
diselenggarakan berdasar uang dari, oleh, dan untuk rakyat.
Maka, menjadi tanggung jawab pengusul dan pembuat kebijakan
untuk mengupayakan anggaran rakyat dalam pilkada dirancang
dan digunakan seefisien mungkin. Sebab, dalam anggaran negara
dan daerah, terdapat banyak kebutuhan rakyat seperti kesehatan,
pendidikan, dan pembangunan ekonomi. Sebuah kesalahan jika kita
mengklaim demokrasi itu mahal dalam menganggarkan pemilu/
pilkada tanpa sensitivitas terhadap ragam kebutuhan rakyat sebagai
pemilik anggaran.

4.1. Efisiensi sebagai Tujuan Keserentakan


UU No 1/2015 tentang Pilkada mencantumkan efisiensi
penyelenggaraan Pilkada sebagai salah satu tujuan undang-undang.
Dalam bagian Umum UU No 1/2015 dituliskan: Guna menjamin
transparansi dan efisiensi penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota maka lembaga penegak hukum wajib mengawasi pelaksanaan seluruh
tahapan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Kemudian dilanjutkan: Adapun pelaksanaan Kampanye difasilitasi oleh
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan menggunakan paradigma
efisiensi, efektifitas, dan proporsionalitas.
Penekanan efisiensi sebagai tujuan penyelenggaraan pilkada serentak
dikuatkan melalui revisi pertama terbatas terhadap UU No 1/2015 yang
kemudian menghasilkan UU No 8/2015. Pada bagian Umum Penjelasan
Undang-undang huruf b mengenai Tahapan Penyelenggaraan Pemilihan
tertulis: Adanya penambahan tahapan penyelenggaraan Pemilihan yang
diatur di dalam Perppu, yaitu tahapan pendaftaran bakal calon dan tahapan
uji publik, menjadikan adanya penambahan waktu selama 6 enam bulan dalam
penyelenggaraan Pemilihan. Untuk itu Undang-Undang ini bermaksud

PENYELENGGARAAN
74 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
menyederhanakan tahapan tersebut, sehingga terjadi efisiensi anggaran dan
efisiensi waktu yang tidak terlalu panjang dalam penyelenggaraan tanpa harus
mengorbankan asas pemilihan yang demokratis.
Juga pada huruf e mengenai penetapan calon terpilih tertulis: Salah
satu aspek penting yang diperhatikan dalam penyelenggaraan Pemilihan adalah
efisiensi waktu dan anggaran. Berdasarkan hal tersebut, perlu diciptakan sebuah
sistem agar pemilihan hanya dilakukan dalam satu putaran, namun dengan
tetap memperhatikan aspek legitimasi calon kepala daerah terpilih. Berdasarkan
hal tersebut, Undang-Undang ini menetapkan bahwa pasangan calon yang
memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.
Sejumlah ketentuan dalam regulasi pilkada tersebut bermakna
bahwa perancangan dan penerapan pilkada yang efisien harus menjadi
perhatian. Jika terjadi pemborosan anggaran, itu menandakan salah satu
tujuan undang-undang pilkada tidak tercapai.
Selain itu, ada ada dua hal mengapa semangat efisiensi anggaran
pilkada tak bisa dilepaskan. Pertama, inefisiensi anggaran merupakan
salah satu alasan ingin diubahnya pilkada langsung menjadi pilkada
tak langsung melalui Undang-Undang Pilkada. Kedua, keserentakan
pilkada -- yang diatur dalam UU No 1/2015, UU No 8/2015, dan UU
No 10/2016-- bertujuan untuk untuk menciptakan efisiensi anggaran
dalam pelaksanaan pesta demokrasi.
Melalui penyelenggaraan Pilkada serentak tiga gelombang untuk
semua tingkatan daerah, provinsi, dan kabupaten/kota, efisiensi ang
garan mestinya terwujud. Pada gelombang pertama, Pilkada Serentak
2015, pilkada digelar di 269 daerah, yang terdiri atas sembilan provinsi,
36 kota, dan 224 kabupaten. Gelombang kedua, Pilkada Serentak 2017,
pilkada serentak di 101 daerah yang terdiri atas tujuh provinsi, 18 kota,
dan 76 kabupaten. Dan, gelombang ketiga, Pilkada Serentak 2018
berjumlah 172 daerah, yang terdiri atas 17 provinsi, 39 kota, dan 116
kabupaten.
Namun, ternyata itu belum sepenuhnya terwujud. Sebab, efisiensi
anggaran dari keserentakan pilkada, hanya akan benar-benar terwujud
jika pilkada provinsi di suatu daerah digelar bersamaan dengan pilkada
kabupaten/kota di daerah tersebut. Sebab, pilkada dua tingkat seperti

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 75
itu, biaya logistik, sosialisasi pemilih, kampanye pasangan calon, dan
debat untuk pilkada provinsi, kabupaten, dan kota, semuanya bisa
dibuat dalam satu anggaran.
Bahkan, dengan menggelar pilkada serentak dua tingkat, gambar
pasangan calon gubernur dan bupati/wali kota bisa dibuat di satu surat
suara yang sama. Bagian atas surat suara bisa menjadi tempat memasang
gambar pasangan calon gubernur-wakil gubernur, sedangkan bagian
bawah surat suara menjadi tempat memasang gambar pasangan bupati-
wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota.
Efisiensi demikian mestinya sudah bisa diterapkan dalam pilkada
gelombang pertama hingga ketiga. Sebab, di sejumlah daerah, ada yang
pilkada gubernurnya serentak digelar dengan pilkada bupati/wali kota.
Dalam pilkada serentak gelombang pertama pada 2015 lalu, misal
nya, dari 269 daerah, yang pilkada gubernurnya dilaksanakan serentak
dengan pilkada wali kota antara lain: Pemilihan Gubernur Wakil Gu
bernur Sumatera Barat yang dilaksanakan serentak dengan 11 pemilihan
bupati-wakil bupati dan dua pemilihan wali kota di Sumatera Barat;
Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Bengkulu yang bersamaan
waktunya dengan pemilihan bupati-wakil bupati di 11 kabupaten di
Bengkulu; Pemilihan Gubernur Kalimantan Utara yang bersamaan
dengan pemilihan empat bupati-wakil bupati di empat kabupaten di
Kalimantan Utara; dan Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Maluku
Utara yang serentak dengan pilkada di empat kabupaten dan dua kota
di Maluku Utara.
Hal yang sama terjadi dalam pilkada serentak gelombang kedua
pada 2017. Dari 101 daerah yang berpilkada, pilkada dua tingkat terjadi
di tiga lokasi. Yaitu dalam Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Aceh
yang bersamaan waktunya dengan pemilihan 16 bupati-wakil bupati
dan empat wali kota-wakil wali kota di Serambi Makkah; Pemilihan
Gubernur Gorontalo yang bersamaan waktunya dengan pemilihan
bupati-wakil bupati di salah satu kabupaten di Provinsi Gorontalo;
dan Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Papua Barat yang serentak
dengan pemilihan tiga bupati-wakil bupati serta satu wali kota-wakil
wali kota di Papua Barat.

PENYELENGGARAAN
76 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Bahkan, dalam pilkada serentak gelombang ketiga pada 2018, jumlah
pilkada dua tingkat tersebut lebih banyak lagi. Sebab, dari 17 provinsi
yang menggelar pilkada, 16 di antaranya bersamaan dengan pilkada
kabupaten/kota di provinsi tersebut, adalah:
1. Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Sumatera Utara yang
bersamaan dengan pilkada di satu kota dan tujuh kabupaten di
Sumatera Utara;
2. Pilkada Gubernur Riau yang bersamaan dengan pilkada satu
kabupaten di Riau;
3. Pilkada Gubernur Sumatera Selatan yang bersamaan dengan
pilkada empat kota dan lima kabupaten di Sumatera Selatan;
4. Pilkada Gubernur Lampung yang bersamaan waktunya dengan
pilkada di dua kabupaten di Lampung;
5. Pilkada Gubernur Jawa Barat yang bersamaan waktunya dengan
pilkada di lima kota dan 10 kabupaten di Jawa Barat;
6. Pilkada Gubernur Jawa Tengah yang bersamaan waktunya
dengan pilkada di satu kota dan enam kabupaten di Jawa Tengah;
7. Pilkada Gubernur Jawa Timur yang bersamaan waktunya dengan
pilkada di lima kota dan 13 kabupaten di Jawa Timur;
8. Pilkada Gubernur Bali yang bersamaan waktunya dengan pilkada
dua kabupaten di Bali.
9. Pilkada Gubernur NTB yang bersamaan waktunya dengan
pilkada di satu kota dan tiga kabupaten di NTB;
10. Pilkada Gubernur NTT yang bersamaan waktunya dengan
pilkada di 10 kabupaten di NTT;
11. Pilkada Gubernur Kalimantan Barat yang bersamaan waktunya
dengan pilkada di satu kota dan empat kabupaten di Kalimantan
Barat;
12. Pilkada Gubernur Kalimantan Timur yang bersamaan waktunya
dengan pilkada di satu kabupaten di Kalimantan Timur;
13. Pilkada Gubernur Sulawesi Selatan yang bersamaan waktunya
dengan pilkada di tiga kota dan sembilan kabupaten di Sulawesi
Selatan;
14. Pilkada Gubernur Sulawesi Tenggara yang bersamaan waktunya

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 77
dengan pilkada di satu kota dan dua kabupaten di Sulawesi
Tenggara;
15. Pilkada Gubernur Maluku yang bersamaan waktunya dengan
pilkada di satu satu kota dan satu kabupaten di Maluku; dan
16. Pilkada Gubernur Papua yang bersamaan waktunya dengan
pilkada di tujuh kabupaten di Papua.

4.2. Dari APBN ke APBD


UU No 1/2015, pada bagian umum menjelaskan, anggaran pilkada
bersumber dari APBN dan dapat didukung APBD. UU awal yang
mengatur pilkada serentak ini memposisikan APBN sebagai sumber
anggaran utama pilkada, sedangkan APBD sebagai pendukung. Ru
musan selengkapnya adalah: Pendanaan penyelenggaraan Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan dapat didukung Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.
Bahkan, UU No 1/2015 juga menjamin ragam bentuk kampanye
melalui anggaran yang bersumber dari APBN tersebut. Pilkada Serentak
2015 merupakan pilkada pertama yang menempatkan kampanye
pasangan calon melalui reklame sebagai kewenangan KPU provinsi atau
KPU kabupaten/kota. Tujuannya adalah untuk menciptakan kontestasi
yang lebih setara di antara pasangan calon.
Pasal 65 Ayat (1) UU No 1/2015 menuliskan kampanye dapat
dilaksanakan melalui:
a. pertemuan terbatas;
b. pertemuan tatap muka dan dialog;
c. debat publik/debat terbuka antarcalon;
d. penyebaran bahan Kampanye kepada umum;
e. pemasangan alat peraga;
f. iklan media massa cetak dan media massa elektronik; dan/atau
g. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan Kampanye dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

PENYELENGGARAAN
78 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Kemudian, Pasal 65 Ayat (2) UU No 1/2015 merinci bentuk
kampanye yang jaminan pembiayaannya bersumber dari APBN.
Kalimat lengkapnya adalah: Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f difasilitasi oleh KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota yang didanai APBN.
Bab XII Pendanaan UU No 1/2015 menekankan posisi APBN
sebagai sumber utama anggaran pilkada, sedangkan posisi APBD
merupakan anggaran pendukung Pilkada. Pasal 166 bertuliskan:
Pendanaan kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dibebankan
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan dapat didukung melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Tapi, pada Bab XXVI (Ketentuan Peralihan), pada Pasal 200 Ayat (1)
UU No 1/2015 yang menyatakan anggaran pilkada yang bersumber
dari APBN, diubah menjadi APBD. Bunyinya: Pendanaan kegiatan
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang dilaksanakan pada tahun 2015
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Maksud Ketentuan Peralihan UU No 1/2015 itu makin nyata dalam
UU No 8/2015. Sebagai hasil revisi terbatas UU No 1/2015, UU No
8/2015 membalik posisi APBN dengan APBD. Jika APBN dalam UU
No 1/2015 merupakan sumber utama anggaran pilkada, sedangkan
APBD merupakan anggaran pendukung, dalam UU No 8/2015 diubah
menjadi: APBN hanya menjadi sumber pendukung anggaran pilkada,
sedangkan sumber utamanya adalah APBD.
Salah satu perubahan signifikan bertukarnya posisi APBN dengan
APBD sebagai sumber anggaran pilkada ada dalam ketentutan kam
panye. Sebelumnya, kampanye jenis debat publik/debat terbuka antarcalon;
penyebaran bahan kampanye kepada umum; pemasangan alat peraga; dan iklan
media massa cetak dan media massa elektronik; ditanggung APBN. Tapi, da
lam Pasal 65 Ayat (2) UU No 8/2015, semua itu menjadi tanggungan
APBD. Bunyi ayatnya sebagai berikut: Kampanye sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f difasilitasi oleh KPU Provinsi
dan KPU Kabupaten/Kota yang didanai APBD.
Pasal 166 yang masuk dalam Bab XII Pendanaan dalam UU No 1/2015

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 79
pun masuk bagian yang direvisi. Perubahan pasal ini membalikan posisi
APBN sebagai sumber utama anggaran pilkada menjadi sebatas sumber
anggaran pendukung. Pasal 166 dalam UU No 8/2015 berbunyi:
1. Pendanaan kegiatan Pemilihan dibebankan pada Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah dan dapat didukung oleh Anggaran
Pendapatan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Ketentuan mengenai dukungan Anggaran Pendapatan Belanja
Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan kegiatan Pemilihan
yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 200 sebagai bagian dari Ketentuan Peralihan dalam UU No


1/2015 pun mengalami revisi yang hasilnya adalah UU No 8/2015. Pasal
200 mendapatkan tambahan Ayat (2) yang menguatkan APBD sebagai
sumber utama anggaran pilkada. Bunyinya:
2. Dalam hal kegiatan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, serta Pemilihan Walikota
dan Wakil Walikota yang dilaksanakan pada tahun 2015 dan
dilanjutkan pada tahun 2016, pendanaannya dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2016.

Peran APBN sebagai sumber utama anggaran pilkada semakin hilang


setelah UU No10/2016 lahir sebagai tambahan regulasi penyelenggaraan
Pilkada Serentak 2017. Hasil revisi terbatas kedua undang-undang
pilkada ini mengecilkan kemungkinan peran pemerintah menggunakan
APBN untuk membantu anggaran pilkada.
UU No 10/2016 menghapus Ayat (2) dalam Pasal 166. Tanpa ayat
ini, tak akan ada kemungkinan Pemerintah berkebijakan menggunakan
APBN untuk penyelenggaraan pilkada. Pasal 166 UU No 10/2016
bertuliskan:
1. Pendanaan kegiatan Pemilihan dibebankan pada Anggaran

PENYELENGGARAAN
80 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Pendapatan Belanja Daerah dan dapat didukung oleh Anggaran
Pendapatan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Dihapus.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan kegiatan Pemilihan
yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
diatur dengan Peraturan Menteri.

4.2.1. Terancam Tertunda karena APBD tak Siap


UU No 8/2015 sebagai hasil revisi terbatas pertama UU No 1/2015
menjadi dasar penyelenggaraan pilkada serentak dengan sumber
anggaran dari APBD. Saat diterapkan dalam penyelenggaraan Pilkada
2015 di 269 daerah, keserentakan pilkada menjadi terancam, karena
sejumlah daerah berada dalam kondisi keuangan yang sulit dan tak siap
menganggarkan pilkada.
Pada 22 Mei 2015, ada 66 daerah yang belum menandatangani
Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NHPD). Pilkada Kabupaten Barru
salah satunya. KPU Kabupaten Barru berulang kali tertunda untuk
menandatangani NPHD. Karena itu, pencairan anggaran belum bisa
dilakukan, sementara tahapan pilkada terus berjalan. Akibatnya, KPU
Kabupaten Barru harus berutang. Sejak dimulainya tahapan hingga
pembentukan PPK dan PPS, jumlah utang KPU Barru mencapai Rp 200
juta (rumahpemilu.org: 23 Mei 2015).
Di Pilkada 2017, dari 101 daerah yang menandatangani NHPD,
hanya 31 daerah yang bisa mencairkan dananya sebelum batas akhir
yaitu tanggal 22 Juni 2016. Keterlambatan pencairan NHPD ini bisa
mengakibatkan 70 daerah lainnya tidak dapat mengikuti Pilkada
Serentak 2017, karena terlambat membentuk PPK dan PPS. KPU sangat
mengkhawatirkan keadaan itu, karena jika tak ada anggaran, penundaan
pilkada hampir pasti menjadi konsekuensinya. Sebab, setiap tahapan
pilkada memerlukan biaya dan pembayaran pada awal kegiatan.
Dalam hal pembentukan PPS dan PPK, misalnya, anggaran rekrutmen
kepanitiaan tersebut harus sudah dipersiapkan sebelum pelaksanaan,

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 81
karena dibutuhkan untuk materi tes, penggandaan formulir, dan seba
gainya.
Menghadapi keadaan tersebut, KPU pun kemudian mencoba
mengantisipasinya melalui pengaturan di PKPU. Undang-Undang
Pilkada menyebutkan beberapa alasan penundaan pilkada, termasuk
gangguan lainnya. Sehingga, jika sampai anggaran benar-benar tak
cair di sejumlah daerah, yang mengakibatkan pilkada tertunda, KPU
akan mengklarifikasi penundaan pilkada tersebut menggunakan alasan
gangguan lainnya.

4.3. OBJEKTIVITAS ANGGARAN PILKADA SUMIR


Anggaran pilkada bersumber dari APBD membuat besaran objektif
anggaran tiap daerah menjadi sumir. Merupakan hal wajar jika besaran
anggaran pilkada ditentukan varibel jumlah pemilih; keadaan geografis
--seperti dataran tinggi atau rendah, juga luas daratan dan perairan;
status tingkat administrasi; dan kekhususan konteks daerah. Perbedaan
dari keadaan ragam variabel itu yang menjadi pembeda apakah
anggaran pilkada di suatu daerah lebih besar atau lebih kecil.
Tapi merujuk besar anggaran tiap daerah, ragam variabel itu seperti
tak ada relevansinya. Ada daerah yang penduduk/pemilihnya lebih
sedikit dibandingkan daerah lain, tapi anggaran pilkadanya jauh le
bih besar. Ada daerah yang sebagian besar wilayahnya merupakan
perairan yang anggaran pilkadanya bisa rendah dibanding daerah lain
yang sebagian besar wilayahnya berupa daratan. Ada juga daerah di
dataran rendah yang beranggaran pilkada lebih tinggi dari daerah di
pegunungan. Ini terjadi di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota.

PENYELENGGARAAN
82 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
TABEL 9: BESAR ANGGARAN PER PEMILIH PADA PROVINSI YANG
MELAKSANAKAN PILKADA 2015

PILKADA PROVINSI ANGGARAN/


DPT ANGGARAN
2015 PEMILIH

BENGKULU 1,434,099 62,240,600,000 43,400.49

SUMATERA BARAT 3,517,022 78,000,000,000 22,177.85

JAMBI 2,449,883 101,000,000,000 41,226.46

KEPULAUAN RIAU 1,213,797 62,500,000,000 51,491.31

KALIMANTAN UTARA 437,663 92,000,000,000 210,207.40

KALIMANTAN TENGAH 1,952,822 102,200,000,000 52,334.52

KALIMANTAN SELATAN 2,840,520 10,000,000,000 38,725.30

TOTAL 13,845,806 607,940,600,000 43,907.92

TABEL 10: BESAR ANGGARAN PER PEMILIH PADA PROVINSI YANG


MELAKSANAKAN PILKADA 2017

PILKADA PROVINSI ANGGARAN/


DPT ANGGARAN
2017 PEMILIH

ACEH 3,431,582 179,478,201,600 52,301.88

KEP. BANGKA
915,853 88,663,139,000 96,809.36
BELITUNG

DKI JAKARTA 7,108,589 478,374,049,685 67,295.22

BANTEN 7,734,485 270,000,000,000 34,908.59

GORONTALO 791,129 77,989,407,950 98,579.89

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 83
SULAWESI BARAT 840,091 103,088,739,025 122,711.40

PAPUA BARAT 701,891 506,384,609,000 721,457.62

TOTAL 21,523,620 1,703,978,146,260 79,167.82

Kesumiran itu misalnya terjadi di Pilkada Provinsi Kalimantan


Utara. Provinsi baru yang hanya memiliki 433.623 penduduk ini
menganggarkan pilkada sebesar Rp 92 miliar. Sedangkan, Provinsi
Sumatera Barat yang berpenduduk 3.611.551, hanya menganggarkan
Rp 78 miliar. Biaya Pilkada Kalimantan Utara lebih mahal 14 miliar
dibanding Pilkada Sumatera Barat, padahal penduduk Sumatera
Barat delapan kali lipat dari penduduk Kalimantan Utara. Jika ukuran
biayanya diukur per pemilih, akan makin terlihat perbedaannya. Biaya
per pemilih di Pilkada Kalimantan Utara adalah Rp 212.165, sedangkan
biaya per pemilih di Pilkada Sumatera Barat adalah Rp 21.597.
Kesumiran pun terjadi di pilkada tingkat kabupaten/kota. Pilkada
Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, merupakan pilkada termahal,
dengan biaya Rp 73 miliar. Sedangkan, Pilkada Bangli, Provinsi Bali,
merupakan pilkada termurah dengan biaya hanya Rp 1 miliar.
Jika pilkada tiap kabupaten/kota dibandingkan dengan ukuran
biaya per pemilih pun kian terlihat perbedaan jauhnya. Pilkada Tana
Tidung merupakan pilkada berbiaya per pemilih termahal, yaitu Rp 1,1
juta per pemilih. Sedangkan Pilkada Bangli merupaan pilkada berbiaya
terendah, karena hanya Rp 6.000 per pemilih.
Faktor geografis pun menjadi sumir untuk menjadi ukuran. Sebab,
ada daerah kepulauan yang biaya pilkadanya mahal, tapi ada juga yang
murah. Ada pilkada di daerah pegunungan yang mahal, juga ada yang
murah.

PENYELENGGARAAN
84 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
TABEL 11: LIMA DAERAH DALAM PILKADA 2015 YANG PALING
TINGGI ANGGARAN PER PEMILIHNYA

NAMA DAERAH DPT ANGGARAN (RP) RP/PEMILIH

TANA TIDUNG 13,536 20,263,811,150 1,497,030

MAHAKAM ULU 20,627 30,797,582,800 1,493,071

SORONG SELATAN 35,751 30,937,277,680 865,354

MAMBERAMO RAYA 24,777 21,000,000,000 847,560

SUPIORI 15,103 12,000,000,000 794,544

TABEL 12: LIMA DAERAH DALAM PILKADA 2015 YANG PALING


RENDAH ANGGARAN PER PEMILIHNYA

RP/
NAMA DAERAH DPT ANGGARAN (RP)
PEMILIH

SERANG 1,113,656 21,103,272,358 18,950

MALANG 2,051,279 39,384,900,000 19,200

DEMAK 858,300 16,600,321,000 19,341

KLATEN 1,037,875 21,678,888,000 20,888

BANDUNG 2,505,929 54,689,674,416 21,824

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 85
TABEL 13: LIMA DAERAH DALAM PILKADA 2017
YANG PALING TINGGI ANGGARAN PER PEMILIHNYA

NAMA DAERAH DPT ANGGARAN (RP) RP /PEMILIH

TAMBRAUW 24,998 43,995,425,200 1,759,957

MAYBRAT 28,914 45,000,000,000 1,556,339

SARMI 26,672 34,000,000,000 1,274,745

MAPPI 69,809 63,872,014,000 914,953

INTAN JAYA 79,337 66,804,949,500 842,040

TABEL 14: LIMA DAERAH DALAM PILKADA 2017


YANG PALING RENDAH ANGGARAN PER PEMILIHNYA

ANGGARAN /
NAMA DAERAH DPT ANGGARAN (RP)
PEMILIH

BREBES 1,522,560 40,565,089,000 26,642.69

CILACAP 1,466,869 39,265,446,400 26,768.20

BANJARNEGARA 777,957 21,637,800,000 27,813.62

PATI 1,034,256 29,795,422,000 28,808.56

JEPARA 858,958 25,535,232,000 29,728.15

4.3.1. Intervensi Petahana yang Kembali Mencalonkan Diri


Kendati sebagian daerah soal anggarannya berjalan lancar, namun
bukan berarti sepi dari masalah. Sebab, di provinsi dan kabupaten/
kota di mana kepala daerahnya kembali mencalonkan diri, ternyata

PENYELENGGARAAN
86 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
potensial menciptakan relasi tak setara antara petahana dengan KPU
provinsi dan KPU kabupaten/kota. Sebab, besaran anggaran pilkada
yang diajukan KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota disetujui oleh
sang kepala daerah petahana. Petahana akan merasa berposisi sebagai
pemberi anggaran yang bisa mempersulit atau memperlancar kerja
penyelenggara. Sedangkan, KPUD akan merasa berposisi sebagai pe
nerima.
Keadaan relasi tak setara tak hanya terjadi antara petahana dengan
KPUD, tapi juga dalam relasi antara calon petahana dengan calon-
calon lainnya. Karena, dominasi petahana dalam kontestasi demokrasi
lokal semakin kuat. Keadaan ini bertentangan dengan cita kesetaraan
kontestasi pilkada melalui fasilitasi kampanye oleh KPU dan pembatasan
anggaran kampanye para calon.
Tercatat 278 petahana yang mencalonkan diri dalam Pilkada 2015.
Sebanyak 150 berstatus kepala daserah, 128 lainnya wakil kepala daerah.
Ke-278 petahana itu terdiri atas: lima gubernur, lima wakil gubernur, 118
bupati, 103 wakil bupati, 27 wali kota, dan 20 wakil wali kota. Mereka
tersebar di 200 daerah dari total 269 daerah yang menyelenggarakan
Pilkada 2015.
Di Pilkada 2017, dari 311 pasangan calon yang berkontestasi, sebanyak
110 pasangan (35 persen) di antaranya adalah petahana. Berdasarkan
informasi dari pilkada.kpu.go.id dan pencarian informasi lainnya oleh
rumahpemilu.org, jika dihitung per individu, jumlah petahana ini 133
orang. Dari ke-133 petahana tersebut, 72 orang (54 persen) berstatus
kepala daerah dan 61 orang (45 persen) berstatus wakil kepala daerah.
Dari 61 wakil kepala daerah ini, 29 (47 persen) mencalonkan diri sebagai
kepala daerah.
Para petahana tersebut punya kecenderungan memperlancar ang
garan pilkada. Bentuknya bisa memenuhi 100 persen anggaran yang
diajukan KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota, bahkan bisa men
cairkan lebih dari yang diajukan.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 87
TABEL 15: PILKADA SERENTAK 2015 YANG PETAHANANYA MENCALONKAN DIRI DAN MENYETUJUI

88
ANGGARAN 100 PERSEN ATAU LEBIH (KORELASI PETAHANA DAN ANGGARAN PILKADA 2015)

DAFTAR ANGGARAN ANGGARAN SELESIH


DAERAH PEMILIH DIAJUKAN DISETUJUI (RP % BIAYA /
NO PROVINSI
PILKADA TETAP (RP DALAM (RP DALAM DALAM PERSETUJUAN PEMILIH
(DPT) M) M) JUTA)

1 KOTA METRO Lampung 112,822 5,9 6,4 567,0 110 57,560

PENYELENGGARAAN
KAB. TORAJA Sulawesi
2 171,293 14,6 15,0 441,6 103 87,993

Pilkada Serentak 2015 dan 2017


UTARA Selatan
KAB. Jawa
3 765,573 25,4 25,4 58,9 100 33,255
PONOROGO Timur
Sumatera
4 KAB. NIAS 85,829 15,5 15,5 - 100 180,592
Utara
KAB. Sumatera
5 288,531 21,0 21,0 - 100 72,782
LABUHANBATU Utara
KAB.
Sumatera
6 MANDAILING 329,684 25,2 25,2 - 100 76,585
Utara
NATAL
KAB. PAKPAK Sumatera
7 32,842 9,9 9,9 - 100
BHARAT Utara 301,878
KAB.
Sumatera
8 LABUHANBATU 228,375 17,4 17,4 - 100 76,435
Utara
UTARA
KAB. NIAS Sumatera
9 87,391 16,8 16,8 - 100 193,037
UTARA Utara
KAB. NIAS Sumatera
10 57,892 15,2 15,2 - 100 262,910
BARAT Utara
KAB. TANAH Sumatera
11 266,507 17,3 17,3 - 100 65,230
DATAR Barat
KAB. LIMA Sumatera
12 262,738 16,1 16,1 - 100 61,531
PULUH KOTA Barat
KAB. INDRAGIRI
13 Riau 295,316 18,0 18,0 - 100 61,031
HULU
KAB.
14 Riau 193,747 21,1 21,1 - 100 108,917
PELALAWAN
KAB. ROKAN
15 Riau 401,994 23,4 23,4 - 100 58,414
HILIR
KAB.

Pilkada Serentak 2015 dan 2017


PENYELENGGARAAN
16 KEPULAUAN Riau 140,045 5,0 5,0 - 100 35,703
MERANTI

89
90
17 KOTA DUMAI Riau 170,883 10,5 10,5 100 61,446
-

18 KAB. BUNGO Jambi 241,459 13,4 13,4 100 55,903


-
KAB. OGAN
Sumatera
19 KOMERING ULU 486,487 37,4 37,4 100 76,955
Selatan -
TIMUR

PENYELENGGARAAN
KAB. OGAN
Sumatera
20 KOMERING ULU 265,684 29,7 29,7 100
Selatan - 111,866

Pilkada Serentak 2015 dan 2017


SELATAN
KAB. PENUKAL
Sumatera
21 ABAB 129,663 16,0 16,0 100
Selatan - 123,397
LEMATANG ILIR
KAB. MUSI Sumatera
22 150,959 25,0 25,0 100
RAWAS UTARA Selatan - 165,608
KAB.
23 BENGKULU Bengkulu 206,439 16,8 16,8 100 81,730
-
UTARA
KAB.
24 Bengkulu 109,690 8,4 8,4 100 76,579
KEPAHIANG -
KAB. LAMPUNG
25 Lampung 981,069 24,1 24,1 100 24,661
TENGAH -
KAB. LAMPUNG
26 Lampung 794,636 24,9 24,9 100 31,442
TIMUR -
KOTA BANDAR
27 Lampung 630,366 20,2 20,2 100 32,140
LAMPUNG -
Kep.
KAB. BANGKA
28 Bangka 116,356 13,0 13,0 100
TENGAH - 112,583
Belitung
Kep.
KAB. BANGKA
29 Bangka 126,579 11,5 11,5 100 90,852
BARAT -
Belitung
KEPULAUAN
30 Kep. Riau 1,037,875 62,5 62,5 100 51,491
RIAU -

31 KAB. KARIMUN Kep. Riau 173,901 9,7 9,7 100 56,210


-
KAB.
32 KEPULAUAN Kep. Riau 30,029 7,6 7,6 100
- 253,549

Pilkada Serentak 2015 dan 2017


PENYELENGGARAAN
ANAMBAS
KAB.
33 Jawa Barat 1,563,281 59,5 59,5 100 38,123
KARAWANG -

91
92
KAB.
34 Jawa Barat 308,663 15,9 15,9 100 51,789
PANGANDARAN -
KAB. Jawa
35 632,126 22,7 22,7 100 35,957
PURWOREJO Tengah -
Jawa
36 KAB. BOYOLALI 761,840 18,1 18,1 100 23,879
Tengah -
Jawa
37 KAB. KLATEN 1,037,875 21,6 21,6 100 20,888

PENYELENGGARAAN
Tengah -
Jawa
38 KAB. DEMAK 858,300 16,6 16,6 100 19,341

Pilkada Serentak 2015 dan 2017


Tengah -
KOTA Jawa
39 400,644 13,6 13,6 100 34,016
SURAKARTA Tengah -
Jawa
40 KAB. KEDIRI 1,207,704 46,6 46,6 100 38,594
Timur -
KAB. Jawa
41 505,222 25,0 25,0 100 49,483
SITUBONDO Timur -
Jawa
42 KAB. NGAWI 731,794 24,0 24,0 100 32,796
Timur -
Jawa
43 KAB. GRESIK 921,440 36,0 36,0 100 39,148
Timur -
Jawa
44 KAB. SUMENEP 903,164 33,9 33,9 100 37,562
Timur -

45 KOTA CILEGON Banten 295,445 22,1 22,1 100 75,090


-
KAB.
46 Bali 225,386 11,4 11,4 100 50,897
JEMBRANA -

47 KAB. TABANAN Bali 354,352 16,4 16,4 100 46,406


-

48 KAB. BADUNG Bali 359,320 19,5 19,5 100 54,287


-

49 KAB. BANGLI Bali 184,569 10,9 10,9 100 59,358


-
KAB.
50 Bali 382,924 15,6 15,6 100 40,914
KARANGASEM -
KOTA
51 Bali 422,294 16,6 16,6 100 39,437
DENPASAR -
KAB. SUMBAWA
52 NTT 90,667 12,0 12,0 100
BARAT - 132,352

Pilkada Serentak 2015 dan 2017


PENYELENGGARAAN
KOTA
53 NTB 295,345 20,0 20,0 100 67,717
MATARAM -

93
94
KAB.
54 KOTAWARINGIN Kalimantan 350,355 25,1 25,1 100 71,737
-
TIMUR Tengah

KAB.
55 Kalimantan 225,563 25,4 25,4 100
KOTABARU - 112,642
Selatan

KOTA

PENYELENGGARAAN
56 Kalimantan 144,449 13,3 13,3 100 92,342
BANJARBARU -
Selatan

Pilkada Serentak 2015 dan 2017


KAB. KUTAI
57 Kalimantan 515,644 73,4 73,4 100
KARTANEGARA - 142,419
Timur

58 KAB. BERAU Kalimantan 152,363 37,2 37,2 100


- 244,416
Timur

KAB. KUTAI
59 Kalimantan 265,246 52,9 52,9 100
TIMUR - 199,767
Timur

KAB.
60 Kalimantan 20,627 30,7 30,7 100 1,493,071
MAHAKAM ULU -
Timur
KOTA
61 Kalimantan 449,987 40,5 40,5 100 90,113
BALIKPAPAN -
Timur

KOTA
62 Kalimantan 576,808 55,6 55,6 100 96,532
SAMARINDA -
Timur
Malaku
63 KOTA MANADO 365,580 20,0 20,0 100 54,708
Utara -
KAB.
64 Gorontalo 96,065 12,5 12,5 100
PAHUWATO - 130,120
Sulawesi
65 KAB. MAMUJU 167,895 21,8 21,8 100
Barat - 130,423
KAB. MAMUJU Sulawesi
66 86,582 9,3 9,3 100
TENGAH Barat - 108,562

67 KAB. SUPIORI Papua 15,103 12,0 12,0 - 100


794,544
KAB.
68 MAMBERAMO Papua 24,777 21,0 21,0 100
- 847,560

Pilkada Serentak 2015 dan 2017


PENYELENGGARAAN
RAYA

95
TABEL 16: PILKADA SERENTAK 2017 YANG PETAHANANYA MENCALONKAN DIRI DAN MENYETUJUI

96
ANGGARAN 100 PERSEN ATAU LEBIH (KORELASI PETAHANA DAN ANGGARAN PILKADA 2017)

BIAYA/
ANGGARAN ANGGARAN SELESISIH
NAMA DAERAH NAMA DAFTAR PEMILIH PEMILIH
NO PENGAJUAN REALISASI (RP % REALISASI
PILKADA PROVINSI TETAP (DPT) (RP DALAM
(RP DALAM M) DALAM M) RP
M)
Sulawesi
1 Kab. Buol 95,753 20,8 29,6 8,8 142.26 309,626

PENYELENGGARAAN
Tengah

2 Kab. Jayapura Papua 132,094 30 38,3 8,3 127.85 290,354

Pilkada Serentak 2015 dan 2017


3 Kota Ambon Maluku 237,627 24,4 26,4 2,0 108.23 111,330

4 Kab. Nduga Papua 94,071 59,8 61,8 1,9 103.29 657,450

5 Kab. Aceh Barat Daya Aceh 102,338 23,4 23,4 0 100 228,904

6 Kab. Bekasi Jawa Barat 1,974,831 72,1 72,1 0 100 36,537

Kab. Bolaang
7 Sulawesi Utara 167,551 25,3 25,3 0 100 151,479
Mongondow

8 Kab. Buleleng Bali 583,381 40,2 40,2 0 100 68,953


9 Kab. Buru Maluku 94,688 19 19 0 100 200,659

Sulawesi
10 Kab. Buton 71,527 24,6 24,6 0 100 344,506
Tenggara

11 Kab. Flores Timur NTT 154,424 25,8 25,8 0 100 167,194

12 Kab. Intan Jaya Papua 79,337 66,8 66,8 0 100 842,040

Sulawesi
13 Kab. Kolaka Utara 93,026 20,2 20,2 0 100 217,808
Tenggara

14 Kab. Kulon Progo DIY 332,211 14,3 14,3 0 100 43,130

15 Kab. Mappi Papua 69,809 63,8 63,8 0 100 914,954

Sulawesi
16 Kab. Muna Barat 51,495 22,4 22,4 0 100 436,703
Tenggara

17 Kab. Pati Jawa Tengah 1,034,256 29,7 29,7 0 100 28,809

18 Kab. Puncak Jaya Papua 179,144 59,9 59,9 0 100 334,919

Pilkada Serentak 2015 dan 2017


PENYELENGGARAAN
19 Kab. Sorong Papua Barat 85,899 52,7 52,7 0 100 613,901

97
4.4. SERENTAK YANG TAK
SERENTAK
76,041

86,013

91,886

49,893

67,295
Karena anggaran pilkada ber
sumber dari APBD, bukan APBN,
akibatnya pilkada provinsi yang
100

100

100

100

100
waktunya dengan pilkada ka
bupaten/kota di provinsi tersebut,
berjalan sendiri-sendiri. KPU provinsi
dengan APBD pemerintahan provinsi
0

menyelenggarakan pemilihan gu
bern
ur-wakil gubernur, KPU ka
bupaten dengan APBD kabupaten
menyelenggarakan pemilihan bupati-
15

12,7

34,5

14,9

478,3

wakil bupati, dan KPU kota dengan


APBD kota menyelenggarakan pe
milihan wali kota-wakil wali kota.
Keserentakan yang tak serentak ini
15

12,7

34,5

14,9

478,3

membuat anggaran pilkada menjadi


tak efisien. Karena anggaran pilkada
provinsi serta pilkada kabupaten dan
197,263

147,975

375,722

298,989

7,108,589

kota yang masih dalam satu provinsi


menjadi tak bisa disinergikan untuk
menyusun dan membelanjakan ang
garan penyelenggaraan pilkada.
Padahal, kebutuhan masing-masing
Jawa Timur

DKI Jakarta
Jawa Barat
Lampung

daerah yang berpilkada tersebut


DIY

relatif sama. Sehingga, seharusnya


kepanitiaan, kotak suara, surat
Kab. Tulang Bawang

Provinsi DKI Jakarta

suara, serta kebutuhan lainnya bisa


Kota Yogyakarta
Kota Cimahi

disatukan.
Kota Batu
Barat
20

21

22

23

24

PENYELENGGARAAN
98 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
TABEL 17: ANGGARAN PILKADA SERENTAK 2015 DI PROVINSI DAN
KABUPATEN/KOTA DI SUMATERA BARAT

ANGGARAN ANGGARAN
NO DAERAH PILKADA DPT
DISETUJUI /PEMILIH
PROVINSI
1 3,517,022 78,000,000,000 22,177.85
SUMATERA BARAT

2 KAB. AGAM 332,959 22,643,179,381 68,005.91

3 KAB. DHARMASRAYA 136,023 15,850,000,000 116,524.41

KAB. LIMA PULUH


4 263,780 16,166,564,000 61,288.06
KOTA
KAB. PADANG
5 277,313 17,000,000,000 61,302.57
PARIAMAN

6 KAB. PASAMAN 190,621 11,720,000,000 61,483.26

KAB. PASAMAN
7 244,417 17,879,631,000 73,152.16
BARAT
KAB. PESISIR
8 312,313 22,289,820,178 71,370.13
SELATAN

9 KAB. SIJUNJUNG 148,946 14,400,000,000 96,679.33

10 KAB. SOLOK 275,795 9,200,000,000 33,358.11

KAB. SOLOK
11 111,290 9,200,000,000 82,666.91
SELATAN

12 KAB. TANAH DATAR 268,900 17,384,339,950 64,649.83

13 KOTA BUKITTINGGI 74,349 7,500,000,000 100,875.60

14 KOTA SOLOK 46,045 5,401,010,500 117,298.52

TOTAL 6,199,773 264,634,545,009 42,684.55

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 99
TABEL 18: ANGGARAN PILKADA SERENTAK 2015 DI PROVINSI DAN
KABUPATEN/KOTA DI ACEH

ANGGARAN ANGGARAN /
NO DAERAH PILKADA DPT
DISETUJUI (RP) PEMILIH
1 ACEH 3,431,582 179,478,201,600 52,302

2 ACEH BARAT 131,372 20,000,000,000 152,239

3 ACEH BARAT DAYA 102,338 23,425,610,000 228,904

4 ACEH BESAR 255,335 42,180,392,500 165,196

5 ACEH JAYA 60,672 12,493,108,350 205,912

6 ACEH SINGKIL 70,853 15,127,138,500 213,500

7 ACEH TAMIANG 186,050 28,476,990,150 153,061

8 ACEH TENGAH 130,528 27,782,015,384 212,843

9 ACEH TENGGARA 143,973 27,914,430,000 193,887

10 ACEH TIMUR 278,203 34,999,500,000 125,806

11 ACEH UTARA 420,480 66,841,278,468 158,964

12 BENER MERIAH 96,407 31,329,328,000 324,969

13 BIREUEN 298,718 36,089,915,239 120,816

14 GAYO LUES 63,529 17,085,960,322 268,947

15 KOTA BANDA ACEH 151,105 20,382,018,953 134,886

16 KOTA LANGSA 108,380 14,658,000,000 135,246

KOTA
17 126,694 15,000,000,000 118,396
LHOKSEUMAWE

18 KOTA SABANG 24,634 7,184,382,500 291,645

19 NAGAN RAYA 119,294 19,700,000,000 165,138

20 PIDIE 296,096 33,000,000,000 111,450

21 SIMEULUE 55,635 15,700,000,000 282,196

TOTAL 6,551,878 688,848,269,966 105,137.53

PENYELENGGARAAN
100 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Berdasarkan data anggaran tersebut tak ada semangat keserentakan
antardaerah kabupaten dan kota yang berpilkada dalam satu gugus
provinsi yang juga berpilkada. Akibatnya, pilkada kabupaten/kota
yang provinsinya berpilkada tetap saja punya anggaran pilkada yang
tinggi. Tidak efisien.

4.4.1. Bertambah Mahal Karena Kewenangan Alat Peraga


Anggaran pilkada serentak juga kian tak efisien karena bertambahnya
kewenangan KPUD untuk mengampanyekan calon. Media kampanye
yang harus dibuat untuk para calon, salah satunya berbentuk alat
peraga kampanye atau reklame. Tambahan kewenangan kepada KPUD
ini pada akhirnya lebih merupakan tambahan beban anggaran pilkada
yang bersumber dari APBD.
Sebelum Pilkada Serentak 2015 dilaksanakan, banyak kritik dan
saran terhadap kebijakan anggaran kampanye para calon yang
dibebankan kepada calon, partai pengusung, dan tim sukses. Itu dinilai
mengakibatkan kontestasi demokrasi lokal menjadi tak setara, sebab
ruang publik dibanjiri kampanye calon yang kuat secara finansial. Tak
sekadar itu, ruang publik yang dipenuhi reklame itu pun cenderung
dinilai publik sebagai sampah kota.
Karena itu, memberikan kewenangan kampanye calon kepada KPUD
dianggap akan memusatkan anggaran, sehingga cenderung efisien. Jor-
joran kampanye melalui reklame yang memakan biaya signifikan pun
akan berkurang. Dan, pemakaian ruang publik untuk kampanye pun
menjadi lebih fair, karena semua calon mendapatkan porsi setara.
Tapi, pemilihan reklame sebagai alat peraga kampanye untuk me
nuju kesetaraan kontestasi, kemudian malah membuat anggaran pil
kada yang bersumber dari APBD membengkak. Ini karena harga
me dia reklame yang memang mahal. Alhasil, meski pilkada sudah
diundangkan menjadi hanya satu putaran --dari semula dua putaran--
anggarannya tetap saja besar.
Kabupaten Sukoharjo di Pilkada 2015 bisa menjadi contoh. Kabupaten
di Jawa Tengah ini mengalokasikan anggaran untuk alat peraga Rp 4,10

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 101
miliar. Padahal, total anggaran pilkadanya hanya Rp 20,18 miliar. Itu
berarti, Sukoharjo mengalokasikan 20,33 persen anggaran pilkada untuk
membiayai alat peraga. Nilai rupiah alat peraga Kabupaten Sukoharjo
ini hampir sama dengan total anggaran penyelenggaraan pilkada
Kepulauan Mentawai yang hanya Rp 5 miliar.

TABEL 19: GAMBARAN PERSENTASE ANGGARAN ALAT PERAGA


PILKADA 2015

ANGGARAN PERSENTASE
DAERAH PILKADA ANGGARAN TOTAL
ALAT PERAGA ALAT PERAGA

KAB. SUKOHARJO 20,175,920,000 4,102,670,000 20.33%


KOTA DUMAI 13,000,000,000 1,991,174,150 15.32%
KAB. MERAUKE 39,923,627,000 6,017,000,000 15.07%
KAB. RAJA AMPAT 29,347,894,500 3,724,034,000 12.69%
KAB. HALMAHERA BARAT 15,000,000,000 1,801,920,000 12.01%

Alat peraga kampanye dipahami berpengaruh untuk meningkatkan


partisipasi pemilih. Tapi, pengaruhnya belum tentu mutlak, karena ada
banyak faktor lain yang mempengaruhi partisipasi pemilih, yang juga
bergantung dengan kondisi daerahnya. Selain itu, penentuan lokasi
pemasangan alat peraga juga turut menentukan.

TABEL 20: PARTISIPASI PEMILIH DI PILKADA DENGAN ALOKASI


ANGGARAN ALAT PERAGA TINGGI

JUMLAH PENGGUNA HAK PERSENTASE


DAERAH PILKADA
PEMILIH PILIH MEMILIH
Sukoharjo 670.345 445.485 66,46%
Kota Dumai 175.143 119.329 68,13%
Merauke 162.467 101.775 62,64%
Raja Ampat 9.198 7.037 76,51%
Halmahera Barat 76.763 60.540 78,87%

PENYELENGGARAAN
102 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
4.5. MENUJU PEMILU YANG EFEKTIF DAN EFISIEN
Pemilu yang efektif dan efisien hanya bisa diselenggarakan
kelembagaan penyelenggara pemilu yang efektif dan efisien. International
Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) menetapkan
karakter lembaga penyelenggara pemilu yang bisa mewujudkan
pemilu jujur dan adil. Pertama, independen dan tak berpihak; Kedua,
transparan-akuntabel; Ketiga, cepat berkeputusan; Keempat, efisien
dan efektif; Kelima, profesional; Keenam, bermasa jabatan; Ketujuh,
berstruktur; Kedelapan, berpembiayaan jelas; Kesembilan, bertugas/
fungsi menyelenggarakan; Kesepuluh, eranggota dengan komposisi
dan kualifikasi ketat; dan kesebelas, berkewenangan/ tanggung jawab
kepada pihak berkepentingan (Wall, 2006: hlm 9).
Berdasarkan landasan teori tersebut, tulisan ini bertujuan
menghasilkan empat rekomendasi terhadap rumusan permasalahan
yang sudah dipetakan, yaitu:
1. Menempatkan pilkada sebagai bagian desain pemilu serentak
nasional dan pemilu serentak lokal;
2. Menempatkan pilkada serentak sebagai pemilu serentak lokal
transisi menuju pemilu serentak lokal ideal;
3. Menempatkan Komisi Pemilihan Umum yang merupakan
penyelenggara pemilu/pilkada sebagai lembaga konstitusional
bersifat nasional, tetap, dan mandiri sehingga secara hierarkis
pembiayaan lembaga dan aktivitasnya dibiayai APBN;
4. Menempatkan APBN sebagai anggaran terpusat yang membiayai
seluruh pilkada.
Pembahasan anggaran Pilkada Serentak 2015 akan menjadi jelas
jika kita juga menempatkan pilkada serentak menurut rekayasa ke
pemiluan. Desain keserentakan lebih tepat jika kita merujuk pada
pengertian pemilu serentak (concurrent election). Pemilu serentak adalah
penggabungan pemilu eksekutif dan pemilu legislatif dalam satu tahapan
penyelenggaraan, khususnya tahap pemungutan suara. Tujuannya
bukan semata efisiensi anggaran, melainkan juga untuk menciptakan
pemerintahan kongruen untuk menghindari pemerintahan terbelah

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 103
(divided government) yang berwujud jumlah kursi mayoritas parlemen
bukan dimiliki partai atau koalisi partai yang mengusung presiden ter
pilih.
Indonesia berada pada anomali sistem politik. Pemerintahan Indo
nesia bersistem presidensial tapi sistem pemilunya proporsional dan
sistem kepartaiannya multipartai. Dampaknya, pemilu selalu meng
hasilkan pemerintahan terbelah. Gambaran nyata kondisi tersebut
terjadi saat awal masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, di mana
koalisi partai pendukungnya di parlemen adalah minoritas, sehingga
berpotensi kesulitan merealisasikan kebijakannya melalui parlemen
yang mayoritas dikuasai oleh koalisi partai nonpendukung pemerintah.
Jika pada Pemilu 2014 lalu dilakukan pemilu serentak, yaitu memilih
presiden sekaligus anggota DPR dalam waktu yang sama, maka coattail
effect akan bekerja, apalagi kalau calon presiden dan peserta pemilu
legislatif ditempatkan dalam satu surat suara. Karena, baik Jokowi
effect maupun Prabowo effect akan turut menarik naik suara-suara
partai/koalisi partai pendukungnya. Jokowi effect, misalnya, akan
turut menaikkan suara PDIP. Sehingga, pemerintahan terbelah bisa
dihindari. Karena, saat Jokowi terpilih menjadi presiden, maka pada
saat bersamaan partai/koalisi pendukungnya (Koalisi Indonesia Hebat)
akan meraih kursi signifikan di parlemen.
Tapi, karena yang terjadi adalah pemerintahan terbelah, saat ini
Koalisi Indonesia Hebat tak lebih hebat jumlah dan pengaruhnya
dibanding Koalisi Merah Putih, sehingga parlemen tak mendukung
kerja presiden. Karena, banyak pemilih Jokowi dalam pemilu presiden
yang ternyata tak memilih PDIP dalam pemilu legislatif.
Anomali sistem pemilu di negara bertransisi demokrasi bisa dibilang
wajar. Pergantian sistem pemerintahan dan sistem pemilu Indonesia
lebih disebabkan perasaan politik yang sangat kontekstual. Pasca-1955,
parlemen yang gaduh disikapi dengan Demokrasi Terpimpin.
Pasca-1965, otoritarianisme Orde Baru meleburkan ragam kekuatan
politik menjadi dua partai dan satu pseudo-partai. Pasca-Reformasi,
sistem presidensial semiparlementer yang secara teori lebih cocok untuk
negara majemuk, kemudian dipurifikasi karena oligarki partai dinilai

PENYELENGGARAAN
104 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
terlalu dalam merasuk ke parlemen dan mengendalikan presiden. Tak
puas memangkas oligarki partai, dibuatlah sistem pemilu proporsosial
daftar calon terbuka.
Kini, sistem politik Indonesia adalah kombinasi presidensialisme,
multipartai, proporsional terbuka. Sebuah kombinasi yang terbilang
sulit menapak kemapanan politik, karena lebih sering menghasilkan
pemerintahan terbelah yang tidak efektif. Jalan keluar dari persoalan
ini, sebagaimana studi Mark J Payne, adalah menyatukan jadwal
pemilu. Sebab, negara seperti Brasil yang juga mengombinasikan
presidensialisme-multipartai-proporsional terbuka, bisa keluar dari
problem pemerintahan terbelah setelah menggelar pemilu serentak.
Jalan itu kemudian terbentang. Pada 23 Januari 2014, Mahkamah
Konstitusi telah memutuskan penyelenggaraan pemilu serentak pada
2019. Putusan MK ini dipercaya mengarahkan sistem politik Indonesia
menuju kemapanan. Pemilu serentak akan meminimalisasi lahirnya
pemerintahan terbelah, menguatkan sistem presidensial, dan lebih
memungkinkan pemerintah bekerja efektif.
Tapi, agar pemilu serentak tak sekadar menambah kompleksitas,
format pemilu di provinsi dan kabupaten/kota harus diubah: bukan
sekadar memilih kepala daerah tapi juga memilih anggota DPRD.
Dan, karena pemilu lokal tak bisa dipisahkan dengan kepentingan
pemilu nasional, maka penyelenggaraan pemilu lokal dan nasional
harus menjadi bagian dari fungsi checks and balance koalisi di legislatif
dengan eksekutif. Jika hasil pemerintahan terpilih di pemilu nasional
dinilai baik, pemilih bisa mempertahankannya di pemilu lokal dengan
memilih calon kepala daerah dan calon anggota DPRD yang diusung
partai atau koalisi partai pendukung pemerintahan nasional. Tapi,
jika pemerintahan nasional dinilai buruk, pemilih bisa memberikan
hukuman dengan tak memilih calon kepala daerah dan calon anggota
DPRD yang berasal dari partai/koalisi partai pendukung pemerintah
nasional.
Jika merujuk istilah serentak (concurrent), Pilkada Serentak 2015
lalu belumlah merupakan pemilu serentak. Sebab, Pilkada 2015 hanya
menggabungkan pilkada di banyak daerah dalam satu waktu. Pakar

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 105
pemilu Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti menyebutnya pemilu
borongan. Sedangkan, pakar pemilu LIPI, Nur Hasyim, menyebutnya
pemilu serempak, bukan pemilu serentak.
Desain pemilu serentak lokal yang coba diupayakan para pakar pemilu
--melalui kodifikasi undang-undang pemilu-- adalah pemilu dalam
format nasional-lokal. Pemilu nasional untuk memilih presiden, anggota
DPR, dan anggota DPD. Sedangkan, pemilu lokal adalah untuk memilih
gubernur, bupati/wali kota, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota. Tapi, karena desain pemilu lokal itu harus menyesuaikan dengan
berakhirnya masa jabatan kepala daerah yang belum sama dengan
berakhirnya masa jabatan DPRD, maka perlu penyelenggaraan pilkada
serentak transisi.
Didik Supriyanto dkk dalam Menata Ulang Jadwal Pilkada
(2013) merekomendasikan desain pemilu lokal dan penjadwalan
pilkada serentak transisi pertama pada 2016 (bukan 2015) yang pungut
hitungnya di bulan Juni. Alasan utama memilih Juni 2016 adalah
membentuk siklus pemilu yang berfungsi mengoreksi/evaluasi (checks
and ballance) pemerintahan nasional-lokal dan poros eksekutif-legislatif.
Pemilih di pilkada punya waktu dua tahun yang relatif objektif untuk
melanjutkan/memutus pemerintahan nasional di pemerintahan lokal.
Alasan yang langsung berkait anggaran, karena di 2016 bisa lebih
banyak mengupayakan penyelenggaraan pilkada semua jenjang,
provinsi hingga kabupaten/kota. Penggabungan jenjang menjadikan
penyelenggaraan pilkada hanya satu kali pendanaan panitia penye
lenggara, pengawas, dan pengadaan logistik. Bulan Juni pun merupakan
waktu yang kondusif dari aspek cuaca, sosial-budaya, kesiapan partai,
dan kesiapan anggaran sehingga kemungkinan kisruh persiapan dan
hambatan tahapan yang memungkinkan penambahan anggaran bisa
dihindari.

PENYELENGGARAAN
106 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
4.5.1. APBN Sebagai Konsekuensi Keserentakan
Untuk memapankan desain pemilu serentak, pilkada yang hanya
berkepentingan memilih eksekutif yang berada di rezim otonomi
daerah harus dialihkan pada desain serentak yang sentralistik. Pilkada
yang sebelumnya jauh lebih banyak sebagai pemenuhan kepentingan
pemerintahan lokal, dalam konteks desain pemilu serentak akan
berubah untuk memperluas kepentingan pemerintahan nasional. Karena
kepentingan pemerintahan nasional di daerah diperluas, anggaran
pemilu di daerah harus dari APBN.
Kebutuhan anggaran pemilu di daerah dariAPBN pun untuk kebutuhan
percepatan transisi keserentakan. Periode jabatan pemerintahan daerah
yang tak sama membutuhkan fase transisi untuk bisa diserentakkan
semua pasca-Pemilu 2019. UU No 32/2004 menyebutkan pilkada
diselenggarakan enam bulan sebelum periode menjabat pemerintahan
habis dan pilkada tak bisa diselenggarakan di tahun yang sama dengan
penyelenggaraan pemilu nasional. APBN punya peran strategis untuk
menyamakan periode menjabat pemerintahan daerah. Sangat sulit
meminta kepala daerah menggunakan APBD untuk mengurangi masa
jabatannya dengan menyelenggarakan pilkada lebih cepat.
APBN pun bisa memaksa standardisasi pilkada yang efisien. Bentuk
efisiensinya berupa:
1. Pembatasan kelompok kerja;
2. Mengurangi jumlah petugas KPPS;
3. Menghapus PPS;
4. Standardisasi honor; dan
5. Memperbanyak pemilih di setiap TPS (Seknas Fitra, 2011, h.20-21).

Temuan Seknas Fitra menunjukkan, makin besar jumlah pokja, makin


besar unit cost honor penyelenggara. Memperbanyak jumlah pokja biasa
dijadikan modus memperoleh honor tambahan. Jumlah pokja dapat
dibatasi hanya untuk kegiatan berperhatian khusus.
Standardisasi honor menyertakan pengurangan jumlah anggota
KPPS dan menghilangkan PPS akan sangat signifikan mengurangi biaya

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 107
pilkada. Kabupaten Bandung, JawaBarat, misalnya telah membuktikan
dan tak bermasalah menjalankan pilkada hanya dengan lima orang
anggota KPPS. Posisi PPS di kelurahan/desa juga bisa dihilangkan
karena signifikansi fungsinya bisa digantikan langsung oleh PPK.
Jika biaya APBN sudah dipastikan membiayai pilkada dan semua
daerah (provinsi hingga kabupaten/kota) sudah sama periode
pemerintahannya, itu berarti pilkada bisa diselenggarakan di semua
jenjang di seluruh Indonesia. Jika Seknas Fitra mendata biaya termahal
pilkada provinsi 2010 adalah Rp 68 miliar, wajar jika kita perkirakan
pilkada provinsi setelah 2015 adalah sekitar Rp 100 miliar. Berarti,
dengan 34 provinsi, jumlah biaya keseluruhan pilkada serentak hanya
Rp 3,4 triliun.

4.5.2. Konsekuensi Konstitusional KPU Nasional


Arah makin membaiknya sistem politik Indonesia melalui pemilu
serentak dan pilkada serentak menegaskan kesesuaian kelembagaan
pemilu dalam konstitusi. Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945 menuliskan:
Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional tepat dimaknai secara
struktur dan anggaran. Secara struktur, KPU menasional berwujud KPU
RI, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
KPU dengan semua tingkat strukturnya menyelenggarakan segala
bentuk pemilu. KPU menyelenggarakan pemilu presiden dan wakil
presiden; pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD; serta pilkada provinsi
dan kabupaten/kota. Memang, seharusnya semua lingkup KPU dibiayai
APBN, baik kelembagaan, orang-orang di dalamnya, dan aktivitasnya,
termasuk saat menyelenggarakan pilkada.
Konstitusi menuliskan komisi pemilihan umum sebagai
penyelenggara pemilu yang sifatnya nasional, tetap, dan mandiri. Sifat
ini, pada aspek anggaran lebih tepat berasal dari APBN, termasuk dalam
penyelenggaraan pilkada. Tapi, Sifat nasional, tetap, dan mandiri ini
dalam implementasinya sulit. Pemerintah juga dalam penyelenggaraan
pilkada tak bisa mengupayakannya dari APBN, kata Husni dalam

PENYELENGGARAAN
108 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Talkshow Pemilukada 2015 yang diselenggarakan Pusat Penelitian Politik,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta (rumahpemilu.
org, 16 Juni 2015).
Husni menjelaskan, penyelenggaraan pilkada yang dibiayai APBD
menjadikan kewenangan KPU secara nasional dan mandiri menjadi
sulit diimplementasikan. Pengupayaan menasionalnya setidaknya
berdasarkan peraturan KPU yang dibuat KPU pusat. Penyelenggaraan
Pilkada 2015 menyertakan harapan anggaran pilkada bisa efisien. Salah
satunya dengan cara menganggarkan pilkada dari APBN untuk bisa
menekan standar penyelenggaraan pilkada.
Pemahaman anggaran pilkada harus bersumber dari APBD berasal
dari pemaknaan pilkada sebagai rezim pemerintahan daerah, bukan
rezim pemilu. Pemahaman ini tak berdasar karena jelas pilkada
diselenggarakan KPU yang berstruktur nasional, tetap, dan mandiri.
Pilkada pun diselenggarakan dengan asas kepemiluan.
Selain itu, sangat sulit untuk tak memaknai pilkada bukan bagian dari
pemilihan umum. Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, pemilihan
umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil setiap lima tahun sekali. Karena itu, pilkada pun memenuhi
makna pemilihan umum. Perihal pada Ayat (2), (3), dan (4) tak ada kata
pilkada, sebaiknya tak dijadikan dasar penolakan pilkada serentak
dibiayai APBN. Kekurangan ini menjadi bijak jika dimaknai sebagai
bagian yang perlu dilengkapi untuk menuju sistem pemilu Indonesia
yang lebih mapan.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 109
PENYELENGGARAAN
110 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
5

Rekrutmen
Penyelenggara

Wajah pemilu dibentuk dari kualitas pemilih, peserta,


regulasi, dan penyelenggara. Yang terakhir biasanya tak lebih
diperhatikan.

K
eberhasilan KPU provinsi dan kabupaten/kota dalam me
nyelenggarakan pilkada di rentang 2012-2017 tak lepas dari
proses rekrutmen anggota dan kepanitiaan. Memang ada
permasalahan integritas dan etika sehingga diberhentikan
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Tapi, jauh lebih
banyak yang berhasil menjalankan peran pelaksana undang-undang
dan peraturan.
The International IDEA dalam Manajemen Kepemiluan Selama Transisi
(2012) menetapkan tujuh rekomendasi kunci penyelenggara pemilu
untuk menjamin pemilu bebas dan adil. Kunci nomor empat adalah:
menyeleksi para anggota lembaga penyelenggara pemilu sedemikian
rupa guna menanamkan kompetensi dan inklusivitas. Penjelasannya,
komisioner harus memadukan kemampuan profesional dengan
pengalaman sehingga mereka dapat bertindak dengan kompetensi dan

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 111
kredibilitas. Karena, salah faktor yang menentukan kualitas pemilu
adalah kualitas penyelenggaranya.

5.1. TANGGUNG JAWAB SEBAGAI THE DREAM TEAM


Proses seleksi calon anggota KPU periode 2012-2017 merupakan yang
paling banyak peminatnya. Pada fase pendaftaran ada 606 bakal calon
anggota KPU yang mendaftar. Melalui rangkaian tes psikologi dan tes
tulis serta pertimbangan kompetensi dan pengalaman, Tim Seleksi
(Timsel) memilih 14 nama calon anggota KPU.
Tim Seleksi (Timsel) merupakan perpaduan antara unsur Pemerintah,
masyarakat sipil, dan akademisi. Timsel diketuai Menteri Dalam Negeri,
Gamawan Fauzi, dengan Sekretaris Dirjen Kesbangpol, Tanribali Lamo.
Sedangkan anggotanya adalah Anies Baswedan, Azyumardi Azra,
Imam Prasodjo, Pratikno, Ramlan Surbakti, Saldi Isra, Siti Zuhro, dan
Valina Singka Subekti.
Sebanyak 14 nama calon anggota KPU yang dihasilkan Timsel, oleh
Presiden dikirimkan ke DPR untuk menjalani tahap fit and proper test. Uji
kelayakan dan kepatutan itu dilakukan Komisi II DPR pada 19-21 Maret
2012. Ke-14 nama itu kemudian di-voting, yang peraih suara terbanyak
nomor satu sampai tujuh menjadi komisoner terpilih. Adapun hasil
voting dalam pemilihan komisioner KPU adalah sebagai berikut:

TABEL 21: PEROLEHAN SUARA CALON ANGGOTA KPU


PERIODE 2012-2017 DALAM FIT AND PROPER TEST DPR

No NAMA CALON SUARA KETERANGAN

1 Sigit pamungkas 45 Dosen Fisipol UGM

2 Ida Budiati 45 Ketua KPU Provinsi Jawa Tengah

3 Arief Budiman 43 Anggota KPU Provinsi Jawa Timur

4 Husni Kamil Malik 39 Anggota KPU Provinsi Sumatra Barat

PENYELENGGARAAN
112 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Ferry Kurnia
5 35 Ketua KPU Provinsi Jawa Barat
Rizkiansyah
Hadar Nafis
6 35 Pegiat LS M/Direktur Eksekutif Cetro
Gumay

7 Juri Ardiantoro 34 Ketua KPU Provinsi DKI Jakarta

Dosen Fakultas Hukum Universitas


8 Hasyim Asyari 32
Diponegoro
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas
9 Ari Darmastuti 31
Lampung
Dosen Hukum Tata Negara UGM/Kepala
10 Enny Urbaningsih 23
Bidang Hukum UGM

11 Mohammad Najib 3 Anggota KPU Provinsi DI Yogyakarta

12 Zainal Abidin 1 Anggota KI P Aceh

Moh Adhy
13 1 Programmer Manager IDEA
Syahputra Aman
Evie Ariadne
14 0 Anggota KPU Kota Bandung
Shinta Dewi

Sebuah kehormatan dan tantangan besar saat komposisi keanggotaan


KPU dinilai sejumlah pihak sebagai the dream team. Sejatinya, ini
bisa dicapai tak lepas dari peran masyarakat sipil dalam memantau
rekrutmen sejak awal, dan mewcanakan pentingnya kualitas tinggi
penyelenggara pemilu serta tuntutan proses seleksi yang transparan
dan akuntabel. Sehingga, 14 nama yang berhasil dipilih Timsel sudah
merupakan nama-nama terbaik yang tanpa kekhawatiran untuk dipilih
menjadi tujuh nama.
Wajah The Dream Team ini penting untuk membentuk wajah anggota
KPU provinsi dan kabuapten/kota demi penyelenggaraan pilkada
yang baik. UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu memberikan
kewenangan KPU memilih anggota KPU provinsi. UU tersebut pada

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 113
Pasal 17 mengatur sejumlah hal penting berkaitan dengan kewenangan
merekrut anggota KPU provinsi. Di antaranya di Ayat (1) sampai (3):
1. KPU membentuk tim seleksi untuk menyeleksi calon anggota
KPU Provinsi pada setiap provinsi.
2. Tata cara pembentukan tim seleksi dan tata cara penyeleksian
calon anggota KPU Provinsi dilakukan berdasarkan pedoman
yang ditetapkan oleh KPU.
3. Penetapan anggota tim seleksi oleh KPU sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) dilakukan melalui rapat pleno KPU.

Lalu Pasal 20 Ayat-ayatnya bertuliskan:


1. KPU melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon
anggota KPU Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1).
2. KPU memilih calon anggota KPU Provinsi berdasarkan hasil uji
kelayakan dan kepatutan.
3. KPU menetapkan 5 (lima) calon anggota KPU Provinsi dari 10
(sepuluh) calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
sebagai anggota KPU Provinsi terpilih.

KPU provinsi yang kemudian menentukan wajah penyelenggara


KPU kabupaten/kota. Dengan alur yang sama dengan rekrutmen ang
gota KPU provinsi oleh KPU pusat, kualitas rekrutmen yang baik akan
menghasilkan penyelengggara pemilu di kabupaten/kota yang juga
baik.
KPU kabupaten/kota yang kemudian menentukan wajah kepani
tiaan pemilu. Secara teknis, semakin bawah hierarki kepanitiaan pe
milu semakin tergambar tingkat kualitas pelayanannya. Pemilih tahu
seberapa akses dan inklusif tahap pemuktahiran daftar pemilih melalui
panitia tingkat kelurahan. Dan pemilih tahu seberapa profesional dan
melayaninya KPU pada tahap pemungutan suara melalui petugas di
tempat pemungutan suara (TPS).

PENYELENGGARAAN
114 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
5.2. AFIRMASI PEREMPUAN PENYELENGGARA PEMILU
Wajah The Dream Team itu pun yang relatif menjamin afirmasi
perempuan dalam kepesertaan pemilu serta penyelenggara pemilu.
Keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pencalonan sebagai
syarat kepesertaan partai politik di Pemilu DPR/DPRD 2014 bisa dijamin
Komisi Pemilihan Umum. Padahal komposisi anggota KPU dari pusat
sampai daerah masih timpang gender.
KPU 2012-2017 yang persentase perempuan anggotanya hanya 14
persen, menjamin afirmasi 30 persen perempuan dalam pencalonan
Pileg 2014. PKPU No 3/2013 akan menghukum kepesertaan partai di
setiap dapil jika daftar caleg dapil bersangkutan tak memenuhi kuota
30 persen perempuan. PKPU ini memastikan satu tafsir tegas kuota 30
persen perempuan, yang dalam UU No 8/2012 dan UU No 10/2008
cenderung ditafsirkan bukan kewajiban dan biasa dilanggar tanpa
sanksi.
Keberadaan perempuan dalam penyelenggara pemilu di semua
tingkatan pun merupakan amanah undang-undang. Sebagai lembaga
yang didesain konstitusi bersifat nasional, dan sebagai pelaksana un
dang-undang, KPU harus menjamin keberadaan perempuan dalam
strukturnya yang hierarkis. UU No 15/2011, pada Pasal 6 Ayat (5)
bertuliskan: Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya
30% (tiga puluh persen).
Sedangkan, Pasal 41 Ayat (3) bertuliskan: Komposisi keanggotaan PPK
memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh
persen).
Konten Pasal 41 Ayat (3) UU No 15/2011 pun ditulis kembali pada
UU No 1/2015 dan UU No 10/2016. Dituliskan dalam kedua UU
Pilkada pada Pasal 16 Ayat (3) dengan kalimat: Komposisi keanggotaan
PPK memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh
persen).
Dalam penyelenggara pilkada, keberadaan perempuan anggota
KPU provinsi dan kabupaten/kota penting sebagai sensitivitas warga

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 115
perempuan berhak pilih. Pemuktahiran daftar pemilih menyertakan
pencocokan dan penelitian di lapangan lebih mungkin tak bias ranah
domestik dan publik sehingga perempuan berhak pilih tetap didata
dengan baik. Pun begitu, dengan pendidikan pemilih untuk tak bias
dalam pelibatan warga, pilihan bahasa, waktu kegiatan, dan metode.

GAMBAR 18: PERBANDINGAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN


ANGGOTA KPU PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA

PENYELENGGARAAN
116 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 117
PENYELENGGARAAN
118 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 119
PENYELENGGARAAN
120 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 121
PENYELENGGARAAN
122 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Dari data itu ketimpangan gender masih terdapat dalam keanggotaan
KPU provinsi dan kabupaten/kota. Ada delapan KPU provinsi yang
memenuhi 30 persen keanggotaan perempuan. Sumatera Selatan, DKI
Jakarta, NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan
Sulawesi, terdapat dua dari lima anggota (40 persen). Bali menjadi satu-
satunya KPU provinsi yang punya tiga perempuan anggota (60 persen).
Tapi, Provinsi Aceh, dari enam anggota KPI-nya, malah hanya ada satu
perempuan (16 persen). Bahkan, KPU Maluku Utara tak ada satupun
perempuan (0 persen).
KPU berdasar peran menjalankan undang-undang dan fungsi ke
pemimpinan antarjenjang strukturnya berusaha memenuhi kuota 30
persen perempuan. Tapi peran dan fungsi mengisi anggota KPU di
provinsi, kabupaten/kota, dan PPK ini dihadapkan pada keadaan
sedikitnya perempuan yang aktif di publik dan melek politik. Sehingga,
masih banyak KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPK yang
keanggotaannya timpang gender.
Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) me
nyimpulkan KPU punya ragam tantangan untuk memenuhi kuota 30
persen perempuan dalam rekrutmen keanggotaan dan kepanitaan pe
nyelenggara pemilu. Amanah afirmasi perempuan dalam undang-un
dang yang menjadi tanggung jawab KPU perlu disikapi dengan:
1. Perkuat peraturan pelaksana khususnya dalam proses rekrutmen
dan seleksi penyelenggara pemilu, dan memastikan hasil pro
sesnya memenuhi keterwakilan 30 persen perempuan;
2. Adakan penguatan kapasitas perempuan dalam kepemiluan;
3. Susun database perempuan yang terlibat dalam penyelenggaraan

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 123
pemilu hingga tingkat desa/kelurahan, untuk melihat rekam
jejak/pengalaman perempuan yang terlibat dalam kepemiluan.

Rekomendasi penyikapan Puskapol UI itu berdasar riset di kon


teks persiapan Pilkada Serentak 2015. Secara formal, peningkatan ke
terlibatan perempuan sudah diatur dengan baik dalam undang-un
dang. Peningkatan keterlibatan perempuan dalam politik didorong
melalui tindakan afirmatif sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan
perempuan di partai politik, lembaga legislatif, maupun di lembaga pe
nyelenggara pemilu.
Tetapi, dalam praktiknya, perempuan terbentur langit-langit kaca
dalam peningkatan keterlibatannya secara politik. Perempuan meng
alami halangan-halangan yang seringkali kasat mata, tetapi sangat
nyata dirasakan dan menghambat perempuan untuk terlibat secara
politik. Berikut hambatan nyata perempuan berpartisipasi sebagai pe
nyelenggara pemilu beserta komentar/pernyataannya:
1. Masalah budaya
Jadi laki-laki sebagai tokoh adat, identik dengan pemimpin, dan
itu terbawa dari adat ke sistem pemerintahan. Perempuan pada
dasarnya menerima peran seperti itu. Karena faktor budaya tadi.
Kalau dari sisi saya pribadi, hambatan dari perempuan untuk
masuk ke badan penyelenggara pemilu, yang paling khusus, izin
dari suami dan izin dari orang tua.

2. Pengetahuan kepemiluan:
Dari 121 pendaftar, yang lolos tes tertulis ada 50 orang, 10 di
antaranya perempuan. Lalu untuk tahap 10 besar hanya ada satu
perempuan yang lolos. Masalah pengetahuan masih sulit bagi
perempuan.
3. Geografis
Untuk beberapa wilayah di Indonesia, masalah geografis
menjadi isu penting dalam mencakup keterlibatan perempuan
dalam politik.

PENYELENGGARAAN
124 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
4. Regulasi:
Walaupun saya sudah S2, punya pengalaman seabrek-abrek,
itupun tetap tidak lolos karena dianggap tidak punya pengalaman
dalam penyelenggaraan pemilu. Itu jadi seperti ada diskriminasi
tentunya karena belum diuji .
Sekarang PPS itu syaratnya tinggi. Minimal harus tamat
SLTA, kemudian usianya juga 30 tahun. Pendidikan ini yang
payah sekali. Orang di desa kadang-kadang kebanyakan kalau
sudah tamat SMA langsung pergi merantau, atau sudah punya
pekerjaan. Akhirnya selalu yang itu-itu saja dipilih jadi anggota
PPK, PPS, dan KPPS.

Pentingnya mendorong partisipasi politik perempuan dan me


ningkatkan keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilu.
Pe
ningkatan keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilu
adalah bagian dari upaya mendorong partisipasi politik perempuan,
dengan tiga alasan:
1. Keadilan;
2. Akses yang setara untuk melakukan partisipasi politik;
3. Peluang yang setara bagi perempuan untuk memengaruhi proses
politik dengan perspektif perempuan.

Oleh karena itu, perempuan harus didorong untuk mendapatkan


posisi sebagai penyelenggara pemilu melalui pengadaan pelatihan ke
pemiluan dan penguatan keterampilan perempuan itu sendiri.

5.3. TAK BOLEH TIGA KALI BERTURUT-TURUT JADI


PANITIA
KPU lebih berupaya menjaga kemandirian, netralitas, dan pro
fesionalitas dengan cara melarang warga berhak pilih menjadi panitia
penyelenggara pemilu tiga kali berturut-turut. Partisipasi warga menjadi
PPK, PPS, dan KPPS dibatasi maksimal dua kali di posisi yang sama
agar terjadi sirkulasi. Pengaturan ini dikeluarkan melalui Surat Edaran

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 125
KPU No 183/KPU/IV/2015 tanggal 27 April 2015.
Latar belakangnya adalah orang-orang yang terlibat dalam ke
panitiaan penyelenggara pemilu cenderung tetap dari pemilu ke pemilu.
Keadaan ini melahirkan kemapanan sehingga kurang responsif terhadap
perubahan dan perbaikan peraturan, serta menciptakan potensi kolusi
yang rentan diintervensi dan dikondisikan peserta pemilu.
PKPU No 3/2015 tentang Tata Kerja KPU, PPK, PPS dan KPPS, pada
Pasal 18 Ayat (1) huruf (k) menekankan, periode pertama terhitung tahun
2005-2009 dan periode kedua terhitung 2010-2014. Terbitnya SE KPU
memberikan penjelasan periode secara teknis mengenai penghitungan
dua kali jabatan PPK, PPS dan KPPS. Karena sebelumnya, pemaknaan
dua kali menjabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 itu dihitung
berdasarkan penyelenggaraan. Sebab, PPK, PPS dan KPPS merupakan
penyelenggara ad hoc. Sehingga, menjadi anggota PPK selama dua
periode merupakan hak sebagai warga negara Indonesia.
Tapi, SE menjelaskan bahwa satu periode adalah dari 2005 hingga
2009, atau 2010 hingga 2014. Artinya, jika ada yang sudah menjadi pa
nitia pada kedua periode itu, tak dibolehkan lagi mendaftar dan menjadi
panita kembali.
Jika sirkulasi pergantian kepanitiaan tinggi, maka pelaku politik
uang dari peserta pemilu untuk mengubah hasil suara lebih mungkin
di
hindari. Antusiasme orang baru dalam kerja penyelenggara lebih
banyak mendorongnya melakukan pengalaman pertamanya sebagai
penyelenggara berdasar pembelajaran dan kontribusi sebaik mungkin.
Yang sudah lama menjadi panitia pun di hadapan orang baru akan malu
jika permisif terhadap politik uang.
Pengaturan batasan menjadi kepanitian pemilu pun memperkuat
makna partisipasi pemilu. Sebelumnya, warga mengikuti aktivitas
kepemiluan lebih banyak sebagai mobilisasi dibanding partisipasi. Yang
pertama lebih berdasar himbauan, keterpaksaan, motif ekonomi semata,
atau ketakutan hukuman. Yang kedua lebih berdasar pada kesadaran.
Penguatan dan perluasan partisipasi dengan pembatasan periode
akan memenuhi target 30 persen perempuan dalam kepanitiaan pemilu.
Rekrutmen akan beralih secara sistemik pada satu generasi lama yang

PENYELENGGARAAN
126 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
lebih banyak keterlibatan lelaki kepada generasi berikutnya lebih masih
memungkinkan untuk melibatkan perempuan.

5.4. MENURUNKAN SYARAT USIA PANITIA


Pengaturan pembatasan periode sebagai panitia pemilu menguatkan
makna partisipasi dan memperluasnya kepada warga muda. Ini sesuai
dengan kebutuhan peningkatan layanan terhadap pemilih muda dan
pemilih pemula. Layanan penyelenggara pemilu penting untuk lebih
ramah dalam metode dan konten komunikasi terhadap pemilih muda
dan pemilih pemula.
Pada dasarnya, syarat usia kepanitiaan pemilu masih diskriminatif
terhadap pemuda sebagai warga negara yang juga mempunyai hak
politik. Kita tahu bahwa Undang-undang Kepemudaan mendefinisikan
pemuda sebagai warga negara berusia 16 sampai 30 tahun. Tapi, menjadi
panitia pemilu bersyarat usia minimal 25 tahun. Sehingga, lebih lama
kepanitaan pemilu merupakan wajah tua.
Menurunkan syarat usia panitia pemilu seiring dengan kebutuhan
penggunaan teknologi pemilu. Baik teknologi yang sudah diterapkan
maupun yang akan diterapkan. Karena usia muda berdasar pengalaman
berinteraksi dengan teknologi digital, lebih akrab dan tinggi penyesuaian
terhadap inovasi.
Terdapat inisiatif baik dari salah satu petugas Kelompok Pe nye
lenggara Pemungutan Suara (KPPS) di TPS 28 Kalibata. Melalui pon
selnya ia mengakses sistem informasi data pemilih (Sidalih) pada pil
kada2017.kpu.go.id untuk mengecek pemilih yang membawa C6 atau
yang hanya berdasar e-KTP. Semua warga berhak pilih harus dilayani
memilih, tapi harus juga terdaftar di DPT atau mengikuti prosedur
daftar pemilh tambahan (DPTb).
Karena itu, usia minimal 25 tahun perlu dievaluasi agar rekrutmen
anggota KPPS lebih terbuka luas dan partisipatif terhadap pemuda di era
penyelenggaraan pemilu yang diiringi dengan maraknya penggunaan
teknologi (digital). Keterlibatan pemuda sebagai panitia pemilu akan
meningkatkan layanan pemilih. Pemilu yang sifatnya tinggi konsentrasi,

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 127
kecermatan, dan stamina membutuhkan keterlibatan pemuda. Jika KPPS
beranggotakan tujuh orang, maka sudah seharusnya mereka beragam
usia. Ketua KPPS bisa yang senior, tapi anggotanya bisa berusia muda,
bahkan kalangan mahasiswa.
UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu mensyaratkan
anggota KPPS minimal berusia 25 tahun. Jika usia pemuda menurut
UU No 40/2009 adalah 16 sampai 30 tahun, syarat usia minimal KPPS
25 tahun menjadi kurang partisipatif. Padahal, selain dipahami awam
sebagai warga yang relatif kritis dan punya semangat kerelawanan,
usia 16 sampai 25 tahun pun akrab dengan teknologi digital ponsel
yang bersesuaian dengan teknologi kepemiluan yang diterapkan oleh
KPU. Surat suara habis dan surat suara cadangan habis, salah satunya
disebabkan pemilih yang tak berhak memilih tapi tetap dilayani KPPS.
Padahal, KPPS berwenang mengecek status pemilh di Sidalih untuk
menerima/menolak pemilih. Petugas pun bisa mengecek keaslian
e-KTP melalui aplikasi Sidalih melalui ponsel.
Pembaruan kepanitian penyelenggara pemilu sebetulnya sudah
dilakukan melalui regulasi yang melarang keikutseraan panitia selama
tiga kali pemilu berturut-turut. Seseorang bisa menjadi panitia baik PPK,
PPS, dan KPPS di tingkat yang sama maksimal dua kali pemilu.
Inisiator Youth Proactive Transparency International Indonesia (TII),
Lia Toriana, berpendapat bahwa perbaikan demokrasi dan pemilu seiring
dengan kesadaran hak politik pemuda. Menurut deputi program TII, ini,
hak politik tak hanya memilih tapi juga dipilih. Terlibat dalam pemilu
pun bukan sekadar menyoblos di TPS, tapi juga menjadi penyelenggara
pemilu dan mencalonkan diri jadi peserta pemilu.
Perubahan syarat usia dan syarat lain penyelenggara dan kepanitiaan
pemilu memungkinkan dalam momen perumusan undang-undang
pemilu. Rancangan Undang-Undang Pemilu yang besar kemungkinan
untuk Pemilu 2019 ini menggabungkan regulasi pemilu presiden,
pemilu legislatif, dan penyelenggara pemilu. Sebelumnya, ketiganya
dibuat dalam UU terpisah, yaitu UU No 42/2008, UU No 8/2012, dan
UU No 15/2011.

PENYELENGGARAAN
128 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
5.5. DUKA DI SUASANA FITRI DAN PERGANTIAN KETUA
KPU
Di tengah persiapan Pilkada Serentak 2017, KPU mendapat musibah.
Ketua KPU, Husni Kamil Manik, meninggal dunia pada 7 Juli 2016, di
tengah suasana Hari Raya Idul Fitri. Pemimpin KPU yang tenang dalam
kata dan sikap, serta memimpin penyelenggaraan pemilu dengan
pri
ma, ini, terkena komplikasi akibat abses dan diabetes. Wafatnya
lelaki kelahiran kelahiran Medan 18 Juli 1975 ini membuat Indonesia
kehilangan salah penyelenggara pemilu terbaiknya.
Keterbukaan KPU bisa kita kaitkan dengan sifat personal Husni
yang terbuka. Penghargaan atas keterbukaan KPU itu antara lain
disampaikan oleh Kemitraan (Partnership of Governance Reform). Ke
mitraan memandang KPU telah melakukan prakarsa dan inovasi da
lam transparansi data pemilu. Transpransi formulir C1, laporan dana
kampanye, daftar pemilih, profil calon legislator, dan sejumlah data
lain sangat strategis dalam mendorong perbaikan kualitas pemilu yang
kemudian berujung pada integritas proses dan hasil pemilu.
Kepemimpinan Husni digantikan anggota KPU yang lain, Juri
Ardiantoro, yang pemilihannya dilakukan melalui musyawarah dan
pemungutan suara. Ada yang menilai langkah cepat pemilihan ketua
penting mengingat tahapan Pilkada 2017 yang dimulai Agustus. Ada
juga yang menilai tak tepat merujuk waktu yang tersedia sebelum ta
hapan masih cukup untuk menunggu adanya pergantian antarwaktu
(PAW).
Tapi, KPU secara kelembagaan berpendapat, posisi ketua bisa
langsung dipilih tanpa harus menunggu PAW. Karena, secara kuorum
sudah memenuhi syarat. KPU pun memandang perlu segera ada pe
mimpin definitif. Sebab, jika lembaga tersebut hanya dipimpin pe
laksana tugas ketua, kewenangannya terbatas. Sebab, status sebagai
pelaksana tugas tak memungkinkan melakukan hal strategis layaknya
ketua definitif. Yang dimaksud hal strategis seperti penandatanganan
anggaran dan produk hukum KPU, seperti PKPU.
Sebelum Juri terpilih, selama beberapa hari posisi ketua sementara

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 129
diisi Hadar Nafis Gumay dengan status pelaksana tugas. Terpilihnya
Hadar sebagai pelaksana tugas sendiri untuk mempersiapkan pemilihan
ketua definitif. Malam hari setelah rapat dengar pendapat pada 18 Juli
2016, enam anggota KPU melakukan pemilihan Ketua KPU melalui
rapat pleno tertutup di Sekretariatan KPU RI, Jalan Imam Bonjol.
Pemilihan berlangsung dan menghasilkan keterpilihan Ketua KPU
hingga menjelang dini hari.
Pemilihan Ketua KPU berlangsung dua tahap. Tahap pertama
melalui pemungutan suara. Tahap kedua melalui musyawarah mufakat.
Pada tahap pertama didapat dua nama, Juri Ardiantoro dan Hadar Nafis
Gumay. Pada tahap kedua musyawarah tak melibatkan Juri dan Hadar
sehingga hanya dilakukan empat anggota KPU: Ida Budhiati, Sigit
Pamungkas, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, dan Arief Budiman.
Menurut UU No 15/2011, Pasal 27 Ayat (5), Penggantian antarwaktu
anggota KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
a. anggota KPU digantikan oleh calon anggota KPU urutan peringkat berikutnya
dari hasil pemilihan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam seleksi pemilihan anggota KPU 2012-2017, ada 14 nama yang
dipilih melalui mekanisme voting oleh Komisi II DPR. Adapun urutan
keterpilihan berdasarkan jumlah suara terbanyak pertama sampai
ketujuh adalah: Sigit Pamungkas (45 suara); Ida Budhiati (45); Arief
Budiman (43); Husni Kamil Manik (39); Ferry Kurnia Rizkiansyah (35);
Hadar Nafis Gumay (35); Juri Ardiantoro (34).
Adapun tujuh nama lainnya adalah: Hasyim Asyari, dosen tata
negara (32); Ari Darmastuti, dosen Fisipol (31); Enny Nurbaningsih,
dosen tata negara (23); M.Najib, anggota KPU provinsi (3); M Adhi
Syahputra Aman, peneliti dan pegiat pemilu (1); Zainal Abidin, anggota
Komite Independen Pemantau Pemilu (1), dan Evie Ariadni Shinta,
dosen komunikasi politik (0).
Berdasarkan urutan perolehan suara tersebut, Hasyim Asyari yang
kemudian dilantik menjadi anggota KPU pengganti antarwaktu. Hasyim
Asyari dilantik oleh Presiden pada 29 Agustus 2016.

PENYELENGGARAAN
130 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
6

Peraturan KPU: Menjamin


Kemandirian KPU dan
Keserentakan Pilkada

PKPU merupakan bentuk konkret kerja kepastian hukum


pemilu yang menggambarkan tingkat kemandirian
penyelenggara pemilu.

K
ewenangan Komisi Pemilihan Umum dalam membuat
peraturan pelaksana menjadi lebih menentukan kesuksesan
pada konteks pilkada serentak. Sebab, penyelenggaraan
pilkada didasarkan pada undang-undang yang berkualitas
pas-pasan, sehingga peraturan KPU bertambah fungsi, bukan semata
menjadi regulasi yang implementatif, tapi juga menutupi keburukan
undang-undang.
Undang-undang No 1/2015 sebagai dasar hukum penyelenggara
pilkada, sebelumnya merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perppu) No 1/2014. Perppu yang dikeluarkan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono di akhir masa jabatannya ini bertujuan
mengganti UU Pilkada yang mengatur pilkada melalui DPRD. UU No
1/2015 dan undang-undang hasil revisinya, yaitu UU No 8/2015 dan

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 131
UU No 10/2016 merupakan undang-undang pilkada langsung tapi tak
langsung.

6.1. KEMANDIRIAN DAN KONSULTASI MENGIKAT


Sepertinya, tak ada ketegangan relasi KPU dan DPR yang lebih
tinggi dibanding fase persiapan penyelenggaraan Pilkada Serentak
2017. Setelah UU No 10/2016 ditetapkan sebagai revisi terbatas UU No
1/2015 dan UU No 8/2015, konstitusionalitas kelembagaan KPU yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri dipertaruhkan. Sebab, revisi yang
seharusnya menjadi lebih baik, malah memperburuk keadaan dengan
memberikan kewenangan DPR untuk mengintervensi dan mengurangi
kemandirian KPU dalam pembuatan PKPU.
Pasal 9 a UU No 10/2016 bertuliskan: Tugas dan wewenang KPU dalam
penyelenggaraan Pemilihan meliputi: a. menyusun dan menetapkan Peraturan
KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilihan setelah berkonsultasi
dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah dalam forum rapat dengar
pendapat yang keputusannya bersifat mengikat.
Bandingkan rumusan tersebut dengan Pasal 9 a UU No 1/2015 yang
bertuliskan: a. menyusun dan menetapkan pedoman teknis untuk setiap
tahapan Pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat
dan Pemerintah.
Ada sejumlah perbedaan signifikan dalam UU hasil revisi itu dengan
sebelum revisi. Pertama, menambah istilah Peraturan KPU. Kedua,
menambah kalimat dalam forum rapat dengar pendapat. Ketiga,
menutup dengan kalimat yang keputusannya bersifat mengikat. Secara
umum revisi tak mengurangi kata dan kalimat tapi menambahkannya.
Tapi, sifat mengikat dalam konsultasi PKPU bagi KPU berarti
mengintervensi. Kelembagaan KPU yang bersifat nasional, tetap,
dan mandiri tak akan utuh terwujud dengan adanya kewenangan
DPR yang mewajibkan hasil konsultasi diterapkan dalam PKPU. Jika
konsultasi adalah keharusan dan hasil dari konsultasi yang berisi
pendapat dan permintaan dewan harus dirumuskan dalam PKPU dan
diimplementasikan, berkuranglah kemandirian KPU. Peran lembaga

PENYELENGGARAAN
132 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
penyelenggara pemilu sebagai pelaksana undang-undang menjadi
pelaksana permintaan dewan hasil konsultasi.
Kata mengikat jelas berbeda pemaknaannya dengan ketentuan
sebelumnya. KPU mendengar pendapat dan permintaan dalam
konsulitasi merupakan suatu kewajaran. Kemandirian KPU salah
satunya diukur dari keleluasaan internalnya mengambil keputusan.
Saat mengikat adalah keharusan melaksanakan hasil konsultasi, maka
berkuranglah keleluasaan pengambilan KPU.
Undang-Undang Dasar 1945 hasil Amandemen Ketiga Pasal 22E
Ayat (5) bertuliskan: Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi
pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Lalu, pada Ayat
(6) bertuliskan, Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur
dengan undang-undang.
Jelas dipahami, undang-undang yang melakukan pengaturan lebih
lanjut berdasar Ayat (6) tak boleh menghasilkan pertentangan dengan
Ayat (5). Sebab, jelas-eksplisit kemandirian KPU tertulis dalam Ayat
(5). Tak ada kalimat keharusan berkonsultasi. Komisi atau lembaga lain
yang setara dengan KPU, pun, tak disyaratkan berkonsultasi dengan
DPR dan Pemerintah dalam menyusun peraturan.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memperkuat
argumen kemandirian KPU. Dalam buku Menjaga Independensi
Penyelenggara Pemilu, Didik Supriyanto menjelaskan latar belakang
kelahiran KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Kebutuhan
kemandirian KPU seiring dengan perbaikan tata kelola kelembagaan
dalam transisi demokrasi Indonesia pasca-Orde Baru.
The auxiliary state agency sebagai teori politik dan tata negara
menjadi relevan menilai pentingnya pembentukan KPU. Kelembagaan
tambahan yang mandiri dalam kepemiluan merupakan konsekuensi
reformasi yang berkesimpulan: poros kekuasaan eksekutif, legislatif,
dan yudikatif tak memadai mewujudkan kebutuhan demokratisasi.
Karena itu, KPU hadir mengambil alih peran dan fungsi pemerintah
dalam penyelenggaraan pemilu, agar penyelenggaraan pemilu tak
diselewengkan oleh kepentingan kekuatan politik yang sedang berkuasa
memerintah.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 133
Kebutuhan akan pentingnya kelembagaan KPU yang mandiri pun
sesuai dengan standar universal kepemiluan. International Institute for
Democracy and Electoral (IDEA) menekankan, penyelenggara pemilu
dituntut independen dan tidak berpihak. Lembaga penyelenggara
pemilu tak boleh tunduk pada arahan dari pihak lain manapun, baik
pihak berwenang atau pihak partai politik.
PKPU merupakan regulasi teknis penyelenggaraan pemilu di bawah
undang-undang. Tapi ketika undang-undang memuat kewenangan
intervensi DPR dan Pemerintahan dalam pembuatan PKPU, kemandirian
KPU rusak tak hanya pada tataran kewenangan PKPU dan internal
kelembagaan, tapi juga secara konstitusional dan historis.
Karena itu, judicial review Pasal 9 huruf a UU No 10/2016 merupakan
kewajiban utama kedirian (fardhu ain) KPU dan kewajiban utama kolektif
(fardhu kifayah) umat demokrasi Republik Indonesia. Mengajukan
keadilan kepada Mahkamah Konstitusi merupakan ijtihad kemandirian.
Jika menang, mendapat dua ganjaran: perbaikan dan pembuktian. Jika
pun kalah, mencoba membela marwah merupakan satu kepastian
berganjaran surga demokrasi.

6.2. PASLON TUNGGAL VERSUS SETUJU-TIDAK SETUJU


Salah satu kekosongan hukum UU No 1/2015 dan UU No 8/2015
untuk Pilkada Serentak 2015 adalah mengenai paslon tunggal. Terlihat
jelas paradigma keserentakan tak dimiliki para pembuat Undang-
Undang Pilkada. Tanpa paradigma keserentakan, Presiden membuat
Perppu untuk menolak pilkada tak langsung. DPR menyetujui Perppu
menjadi UUU, namun masih berparadigma pilkada tak serentak.
Kekosongan hukum ini mengulang pengalaman regulasi pilkada
sebelum fase keserentakan. UU No 32/2004 dan UU No 12/2008
sangat berpotensi menghasilkan calon tunggal. Tapi, karena tahapan
penetapan pasangan calon bisa terus dimundurkan sampai ada minimal
dua pasangan calon, ketunggalan pasangan calon terhindar dengan
konsekuensi molornya tahapan. Karena bisa membuat waktu yang terus
berlarut, prinsip kebebasan kontestasi menjadi tak adil bagi pasangan

PENYELENGGARAAN
134 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
calon yang mendaftar dan memenuhi syarat. Prinsip adil melalui
kepastian hukum pun jadi tak terjamin.
Pada keadaan regulasi itu ada kecenderungan paslon tunggal bersama
partai pengusung akan menghadirkan boneka paslon. Tujuannya
jelas agar tahapan pilkada dilanjutkan sehingga legitimasi kekuasaan
didapat dari keterpilihan. Tahapan pilkada memang dilanjutkan tapi
menggambarkan buruknya kontestasi yang merugikan pemilih.
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 100/PUU-XIII/2015
yang dibacakan di Mahkamah Konstitusi pada Selasa, 29 September
2015, mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang
Nomor 8/2015 tentang Pilkada, yang diajukan pakar komunikasi
politik, Effendi Ghazali. MK berpendapat, Pilkada bercalon tunggal
tetap dilanjutkan ke tahap berikut. Paslon tunggal tetap dikompetisikan
dengan pilihan setuju atau tidak setuju saat pemungutan suara
berlangsung.
Pemilihan Kepala Daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon,
manifestasi kontestasinya lebih tepat apabila dipadankan dengan plebisit yang
meminta rakyat (pemilih) untuk menentukan pilihannya apakah Setuju atau
Tidak Setuju dengan pasangan
calon tersebut, bukan dengan Pasangan Calon Kotak Kosong, sebagaimana
dikonstruksikan oleh Pemohon, demikian pendapat Mahkamah dalam
Poin Menimbang 3.15.

KPU kemudian cepat merespons Putusan MK yang menitah


kelanjutan tahapan pilkada berpaslon tunggal. Dibuatlah PKPU khusus
calon tunggal yang isinya sesuai dengan Putusan MK.
Putusan MK idealnya direspon oleh pembuat undang-undang. Tapi,
dalam konteks penyelenggaraan Pilkada Serentak 2015, Putusan MK
lebih mungkin direspons KPU melalui PKPU. Pasalnya, UU Pilkada No
1/2015 baru saja mengalami revisi terbatas yang hasilnya adalah UU No
8/2015. Selain itu, respons pembuat undang-undang terhadap Putusan
MK relatif lebih lama. Putusan MK dikembalikan kepada sifatnya
sebagai norma hukum yang menutup dan mengikat.
Barulah kemudian pada Pilkada Serentak 2017, kekosongan hukum

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 135
paslon tunggal bisa ditutup oleh undang-undang. Revisi terbatas kedua
atas UU Pilkada menghasilkan UU No 10/2016. Pasal 54C Ayat (2) UU
No 10/2016 bertuliskan: Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan
dengan menggunakan surat suara yang memuat 2 (dua) kolom yang terdiri
atas 1 (satu) kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 (satu) kolom kosong
yang tidak bergambar.

6.3. KEPRIHATINAN KEPENGURUSAN GANDA PARTAI


POLITIK
Salah satu keprihatinan bersama dalam penyelenggaraan pilkada
serentak adalah munculnya PKPU No 9/2015 tentang Pencalonan.
Saat semua pemangku kepentingan dalam politik negeri ini sedang
kepusingan menyikapi nasib dua partai tertua dalam kontestasi pilkada
--yaitu Golkar dan PPP yang terancam tak bisa mengusung pasangan
calon dalam Pilkada Serentak 2015KPU menjelang tahap penetapan
pasangan calon Pilkada Serentak 2015 mengubah syarat pencalonan.
PKPU membolehkan partai berkepengurusan ganda mengusung pa
sangan calon di Pilkada 2015. Sebelumnya, jika belum ada kepastian
tunggal kepengurusan, partai tak bisa mengusung pasangan calon.
PKPU sebelum revisi hanya menyediakan dua pilihan bagi par
tai Golkar dan PPP di fase pencalonan Pilkada 2015. Pertama, me
nung gu keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap un
tuk mendapatkan kepengurusan tunggal. Kedua, pihak berseteru
mengatasnamakan kepengurusan bisa berdamai lalu mendaftarkan
kepengurusan tunggal ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Kemenkumham).
Tetapi, kedua pilihan itu membutuhkan waktu lama yang sangat
mungkin melampaui tahap pencalonan Pilkada 2015. KPU melihat tak
mungkin aturan pelarangan kepengurusan ganda partai dipertahankan
dalam PKPU. Karena itu, diadakanlah rapat pleno KPU pada Rabu
malam, 15 Juli 2015 untuk memutuskan mengubah aturan pencalonan.
Sebelum memutuskan mengubah PKPU Pencalonan, KPU sudah
berupaya meminta Mahkamah Agung (MA) untuk memprioritaskan

PENYELENGGARAAN
136 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
penyelesaian kepengurusan ganda partai dibanding permohonan
kasus-kasus lain. Tapi, meski sudah disetujui MA, tetap saja waktu yang
tersedia dalam pencalonan tak akan cukup.
Akhirnya, KPU tak lagi merujuk SK Kemenkumham dalam mela
kukan verifikasi tertulis kepengurusan partai yang sah. Dalam pen
daftaran calon, partai pengusung yang berkepengurusan ganda tetap
bisa mengajukan pasangan calon. Syaratnya, kedua kepengurusan
mengusung pasangan calon yang sama. KPU berpendapat, tujuan
perubahan itu untuk menjaga ruang partisipasi setiap partai politik
sebagai pengusung pasangan calon dalam pilkada.
Sekilas, langkah ini menjadi solusi bersama antarpihak. Penyelenggara
mendapat kepastian kepesertaan pilkada, hak partai/koalisi partai
untuk mengusung calon terpenuhi, dan pemilih pun tak kehilangan
pasangan calonnya untuk dipilih hanya karena konflik internal partai.
Tetapi, perubahan PKPU Pencalonan memunculkan kontradiktif
regulasi. Membolehkan kepengurusan ganda partai bisa mengusung
pasangan calon dianggap menabrak sejumlah undang-undang. Pertama,
tentu saja UU Pilkada. Kedua, UU Partai Politik.
UU No 8/2015 menyebutkan bahwa partai politik yang berhak
mencalonkan pasangan calon adalah yang berpengurusan berdasar
pengesahan melalui SK Menkumham. SK Menteri inilah yang harus
dilampirkan pada saat partai atau gabungan partai mengusung pasanngan
calon. Sedangkan, UU No 2/2011 tentang Partai Politik menyatakan
SK Menkumham merupakan keabsahan kepengurusan partai. Sangat
jelas, SK menteri diterbitkan hanya untuk satu kepengurusan yang
dianggap sah menurut AD/ART tiap partai. Tak mungkin Menkumham
menerbitkan SK yang berlaku untuk dua kepengurusan dalam satu
partai.
Perludem berpendapat, revisi PKPU Pencalonan membuat KPU tak
konsisten berpegang pada prinsip kebebasan dan keadilan pemilu. KPU
memberikan kebebasan kontestasi kepada partai yang baik maupun
yang buruk. Itu membuat KPU permisif pada ketaksiapan/ketakseriusan
partai berpilkada.
Kehadiran Ketua KPU di rumah Wakil Presiden bersama Ketua

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 137
Bawaslu, dan Ketua DKPP sebelum revisi PKPU Pencalonan merupakan
catatan bagi kemandirian penyelengara pemilu. Jamuan Jusuf Kalla
terhadap Husni Kamil Manik, Muhammad, dan Jimly Asshiddiqie
sulit diklarifikasi bukan sebagai intervensi politik terhadap KPU untuk
merevisi PKPU Pencalonan, sehingga Golkar dan PPP bisa mengusung
pasangan calon.
Hadirlah kemudian istilah islah terbatas dalam PKPU No 12/2015
sebagai hasil revisi PKPU No 9/2015 tentang Pencalonan. Maka
muncullah kepesertaan Golkar dan PPP sebagai partai pengusung
Pilkada 2015.

6.4. MENGATUR YANG ISTIMEWA DAN YANG KHUSUS


Kompleksitas Pilkada serentak bertambah dengan keragaman status
daerah. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Daerah Khusus Ibu
Kota Jakarta, Provinsi Papua Barat, dan Daerah Istimewa Yogyakarta,
semua melakukan suksesi pemimpin daerahnya pada 2017. Semuanya
menyelenggarakan pilkada, kecuali DIY dengan keistimewaannya
menetapkan sultan sebagai gubernur.
Sekali lagi, karena paradigma keserentakan tak disertakan dalam
Perppu No 1/2014 dan penerimaan menjadi UU Pilkada, keadaan
regulasi luput menyadari pertimbangan kekhususan daerah pada
Pilkada 2015. Salah satunya tak ada pengalaman Pilkada 2015 yang
dievaluasi dan menjadi rekomendasi perbaikan untuk 2017. Padahal,
ada beberapa kabupaten/kota di Aceh, Papua, dan Papua Barat yang
berpilkada pada 2015.
Dampaknya, permasalahan regulasi kekhususan menumpuk di
Pilkada 2017. Pertama, KPU diminta representasi masyarakat Aceh
untuk mencantumkan syarat orang asli Aceh menjadi syarat pencalonan
kepala daerah dalam PKPU. Kedua, KPU pun diminta representasi
masyarakat Papua Barat dan Papua untuk menuliskan orang asli
Papua sebagai salah satu syarat pencalonan kepala daerah.
Fase uji publik Rancangan PKPU kurang dioptimalkan. Para pihak
yang hadir dalam uji publik PKPU lebih banyak sebatas perwakilan atau

PENYELENGGARAAN
138 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
utusan lembaga yang diundang. Perwakilan masyarakat Aceh, Papua,
dan Papua Barat pun lebih banyak mengutarakan kepentingannya
ketimbang perbaikan regulasi.
Ini membuat hal lain dalam Rancangan PKPU dilupakan. Salah
satunya kekhususan Pilkada DKI Jakarta. Pembahas luput melakukan
terobosan, misalnya terkait Pilkada DKI Jakarta putaran kedua dalam
PKPU No 6/2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
Aceh, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
di Wilayah Aceh, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur pada Daerah
Khusus IbukotaJakarta, Papua, dan Papua Barat.

6.4.1. Orang Aceh


Kepastian hukum pemilu, salah satunya, adalah menerapkan hukum
secara hierarkis. Mulai dari konstitusi, undang-undang, hingga ke
tingkat peraturan. Pembuatan regulasi merujuk pada regulasi yang lebih
tinggi, sehingga regulasi yang dibuat berjenjang dan tak bertentangan.
PKPU No 6/2016 yang mengatur perbedaan Pilkada Aceh dengan
daerah lain sempat dipertanyakan dalam rapat dengar pendapat KPU
dengan Komisi II DPR. Syarat pencalonan kepala daerah di Aceh harus
yang orang Aceh dinilai bertentangan dengan undang-undang. Kondisi
ini dinilai bertentangan dengan peran KPU sebagai pelaksana undang-
undang.
KPU bukan tak menyadari aspek hierarkis tersebut. KPU pun
menyadari bahwa UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh juga
telah mengatur syarat calon kepala daerah. Syarat itu tertera dalam
Pasal 67 Ayat (3) UU No 11/2006, yang menyatakan:
Calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan
walikota/wakil walikota harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. menjalankan syariat agamanya;
c. taat pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
d. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 139
atau yang sederajat;
e. berumur sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
f. sehat jasmani, rohani, dan bebas narkoba berdasarkan hasil
pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter;
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan
yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima)
tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik
yang telah mendapat amnesti/rehabilitasi;
h tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
i. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
j. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
k. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk
diumumkan;
l. tidak dalam status sebagai penjabat Gubernur/bupati/walikota;
dan
m. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan
dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya
yang merugikan keuangan negara.

Tidak ada istilah orang Aceh dalam persyaratan di UU No 6/2011.


Sedangkan, syarat kekhususan Aceh pun telah tertulis dalam huruf b dan
huruf j. Syarat menjalankan syariat agama serta mengenal daerahnya
dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya tak menjadi syarat pilkada
di daerah lain.
Keluputan memahami komprehensivitas UU No 11/2006 secara
umum adalah tak menyertakan posisi qanun dalam undang-undang.
Pasal XXXX UU No 11/2006 bertuliskan: segala hal yang lebih
implementatif diatur dalam qanun.
Dalam Bab I Ketentuan Umum dijelaskan pengertian Qanun
Aceh dan kabupaten/kota. Nomor 21, Qanun Aceh adalah peraturan
perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur
penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.

PENYELENGGARAAN
140 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Nomor 22, Qanun kabupaten/kota adalah peraturan perundang-
undangan sejenis peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur
penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat kabupaten/
kota di Aceh.
Posisi UU No 11/2006 lebih tinggi daripada qanun, dan posisi qanun
lebih tinggi daripada PKPU. Posisi UU No 11/2006 pun lebih dari UU
No 1/2015, UU No 8/2015, dan UU No 10/2016, karena lex specialis
mengalahkan lex generalis.
Syarat menjalankan syariat agama serta mengenal daerahnya
dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya punya makna kelokalan.
Mengingat keotonomian khusus Aceh punya kebutuhan mengisi pe
merintahan dengan sumber daya manusia daerah asal, maka persyaratan
pencalonan kepala daerah cenderung dimaknai orang Aceh asli.
PKPU No 6/2016, Pasal 12 Ayat (1), menuliskan persyaratan calon
kepala daerah dan calon wakil kepala daerah sebagai berikut: Warga
Negara Indonesia dapat menjadi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh,
Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota di wilayah
Aceh dengan memenuhi sejumlah persyaratan.
Sejumlah persyaratan dalam PKPU No 6/2016 ini merupakan
akumulasi dari syarat pencalonan dalam UU Pemerintahan Aceh, UU
Pilkada No 1/2015 dan No 8/2015, serta Qanun. Hasilnya adalah 26
syarat bagi warga negara yang ingin menjadi calon kepala daerah atau
wakil kepala daerah, di antaranya adalah orang Aceh.

6.4.2. Orang Asli Papua


Tak seperti UU No 11/2006 yang tak mencantumkan orang Aceh
sebagai syarat calon kepala daerah, UU No 21/2001 tentang Otonomi
Khusus Papua mencantumkan frase orang asli Papua. Meski demikian,
syarat itu hanya berlaku untuk pilkada provinsi, tidak berlaku dalam
pilkada kabupaten/kota di Papua. Walhasil, syarat tersebut dianggap
diskriminatif. Karena itulah, pihak yang mengatasnamakan kepentingan
rakyat Papua kemudian meminta KPU mencantumkan orang asli
Papua sebagai syarat calon kepala daerah dalam PKPU.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 141
Untuk aspirasi ini, KPU relatif tak lebih terbebani dibanding
orang Aceh di Pilkada Aceh. Karena, permintaan orang asli Papua
dituliskan sebagai syarat pencalonan pilkada kabupaten/kota di PKPU
sudah ditentang Mahkamah Konstitusi. Sehingga KPU cukup merujuk
pada sifat Putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
Dalam persiapan Pilkada Serentak 2017, ada tiga pemohon judicial
review UU Otsus Papua. Pada Permohonan Nomor 34/PUU-XIV/2016
tertulis nama: Pemohon I, Wakil Ketua 1 Majelis Rakyat Papua (MRP)
Hofni Simbiak; Pemohon II, Anggota MRP Robert D. Wanggai; dan
Pemohon ke III, Benyamin Wayangkau. Kuasa hukum para Pemohon,
Heru Widodo menjelaskan, dalam pencalonan Pilkada kabupaten/
kota di Papua, partai politik lebih mengutamakan orang yang bukan
asli Papua. Menurutnya, ini bertentangan dengan kekhususan Papua.
Tujuan UU Otsus salah satunya menempatkan orang asli Papua sebagai
subjek utama pemerintahan Papua. Bukan hanya provinsi tapi juga
kabupaten/kota hingga tingkat terbawah.
Tapi Hakim MK, Wahiduddin Adams mengatakan, dalam UU Otsus
Papua, tidak satu pasal pun yang mengatur kabupaten dan kota karena
UU Otsus hanya mengatur kertentuan untuk provinsi. Maka, untuk
kabupaten dan kota harus mengikuti UU 8/2015. Ketika aturan lain tak
ada dalam UU Otsus, akan dikembalikan ke UU No 8/2015, walaupun
konstitusional bersyarat.
Penekanan lain disampaikan Hakim MK, Maria Farida Indrati.
Menurutnya, tak ada ketentuan diskriminatif dari tak disertakannya
orang asli Papua sebagai syarat pencalonan pilkada kabupaten/
kota. Pelanggaran hak konstitusional terjadi apabila ada syarat yang
melarang orang asli Papua tak boleh menjadi calon kepala daerah
di kabupaten/kota. UU Otsus dan UU Pilkada tak melarang orang asli
Papua mencalonkan menjadi bupati, wakil bupati, wali kota, atau wakil
wali kota.
Maria mengingatkan, otonomi khusus untuk Provinsi Papua berasal
dari Tap MPR. Merupakan hal yang berlebihan jika ada produk hukum
di bawah Tap MPR yang mengubah otonomi khusus Papua, termasuk
syarat orang asli Papua dalam pencalonan pilkada kabupaten/kota.

PENYELENGGARAAN
142 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Karena jika ini terjadi, hal serupa bisa pada Daerah Istimewa Yogyakarta.
Gubernur-Wakil Gubernur DIY adalah Sultan-Paku Alam. Sehingga,
kalau kalau aturan yang sama diterapkan seperti permintaan para
pemohon uji materi agar orang asli Papua juga berlaku dalam pilkada
kabupaten/kota di Papua--, maka wali kota, wakil wali kota, bupati,
dan wakil bupati Yogyakarta pun bisa diminta harus juga keturunan
Kesultanan.
Perludem berpendapat, KPU perlu merujuk pandangan MK tersebut.
Sehingga, kalau orang asli Papua dituliskan dalam PKPU, itu akan
menjadi sesuatu yang inkonstitusional.

6.4.3. Kampanye, Cuti, dan Profesionalitas KPU DKI


PKPU No 6/2016 merupakan wujud nyata perbaikan Pilkada. Melalui
kewenangannya dalam membuat peraturan itu pun KPU menjamin
kepastian hukum pemilu. Dibanding Pilkada 2012 yang mengalami
kekosongan hukum pada putaran kedua, penyelenggara pemilu pada
Pilkada 2017 jauh lebih mencerminkan wujud profesionalitas KPU yang
secara konstitusional bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Jika kita sudah merujuk pada PKPU dan Undang-undang Pilkada,
kebutuhan tahapan penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta putaran kedua
sudah terjawab. PKPU No 6/2016 memastikan kampanye merupakan
salah satu dari empat tahapan Pilkada DKI putaran kedua. Pasal 36 Ayat
(2) menjelaskan mengenai putaran kedua pilkada yang harus diadakan
jika pada putaran pertama tak ada pasangan calon yang meraih suara 50
persen lebih.
Sedangkan ayat (3) bertuliskan, tahapan Pemilihan putaran kedua
sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) mencakup:
a. pengadaan dan pendistribusian perlengkapan penyelenggaraan
Pemilihan;
b. Kampanye dalam bentuk penajaman visi, misi dan program
Pasangan Calon;
c. Pemungutan dan Penghitungan Suara; dan
d. Rekapitulasi hasil perolehan suara.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 143
Tertulis kata kampanye pada huruf b sebagai bagian dari tahapan
pilkada putaran kedua. Sehingga, PKPU 6/2016 menjadi wujud nyata
penjamin kepastian hukum dalam pilkada putaran kedua.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat
(JPPR), Masykurudin Hafidz berpendapat, ada catatan terhadap
profesionalitas KPU DKI Jakarta yang tak memastikan kampanye
di putaran kedua. Adanya pendapat putaran kedua tak ada tahap
kampanye merupakan gambaran begitu dibutuhkannya kepastian
hukum mengenai kampanye sekaligus cuti bagi petahana kepala daerah
dan wakil kepala daerah.
Sikap akhir KPU DKI Jakarta untuk memastikan adanya kampanye
dalam putaran kedua merupakan bukti dari profesionalitas KPU DKI
Jakarta. KPU RI telah membuat PKPU 6/2016 tentang Pilkada Aceh,
Papua Barat, dan DKI, jauh hari sebelum tahapan penyelenggaraan
Pilkada 2017 dimulai. KPU DKI Jakarta sebagai bagian kelembagaan
KPU yang menurut UUD 1945 bersifat nasional, tetap, dan mandiri, mesti
menjalankan PKPU 6/2016, di antaranya penyelenggaraan kampanye
sebagai tahapan di putaran kedua.
Direktur eksekutif Perludem, Titi Anggraini, juga menilai seharusnya
perdebatan putara kedua Pilkada DKI Jakarta bukan pada ada/tidak
adanya kampanye. Karena kata kampanye tertulis jelas dan tegas.
Sehingga, yang perlu diperdebatkan adalah seperti apa penajaman visi,
misi, dan program pasangan calon. Karena, yang membedakan kampanye
di putaran kedua adalah adanya penggunaan kata penajaman.
Ketua KPU DKI, Sumarno, menjelaskan, penajaman visi, misi, dan
program disampaikan melalui semua bentuk kampanye, kecuali rapat
umum dan pemasangan alat peraga oleh pasangan calon dan tim
sukses. Penajaman visi, misi, dan program pasangan calon penting juga
kontennya dimaknai dari masing-masing pasangan calon yang bisa
disampaikan dalam ragam metode kampanye yang dibolehkan.
Kampanye putaran kedua penting karena ada konstelasi dan
konfigurasi politik yang berbeda antara putaran pertama dan kedua.
Pada putaran pertama, ada tiga paslon yang berkompetisi, kemudian
mengerucut tinggal dua paslon di putaran kedua. Aktivitas pendidikan

PENYELENGGARAAN
144 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
politik berupa kampanye perlu untuk meyakinkan pemilih, terutama
untuk pemilih paslon yang tidak lolos pada putaran kedua.
Tahap kampanye berlangsung 7 Maret sampai dengan 15 April. Debat
publik yang ditayangkan di televisi juga akan ada di pekan terakhir
sebelum hari pemungutan suara. Melihat antusiasme pemilih di putaran
pertama dan begitu berpengaruhnya debat pada partisipasi memilih,
debat akan diadakan juga pada tahap kampanye putaran kedua.
Adanya kepastian kampanye putaran kedua Pilkada DKI Jakarta
berdasarkan PKPU No 6/2016, berarti juga ada keharusan cuti bagi
petahana kepala daerah yang mencalonkan diri. UU Pilkada dan PKPU
saling melengkapi dan menguatkan melalui fungsi hierarki regulasi.
Kampanye putaran kedua ada dalam PKPU, sedangkan keharusan cuti
bagi petahana ada dalam undang-undang Pilkada.
KPU sebenarnya telah melakukan sosialisasi dan uji publik mengenai
PKPU No 6/2016. Sayangnya, selama masa tersebut, tidak ada pihak
yang mempertanyakan dan meminta penjelasan mengenai kampanye
di putaran kedua Pilkada DKI Jakarta. Tak disertakannya aturan cuti
dalam kampanye putaran kedua bagi petahana dalam PKPU, karena
KPU berpemahaman cuti lebih tepat dan telah diatur dalam undang-
undang. Tak adanya penjelasan tentang cuti di putaran kedua, juga
karena yang ditekankan dalam cuti bukanlah putaran satu atau dua.
Penekanan cuti adalah pihak dan waktu aktivitas. Penekanan pihak
karena ditujukan bagi petahana. Penekanan waktu aktivitas, karena cuti
berkait langsung dengan kampanye.
UU 10/2016 mengatur setiap petahana yang kembali mencalonkan
diri di pilkada di daerah yang sama wajib nonaktif sementara. Ini aturan
yang berlaku di semua daerah pilkada, tak hanya DKI Jakarta. Pada
fase kampanye, petahana yang mencalonkan harus cuti. Kebebasan
dan keadilan pemilu harus berlaku sama pada tiap orang, per individu
warga negara.
Pasal 70 ayat (3) UU No 10/2016 bertuliskan: Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, yang
mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus
memenuhi ketentuan: a. menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan b.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 145
dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya.
Objektivitas perbaikan regulasi dan profesionalisme KPU di Pilkada
2017 bisa dibandingkan dengan di Pilkada 2012. Abdullah Dahlan selaku
koordinator bidang korupsi politik Indonesia Corruption Watch (ICW)
pada Pilkada 2012, mengingatkan buruknya kekosongan hukum soal
kampanye. Karena, tak adanya aturan kampanye di putaran kedua, bisa
membuat petahana kepala daerah tak diharuskan cuti. Padahal, dalam
kampanye petahana yang sudah mengambil cuti sekali pun, banyak
laporan masyarakat tentang penggunaan fasilitas pemerintah daerah
untuk kepentingan kampanye, serta mobilisasi aparatur sipil negara
(ASN) untuk kepentingan pemenangan petahana kepala daerah.

PENYELENGGARAAN
146 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
C. Penyelenggaraan
Pilkada:

Memastikan Pesta
Demokrasi Lokal yang
Bebas dan Adil

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 147
PENYELENGGARAAN
148 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
7

Pendaftaran Pemilih

Pemilu tak sekedar kontestasi karena penonton merupakan


aktor terpenting dan menentukan menang/kalah.

P
endaftaran pemilih merupakan tahapan yang langsung
berkaitan dengan Hari Pemungutan dan Penghitungan Suara.
Jika pendaftaran pemilih baik, maka hak pilih warga akan
mendapat pelayanan yang baik di Hari-H pesta demokrasi.
Seberapa baik jalannya pemungutan dan penghitungan suara di tempat
pemungutan suara (TPS), menggambarkan seberapa baik data pemilih
yang disusun pada tahap pendaftaran pemilih.
Pilkada DKI Jakarta 2017 putaran pertama sangat baik menjadi
refleksi begitu vitalnya daftar pemilih untuk menjadi ukuran kualitas
pemilu. Partisipasi pemilih di Pilkada DKI Jakarta 2017 meningkat 10,75
persen dibanding 2012. Meski demikian, masih terjadi ketidaksesuaian
yang tinggi antara angka keinginan memilih dan realitas partisipasi
pemilih. Masalah pemuktahiran daftar pemilih dan tingkat mobilitas
penduduk Jakarta, menjadi sebab tak terfasilitasinya keinginan memilih

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 149
yang tinggi tersebut.
Direktur Eksekutif Populi Center, Usep Ahyar, menggambarkan
ketimpangan itu. Pertanyaan suvei tingkat keinginan memilih mendapati
90 persen lebih warga DKI berhak pilih ingin memilih. Tapi, faktanya,
tingkat partisipasi dalam pilkada tak sampai 80 persen.
Tingkat keinginan memilih yang mencapai 90 persen juga ditemukan
dalam survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Peneliti
SMRC, Saidiman Ahmad, bahkan mengatakan 99 persen warga Jakarta
yang memiliki hak pilih ingin memilih. Sebanyak 88 persen di antaranya
meyakini tak akan ada persoalan yang menghalangi mereka datang ke
tempat pemungutan suara (TPS) pada 15 Februari 2017.
Ketimpangan antara antusiasme pemilih dan realitas pengguna hak
pilih disebabkan banyak kemungkinan. Bisa karena ada permasalahan
dalam pendataan warga berhak pilih, bisa pula karena belum baiknya
kesadaran warga berhak pilih terhadap administrasi kependudukan
dan pemilu.
Dalam keadaan yang lebih kompleks ketakjelasannya, permasalahan
daftar pemilih berdampak pada tak dipercayanya proses dan hasil
pemilu. Dari sejumlah permohonan sengketa hasil di Mahkamah
Konstitusi, tak akuratnya daftar pemilih menjadi digunakan sebagai
dasar permohonan. Bagaimana kita mau yakin kemenangan kontestasi
jika pemilih sebagai juri sang penentu jumlah dan akurasinya tak bisa
dipastikan?

7.1. PRINSIP PENDAFTARAN PEMILIH


Daftar pemilih merupakan jaminan teknis hak pilih warga negara.
Prinsip free and fair pemilu harus menjamin kebebasan hak politik warga
sekaligus menjamin keadilan melalui kepastian hukum. Sehingga
pengertian mendasar pemilih dalam pemilu adalah warga negara yang
memiliki hak pilih sekaligus masuk dalam daftar pemilih. Jika nama
warga masuk daftar pemilih berarti warga telah mendapat jaminan hak
pilih. Sebaliknya, jika nama warga belum masuk daftar pemilih berarti
warga belum mendapat jaminan hak pilih.

PENYELENGGARAAN
150 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Pendaftaran pemilih termasuk dalam Standar-standar Internasional
Pemilu International IDEA (2002). Pemilu harus mewajibkan pendataan
daftar pemilih secara transparan dan melindungi hak warga negara
yang memenuhi syarat untuk mendaftar dan mencegah pendaftaran
atau pencoretan orang secara tak sah atau curang.
ACE Project segayung bersambut dengan menetapkan tiga prinsip
pendaftaran pemilih. Pertama, komprehensivitas, yang berarti daftar
pemilih harus menampung semua warga berhak pilih. Kedua, akurat,
yang berarti setiap nama lengkap warga berhak pilih pada daftar pemilih
menyertakan informasi identitas seperti tanggal lahir, domisili, dan
lainnya. Ketiga, mutakhir, yang berarti daftar pemilih disusun aktual
dalam konteks waktu satu kebutuhan pemilihan.
Segala prinsip pendaftaran pemilih itu pun terdapat dalam konsitusi.
Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen ketiga, Pasal 22E Ayat (1),
menuliskan, Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Maka, umum dalam
luber menjadi asas daftar pemilih pemilu yang inklusif dan aksesibel
terhadap warga berhak pilih.
Konstitusionalitas hak pilih dilanjutkan pada dua pasal berikutnya.
Pasal 27 Ayat (1) berbunyi: Segala warga Negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Sedangkan, Pasal 28D Ayat
(1) berbunyi: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
dan ayat (3) dengan bunyi, setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintahan.
Asas konstitusional hak pilih kemudian diturunkan dalam Undang-
undang Pemilu. Ada asas luber dalam Pasal 2 UU No 8/2012 dan UU
No 42/2008. Ada pula frase kepentingan umum dan kata terbuka
dalam asas kelembagaan penyelenggara pemilu dalam UU No 15/2011.
Dasar hukum itu telah menjawab salah satu pertanyaan penting
pendaftaran pemilih: apakah memilih itu hak atau kewajiban?
Sejak pemilu pertama pada 1955, Indonesia menempatkan memilih
merupakan hak, bukan kewajiban. Penempatan memilih sebagai hak

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 151
menjadi tepat bukan hanya sebagai penerapan utuh hak politik warga
negara, tapi juga penerapan standar kepemiluan. Karena memilih
adalah hak, partisipasi pemilih warga terdaftar pemilih menjadi penting
menjadi ukuruan kesuksesan pemilu. Jika memilih itu wajib dan yang
tak memilih dihukum denda/penjara-- sebagian besar warga memilih
karena ketakutan, bukan kesadaran.
Tingkat kesuksesan pemilu melalui partisipasi pemilih menggam
barkan tiga hal. Pertama, kualitas penyelenggaraan berkait dengan
transparansi dan inklusivitas layanan terhadap pemilih. Kedua, kualitas
peserta pemilu. Ketiga, kesadaran pemilih terhadap hak politiknya
sebagai warga.
Substansi pemilu dan demokrasi itu tergambar jelas pada Pilkada
2015. Kota Medan, sebagai salah satu dari 269 daerah penyelenggara
pilkada, memiliki partisipasi pemilih hanya 26 persen. Kemungkinan, ini
angka partisipasi pemilih terendah sepanjang sejarah pemilu Indonesia.
Tak hanya terendah dalam pilkada, tapi juga terendah untuk semua
jenis pemilu.
Komisioner KPU Arief Budiman mengatakan pada 9 Desmber 2015,
bahwa dari target partisipasi pemilih Pilkada 2015 yang ditetapkan 75,5
persen, capaian rata-rata partisipasi 74,5 persen merupakan capaian
yang baik. Tentang sangat rendahnya partisipasi pemilih di Pilkada Kota
Medan, dia menilai lebih karena pengalaman pilkada masyarakatnya
yang sering dikecewakan pemerintahan lokal hasil pilkada, karena
banyak kasus korupsi.

7.2. PERMASALAHAN PENDAFTARAN PEMILIH


7.2.1. Masalah Pengertian Pemilih
UU No 1/2015 mengartikan pemilih sama halnya dengan undang-
undang pemilu lainnya. Dalam Ketentuan Umum nomor enam, pemilih
adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 tahun atau sudah/
pernah kawin yang terdaftar dalam Pemilihan. UU No 8/2015 dan
UU No 10/2016 sebagai dua revisi terbatas tak mengubah pengertian
pemilih ini.

PENYELENGGARAAN
152 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Kalimat sudah/pernah kawin dalam pengertian pemilih
merupakan permasalahan nilai kesetaraan demokrasi. Pengertian ini
secara istimewa menempatkan lebih tinggi warga belum berusia 17
tahun tapi sudah/pernah kawin dari penempatan umum warga berusia
17 tahun atau lebih. Ada intervensi nilai komunal di masyarakat yang
mengukur kedewasaan tiap individu warga berdasar moralitas (sudah/
pernah) kawin dengan tidak kawin.
Ketentuan sudah/pernah kawin dalam pengertian pemilih mem
buat pemilu melegalkan perkawinan usia dini. Jelas ini bertentangan
dengan semangat kesetaraan pemilu sebagai bagian dari demokrasi.
Upaya demokratisasi terhadap regulasi dan kelembagaan negara yang
terus menghapus praktik perkawinan usia dini, semestinya pemilu
menjadi bagian.
Dalam penerapannya, ketentuan sudah/pernah kawin merumitkan
pendataan. Praktik perwakinan di bawah usia 18 tahun biasanya tak
menyertakan pencatatan legal institusi resmi. Akhirnya, warga sudah/
pernah kawin di bawah 17 tahun ada yang didata, ada yang tidak. Aspek
ini pun menjadi dualisme kepastian hukum. Di satu sisi pemilu harus
komit dengan kepastian hukum, di sisi lain ada persyaratan pemilih
yang bersifat menjauhi hukum formal.
Selain soal sudah/pernah kawin, pengertian pemilih adalah berusia
paling rendah 17 merujuk pada tanggal pemungutan suara. Usia 17
tahun yang tak merujuk tahun pemungutan suara membuat pendataan
harus juga merujuk tanggal dan bulan kelahiran setiap warga.
Jika tetap dengan merujuk tanggal pemungutan suara, akan terjadi
pendataan pemilih yang berulang-ulang. Misal, pemilu nasional yang
setidaknya terdapat dua kali pemilu, maka pendataan pemilih dilakukan
dua kali, berdasar dinamika pemilih pemilu di pemilu legislatif dan pe
milu eksekutif. Belum lagi jika pemilu presiden berlangsung dua pu
taran, maka pendataan pemilih pun dilakukan kembali karena pemilih
pe mula bertambah. Pun begitu dengan Pilkada DKI yang bisa dua
putaran.
Pelarangan anggota TNI/Polri menjadi pemilih pun jadi permasalahan
daftar pemilih. Dinamika bertambahnya keanggotaan TNI/Polri dan

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 153
berkurangnya TNI/Polri (karena pensiun dan lain sebab), membuat
pendataan pemilih berulang-ulang.

7.2.2. Masalah Data Dasar


Aspek paling prinsipil dari pendaftaran pemilih adalah data dasar.
Para penyelenggara pemilu sepakat, daftar pemilih tetap (DPT) pemilu
terakhir harus menjadi data dasar pemilu berikutnya. DPT pemilu
terakhir merupakan data pemilih paling aktual. Seberapa banyak warga
berhak pilih yang terdapat dalam DPT sebelumnya yang menggunakan
hak pilih di pemilu sebelumnya merupakan realitas kependudukan
yang seharusnya dilanjutkan menjadi bagian pendaftaran pemilih di
pemilu berikutnya.
Salain itu, penggunaan DPT pemilu terakhir sebagai data dasar
pendaftaran pemilih merupakan gambaran utuh Komisi Pemilihan
Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu yang nasional, tetap, dan
mandiri . Melalui penyusunan dan penetapan daftar pemilih, KPU
menjadi yang paling berwenang terhadap suara rakyat sebagai sumber
daya utama pemilu. Kepentingan KPU bukan kemenangan pemilu,
melainkan memastikan kebenaran daftar pemilih.
Aspek terpenting itu yang belum tuntas di tataran regulasi. UU
No 1/2015 Pasal 11 huruf g bertuliskan: memutakhirkan data Pemilih
berdasarkan data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh Pemerintah
dengan memperhatikan data terakhir: 1. pemilihan umum anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan DPRD; 2. pemilihan
umum Presiden dan Wakil Presiden; dan 3. Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota, dan menetapkannya sebagai daftar pemilih.
Ketentuan itu tak menjadi bagian dalam revisi terbatas UU No 1/2015.
Revisi pertama yang menghasilkan UU No 8/2015 tetap menjadikan
data kependudukan pemerintah sebagai data dasar pendaftaran
pemilih untuk penyelenggaraan Pilkada Serentak 2015 di 269 daerah.
Revisi kedua yang menghasilkan UU No 10/2016 pun tak mengubah
ketentuan data dasar pendaftaran pemilih untuk penyelenggaraan
Pilkada Serentak 2017 di 101 daerah.

PENYELENGGARAAN
154 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Padahal, sebelum pilkada mempunyai regulasi khusus, pendaftaran
pemilih berdasar daftar pemilu terakhir. UU No 32/2004, Pasal 70 Ayat
(1) bertuliskan, daftar pemilih pada saat pelaksanaan pemilihan umum
terakhir di daerah digunakan sebagai daftar pemilih untuk pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah.
Sayangnya, ketentuan itu menjadi tak berlaku. Penjelasan UU No
22/2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum menyebutkan, dalam
pemutakhiran data pemilih, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
merupakan pengguna akhir data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan
oleh Pemerintah.
Konsekuensi ketentuan itu, daftar pemilih sementara (DPS) dan DPT
dibuat KPU provinsi dan kabupaten/kota berdasar Daftar Penduduk
Potensial Pemilih Pemilu (DP4) yang disusun pemerintah daerah.
Akibatnya, banyak daerah yang menyelenggarakan pilkada punya
daftar pemilih berkualitas buruk. KPU provinsi dan kabupaten/kota
tak maksimal memperbaiki sehingga banyak pemilih tak masuk daftar
pemilih. Bahkan, tak sedikit pemilih yang namanya menjadi pemilih
ganda karena bertumpuknya data lama dengan data baru.
Perludem berpendapat, perbedaan jauh antara persentase keinginan
memilih dengan partisipasi pemilih disebabkan dua hal. Pertama,
permasalahan pemutakhiran data pemilih. Kedua, mobilitas penduduk
Jakarta yang sangat tinggi. Karena dua keadaan ini, sangat mungkin
akan banyak warga berhak pilih tapi tak bisa memilih karena persoalan
administrasi kependudukan dan pendataan pemilih.
Deputi Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati mengingatkan ada 27
Februari 2017 mengenai rekomendasi lembaganya pada 2013 mengenai
daftar pemilih. Pertama, merupakan kemutlakan data yang dijadikan
dasar pemuktahiran daftar pemilih adalah DPT di pemilu terakhir.
Karena itu, untuk Pilkada DKI Jakarta 2017, misalnya, data pemilih
terakhirnya adalah DPT Pilpres 2014.
Kedua, DPT selain dimutakhirkan setiap jelang pemilu juga penting
dicocokkan dengan sensus penduduk. Pencocokan ini juga wajar
dilakukan banyak negara. Bukan hanya untuk mengaktualkan data
penduduk, tapi juga pembanding dan pengecekan.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 155
Sayangnya data pencocokan di pemilu, termasuk pilkada, bukan
sensus penduduk BPS. Undang-undang Pilkada bertuliskan DP4 yang
sumbernya dari Data Agregat Kependudukan per-Kecamatan (DAK2).
Padahal, data ini berpotensi dipolitisasi pemerintah daerah untuk
kekuasaan dan keuntungan anggaran. Sehingga angkanya cenderung
dilebih-lebihkan. Jika penduduk banyak, kursi DPRD provinsi dan
DPRD kabupaten/kota akan banyak.
Sebagai ilustrasi, BPS dan Bappenas memproyeksi penduduk
Indonesia 2012 adalah 244.668.283 jiwa. Sementara DAK2 2012 yang
dikeluarkan pemerintah berjumlah 251.857.940 jiwa, sehingga ada selisih
7.189.657 jiwa. Jika dikonversi menjadi kursi DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota, selisih tujuh jutaan jiwa itu masing-masing menjadi 90
kursi dan 660 kursi.
Komisioner KPU RI, Hasyim Asyari, menjelaskan, implementasi
dari regulasi yang ada bisa memastikan pemuktahiran daftar pemilih
berjalan baik dan akurat. Menurutnya, untuk Pilkada Serentak 2015
dan 2017, basis pemutakhiran data pemilih mengacu pada DPT pemilu
sebelumnya yakni Pilpres 2014. Selanjutnya, DPT Pilpres 2014 dicocokkan
untuk menemukan selisih antara DPT pemilu sebelumnya dengan DP4.
Di sini kewenangan dan kualitas KPU di provinsi, kabupaten, dan kota
menentukan baik/buruknya daftar pemilih.
Di Pilkada Serentak 2015, Republika pada 22 September 2015,
memberitakan jumlah pemilih ganda DPS Pilkada Kota Tangerang
Selatan (Tangsel) 2015 lebih dari 4.600 pemilih. Ketua Divisi SDM dan
Umum Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Tangsel, Ahmad
Jazuli, mengatakan pemilih ganda ditemukan hasil verivikasi DPS empat
kecamatan: Kecamatan Serpong, Kecamatan Pondok Aren, Kecamatan
Ciputat dan Pamulang.

7.3. DEMI KEPUASAN PASANGAN CALON


Tak hanya pemilih saja yang kepentingan hak politiknya berkaitan
langsung dalam pendaftaran pemilih tapi juga pasangan calon. Jika
daftar pemilih baik maka pasangan calon akan puas berkontestasi dalam

PENYELENGGARAAN
156 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
pemilu. Yang terpilih akan merasa pantas dan yang tak terpilih akan
yakin dan menerima hasil pemilu.
Gambaran tingkat kepuasan pasangan calon terhadap daftar pemilih
dapat dilihat dari berapa banyak persengketaan hasil pemilu/pilkada
di MK karena masalah DPT. Salah satu dampak penyelenggaraan
pilkada yang bermasalah dengan DPT adalah tak puasnya pasangan
calon terhadap proses dan hasil pemilu. Hampir selalu ada gugatan dari
hasil pilkada. Baik atau buruknya daftar pemilih pilkada bisa dilihat
dari seberapa banyak gugatan yang berdasar permasalahan DPT dan
seberapa banyak gugatan itu dikabulkan MK.
Pilkada Konawe Selatan 2010 menjadi salah satu gambaran sangat
buruknya daftar pemilih. Gugatan hasil pasangan calon oleh hakim MK
dikabulkan dalam bentuk putusan pemungutan suara ulang di seluruh
TPS Pilkada Konawe Selatan.
KPU periode 2012-2017 tak mau mengalami itu termasuk juga dalam
penyelenggaraan pilkada. Sejak Pemilu 2014 peserta pemilu diberikan
akses penuh data dan perkembangan pemilih, mulai dari DPS hingga
DPT. Di Pilkada 2015 dan 2017 layanan itu pun diberikan.

GAMBAR 19: DALIL PERMOHONAN SENGKETA HASIL PILKADA


SERENTAK 2015

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 157
7.4. DISABILITAS DALAM DPT
7.4.1. Keterangan Pemilih Disabilitas di DPT
Di pilkada serentak, KPU melanjutkan layanan pendaftaran pemilih
inklusif terhadap warga disabilitas. Ini merupakan buah anggota KPU
2012-2017 yang terbuka dan melibatkan advokasi masyarakat sipil,
khususnya usulan layanan pemilu inklusif. Tak hanya informasi jumlah
pemilih disabilitas yang disertakan, tapi juga jenis disabilitasnya.
Informasi jenis disabilitas dengan jumlahnya dalam daftar pemilih
merupakan terobosan penting. Selama ini banyak yang berpemahaman
jenis disabilitas yang langsung berkait dengan layanan pemilih hanya
tuna netra dan tuna daksa. Tuna netra berkaitan dengan penyediaan
template dan braile, sedangkan tuna daksa berkaitan dengan keadaan
medan TPS. Padahal, jenis disabilitas banyak ragam. Setiap jenis
punya karakteristik untuk dipahami tersendiri. Pemahaman setiap
jenis disabilitas penting dalam penyocokan dan penelitian data pemilih.
Pemahaman keragaman disabilitas akan berpengaruh terhadap tingkat
layanan pendataan pemilih. Sebagian warga disabilitas merasa tak enak
dan berpikir keadaannya akan menyulitkan penyelenggaraan pemilu.
Sebagian keluarga yang anggotanya terdapat warga disabilitas masih
malu sehingga tak diinformasikan dalam pendataan pemilih.
Layanan informasi daftar pemilih disabilitas ini pun membuahkan
hasil yang sangat positif di tahap hasil pemungutan suara. Kita bisa
membandingkan pemilih disabilitas yang terdaftar di DPT dengan
realitas partisipasi pemilih. Seberapa banyak pemilih disabilitas yang
terdaftar di DPT? Seberapa banyak pemilih disabilitas yang meng
gunakan hak pilihnya? Dan, seberapa banyak pemilih disabilitas
yang tak terdaftar di DPT tapi terlayani untuk bisa menggunakan hak
pilihnya?
Pengguna hak pilih penyandang disabilitas di sejumlah daerah
Pilkada 2017 melebihi jumlah penyandang disabilitas dalam DPT. Di
Pilkada DKI Jakarta putaran pertama, misalnya, ada 5.371 penyandang
disabilitas dalam DPT, tapi partisipasi pemilihnya di angka 10.228.
Di Pilkada Aceh, ada 7.138 penyandang disabilitas dalam DPT, tapi

PENYELENGGARAAN
158 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
partisipasi pemilihnya 27.516. Di Pilkada Kepulauan Bangka Belitung,
ada 552 penyandang disabilitas dalam DPT, tapi partisipasi pemilihnya
594.
Anggota KPU, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, menjelaskan, ada pen
catatan yang tidak lengkap kepada pemilih disabilitas pada pemutakhiran
daftar pemilih. Menurutnya, banyak warga yang tidak memasukkan
angg
ota keluarganya dalam daftar pemilih disabilitas, meski yang
ber
sangkutan berkebutuhan khusus. Sangat mungkin penyandang
disabilitas yang tak didata datang ke TPS pada hari pemungutan suara.
Jika persyaratan DPTb-nya terpenuhi, petugas KPPS mencatatkan pada
kolom disabilitas.
Pertanyaan dan kritik mengenai jumlah partisipasi pemilih disabilitas
yang melebihi jumlah disabilitas dalam DPT penting jadi pembelajaran
antarpihak. KPU sebagai penyelenggara perlu meningkatkan layanan
pendataan pemilih agar daftar pemilih lebih komprehensif, akurat, dan
aktual. Masyarakat, khususnya keluarga beranggotakan penyandang
disabilitas pun perlu menginformasikan dan memastikan hak pilih
warga disabilitas terjamin melalui daftar pemilih.

7.4.2. PKPU Pembela Disabilitas Mental/Psikososial


Komitmen KPU memenuhi perlindungan hak politik pemilih
disabilitas mental/psikososial dalam daftar pemilih di Pemilu Presiden
2014 dilanjutkan dalam pilkada. Padahal UU No 1/2015 dan UU No
8/2015 melarang warga disabilitas mental/psikososial memilih dalam
pemilu. Larangan terhadap warga disabilitas mental dalam UU Pilkada
ini bertolak belakang dengan tren positif inklusivitas daftar pemilu di
tingkat nasional sebelumnya.
Anggota KPU, Ferry Kurnia Rizkiyansyah pada 10 Maret 2015
berpendapat, ketentuan yang melarang orang bergangguan jiwa dan
ingatan itu akan memperumit dan membingungkan penyelenggara
pilkada. Pasalnya, di undang-undang pemilu lainnya, larangan itu tak
ada. Tapi, di UU Pilkada malah muncul. Sehingga, seseorang yang saat
pileg atau pilpres terdaftar dalam DPT, mesti dikeluarkan pada DPT

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 159
Pilkada karena adanya perbedaan pengaturan tersebut. Ini membuat
KPU bekerja kembali memperbaharui dan memverifikasi seseorang
dengan gangguan jiwa yang terdaftar di DPT. Padahal, DPT pemilu
idealnya harus berkesinambungan. Ini berlaku setiap penyelenggaraan
pemilu. DPT pada pemilu sebelumnya menjadi dasar penetapan
DPT pada pemilu selanjutnya. Perbedaan pengaturan itu membuat
kesinambungan daftar pemilih terganggu.
Melalui PKPU No 4/2015, KPU bisa mengatasi diskriminasi dalam
UU No 1/2015 dan UU No 8/2015 yang melarang warga disabilitas
memilih. Sebagai pelaksana undang-undang, KPU melawan undang-
undang tanpa harus merevisi undang-undang dan tanpa harus
melanggar undang-undang.
UU No 1/2015 Pasal 57 Ayat (1) bertuliskan, untuk dapat menggunakan
hak memilih, warga negara Indonesia harus terdaftar sebagai Pemilih. Tapi
ayat (3)-nya bertuliskan, untuk dapat didaftar sebagai Pemilih, warga negara
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat: a. tidak
sedang terganggu jiwa/ingatannya..Ayat pelarangan ini tak diubah sedikit
pun meski pasalnya masuk dalam UU No 8/2015 sebagai perubahan
kedua undang-undang Pilkada.
Lalu, PKPU No 4/2015 Pasal 4 Ayat (2) huruf a, masih melarang
warga disabilitas mental/psikososial memilih dengan redaksi tidak
sedang terganggu jiwa/ingatannya. Tapi dengan terobosan Ayat (3)
diskriminasi syarat pemilih terhadap disabilitas mental/psikososial
menjadi hilang. Ayat (3) bertuliskan, penduduk yang sedang terganggu
jiwa/ingatan-nya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, sehingga tidak
memenuhi syarat sebagai Pemilih, harus dibuktikan dengan surat keterangan
dokter.
Anggota KPU, Hadar Nafis Gumay pada 7 April 2015 menjelaskan,
PKPU No 4/2015 menjadi dasar KPU sebagai penyelenggara untuk
tak diskriminatif terhadap warga penyandang disabilitas mental/
psikososial berhak pilih. Seseorang hilang hak pilihnya jika ada atau bisa
dibuktikan sedang terganggu jiwa/ingatannya melalui surat kerangan
dari dokter. Jika tidak ada surat keterangan dokter, seseorang tetap
berhak pilih dan harus didata masuk daftar pemilih.

PENYELENGGARAAN
160 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Hadar meyakinkan, Petugas PPS tidak bisa serta merta mencoret
pemilih tanpa dasar. Harus ada pembuktian seperti surat pernyataan
dokter atau yang lainnya bahwa yang bersangkutan sedang mengalami
gangguan jiwa/ingatan. Tanpa surat keterangan ini, pencoretan nama
merupakan penghilangan hak pilih.
PKPU hebat itu disambut Mahkamah Konstitusi. Melalui Putusan
No 135/PUU-XIII2015, para Hakim MK mempertimbangkan dan
mumutuskan, Pasal 57 ayat (3) huruf a UU 8/2015 menimbulkan tafsir
yang bermasalah. Para warga yang lebih banyak distigmakan gangguan
jiwa/ingatan dapat kehilangan hak politiknya untuk masuk daftar
pemilih.
Frasa terganggu jiwa/ingatan-nya mesti dimaknai, seseorang dengan
gangguan jiwa/ingatan mesti dibuktikan profesional bidang kesehatan
jiwa bahwa yang bersangkutan mengalami gangguan jiwa permanen
yang menghilangkan kemampuan untuk memilih. Tanpa pembuktian
ini, seseorang mesti didaftar sebagai pemilih dalam DPT dan berhak
untuk memilih dalam pilkada.

7.5. DAFTAR PEMILIH AKURAT UNTUK MENJAMIN HAK


MEMILIH
7.5.1. DPT Pemilu Terakhir dan Data Penduduk BPS
Penyusunan daftar pemilih berdasar DPT pemilu terakhir dan
pencocokan dengan data kependudukan dari sensus berkala Badan
Pusat Statistik mesti diterapkan sebagai bagian perbaikan pemilu.
Selama daftar pemilih masih mencocokan data dari DP4 yang berasal
dari DAK2, selamanya daftar pemilih berkualitas buruk. Kecenderungan
adanya politisasi anggaran bermodus melebihkan jumlah penduduk
DAK2 membuat daftar pemilih tak akurat.
Menjadikan DPT pemilu terakhir sebagai data dasar pemuktahiran
daftar pemilu pun merupakan penguatan KPU sebagai lembaga
penyelenggara yang mandiri. Pendaftaran pemilih yang berpusat pada
lembaga hasil reformasi ini akan lebih mungkin terhindar dari intervensi
kepentingan pemenangan politik kuasa. Semua pemangku kepentingan

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 161
harus menyadari, pemilu dengan daftar pemilihnya merupakan
kewenangan utuh KPU. Dan semua perlu mengingat, selama KPU begitu
dekat dan lekat dengan kebijakan Kementerian Dalam Negeri, wajah
kekuasaan pemenang pemilu cenderung berupaya mempengaruhi dan
menentukan bentuk tata kelola pemilu kepada KPU.
Memberikan kewenangan pendaftaran pemilih sepenuhnya kepada
KPU merupakan kebijakan yang sesuai dengan perwujudan lembaga
penyelenggara pemilu yang permanen. Selama lima tahun masa
jabatan komisioner dengan kelanjutan kesekretariatan yang permanen,
KPU bertugas salah satunya memutakhirkan data pemilih secara
berkelanjutan.

7.5.2. Single Identity Number (SIN)


Sebagai penyempurnaan pendaftaran pemilih dan pemenuhan
kebutuhan penggunaan teknologi pemilu, Single Identity Number
(SIN) merupakan kemutlakan. Selama Kemendagri dan pemerintah
daerah belum berhasil membangun data penduduk berdasarkan SIN,
penyusunan daftar pemilih harus sepenuhnya dilakukan KPU.
E-KTP di Indonesia yang menggantikan KTP konvensional sebetulnya
merupakan penerapan konsep SIN. Maksudnya, nanti e-KTP menjadi
wujud satu nomor identitas bagi setiap penduduk untuk digunakan
berbagai macam keperluan, salah satunya pendaftaran pemilih.
Nomor identitas tunggal sebetulnya selama ini dimiliki penduduk,
yaitu nomor induk kependudukan (NIK). Tapi selama ini pula NIK
tak terintergrasi secara digital berdasar teknologi sistem informasi
kependudukan. Akhirnya keadaan identitas menjadi kompleks seiring
dinamika pembuatan kartu/surat administrasi seperti Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP), Surat Izin Mengemudi (SIM), paspor, termasuk
pendaftaran pemilih.

7.5.3. Menyederhanakan Pemilih


Menjawab salah satu pertanyaan penting pendaftaran pemilih, siapa
saja warga negara yang berhak pilih?, penting untuk menyederhanakan

PENYELENGGARAAN
162 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
pengertian pemilih. Dalam upaya menyatukan undang-undang kepemi
luan, pengertian pemilih cukup dengan redaksi warga negara yang di
tahun pemilihan sudah berusia 17 tahun dan terdaftar sebagai pemilih.
Di tahun pemilihan sudah berusia 17 tahun penting ditekankan. Perta
ma, pendaftaran pemilih menjadi tak dipusingkan dengan penambahan
pemilih warga negara yang berusia 17 di tiap bulan dalam satu tahun
pemilihan. Penambahan pemilih pemula cukup di satu fase pendataan
pemilih. Caranya hanya membandingkan tahun kelahiran dengan tahun
pemilihan.
Pengertian pemilih perlu menghapus syarat sudah/pernah kawin
bagi warga yang di bawah usia 17 tahun. Ketentuan sudah/pernah
kawin selama ini telah membuat pemilu melegalkan perkawinan usia
dini. Jelas ini bertentangan dengan semangat kesetaraan pemilu sebagai
bagian dari demokrasi. Upaya demokratisasi terhadap regulasi dan
kelembagaan negara terus menghapus praktek perkawinan usia dini,
semestinya pemilu menjadi bagian.
Pengertian pemilih pun perlu menghapus larangan keanggotaan
TNI/Polri menjadi pemilih. Selama ini larangan TNI/Polri aktif berhak
pilih lebih disebabkan pada trauma otoritarian rezim yang menyatu
dengan militer dan kepolisian. Reformasi hendaknya bisa akseleratif
untuk menyetarakan identitas profesi militer dan polisi dalam kehidupan
bersama warga negara. Jika kita berkeyakinan pemilu dan demokrasi
merupakan dua entitas dalam kesatuan, terjadi inkonsistensi saat warga
negara dalam institusi TNI/Polri dilarang memilih di pemilu.
Banyak hal positif yang didapat jika hak pilih dikembalikan kepada
warga negara berprofesi sebagai TNI/Polri. Pertama, ini merupakan
penerapan demokratisasi utuh dan akseleratif terhadap kelembagaan
TNI/Polri, karena tiap anggota TNI/Polri mengalami langsung pesta
demokrasi. Kedua, TNI/Polri secara formal mengakui dan menjadi
bagian supremasi sipil sebagai pemilik kedaulatan rakyat dalam
demokrasi. Ketiga, berkurangnya kompleksitas pemuktahiran daftar
pemilih bagi penyelenggara pemilu karena tak perlu berulang mendata
dinamika keanggotaan TNI/Polri dan memantau pelarangan memilih
TNI/Polri.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 163
7.5.4. Keterangan Disabilitas Mental/Psikososial
Layanan inklusif dan akurat daftar pemilih terhadap pemilih
disabilitas mental/psikososial perlu ditingkatkan. Cara dengan me-
nyediakan kolom keterangan khusus jumlah pemilih disabilitas mental/
psikososial. Kolom khusus ini seperti kolom keterangan khusus jumlah
pemilih disabilitas netra, daksa, rungu, grahita. Artinya, disabilitas
mental/psikososial dikeluarkan dari kolom keterangan disabilitas lain-
lain.
Hal ini untuk melengkapi upaya luar biasa KPU dalam menjaga hak
politik warga disabilitas mental/psikososial sejak Pemilu 2014. Dengan
kolom khusus pemilih disabilitas mental/psikososial, daftar pemilih
akan lebih akurat, khususnya pemilih disabilitas. Sehingga, capaian
pendataannya lebih terukur.
Dalam partisipasi pemilih pun nantinya bisa diukur akurasi atau
realitas jumlah pemilih disabilitas mental/psikososial. Berapa per-
bandingan antara pemilih disabilitas mental/psikososial yang didata
dengan yang menggunakan hak pilihnya. Data perbandingan ini bisa
menggambarkan layanan inklusivitas pendataan daftar pemilih dan
layanan memilih di TPS. Bisa juga menggambarkan kualitas pendataan
yang bisa sesuai dengan partisipasi pemilih bisa juga tak sesuai.

PENYELENGGARAAN
164 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
8

Produksi
dan Distribusi Logistik

L
ogistik bukan hanya pelengkap dalam proses pilkada, me
lain
kan syarat mutlak terselenggaranya pilkada yang
demokratis. UU 10/2016 mengatur logistik pilkada pada
Bab XII tentang perlengkapan pemilihan. Perencanaan dan
penetapan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian
perlengkapan pemungutan suara menjadi tanggung jawab penuh KPU
provinsi dan KPU kabupaten/kota. Sementara pelaksanaan pengadaan
dan pendistribusian perlengkapan pemungutan suara menjadi tanggung
jawab sekretariat KPU provinsi dan sekretariat KPU kabupaten/kota.
Jenis perlengkapan yang dibutuhkan untuk pemungutan suara
terdiri atas kotak suara, surat suara, tinta, bilik pemungutan suara,
segel, alat untuk memberi tanda pilihan, dan TPS. Selain itu terdapat
dukungan perlengkapan pemungutan suara seperti formulir, sampul
kertas, stiker identitas kotak suara, alat bantu tuna netra, perlengkapan
di TPS, dan daftar pasangan calon. Bentuk, ukuran, dan spesifikasi
teknis perlengkapan ditetapkan dengan keputusan KPU.
KPU mengatur teknis produksi dan distribusi logistik melalui PKPU
11/2016. Pada PKPU tersebut, KPU membagi logistik menjadi tiga: per
lengkapan pemungutan suara; dukungan perlengkapan lainnya; serta

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 165
bahan sosialisasi dan kampanye.
Perlengkapan pemungutan suara meliputi kotak suara, surat suara,
tinta, bilik pemungutan suara, segel, alat untuk memberi tanda pilihan,
dan TPS. Dukungan perlengkapan lainnya meliputi sampul kertas;
tanda pengenal KPPS, petugas ketertiban dan saksi; karet pengikat surat
suara; lem/perekat; kantong plastik; ballpoint; gembok; spidol; formulir
dan sertifikat; stiker nomor kotak suara; tali pengikat alat pemberi tan
da pilihan; alat bantu tunanetra; daftar pasangan calon; serta salinan
DPT dan DPTb. Sementara bahan sosialisasi dan kampanye terdiri atas
selebaran (flyer); brosur (leaflet); pamflet; poster; baliho; spanduk; umbul-
umbul; dan/atau bahan lainnya.
Prinsip-prinsip dasar dalam mengelola logistik pemilu dan pilkada
adalah bagaimana logistik tersebut menjadi bagian atau instrumen
yang penting untuk membangun legitimasi pemilih. Orang banyak
meragukan hasil pemilu dan pilkada bila logistiknya tidak standar.
Apabila ada improvisasi atau kreatifitas mengenai logistik pemilu
dan pilkada, kreatifitas tersebut harus sesuai standar PKPU. Contohnya
dalam pengisian formulir di TPS, harus menggunakan formulir yang
sudah diatur dalam PKPU. Apabila ada kreatifitas menggunakan for
mulir yang tidak sesuai standar, maka itu bisa mempengaruhi legitimasi
hasil pemilu atau pilkada.
Manajemen logistik menjadi penting dalam penyelenggaraan pilkada,
khususnya apabila dokumen-dokumen logistik tersebut nantinya
diperlukan dalam proses sengketa pilkada.

8.1. MEMASTIKAN PRODUKSI DAN LOGISTIK SESUAI


PRINSIP
8.1.1. Kendali Mutu Standar Logistik Pilkada
KPU berpegang teguh pada enam prinsip penyediaan perlengkapan
pilkada. Enam prinsip, yang diatur di PKPU 11/2016 tersebut adalah
tepat jumlah, tepat jenis, tepat sasaran, tepat waktu, tepat kualitas, dan
efisien.

PENYELENGGARAAN
166 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Penghitungan kebutuhan logistik secara tepat dan akurat penting
untuk memastikan bahwa penyediaan logistik sesuai. Jika logistik
diproduksi melebihi kebutuhan, tentu akan dianggap sebagai
pemborosan yang mengganggu anggaran yang telah ditetapkan. Selain
itu, kelebihan logistik juga dapat dimanfaatkan oleh pihak tertentu
untuk melakukan kecurangan.
Penghitungan jumlah logistik yang diperlukan didasarkan pada
ketentuan undang-undang. Pasal 80 ayat (1) UU 10/2016, misalnya,
mengatur jumlah surat suara yang dicetak sama dengan jumlah pemilih
tetap ditambah dengan dua setengah persen dari jumlah pemilih tetap
sebagai cadangan, yang ditetapkan dengan keputusan KPU provinsi
dan KPU kabupaten/kota. Data pemilih yang akurat tentu akan
menentukan keakuratan logistik pemilu. Jika tidak, kekurangan atau
kelebihan logistik pemilu dapat mengganggu kelancaran pemungutan,
penghitungan, dan rekapitulasi suara.
Selain memastikan jumlah, hal lain yang sangat penting terkait surat
suara adalah keasliannya. Pasal 13 ayat (1) PKPU 11/2016 mengatur,
surat suara diberi pengaman dengan tanda khusus untuk menjamin
keasliannya yang dapat berupa mikroteks, hidden image, atau tanda
khusus lainnya.
Spesifikasi surat suara diatur pada Pasal 11 PKPU 11/2016. Surat
suara dibuat dengan ketentuan:
Latar belakang foto pada kolom pasangan calon berwarna merah
putih;
Foto Pasangan Calon dibuat berpasangan;
Tidak memakai ornamen, gambar atau tulisan selain yang melekat
pada pakaian yang dikenakan Pasangan Calon;
Tidak memakai ornamen, gambar atau tulisan yang dilarang
berdasarkan peraturan perundang- undangan;
Format surat suara dibuat dengan memerhatikan posisi lipatan
yang tidak mengenai nomor urut Pasangan Calon, foto Pasangan
Calon, dan nama Pasangan Calon yang dapat mengakibatkan
kerusakan surat suara.
Ketentuan lebih lanjut tentang desain surat suara ditetapkan dengan

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 167
Keputusan KPU No 145/Kpts/KPU/Tahun 2016 tentang Desain Surat
Suara dan Desain Alat Bantu Coblos Bagi Pemilih Tunanetra pada
Pilkada.
Pada Pilkada 2015, proses produksi surat suara sedikit terhambat
oleh sengketa pencalonan yang berlarut-larut. Penundaan penetapan
pasangan calon di delapan daerah mengancam proses pengadaan dan
distribusi logistik pemilihan kepala daerah. Keterlambatan pengadaan
akan berdampak pada ketepatan waktu distribusi logistik, terutama ke
daerah terisolasi.
KPU hanya punya waktu 25 hari untuk menyiapkan dan men
distribusikan logistik pemilihan kepala daerah jika bakal calon kepala/
wakil kepala daerah menggugat penetapan calon oleh KPUD hingga ke
MA. KPU di daerah keberatan dengan waktu ini. KPU Maluku, misal
nya, mengatakan, mustahil bisa menyiapkan semua logistik pilkada
di empat kabupaten di Maluku yang ikut menggelar pilkada serentak
pada Desember 2015, dalam waktu 25 hari. Terlebih, setiap Desember,
tinggi ombak di perairan Maluku bisa mencapai lima meter, sehingga
menghambat distribusi logistik. Untuk distribusi minimal butuh waktu
40 hari.
Di Kaimana, KPU setempat belum memasukkan pasangan calon
Matias Mairuma dan Ismail Sirfefa sebagai peserta pilkada, sekalipun
Panwaslu Kaimana sudah merekomendasikan KPU setempat me
masukkannya. Oleh karena belum ada penetapan calon, logistik pilkada
Kaimana belum bisa diproduksi.
Di Boven Digoel, KPU Kabupaten Boven Digoel, mencetak kembali
surat suara untuk pemilihan bupati-wakil bupati Boven Digoel. Ini
dilakukan setelah KPU RI menganulir pencalonan Yusak Yaluwo karena
masih berstatus bebas bersyarat pada Senin 23 November 2015. Padahal,
KPU Boven Digoel telah mencetak surat suara yang mencantumkan
nama Yusak sebanyak 47.211 lembar.
Sebelumnya, KPU Boven Digoel menetapkan lima pasangan kandidat
kepala daerah, termasuk Yusak, pada 24 Agustus 2015. Namun, Bawaslu
Papua mengeluarkan rekomendasi bahwa penetapan Yusak tidak sah
karena masih berstatus bebas bersyarat dalam perkara korupsi dana

PENYELENGGARAAN
168 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
APBD Kabupaten Boven Digoel 2005-2007 senilai Rp 37 miliar.
Di Simalungun, pendistribusian terhambat karena kantor KPU
Simalungun dikepung ribuan massa pendukung JR Saragih-Amran
Sinaga, calon bupati dan wakil bupati Simalungun yang dicoret
keikutsertaannya karena Amran terbukti divonis empat tahun penjara
dengan ancaman lima tahun penjara. JR Saragih merupakan calon
petahana.
Di Kalimantan Tengah, surat suara belum bisa didistribusikan karena
surat suara untuk pemilihan Gubernur Kalteng belum selesai dicetak.
Ketelambatan itu karena salah satu pasangan calon digugurkan.
Kompleksitas distribusi ke daerah-daerah timur kian meningkat
karena infrastruktur produksi tak selalu tersedia di kabupaten/kota
sehingga harus mencetak di luar pulau. Kondisi tersebut berdampak
pada biaya, waktu, dan risiko kecelakaan di perjalanan pada saat
mobilisasi logistik.
Kompleksitas distribusi makin tinggi ketika proses distribusi dari
KPU kabupaten/kota ke setiap TPS. Kondisi infrastruktur transportasi
yang minim di sejumlah daerah, kondisi geografis yang sulit karena
banyak permukiman penduduk berada di daerah kepulauan dan
pegunungan, serta sebaran pemukiman penduduk yang tidak merata
menjadi masalah sekaligus tantangan dalam distribusi logistik.
Menyiasati kerumitan dan kompleksitas distribusi logistik tersebut,
KPU melakukan identifikasi daerah prioritas berdasarkaan sejumlah
kategori; (1) jarak dan waktu pendistribusian; (2) penggunaan beberapa
moda transportasi dalam distribusi logistik (darat, laut, dan udara); (3)
keterbatasan infrastruktur yang dapat digunakan dalam distribusi; (4)
daerah dengan jumlah pemilih besar. Besarnya jumlah daftar pemilih
menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan daerah prioritas
karena besaran jumlah pemilih memengaruhi waktu yang dibutuhkan
KPU Kabupaten/Kota melakukan sortir dan pengesetan logistik.
Penghitungan alokasi waktu distribusi logistik dari perusahaan
percetakan ke KPU kabupaten/kota dan dari KPU kabupaten/kota ke
TPS sangat penting agar logistik sampai di lokasi tujuan tepat waktu.
Tanggung jawab penyedia dalam distribusi hanya dari perusahaan

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 169
percetakan ke KPU kabupaten/kota. Sementara distribusi dari KPU
kabupaten/kota ke TPS menjadi tanggung jawab masing-masing
daerah. Dalam praktiknya, produksi dan distribusi logistik berjalan
secara simultan, dimulai dari kabupaten/kota prioritas dan berikutnya
ke kabupaten/kota yang tidak terdapat banyak kendala dalam
pendistribusian logistiknya. Alokasi waktu juga perlu dihitung untuk
kebutuhan sortir, pengesetan, pengepakan dan distribusi logistik dari
KPU kabupaten/kota ke TPS.
KPU juga mengidentifikasi moda transportasi yang dapat digunakan
untuk mendistribusikan logistik ke kabupaten/kota. Sebelum pelak
sanaan tahapan pengadaan logistik, KPU sudah menghimpun data dan
informasi mengenai ketersediaan sarana pengangkutan. Data-data yang
dikumpulkan, yaitu jalur transportasi darat, laut, dan udara, kapasitas
angkut, perkiraan waktu dan biaya distribusi. Data-data tersebut
diperoleh dari survei, perusahan ekspedisi dan tenaga ahli distribusi.
Penentuan moda transportasi distribusi logistik mempertimbangkan
sejumlah aspek seperti waktu, kapasitas, keamanan dan biaya. Hal ini
penting untuk memberikan jaminan ketepatan distribusi logistik, yaitu
tepat waktu, tepat jenis, tepat sasaran, tepat jumlah, tepat kualitas, dan
efesien atau hemat anggaran.
Selain surat suara, KPU juga mengatur produksi dan distribusi kotak
suara. Jumlah kotak suara disesuaikan dengan jumlah TPS. Kotak suara
yang digunakan dalam pemungutan suara pemilihan gubernur dan
wakil gubernur yang dilaksanakan tidak bersamaan dengan pemilihan
bupati dan wakil bupati atau pemilihan walikota dan wakil walikota
berjumlah satu buah pada setiap TPS. Sementara kotak suara yang
digunakan dalam pemungutan suara pemilihan gubernur dan wakil
gubernur yang dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan bupati dan
wakil bupati atau pemilihan walikota dan wakil walikota berjumlah dua
buah pada setiap TPS.
KPU juga mengatur kotak suara yang digunakan untuk rekapitulasi.
Saat rekapitulasi di tingkat kecamatan, ada tiga kategori kotak suara.
Pertama, kotak suara untuk menyimpan berita acara rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara di tingkat kecamatan; sertifikat hasil dan

PENYELENGGARAAN
170 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
rincian penghitungan perolehan suara dari setiap TPS dalam wilayah
desa atau sebutan lain/kelurahan di tingkat kecamatan; model plano
yang merupakan catatan hasil rekapitulasi hasil penghitungan suara
dari setiap TPS dalam wilayah desa atau sebutan lain/kelurahan di
tingkat kecamatan; sertifikat rekapitulasi hasil dan rincian penghitungan
perolehan suara dari setiap desa atau sebutan lain/kelurahan di tingkat
kecamatan; model plano catatan hasil rekapitulasi hasil penghitungan
suara dari setiap desa atau sebutan lain/kelurahan di tingkat kecamatan;
catatan kejadian khusus dan/atau keberatan saksi dalam pelaksanaan
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di tingkat kecamatan
dan daftar hadir peserta rapat rekapitulasi penghitungan perolehan
suara di tingkat kecamatan.
Kedua, kotak suara untuk menyimpan salinan daftar pemilih dan
daftar hadir di TPS. Ketiga, kotak suara untuk menyimpan berita acara
pemungutan dan penghitungan suara di TPS, sertifikat hasil dan rincian
penghitungan perolehan suara di TPS, catatan hasil penghitungan
perolehan suara sah di TPS, dan model plano yang merupakan catatan
hasil penghitungan perolehan suara di TPS.
Kotak suara tersebut diberi stiker identitas atau tanda yang mencan
tumkan nama kecamatan dan tulisan hasil rekapitulasi penghitungan;
nama kecamatan dan tulisan salinan daftar pemilih; serta nama
kecamatan dan tulisan hasil penghitungan suara di TPS.
Untuk menjamin transparansi pengadaan logistik, KPU menyiapkan
sistem informasi logistik (Silog). Silog sebenarnya telah disiapkan KPU
sejak tahun 2008. Aplikasi ini dibuat dengan melibatkan ITB sebagai
mitra kerja pengembangan. Silog berbasis web tersebut digunakan
dalam pengelolaan logistik pemilu dari tahap perencanaan hingga
monitoring pengiriman logistik ke tingkat TPS.
Pada perkembangannya, Silog juga dapat diakses oleh publik untuk
mengetahui perkembangan pengelolaan logistik. Dashboard Silog
memuat informasi jumlah TPS, PPS, PPK, pemilih, daftar pasangan calon,
surat suara, tinta sidik jari, formulir, template, hologram, segel, sampul,
kotak dan bilik suara. Publik dapat memantau perkembangan produksi
dan distribusi masing-masing jenis logistik, jumlah yang sudah dicetak

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 171
oleh perusahaan, jumlah yang sudah dikirim dan jumlah yang sudah
diterima oleh masing-masing KPU kabupaten/kota. Jika ada logistik
yang tidak terdistribusi sesuai jadwal atau terdistribusi tapi jumlahnya
kurang dari yang seharusnya maka sistem akan memberi peringatan.
Petugas dapat segera melakukan penelusuran untuk mengetahui sumber
masalahnya, apakah kesalahan pada proses produksi atau distribusi.
Informasi tersebut penting untuk mengambil tindakan antisipasi dan
penanganan logistik.
Pengoperasian Silog bertumpu penuh pada KPU di tingkat
kabupaten dan kota. Pengelolaan Silog dilakukan oleh administrator
dan operator yang ditunjuk oleh masing-masing Satker. Operator di
setiap Satker dapat melakukan pengelolaan data seperti input data
harga satuan barang, harga satuan jasa, biaya distribusi, data barang
inventaris, rencana kebutuhan logistik, rencana anggaran, data harga
kontrak barang, data harga kontrak jasa, data pengadaan barang, data
penerimaan barang, rekap harga satuan barang, rekap harga satuan jasa,
rekap harga kontrak barang, rekap harga kontrak jasa, rekap alokasi
kebutuhan, rekap alokasi anggaran, rekap biaya distribusi, rekap pemilih
dan badan penyelenggara, monitoring pengadaan dan distribusi barang.
Pada Pilkada 2015, KPU melakukan Rapat Koordinasi Penggunaan
Aplikasi Silog. Rapat koordinasi itu diselenggarakan bertahap pada
30 September hingga 8 Oktober dengan melibatkan operator Silog
dan komisioner KPU daerah dari 266 daerah yang menyelenggarakan
pemilihan kepala daerah 2015.
KPU mencatat, tidak lebih dari 30 persen yang memanfaatkan Silog.
Dalam Silog, KPU daerah diharuskan mengunggah data pengadaan
surat suara, tinta sidik jari, hologram, segel, dan kotak serta bilik suara.
Data yang dimasukkan dalam Silog bisa disandingkan dengan sistem
informasi lain, seperti Sitap dan Sidalih untuk memantau kinerja KPU.
Persentase penggunaan Silog yang masih sekitar 30 persen itu jauh
dibandingkan penggunaan Sitap yang berkisar 90 persen, serta Sidalih
yang sudah hampir 100 persen.
KPU kabupaten/kota memegang peranan strategis dalam
memastikan logistik yang diterima KPPS tepat jumlah, tepat jenis, tepat

PENYELENGGARAAN
172 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
mutu, tepat tujuan dan tepat waktu. Karena itu, KPU kabupaten/kota
diberikan tanggung jawab dan kewenangan melakukan pemeliharaan
dan inventarisasi logistik pemilu melalui pelaksanaan beberapa kegiatan,
meliputi penerimaan, penyimpanan (penataan dan pengelompokan),
pengepakan (pensortiran, pengesetan, penghitungan dan pengepakan),
pemeliharaan, penyaluran dan inventarisasi. Semua logistik pemilu
harus diterima KPPS paling lambat satu hari sebelum hari pemungutan
suara.

8.1.2. Distribusi Logistik di Tengah Cuaca Buruk


Undang-undang yang menetapkan pemungutan suara Pilkada
2015 di bulan Desember dan Pilkada 2017 di bulan Februari membuat
tantangan tersendiri bagi pendistribusian logistik oleh KPU. Dalam
konteks teknis penyelenggaraan, tantangan cuaca bisa berdampak pada
penyelenggaraan tahapan Pilkada, terutama distribusi logistik.
Pada 2015, terdapat kendala pendistribusian logistik ke beberapa
daerah. Daerah tersebut di antaranya 48 kabupaten/kota di lima
provinsi yang terdampak kabut asap; beberapa distrik di kabupaten di
Papua; dan pulau-pulau di Sulawesi Utara. Kendala cuaca membuat
pendistribusian logistik molor.
Pemilihan kepala daerah di 48 kabupaten/kota di lima provinsi yang
terdampak kabut asap berpotensi tertunda. Pasalnya, persiapan pilkada,
seperti pendistribusian logistik, perekrutan dan bimbingan teknis
penyelenggara, serta proses kampanye pasangan calon, mengalami
hambatan. Daerah yang diperkirakan terkendala mengikuti pilkada
serentak karena asap ini antara lain 14 daerah di Kalimantan Tengah, 7
daerah di Sumatera Selatan, 9 daerah di Riau, 7 daerah di Kalimantan
Barat, dan 11 daerah di Jambi. Wilayah di Kalimantan Tengah yang akan
menggelar pemilihan gubernur dan wakil gubernur terkendala secara
keseluruhan.
Dari laporan BBC Indonesia, Distrik Amuma di Kabupaten Yahukimo
belum mendapat kiriman logistik Pilkada hinga dua hari sebelum
pemungutan suara. Pesawat yang mengangkut bahan logistik batal

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 173
mendarat karena hujan begitu deras di distrik itu, sedangkan landasan
pesawat hanya tanah dan rumput. Semua bahan logistik diangkut
menggunakan pesawat jenis ATR dari Jayapura ke Dekaiibu kota
Kabupaten Yahukimo. Dari Dekai, logistik Pilkada kembali diangkut
memakai pesawat ke distrik-distrik di kabupaten tersebut.
Hal serupa terjadi di Sulawesi Utara. Pulau-pulau di Kabupaten
Sangihe dan Kabupaten Talaud sulit dijangkau karena ombak terlampau
tinggi akibat pengaruh cuaca. Untuk mencapai Pulau Miangas, Kabu-
paten Talaud, misalnya, diperlukan waktu seminggu dari Pelabuhan
Bitung, Manado. Sedangkan dalam sebulan hanya ada dua kali
pelayaran.
Di Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, sebanyak 10 kapal kayu
berbobot 10 gross ton (GT) digunakan untuk mengangkut surat suara
menuju ke 10 kecamatan. Ada empat kecamatan di antaranya merupakan
yang terjauh, yakni Aru Selatan Timur, Aru Tengah Selatan, Aru Tengah
Timur, dan Aru Selatan. Perjalanan dari Dobo ke empat wilayah itu
membutuhkan waktu minimal sehari. Dari total 57.461 pemilih, 35
persen di antaranya tersebar di empat kecamatan tersebut. Jika terjadi
gelombang tinggi, perjalanan molor. Cuaca buruk menghambat proses
distribusi.
Pendistribusian logistik ke Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan
Barat, khususnya ke Tanjung Lokang mesti dilalui dengan melintasi jalur
sungai yang berbatu. Musim hujan di bulan Desember yang membuat
debit air deras menyebabkan distribusi sedikit mengalami kesulitan.
Pada Pilkada 2017, kesulitan yang sama masih dihadapi KPU Sula
wesi Utara. Gelombang tinggi dan angin kencang menghadang regu
pembawa surat suara ke sejumlah tempat pemungutan suara di wilayah
kepulauan di Kabupaten Sangihe dan Bolaang Mongondow, Sulawesi
Utara. Untuk ke Pulau Marore yang mempunyai 1.093 pemilih, misalnya,
regu pembawa kotak suara sampai tiga hari berada di laut, tetapi belum
bisa mencapai Marore. Regu pembawa kotak suara, yang menggunakan
perahu motor, terpaksa berlindung di Pulau Kawio akibat gelombang
tinggi. Jarak Marore dan Tahuna, ibu kota Sangihe, biasanya ditempuh
dengan perjalanan laut selama lima jam.

PENYELENGGARAAN
174 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Cuaca buruk juga mengganggu distribusi logistik Pilkada Kabupaten
Flores Timur, NTT, terutama di Pulau Adonara dan Solor. Menurut Ketua
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Desa Mewet Kecamatan
Wotan Ulumado (Pulau Adonara) Frans Duli Poli, sampai H-2 logistik
pilkada belum tiba di desa itu. Cuaca buruk menyebabkan pengiriman
logistik tersendat. KPUD pun mengagendakan distribusi logistik sesuai
informasi cuaca laut dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
(BMKG) Kupang.
Di Serang, beberapa tujuan pengiriman logistik juga terganggu.
Distribusi ke Pulau Tunda di Kabupaten Serang, misalnya, mesti tertunda
juga akibat gelombang laut meninggi. KPU juga mesti merelokasi sekitar
10 tempat pemungutan suara (TPS) di Lebak. Lokasi lama berada dalam
desa yang selama ini dilanda banjir. Di Pandeglang, banjir merendam
21 desa di 8 kecamatan. Sementara di Lebak, banjir dan tanah longsor
melanda 96 desa di 20 kecamatan.
Banjir juga sempat mengancam pelaksanaan pilkada di 27 TPS di
Pati, Jawa Tengah. TPS-TPS itu terpaksa dipindahkan akibat banjir
yang melanda sejumlah wilayah di daerah itu. Di Bekasi, kerawanan
terkait ketersediaan logistik akibat banjir terdapat di 194 TPS, seperti di
Kecamatan Pebayuran dan Muara Gembong.
Tantangan distribusi logistik di tengah cuaca ekstrim menjadi
highlight evaluasi pilkada. Problematika menjelang hari pemungutan
suara sudah diduga karena pemungutan suara yang dilangsungkan
pada bulan Desember dan Februari sebagaimana diatur undang-undang
dilangsungkan tanpa mempertimbangkan kondisi cuaca ekstrem yang
terjadi di mana Indonesia sedang mengalami musim penghujan dan
musim gelombang tinggi.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 175
PENYELENGGARAAN
176 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
9

Pendaftaran Bakal
Pasangan Calon

T
ahap pendaftaran bakal pasangan calon merupakan salah
satu tahapan penting dalam rangkaian pilkada. Tahapan ini
jadi tahap awal yang paling krusial untuk menyeleksi calon-
calon yang kelak ditawarkan kepada pemilih di surat suara.
Kualitas regulasi sangat menentukan kualitas calon kepala daerah.
Tanpa ketentuan yang menetapkan standar tinggi kualitas calon kepala
daerah yang diinginkan, sulit mengharapkan pemimpin-pemimpin
kepala daerah yang memiliki kompetensi, menjunjung tinggi integritas,
dan mempunyai jiwa kepemimpinan yang baik.
Sebagai landasan hukum Pilkada 2015, UU No 8/2015 merinci syarat-
syarat yang harus dipenuhi individu untuk jadi calon kepala daerah.
UU No 10/2016 sebagai landasan hukum Pilkada 2017 juga merinci hal
yang sama.
Pada Pasal 7 UU No 8/2015 dan UU No 10/2016 ini, ada dua puluh
syarat kumulatif yang mesti dipenuhi calon kepala daerah. Syarat yang
panjang lebar ini harus dipenuhi dengan melampirkan bukti-bukti saat
individu calon kepala daerah mendaftar ke KPU provinsi atau KPU
kabupaten/kota. Satu syarat saja tak dipenuhi, KPU bisa mencoret
pencalonannya dengan menyatakan tidak memenuhi syarat sebagai

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 177
calon kepala daerah. Dua puluh syarat tersebut di antaranya mengatur
syarat usia, pendidikan, kesehatan, kesetiaan pada Pancasila, dan lain-
lain.
Pada perjalanan pembahasan undang-undang tersebut, setidaknya
ada tiga catatan yang jadi perdebatan. Pertama, pengaturan soal uji
publik. Kedua, pengaturan soal konflik kepentingan dengan petahana.
Ketiga, pengaturan soal kewajiban mundur bagi anggota DPR, DPD,
dan DPRD. Ulasan mengenai perdebatan-perdebatan yang terjadi di
sekitar tiga topik sorotan tersebut akan dibahas pada bab berikut.
UU No 8/2015 (sebagai revisi pertama atas UU No 1/2015) menghapus
ketentuan telah mengikuti uji publik sebagai syarat calon kepala
daerah yang telah diatur rinci di UU 1/2015. UU 8/2015 juga memuat
syarat tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Namun,
ketentuan ini dianulir oleh MK melalui Putusan No 33/PUU-XIII/2015.
Putusan ini juga memuat ketentuan berupa kewajiban mundur bagi
anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sebelumnya, di UU No 8/2015, anggota
DPR, DPD, dan DPRD cukup memberitahukan pencalonannya sebagai
kepala daerah kepada pimpinan DPR, DPD, dan DPRD. Perbandingan
syarat calon kepala daerah di UU No 1/2015, UU No 8/2015, dan UU
No 10/2016 dapat dilihat dalam tabel berikut.

PENYELENGGARAAN
178 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
TABEL 22: PERBANDINGAN SYARAT CALON KEPALA DAERAH DI UU 1/2015, UU 8/2015, DAN UU 10/2016

NO. KETENTUAN UU 1/2015 UU 8/2015 UU 10/2016

1. Uji publik Telah mengikuti uji publik Dihapus Dihapus

2. Kesehatan Mampu secara jasmani dan Mampu secara jasmani dan rohani Mampu secara jasmani,
rohani rohani, dan bebas dari
penyalahgunaan narkotika

3. Turun Tidak diatur Belum pernah menjabat sebagai gubernur, bupati, Belum pernah menjabat
jabatan dan walikota untuk calon wakil gubernur, calon sebagai gubernur untuk calon
dari kepala wakil bupati, dan calon wakil walikota wakil gubernur, atau bupati/
daerah jadi walikota untuk calon wakil
wakil kepala bupati/calon wakil walikota
daerah pada daerah yang sama

4. Konflik Tidak memiliki konflik Tidak memiliki konflik kepentingan dengan Dihapus
kepentingan kepentingan dengan petahana*
dengan petahana *Ketentuan ini tak berlaku setelah MK mengeluarkan putusan
nomor 33/PUU-XIII/2015
petahana

5. Kewajiban Memberitahukan Memberitahukan pencalonannya sebagai Menyatakan secara tertulis


mundur bagi pencalonannya sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, pengunduran diri sebagai
anggota gubernur, bupati, dan walikota, dan wakil walikota kepada pimpinan DPR anggota DPR, anggota DPD,
DPR, DPD, walikota kepada pimpinan bagi anggota DPR, kepada pimpinan DPD bagi dan anggota DPRD sejak
dan DPRD DPR bagi anggota DPR, anggota DPD, atau kepada pimpinan DPRD bagi ditetapkan sebagai pasangan
kepada pimpinan DPD anggota DPRD* calon peserta Pemilihan
bagi anggota DPD, atau *Ketentuan ini tak berlaku setelah MK mengeluarkan putusan
nomor 33/PUU-XIII/2015

Pilkada Serentak 2015 dan 2017


PENYELENGGARAAN
kepada pimpinan DPRD bagi
anggota DPRD

179
KPU sendiri merancang PKPU No 12/2015 juncto PKPU No 9/2015
tentang pencalonan sebagai peraturan teknis turunan dari UU No
8/2015 yang berlaku untuk Pilkada Serentak 2015. Sementara untuk
Pilkada Serentak 2017, PKPU No 9/2016 jadi landasan.
Aturan-atauran teknis yang dibuat KPU, sebagai contoh, memuat
ketentuan tentang dokumen-dokumen yang mesti dilengkapi untuk
membuktikan bahwa calon memenuhi kriteria persyaratan sebagaimana
diatur dalam undang-undang.
Pasal 39 huruf k PKPU No 9/2015 menyebut KPU akan memberikan
surat pengantar pemeriksaan kesehatan jasmani dan rohani di rumah
sakit yang ditunjuk oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota. KPU
juga menegaskan syarat calon mampu secara jasmani dan rohani tidak
menghalangi penyandang disabilitas.
Pasal 42 PKPU No 9/2015 menyebut dokumen yang wajib disampaikan
kepada KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota salah satunya adalah
surat pernyataan pengunduran diri bagi calon yang berstatus sebagai
anggota TNI, Polri, PNS, dan BUMN yang ditandatangani pejabat yang
berwenang.
PKPU juga merinci soal definisi tidak memiliki konflik kepentingan
dengan petahana pada Pasal 4 ayat (11):
a. tidak memiliki ikatan perkawinan dengan Petahana, yaitu suami
atau istri dengan Petahana; atau
b. tidak memiliki hubungan darah/garis keturunan 1 (satu) tingkat
lurus ke atas, yaitu bapak/ibu atau bapak mertua/ibu mertua
dengan Petahana; atau
c. tidak memiliki hubungan darah/garis keturunan 1 (satu) tingkat
lurus ke bawah, yaitu anak atau menantu dengan Petahana; atau
d. tidak memiliki hubungan darah/garis keturunan ke samping,
yaitu kakak/adik kandung, ipar, paman atau bibi dengan
Petahana.
Pada Pilkada 2015, tahapan pendaftaran pasangan calon berlangsung
sejak pengumuman pendaftaran pasangan calon tanggal 14 Juli 2015
hingga pengundian dan pengumuman nomor urut pasangan calon
tanggal 26 Agustus 2015. Jadwal ini diatur di PKPU No 2/2015 tentang

PENYELENGGARAAN
180 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaran Pilkada.
Sementara Pilkada 2017 menggunakan pedoman PKPU No 3/2016,
No 4/2016, dan No 7/2016. Tahapan pendaftaran pasangan calon
berlangsung dari pengumuman pendaftaran pasangan calon tanggal
14 September 2016 hingga pengundian dan pengumuman nomor urut
pasangan calon tanggal 25 Oktober 2016.
KPU mencatat ada total 875 pasangan calon pendaftar Pilkada
2015 dan 337 pasangan calon pendaftar Pilkada 2017. Rincian jumlah
pendaftar tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 181
Para pendaftar ini ke

TOTAL

337
253
mudian menjalani se rang

25

59
kaian tahapan sebelum bisa
ditetapkan sebagai pasangan
JUMLAH
PASLON
PARTAI
calon dan mendapat nomor

247
183
21

43
urut. Tahapan tersebut
PILKADA 2017

di antaranya adalah pe
JUMLAH PASLON
PERSEORANGAN

meriksaan kesehatan dan


TABEL 23: REKAPITULASI PASANGAN CALON PENDAFTAR PILKADA 2015 DAN 2017

penelitan syarat pencalonan.

90
70

16
4

KPU memberi ruang per


baikan syarat pencalonan
bagi pasangan calon. Selain
WILAYAH
JUMLAH

itu, KPU juga membuka


101
76

18
7

ruang bagi publik untuk


mengajukan tanggapan dan
masukan.
TOTAL

875
729

124
22
JUMLAH
PASLON
PARTAI

708
593
21

94
PILKADA 2015

JUMLAH PASLON
PERSEORANGAN

167
136

30
1
WILAYAH
JUMLAH

269
224

36
9
PEMILIHAN
JENIS

Pemilihan

Pemilihan

Pemilihan
Gubernur

Walikota

TOTAL
Bupati

PENYELENGGARAAN
182 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
9.1. PERDEBATAN UJI PUBLIK
9.1.1 Mengapa Uji Publik?
Undang-undang mendefinisikan uji publik sebagai tahapan yang
dilakukan untuk menguji kompetensi dan integritas calon kepala
daerah. Uji publik dilakukan agar tercipta kualitas kepala daerah yang
memiliki kompetensi, integritas, dan kapabilitas serta memenuhi unsur
akseptabilitas.
Uji publik dilaksanakan secara terbuka oleh panitia yang bersifat
mandiri yang dibentuk oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/
kota. Panitia tersebut terdiri dari akademisi, tokoh masyarakat, dan
komisioner KPU provinsi dan/atau KPU kabupaten kota.
UU No 1/2015 mengatur secara rinci tahapan uji publik dalam
Bab VI Pasal 38. Partai atau gabungan partai mengajukan bakal calon
kepala daerah (boleh lebih dari satu) untuk dilakukan uji publik. Panitia
uji publik yang beranggotakan lima orang terdiri atas dua orang
akademisi, dua orang tokoh masyarakat, dan satu orang anggota KPU
provinsi atau KPU kabupaten/kotamenguji bakal calon tersebut.
Uji publik dilaksanakan secara terbuka paling lambat tiga bulan
sebelum pendaftaran. Bakal calon kepala daerah yang telah mengikuti
uji publik memperoleh surat keterangan telah mengikuti uji publik dari
panitia uji publik sebagai syarat calon kepala daerah.
Latar belakang kehadiran uji publik dalam undang-undang itu tidak
terlepas dari adanya persoalan meningkatnya jumlah kepala daerah
yang tersandung kasus korupsi. Sehingga, uji publik hadir sebagai
salah satu cara untuk meminimalisasi kehadiran perilaku menyimpang
dari kepala daerah dengan cara mengukur kompetensi dan integritas
bakal calon kepala daerah sebelum dicalonkan sebagai kepala daerah
oleh partai politik maupun perseorangan untuk dipublikasikan kepada
pemilih.
Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri Kabinet Indonesia Bersatu
Jilid II, menekankan proses uji publik bertujuan memberikan kesempatan
bagi masyarakat untuk menilai kemampuan bakal calon kepala daerah
secara terbuka. Uji publik menjadi sarana bagi pemilih untuk bisa

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 183
menggunakan prinsip-prinsip rasionalitas dalam menentukan pilihan.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri kala
itu, Djohermansyah Djohan, juga menekankan pentingnya uji publik
untuk menghindari oligarki (pemerintahan yang dipegang elite-elite
kecil) dan mencegah politik kekerabatan dalam pilkada. Lewat uji
publik, partai dapat memilih calon yang rekam jejaknya bagus dan
memiliki visi yang kuat untuk memajukan daerah.
KPU menyambut baik ide ini. Menurut KPU, uji publik menutup
peluang munculnya calon dadakan di menit-menit terakhir pencalonan.
Publik jauh-jauh hari dapat mengetahui figur yang dipilih partai sebagai
bakal calon. Publik juga dapat memberikan masukan kepada partai
siapa kandidat yang tepat untuk diusung. Dengan demikian, partai
dipaksa melakukan rekrutmen secara ketat.
Dari sisi pendidikan politik, uji publik juga mendorong proses
konsolidasi demokrasi semakin matang. Pemilih dapat mengakses
informasi sebanyak-banyaknya terkait dengan calon kepala daerah.
Sementara partai politik termotivasi menghadirkan calon yang
berintegritas, serta tidak
memiliki cacat moral atau Uji publik juga mendorong
korup. Partai akan semakin proses konsolidasi demokrasi
menerapkan pengkaderan semakin matang. Pemilih
yang profesional dengan dapat mengakses informasi
sistem meritokratik sebanyak-banyaknya terkait
(profesional) yang kian kokoh. dengan calon kepala daerah.
KPU sempat menyusun Sementara partai politik
aturan teknis mengenai uji termotivasi menghadirkan
publik. Dalam rancangan calon yang berintegritas,
PKPU Pencalonan tertanggal serta tidak memiliki cacat
17 Desember 2014, KPU moral atau korup. Partai
menyusun lima pasal akan semakin menerapkan
mengenai uji publikPasal 8 pengkaderan yang
sampai Pasal 12. profesional dengan sistem
Tahapan uji publik yang meritokratik (profesional)
dirancang KPU adalah, yang kian kokoh.

PENYELENGGARAAN
184 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
pertama, mengumumkan daftar bakal calon yang akan mengikuti uji
publik pada media massa dan papan pengumuman dan/atau laman
KPU provinsi/KIP Aceh/KPU/KIP kabupaten/kota. Kedua, KPU
menghimpun tanggapan dan masukan dari masyarakat. Ketiga, KPU
akan menindaklanjuti atau mengklarifikasi tanggapan dan masukan
tersebut.
Setelah itu, KPU akan menetapkan peserta uji publik disertai dengan
pengumuman profil, visi, dan misi bakal calon untuk kemudian diuji
publik dalam dua sesi: pemaparan dan pendalaman materi. Materi
dalam pelaksanaan uji publik meliputi: pemaparan profil, visi dan
misi, serta program bakal calon; pendalaman mengenai integritas bakal
calon; pendalaman mengenai kompetensi bakal balon; serta klarifikasi
tanggapan dan masukan masyarakat.
KPU provinsi atau kabupaten/kota membentuk panitia uji publik
yang beranggotakan lima orang yang terdiri atas dua orang berasal dari
unsur akademisi, dua orang tokoh masyarakat, dan satu orang anggota
KPU provinsi atau kabupaten/kota. Seleksi panitia uji publik dilakukan
melalui proses penjaringan dan pengumuman calon panitia uji publik
untuk mendapatkan tanggapan masyarakat
KPU kemudian akan menerbitkan surat keterangan telah melakukan
uji publik bagi bakal calon yang mengikuti uji publik. Surat keterangan
uji publik ini hanya berlaku sebagai pemenuhan syarat calon pada
daerah pemilihan dilaksanakannya uji publik.

9.1.2. Dari Seremonial ke Substansial


Semangat dan itikad baik yang dibawa uji publik ini, pada realitanya,
tanpa dibarengi dengan adanya kejelasan konsekuensi yang ditimbulkan
dari hasil uji publik itu sendiri. Pasal 1 ayat 2 UU No 1/2015 secara
tegas menjelaskan bahwa hasil uji publik tidak dapat menggugurkan
pencalonan. Dengan kata lain, meskipun bakal calon sudah mengikuti
proses uji publik dan memperoleh sertifikat hasil uji publik yang menjadi
persyaratan pencalonan, keputusan akhir pencalonan tetap berada di
tangan partai politik.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 185
Tanpa dampak berarti pada pembatalan kepesertaan bakal calon,
uji publik hanya akan memberatkan penyelenggara pemilu. Tahapan
ini hanya akan memperpanjang tahapan pemilu. Didik Supriyanto,
pakar pemilu, dalam sebuah diskusi bertajuk Revisi Terbatas Perppu
No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Demi
Perbaikan Sistem di Media Center KPU, Jakarta, menyarankan
mekanisme pencalonan yang dilakukan oleh partai politik. Bukan tanpa
syarat, pengembalian uji publik ke internal partai ini perlu dibarengi
dengan perbaikan rekrutmen internal partai.
Hal serupa juga disuarakan Ramlan Surbakti, guru besar perbandingan
politik pada FISIP Universitas Airlangga dan anggota Komisi Ilmu Sosial
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Dalam RDPU dengan Komisi II
DPR (20/1), ia menilai, uji publik cukup dimasukkan ke dalam proses
pencalonan oleh partai politik atau gabungan partai.
Namun, peneliti senior LIPI, Syamsuddin Haris, tidak sependapat
dengan Ramlan. Menurutnya, uji publik dalam proses tahapan
penyelenggaraan pilkada tak bisa dikembalikan kepada partai, apalagi
dihapus dalam jadwal. Selain itu, dia menyatakan KPU sebagai
penyelenggara pemilu harus terlibat, meski tak secara langsung.
Menurut Syamsuddin, uji publik harus ada, sebab sebelumnya proses
semacam itu tak pernah ada dalam partai ketika mereka mengajukan
bakal calonnya. Ketentuan ini perlu ada agar tak semua orang yang
merasa populer bisa maju dalam pencalonan di pilkada. Artinya, yang
maju adalah mereka yang kompeten dan memenuhi kepantasan menjadi
pemimpin karena sudah melalui uji publik.
Meski UU Pilkada telah menyepakati penghapusan pasal uji publik,
partai harus tetap didorong melakukan uji publik. Ramlan mengusulkan
model pemilu pendahuluanpemilu bakal calon di internal partai. Isi
ketentuan ini akan mengatur pengajuan seorang bakal calon kepala
daerah. Pemilihan pendahuluan oleh anggota partai dibuktikan oleh
berita acara hasil penghitungan suara pemilihan pendahuluan. Berita
acara itu nantinya wajib diserahkan kepada KPU kabupaten/kota
atau KPU provinsi ketika menyerahkan nama calon untuk kemudian
diverifikasi.

PENYELENGGARAAN
186 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Model pemilu pendahuluan ini mesti mengedepankan keterbukaan
di internal partai politik yang lebih menempatkan peran penting
anggota partai politik dalam proses rekrutmen. Dalam model ini, ruang
partisipasi anggota partai dibuka seluas-luasnya karena penentuan
calon kepala daerah yang akan diusung oleh partai politik berada di
tangan para kader partai politik dan elit partai hanya dijadikan sebagai
fasilitator semata. Dengan kata lain, model ini menempatkan kedaulatan
partai berada di kader partai itu sendiri.
Pemilu pendahuluan sendiri dapat dibagi ke dalam dua bentuk.
Pertama, pemilu pendahuluan dilakukan secara terbuka (open primaries).
Pada bentuk ini, publik yang terdaftar dalam daftar pemilih bisa ikut
memberikan suaranya. Kedua, pemilu pendahuluan dilakukan secara
tertutup (closed primaries). Pada bentuk ini, hanya anggota partai politik
saja yang berhak memberikan suaranya. Jauh sebelum pemilihan
berlangsung, biasanya ada debat antarkandidat yang mendaftar sebagai
bakal calon mengenai gagasan program-program yang ditawarkan dan
yang dimiliki bakal calon.
Dengan pemilu pendahuluan, calon yang dihasilkan tidak hanya
memiliki derajat elektablitas yang sudah teruji dengan adanya dukungan
dari anggota partai maupun publik secara umum. Namun, calon juga
terbukti berkualitas dan berintegritas.

9.2. CELAH POLITIK DINASTI


9.2.1. Politik Dinasti dan Korupsi
Dalam praktik penyelenggaraan pilkada sejak tahun 2005, muncul
satu fenomena hadirnya politik dinasti, yaitu adanya kesinambungan
pemerintahan dari lingkaran satu keluarga baik orangtua-anak, suami-
istri, kakak-adik, dan lain-lain. Bahkan, di satu wilayah provinsi, bupati/
wali kota mayoritas memiliki hubungan kekerabatan dengan gubernur.
Tidak semua fenomena ini menghadirkan praktik yang jelek karena
adanya kemajuan dan kesinambungan pembangunan di daerahnya.
Namun, tidak sedikit justru menimbulkan persoalan baru karena adanya
hegemoni atas berbagai sumber kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 187
di masyarakat.
Beberapa hal bisa dicontohkan, misalnya, mantan Bupati Bangkalan
Fuad Amin Imron yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus
dugaan korupsi pembelian gas alam. KPK mengindikasikan bahwa
anaknya, Makmun Ibnu Fuad, adalah bagian dari penerima uang terkait
kasus yang membelit sang bapak. Makmun Ibnu Fuad adalah Bupati
Bangkalan 2014-2019. Dia menggantikan bapaknya yang jadi bupati
Bangkalan dua periode, yakni 2003-2008 dan kemudian 2008-2013. Kini
Fuad adalah Ketua DPRD Bangkalan 2014-2019.
Atau, kasus yang menimpa Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah.
Dia telah divonis empat tahun kasus suap Pilkada Lebak. Dalam kasus
ini dia juga menyeret adiknya Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan.
Istri Wawan, Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmy Diani, diperiksa
Kejaksaan Agung terkait proyek pembangunan puskemas di Tangerang
Selatan.
Yang paling baru, penetapan Walikota CimahiAtty Suharti Tochija
dan suaminya Itoch Tochija sebagai tersangka. Pasangan suami istri itu
dijerat dalam kasus dugaan suap pemulusan ijon proyek pembangunan
tahap II Pasar Atas Cimahi. Kasus ini menjadi bukti bahwa politik
dinasti di daerah masih kuat. Sebab, Itoch diketahui merupakan Wali
Kota Cimahi dua periode, yakni 2002-2007 dan 2007-2012. Kekuasaan
itu kemudian beralih ke istrinya Atty untuk periode 2012-2017. Atty juga
mencalonkan diri sebagai kepala daerah di Pilkada 2017.

PENYELENGGARAAN
188 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
TABEL 24: DAFTAR DINASTI POLITIK DI INDONESIA
DAFTAR HUBUNGAN
NO. DINASTI JABATAN KASUS
DINASTI KEKERABATAN
1. Ratu Atut - Ratu Atut Gubernur Banten Korupsi sehubungan dengan Pengadaan Sarana dan
Banten Chosiyah 2007- 2017 Prasarana Alat Kesehatan dan Pengadaan lainnya di
lingkungan Pemerintah Provinsi Banten Tahun 2011-
2013. Suap sehubungan penanganan perkara sengketa
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Lebak,
Propinsi Banten Tahun 2013 di MK
(Alm) Hikmat Anggota DPR RI Suami
Tomet 2009- 2014

Ratu Tatu Bupati Serang Adik kandung


Chosiyah 2016- sekarang

Airin Rachmi Walikota Adik ipar


Diany Tangerang
Selatan
2011-sekarang

Tubagus Haerul Walikota Serang Adik tiri


Jaman 2011- sekarang
Adik tiri

Pilkada Serentak 2015 dan 2017


PENYELENGGARAAN
Heryani Wakil Bupati Ibu tiri
Pandeglang
2011-2016

189
Andika Anggota DPR Anak

190
Hazrumy RI 2014- 2019/
Calon Wakil
Gubernur Banten
2017- 2022

Ade Rossi Wakil Ketua Menantu


Khoerunisa DPRD Banten
2016-2019

PENYELENGGARAAN
Andiara Aprilia Anggota DPD Anak
Hikmat 2014-2019

Pilkada Serentak 2015 dan 2017


Tanto Arban Wakil Bupati Menantu
Pandeglang
Aden Abdul Anggota DPRD Adik tiri-ipar
Khalik Banten periode
2009-2013

2. Yasin Limpo Syahrul Yasin Gubernur


Sulawesi Limpo Sulawesi Selatan
Selatan 2008-2018
Nurhayati Yasin Anggota DPR Ibu
Limpo 2004-2009
Ichsan Yasin Bupati Gowa Adik
Limpo 2005-2015
Tenri Yasin Anggota DPRD Kakak
Limpo Sulsel/ Calon
Bupati Gowa
Pilkada 2015
Adnan Purichta Bupati Gowa Keponakan
Limpo 2016-2021

Irman Yasin Plt. Bupati Luwu Adik


Limpo Timur 2015
Haris Yasin Anggota DPRD Adik
Limpo Kota Makassar
2011
Dewi Yasin Anggota DPR Adik Suap sehubungan Proyek di Sulawsi Selatan
Limpo 2014-2019
Indira Chunda Anggota DPR Anak
Thita Syahrul 2014-2019
Andi Pahlevi Anggota DPRD Kerabat
Kota Makassar
2014-2019
3 Atty - Cimahi Atty Suharti Walikota Cimahi Istri Suap proyek pembangunan Pasar Atas Baru Cimahi tahap
2012- 2017 II pada 2017

Pilkada Serentak 2015 dan 2017


PENYELENGGARAAN
Itoch Tohija Mantan Walikota Suami
Cimahi

191
4 Sri Hartini - Sri Hartini Bupati Klaten Istri Suap/ uang setoran dari para PNS terkait promosi jabatan.

192
Klaten 2016-2021
Haryanto Bupati Klaten Suami
Wibowo 2006-2016 S
Andy Purnomo Anggota DPRD Anak
Klaten 2014-2019
5 Yan Anton Yan Anton Bupati Banyuasin Anak Suap terkait proyek pengadaan di Dinas Pendidikan
Ferdian Ferdian 2013- 2018 Kabupaten Banyuasin.

PENYELENGGARAAN
Amiruddin Bupati Banyuasin Bapak
Inoed 2003- 2013

Pilkada Serentak 2015 dan 2017


6. Syaukani Syaukani Hasan Bupati Kutai Bapak Korupsi pelaksanaan proyek pembangunan Bandara
- Kutai Rais Kartanegara Samarinda Kutai Kartanegara yang terjadi di
Kartanegara 1999-2010 pemerintahan Daerah Kutai Kartanegara Propinsi
Kalimantan Timur, tahun 2003 s.d 2004

Rita Widyasari Bupati Kutai Anak


Kartanegara
2010-2021
7. Fuad Amin - Fuad Amin Bupati Bangkalan Bapak Suap terkait dengan jual beli gas alam untuk pembangkit
Bangkalan 2003- 2012 listrik di Gresik dan Gili Timur Bangkalan Madura, Jawa
Timur dan perbuatan penerimaan lainnya.
TPPU sehubungan dengan perbuatan menempatkan,
mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa
ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan
mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas
Harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana korupsi dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan
Makmun Ibnu Bupati Bangkalan Anak
Fuad 2013- sekarang

Sumber: ICW

Pilkada Serentak 2015 dan 2017


PENYELENGGARAAN
193
Dinasti politik, korupsi kepala daerah, dan Pilkada memiliki relevansi
satu sama lain. Disadari atau tidak, dinasti tumbuh subur melalui proses
pemilu. Raja-raja kecil di daerah tersebut menguasai berbagai lini jabatan
di daerah, baik sebagai kepala daerah maupun legislatif.

9.2.2. Ditutup UU, Dibuka MK


UU No 1/2015 dan UU No 8/2015 memuat syarat tidak memiliki
konflik kepentingan dengan petahana. Penjelasan ketentuan
sebagaimana terdapat dalam Pasal 7 huruf r ini merinci bahwa yang
dimaksud dengan tidak memiliki konflik kepentingan dengan
petahana adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan
dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke
samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak,
adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda satu kali masa
jabatan.
Setelah diundangkan, hampir semua partai politik dan para bakal
calon kepala daerah sudah berancang-ancang. Reaksi paling pertama
adalah dengan mengajukan uji materi atas ketentuan Pasal 7 Huruf r
tersebut ke MK karena dinilai membatasi hak politik seseorang untuk
menjadi calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah, baik di
level provinsi maupun kabupaten/kota, dan melanggar konstitusi
terutama Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa
setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.
Ketentuan ini digugat oleh Adnan Purichta Ichsan, Anggota DPRD
Provinsi Sulawesi Selatan Periode 2014-2019, yang punya hubungan
darah, tepatnya mempunyai ayah kandung yang saat pengajuan
permohonan sedang menjabat sebagai Bupati Gowa (20 Februari 2015).
Ia menganggap hak konstitusionalnya untuk mencalonkan diri atau
dicalonkan dalam Pilkada Kabupaten Gowa tahun 2015 dirugikan,
atau setidaknya berpotensi dilanggar, dengan berlakunya norma pasal
dalam UU 8/2015 yang diuji pada perkara ini. Dalam argumentasinya,
rumusan pasal tersebut dinilai mendiskriminasi dan menihilkan faktor

PENYELENGGARAAN
194 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
kompetensi, integritas, kapabilitas, serta akseptabilitas warga negara
secara objektif.
Ia menolak kasus-kasus pidana seseorang yang menjabat kepala
daerah dari keluarga petahana dan kemudian menghilangkan hak
politiknya diberlakukan merata kepada dirinya dan orang lain yang
mempunyai hubungan keluarga dengan petahana tanpa didahului
pembuktian melalui proses peradilan pidana. Berlakunya pasal yang
diuji menyebabkan hak untuk dipilih dicabut tanpa melalui proses
peradilan pidana, seolah-olah dipersamakan dengan pelaku tindak
pidana yang dicabut hak pilih maupun hak politiknya.
Sebelum MK memutuskan uji materi ini, KPU menerbitkan PKPU
No 9/2015 yang salah satu poinnya menjabarkan tentang batasan
ketidakbolehan keluarga petahana untuk mengikuti pilkada. Menyusul,
KPU juga mengeluarkan Surat Edaran (SE) KPU No 302/KPU/VI/2015
tanggal 12 Juni 2015. Surat edaran itu mencoba menjawab pertanyaan
yang diajukan terkait PKPU No 9/2015.
Surat edaran tersebut mendefinisikan bahwa kepala daerah yang
habis masa jabatannya, mengundurkan diri, dan berhalangan tetap se
bulum masa pendaftaran calon tidak termasuk pengertian petahana.
Sontak, ketentuan ini menimbulkan tanggapan yang beragam dari
berbagai kalangan, termasuk DPR yang menuduh KPU setengah hati
mencegah politik dinasti. bahkan, meminta KPU untuk mencabut SE
tersebut.
Akibat SE tersebut, banyak kepala daerah yang mengundurkan di
ri dengan maksud memuluskan keluarganya untuk maju di pilkada.
Alasan pengunduran diri tersebut jelas telah merusak etika politik, tetapi
menjadi pilihan terakhir bagi kepala daerah yang ingin mengusung
keluarganya di Pilkada 2015.
KPU menilai penerbitan SE KPU Nomor 302/KPU/VI/2015 tidak bisa
dianggap sebagai legitimasi politik dinasti. PKPU merupakan ketentuan
formal yang telah mengatur larangan politik dinasti, sementara SE
merupakan penjelasan PKPU. SE tidak bisa melampaui PKPU.
Di tengah polemik ini, MK mengeluarkan putusan. Pertimbangan
MK, pada pokoknya, menyatakan bahwa ketentuan Pasal 7 huruf r

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 195
beserta penjelasannya bertentangan dengan jiwa dan semangat yang
terdapat dalam Pasal 27 dan 28 UUD 1945 yaitu hak persamaan di
muka hukum dan pemerintahan, serta tidak diperlakukan secara
diskriminatif. Konsekuensi hukumnya, Pasal 7 huruf r ini harus
dinyatakan inkonstitusional dan tidak boleh dijadikan dasar dalam
penyusunan peraturan di bawahnya.
Demokrasi ideal adalah bagaimana melibatkan sebanyak mungkin
rakyat untuk turut serta dalam proses politik, khususnya dalam
membuat keputusan politik. Dalam gagasan negara demokrasi yang
berdasar atas hukum, ruang bagi terlibatnya sebanyak mungkin rakyat
dalam proses dan pengambilan keputusan politik tetap dibuka, tetapi
pada saat yang sama pembatasan-pembatasan tertentu diberlakukan.
Pembatasan itu diberlakukan karena memang dibutuhkan agar mereka
yang nantinya terpilih sebagai pemegang jabatan publik itu adalah
mereka yang memiliki kapasitas dan kapabilitas.
Namun, sesuai dengan gagasan negara demokrasi yang berdasar
atas hukum, pembatasan-pembatasan demikian tidak boleh dibuat
sedemikian rupa sehingga membatasi atau bahkan menghilangkan
secara tidak konstitusional hak-hak mendasar warga negara. Terlebih,
hak-hak mendasar tersebut tegas dinyatakan dan dijamin oleh konstitusi.
Dalam konteks ini, MK, dalam pertimbangan hukumnya, memandang
hak konstitusional pemohon berpotensi dirugikan. Hak konstitusional
tersebut di antaranya adalah hak untuk memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan dan hak untuk bebas dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apapun.
Untuk mencegah berkembangnya politik dinasti, penting untuk
dirumuskan pembatasan-pembatasan agar ketentuan-ketentuan itu
tidak disalahgunakan oleh kepala daerah petahana untuk kepentingan
dirinya (jika ia hendak mencalonkan diri kembali), anggota keluarganya,
kerabatnya, atau kelompok-kelompok tertentu yang dekat dengannya.
Namun, pembatasan demikian haruslah ditujukan kepada kepala daerah
petahana itu, bukan kepada keluarganya, kerabatnya, atau kelompok-
kelompok tertentu tersebut.

PENYELENGGARAAN
196 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
TABEL 25: DAFTAR CALON KEPALA DAERAH PILKADA 2015 YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN DARAH
DENGAN PETAHANA

PARTAI
NO. NAMA PILKADA JABATAN KELUARGA JABATAN HUBUNGAN
PENGUSUNG
1. Adnan Purichta Kab. Gowa, Bupati Perorangan Ichsan Yasin Bupati Gowa 2005- Anak
Ichsan Sulawesi Limpo 2015
Selatan
2. Airin Rachmi Kota Walikota PKB, PKS, PAN, Ratu Atut Gubernur Banten Adik ipar
Putri Diani Tangerang PPP, NasDem, Chosiyah 2012-2014
Selatan, Golkar
Banten
3. Lutfi Halide Kab. Bupati Demokrat, Syahrul Yasin Gubernur Sulawesi Besan
Soppeng, PPP, PBB, Limpo Selatan 2008-2018
Sulawesi NasDem
Selatan
4. Muchendi Kab. Wakil NasDem, PAN, Ishak Mekki Wakil Gubernur Anak
Mahzareki Ogan Ilir, Bupati PBB, Gerindra, Sumatera Selatan
Sumatera PKB 2013-2018

Pilkada Serentak 2015 dan 2017


PENYELENGGARAAN
Selatan

197
9.2.3. Politik Dinasti
Pascaputusan MK

Kakak
UU No 8/2015 telah mem ba
Adik

Istri
wa kemajuan besar dalam rang
ka membatasi politik dinasti de
Bupati Klaten 2005-

Gubernur Sulawesi
Selatan 2008-2018
Gubernur Banten

ngan pendekatan larangan konflik


kepentingan. Namun, Putusan
2012-2014

MK yang membatalkan la rangan


konflik kepentingan dalam Pasal 7
2015

huruf r UU No 8/2015 telah mem


buka jalan para kelompok dinasti
Syahrul Yasin

untuk turut ber kontestasi dalam


Ratu Atut
Chosiyah

pil kada tanpa harus menunggu


Sunarna

Limpo

selama lima tahun ke depan. Ter


bukti, fenomena yang terjadi pada
PDIP, NasDem

Pilkada Serentak 2015 dan 2017 me


PPP, NasDem
PDIP, Golkar,
Demokrat,

nunjukkan banyak calon dari ling


PKS, PAN,
NasDem

karan dinasti maju dalam pilkada.


Di Pilkada 2015, setidaknya
ada tujuh calon kepala daerah
yang punya hubungan ke kera
Bupati

Bupati

Bupati
Wakil

batan dengan petahana. Tu juh


calon kepala daerah tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut.
Klaten, Jawa
Kab. Serang,

Kab, Gowa,
Kabupaten

Sulawesi

Sementara di Pilkada 2017,


Selatan
Tengah
Banten

se
tidaknya ada 14 calon kepala
dae rah yang punya hubungan
kekerabatan dengan petahana
Tenri Olle Yasin

danmenurut ketentuan undang-


Sri Mulyani
Chasanah
Ratu Tatu

un dang sebelum ada putusan


Limpo

MKtak bisa mencalonkan. Ke-14


calon kepala daerah tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut.
5.

6.

7.

PENYELENGGARAAN
198 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
TABEL 26: DAFTAR CALON KEPALA DAERAH PILKADA 2017 YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN DARAH
DENGAN PETAHANA

PARTAI
NO. NAMA PILKADA JABATAN KELUARGA JABATAN HUBUNGAN
PENGUSUNG
1. Adam Ishak Kabupaten Calon PDIP, Hanura (Alm) Ismail Wakil Bupati Kakak-Adik
Mesuji Wakil Ishak Mesuji 2012-
Bupati 2016
2. Adriatman Kota Kota PAN, PKB, PKS Asrun Walikota Kendari Anak
Dwi Putra Kendari Kendari 2007-2012
3. Andika Provinsi Calon Golkar, PKB, Ratu Atut Gubernur Orang Tua-
Hazrumy Banten Wakil Hanura, Chosiyah Banten 2012- Anak
Gubernur Gerindra, 2015
Demokrat, PKS,
PAN
4. Atty Suharti Kota Calon Nasdem, Itoc Tochija Walikota Cimahi Suami-Istri
K Cimahi Walikota Golkar, PKS 2002-2007
5. Dewanti Kota Batu Calon PDIP Eddy Walikota Batu Suami-Istri

Pilkada Serentak 2015 dan 2017


PENYELENGGARAAN
Rumpoko Walikota Rumpoko 2007- sekarang

199
6. Dodi Reza Kabupaten Calon PDIP, PAN, Alex Noerdin Bupati Musi Orang Tua-

200
Alex Noerdin Musi Bupati Gerindra, Banyuasin 2002- Anak
Banyuasin Demokrat, 2008
Golkar,
NasDem, PKB,
PKS, Hanura,
PPP, PBB

PENYELENGGARAAN
7. Enny Sulawesi Calon Gerindra, Anwar Gubernur Istri
Anggraeni Barat Wakil NasDem, PKB, Adnan Saleh Sulawesi Barat

Pilkada Serentak 2015 dan 2017


Anwar Gubernur PAN, PDIP, PPP 2006-2016
8. Hana Provinsi Calon PPP, Gerindra, Fadel Gubernur Suami-Istri
Hasanah Gorontalo Gubernur PKB, PDIP Muhammad Gorontalo 2001-
Fadel 2008
9. Karolin Kabupaten Calon PDIP, Demokrat, Kornelis Gubernur Orang
Margret Landak Bupati PKB, Golkar, Kalimantan Barat TuaAnak
Natasa Hanura, 2008-sekarang
NasDem,
Gerindra, PAN
10. Noormiliyani Kabupaten Calon Golkar Hassanudin Bupati Suami-Istri
A. S. Barito Bupati Murad Barito Kuala
Kuala 2007-sekarang
11. Parosil Kabupaten Calon PDIP, PAN, Mukhlis Basri Bupati Kakak-Adik
Mabsus Lampung Bupati Golkar Lampung Barat
Barat 2007-sekarang
12. Rahmadian Kabupaten Calon Golkar Hassanudin Bupati Keponakan
Noor Barito Wakil Murad Barito Kuala
Kuala Bupati 2007-sekarang
13. Siti Rahma Kabupaten Calon PAN, NasDem Bachtiar Wakil Gubernur Orang
Pringsewu Bupati Basri Lampung TuaAnak
14. Tuasikal Kabupaten Calon Gerindra, Abdullah Bupati Maluku Kakak-Adik
Abua Maluku Bupati Golkar, Hanura, Tuasikal Tengah 2002-
Tengah Demokrat, 2012
NasDem, PAN,
PBB, PDIP

Pilkada Serentak 2015 dan 2017


PENYELENGGARAAN
201
Pasca Putusan MK, tantangan regulasi adalah mengantisipasi
politik dinasti dengan mengatur sejumlah batasan agar petahana tidak
menyalahgunakan kekuasaan tanpa harus mengorbankan hak politik
sebagian warga yang kebetulan keluarga petahana.
Kedudukan sebagai petahana lebih menguntungkan seseorang untuk
memenangkan pemilihan. Dengan segala fasilitas jabatan yang melekat
pada jabatannya, seorang petahana dapat mengonsolidasi dukungan
untuk memenangkan pilkada
melalui cara-cara yang sulit
Pengawasan terhadap
dikatakan melanggar hukum.
penyalahgunaan kekuasaan
Sebab, hampir semua langkah
yang potensial dilakukan
yang dilakukan dapat di
petahana mesti diintensifkan.
bung kus dengan program
Sistem pengawasan mesti
atau ang garan pemerintah
dilakukan agar petahana
daerah yang dipimpinnya.
atau keluarganya tidak
Saldi Isra, pakar hukum
memanfaatkan akses terhadap
tata negara, termasuk yang
birokrasi dan akses terhadap
lebih setuju pembatasan dila
penggunaan fasilitas negara.
kukan pada petahana, bukan
Dalam hal ini, pengawas
pada keluarganya. Dalam
pemilu dituntut untuk lebih
pandangannya sebagai ahli
intens dalam mengawasi
di persidangan uji materi di
kebijakan yang dijalankan
MK, ia berpendapat sejumlah
petahana. Tidak hanya
pembatasan sebagaimana di
pengawas pemilu, pihak-
atur dalam UU No 8/2015
pihak terkait seperti BPK dan
tentu sudah pada tempatnya
KPK pun harus turut serta
dan diberikan dukungan,
melakukan pengawasan.
misalnya pembatasan mela
kukan mutasi pejabat daerah,
penggunaan program dan
kegiatan pemerintah daerah untuk kegiatan pemilihan.
Pembentuk undang-undang semestinya menyadari bahwa objek
yang dibatasi adalah petahana, yaitu individu yang sedang memegang
jabatan politik kepala daerah atau wakil kepala daerah. Dengan petahana

PENYELENGGARAAN
202 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
sebagai objek pengaturan, semestinya pembatasan hanya berkisar
pada hal-hal yang berhubungan dengan kekuasaan petahana. Sebab,
kekuasaan di tangan petahana itulah yang potensiai disalahgunakan
untuk memenangkan dirinya, kolega ataupun keluarganya dalam pil
kada.
Di segi praktis, pengawasan terhadap penyalahgunaan kekuasaan
yang potensial dilakukan petahana mesti diintensifkan. Sistem
pengawasan mesti dilakukan agar petahana atau keluarganya tidak
memanfaatkan akses terhadap birokrasi dan akses terhadap penggunaan
fasilitas negara. Dalam hal ini, pengawas pemilu dituntut untuk lebih
intens dalam mengawasi kebijakan yang dijalankan petahana. Tidak
hanya pengawas pemilu, pihak-pihak terkait seperti BPK dan KPK pun
harus turut serta melakukan pengawasan.
Selain pembatasan dan pengawasan potensi penyalahgunaan
kekuasaan oleh petahana, sistem rekrutmen partai juga mesti diperbaiki.
Pilihan partai ini mencerminkan masih kuatnya dominasi elite dalam
internal partai. Pilihan partai pada orang yang mempunyai hubungan
kekerabatan berpotensi terus melanggengkan politik dinasti dan politik
transaksional. Fenomena kekerabatan ini juga cenderung membuka
intervensi politik dan menghilangkan otonomi individu ketika menjabat
nanti akibat adanya pertalian dengan elite politik. Komitmen pada
partai mesti ditagih untuk tak lagi mencalonkan orang dengan basis
kekerabatan tersebut.

9.3. KEWAJIBAN MUNDUR LEGISLATOR


9.3.1. Siasati Putusan MK
Saat UU Pilkada direvisi untuk kedua kali, syarat pencalonan jadi
satu topik alot yang menyita waktu. Kepentingan partai dalam revisi
kedua ini lebih dominan. Usulan perubahan yang diajukan lebih banyak
ditujukan untuk melindungi kepentingan mereka di pilkada.
Sejumlah fraksi di komisi II DPR kala itu mengusulkan anggota
legislatif tak perlu mundur dari jabatannya saat mendaftarkan diri
sebagai calon. Usulan itu diajukan Fraksi Partai Golkar (F-PG), Fraksi

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 203
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), Fraksi Partai Gerindra
(F-Gerindra), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB), dan Fraksi
Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS).
F-PG mengusulkan anggota legislatif cukup nonaktif dari jabatannya
setelah ditetapkan sebagai calon peserta pilkada. Adapun F-PKS
mengusulkan anggota legislatif cuti dari jabatannya, sementara F-PDIP
mengusulkan anggota legislatif cukup memberitahukan pencalonan
kepada pimpinan lembaga legislatif.
Untuk memuluskan usulan tersebut,sejumlah fraksi sampai
mengusulkan PNS, pegawai BUMN, anggota TNI dan Polri diberlakukan
aturan yang samadiberlakukan aturan yang sama diberlakukan aturan
yang sama. Usulan itu di antaranya diajukan F-PG, F-Gerindra, F-PKS,
dan F-PKB.
"Kami akan usulkan agar semua pihak boleh mengajukan diri
sebagai kepala daerah. Baik PNS, TNI, Polri, DPR, maupun DPRD
tak perlu mundur jika mengajukan diri sebagai calon kepala daerah,"
demikian pernah dikatakan Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi
Partai Kebangkitan Bangsa Lukman Edy.
DPR berkilah kewajiban mundur bagi anggota DPR, DPRD, dan
DPD tersebut adalah penyebab kurangnya kandidat di Pilkada 2015.
Tak sedikit kader partai di legislatif yang mengurungkan niat karena
putusan tersebut. DPR juga menganggap putusan MK tersebut sebagai
penghalang bagi kader terbaik partai untuk ikut dalam kontestasi
pilkada.
Ketentuan ini juga disebut membuat masyarakat sulit mendapatkan
calon pemimpin yang mumpuni. Seorang pemimpin daerah harus
sudah teruji dan terbukti kemampuannya. Pemimpin berkualitas juga
dihasilkan dari proses kaderisasi serta seleksi partai politik. Wakil Ketua
Komisi II dari Fraksi Partai Gerindra Ahmad Riza Patria berpendapat,
anggota DPR dan DPRD merupakan kader terbaik parpol. Jika mereka
wajib mundur, masyarakat akan kehilangan calon pimpinan berkualitas.
JPPR justru memandang, jika hanya cuti tanpa mundur dari jabatan,
kader-kader potensial parpol akan tergeser oleh pejabat publik. Syarat
hanya cuti akhirnya menghentikan regenerasi internal, konsolidasi, serta

PENYELENGGARAAN
204 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
penguatan partai lewat jalur pilkada. Tanpa kewajiban mundur, pilkada
akan jadi ajang coba-coba bagi anggota legislatif. Ini akan menghilangkan
kesempatan kader lain menjadi pejabat publik. Kebijakan mundur juga
dapat menekan potensi penyalahgunaan jabatan ataupun fasilitas, yang
menciptakan kompetisi tak seimbang.
UU No 8/2015 memang mengatur pasangan calon kepala daerah
harus mengundurkan diri sebagai PNS, pegawai BUMN/BUMD,
anggota TNI, dan anggota Polri (Pasal 7 huruf s). Adapun anggota DPR,
DPRD, dan DPD yang maju pilkada hanya diwajibkan melapor pada
pimpinan lembaganya. MK menilai, aturan itu diskriminatif.
MK sebagai penafsir konstitusi tertinggi telah mengeluarkan putusan
tentang keharusan bagi PNS, anggota TNI dan Kepolisian Negara RI,
dan pejabat atau pegawai BUMN untuk mundur saat mendaftarkan diri
sebagai calon kepala daerah.
Syarat mengundurkan diri bagi PNS jika mencalonkan diri sebagai
kepala daerah telah diputus MK dalam Putusan No 45/PUU-VIII/2010
bertanggal 1 Mei 2012 yang kemudian dirujuk dalam Putusan No 12/
PUU-XI/2013 bertanggal 9 April 2013; Putusan No 57/PUU-XI/2013
bertanggal 23 Januari 2014; dan Putusan No 41/PUU-XII/2014,
bertanggal 8 Juli 2015. Pengunduran diri PNS adalah konsekuensi
yuridis atas pilihannya sendiri untuk masuk ke arena pemilihan jabatan
politik, sehingga wajib mengundurkan diri dari PNS guna mematuhi
peraturan perundang-undangan di bidang birokrasi pemerintahan.
Syarat mengundurkan diri bagi anggota TNI dan Polri jika
mencalonkan diri sebagai kepala daerah juga telah diputus dalam
Putusan No 57/PUU-XI/2013, bertanggal 23 Januari 2014, yang
merujuk pada pertimbangan MK dalam Putusan No 67/PUU-X/2012,
bertanggal 15 Januari 2013. Pengunduran diri TNI maupun Polri yang
akan mendaftarkan diri menjadi peserta pilkada dimaksudkan untuk
menjaga profesionalitas dan netralitas.
Pertimbangan yang sama juga berlaku bagi pejabat atau pegawai
BUMN/BUMD. Jabatan atau kedudukan seseorang di suatu BUMN/
BUMD juga merupakan pilihan profesi dan berkaitan langsung dengan
kepentingan negara dalam upaya untuk menciptakan kesejahteraan

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 205
rakyat. Jabatan tersebut dengan sendirinya bersangkut-paut pula dengan
birokrasi pemerintahan, kendatipun BUMN/BUMD tersebut telah
berbentuk badan hukum privat yang kekayaannya telah dipisahkan
dari kekayaan negara.
MK kemudian memutuskan melalui Putusan No 33/PUU-XIII/2015,
semua anggota DPR, DPRD, dan DPD yang mencalonkan diri sebagai
kepala daerah harus mengundurkan diri. Dalam hubungan ini, prosedur
yang berlaku terhadap PNS, anggota TNI, anggota Polri, pejabat/
pegawai BUMN/BUMD, sebagaimana diuraikan pada paragraf di atas
juga berlaku terhadap anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD
yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala
daerah, yaitu kepada anggota DPR, anggota DPD, atau anggota DPRD
dipersyaratkan untuk membuat pernyataan yang menyatakan bahwa
apabila telah ditetapkan secara resmi oleh penyelenggara pemilihan
sebagai calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah maka yang
bersangkutan membuat surat permohonan pengunduran diri.
Mantan Ketua MK Mahfud MD mengatakan, DPR tak bisa memaksa
usulan anggota DPR, DPD, dan DPRD untuk tak perlu mundur jika
maju sebagai calon. Selain bertentangan dengan putusan MK, ketentuan
perubahan itu berpotensi dibatalkan kembali oleh MK.
Namun dalam pembahasannya, Putusan MK ini masih terus coba
disiasati. Para legislator ingin tetap bisa maju pemilihan tanpa harus
mundur dari jabatan.
Salah satu alternatif yang ditawarkan adalah dengan tidak menyebut
putusan MK dalam salah satu pasal revisi UU No 8/2015. Di revisi cukup
disebutkan, aturan syarat calon kepala/wakil kepala daerah dari unsur
legislatif dikembalikan ke UU No 42/2014. Begitu pula syarat calon dari
unsur TNI/Polri dan aparatur sipil negara (ASN) dikembalikan ke UU
terkait.
Di UU MD3 tidak disebutkan keharusan anggota legislatif mundur.
Artinya, legislator tetap bisa maju dalam pilkada. Berbeda dengan UU
ASN atau TNI/Polri yang di dalamnya memang tegas mengatur mereka
harus mundur saat menjadi calon pilkada.
Opsi itu didasarkan pada pandangan keharusan anggota legislatif

PENYELENGGARAAN
206 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
mundur muncul saat MK memutuskan uji materi UU No 5/2014 tentang
ASN. Adapun UU MD3 yang terkait hal itu tidak pernah diuji materi.
Alternatif kedua, melaksanakan putusan MK, yakni anggota DPR,
DPD, dan DPRD mundur dari jabatannya. Namun, fraksi-fraksi
mengajukan syarat, petahana juga harus mundur jika kembali maju di
pilkada.

9.3.2. Anggota DPR Wajib Mundur


Pada akhirnya, sebanyak delapan dari 10 fraksi di DPR menyetujui
ketentuan terkait syarat mundur dari jabatannya bagi anggota legislatif
yang menjadi calon kepala daerah-wakil kepala daerah. Dua fraksi
yang tak setuju, Fraksi Gerindra dan PKS, mengusulkan anggota
legislatif cukup cuti dan mundur dari jabatannya sebagai pimpinan Alat
Kelengkapan Dewan (AKD) jika maju dalam pilkada.
KPU mendata, sebanyak 232 orang berlatar belakang anggota DPR,
DPD, dan DPRD memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah di
Pilkada 2015. Sementara pada Pilkada 2017, ada 91 orang calon kepala
daerah. Uraian data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 207
TABEL 27: JUMLAH PASLON YANG MEMENUHI SYARAT PENETAPAN
DENGAN PEKERJAAN SEBAGAI LEGISLATOR PADA
PILKADA 2015 DAN 2017

PILKADA 2015 PILKADA 2017

CALON CALON
PEKERJAAN CALON CALON
WAKIL WAKIL
KEPALA TOTAL KEPALA TOTAL
KEPALA KEPALA
DAERAH DAERAH
DAERAH DAERAH
Anggota
10 0 10 6 2 8
DPR RI
Anggota
7 3 10 1 1 2
DPD
Anggota
85 147 232 35 56 91
DPRD

Sesuai dengan PKPU 9/2016 pasal 4 ayat 1 huruf q, mereka harus


menyatakan secara tertulis pengunduran dirinya sebagai anggota DPR,
DPD, atau DPRD sejak ditetapkan sebagai calon kepala daerah.

PENYELENGGARAAN
208 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
10

Penetapan
Pasangan Calon

P
ilkada jadi ajang bagi masyarakat untuk memilih individu
yang paling baik di antara yang baik. Namun, pada Pilkada
2015 dan 2017, pemilih disuguhi kontestasi minus pasangan
calonbaik dari sisi kuantitas maupun kualitas.
Dari sisi kuantitas, ada penyusutan jumlah peserta pilkada, baik
dari jalur partai politik maupun dari jalur perseorangan. Data KPU
menunjukkan, di Pilkada 2015, dari 269 daerah yang menyelenggarakan
pilkada serentak (sebagian tertunda di 2016 akibat sengketa pencalonan),
jumlah kontestan yang bertarung sebanyak 827 pasangan calon atau rata-
rata tiga pasangan di setiap pemilihan. Dari jumlah itu, 690 pasangan
calon melaju dari jalur partai, sedangkan 137 dari jalur perseorangan.
Sementara Pilkada 2017, hanya terdapat 310 pasangan calon pendaftar
di 101 daerah Pilkada atau rata-rata tiga pasangan di setiap pemilihan.
Dari jumlah itu, 241 pasangan calon melaju dari jalur partai, sedangkan
69 dari jalur perseorangan. Rincian rekapitulasi jumlah calon kepala
daerah tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 209
TABEL 28: REKAPITULASI JUMLAH CALON KEPALA DAERAH PADA PILKADA 2015 DAN 2017

210
PILKADA 2015 PILKADA 2017

JUMLAH
JUMLAH CALON JUMLAH CALON
JUMLAH CALON JUMLAH JUMLAH CALON
DUKUNGAN DUKUNGAN
PERSEORANGAN TOTAL PERSEORANGAN
PARTAI PARTAI

PENYELENGGARAAN
Calon Gubernur dan Wakil
1 19 20 3 21 24
Gubernur

Pilkada Serentak 2015 dan 2017


Calon Bupati dan Wakil
116 581 697 57 179 236
Bupati

Calon Walikota dan Wakil


20 90 110 9 41 50
Walikota

JUMLAH TOTAL 137 690 827 69 241 310


Jumlah pasangan calon Pilkada

JUMLAH
2015 dan 2017 ini jauh lebih

575

45
rendah dibandingkan Pilkada
2010. Data Badan Pengawas Pe
milu menunjukkan, ada 1.083
DIRI SEBAGAI WAKIL
KEPALA DAERAH
MENCALONKAN
pasangan calon yang bertarung
TABEL 29: REKAPITULASI JUMLAH CALON KEPALA DAERAH PADA PILKADA 2015 DAN 2017

PILKADA 2017

pada 244 pilkada di tahun itu,

288

22
atau rata-rata 4,5 pasangan calon
per daerah.
Tak hanya sedikit, di beberapa
daerah bahkan hanya ada satu
KEPALA DAERAH
MENCALONKAN
DIRI SEBAGAI

ca
lon kepala daerah yang ikut
287

kontestasi. Pada Pilkada 2015,


23

ada tiga daerah yang bercalon


tunggal: Kabupaten Tasikmalaya,
Kabupaten Blitar, dan Kabupaten
JUMLAH

Timor Tengah Utara. Sementara


1532

122

pada Pilkada 2017 angkanya me


lonjak, ada sembilan daerah yang
DIRI SEBAGAI WAKIL
KEPALA DAERAH
MENCALONKAN

bercalon tunggal: Kota Tebing


Tinggi, Tulang Bawang Barat,
PILKADA 2015
BERDASARKAN JENIS KELAMIN

760

67

Pati, Landak, Buton, Maluku


Tengah, Tambrauw, Kota Sorong,
dan Kota Jayapura.
Di 2015, fenomena calon
KEPALA DAERAH
MENCALONKAN
DIRI SEBAGAI

tunggal bisa dilihat dari dinamika


politik seperti adanya calon
772

55

petahana yang sangat kuat dan


adanya calon yang memborong
dukungan partai sebagai strategi
JENIS KELAMIN

menutup peluang kelompok lain


Perempuan

maju berkompetisi. Di 2017, calon


Laki-laki

tunggal jadi dinamika tersendiri


karena berkembang menjadi

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 211
sebuah jalan bagi calon untuk menjamin kemenangan tanpa kompetitor.
Selain soal kuantitas, kualitas calon juga jadi sorotan. Pemilu
Indonesia pernah mengalami keadaan buruk berkait kualitas calon dan
penegakan hukum dalam pilkada.Pada 2012, Khamamik-Ismail Ishak,
Bupati-Wakil Bupati Mesuji terpilih hasil pilkada, dilantik di rutan.
Setelah melalui proses pengadilan dan tahapan pemilu, Ismail Ishak
berstatus terpidana hukuman satu tahun kasus korupsi dana BUMD
Tuba (2006).
Di Pilkada 2015 dan 2017, ada dinamika dan perumusan regulasi
soal calon yang tersangkut hukum dan pencalonannya. Di Pilkada 2015,
beberapa daerah mesti menunda pemungutan suara karena sengketa
pencalonan yang menyangkut status hukum calonterpidana, mantan
terpidana, terpidana bebas bersyarat, dan lain-lain.
Pembahasan revisi UU No 8/2015, yang jadi landasan hukum Pilkada
2017, diwarnai perdebatan mengenai terpidana hukuman percobaan
yang dibolehkan ikut pilkada. Pembahasan undang-undang tersebut
di DPR menyimpulkan bahwa terpidana percobaan merupakan pidana
ringan sehingga mereka masih diperbolehkan ikut mendaftar sebagai
calon kepala daerah.

10.1. RAKYAT, CALON, DAN PARTAI


10.1.1 Representasi Rakyat dalam Tahapan Pencalonan
Pasal 40 ayat 1 UU No 10/2016 menyebut, partai politik atau
gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah
memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah
kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam
pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Dengan ketentuan tersebut, maka di setiap daerah pilkada, jumlah
pasangan calon yang dapat muncul dari jalur DPRD adalah empat
hingga lima pasangan calon. Ketentuan 20 persen ditujukan untuk
memberikan kesempatan bagi partai politik untuk mengakomodasi
kepentingan masyarakat pemilih dan merepresentasikan keterwakilan
dalam komposisi pasangan calon di seleksi kepemimpinan daerah. Se

PENYELENGGARAAN
212 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
makin banyak pasangan calon yang disediakan oleh partai politik maka
adu gagasan dan program akan semakin intensif dalam tahapan pilkada.
JPPR memetakan seberapa besar partai politik dalam merepresen
tasikan keterwakilan rakyat dilihat dari komposisi pasangan calon yang
diajukan dan menggambarkan latar belakang calon untuk melihat aspek
kaderisasi dan pemberian kesempatan bagi kalangan internal partai
politik melalui seleksi kepemimpinan daerah di Pilkada 2017.
Jumlah pasangan calon pendaftar Pilkada 2017 sebanyak 337 pa
sangan calon dengan calon laki-laki sejumlah 627 (93 persen) dan 47
calon perempuan (7 persen). Dari unsur partai politik sebanyak 247 (73
persen) dan unsur perseorangan sebanyak 90 (27 persen).
Data tersebut menunjukkan, meskipun jumlah pasangan calon dari
unsur partai politik secara ideal dapat terwujud sebanyak empat sampai
lima pasangan calon berdasarkan syarat minimal 20 persen kursi atau 25
persen suara (sehingga setidaknya akan muncul 350 s/d 400 pasangan
calon dari jalur partai politik) ternyata kurang tercermin dari jumlah
pasangan calon yang ada di Pilkada 2017 ini, yaitu hanya 247 pasangan
calon (73 persen).
Akan tetapi, walaupun hanya 247 jumlah pasangan calon dari jalur
partai politik, ternyata pasangan calon tersebut didukung oleh hampir
semua partai politik di DPRD. Terdapat konsentrasi yang cukup kuat
(baca; borongan) dalam mendukung pasangan calon tertentu dari
banyak partai politik. Konsentrasi partai politik inilah yang kemudian
menjadikan faktor minimnya jumlah pasangan calon di Pilkada 2017.
Dengan demikian,partai politik tercatat banyak mendukung
pasangan calon, tetapi jumlah pasangan calonnya sendiri minim. Partai
politik yang tercatat mendukung dengan mengeluarkan rekomendasi
dukungan paling banyak dimiliki oleh Partai Golkar (98 pasangan
calon), PDIP (89 pasangan calon), dan Demokrat (89 calon).
Sementara partai lainnya secara berturut-turut mempunyai dukungan
pasangan calon yaitu Nasdem di 83 daerah, PAN di 83 daerah, Gerindra
di 83 daerah, PKS di 77 daerah, Hanura di 71 daerah, PKB di 71 daerah,
PPP di 68 daerah, PBB di 31 daerah dan PKPI di 27 daerah.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 213
GAMBAR 20: PARTAI DAN JUMLAH PASANGAN CALON YANG
DIUSUNG PADA PILKADA 2017

Jika disandingkan dengan pengalaman pencalonan 2015, jumlah


dukungan pencalonan berubah cukup signifikan. Golkar dan PPP
pada 2015 mengalami kemerosotan dalam jumlah dukungan karena
terjadi dualisme kepengurusan. Pada tahapan Pilkada 2017, Golkar
mengalahkan jumlah pasangan calon yang diusung oleh PDIP. Partai
Gerindra yang pada Pilkada 2015 menempati urutan kedua dalam
jumlah mengusung pasangan calon, turun ke urutan keenam.
Banyaknya partai politik yang mendukung pasangan calon tetapi
tidak sebanding dengan jumlah pasangan calon itu sendiri (baca; minim)
menunjukkan adanya bangunan koalisi yang dibentuk bukan oleh
partai politik tetapi oleh calon itu sendiri (terutama petahana). Hal ini
juga menunjukkan adanya gejala partai politik untuk menutup ruang
representasi pemilih dalam pencalonan pilkada dan memperkecil
peluang kader untuk terlibat dalam seleksi kepemimpinan daerah.
Dengan menerapkan aspek representasi rakyat, maka jumlah
pasangan calon yang disediakan partai politik menunjukkan bagaimana
akomodasi latar belakang pemilih dan kepentingan rakyat diwujudkan
dalam pasangan calon yang tepat. Metode yang digunakan dalam kajian
ini adalah:
1. Apabila jumlah pasangan calon dari jalur partai politik sebanyak
4 s/d 5 pasangan calon maka menunjukkanRepresentasi Tinggi.

PENYELENGGARAAN
214 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
2. Apabila pasangan calon dari partai politik berjumlah 3 maka
menunjukkanRepresentasi Sedang.
3. Adapun bila pasangan calon yang tersedia 1 s/d 2 maka me
nunjukkanRepresentasi Rendah
Pengelompokan didasarkan pada kesempatan membangun koalisi
dengan syarat 20 persen kursi atau 25 persen suara, latar belakang
kepartaian, latar belakang kepentingan pemilih dan kondisi masyarakat
lokal.
Dari 247 pasangan calon dari jalur partai politik, terdapat 15 daerah
dimana partai politik hanya mengajukan satu pasangan calon dan 39
daerah hanya mengajukan dua pasangan calon (Representasi Rendah).
Sementara terdapat 35 daerah partai politik mengajukan tiga pasangan
calon (Representasi Sedang). Dan hanya terdapat 11 daerah dengan
empat pasangan calon, serta satu daerah dengan lima pasangan calon
(Representasi Tinggi).
Dengan pengelompokan tersebut maka terpetakan bahwa sebagian
besar koalisi yang dibangun oleh partai politik masih tergolong
representasi sedang dan representasi rendah. Dengan demikian, rata-
rata di setiap daerah adalah 2,4 pasangan calon, di mana hal tersebut
menunjukkan partai politik kurang representatif dalam mengakomodasi
latar belakang dan kepentingan pemilih daerah.
Data pasangan calon pendaftar yang diusung oleh partai politik
juga menunjukkan bahwa, dari total 674 calon yang akan bertarung di
Pilkada 2017, sebagian besar calon berlatar belakang nonpartai yaitu
sebanyak 464 calon (69 persen), sementara calon berlatar belakang partai
sebanyak 210 calon (31 persen). Pemetaan ini menunjukkan mayoritas
calon yang akan bertarung di Pilkada 2017 (jalur partai politik dan
perseorangan) didominasi oleh calon nonpartai. Besarnya kelompok
nonpartai dipengaruhi oleh faktor Party ID yang rendah dan calon yang
yang membangun hubungan dengan partai hanya pada saat terjadi
momentum pemilu/pilkada.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 215
10.1.2. Demokratisasi Calon Tunggal
Para pembuat undang-undang mungkin tidak akan pernah me
nyangka, di suatu daerah, pasangan calon kepala daerah yang mendaftar
kurang dari dua. Pada Pilkada 2015 lalu, hingga pendaftaran ditutup
setelah diperpanjang beberapa kali, ada tiga daerah dengan pasangan
calon yang mendaftar kurang dari dua. Sementara pada Pilkada 2017,
ada sembilan daerah dengan pasangan calon yang mendaftar kurang
dari dua.
UU No 8/2015 tak memprediksi keadaan tersebut. Tak ada ketentuan
yang mengatur apabila calon kepala daerah di daerah tertentu hanya
satu. Pada Pilkada 2015 lalu, KPUmelalui PKPUmemberi opsi me
nunda Pilkada hingga tahun 2017 bagi daerah yang bercalon tunggal.
Pilihan tersebut dinilai tak memiliki landasan hukum yang kuat.
KPU mendasarkan pengaturan ini pada No UU 8/2015 yang meng
hendaki pilkada diikuti oleh dua pasangan calon atau lebih. Kehendak
itu dapat dibaca pada ketentuan Pasal 49 Ayat (8) dan (9), Pasal 50 ayat
(8) dan (9), Pasal 51 Ayat (2), Pasal 52 Ayat (2) dan Pasal 54 Ayat (4),
(5), dan (6). Selanjutnya, KPU kemudian mengacu ke Pasal 120 UU No
8/2015. KPU menempatkan keadaan calon tunggal ini sebagai gangguan
lain yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilihan
tidak dapat dilaksanakan dan konsekuensinya adalah pelaksanaan
pemilihan lanjutan.
Namun, pilkada di tiga daerah tersebut urung ditunda. Ada Putusan
MK No 100/PUU-XIII/2015 yang menyatakan, meski hanya terdapat
satu pasangan calon/calon tunggal, pelaksanaan pilkada mesti tetap
dilakukan. Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa pemilihan
kepala daerah wujud dari pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam hal
memilih dan dipilih. Pasal dalam UU No 8/2015 yang menyaratkan
pemilihan kepala daerah harus diikuti lebih dari satu pasangan calon
berpotensi merugikan hak konstitusional warga.
Apabila syarat harus diikuti lebih dari satu calon tidak terpenuhi,
pilkada ditunda atau gagal terselenggara. Hal tersebut dianggap me
rugikan hak konstitusional warga. Hakim konstitusi I Dewa Gede

PENYELENGGARAAN
216 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Palguna mengatakan, pembuat UU memang menginginkan pilkada
diikuti minimal dua pasangan calon. Namun, UU No 8/2015 tak memberi
jalan keluar jika syarat minimal dua pasangan calon tak terpenuhi.
Akibatnya, akan ada kekosongan hukum sehingga pilkada tidak
dapat digelar jika syarat minimal itu tidak terpenuhi. Padahal, pilkada
merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat. Artinya, kekosongan
hukum itu mengancam hak rakyat selaku pemegang kedaulatan, baik
hak untuk dipilih maupun memilih.
Terkait mekanisme pilkada dengan satu pasangan calon, MK
memutuskan, pemilih menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap
pasangan yang terdaftar. Jika lebih banyak pemilih yang setuju, pasangan
calon tunggal ditetapkan jadi kepala dan wakil kepala daerah. Jika yang
tidak setuju lebih banyak, pilkada di daerah itu ditunda sampai pilkada
serentak berikutnya.
Fenomena calon tunggal dinilai sebagai titik temu persoalan-per
soalan dalam mekanisme pilkada langsung. Persoalan tersebut ada
lah sistem pencalonan dan penetapan pemenang yang berat serta
pragmatisme partai.
Soal penetapan pemenang, Pilkada 2015 dan 2017 hanya satu
putaran. UU No 8/2015 mengubah sistem pemilu di pilkada menjadi
murni sistem mayoritarian. Pilkada satu putaran jauh lebih mengurangi
kemungkinan keterpilihan di luar radar elektabilitas. Sikap berharap-
harap calon berelektabilitas rendah di pilkada dua putaran cenderung
hilang. Prinsip sistem satu putaran terlalu ketat, siapa yang meraih
suara terbanyak, berapa pun jumlah suaranya, calon tersebut yang
memenangkan pemilihan.
Soal syarat dukungan, pencalonan jalur perseorangan kian berat.
UU No 8/2015 menambah syarat dukungan KTP penduduk daerah
pemilihan, dari 3-6,5 persen ke 6,5-10 persen dan harus tersebar di lebih
50 dari persen kecamatan yang ada pada kabupaten atau kota tersebut.
Sebagai gambaran sangat sulitnya persyaratan ini, seorang petahana
Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari, hampir tak memenuhi syarat
pengumpulan jumlah KTP sebagai calon perseorangan. Ia mendaftar
melalui jalur perseorangan sebab partainya, Golkar, sedang bersengketa

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 217
mengenai kepengurusan.
MK juga memutuskan mengubah dasar penghitungan persentase
dukungan bagi calon perseorangan yang semula menggunakan jumlah
penduduk menjadi jumlah penduduk yang telah mempunyai hak pilih,
yang direpresentasikan dengan daftar calon pemilih tetap pada pemilu
sebelumnya.
Menurut MK, basis penghitungan persentase jumlah penduduk
mengabaikan keadilan karena basis persentase dukungan calon dari
jalur partai politik adalah jumlah penduduk yang sudah memiliki hak
pilih.
Putusan MK itu merupakan hasil pengujian Pasal 41 Ayat (1) dan (2)
UU No 8/2015 yang diajukan Fadjroel Rachman, Saut Mangatas Sinaga,
dan Victor Santoso mewakili Gerakan Nasional Calon Independen.
Mengingat tahapan pilkada telah berjalan dan putusan MK tidak
berlaku surut, MK menegaskan putusan itu berlaku untuk Pilkada setelah
tahun 2015. Putusan ini kemudian diakomodasi pada UU No 10/2016.
Ketentuan pada Pasal 41 UU No 10/2016 menyebut, calon perseorangan
dapat mendaftarkan diri sebagai kepala daerah dengan ketentuan
dukungan yang mengacu pada jumlah penduduk yang termuat pada
daftar pemilih tetap. Sebagai contoh, provinsi dengan jumlah penduduk
yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan dua juta jiwa
harus didukung paling sedikit 10 persen.
UU Pilkada juga memuat syarat pengunduran diri anggota dewan
yang mau mencalonkan diri dalam pilkada. Ini berdasarkan putusan
MK. Merupakan pengetahuan umum, kader terbaik dan terpopuler
partai lebih banyak yang duduk di kursi dewan, khususnya DPR. Lebih
banyak dari mereka yang tak mau ambil risiko hilang kursi dewan untuk
perjudian mahal bernama pilkada.
Selain syarat pencalonan yang berat dan formula penetapan
pemenang yang ketat, fenomena calon tunggal makin menguat karena
sikap pragmatis dan buruknya kaderisasi partai. Di daerah dengan
calon petahana yang popularitasnya sulit ditandingi, misalnya, partai
berhitung untuk tidak mengusung calon lain. Dengan kalkulasi rasional,
partai lebih baik tak mengusung calon lain untuk menghemat dana

PENYELENGGARAAN
218 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
politik. Alih-alih keputusan untuk memajukan atau tak memajukan
calon di pilkada didorong oleh ideologi dan semangat partai politik, kini
ditentukan oleh bayang-bayang prediksi survei.
Apalagi, sebelum ada putusan MK, ada celah penundaan pilkada.
Daerah dengan calon tunggal akan mengundur pilkada. Artinya, daerah
tersebut tak akan dipimpin oleh petahana, tetapi oleh pejabat sementara.
Dengan demikian, ada kemungkinan popularitas turun dan berbagai
perubahan lain yang akan memungkinkan calon lain mengalahkan
petahana.
Partai juga bersifat pasif dalam menjaring calon kepala daerah.
Meskipun ada waktu yang relatif luang untuk menyeleksi calon sebelum
batas waktu pendaftaran, partai lebih memilih menunggu kandidat
yang berminat menjadi calon kepala daerah.
Partai kini lebih banyak dimiliki oleh oligarki yang memiliki sumber
daya. Pucuk kepemimpinan dikuasai oleh segelintir elite partai yang
berkuasa karena menjadi satu-satunya sumber pembiayaan partai.
Proses kaderisasi kepemimpinan dalam tubuh partai yang buruk
membuat proses rekrutmen bertumpu pada cara-cara yang tertutup,
oligarkis, dan transaksional.
Dalam menjaring calon kepala daerah, tak jarang, partai meminta
mahar pada kandidat yang berminat maju dalam pilkada. Transaksi
politik di balik restu dan persetujuan partai terhadap kandidat lebih
dominan daripada proses rekrutmen yang bersifat inklusif dan terbuka.
Tanpa mengurai keseluruhan aspek persoalan itu, maka fenomena
calon tunggal hanya akan kembali terulang dalam pilkada atau bahkan
pemilu mendatang.
KPU sebagai pelaksana undang-undang segera merespons
keadaan calon tunggal yang dilegitimasi putusan MK tersebut dengan
mengeluarkan PKPU No 14/2015 tentang Pilkada dengan Satu Pasangan
Calon.
Ketentuan dalam putusan MK berkonsekuensi pada pengaturan hal
lain yang bersangkut-paut dengan ketentuan dalam putusan tersebut.
Pengaturan tersebut di antaranya adalah pengaturan mengenai desain
surat suara; metode pemberian suara; metode kampanye; saksi dalam

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 219
tahapan pemungutan suara dan rekapitulasi; serta sengketa hasil.
Sistem pemilu calon tunggal pascaputusan MK menegaskan
pilkada calon tunggal dilakukan dengan cara memberikan pilihan
setuju atau tidak setuju. Jika calon tunggal tersebut dianggap mampu
merepresentasikan masyarakat dan dianggap relevan untuk memimpin
daerah tersebut, logikanya masyarakat akan memilih tanda setuju yang
tertera dalam kertas suara. Begitu pula sebaliknya, jika calon tunggal
dianggap tidak sesuai dan tidak mampu merepresentasikan masyarakat,
maka harapannya pemilih akan mencoblos tanda tidak setuju.
Namun demikian, pertanyaanya ialah bagaimana pemilih memahami
metode pemberian suara tersebut secara utuh. Dalam hal ini sejauh
mana pemilih mampu mempertimbangkan serta mengambil keputusan
untuk memberikan suaranya pada kolom setuju atau tidak setuju.
KPU mengeluarkan dua desain surat suara untuk disimulasi di
beberapa daerah. Salah satu daerah tersebut adalah Desa Sukaherang,
Kecamatan Singaparana, Tasikmalaya. Hasil simulasi ini kemudian
jadi bahan kajian untuk menetapkan bentuk surat suara resmi yang
digunakan. KPU lebih memilih format surat suara yang menyertakan
foto pasangan calon daripada surat suara yang tidak menyertakan foto.
Simulasi hingga penentuan desain surat suara ini dinilai terlalu
terburu-buru. Kejar tenggat pengaturan pemilihan kepala daerah yang
diburu waktu membuat prosesnya kurang kolaboratif. Hasil simulasi saja
tidak cukup menjadi landasan bagi pemilihan desain surat suara. KPU
RI kurang kajian yang melibatkan KPU di daerah tersebut. Seharusnya
KPU menggelar serangkaian kajian kultur dan psikologi pemilih di
daerah pilkada yang hanya diikuti satu pasang calon tersebut.
KPU, dalam Pasal 14 PKPU No 14/2015, menggunakan surat suara
yang memuat foto pasangan calon, nama pasangan calon, dan kolom
untuk memberikan pilihan setuju dan tidak setuju. Desain surat suara
tersebut dibuat dengan ketentuan: latar belakang foto pada kolom
pasangan calon berwarna merah putih; foto pasangan calon dibuat
berpasangan; tidak memakai ornamen, gambar atau tulisan selain yang
melekat pada pakaian yang dikenakan pasangan calon; tidak memakai
ornamen, gambar atau tulisan yang dilarang berdasarkan peraturan

PENYELENGGARAAN
220 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
perundang-undangan; memuat tulisan yang menanyakan pilihan setuju
atau tidak setuju; dan kolom pilihan setuju atau tidak setuju.

GAMBAR 21: DESAIN SURAT SUARA PILKADA 2015 DENGAN SATU


PASANG

Calon

Pemilihan desain surat suara ini membuat jumlah surat suara tidak
sah mencuat signifikan. Di Tasikmalaya, dalam rekapitulasi resmi KPU,
angka suara tidak sah mencapai 8,25 persen. Sementara jumlah suara
tidak sah di Blitar mencapai 7,57 dan di Timor Tengah Utara mencapai
12,38 persen.
Suara tidak sah pada pilkada bercalon tunggal di Tasikmalaya
meningkat 1,71 persen jika dibandingkan dengan Pilpres 2014 lalu. Jika
dibandingkan dengan Pilkada 2011, angka suara tidak sah meningkat
hingga 4,89.
Desain surat suara yang sama sekali baru ini kerap dikambinghi
tamkan sebagai penyebab cukup signifikannya angka suara tidak sah.
Dalam aturan baru ini, mencoblos foto tidak sah. Ini bersinggungan

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 221
dengan paradigma masyarakat ketika mencoblos. Masyarakat perlu
mengubah kebiasaan lama dari yang biasanya mencoblos foto, sekarang
mencoblos setuju atau tidak setuju.
Kertas suara yang hanya menyertakan satu foto pasangan calon
kepala daerah yang disertai dua kolom setuju dan tidak setuju sedikit
banyak mendorong pemilih untuk mencoblos foto pasangan calon.
Padahal sesuai dengan peraturan KPU, pilihan pemilih dinyatakan sah
jika terdapat tanda coblos di salah satu kolom setuju atau tidak setuju.
Desain surat suara pada pilkada calon tunggal diubah di UU No
10/2016. Pasal 54C ayat (2) UU itu berbunyi, Pemilihan 1 (satu) pasangan
calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat 2 (dua)
kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1
(satu) kolom kosong yang tidak bergambar.

GAMBAR 22: DESAIN SURAT SUARA PILKADA 2017


DENGAN SATU PASANG CALON

Untuk menghasilkan suara yang sah, pemilih cukup mencoblos

PENYELENGGARAAN
222 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
salah satu dari dua kotak yang tersedia. Mencoblos kotak dengan tanda
gambar untuk setuju dengan pasangan calon yang ada. Jika tidak setuju
dengan pasangan calon yang ada, pemilih tinggal mencoblos sekali
pada kotak yang kosong.
Suara dianggap sah jika mencoblos salah satu dari dua kotak yang
disediakan. Sementara itu jika mencoblos dua kotak secara bersamaan
atau mencoblos di luar kotak yang telah disediakan hal itu akan
menghasilkan suara tidak sah.
Desain surat suara yang menyediakan pilihan kolom kosong di pilkada
baik untuk menjaga siklus transisi dan keberlanjutan pemerintahan serta
terciptanya prosedur pilkada yang mengapresiasi dan membuktikan
elektabilitas calon tunggal. Menurut IFES, negara-negara berpengalaman
pemilu bercalon tunggal lebih banyak menyikapinya dengan aklamasi.
Siprus, Irlandia, Islandia, dan Singapura menyikapi calon tunggal di
pemilu eksekutif. Sedangkan Kanada, Inggris, Filipina, dan Singapura
menyikapi aklamasi di pemilu legislatif.
Tapi, keistimewaan mengadu calon tunggal dengan pilihan kosong
adalah tersedianya ruang pembuktian sekaligus perlawanan terhadap
calon tunggal. Jika calon tunggal merepresentasi harapan rakyat sebagai
pemilih, kolom kosong bisa melanjutkan penyelenggaraan pemilu
sehingga tak mengganggu siklus pemilu dan harapan rakyat memiliki
pemimpin yang dinilainya baik tak perlu ditunda ke fase pemilu
berikutnya. Tapi jika calon tunggal merepresentasi kuasa politik dinasti,
pilihan kosong bisa menjadi perlawanan pemilih menolak dominasi
politik dinasti.
Di Pilkada 2017, ada pelajaran berharga dari Pilkada Buton yang
diikuti oleh hanya satu pasangan calonSamsu Umar Abdul Samiun-
La Bakry. Ada perlawanan signifikan dari pemilih di Buton terhadap
pasangan yang ditawarkan. Ini tercermin dari adanya hampir 45 persen
suara untuk kotak kosong. Dari sembilan daerah dengan pasangan calon
tunggal pada Pilkada serentak 2017, hanya di Buton suara yang didapat
kotak kosong hampir sama dengan yang diperoleh pasangan calon.
Masalah hukum yang menjerat Umar menjadi alasan banyak warga
di Buton mencoblos kotak kosong. Umar menjadi tersangka dalam

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 223
kasus dugaan penyuapan mantan Ketua MK Akil Mochtar dan sejak 26
Januari ditahan KPK.
Keterpilihan pilihan kosong harus diapresiasi karena merepresent
asikan keinginan rakyat sebagai pemilih. Jika memang kolom kosong
mengalahkan calon tunggal, keterpilihan diberikan kepada kolom ko
song. Karena Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial,
pemilih harus rela mempersilahkan Presiden melalui Kementerian Da
lam Negeri menunjuk pejabat sementara sampai pilkada berikutnya
menghasilkan pemimpin yang dipilih rakyatnya secara langsung.
Desain surat suara yang baru ini sukses menurunkan angka suara
tidak sah. Rata-rata persentase suara tidak sah di sembilan daerah yang
bercalon tunggal di Pilkada 2017 hanya 1,8 persen. Rinciannya: Kota
Tebingtinggi 2,3 persen; Kabupaten Tulang Bawang Barat 1,2 persen;
Kabupaten Pati 2,1 persen; Kabupaten Landak 1,5 persen; Kabupaten
Buton 1,3 persen; Maluku Tengah 1,4 persen; Kota Jayapura 2,8 persen;
Tambrauw 0,9 persen; serta Kota Sorong 2,8 persen.
Selain soal surat suara, pilkada calon tunggal juga membutuhkan
pengaturan sosialisasi dan kampanye yang cocok. KPU kerap terjebak
dalam posisi keberpihakan saat melakukan penyebaran alat peraga
kampanye. Di sisi lain, jika tak melakukan sosialisasi gencar, ada
kecenderungan pemilih tidak hadir di tempat pemungutan suara karena
tidak mau memilih calon tunggal yang ada.
Sebagai contoh, KPU Kabupaten Tasikmalaya kerap mendapat la
poran atas ketidakyakinan penyelenggara di tingkat kecamatan hingga
kelurahan, dalam menyebar alat peraga kampanye. Segala upaya dalam
mengajak pemilih berpartisipasi dalam ini ditafsirkan menggiring
pemilih. Ketika menerima alat peraga kampanye dan hendak m e
masangkan, petugas PPK dan PPS selalu bertanya dan menunjukkan
ketakutannya atas perilaku tak independen
Tak harmonisnya pengaturan jadi pangkal soal penyebaran alat
peraga kampanye yang sering dituding ada keberpihakan penyelenggara
di dalamnya. KPU mesti mengacu pada PKPU No 7/2015 tentang
Kampanye. Pasal 30 mengatakan, KPU memasang alat peraga kampanye
pasangan calon.

PENYELENGGARAAN
224 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Ketidakharmonisan pengaturan juga ditemukan pada soal sosialisasi
dan pemasangan perlengkapan TPS. Di TPS, hanya ada satu poster
calon kepala daerah. Poster yang memuat profil singkat, visi, dan misi
itu dipampang sebagai informasi bagi pemilih sebelum masuk ke bilik
TPS.
Ada deviasi dalam UU No 8/2015, Putusan MK soal calon tunggal,
hingga pada Peraturan KPU sebagai turunan dari dua aturan tersebut.
Undang-undang hingga PKPU masih mengasumsikan pilkada diikuti
lebih dari satu pasangan calon. Hanya PKPU No 14/2015, yang meski
bolong-bolong, mengatur secara eksplisit penyelenggaraan Pilkada de
ngan satu pasang calon.
Mekanisme kampanye yang tidak diatur secara setaraseperti
pemilih tidak diberikan porsi pemahaman yang sama pentingnya untuk
memilih tidak setuju jika calon tunggal tersebut tidak sesuai dengan
harapan pemilihterbukti berpotensi pada penggiringan pemilih.
Tanpa penjelasan ada opsi tidak setuju, pemilu dengan calon tunggal
sama saja seperti tidak ada pemilu karena hanya memuluskan satu
pasangan calon.
Jika merujuk pada UU No 8/2015, Pasal 65, terdapat empat bentuk
kampanye yang dibiayai
oleh negara yakni debat
publik, iklan di media massa, KPU mengemas iklan
penyebaran bahan pe raga, di media massa yang
dan pemasangan alat peraga mampu memberikan
kampanye. Keempat bentuk pemahaman sekaligus
kampanye tersebut tentunya pendidikan politik kepada
harus disesuaikan de ngan masyarakat bahwa pemilih
penyelenggaraan Pilkada diberikan ruang untuk
yang hanya diikuti oleh satu memilih kolom kosong/
pasangan calon, dengan me tidak setuju. Salah satu
ngedepankan prinsip equal bentuk konkretnya ialah,
playing battle field atau arena KPU mengkampanyekan
persaingan yang setara bentuk surat suara kepada
meskipun hanya satu calon masyarakat.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 225
yang bersaing.
Dalam praktiknya, KPU tidak hanya memfasilitasi empat bentuk
kampanye tersebut hanya untuk satu calon tunggal saja. Melainkan KPU
tetap harus memberikan ruang sekaligus pemahaman kepada pemilih
untuk memberikan suaranya kepada kolom tidak setuju melalui metode
sosialisasi dan kampanye. Hal ini karena putusan MK secara tidak
langsung melegalkan sekaligus memfasilitasi pilihan tidak setuju yang
dapat dimanfaatkan oleh pemilih untuk menuangkan gagasan golput
sebagai bentuk kritik pemilih terhadap kandidat. Jika merujuk pada
pemilu sebelumnya golput lebih banyak dilakukan dengan cara tidak
hadir ke TPS atau membuat surat suara tidak sah, akan tetapi melalui
mekanisme ini pemilih bisa menandai kolom tidak setuju.
Dalam rangka mewujudkan equal playing battle field dalam proses
kampanye melalui empat jenis kampanye yang difasilitasi oleh KPU,
maka aturan main mengenai debat publik, iklan di media massa, dan
pemasangan serta penyebaran alat peraga harus dibuat setara antara
calon tunggal dengan mekanisme pemilihan yang berlaku.
Meski hanya diikuti oleh satu pasangan calon, debat publik harus
tetap dilakukan dengan tujuan membedah visi misi dan program-
program yang ditawarkan oleh calon tunggal tersebut. Walaupun hanya
terdapat satu calon, panelis dalam debat publik diberikan keleluasaan
untuk memberikan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat eksploratif
kepada kandidat tersebut, serta masyrakat diberikan ruang untuk
memberikan pertanyaan secara langsung kepada kandidat tersebut. Hal
ini menjadi penting karena tidak mungkin ada lawan debat terhadap
calon tunggal tersebut yang mewakili kolom kosong atau tidak setuju.
Mekanisme debat publik dijadikan sebagai arena uji publik terhadap
calon tunggal tersebut.
Meski hanya satu pasangan calon, KPU tidak semerta-merta mem
berikan ruang secara leluasa untuk calon tunggal tersebut berkampanye
di media massa. Jika ini terjadi, potensi anggapan terhadap KPU yang
tidak jauh berbeda dengan tim kampanye calon tunggal akan muncul di
masyarakat dan peluang KPU menghadapi gugatan etik di DKPP akan
sangat bisa terjadi. Untuk itu KPU mengemas iklan di media massa

PENYELENGGARAAN
226 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
yang mampu memberikan pemahaman sekaligus pendidikan politik
kepada masyarakat bahwa pemilih diberikan ruang untuk memilih
kolom kosong/tidak setuju. Salah satu bentuk konkretnya ialah, KPU
mengkampanyekan bentuk surat suara kepada masyarakat.
Meski hanya satu pasangan calon, tidak berarti hanya terdapat satu
alat peraga yang berisi visi-misi, program, disertai foto calon tunggal
tersebut yang memenuhi ruang publik. Namun, KPU harus membuat,
memasang, dan menyebarkan alat peraga yang berisi mekanisme
pemilihan.

10.2. MENGUKUR KUALITAS CALON


10.2.1. Calon Tersangkut Kasus Hukum
Tahapan pencalonan kepala daerah seringkali menjadi tahap yang
paling banyak membuahkan sengketa. Di dalam UU No 8/2015 sebagai
dasar penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota,
sengketa pemilihan dalam pilkada dibagi atas dua bagian. Pertama,
sengketa yang terjadi antarpeserta pemilihan. Kedua, sengketa antara
peserta pemilihan dengan penyelenggara pemilihan.
Jika diilihat kecenderungan dari beberapa penyelenggaraan pemilu
terakhir, sengketa antarpeserta pemilihan bisa dikatakan nihil terjadi.
Sebaliknya, sengketa antara peserta pemilihan dengan penyelenggara
pemilihan cukup banyak muncul pada penyelenggaran pemilu ataupun
pilkada terakhir.
Hal ini bisa dipahami karena melibatkan dua kepentingan yang
berbeda. Pasangan calon kepala daerah mewakili sisi kepentingan ke
menangan kontestasi Pilkada. Di sisi yang lain, kepentingan KPU seba
gai penyelenggara mesti memastikan proses pemilihan berjalan sesuai
dengan aturan main dan regulasi yang sudah disusun.
Di Pilkada 2015 lalu, KPU mencatat ada 95 sengketa pencalonan36
sengketa pemilihan dan 59 sengketa TUN pemilihan. Sementara di
Pilkada 2017, KPU mencatata ada 39 sengketa pemilihan, 28 sengketa
TUN pemilihan di Bawaslu/Panwaslu, dan 17 sengketa TUN pemilihan
di PTTUN.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 227
KPU memberikan peluang kepada setiap pasangan calon untuk
mengajukan sengketa pencalonan pasca ditetapkannya pasangan calon.
Rentang waktu proses penyelesaian sengketa diatur dalam PKPU No
2 tentang Tahapan, Program dan Jadwal. KPU memprediksikan proses
sengketa pencalonan dari pengajuan sengketa ke Panwaslu/Bawaslu
hingga ke Mahkamah Konstitusi membutuhkan waktu kurang lebih 90
hari.
Dalam PKPU tersebut, sengketa pencalonan dimulai sejak 24 Agustus
dan berakhir 17 November 2015. Akan tetapi kenyataannya, hingga
menjelang hari pemungutan suara dilakukan, sengketa pencalonan
di sejumlah daerah masih berlanjut. Hingga pemungutan suara 9
Desember 2015, ada lima daerah yang tak bisa melakukan pemungutan
suara. Lima daerah tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

TABEL 30: DAFTAR DAERAH YANG MENUNDA PEMUNGUTAN SUARA


PADA PILKADA 2015

TANGGAL
NO. DAERAH PENYEBAB
DIUNDUR

Menunggu putusan tetap dari pengadilan


terkait sengketa pemilihan mengenai bakal 16 Januari
1. Kab. Fakfak
pasangan calon yang digugurkan karena 2016
masalah syarat dukungan

Menunggu putusan tetap dari pengadilan


terkait sengketa pemilihan pencalonan
Kota 16
pasangan Survenov Sirait - Parlindungan
2. Pematang November
Sinaga, setelah ditetapkan Tidak
Siantar 2016
Memenuhi Syarat (TMS) sebagai pasangan
calon oleh KPU Kota Pematang Siantar

Menunggu putusan tetap dari pengadilan


Prov.
terkait sengketa pemilihan yang dipicu 27 Januari
3. Kalimantan
adanya dua rekomendasi yang dikeluarkan 2016
Tengah
oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

PENYELENGGARAAN
228 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Menunggu putusan tetap dari pengadilan
Kab. terkait sengketa pemilihan mengenai 20 Januari
4.
Simalungun salah satu calon wakil bupati yang menjadi 2016
terpidana

Adanya penundaan terkait KPU Kota


Kota 17 Februari
5. Manado yang menggugurkan kepesertaan
Manado 2016
Jimmy Rimba Rogi di Pilkada Manado

Dari lima sengketa tersebut, dua sengketa berkaitan dengan status


hukum calon. Di Kabupaten Simalungun, calon wakil bupati Amran
Sinaga kala itu menjadi terpidana. Sementara di Manado, calon wali
kota Jimmy Rimba Rogi yang masih berstatus narapidana dalam perkara
korupsi. Calon bupati Bone Bolango, Gorontalo, Ismet Mile; dan calon
bupati Boven Digoel, Papua, Yusak Yaluwo juga berstatus terpidana
perkara korupsi. Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif mencatat
setidaknya ada 15 terpidana yang mendaftar calon kepala daerah pada
Pilkada 2015.
KPU Kota Manado menggugurkan kepesertaan Jimmy Rimba Rogi
di pilkada. KPU Kota Manado menyatakan, keputusan menggugurkan
pencalonan Jimmy yang berpasangan dengan Bobby Daud dan diusung
oleh Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional ini karena menjalankan
rekomendasi Bawaslu Sulawesi Utara.
Bawaslu Sulawesi Utara yang menyebut Jimmy masih berstatus
narapidana saat mendaftar pilkada. Ia mesti menjalani hukuman hingga
2017 atas vonis kasus korupsi APBD Kota Manado tahun 2007 senilai Rp
68,687 miliar.
Bawaslu Sulawesi Utara mengacu salinan Surat Keputusan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia No PAS-495.PK01.05.06 Tahun 2013,
tanggal 30 Agustus 2013. Jimmy baru dinyatakan bebas murni pada 29
Desember 2017.
Sebelum Jimmy Rimba Rogi, KPU Provinsi Sulawesi Utara lebih dulu
menggugurkan pencalonan Elly Engelbert Lasut sebagai calon gubernur
Sulawesi Utara dari Partai Golkar. KPU Sulawesi Utara menyatakan,

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 229
Elly Lasut tidak memenuhi syarat untuk mengikuti pilkada karena
masih berstatus bebas bersyarat hingga 24 Agustus 2016. Dia dihukum
penjara lima tahun kasus korupsi SPPD fiktif APBD Kabupaten Talaud
sewaktu menjadi bupati dua periode.
Munculnya sejumlah calon yang bermasalah, terutama terkait dengan
statusnya sebagai narapidana, dipicu oleh putusan MK pada 9 Juli 2015,
yang menyatakan bahwa mantan narapidana bisa mengikuti pilkada
tanpa menunggu lima tahun seusai menjalani hukuman. Namun, yang
bersangkutan harus jujur mengungkapkan statusnya sebagai mantan
terpidana.
Putusan MK tersebut membatalkan ketentuan sebelumnya yang
menyatakan bahwa mantan narapidana bisa mengikuti Pilkada setelah
lima tahun selesai menjalani hukuman.
Di Pilkada 2017 lain lagi. Saat pembahasan revisi kedua UU Pilkada,
terpidana hukuman percobaan diperbolehkan maju sebagai kepala
daerah.
Perdebatan boleh-tidaknya terpidana hukuman percobaan menjadi
calon kepala/wakil kepala daerah di pilkada muncul pertama kali
saat KPU mengonsultasikan PKPU tentang Pencalonan ke Komisi II
DPR dan Kemendagri, 25 Agustus. DPR merekomendasikan untuk
mengubah PKPU No 5/2016 khususnya Pasal 4 Ayat (1) agar terpidana
yang menjalani hukuman percobaan sesuai putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap legal maju di pilkada.
Komisi II menilai putusan hukuman percobaan belum berkekuatan
hukum tetap atauinkracht. Putusan itu baru berkekuatan hukum tetap
setelah hukuman percobaan dilalui. Terpidana hukuman percobaan juga
biasanya tak mendapat hukuman penahanan karena biasanya hanya
melakukan tindak pidana ringan.
Oleh karena itu, dengan mengacu pada KUHP, status terpidana
hukuman percobaan tidak boleh menghilangkan hak untuk dipilih.
Pasal 14c Ayat 3 menekankan, terpidana hukuman percobaan tidak boleh
dikurangi kemerdekaan beragama atau kemerdekaan berpolitiknya.
Hanya sebagian fraksi yang menolak terpidana percobaan ikut
pilkada. Fraksi PDIP, PAN, Gerindra di DPR menolak terpidana hukum

PENYELENGGARAAN
230 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
an percobaan menjadi peserta pilkada. Mereka beranggapan ketentuan
tersebut berpotensi melanggar Pasal 7 Ayat 2 huruf g UU No 10/2016.
Pasal tersebut menyatakan, calon kepala daerah tidak pernah sebagai
terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka
dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan
mantan terpidana.
Sementara KPU berpandangan, seseorang yang dijatuhi hukuman
masa percobaan tak bisa dianggap sebagai orang bebas dari persoalan
hukum. Ia masih terikat atas tindak pidana yang dilakukannya dan
dapat seketika menjadi narapidana yang menjalani hukuman di
lembaga pemasyarakatan. Semangat UU Pilkada adalah menghadirkan
calon berintegritas ke publik. Masuknya ketentuan soal legalitas bagi
terpidana hukuman percobaan justru berpotensi bertentangan dengan
undang-undang.
Namun, penolakan resmi KPU tak berarti apa-apa. Kesimpulan rapat
memaksa PKPU diubah. Dan, mengacu pada Pasal 9 huruf a UU Pilkada,
KPU mesti mengikuti kesimpulan rapat yang bersifat mengikat tersebut.
KPU, di rapat tersebut, melancarkan dua jurus untuk melepaskan diri
dari sandera kesimpulan rapat yang bersifat mengikat.
Pertama, KPU mendudukkan diri sebagai pihak yang bukan peng
ambil keputusan dan pemberi persetujuan. Posisi KPU adalah pihak
yang berkonsultasi. Frase berkonsultasi disebut KPU sebagai ke
sempatan untuk memberikan klarifikasi dan penjelasan norma dalam
PKPU. Kedua, KPU mempertanyakan tindak lanjut hukum dan admi
nis
trasi dari rapat dengar pendapat tersebut. KPU meragukan sifat
yang berlaku mengikat jika tindak lanjut hukum dan administrasi dari
kesimpulan rapat hanya akan ditandatangani oleh Komisi II dan bukan
menjadi keputusan resmi DPR yang diambil melalui mekanisme rapat
paripurna.
Komisi II tetap pada pendiriannya. Rapat dengar pendapat Komisi
II DPR dengan KPU, Bawaslu, dan Kemendagri pada Jumat, 28 Juni
2016, melegalkan terpidana hukuman percobaan menjadi calon kepala
daerah. Keputusan yang disusul surat resmi dari Komisi II ini membuat

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 231
KPU harus merevisi Pasal 4 huruf f di Peraturan KPU No 5 Tahun 2016
tentang Pencalonan, menjadi PKPU No 9/2016.
Setelah PKPU terseut diundangkan, Indonesia Corruption Watch
(ICW) mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung. Sebab, PKPU
yang dihasilkan KPU setelah melalui rangkaian desakan politik dari
Komisi II DPR itu berpotensi menghasilkan calon kepala daerah yang
tidak berintegritas dan tidak taat hukum. Dibuatnya PKPU yang
membolehkan seorang terpidana percobaan ikut dalam pilkada adalah
sesat dan keliru. Publik disodori calon-calon yang cacat hukum dan
bermasalah hanya demi menguntungkan beberapa orang saja.
Upaya itu diapresiasi KPU. Menurut KPU, upaya tersebut patut
dilakukan untuk menguji sejauh mana peraturan yang dibuat KPU
selaras dengan UU Pilkada. Upaya itu lebih baik dan bermakna daripada
menekan atau mengintervensi KPU selaku pembuat peraturan.
Upaya DPR yang memaksa ketentuannya diakomodasi KPU
menunjukkan dengan mudahnya kepentingan politik mengintervensi
penyelenggaraan pemilihan. KPU mau tidak mau ikut terjebak dalam
keputusan yang diambil DPR dan Pemerintah, tanpa peduli seaneh dan
selemah apa pun keputusan itu.
Orang-orang tersangkut kasus hukum yang tetap nekat mendaftar
sebagai calon kepala daerah menunjukkan stagnannya landasan
rekrutmen calon kepala daerah oleh partai. Landasan rekrutmen calon
hanya bertumpu pada basis kekuasaan, kekuatan kekayaan materil, dan
pelestarian relasi kuasa. Situasi ini bermuara pada terkonsentrasinya
kekuasaan elit politik dan elit ekonomi di tangan segelintir orang di
daerah atau praktik politik oligarki.

10.2.2. Calon dari Partai Bersengketa


Selain persyaratan yang melekat pada individu yang akan menjadi
calon kepala daerah, ada persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh
pengusung calon. Ada dua pihak yang dapat mengusung calon: partai
atau gabungan partai, dan perseorangan. Dari sini kemudian kita kenal
ada jalur partai dan jalur perseorangan.

PENYELENGGARAAN
232 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Proses pencalonan ini ditegaskan dalam UU No 8/2015. Pada Pasal
1 angka 3 disebutkan: Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur adalah
peserta Pemilihan yang diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik,
atau perseorangan yang didaftarkan atau mendaftar di Komisi Pemilihan Umum
Provinsi. Sedangkan Pasal 1 angka 4 juga menyebutkan, Calon Bupati dan
Calon Wakil Bupati, Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah peserta
Pemilihan yang diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau
perseorangan yang didaftarkan atau mendaftar di Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten/Kota.
Syarat pencalonan yang melekat pada partai pengusung diatur dalam
Pasal 40 UU No 8/2015. Ketentuan dalam pasal tersebut menyatakan,
Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan
calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh
persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua
puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.
Ketentuan di dalam Pasal 40 ini dilengkapi dengan pengaturan dalam
Pasal 42 Ayat (4) dan Ayat (5). Ketentuan Pasal 40 ayat (4) berbunyi:
Pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur oleh
Partai Politik ditandatangani oleh ketua Partai Politik dan sekretaris Partai
Politik tingkat Provinsi disertai Surat Keputusan Pengurus Partai Politik
tingkat Pusat tentang Persetujuan atas calon yang diusulkan oleh Pengurus
Partai Politik tingkat Provinsi.
Sedangkan, Ayat (5) berbunyi: Pendaftaran pasangan Calon Bupati dan
Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota
oleh Partai Politik ditandatangani oleh ketua Partai Politik dan sekretaris
Partai Politik tingkat Kabupaten/Kota disertai Surat Keputusan Pengurus
Partai Politik tingkat Pusat tentang Persetujuan atas calon yang diusulkan
oleh Pengurus Partai Politik tingkat Provinsi.
KPU menerjemahkan ketentuan di undang-undang ini menjadi
peraturan teknis PKPU 9/2015. Pasal 34 peraturan tersebut menyatakan:
KPU berkoordinasi dengan Mentri untuk mendapatkan salinan keputusan
terakhir tentang penetapan kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebelum
masa pendaftaran Pasangan Calon.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 233
KPU menjadikan surat keputusan Kementerian Hukum dan HAM
mengenai pengesahan pengurus pusat partai sebagai alat verifikasi.
Surat keputusan ini penting karena pengurus pusatlah yang akan
memberikan persetujuan terhadap pencalonan kepala daerah, baik di
tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Pada titik inilah persoalan terjadi. Jika surat keputusan pengesahan
pengurus pusat partai dari Kemenkumham sedang digugat, pada surat
keputusan mana KPU harus mengacu? KPU tak bisa lagi merujuk pada
surat keputusan yang sedang digugat tersebut. Akan ada persoalan
jika merujuk pada surat tersebut, bila nantinya putusan pengadilan
menyatakan surat keputusan Kemenkumham tak berlaku, tak punya
kekuatan mengikat, atau batal demi hukum.
Di PKPU No 9/2015, KPU menanggulanginya dengan merujuk pada
putusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum mengikat.
Partai yang kala itu sedang bersengketa mengenai kepengurusan, yaitu
PPP dan Golkar, terkena imbas. Ketentuan dalam PKPU ini mengancam
keikutsertaan mereka dalam pencalonan kepala daerah.
Setidaknya dibutuhkan waktu 90 hari sampai putusan pengadilan
tetap oleh MA dikeluarkan. Lamanya proses penyelesaian sengketa
lewat peradilan sejak awal memang sudah diperkirakan akan melewati
batas waktu pencalonan.
Pertemuan antara KPU dengan MA, membenarkan perkiraan itu.
Meski MA bersedia memenuhi permintaan prioritas penyelesaian
sengketa kedua partai bisa dikebut, ternyata mekanisme itu belum
cukup singkat untuk menuntaskan sengketa sebelum masa pendaftaran
dimulai.
Sebab, untuk mengajukan memori kasasi bagi penggugat butuh
waktu 14 hari. Kemudian, jawaban dari pihak tergugat selama 14 hari.
Dua hal Itu saja sudah memakan waktu 28 hari. Ini jelas akan melampaui
tanggal terakhir pendaftaran calon.
Penyelesaian lewat pengadilan memang bukanlah jalan satu-
satunya yang disediakan KPU. Ada opsi islah yang ditawarkan. Proses
pengadilan boleh tetap jalan, tetapi partai didorong berdamai dan
membentuk satu kepengurusan. Kepengurusan hasil damai kemudian

PENYELENGGARAAN
234 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
didaftarkan ke Menkumham.
KPU sebenarnya tetap teguh pada pendiriannya untuk menerima
kepengurusan hasil damai internal. Prinsip islah ditegakkan melalui
PKPU No 9/2015.
Namun, berbagai tekanan membuat KPU mesti mengubah No PKPU
9/2015. Perubahannya adalah PKPU No 12/2015. Inti dari jalan keluar
yang diberikan melalui PKPU adalah memperbolehkan kedua partai
politik yang bersengketa mengajukan pasangan calon dengan syarat:
dua kepengurusan yang sedang bersengketa sama-sama memberikan
persetujuan kepada pasangan calon kepala daerah yang sama.
Kasus pencalonan dari partai bersengketa ini mau tak mau telah
mengganggu independensi KPU. Desakan kuat dua partai bersengketa
agar bisa mengajukan pasangan calon membuat KPU harus bolak-balik
ke Komisi II DPR untuk melakukan penyesuaian PKPU Pencalonan.
KPU yang pada awalnya bersikukuh tidak akan mengubah PKPU, pada
perkembangannya harus memfasilitasi hak mencalonkan kepala daerah
oleh partai ini.
Fadli Ramadhanil, peneliti hukum Perludem, menilai, kisruh
pencalonan partai bersengketa ini bermuara dari mekanisme pencalonan
kepala daerah dengan mewajibkan adanya rekomendasi dari pengurus
pusat partai. Hal ini tentu saja mematikan proses demokrasi internal
partai dalam pengajuan bakal calon kepala daerah. Kondisi ini juga
kemudian yang menegasikan peran dan keberadaan pengurus daerah
partai, khususnya tingkatan pengurus yang akan melaksanakan pilkada.
Ramlan Surbakti, guru besar perbandingan politik Universitas
Airlangga, memandang demokratisasi internal partai akan baik apabila
kedaulatan partai berada di tangan anggota, pembuatan keputusan
partai yang bersubstansi penting harus bersifat inklusif. Keputusan
partai yang bersifat substansial adalah keputusan tentang kepengurusan
partai, program dan kebijakan partai, daftar calon anggota DPR dan
DPRD, pasangan calon presiden dan wakil presiden, serta pasangan
calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Pembuatan keputusan partai yang bersifat inklusif berarti melibatkan
anggota dan semua unsur partai dalam membuat keputusan. Selain

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 235
bersifat inklusif, sebagian pembuatan keputusan partai didelegasikan
kepada cabang partai di daerah, yang juga harus bersifat inklusif.
Berlarutnya sengketa kepengurusan di tubuh Golkar dan PPP juga
terjadi karena penyelesaiannya tak mengacu pada mekanisme yang
sudah disediakan dan diatur dalam UU No 2/2011 tentang Partai Politik.
Jika sengketa kepengurusan tersebut diselesaikan melalui mekanisme
internaltak melalui pengadilanwaktu yang dibutuhkan tak akan
berlarut dan tak akan memengaruhi proses pencalonan.
Berdasarkan hal tersebut, beberapa perbaikan mesti dilakukan.
Syarat pencalonan kepala daerah dengan persetujuan pengurus pusat
partai perlu dihilangkan. Dengan demikian, mekanisme demokrasi
internal partai di kepengurusan daerah bisa kian membaik. Mekanisme
pencalonan kepala daerah bisa ditentukan dengan rapat pengurus
partai sesuai dengan tingkatan penyelenggaraan pilkadanya, dengan
melibatkan pengurus partai di tingkat bawah. Untuk memilih calon
gubernur, misalnya, partai menyelenggarakan rapat pengurus tingkat
provinsi. Rapat tersebut tentu melibatkan pendurus partai di tingkat
kabupaten, kecamatan, hingga desa.
Sengketa kepenguran partai di pusat seharusnya tidak boleh
memengaruhi proses pencalonan kepala daerah di tingkat bawah.
Proses pencalonan tidak perlu persetujuan pimpinan pusat. Pimpinan
pusat cukup mengetahui pencalonan yang dilakukan oleh pengurus di
tingkat bawah.

PENYELENGGARAAN
236 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
11

Kampanye
dan Dana Kampanye

Apakah kita setuju, ragam identitas warga bisa terlibat/


digunakan dalam kampanye, dan kebebasan finansial kampanye
termasuk kebebasan bicara?

S
alah satu tantangan penyelenggaraan pemilu sesuai de
ngan prinsip free and fair adalah bagaimana merancang dan
menjalankan kampanye dalam ruang kontestasi dan par
tisipasi. Seberapa bebas dan adil kampanye diartikan dan tak
diskriminatif melibatkan/menggunakan ragam identitas warga. Dan,
seberapa bebas dan adil kelas ekonomi yang terlibat dan menggunakan
finansialnya. Sehingga, regulasi dan implementasi kampanye meng
gambarkan wajah kebebasan dan keadilan pemilu.
Pada aspek keluwesan menampung ragam identitas, kampanye
dalam penyelenggaraan pilkada lebih bertantangan. Pasalnya, identitas
dalam terma SARA (suku, ras, agama, dan antargolongan) relatif lebih
kuat jadi tuntutan aspirasi warga. Logika suara mayoritas menjadi
pemenang pemilu melahirkan kecenderungan suku, ras, agama, dan

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 237
golongan mayoritas dijadikan identitas daerah dan pemimpinnya.
Politik ketokohan, dinasti (kekerabatan/keluarga), dan keaslian sering
seiring dengan kebutuhan dan kepercayaan masyarakat lokal terhadap
kepemimpinan.
Pun begitu pada aspek ukuran finansial kontestasi dan partisipasi.
Kampanye penyelenggaraan pilkada lebih bertantangan karena relatif
tingginya tuntutan pembatasan dana kampanye bagi kontestan.
Sensitivitas kelas ekonomi warga pun lebih tinggi untuk dikaitkan.
Ruang publik yang sesak dengan alat peraga kampanye dan hingar
bingar iklan kampanye televisi, lebih dimaknai bahwa politik hanya
untuk orang berduit. Sehingga, lahirlah kebutuhan regulasi untuk
menciptakan kontestasi dan partisipasi yang lebih setara dalam tataran
dana kampanye.

11.1. MASIH SOAL AKUMULATIF KAMPANYE


Sebelum masuk pembasahan kampanye pada aspek kebebasan
dan keadilan ragam identitas dan finansial, baik jika kita merujuk lagi
pengertian kampanye. UU No 1/2015 tak mengalami perubahan pada
revisi pertama (UU 8/2015) dan kedua (UU 10/2016) dalam mengartikan
kampanye. Redaksi pengertiannya masih menjelaskan kampanye
sebagai kegiatan yang memenuhi semua unsur-unsur kampanye secara
akumulatif.
UU No 1/2015 mengartikan kampanye sebagai kegiatan untuk
meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program
calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Tapi, pengertian
kampanye itu sering menjadi sebab ketidakpastian hukum pemilu.
Sebab, saat peserta pemilu melanggar ruang dan waktu berkampanye,
pelanggar selalu berkilah dengan menggunakan dasar akumulatif unsur
pengertian kampanye. Pelaporan dan tindak lanjut penegakan hukum
pemilu sering bertepuk sebelah tangan karena kesimpulannya berdasar
pada pengertian akumulatif kampanye.
Penyelenggara pemilu di pilkada serentak menggunakan ruang ke
wenangannya membuat peraturan pelaksana pemilu untuk menguatkan

PENYELENGGARAAN
238 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
kepastian hukum kampanye. Melalui PKPU No 7/2015, No 12/2016, dan
No 13/2016, KPU melakukan terobosan dengan mengartikan kampanye
tanpa harus akumulatif. Peraturan KPU ini pun seiring dengan Peraturan
Bawaslu No 10/2015. Semua peraturan ini menambahkan kata atau
(/) dalam pengertian kampanye sehingga sebuah kegiatan bisa dinilai
kampanye tanpa harus memenuhi semua unsur-unsur kampanye.
Redaksi pengertian kampanye dalam semua peraturan tersebut
adalah: Kampanye Pemilihan, selanjutnya disebut Kampanye, adalah kegiatan
menawarkan visi, misi, dan program Pasangan Calon dan/atau informasi
lainnya, yang bertujuan mengenalkan atau meyakinkan Pemilih.
Terobosan KPU dan Bawaslu itu penting diapresiasi dan dipahami
bersama. Para pasangan calon serta tim suksesnya harus memahami per
baikan regulasi kampanye ini. Sebab, pada setiap pemilu sebelum pilkada
serentak, ketakjelasan kampanye cenderung tak dipermasalahkan paslon
beserta partai pengusung dan tim sukses. Semua lebih memanfaatkan
celah dari sempitnya makna kampanye akumulatif.
Direktur ekskutif Perludem, Titi Anggraini, berpendapat, pengertian
kampanye melalui peraturan pelaksana undang-undang yang dibuat
penyelenggara itu merupakan capaian penting. Setidaknya, ini meru
pakan upaya konkret dari penyelenggara pemilu dalam menjamin ke
pastian hukum dalam pemilu. Karena, sering suatu tindakan dinilai se
bagai pelanggaran kampanye atau bukan, lebih karena ketakpahaman
terhadap pengertian kampanye.

11.1.1. Kampanye SARA di pemilu


Keserentakan pilkada semakin menguatkan kebutuhan kepastian
hukum pemilu berkait SARA. Dalam praktiknya, kampanye SARA
awam dimaknai sebagai pengucapan/memperlihatkan kalimat ajakan
memilih satu atau lebih unsur dari SARA. Misal, pilih yang satu suku,
satu agama, satu ras, atau satu golongan. Atau, sebaliknya, jangan pilih
orang luar daerah, kafir, atau tak satu golongan.
Ajakan memilih satu suku dalam pilkada sering menyertakan istilah
orang asli daerah atau putra daerah. Ajakan ini berkelindan dengan

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 239
semangat otonomi daerah sehingga penguatan demokrasi lokal seperti
satu paket dengan pencalonan dan pemilihan orang lokal. Pilkada
sebagai pemilihan pemimpin demokrasi dari, oleh, dan untuk rakyat
(putra/putri) daerah seperti kebutuhan tak tertulis.
Merujuk data rumahpemilu.org, 43 dari 48 gubernur terpilih melalui
pilkada provinsi merupakan orang asli daerah. Sebanyak 48 gubernur
tersebut tersebar di 30 provinsi, di luar Aceh, DI Yogyakarta, Papua,
dan Papua Barat. Bahkan, sebanyak 26 provinsi, pemilihan gubernur
selalu dimenangkan orang asli daerah. Angka ini merupakan sinyal,
masyarakat lebih percaya orang asli sebagai pemimpin di daerahnya.
Sejak reformasi, hanya ada lima gubernur hasil pilkada provinsi
yang bukan berasal dari daerah pemilihan. Pertama, mantan Gubernur
Kepulauan Riau, Ismeth Abdullah (masa jabatan 2005-2010). Kedua,
mantan Gubernur Sumatra Utara, Gatot Pujo Nugroho (2011-2015). Ke
tiga, mantan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (2012-2013). Keempat,
Gubernur Bengkulu, Ridwan Mukti (2016-sekarang). Kelima, Gubernur
Kalimantan Utara, Irianto Lambrie (2016-sekarang).
Peneliti hukum Perludem, Fadli Ramadhanil, berpendapat, keadaan
regulasi saat ini mengenai syarat pencalonan dan kampanye berkait
SARA sudah tepat. Agar pilkada tak diskriminatif terhadap ragam
identitas warga dan sesuai dengan pengertian demokrasi sebagai pe
merintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, tak perlu ada syarat penc
alonan dan larangan kampanye berkait SARA. Orang asli daerah bisa
menjadi pertimbangan dalam memilih gubernur atau jabatan kepala
daerah lain, karena mereka dinilai mengetahui daerah dan masyarakat
tersebut, jelas Fadli.
Pemahaman masyarakat dan keadaan regulasi mengenai identitas
suku dengan istilah orang asli daerah atau putra daerah sama hal
nya dengan identitas SARA lain seperti agama. Ada keinginan sebagian
warga untuk memilih pemimpin yang seagama. Regulasi pilkada cukup
baik menampungnya dengan tak melarang warga, baik individu pemilih,
tim sukses, atau peserta pemilu mengajak memilih yang seagama.
Di Provinsi Maluku, ada peraturan tak tertulis bahwa pasangan calon
kepala daerah-wakil kepala daerah harus pasangan Kristen-Islam atau

PENYELENGGARAAN
240 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Islam-Kristen. Mengingat kebutuhan perdamaian pasca-konflik, pemilih
menginginkan kebutuhan penjagaan perdamaian terwujud dalam pen
calonan dan keterpilihan pemimipin. Sehingga, partai cenderung tak
mau mengusung pasangan calon sama agama, meskipun tak ada dalam
regulasi.
Mayoritas gubernur terpilih yang merupakan orang asli daerah
menandakan bahwa tanpa adanya peraturan yang mensyaratkan, orang
asli daerah tetap berpotensi lebih besar dipilih sebagai gubernur oleh
masyarakatnya ketimbang orang luar daerah.
Tapi, redaksi regulasi menganggap semua ajakan atau penolakan
me
milih berdasarkan unsur SARA bukan merupakan kampanye.
Istilah SARA sendiri ada dalam UU No 8/2015, Pasal 69 bagian b. Di
sini dituliskan dalam kampanye dilarang: menghina seseorang, agama,
suku, ras, golongan, Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bu
pati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, Calon Wakil Walikota, dan/
atau Partai Politik. Berdasar ketentuan itu, hal terkait SARA dalam kam
panye menjadi terlarang jika, mengandung unsur penghinaan.
Sebagian masyarakat berpendapat, tak ada kesesuaian antara harap
an tinggi masyarakat dengan teks regulasi yang sempit mengenai
kampanye berkait SARA. Perlu kesepahaman antarpihak agar pilkada
tak dinilai tumpul penegakan hukum dan terjadi konflik fisik massa
berdasar SARA.
Lalu bagaimana jika kampanye ada dalam materi khotbah? Jawab
annya, regulasi tak mempermasalahkan materi khotbah. Menjadi ber
masalah hukum, jika materi khotbah berisi kampanye yang disampaikan
di tempat ibadah atau tempat pendidikan. UU No 8/2015, Pasal 69 huruf
i, bertuliskan: dalam kampanye dilarang: menggunakan tempat ibadah dan
tempat pendidikan.
Itu terjadi misalnya dalam Pilkada DKI Jakarta 2012, Rhoma Irama
mengajak jamaah masjid untuk memilih pasangan calon berdasarkan
SARA. Laporan dugaan pelanggaran berakhir dengan hukum yang
me nyimpulkan Rhoma tak melanggar karena tak memenuhi unsur
kampanye dalam regulasi.
Anggota Bawaslu DKI Jakarta, Muhammad Jufri, mengatakan

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 241
kampanye menjadi dugaan pelanggaran atau bukan terkait dengan
waktu dan tempat. Jika unsur kampanye disebutkan dalam khotbah di
tempat ibadah, bisa dilaporkan sebagai dugaan pelanggaran.
Sependapat dengan Jufri, Ketua KPU DKI Jakarta, Sumarno, coba
meyakinkan kepastian hukum dalam kampanye pilkada. UU memang
mengartikan kampanye sebagai penyampaian visi, misi, dan program
partai. Tapi, dalam penerapannya, penyelenggara pemilu tak akan kaku.
Jika di tempat pendidikan ada yang mengajak memilih si A dengan
menyebutkan nama atau nomor urut, dia mengatakn itu bisa dipahami
sebagai kampanye dan dilarang oleh UU.
Menjelaskan kampanye SARA di Pilkada perlu mengurai pengertian
kampanye itu dan pengertian SARA sendiri. SARA, menurut Su
marno, merupakan fakta demokrasi. Dia mengaku setuju dengan pan
dangan Ketua DKPP, Jimly Asshiddiqie. Menurutnya, SARA bagian dari
demokrasi yang dinamika partisipasinya tak boleh dilarang, sehingga
harus diakui termasuk di pemilu.

11.1.2. Kampanye di tempat ibadah dan pendidikan


Undang-undang Pilkada melanjutkan larangan kampanye di rumah
ibadah seperti undang-undang pemilu lalu. Revisi kedua tak menggubris
Pasal 69 perihal yang dilarang dalam kampanye. Sehingga, larangan da
lam kampanye Pilkada 2017 tetap merujuk pada revisi pertama UU Pil
kada, yaitu UU No 8/2015. Ketentuan huruf i berbunyi: melarang peng
gunaan tempat ibadah untuk berkampanye.
Bagian Penjelasan UU No 8/2015 tak menjelaskan tempat ibadah
seperti apa yang dilarang digunakan untuk kampanye. Penjelasan Pasal
69 ketentuan huruf i cuma bertuliskan cukup jelas. Itu berarti, UU
Pilkada melarang kampanye di semua tempat ibadah, tanpa kecuali. Di
mana pun lokasinya, siapa pun pemiliknya, bagaimana pun bentuknya,
tempat ibadah dilarang untuk kampanye. Titik.
Berarti, Pasal 69 menyamakan tempat ibadah pada ketentuan huruf
i dengan fasilitas negara/pemerintah daerah pada ketentuan huruf h.
Sehingga, UU Pilkada mencampuradukkan kepemilikan masyarakat

PENYELENGGARAAN
242 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
dengan kepemilikan negara/pemda. Semua masjid/mushalla, gereja,
vihara, pura, dan tempat ibadah lainnya harus bersih dari kampanye,
seperti halnya ruang rapat, aula, atau gedung serba guna milik negara/
pemda.
Padahal, tempat ibadah jauh lebih banyak yang dimiliki masyarakat
dibanding milik negara/pemda. Tempat ibadah pelat hitam tersebar
luas di luar area atau bangunan pemerintahan. Sedangkan, tempat
ibadah pelat merah biasanya hanya ada di area atau bangunan milik
pemerintah.
Menyamakan ketentuan huruf i dengan ketentuan haruf h berarti
melanjutkan sekularisasi yang sesat. Di satu sisi, anggaran negara/
daerah dialokasikan bagi kepentingan privat kelompok tertentu dalam
bentuk penyediaan tempat ibadah. Di sisi lain, negara melalui regulasi
pilkada memisahkan politik dari perbincangan publik umat beragama
di dalam tempat ibadah.
Jika negara melarang tempat ibadah pelat hitam untuk kampanye,
negara tak hanya mensekulerkan tempat ibadah, tapi juga telah memaksa
keyakinan/tafsir beragama. Di sini negara melalui regulasi publik,
mengintervensi keyakinan individu bahkan (sebagian) masyarakat
beragama. Negara menjadi diskriminatif karena menilai, pemeluk agama
yang benar adalah yang membersihkan tempat ibadah dari kampanye
politik. Secara bersamaan, negara menyalahkan sekaligus menghukum
pemeluk agama yang berkampanye di tempat ibadah.
Intervensi negara terhadap keyakinan agama dan kewenangan tempat
ibadah dalam masyarakat jelas tak relevan. Selain inkonstitusional,
ketaatan beragama cenderung menempatkan kitab suci lebih tinggi dari
konstitusi. Pelarangan kampanye di tempat ibadah berpotensi dilanggar
sekaligus dibiarkan. Dampaknya, pilkada bukan hanya kehilangan
tindak penegakan hukum, tapi juga akan terus diganggu pada pelaporan
pelanggaran.
Tak sedikit individu/kelompok warga yang berkeyakinan, berpolitik
merupakan bentuk kepedulian terhadap publik/umat. Sehingga, politik
merupakan bagian dari keimanan. Karena berdasar iman, maka konsep
keagamaan ditempatkan sebagai rujukan terluhur.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 243
Keberagamaan tak hanya urusan relasi vertikal terhadap Tuhan, tapi
juga berdampak secara horizontal terhadap keluarga, masyarakat, dan
negara. Agama diyakini bisa memberikan solusi permasalahan diri dan
keluarga sekaligus permasalahan publik dalam masyarakat dan negara.
Pada konsepsi itu, membincangkan aspek publik para pejabat publik
merupakan kebutuhan. Sewajarnya, jamaah dalam tempat ibadah
membincangkan kepentingan publik, termasuk memilih kepala daerah.
Kriteria kepala daerah tentu tak bisa dilepaskan.
Tempat ibadah menjadi pilihan tempat pemeluk agama menyertakan
kolektivitasnya untuk menetapkan kriteria kepala daerah. Bisa jadi,
kriteria menekankan pada kualitas jejak rekam yang baik seperti
antikorupsi. Bisa juga, perbincangan mengarah pada kriteria kualitas
jejak rekam sekaligus kriteria seiman. Sehingga, wajar jika di dalam
tempat ibadah ada imbauan yang secara langsung/tak langsung me
milih kandidat tertentu. Menjadi tak wajar --dan harus dihukum-- jika
himbauan menyertakan dan menganjurkan pemaksaan juga kekerasaan.
Adalah tugas penyelenggara pemilu merinci ketentuan undang-
undang menjadi peraturan yang lebih prospektif dijalankan. UU No
8/2015, Pasal 69, ketentuan huruf i, yang melarang tempat ibadah digu
nakan kampanye menjadi relevan dijalankan jika dikaitkan ketentuan
huruf h. Artinya, dilarang/diperbolehkannya tempat ibadah untuk
kampanye, berkait kepemilikan negara/pemda. Tempat ibadah milik
pemerintah, dilarang untuk kampanye. Tempat ibadah milik masyarakat,
boleh untuk kampanye.
Jika peraturan penyelenggara pemilu tidak mengaitkan ketentuan
huruf h dan huruf i, pemilu jujur dan adil sebagai buah reformasi kem
bali melanjutkan sandiwara kehidupan antar-SARA. Identitas SARA
cenderung bersikap dua muka. Secara pengakuan menerima semua
ragam identitas seperti penerimaan terhadap identitas yang melekat,
tapi diam-diam berkonsolidasi dalam kelompok berdasar klaim
eksklusivisme identitas. Konflik tak disalurkan bebas-terbuka, tapi
dipendam sehingga berpotensi meledak, menghancurkan demokrasi.

PENYELENGGARAAN
244 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
11. 2. DANA KAMPANYE
Kampanye di pilkada serentak merupakan tahapan pemilu yang
mengalami sejumlah perubahan sangat signifikan. Pertama, kampanye,
termasuk alat peraga kampanye, dibiayai APBD. Kedua, KPU diberikan
kewenangan dalam pengadaan dan pemasangan alat peraga kampanye
peserta pemilu. Ketiga, pasangan calon sebagai peserta pemilu dilarang
berkampanye menggunakan alat peraga di Pilkada 2015, tapi di Pilkada
2017 kembali diperbolehkan. Tiga perubahan itu membuat anggaran
pemilu yang bersumber dari pemerintah bertambah.
Salah satu kemajuan dari Perppu No No 1/2014 tentang Pilkada, yang
kemudian ditetapkan menjadi UU No 1/2015, dan diubah melalui UU
No 8/2015, adalah pengaturan tentang kampanye. Pertama, undang-
undang ini untuk pertama kalinya mengatur pembiayaan kampanye
oleh negara. Kedua, untuk pertama kalinya juga mengatur tentang
pembatasan dana kampanye.
Dua peraturan tersebut sesungguhnya menuju satu tujuan: mengu
rangi beban biaya kampanye yang harus ditanggung oleh pasangan calon
kepala daerah. Selama ini dipercaya, akibat tingginya biaya kampanye
yang harus ditanggung pasangan calon, maka ketika terpilih mereka
berusaha membayar utang biaya kampanye, sekaligus memupuk biaya
kampanye pilkada berikutnya. Akibatnya, banyak kepala daerah yang
terjerat kasus korupsi karena mengambil jalan pintas mengumpulkan
dana politik.
Sama dengan undang-undang pemilu sebelumnya, UU No 1/2015
juncto UU No 8/2015 menyebut tujuh metode kampanye: a) pertemuan
terbatas; b) pertemuan tatap muka dan dialog; c) debat publik/debat
terbuka antarpasangan calon; d) penyebaran bahan kampanye kepada
umum; e) pemasangan alat peraga; f) iklan media massa cetak dan
media massa elektronik; dan atau g) kegiatan lain yang tidak melanggar
larangan kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun undang-undang ini menyebutkan semua bentuk kampanye
dibiaya negara kecuali pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka/
dialog. Dua jenis kampanye inilah yang harus ditanggung pasangan

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 245
calon, sedang yang lain dibiayai oleh APBN/APBD.
Berdasarkan pembacaan terhadap laporan dana kampanye Pilkada
2010-2013, biaya kampanye pertemuan terbatas dan pertemuan tatap
muka/dialog, berkisar 10 persen dari seluruh total biaya kampanye.
Pasangan Jokowi-Ahok yang memenangkan Pilkada DKI Jakarta 2012,
misalnya, menghabiskan dana kampanye Rp 16,3 miliar, sedangkan
pasangan Rahudman-Dzulmi yang memenangkan Pilkada Kota Medan
2010 menghabiskan dana Rp 2,4 miliar.
Dengan asumsi yang lain tidak banyak berubah, maka kelak untuk
memenangkan Pilkada DKI Jakarta dan Pilkada Kota Medan, pasangan
calon cukup menyiapkan dana Rp 1,6 miliar dan Rp 240 juta untuk
membiayai kampanye pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka/
dialog. Jelas, jadi lebih murah, karena biaya kampanye yang lain, yang
jumlahnya mencapai 90 persen, dibiayai negara.
Meskipun biaya kampanye yang ditanggung pasangan calon jauh
berkurang, namun UU No 1/2015 juncto UU No 8/2015 tetap meng
amanatkan kepada KPU untuk membatasi dana kampanye. Ten tu,
pembatasan dana kampanye ini tidak harus dimaknai sebagai pem
batasan pengeluaran atau belanja saja, tetapi juga pembatasan pe
masukan atau pendapatan.
Undang-undang telah menuntun, pembatasan belanja kampanye
dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah penduduk, luas wilayah
dan standar biaya daerah. KPU tentu perlu menciptakan rumus yang
menggabungkan tiga hal tersebut, dengan tetap memperhatikan angka-
angka pengeluaran belanja kampanye pilkada selama ini. Hanya dengan
cara itu akan dapat dihasilkan rumus yang tepat sehingga pembatasan
belanja kampanye benar-benar bermakna. Maksudnya, jangan sampai
rumus tersebut menghasilkan angka sangat besar sehingga pembatasan
biaya kampanye jadi seperti tidak membatasi.
Selanjutnya, jumlah maksimal biaya kampanye tersebut dengan
sendirinya menjadi batas maksimal dana yang bisa dikumpulkan oleh
pasangan calon. Pada titik inilah, KPU bisa melakukan pembatasan
penerimaan atau pendapatan atau sumbangan. Memang, UU No 1/2015
juncto UU No 8/2015 telah menetapkan batas maksimal sumbangan

PENYELENGGARAAN
246 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
perseorangan Rp 50 juta dan sumbangan badan usaha swasta Rp 500
juta. Namun, seperti undang-undang pemilu sebelumnya, undang-
undang ini tidak membatasi sumbangan dari pasangan calon dan partai
atau gabungan partai pengusung.
Di sinilah KPU harus berani mengambil terobosan: membatasi
sumbangan pasangan calon dan partai pendukung. Caranya, dengan
menetapkan persentase maksimal sumbangan dari masing-masing
terhadap total penerimaan atau pengeluaran. Dalam hal ini, Perludem
menyarankan agar pasangan calon dan partai atau gabungan partai pen
dukung, masing-masing memberikan sumbangan maksimal 20 persen
dari total biaya kampanye. Sumbangan perseorangan dan badan usaha
swasta tetap menjadi mayoritas (60 persen), sebab untuk menunjukkan
adanya dukungan kepada pasangan calon.
Kajian singkat pengaturan dana kampanye pilkada ini tidak hanya
membahas sisi penerimaan dan pengeluaran, tetapi juga pelaporan.
Hasil kajian Perludem sebelumnya, Basa-Basi Dana Kampanye: Pengabaian
Prinsip Transparansi dan Akntabilitas Peserta Pemilu yang ditulis Di
dik Supriyanto dan Lia Wulandari, 2013, menjadi rujukan utama un
tuk mengatur beberapa hal penting: penggunaan rekening, daftar
penyumbang, laporan awal, laporan berkala dan laporan akhir, proses
audit, serta publikasi laporan dana kampanye.
Output kajian ini berupa draf Rancangan PKPU tentang Sumbangan
dan Pengeluaran Dana Kampanye Pilkada. Untuk melengkapi draf
tersebut, juga disertakan draf Rancangan PKPU tentang Dana Kampanye.
Dua draf ini merupakan masukan buat KPU untuk menyiapkan per
aturan kampanye dan dana kampanye.
Jika demokrasi tidak terbayangkan tanpa pemilu, maka pemilu tidak
mungkin berjalan tanpa uang. Pertama, pemilu memerlukan banyak
uang untuk proses penyelenggaraannya: membayar petugas, membuat
surat suara, mendirikan TPS, mempublikasikan hasil-hasilnya, dan lain-
lain. Kedua, pemilu mengharuskan para peserta mengeluarkan banyak
uang untuk kampanye. Bagi peserta, kampanye bertujuan meyakinkan
pemilih; sementara bagi pemilih, kampanye merupakan arena untuk
mengenali lebih jauh siapa-siapa yang pantas mereka pilih. Kampanye

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 247
adalah kebutuhan yang tak terhindarkan dalam setiap pemilu.
Kampanye adalah kerja terkelola yang mengusahakan agar calon
dipilih, atau dipilih kembali dalam suatu jabatan (Steinberg: 1981).
Melalui kampanye, peserta pemilu (partai, calon anggota legislatif
dan calon pejabat eksekutif) menawarkan visi, misi dan program
serta kebijakan yang akan dijalankan bila terpilih. Pemilih diharapkan
memberikan suara kepada partai atau calon yang menawarkan kebijakan
yang sesuai dengan kepentingannya.
Karena kampanye bertujuan menarik simpati pemilih yang jumlahnya
banyak dan berada di lokasi yang luas, maka kampanye butuh dana
besar. Dana ini untuk membiayai beragam kegiatan kampanye: perte
muan orang per orang, berdialog dalam kelompok, pertemuan massa,
pemasangan poster, spanduk dan baliho, hingga pemasangan iklan di
media massa. Jadi, kampanye meliputi empat elemen penting: partai
dan calon, program dan isu, organisasi, dan dana.
Kebutuhan atas dana tersebut mendorong partai dan calon mengum
pulkan dana sebanyak-banyaknya. Menurut Edwing and Issachardoff
(2006), partai dan calon terpaksa mencari dana kampanye dengan
segala macam cara, karena sumber dana partai yang berasal dari iuran
anggota tidak mencukupi; sedangkan bantuan negara jumlahnya sangat
terbatas.
Di sisi lain, banyak pihak, baik perseorangan maupun badan hukum,
yang bersedia menyumbang dana kampanye kepada partai dan calon.
Tujuannya adalah mendapatkan akses kekuasaan melalui calon-
calon terpilih di legislatif maupun eksekutif pascapemilu. Besarnya
sumbangan berpengaruh buruk terhadap pengambilan kebijakan dan
keputusan pascapemilu, karena tidak ada makan siang gratis.
Masalahnya semakin rumit, karena tidak semua sumbangan dana
kampanye dicatat dan diketahui publik, sehingga pemilih tidak bisa
menghubungan besarnya dana kampanye yang diberikan oleh pe
nyumbang dengan kebijakan yang diambil pejabat publik yang meng
untungkan penyumbang. Di sinilah pengaturan dana kampanye itu
diperlukan. Tujuan utama pengaturan ini adalah menjaga agar partai
dan pejabat publik terpilih tetap mengedepankan kepentingan pemilih

PENYELENGGARAAN
248 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
dalam membuat kebijakan dan keputusan.
Pentingnya pengaturan dana kampanye ini terlihat dari adanya
ketentuan-ketentuan dana kampanye dalam UU Pemilu pascaperubahan
UUD 1945: UU No 12/2003, UU No 10/2008, dan UU No 8/2012 untuk
pemilu legislatif; UU No 23/2003 dan UU No 42/2008 untuk pemilu
presiden, dan UU No 32/2004 untuk pilkada. Ketentuan-ketentuan
yang termaktup dalam undang-undang itu mengatur: (1) sumber
dana kampanye yang berasal dari partai, calon, dan sumbangan tidak
mengikat; (2) batasan sumbangan perseorangan dan perusahaan; (3)
jenis sumbangan yang dilarang; (4) laporan daftar penyumbang; (5)
audit dana kampanye; (6) mekanisme pelaporan dana kampanye, dan
(7) sanksi atas pelanggaran ketentuan dana kampanye.
Sekilas materi pengaturan dana kampanye sudah mencukupi. Namun,
jika dicermati, pengaturan dana kampanye dalam undang-undang
mengandung banyak kelemahan: batasan sumber dana banyak lubang,
mekanisme pelaporan membingungkan, belanja kampanye tidak diatur,
dan ketiadaan sanksi tegas bagi pelanggar. Salah satu kelemahan yang
menonjol dalam pengaturan dana kampanye pemilu legislatif adalah
tidak adanya pembatasan dana dari partai politik dan calon anggota
legislatif. Demikian juga dalam pemilu presiden dan pilkada, tidak ada
pembatasan dana dari calon presiden dan wakil presiden dan calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta partai yang mengusung
pasangan calon tersebut.
Akibatnya, berapa pun dana yang masuk dari partai dan calon
dianggap legal, meski dana itu bisa didapatkan partai dan calon
dari pihak lain dengan cara tidak legal. Di sisi lain, pengaturan dana
kampanye dalam pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pilkada juga
tidak membatasi belanja kampanye, sehingga peserta pemilu dipacu
untuk menggelar kampanye semasif dan seintensif mungkin demi
meraih suara. Ketiadaan batasan dana dari partai dan calon di satu
pihak, dan ketiadaan pembatasan belanja kampanye di lain pihak,
membuat pengeluaran dana kampanye menjadi tidak terkendali. Partai
dan calon harus menanggung beban dana kampanye tinggi sehingga ini
membuka ruang korupsi pasca pemilu nanti.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 249
Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya Pemerintah dan DPR
menetapkan Perppu No 1/2014 menjadi UU No 1/2015 pada 20 Januari
2015. Karena mengandung banyak kelemahan dan kekurangan dalam
mengatur penyelenggaraan pilkada, Pemerintah dan DPR mengubah
UU No 1/2015 melalui UU No 8/2015 pada 17 Februari 2015 (Tim Revisi
Undang-undang Pilkada: 2015).
Belajar dari penyelenggaraan pemilu legislatif, pemilu presiden,
dan pilkada sebelumnya, di mana partai dan calon harus menanggung
dana kampanye sangat besar, maka UU Pilkada yang baru ini berusaha
menekan atau mengurangi dana kampanye pilkada sekecil mungkin.
Hal ini terlihat dari dua ketentuan berikut ini. Pertama, seperti undang-
undang sebelumnya, UU No 1/2015 juncto UU No 8/2015 menyebut
tujuh metode kampanye: a) pertemuan terbatas; b) pertemuan tatap
muka dan dialog; c) debat publik/debat terbuka antarpasangan calon;
d) penyebaran bahan kampanye kepada umum; e) pemasangan alat
peraga; f) iklan media massa cetak dan media massa elektronik; dan
atau g) kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun, Pasal 65 Ayat (2) UU No 1/2015 juncto UU No 8/2015,
menegaskan bahwa metode kampanye huruf c), d), e), dan f) difasilitasi
oleh KPU yang didanai APBN. Jadi, kampanye dalam bentuk debat
publik, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat
peraga, dan iklan media massa, kini dibiayai negara. Sedangkan, partai
dan pasangan calon hanya membiayai kampanye pertemuan terbatas
dan pertemuan tatap muka dan dialog.
Kedua, berbeda dengan undang-undang pemilu sebelumnya, UU
Pilkada baru mencantumkan pembatasan dana kampanye. Hal ini
tertulis dalam Pasal 74 Ayat (9) UU No 1/2015 juncto UU No 8/2015:
Pembatasan dana Kampanye Pemilihan ditetapkan oleh KPU Provinsi dan
KPU Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan jumlah penduduk, cakupan/
luas wilayah dan standar biaya daerah. Inilah ketentuan yang ditunggu
banyak pihak guna mengerem laju pengumpulan dan belanja kampanye.
Kombinasi antara tiga bentuk kampanye yang dibiayai negara dengan
pembatasan dana kampanye, dapat mengurangi secara signifikan

PENYELENGGARAAN
250 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
jumlah dana kampanye yang selama ini harus ditanggung oleh partai
dan pasangan calon. Meskipun demikian, dua ketentuan tersebut
masih sangat terbuka sehingga bisa menimbulkan masalah dalam
pelaksanannya. Misalnya, kampanye dalam pertemuan terbatas dan
pertemuan tatap muka dan dialog, memang bisa dilakukan secara bebas
oleh pasangan calon dan tim kampanye, kapan saja, di mana saja, selama
masa kampanye. Namun apakah itu berarti KPU tidak diberi wewenang
untuk mengatur pelaksanaan pertemuan terbatas dan pertemuan tatap
muka dan dialog? Lantas jika dikaitan dengan wewenang KPU untuk
membatasi dana kampanye, bukankah hal itu juga berlaku terhadap
pembatasan dana kampanye untuk kampanye dalam bentuk pertemuan
terbatas dan pertemuan tatap muka dan dialog?
Ketentuan tentang pembatasan dana kampanye sesungguhnya
menimbulkan multitafsir: pertama, apakah pembatasan itu hanya
berlaku pada pengeluaran/belanja saja, atau juga mencakup pem
batasan terhadap pemasukan/sumbangan? Kedua, apakah wewenang
membatasi dana kampanye itu hanya boleh dilakukan oleh KPU
provinsi dan KPU kabupaten/kota, atau KPU bisa membuat peraturan
teknis, sehingga KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota tinggal melak
sanakannya? Ketentuan-ketentuan yang multitafsir inilah yang harus
dihadapi oleh KPU dalam membuat peraturan teknis dana kampanye
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 75 Ayat (5) UU No 1/2015 juncto
UU No 8/2015, yang menyatakan: Ketentuan lebih lanjut mengenai
sumbangan dan pengeluaran dana Kampanye pasangan calon diatur dengan
Peraturan KPU.
Tidak hanya menafsirkan ketentuan-ketentuan undang-undang,
dalam membuat peraturan tentang sumbangan dan pengeluaran dana
kampanye, KPU juga dipaksa atau terpaksa membuat ketentuan-ke
tentuan baru yang tidak dicantumkan secara tekstual dalam UU No
1/2015 juncto UU No 8/2015, tetapi dibutuhkan untuk menegakkan
prinsip-prinsip pengaturan dana kampanye: keadilan, kesetaraan, ser
ta transparansi dan akuntabilitas. Sebab prinsip-prinsip tersebut se
sungguhnya merupakan derivasi dari prinsip langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil) sebagaimana ditulis dalam

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 251
UUD 1945.
Jadi, dalam membuat peraturan tentang sumbangan dan pengeluaran
dana kampanye, KPU memang tidak hanya dituntut untuk menafsirkan
secara tepat pasal-pasal undang-undang, tetapi juga dituntut
keberaniannya untuk membuat ketentuan-ketentuan baru yang tidak
tercantum secara tekstual dalam undang-undang, demi menegakkan
prinsip-prinsip pengaturan dana kampanye yang memang mendapat
landasi konstitusional.

11.2. 1. Menciptakan Ruang Setara


PKPU dana kampanye harus mencantumkan secara tegas prinsip-
prinsip pengelolaan dana kampanye: kebebasan, kesetaraan,
transparansi dan akutabilitas. Perlunya prinsip tersebut ditekanakan
dalam peraturan tidak lain agar semua pihak sadar bahwa tanpa prinsip
tersebut pengaturan dana kampanye hanya basa-basi saja. Penegasan
prinsip tersebut di awal pengaturan juga untuk menjaga agar ketentuan-
ketentuan berikutnya tetap dalam koridor mengimplementasi prinsip
tersebut.
Kedua, PKPU hendaknya tidak hanya melakukan pembatasan biaya
kampanye, tetapi pembatasan dana kampanye. Itu berarti pembatasan
dana kampanye meliputi pembatasan pengeluaran atau belanja dan
pembatasan pemasukan atau pendapatan. Hal ini bukan semata-mata
karena naskah undang-undang meminta KPU melakukan pembatasan
dana kampanye (bukan sekadar pembatasan belanja kampanye),
tetapi yang tidak kalah penting agar peraturan ini juga berfungsi
mencegah pasangan calon dan partai mengumpulkan dana kampanye
sebanyak-banyaknya. Sebab, banyaknya dana kampanye yang
terkumpul bisa saja tidak hanya digunakan untuk belanja kampanye,
tetapi juga untuk jual beli suara dan menyogok petugas.
Ketiga, dalam melakukan pembatasan biaya kampanye pertemuan
terbatas dan pertemuan tatap muka/dialog, KPU hendaknya menyan-
dingkan dengan laporan dana kampanye pilkada selama ini, guna
menentukan kisaran angka yang tepat. Dengan mempertimbangkan

PENYELENGGARAAN
252 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
jumlah penduduk, luas wilayah, dan standar keuangan daerah, maka
pembatasan dana kampanye pilkada gubernur dilakukan dengan
rumus: jumlah penduduk dibagi jumlah kecamatan, lalu dikali
separuh paket meeting fullday eselon I dan II; sedang pembatasan dana
kampanye Pilkada bupati/walikota adalah jumlah penduduk dibagi
jumlah desa/kelurahan, lalu dikali separuh paket meeting fullday eselon
III. Selanjutnya ditentukan bahwa pasangan calon dan partai politik
masingmasing hanya boleh menyumbang sebanyak 20 persen dari total
biaya kampanye.
Keempat, PKPU harus memastikan bahwa semua transaksi
penerimaan maupun pengeluaran harus melalui rekening, para
penyumbang harus memenuhi syarat tertetu dengan cara mengisi
formulir, serta menyatakan bahwa dana yang disumbangkannya benar-
benar dana legal. Pasangan calon tidak hanya membuat laporan awal
dan laporan akhir, tetapi juga laporan berkala. Selanjutnya laporan dana
kampanye harus dipublikasikan secara luas melalui website lembaga
penyelenggara pemilu.
Kelima, demi tegaknya peraturan dana kampanye, KPU perlu memberi
sanksi administrasi yang tegas, mulai dari peringatan lisan, peringatan
tertulis, hingga pembatalan pasangan calon. Sanksi pembatalan calon
diberikan kepada mereka yang menerima sumbangan ilegal, menyalahi
prosedur pengelolaan dana kampanye, sampai dengan tidak membuat
laporan dana kampanye.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 253
PENYELENGGARAAN
254 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
12

Masa Tenang

M
asa tenang adalah masa paling paradoksal: dimaksud
kan untuk menurunkan tensi politik ke titik hening, tapi
justru menjadi masa paling recok. Alat peraga kampanye
boleh jadi tak lagi berserak karena diturunkan, tapi per
cakapan-percakapan menjurus kampanye di media lain justru makin
berisik.
UU No 10/2016, Pasal 65 Ayat (1), merinci tujuh macam metode
kampanye, yaitu pertemuan terbatas; pertemuan tatap muka dan dialog;
debat publik/debat terbuka antarpasangan calon; penyebaran bahan
kampanye kepada umum; pemasangan alat peraga; iklan media massa
cetak dan media massa elektronik; dan/atau kegiatan lain yang tidak
melanggar larangan kampanye dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Mengacu pada Pasal 67 tersebut, kampanye dilaksanakan tiga hari
setelah penetapan calon sampai dengan dimulainya masa tenang. Masa
tenang sendiri berlangsung selama tiga hari sebelum hari pemungutan
suara. Pasal 69 huruf k melarang kampanye di luar jadwal yang telah
ditetapkan KPU. Dalam kerangka tersebut, segala macam metode kam
panye yang dirinci pada Pasal 65 Ayat (1) dilarang dilakukan pada masa

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 255
tenang.
1. Ketentuan pada undang-undang ini diterjemahkan menjadi
peraturan teknis oleh KPU dalam PKPU No 12/2016 jo PKPU
7/2015. Pasal 49 PKPU itu menegaskan kembali jadwal kampanye:
2. Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan
ayat (3), dilaksanakan 3 (tiga) hari setelah penetapan Pasangan
Calon peserta Pemilihan sampai dengan dimulainya masa tenang.
3. Masa tenang Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berlangsung selama 3 (tiga) hari sebelum hari dan tanggal
pemungutan suara.
Pada masa tenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pasangan
Calon dilarang melaksanakan Kampanye dalam bentuk apapun.
Selain Pasal 49 yang mengatur jadwal, ada ketentuan lain yang diatur
rinci. Ketentuan tersebut adalah pemberitaan dan penyiaran kampanye
di masa tenang. Pasal 52 Ayat (4) PKPU No 12/2016 mengatur,
selama masa tenang, media massa cetak, elektronik, dan lembaga
penyiaran, dilarang menyiarkan iklan, rekam jejak partai politik atau
gabungan partai politik, pasangan calon dan/atau tim kampanye, atau
bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan kampanye yang
menguntungkan atau merugikan pasangan calon.
Beberapa ketentuan dalam undang-undang dan PKPU ini dimak
sudkan untuk menurunkan tensi ketegangan. Masa tenang juga bertu
juan memberikan ruang kepada pemilih memikirkan secara matang pil
ihannya, melalui berbagai pertimbangan mulai dari visi-misi, program,
hingga tawaran kebijakan publik yang disampaikan setiap pasangan
calon dalam proses kampanye. Faktanya, saat masa tenang para pemilih
kerap tidak diberikan ruang untuk beripikir secara jernih. Masih ditemui
tim sukses pasangan calon berkampanye dengan berbagai cara-cara dan
sulit dijerat hukum.
JPPR menegaskan ada dua kemungkinan bentuk kecurangan yang
dapat terjadi pada masa tenang, yakni politik uang dan kampanye ter
selubung. Pengalaman Pilkada 2015, kampanye terselubung umum
nya dilakukan pasangan calon dengan mendompleng kegiatan sosial.
Mereka menghadiri kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan organisasi

PENYELENGGARAAN
256 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
maupun masyarakat. Di masa tenang juga kerap muncul penyebaran
isu negatif, melalui selebaran dan pesan siaran. Tidak jarang pemilih
juga diintimidasi untuk menciptakan ketakutan
Politik uang dalam wujud vote buying (pembelian suara) juga sering
ditemui pemilih dalam masa tenang yang tentu saja dapat merusak
rasionalitas pilihan pemilih. Bentuk politik uang yang selama ini
ditemui pemantau JPPR, antara lain, berupa pemberian langsung
melalui koordinator dan pemberian setelah pemilihan berdasarkan
kesepakatan.

12.1. OPERASI SENYAP POLITIK UANG


12.1.1. Serangan Fajar dan Bentuk-bentuk Lain Politik Uang
Politik uang menjadi potensi pelanggaran teratas yang dapat terjadi
di TPS. Politik uang menempati posisi teratas dalam sisi kerawanan
dibandingkan dengan empat aspek laindata pemilih, ketersediaan
logistik, keterlibatan penyelenggara negara, dan prosedur. Hal tersebut
termuat dalam indeks kerawanan Pilkada 2017 yang disusun Bawaslu.
Pada pemilihan gubernur di tujuh provinsi, yakni Papua Barat, Aceh,
Banten, Sulawesi Barat, DKI Jakarta, Bangka Belitung, dan Gorontalo,
sebanyak 20.442 atau 41 persen dari total 49.445 TPS tergolong sebagai
TPS rawan.
Dari ke-20.442 TPS yang rawan itu, jika dibedah lebih jauh, posisi
teratas ialah rawan politik uang (7.197 TPS), diikuti rawan data pemilih
(4.029 TPS), keterlibatan penyelenggara negara (3.881 TPS), prosedur
(2.734 TPS), dan ketersediaan logistik (2.601 TPS).
Dalam kajian lain berupa survei di 34 provinsi yang melibatkan 1.200
responden, Bawaslu memaparkan pada tahun 2016, ada 61,8 persen
yang akan menerima pemberian uang peserta pilkada. Angka itu tidak
berbeda jauh dibandingkan dengan tahun 2010 (64,5 persen), 2014 (66
persen), dan 2015 (63 persen).
Politik uang secara umum dapat dikategorisasi menjadi tiga dimensi:
vote buying, vote broker, dan korupsi politik (Irawan, Dahlan, Fariz,
& Putri, 2014). Vote buying merupakan pertukaran barang, jasa, atau

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 257
uang dengan suara dalam pemilihan umum dan orang yang mewakili
kandidat/partai untuk membeli suara adalah vote broker. Sedangkan
korupsi politik adalah segala bentuk suap kepada politisi dalam rangka
mendapatkan kebijakan yang menguntungkan atau keuntungan lainnya.
Pelanggaran politik uang yang banyak terjadi pada masa tenang
adalah vote buying. Secara harfiah, vote buying merupakan pertukaran
ekonomi sederhana: kandidat membeli dan warga menjual suara. Vote
buying atau pembelian suara biasanya berbentuk pemberian atau hadiah
terutama dalam bentuk uang, barang berharga, atau janji dengan tujuan
memengaruhi perilaku penerima. Vote buying dilakukan pada menit
terakhir, beberapa hari, atau beberapa jam menjelang pemilihan. Inilah
yang biasa disebut dengan serangan fajar.
Proses barter uang atau barang dengan pemilih biasanya tidak
melibatkan kandidat secara langsung. Selain mudah diketahui oleh lawan
politik, risikonya tinggi karena bisa dianulir sebagai peserta pemilihan.
Karena itu, kandidat membentuk tim yang berperan dalam menentukan
strategi pemenangan, termasuk di dalamnya melakukan politik uang
sebagai bagian dari strategi untuk memenangkan persaingan.
Edward Aspinall mengategorikan tim di luar kandidat yang
melancarkan politik uang ke dalam tiga kelompok. Pertama, broker
aktivis yang mendukung kandidat berdasarkan politik, etnik, agama,
atau komitmen lannya. Kedua, broker clientelist, yang berkeinginan
untuk hubungan jangka panjang dengan kandidat atau senior broker
dengan tujuan mendapatkan keuntungan material di masa yang akan
datang. Ketiga, broker oportunis yang hanya mencari keuntungan
jangka pendek selama masa kampanye.
ICW mencatat ada tiga hal penting yang berkaitan dengan politik
uang. Hal yang pertama adalah waktu pembagian politik uang.
Vote buying berjalan dalam empat fase waktu: pascapenetapan ca
lon; masa kampanye; menjelang atau saat pemungutan suara; dan
pascapemungutan suara. Empat fase waktu pembagian politik uang
tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut.

PENYELENGGARAAN
258 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
TABEL 31: EMPAT FASE PEMBAGIAN POLITIK UANG

NO. FASE BENTUK POLITIK UANG

Barang yang dilengkapi atribut kampanye


1. Pascapenetapan calon (seperti stiker, poster, atau kalender) serta
bantuan untuk kegiatan sosial dan keagamaan

Uang untuk transportasi dan makan serta


2. Masa kampanye
sembako

Menjelang atau saat Sembako, uang transportasi ke TPS, uang jajan


3.
pemungutan suara di TPS

4. Pascapemungutan suara Uang dan sembako

Hal penting kedua yang berkaitan dengan politik uang adalah


pelaku politik uang. Pelaku politik uang didominasi oleh tim sukses
yang dibentuk oleh kandidat. Selain itu, banyak pula kandidat yang
menggunakan jasa broker suara yang tidak dicantumkan secara resmi
dalam tim kampanye mereka.
Pelaku politik uang lainnya adalah birokrasi. Hal tersebut umumnya
terjadi ketika petahana mencalonkan diri atau mencalonkan keluarganya
dalam pilkada. Birokrasi yang terlibat mulai dari tingkat atas hingga
terbawah seperti RT/RW. Pada instansi yang mengelola anggaran
seperti dinas-dinas, sumber politik uang berasal dari anggaran yang
dimiliki instansi tersebut.
Malah, tidak sedikit kandidat yang mengombinasikan tim sukses,
broker, dan birokrasi dalam melakukan politik uang. Hal tersebut
umumnya terjadi dalam pilkada dan pemilu presiden. Kandidat
menjadikan politik uang sebagai bagian dari strategi pemenangan.
Hal penting kedua yang berkaitan dengan politik uang adalah modus
politik uang. Modus utama politik uang adalah pemberian secara
langsung kepada pemilih. Caranya dengan membagikan uang kepada
peserta temu kader, membagikan uang kepada massa kampanye,

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 259
serangan malam, serangan fajar, atau pascapencoblosan.
Modus kedua adalah pemberian uang secara tidak langsung,
terutama melalui kepala desa dan perangkatnya, tokoh agama, atau
broker-brokter lainnya. Orang-orang berpengaruh di desa biasanya
diberi insentif uang atau program. Mentraktir makan secara massal dan
pengobatan gratis juga biasa dilakukan
Selain modus lama, beberapa modus baru yang ditemukan ICW
dalam pemantauan pemilu adalah pemberian atau pemutihan kredit;
pemberian door prize; pembagian asuransi; pembagian sembako;
pembagian kerudung, sarung sajadah, helm, dan bentuk pakaian lain;
pemberian bibit tanaman; serta pemberian uang pengganti konsumsi
dan transportasi pemilihan.

12.1.2. Ikhtiar Menekan Politik Uang


Berbagai cara dilakukan untuk meminimalisasi politik uang. Pada
revisi kedua UU Pilkada, wacana menolak politik uang ini mengemuka.
Ada beberapa ikhtiar yang dilakukan untuk menolak praktik politik
uang dalam pilkada.
UU No 10/2016 membawa ketentuan penegakan sanksi administrasi
politik uang yang tidak menggugurkan sanksi pidana. Dua sanksi ini
bisa diterapkan bersamaan tanpa ketergantungan proses satu sama lain.
Pengaturan sanksi pidana yang tegas atas politik uang berupa jual beli
kursi pencalonan (mahar politik/sewa perahu); jual beli suara pemilih
(vote buying); dan suap kepada penyelenggara pemilihan juga termuat
di UU No 10/2016.
Namun, aturan ini tetap mengandung celah yang membuat semangat
menghilangkan politik uang menjadi ilusi semata.
Pasal 73 Ayat (2) UU No 10/2016 memang mengatur, calon yang
terbukti melakukan pelanggaran politik uang (menjanjikan dan/
atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pe
nyelenggara dan/atau pemilih) dapat dikenai sanksi administrasi
pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU provinsi atau KPU ka
bupaten/kota. Namun, ketentuan ini mengandung pemberatan karena

PENYELENGGARAAN
260 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
sanksi administrasi hanya bisa dilakukan atas pelanggaran politik
uang yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif. Frasa dan
menunjukkan sifat kumulatif dalam pelanggaran tersebut.
Penjelasan pasal 135A Ayat (1) menerjemahkan "terstruktur" sebagai
kecurangan yang dilakukan aparat struktural, baik aparat pemerintah
maupun penyelenggara pemilihan secara kolektif atau bersama-sama.
"Sistematis" adalah pelanggaran yang direncanakan secara matang,
tersusun, bahkan sangat rapi. Dan "masif" adalah dampak pelanggaran
yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan bukan hanya
sebagian-sebagian.
Merujuk definisi tersebut, sepanjang politik uang tidak dilakukan
aparat struktural, tidak direncanakan matang, atau tidak luas peng
aruhnya, calon yang melakukan politik uang tidak bisa dibatalkan ke
pesertaannya. Ada ruang toleransi, bahkan bisa disebut legalisasi politik
uang sepanjang tidak terstruktur, sistematis, dan masif (Anggraini,
2016).
Legalisasi politik uang berlanjut dengan kehadiran penjelasan Pasal
73 Ayat (1) yang mengatur bahwa tidak termasuk "memberikan uang
atau materi lainnya" meliputi pemberian biaya makan minum peserta
kampanye, biaya transportasi peserta kampanye, biaya pengadaan
bahan kampanye pada pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap
muka dan dialog, dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan
kemahalan suatu daerah yang ditetapkan dengan PKPU.
Pengaturan ini merupakan selimut praktik politik uang dengan
dalih sulit menghadirkan pemilih apabila tidak disediakan biaya ma
kan minum dan transportasi. Kehadiran Penjelasan Pasal 73 Ayat (1)
merupakan kegagalan pembuat UU dalam menggunakan instrumen
kam panye sebagai sarana mewujudkan integritas pilkada. Alih-alih
menjadikan pemilih sebagai subjek, UU ini malah memosisikan pemilih
sebagai objek yang didekati dengan makan minum, transportasi, dan
hadiah.
KPU menerjemahkan ketentuan ini dengan sangat baik. KPU menutup
ruang kecurangan yang mungkin terjadi karena penjelasan Pasal 73 Ayat
(1) ini. KPU membuat PKPU yang menjelaskan bahwa segala hal berupa

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 261
biaya makan minum peserta kampanye, biaya transportasi peserta
kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye pada pertemuan terbatas
dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog, dan hadiah; tidak boleh
diberikan secara tunai kepada pemilih.
Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 69 Ayat (3) PKPU No
12/2016 yang berbunyi: Biaya makan, minum, dan transportasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilarang diberikan dalam bentuk uang.
PKPU juga mengatur bahwa besaran biaya makan, minum, dan
transportasi didasarkan pada standar biaya daerah. Sementara
pemberian hadiah dibatasi dengan ketentuan diberikan dalam bentuk
barang dan nilai barang paling banyak satu juta rupiah.
Selain upaya dalam bentuk hukum, politik uang juga dicegah melalui
aspek kultural. JPPR mengenalkantagline untuk mengadang praktik
politik uang dengan tagline Ambil uangnya, laporkan pemberinya.
Ini dipercaya akan membuat calon yang melakukan politik uang jera.
Uang tersebut nantinya bisa dijadikan bukti untuk menjerat pelaku
politik uang. Di UU Pilkada, pelaku politik uang dapat dijerat dengan
pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan serta
denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Namun,
UU Pilkada juga sebenarnya menghukum sama pemberi dan penerima
dalam praktik politik uang. Pemilih yang menerima uang juga bisa
terkena hukuman serupa.
Regulasi ini dinilai tak tepat. Jika tak disikapi dengan tepat melalui
peraturan penyelenggara pemilu, pemilih bisa menjadi korban. JPPR
mengusulkan pemilih yang dimaksud ketentuan ini adalah pemilih
yang aktif berpolitik uang.

PENYELENGGARAAN
262 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
13

Pemungutan dan
Penghitungan Suara

S
etelah revisi UU No 1/2015 tentang Pilkada selesai pertengahan
Februari 2016 yang kemudian menjadi UU No 8/2015--, KPU
tancap gas menyusun rancangan peraturan KPU (PKPU)
sebagai pedoman teknis penyelenggaraan pilkada. Ketika DPR
mengakhiri reses, akhir Maret 2015, sepuluh rancangan PKPU segera
diserahkan ke DPR. Salah satunya kemudian menjadi PKPU No 10/2015
tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara. Ada muatan baru pada
UU No 8/2015 yang mesti diterjemahkan menjadi peraturan teknis
tersebut.
Pertama, UU No 8/2015 membuka peluang pelaksanaan pemungutan
suara elektronik (e-voting). Pasal 85 Ayat 1 undang-undang tersebut
memberi opsi pemberian suara: memberi tanda satu kali pada surat
suara atau memberi suara melalui peralatan pemilihan suara secara
elektronik.
Kedua, rekapitulasi berjenjang memangkas tahap rekapitulasi di PPS
tingkat desa/kelurahan. Hasil penghitungan suara di TPS langsung dire
kap di PPK. Ketentuan pada Pasal 100, 101, dan 102 di UU No 1/2015 me
ngenai rekapitulasi penghitungan suara di PPS dihapus. UU No 8/2015
memuat revisi yang menjelaskan bahwa, dalam waktu paling lama tiga

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 263
hari setelah pemungutan suara, PPS wajib menyerahkan kepada PPK: (1)
surat suara pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur, pasangan
calon bupati dan calon wakil bupati, serta pasangan calon wali kota dan
wakil wali kota dari TPS dalam kotak suara tersegel; dan (2) berita acara
dan sertifikat hasil penghitungan suara dari TPS di wilayahnya.
Sementara, pada revisi kedua UU Pilkada (UU No 10/2016), perubah
an yang berkaitan dengan pemungutan dan penghitungan suara adalah
penggunaan KTP elektronik sebagai syarat memilih.
Dalam pembahasan revisi kedua UU Pilkada pada tanggal 2 Sep
tember 2016, DPR dan Pemerintah bersepakat bahwa persyaratan untuk
menjadi pemilih harus memiliki KTP elektronik. KTP elektronik ada
pada pengaturan soal syarat dukungan calon perseorangan, pendataan
pemilih, dan syarat penggunaan hak pilih. Pasal 200A Ayat (4) mene
kankan syarat dukungan calon perseorangan harus menggunakan bukti
dukungan dengan KTP elektronik. Aturan ini berlaku terhitung sejak
bulan Januari 2019. Pasal 61 Ayat (1) mengatur, dalam hal masih terdapat
penduduk yang mempunyai hak pilih belum terdaftar dalam daftar
pemilih tetap, yang bersangkutan dapat menggunakan hak pilihnya
dengan menunjukkan KTP elektronik. Sementara Pasal 57 mengatur,
dalam hal warga negara Indonesia tidak terdaftar sebagai pemilih pada
saat pemungutan suara menunjukkan KTP elekronik.
Dalam rapat konsolidasi nasional KPU di Bali, KPU mengidentifikasi
enam potensi permasalahan pemungutan dan penghitungan suara.
Pertama, pembuatan TPS yang tidak aksesibel. Kedua, penyalahgunaan
formulir C6. Ketiga, kekeliruan pencatatan jumlah pemilih di form C7
(daftar hadir) dengan jumlah surat suara yang digunakan. Keempat,
kekeliruan pencatatan pada formulir pemungutan dan penghitungan
suara. Kelima, identitas kependudukan yang berbasis surat keterangan
yang dikeluarkan oleh disdukcapil. Keenam, adanya TPS di daerah
rawan bencana. Ketujuh, distribusi logistik dan kekurangan surat suara.
Prediksi potensi permasalahan yang diungkap KPU terjadi. Se
tidaknya penyalahgunaan formulir C6 dan penggunaan surat keterangan
(suket) jadi kendala. Aturan tergesa-gesa soal KTP elektronik membuat
pemahaman KPPS dalam proses pemungutan suara kurang menyeluruh.

PENYELENGGARAAN
264 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
13.1. TEKNOLOGI DI SEKITAR PEMUNGUTAN,
PENGHITUNGAN, DAN REKAPITULASI SUARA
13.1.1. Dilema Pemungutan Suara Elektronik
Tahun 2014, KPU memperkenalkan sejumlah inovasi teknologi
informasi untuk meningkatkan kualitas pemilu legislatif dan pemilu
presiden dan wakil presiden. KPU menetapkan standar-standar layanan
baru pada sejumlah bidang.
KPU mengembangkan Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih)
sebagai basis data daftar pemilih nasional pertama di Indonesia yang
menampilkan data pemilih. KPU pun mulai mendigitalisasi data ke
dalam format API KPU yang memungkinkan KPU untuk menyajikan
data kepemiluan dalam format open data, sehingga meningkatkan tingkat
transparansi dan memungkinkan masyarakat maupun mitra KPU
untuk mengembangkan layanan kepemiluan. KPU juga menampilkan
hasil pemindaian formulir C1 dari seluruh TPS, yang memungkinkan
masyarakat umum turut serta melakukan penghitungan hasil pemilu
secara swadaya.
Di pilkada, perdebatan mengenai penyelenggaraan pemilu dengan
bantuan teknologi terfokus pada penerapan pemungutan suara elek
tronik. Setelah sempat tak dibicarakan, pembahasan pemungutan suara
elektronik kembali bergairah setelah UU No 8/2015 membuka peluang
praktik yang sohor disebut e-voting itu.
Sebenarnya, peran perangkat elektronik dalam proses pemilu dikenal
dua istilah: e-voting dan e-counting, dan e-recapitulation. E-voting adalah
proses pemberian suara oleh pemilih di TPS melalui perangkat elektronik.
E-counting adalah proses penghitungan suara untuk menentukan suara
sah yang diperoleh pasangan calon di TPS melalui perangkat elektronik.
Sementara e-recap adalah rekapitulasi hasil penghitungan suara di TPS-
TPS.
Pasal mengenai e-voting sebenarnya sempat timbul tenggelam dalam
UU Pilkada. Dalam RUU Pilkada pasca-Pemilu 2014, e-voting ada di Pasal
109 Ayat (1). Pasal itu berbunyi: Pemberian suara untuk pemilihan bupati/
walikota dapat dilakukan dengan cara: b. Memberi suara melalui peralatan

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 265
pemilihan suara electronic voting (e-voting).
Jelang RUU Pilkada itu rampung dibahas, terjadi perubahan drastis.
Partai-partai yang mendukung pilkada langsung mendadak mendukung
pilkada oleh DPRD. Saat RUU Pilkada itu disetujui di rapat paripurna
DPR, pasal e-voting ikut hilang bersama pilkada langsung.
Namun, desakan masyarakat yang tak setuju pilkada melalui DPRD
membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Perppu
No 1/2014 yang salah satu isinya mengembalikan pilkada langsung.
Selain soal itu, ketentuan mengenai e-voting kembali muncul dan tetap
ada hingga Perppu itu jadi UU No 1/2015.
UU No 8/2015, yang merupakan perubahan terhadap UU No
1/2015, tetap mempertahankan ketentuan pemberian suara yang ada
pada UU No 1/2015. Pasal 85 undang-undang tersebut memuat dua
cara pemberian suara: memberi tanda satu kali pada surat suara atau
memberi suara melalui peralatan pemilihan suara secara elektronik.
UU juga memberi keleluasan bagi KPU untuk mengatur lebih lanjut
mengenai hal ini.
Usai undang-undang tersebut disahkan pada Februari 2015, KPU
tak langsung membuat peraturan. KPU merespons ketentuan ter
sebut dengan membentuk Tim Kajian Penerapan TIK dalam Proses
Pemungutan, Penghitungan, dan Rekapitulasi Hasil Pemilu dan Pilkada.
KPU melibatkan tiga belas ahli yang membidangi TIK, sosial politik,
hukum, dan finansial untuk mengkaji layak atau tidaknya TIK dalam
proses pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi hasil pemilu dan
pemilihan kepala daerah. Tiga belas pakar tersebut dibagi menjadi
empat kelompok sesuai dengan keahliannya. Tim Kajian tersebut antara
lain:
1. Tim Kajian Bidang IT
Widijanto S. Nugroho (UI)
Setyadi Yazid (Pusilkom UI)
Wahyu C. Wibowo (Pusilkom UI)
Ary Setiyadi (ITB)
Faisol Baabulah (BPPT)
2. Tim Kajian Bidang Sospol

PENYELENGGARAAN
266 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Ramlan Surbakti (Guru Besar Unair)
Syamsuddin Harris (Profesor Riset LIPI)
Didik Supriyanto (Ketua Perludem)
Tim Kajian Bidang Hukum
Anna Erliyana (Guru Besar Hukum Kenegaraan UI)
Hamdan Zoelva (Ketua MK Periode 2013-2015)

3. Tim Kajian Bidang Finansial


Wariki Sutikno (Bappenas)
Askolani (Dirjen Anggaran Kemenkeu)
Yenni Sucipto (Sekjen Fitra)

Selain mengkaji penerapan solusi TIK pada proses pemungutan,


penghitungan, dan rekapitulasi hasil pemilu dan pilkada, Tim Kajian itu
juga memberi rekomendasi penerapan TIK kepada KPU atas pelaksanaan
pemilu dan pilkada sesuai dengan kebutuhan. Hasil penelitian Tim
Kajian ternyata tidak merekomendasikan e-voting.
Ada lima alasan utama mengapa e-voting tak direkomendasikan:
Pertama, e-voting dapat menghilangkan kegembiraan politik dan rasa
memiliki yang disokong nila-nilai kejujuran dan toleransi terhadap
proses pemungutan suara. Teknologi akan menggantikan kedaulatan
pemilih di TPS. Kedua, kompleksitas dan kelemahan mesin dapat
mengurangi rasa percaya pemilih terhadap proses pemilu.
Ketiga, penerapan mesin e-voting sama sekali tak berkaitan dengan
asusmsi bahwa Indonesia adalah negara maju atau bukan; bahkan
banyak negara maju tak memilih e-voting atau kembali pada pemungutan
suara manual. Keempat, penggunaan mesin e-voting meningkatkan
biaya pemilu untuk pembelian mesin, manajemen dan pemeliharaan
mesin, pendidikan dan pelatihan pengguna, serta penyimpanan dan
pengolahan data pada mesin. Kelima, penggunaan e-voting akan me
nyebabkan kekuatan politik menyalahkan keakuratan teknologi ketika
kalah.
Dari argumentasi itu, KPU tak memberi landasan hukum penerapan
e-voting dalam peraturan teknis KPU untuk Pilkada 2015 dan Pilkada

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 267
2017. Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perludem, memandang hal ini
sah-sah saja. Sebab, UU PIlkada menggunakan frasa dapat. Ini berarti,
penerapan e-voting masih bersifat pilihan. Putusan MK pun memberikan
prasyarat kumulatif untuk penerapan e-voting.
Putusan MK No 147/PUU-VII/2009 memberi peluang penerapan
e-voting dengan dua syarat kumulatif. Pertama, pelaksanaan pilkada itu
tidak melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Kedua, daerah tersebut sudah siap dari berbagai aspek.
Karena KPU tak kunjung membuat peraturan, BPPT sebagai lembaga
kaji terap teknologi yang memiliki program e-voting sebagai prioritas
nasional, hanya bisa menguji coba penerapan e-voting pada level pil
kades.
Andrari Grahitandaru, Kepala Program E-Voting BPPT, mencatat
sudah 526 desa di sembilan kabupaten, lima provinsi: Sumatera
Selatan, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo yang
sudah menerapkan e-voting pada pilkades. Jumlah ini berpotensi
terus bertambah. BPPT berencana menerapkan e-voting di Bogor pada
Maret 2017 dan Mempawah, Kalimantan Barat pada Mei 2017. Dari
daerah-daerah tersebut, hanya KPU Boalemo, Provinsi Gorontalo dan
Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan yang terlibat.
BPPT selama bertahun-tahun telah memiliki program penelitian
dan pengembangan mesin e-voting. Dalam percobaannya, mesin ini
menampilkan layar pilih sederhana berisi dua kandidat dan mencetak
tanda terima pemberian suara yang selanjutnya digunakan oleh pemilih
untuk mengkonfirmasi pilihannya sebelum kertas tersebut dimasukkan
ke dalam kotak suara.
Tim Kajian yang dibentuk KPU juga merekomendasikan rekapitulasi
elektronik (e-recap). Proses pungut hitung di TPS tak terhambat
permasalahan yang signifikan. Prosesnya yang terbuka justru diapresiasi
oleh kalangan internasional karena menjunjung transparansi dan
partisipasi semua pihak.
Permasalahan justru ditemukan dalam proses rekapitulasi berjenjang
dari TPS, desa/kelurahan, kecamatan, hingga ke kabupaten/kota dan
provinsi. Pada tahap tersebut, kecurangan banyak terjadi. Rekapitulasi

PENYELENGGARAAN
268 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
elektronik lebih dibutuhkan untuk menjamin proses yang lebih tepat,
akurat, terpercaya, dan akuntabel dalam menyajikan hasil pemilu.

13.1.2. Rekapitulasi Elektronik


KPU menggunakan aplikasi Sistem Informasi Penghitungan Suara
(Situng) pada Pilkada 2015 dan Pilkada 2017. Dengan sistem ini, hasil
pemungutan suara di TPS di daerah-daerah yang menyelenggarakan
pil
kada bisa cepat diketahui publik. Hasil tersebut bisa diakses di
portal http://pilkada2015.kpu.go.id/ untuk hasil Pilkada 2015 dan https://
pilkada2017.kpu.go.id/hasil untuk hasil Pilkada 2017.
Sistem Situng ini sudah diterapkan pada Pemilu Legislatif dan Pemilu
Presiden 2014. Namun, saat itu yang ditayangkan kepada publik hanya
hasil pindai form C1. Sedangkan, hasil entri data form C1 belum dibuka.
Karena data dari form C1 tersebut sudah dientri, dan menjadi data
digital, maka data itu pun bisa direkapitulasi. Namun, hasil rekapitulasi
elektronik (e-rekap) itu hanya menjadi konsumsi internal KPU.
Pada Pemilu Legislatif 2014, Pada Pemilu Legislatif, scan form C1
yang terkumpul dan terpublikasikan berkisar 85 persen, sedangkan
saat Pilpres 2014 mencapai 98,6 persen. Namun, dalam Pilkada 2015
dan 2017, kendala pengumpulan formulir C1 ini berhasil diatasi. KPU
menyiasati kendala buruknya jaringan internet dan infrastruktur listrik
di sejumlah daerah yang kesulitan mengumpulkan formulir tersebut.
KPU mewajibkan daerah yang punya kendala tersebut untuk mengirim
hasil pindai formulir C1 via pos ke KPU menggunakan CD/DVD/USB.
Kecepatan daerah dalam melakukan pemindaian dan entri hasil
hitung formulir C1 di Pilkada 2015 sudah cukup baik. Jika dalam pileg
dan pilpres, pengiriman dan penayangan hasil pindai formulir C1
membutuhkan waktu tujuh hari, pada Pilkada 2015 pengiriman dan
penayangannya lebih cepat. Operator Situng di daerah rata-rata sudah
menuntaskan pemindaian pada hari ketiga sesudah pemungutan dan
penghitungan suara di TPS, bahkan di sejumlah daerah hanya dalam
hitungan jam scan formulir C1 dan entri data formulir C1 sudah
rampung.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 269
Dalam Pilkada 2015 dan 2015, selain publikasi scan form C1, KPU juga
sudah mempublikasikan hasil entri data berbasis scan C1, atau e-rekap.
Selain informasi perolehan suara, masyarakat dapat memperoleh
informasi jumlah pemilih, pengguna hak pilih, partisipasi, suara sah,
suara tidak sah dan partisipasi penyandang disabilitas. Meskipun dapat
diketahui dengan cepat, hasil entri formulir model C1 itu merupakan
perhitungan sementara, bukan hasil yang resmi dan final. Hasil pilkada
yang resmi dan sah adalah hasil dari rapat pleno rekapitulasi di tingkat
KPU kabupaten/kota dan/atau tingkat KPU provinsi yang dituangkan
di dalam formulir model DB1 atau DC1.
Perolehan suara masing-masing calon yang ditampilkan adalah
hasil tabulasi dari formulir model C1 yang telah disahkan oleh KPPS
tanpa melakukan perbaikan jika terdapat kesalahan. Kesalahan yang
terdapat dalam formulir model C1 akan diperbaiki dalam rekapitulasi
manual di atasnya. Oleh karena itu, wajar jika angka yang terdapat di
Situng tak sama persis dengan hasil rekapitulasi manual. Contohnya,
perolehan suara di tujuh pilkada provinsi yang dipublikasikan di laman
pilkada2017.kpu.go.id/hasil.
Lihatlah angka-angka yang tertera pada entri jumlah pengguna hak
pilih; jumlah total suara sah dan tidak sah; serta jumlah perolehan suara
seluruh calon. Seharusnya, pertama, data pada entri pengguna hak pilih
menunjukkan angka yang sama dengan data pada entri total suara sah
dan tidak sah. Namun, data menunjukkan, ada rata-rata selisih 14.027
suara yang hilang atau belum terhitung. Hal tersebut dapat dilihat pada
tabel berikut.

TABEL 32: PERBANDINGAN JUMLAH PENGGUNA HAK PILIH


DENGAN TOTAL SUARA SAH DAN TIDAK SAH

PENGGUNA TOTAL SUARA SAH


NO. PILKADA SELISIH
HAK PILIH DAN TIDAK SAH
1. Aceh 2512073 2496637 15436
2. Bangka Belitung 567344 566437 907

PENYELENGGARAAN
270 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
3. DKI Jakarta 5563207 5525649 37558
4. Banten 4871663 4838128 33535
5. Gorontalo 653123 649895 3228
6. Sulawesi Barat 639363 638584 779
7. Papua Barat 448945 442198 6747

Dan, kedua, jumlah total perolehan suara seluruh calon seharusnya


menunjukkan angka yang sama dengan data pada entri jumlah suara
sah. Namun, data menunjukkan, ada rata-rata selisih 7.420 suara.

TABEL 33: PERBANDINGAN JUMLAH PENGGUNA TOTAL PEROLEHAN


SUARA SELURUH CALON DENGAN SUARA SAH

TOTAL PEROLEHAN
NO. PILKADA SUARA SELURUH SUARA SAH SELISIH
CALON
1. Aceh 2395036 2389811 5225
2. Bangka Belitung 547738 547824 -86
3. DKI Jakarta 5487776 5465392 22384
4. Banten 4724087 4715416 8671
5. Gorontalo 643665 642680 985
6. Sulawesi Barat 631627 631409 218
7. Papua Barat 453808 439265 14543

Persoalan ketaksinkronan ini berulang sejak 2015. Pada Pilkada 2015


lalu, angka total perolehan suara seluruh calon, jumlah suara sah, dan
jumlah pengguna hak pilih tak sinkron.
Angka-angka yang terdapat pada Situng didapat dari perjalanan
yang cukup panjang. Seusai pemungutan dan penghitungan suara di
TPS, formulir model C1-KWK dibawa ke KPU kabupaten/kota. Di KPU
kabupaten/kota, formulir C1 dipindai. Hasil pemindaian selanjutnya
akan dimasukkan ke aplikasi untuk dapat ditampilkan di Situng. Hasil

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 271
pindai ini dapat dilihat pada menu Image C1 jika kita mengklik hingga
level TPS.
Operator Situng juga akan memasukkan angka hasil pindaian secara
manual pada aplikasi. Angka yang dimasukkan oleh operator dapat
dilihat pada menu Entri C1 jika kita mengklik hingga level TPS.
Operator mengentri data sesuai dengan yang tertera pada formulir
C1 yang telah disahkan oleh KPPS. Jika ada salah penjumlahan, ia tak
berwenang mengoreksi. Segala kekeliruan yang terdapat pada formulir
C1 hanya bisa dikoreksi pada tahap rekapitulasi manual berjenjang.
Di sinilah celah kesalahan itu ada. Kesalahan bisa jadi terjadi karena
operator Situng keliru menginput. Pada Pilkada 2017 di level provinsi,
operator Situng di kabupaten/kota punya beban yang cukup banyak.
Mereka rata-rata mesti memindai dan menginput 864 formulir C1. Dalam
entri data formulir C1 untuk Situng KPU, terdapat 70 personel petugas
yang melakukan entri dari formulir C1. Dari 70 petugas itu, terdiri
dari 40 petugas entri dan 30 petugas scan formulir C1 yang mencetak
dan menyerahkannya ke petugas entri. Semua petugas bekerja dalam
sistemshiftselama pelaksanaan pilkada.

TABEL 34: JUMLAH TPS PADA PROVINSI YANG MELAKSANAKAN


PILKADA 2017

JUMLAH RATA-RATA
JUMLAH
NO. PILKADA KABUPATEN/ JUMLAH TPS PER
TPS
KOTA KABUPATEN
1. Aceh 9592 23 417
2. Bangka Belitung 2698 7 385
3. DKI Jakarta 13023 6 2171
4. Banten 16540 8 2068
5. Gorontalo 1979 6 330
6. Sulawesi Barat 2756 6 459
7. Papua Barat 2855 13 220

PENYELENGGARAAN
272 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Sebagai contoh, pada 18 Februari 2017 lalu, data rekapitulasi hasil
Pilkada DKI sempat terkoreksi. Ada perubahan angka persentase
hasil perhitungan suara. Padahal dalam keterangannya, KPU sudah
merampungkan 100 persen rekapitulasi salinan formulir C1. Komisioner
KPU DKI Jakarta, Dahlia Umar, mengatakan perubahan angka itu terjadi
karena kesalahan input data saat rekapitulasi. Data yang salah input
dapat langsung diperbaiki.
Selain pada proses input oleh operator Situng, potensi kekeliruan
juga ada pada pencatatan di TPS oleh KPPS. Komisioner KPU Banten,
Syaiful Bahri, mengakui petugas KPPS kerap tidak menulis atau salah-
kolom pengisian data.
Berbeda dengan kekeliruan input, kekeliruan yang terdapat pada
pencatatan formulir C1 di TPS oleh KPPS mesti menunggu rekapitulasi
berjenjang.
Untuk menanggulangi potensi kekeliruan seperti dijelaskan di atas,
KPU telah menyiapkan sistem pengisian Form C1-KWK berbasis seven
segment yang rencananya akan diterapkan pada Pemilu 2019 kelak. Form
C1-KWK nantinya diisi dengan membuat garis menggunakan spidol di
atas kertas yang bergambar layaknya angka pada jam digital.
Setelah diisi, formulir tersebut kemudian dipindai. Hasil pindaian
mulir akan langsung terbaca oleh mesin OCR (optical character
for
recognition) yang bisa langsung membaca serta menjumlah angka-
angka yang ditulis dengan metode seven segment tadi. Sistem ini akan
menggantikan input manual yang dilakukan oleh operator.
KPU berupaya untuk mendapatkan sistem yang dapat mengum
pulkan hasil pemungutan suara dengan cepat, akurat, tidak salah dan
dapat menyimpulkan hasil pemungutandengan segera. Pengaplikasian
pengisian angka menggunakan metode seven segment dinilai menjanjikan.
Sebab, ia bisa menstandarisasi bentuk tulisan. Jika sesuai, mesin akan
mudah membaca dan hasil rekapitulasi bisa cepat didapat.
Sistem ini nantinya akan mengandalkan operator di tingkat bawah
untuk mengisi formulir C1-KWK. Oleh karena itu, bimbingan teknis
dan pelatihan bagi petugas KPPS tetap harus dimaksimalkan agar tidak

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 273
terjadi salah hitung atau salah catat.
Keterbukaan KPU ini telah melahirkan partisipasi yang luas di
tengah-tengah masyarakat. Masyarakat secara sukarela, aktif, dan kritis
mengawasi pergerakan hasil penghitungan suara yang ditampilkan
di portal Situng. Selain mengakses informasi hasil penghitungan
suara dengan mudah, masyarakat juga dapat membandingkan hasil
penghitungan suara dalam formulir C1 dengan hasil rekap di atasnya
seperti rekap kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi. Jika terdapat
perbedaan hasil penghitungan suara di TPS dengan rekap di atasnya,
masyarakat dapat melakukan penelusuran pada tingkatan mana dan
bagian apa yang mengalami koreksi.
KPU juga menilai perlu ada perbaikan kualitas kerja KPPS. KPU
mengupayakan tingkat kesalahan pengisian formulir C1 bisa nol persen.
Dengan demikian hasil penghitungan perolehan suara di TPS persis
sama dengan rekap di atasnya.

13.2. JAMINAN HAK MEMILIH


13.2.1. KTP Elektronik Sebagai Syarat Memilih
Di Pilkada 2017, ada syarat tambahan untuk menjadi pemilih. Dalam
pembahasan revisi kedua UU Pilkada pada tanggal 2 September 2016,
DPR dan Pemerintah bersepakat bahwa persyaratan untuk menjadi
pemilih harus memiliki KTP elektronik.
UU No 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan, pada Pasal
58 Ayat (4), disebutkan bahwa KTP elektronik digunakan untuk antara
lain pelayanan publik; perencanaan pembangunan; alokasi anggaran;
pembangunan demokrasi; dan penegakan hukum dan pencegahan
kriminalitas. Khusus dalam kaitannya dengan pilkada, manfaat KTP
elektronik terkait dengan pemanfaatan pembangunan demokrasi.
Pemanfaatan tersebut antara lain untuk penyiapan DAK2 dan/atau
penyiapan DP4.
Dalam UU No 10/2016, KTP elektronik ada pada pengaturan soal
syarat dukungan calon perseorangan, pendataan pemilih, dan syarat
penggunaan hak pilih. Pasal 200A Ayat (4) menekankan syarat dukungan

PENYELENGGARAAN
274 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
calon perseorangan harus menggunakan bukti dukungan dengan
KTP elektronik. Aturan ini berlaku terhitung sejak bulan Januari 2019.
Pasal 61 Ayat (1) mengatur, dalam hal masih terdapat penduduk yang
mempunyai hak pilih belum terdaftar dalam daftar pemilih tetap, yang
bersangkutan dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan
KTP elektronik. Sementara Pasal 57 mengatur, dalam hal warga negara
Indonesia tidak terdaftar sebagai pemilih pada saat pemungutan suara
menunjukkan KTP elekronik.
DPR RI meyakini bahwa ketentuan tersebut dapat mencegah pemilih
fiktif atau pemilih yang dimobilisasi dari luar daerah pemilihan untuk
memenangkan salah satu peserta Pilkada saat hari pemungutan suara
yang selama ini masih merupakan persoalan dalam pelaksanaan Pilkada.
Ketentuan ini juga diharapkan dapat mendorong data kependudukan
lengkap dan akurat. Dengan demikian, data kependudukan tidak akan
terus menerus dipermasalahkan setiap kali pemilu. Selain itu, ketentuan
ini diharapkan dapat mendorong kesadaran masyarakat sekaligus
membantu masyarakat untuk memiliki KTP elektronik agar lebih mudah
mendapatkan pelayanan publik.
KPU agak berbeda. KPU keberatan dengan persyaratan ini karena
masih banyak masyarakat yang belum melakukan perekaman data
sehingga terancam kehilangan hak konstitusional untuk memilih. Selain
itu, KPU berpegangan pada Pasal 200A Ayat 4 UU 10/2016 tentang
Pilkada. Pasal itu menyebutkan, syarat terdaftar sebagai pemilih
menggunakan KTP elektronik baru akan diberlakukan terhitung sejak
Januari 2019.
Per Agustus 2016, Kemendagri mencatat ada sekitar 22 juta penduduk
Indonesia yang belum melakukan perekaman data kependudukan untuk
pembuatan KTP elektronik. Ada lima provinsi dengan jumlah penduduk
terbanyak yang belum melakukan perekaman data kependudukan.
Lima provinsi itu adalah Jawa Barat dengan 3.717.226 warga yang belum
melakukan perekaman, Jawa Timur (3.225.386), Jawa Tengah (2.551.601),
Sumatera Utara (2.429.872), dan Lampung (2.320.615).
Saat menyusun DPS bulan November 2016, KPU mencatat jumlah
pemilih yang terdaftar dalam DPS Pilkada 2017 adalah 41.987.331 orang.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 275
Dari jumlah itu, awalnya ada 3.972.646 pemilih yang tercatat belum
memiliki KTP elektronik. Namun, sesudah KPU melakukan sinkronisasi
data dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kementerian Dalam Negeri serta dinas dukcapil di daerah, jumlah
pemilih yang belum merekam dan memiliki KTP elektronik tinggal
1.550.109 orang.
Di sejumlah daerah, pemilih yang belum memiliki KTP elektronik
ternyata cukup banyak. Di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, misalnya,
masih ada 291.760 pemilih. Di Pati, Jawa Tengah, ada 147.858 pemilih
yang belum punya KTP elektronik.
KPU menginstruksikan PPS untuk menyurati para pemilih yang
belum memiliki KTP elektronik. PPS diminta mengingatkan agar mereka
segera merekam data di Disdukcapil setempat agar bisa mengikuti
Pilkada.
Dari silang sengkarut data pemilih dan KTP elektronik ini, setidaknya
ada empat kategori pemilih. Pertama, pemilih yang terdaftar di DPT
dan mempunyai KTP elektronik. Kategori pemilih pertama ini sudah
jelas dapat memilih pada 15 Februari 2017.
Kategori pemilih kedua adalah pemilih yang terdaftar di DPT, sudah
melakukan perekaman KTP elektronik, tetapi belum mendapatkan
KTP elektronik. Kondisi ini terjadi karena ketersediaan blangko KTP
elektronik per tanggal 1 Oktober 2016 telah habis.
Menanggulangi hal tersebut, pada tanggal 29 September 2016,
Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Surat bernomor 471.13/10231/
DUKCAPIL yang ditujukan kepada Kepala Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota seluruh Indonesia. Poin tiga Surat
Edaran tersebut menegaskan, dalam hal penduduk telah melakukan
perekaman KTP elektronik, tetapi belum mendapatkan fisik KTP elekt
ronik, maka disdukcapil dapat menerbitkan Surat Keterangan sebagai
Pengganti KTP Elektronik, yang menerangkan bahwa penduduk ter
sebut benar-benar sudah melakukan perekaman KTP elektronik dan
penuduk yang bersangkutan telah terdata dalam database kependudukan
kabupaten/kota. Surat ini digunakan untuk kepentingan pemilu.
Sesuai dengan Pasal 4 huruf d dan e PKPU 8/2016, surat ini bisa

PENYELENGGARAAN
276 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
digunakan untuk dapat didaftar sebagai pemilih. Dalam pasal tersebut
disebutkan, untuk terdaftar di DPT, pemilih harus memenuhi syarat,
antara lain berdomisili di daerah pemilihan yang dibuktikan dengan
KTP elektronik. Atau jika belum memiliki KTP elektronik, pemilih dapat
menggunakan surat keterangan dari dinas dukcapil setempat.
Kategori pemilih ketiga adalah pemilih yang telah mempunyai KTP
elektronik atau surat keterangan pengganti KTP elektronik, tetapi belum
terdaftar di DPT. KPU menempatkan pemilih ini dengan kategorisasi
pemilih tambahan yang didaftar di DPTb. Pemilih kategori ini bisa
memilih dengan membawa KTP elektronik atau surat keterangan
tersebut dan dilayani pada jam 12.0013.00.
Sedangkan kategori pemilih keempat adalah pemilih yang belum
melakukan perekaman KTP elektronik dan karenanya tidak terdaftar di
DPT. Kompas (8/2) mencatat masih ada 13.421 warga di 63 daerah yang
belum diverifikasi. Mereka belum dimasukkan ke dalam daftar pemilih
tetap (DPT) karena tak masuk dalam daftar potensial pemilih pemilu
(DP4) serta belum memiliki KTP elektronik ataupun surat keterangan
kependudukan dari dinas kependudukan dan catatan sipil setempat.
Warga yang belum melakukan perekaman itu terancam tak dapat
ikut memilih pada Pilkada karena belum terdaftar di DPT. Terobosan
hukum diperlukan untuk menjamin hak semua warga negara untuk
menggunakan hak pilihnya.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, mengatakan, perso
alan hilangnya hak pilih karena belum melakukan perekaman da
ta kependudukan bukan semata-mata masalah administrasi kepen
dudukan. Namun, hal itu menyangkut masalah yang lebih besar, yaitu
keterpenuhan hak konstitusional warga negara untuk menggunakan
hak pilihnya. Apabila dipaksakan, hak pilih pun tercederai. Negara ber
arti telah melakukan kejahatan konstitusional kepada warganya. Pa
dahal, negara seharusnya wajib melindungi dan memastikan hak pilih
warganya terjamin.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 277
13.2.2. Melayani Pemilih dengan KTP Elektronik
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menginstruksikan jajarannya
berkoordinasi dengan KPU untuk mencari solusi atas persoalan daftar
pemilih dalam Pilkada 2017. Salah satu solusi yang dikaji adalah
membolehkan calon pemilih yang tidak terdaftar di daftar pemilih dan
belum memiliki KTP elektronik untuk memilih dengan menunjukkan
kartu keluarga. Ini berarti kembali ke aturan yang berlaku pada Pilkada
2015.
KPU menilai, pihaknya tidak bisa membuat kebijakan khusus untuk
memperbolehkan calon pemilih menggunakan hak suaranya di luar
ketentuan UU No 10/2016. Pasalnya, KPU harus memastikan adanya
aspek kepastian hukum dalam Pilkada.
KPU tidak bisa kembali menerapkan aturan sesuai dengan norma
dalam UU No 8/2015 tentang Pilkada yang dipakai pada Pilkada
2015. Dalam aturan lama itu, jika pemilih tak terdaftar dalam daftar
pemilih tetap dan tidak memiliki KTP, mereka bisa memilih dengan
menunjukkan kartu identitas lainnya, seperti kartu keluarga, satu jam
sebelum pemungutan suara berakhir.
PKPU 8/2016 BAB VIIIA sebetulnya memuat ketentuan peralihan.
Salah satu ketentuan peralihan itu adalah dibolehkannya surat kete
rangan untuk memilih. Pasal 41A ayat (1) menekankan, dalam hal pe
milih belum mempunyai KTP elektronik, pemilih dapat memilih dengan
menggunakan surat keterangan paling lambat bulan Desember 2018.
Jika dirunut, surat keterangan yang dimaksud adalah surat yang
diterbitkan oleh dinas yang menyelenggarakan urusan kependudukan
dan catatan sipil setempat yang menerangkan bahwa pemilih telah
berdomisili di wilayah administratif yang sedang menyelenggarakan
pemilihan. Ketentuan ini merujuk pada PKPU 8/2016 Pasal 1. Namun,
Kemendagri hanya menerbitkan Surat Keterangan Pengganti KTP
Elektronik. Dari landasan hukum UU No 10/2016 yang digunakan
itu, jika individu tidak terdaftar di daftar pemilih, tidak memiliki KTP
elektronik atau surat keterangan, maka KPU tidak bisa memfasilitasi.
Ini karena akan sulit untuk mengonfirmasi atau membuktikan identitas

PENYELENGGARAAN
278 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
calon pemilih itu.
Pada pelaksanaan pemungutan suara 15 Februari 2017, pemilih
dengan surat keterangan ini menjadi kendala yang jadi sorotan. Pertama,
ada kekhawatiran pemalsuan surat keterangan. Kedua, perlakuan
petugas KPPS tak seragam di tiap-tiap TPS dalam melayani pemilih ini.
Surat Keterangan Pengganti KTP Elektronik, sebagaimana terlampir
dalam Surat 471.13/10231/DUKCAPIL, tak disertai alat verifikasi
memadai yang bisa menunjukkan keaslian surat. Surat tersebut memuat
keterangan; nomor; elemen data KTP elektronik dalam database beserta
foto dan barcode; serta nama kepala Disdukcapil yang mengeluarkan
surat beserta tanda tangan dan stempel. Namun, di TPS tidak ada
alat pemindai yang dapat memastikan hal tersebutKPU mencoba
mengantisipasi hal tersebut dengan menganjurkan pemilih untuk
membawa juga kartu keluarga sebagai alat verifikasi. Petugas KPPS
akan mencocokkan data pada KTP elektronik atau surat keterangan
dengan data pada kartu keluarga.
Sementara Kemendagri, pada tanggal 31 Januari 2017, mengeluarkan
Surat 470/1210/DUKCAPIL yang ditujukan pada Kepala Dinas Ke
pendudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
Dengan merujuk pada surat sebelumnya, Mendagri menginstruksikan
Disdukcapil untuk melakukan rekapitulasi Surat Keterangan Kepen
dudukan yang telah diterbitkan Disdukcapil. Rekapitulasi tersebut
kemudian dicetak dan diserahkan kepada KPU kabupaten/kota.
Rekapitulasi ini bisa jadi alat kontrol KPU untuk mengecek apakah surat
keterangan yang dibawa pemilih benar dikeluarkan oleh disdukcapil.
Di TPS, petugas KPPS tak seragam melayani pemilih tambahan.
Berdasarkan laporan Perludem, 70 persen laporan masuk selama Pilkada
DKI 2017 adalah soal DPT dan undangan memilih (formulir C6). Masih
ada perbedaan pemahaman aturan sehingga otonomi petugas KPPS
berbeda di setiap TPS.
Prosedur pemungutan suara pemilih yang terdaftar di DPTb diatur
pada PKPU 14/2016 Pasal 10 dan Pasal 37. Pemilih yang tidak terdaftar
dalam DPT menggunakan hak pilihnya dengan ketentuan menunjukkan
KTP elektronik atau Surat Keterangan kepada KPPS. Ia didaftar pada

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 279
DPTb ke dalam formulir A.Tb-KWK.
Hak pilih pemilih pada DPTb dapat digunakan di TPS yang berada di
RT/RW atau sebutan lain sesuai dengan alamat yang tertera dalam KTP
elektronik atau Surat Keterangan. Penggunaan hak pilih dilakukan satu
jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS. KPPS memberikan
surat suara kepada pemilih tersebut apabila surat suara masih tersedia.
Pada implementasinya di lapangan, penggunaan KTP elektronik
oleh pemilih yang terdaftar di DPTb bersengkarut dengan penggunaan
KTP elektronik oleh pemilih yang terdaftar di DPT tapi tak mendapat
formulir C6.
Pasal 11 PKPU No 14/2016 membolehkan pemilih yang telah ter
daftar di DPT tapi tidak mendapat atau membawa formulir C6
(surat pemberitahuan pemungutan suara) untuk memilih dengan
menunjukkan KTP elektronik atau surat keterangan. Bedanya, pemilih
yang terdaftar di DPT ini boleh memilih di jam regularbukan di satu
jam terakhir.

Prosedur lengkap ada di Pasal 15 PKPU 14/2016 sebagai berikut:


1. Apabila sampai dengan 3 (tiga) hari sebelum hari Pemungutan
Suara terdapat Pemilih yang belum menerima formulir Model
C6-KWK, Pemilih yang bersangkutan dapat meminta formulir
Model C6- KWK kepada Ketua KPPS paling lambat 1 (satu) hari
sebelum hari Pemungutan Suara dengan menunjukkan Kartu
Tanda Penduduk Elektronik atau Surat Keterangan.
2. Dalam hal formulir Model C6-KWK yang telah diterima oleh
Pemilih hilang, Pemilih menggunakan hak pilih pada hari Pe
mungutan Suara dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk
Elektronik atau Surat Keterangan.
3. Ketua KPPS meneliti nama Pemilih yang belum menerima
formulir Model C6-KWK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam DPT, dan mencocokkan dengan Kartu Tanda Penduduk
Elektronik atau Surat Keterangan.
4. Apabila dari hasil pencocokan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), nama Pemilih terdaftar dalam DPT, Ketua KPPS memberikan

PENYELENGGARAAN
280 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
formulir Model C6-KWK kepada Pemilih.
5. Apabila sampai dengan hari Pemungutan Suara terdapat Pemilih
yang terdaftar dalam DPT belum menerima formulir Model C6-
KWK, Pemilih yang bersangkutan dapat memberikan suara di
TPS dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk Elektronik
atau Surat Keterangan.
6. Anggota KPPS Keempat atau Anggota KPPS Kelima meneliti
nama Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (5) pada DPT,
dan mencocokkan dengan Kartu Tanda Penduduk Elektronik
atau Surat Keterangan.
7. Apabila dari hasil pencocokan sebagaimana dimaksud pada
ayat (6), nama Pemilih terdaftar dalam DPT, Pemilih yang ber
sangkutan dapat menggunakan hak pilihnya.

Selain bersengkarut dengan pengguna KTP elektronik pemilih di


DPT, petugas KPPS juga merancukan aturan Pasal 37 PKPU No 14/2016:
KPPS memberikan surat suara kepada pemilih yang terdaftar di DPTb
apabila surat suara masih tersedia.
KPPS beranggapan, pemilih di DPTb, yang memilih dengan KTP
Elektronik atau surat keterangan, hanya bisa menggunakan surat suara
cadangan. Anggota KPPS tak berani menggunakan surat suara untuk
DPT karena khawatir para pemilih di daftar itu belum dan akan datang.
Sebagai contoh, berdasarkan laporan Kompas, di KPPS TPS 041 rumah
susun Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, ada 94 orang yang
masuk DPTb. Petugas KPPS tak bisa berbuat banyak karena jumlah
surat suara terbatas. Lalu, Panitia Pemungutan Suara (PPS) Kelurahan
Petamburan datang dan meminta DPTb untuk menyebar ke TPS-TPS
terdekat. Namun, upaya itu tidak berdampak signifikan. Surat suara di
TPS lain juga terbatas.
Di TPS, surat suara dicetak berdasarkan jumlah DPT ditambah surat
suara cadangan sebanyak 2,5 persen di setiap TPS. Di DKI Jakarta, ber
dasarkan data di Pilkada2017, ada sekitar 7.1 juta pemilih yang tersebar
di 13.023 TPS. Rata-rata ada 545 pemilih di setiap TPS. Maka hanya ada
sekitar 13 lembar surat suara cadangan.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 281
Bawaslu DKI mencatat kekurangan surat suara dan kekurangan surat
pernyataan DPTb jadi dua dari empat kategori dugaan pelanggaran
selama Pilkada DKI. Dua kategori lain, penggunaan formulir C6 milik
orang lain dan penggunaan formulir C6 yang diduga palsu, patut diduga
sebagai pelanggaran.
Kasus-kasus di lapangan ini sebenarnya bermula dari belum ajegnya
daftar pemilih. Penambahan syarat KTP elektronik sebagai syarat
memilih, padahal masih banyak yang belum merekam, membuat KPU
mesti merancang peraturan yang di satu sisi mesti mengakomodasi hak
pilih, di sisi lain mesti meminimalisasi kecurangan.
Banyaknya aturan mendadak, ketiadaan buku panduan baku, dan
munculnya sifat over protektif petugas menyusul isu kecurangan
menjadi kendala lapangan yang membuat hak pilih tergadaikan.

PENYELENGGARAAN
282 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
14

Penetapan Hasil

T
ahapan pamungkas dari pelaksanaan pilkada adalah pe
netapan hasil. Penyelenggaraan pilkada yang berintegritas
sa
lah satunya dapat dilihat dari penetapan hasil. Pe
netapan hasil yang bermasalah bisa memicu para kan
didat dan masa pendukungnya beraksi melakukan protes dan peno
lakan penyelenggaraan yang pada tahapan-tahapan awal tidak
dipermasalahkan. Aksi ini tak jarang berujung rusuh dan menimbulkan
konflik horizontal antarmasyarakat.
UU No 10/2016 tidak menjadikan penetapan hasil pilkada sebagai
tahapan tersendiri. Tahapan penetapan hasil disatukan dengan
tahapan rekapitulasi penghitungan suara. Penetapan hasil pilkada,
meskipun merupakan kelanjutan dari rekapitulasi penghitungan suara,
sesungguhnya memiliki substansi berbeda. Tahap rekapitulasi hanya
menjumlah suara. Sementara penetapan hasil pilkada adalah penerapan
formula pasangan calon terpilih. Selain itu tahapan ini juga menjadi titik
pijak untuk pelantikan atau gugatan sengketa hasil pilkada.
UU No 10/2016 membawa formula baru penetapan pasangan calon
terpilih. UU tersebut menerapkan formula pluralitassiapapun yang
meraih suara tertinggi berapapun angkanya, dia menjadi calon terpilih.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 283
Perludem memandang formula ini membawa keunggulan. Secara
anggaran hal ini jelas menghemat dan membuat penyelenggaraan pilkada
terjadwal dengan baik, sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan
pemerintahan; secara politik, juga tidak menimbulkan banyak masalah.
Selain itu, formula pluralitas juga mendorong sikap rasional elite politik
untuk bekerja sama membangun koalisi dan menciptakan blok politik
sederhana, sehingga menjadikan pemerintahan daerah berjalan lebih
efektif.
Penetapan hasil pilkada menjadi titik pijak yang dapat memberikan
gambaran pemerintahan seperti apa yang akan berjalan. Namun, pilkada
Indonesia mengandung ironi: proses pilkada yang demokratis tak selalu
menghasilkan pemerintahan yang baik.
Hal ini menunjukkan bahwa kerangka hukum pilkada belum ajeg
merumuskan tujuan pemilu. Dengan memeriksa UU Pilkada yang terbit
pascaperubahan UUD 1945, bisa disimpulkan bahwa pembuat undang-
undang pemilu tidak menjadikan pemerintahan efektif sebagai tujuan
pemilu. Padahal, menurut beberapa ilmuwan politik, pemerintahan
efektif adalah salah satu tujuan pemilu yang harus diperhatikan.
Pengalaman Pilkada 2015 dan 2017 memberi pelajaran bahwa pe
merintahan yang dihasilkan oleh pilkada lebih banyak berupa pe
merintahan daerah terbelah, di mana kepala daerah terpilih bukan
berasal dari partai koalisi yang kuat. Hal ini membuat pengambilan ke
bijakan menjadi sulit. Sebab pengambilan keputusan di daerah tidak bisa
semata-mata digantungkan pada kualitas personal kepala daerah, tetapi
juga harus dipengaruhi oleh peta politik parlemen yang mendukungnya.
Tahapan penetapan hasil pilkada juga menjadi titik pijak untuk
gugatan sengketa hasil pilkada. Keinginan pasangan calon menyelesaikan
sengketa hasil pilkada melalui jalur peradilan seperti saat ini memang
patut diapresiasi. Setidaknya ada peningkatan kesadaran berdemokrasi
bahwa setiap persoalan sengketa kepemiluan dibawa ke ranah hukum
dan tidak lagi dilakukan dengan gesekan dan ketidakpuasan yang tidak
terarah.

PENYELENGGARAAN
284 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
14.1. SENGKETA HASIL
14.1.1. Pemutus Sengketa Hasil Pilkada
Proses perselisihan hasil pilkada jadi dinamika tersendiri setelah KPU
menetapkan hasil pilkada. Peradilan pemilu yang menangani sengketa
hasil jadi elemen kunci yang harus tersedia dalam sebuah mekanisme
pemilihan yang berintegritas.
Keberatan terhadap proses, pelanggaran hak dan/atau perbedaan
pendapat terhadap hasil pemilu ini menjadi materi dari sengketa
pemilu. Sengketa pemilu secara harfiah mengandung pengertian yang
luas. Hasil penelitian IDEA mendefinisikan sengketa pemilu (electoral
dispute) sebagai any complaint, challenge, claim or contest relating to any
stage of electoral process. Kata challenge, dalam konteks electoral
challenge, diartikan sebagai a complaint lodged by an electoral participant
or stakeholder who believes that his or her electoral right have been violated.
Dengan demikian, dapat ditarik pengertian bahwa sengketa pemilu
adalah keluhan dan penentangan terhadap sesuatu yang terjadi pada
tahapan proses pemilu, yang dianggap telah mencederai hak, atau mem
pertanyakan hasil pemilu, yang dapat diajukan oleh setiap pemangku
kepentingan dalam pemilu.
Lika-liku mengenai siapa yang berwenang memeriksa dan me
nyelesaikan perkara perselisihan hasil pilkada telah terjadi lama. Secara
kronologis, semula berdasarkan ketentuan Pasal 106 ayat (1) dan ayat (2)
UU No 32/2004, keberatan berkenaan dengan hasil penghitungan suara
yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon diajukan ke MA.
UU No 1/2015 memberikan kembali wewenang menyelesaikan seng
keta hasil pilkada kepada Mahkamah Agung (MA). Pasal 157 ayat (1)
UU No 1/2015 menekankan, penanganan perselisihan hasil pemilihan
kepala daerah menjadi wewenang pengadilan tinggi yang ditunjuk oleh
MA. PP No 6/2005 sebagai peraturan pelaksana dari UU Pemda juga
mencantumkan ketentuan tersebut.
Secara teknis, prosedur beracara dalam sengketa hasil pilkada di
Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan MA No 2/2005
yang menyatakan: Mahkamah Agung berwenang memeriksa keberatan

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 285
terhadap penetapan hasil penghitungan suara tahap akhir dari KPUD tentang
pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi.
Sejak perubahan UU No 32/2004 menjadi UU No 12/2008, ke
we nangan tersebut beralih dari MA ke MK. Ketentuan tersebut di
tindaklanjuti dengan penandatanganan berita acara pengalihan
wewenang mengadili perselesihan hasil oleh Ketua MA dan Ketua MK
pada 29 Oktober 2008.
Dalam perjalanannya, terdapat permohonan pengajuan uji materi
UU 12/2008 Tentang Pemda terkait kewenangan MK menyelesaikan
perselisihan hasil Pilkada. MK mengeluarkan Putusan bernomor 97/
PUU-XI/2013 pada Mei 2013 yang menyatakan bahwa dimasukkannya
pilkada sebagai bagian dari rezim pemilu bertentangan dengan UUD
1945. Hal ini membawa konsekuensi bahwa MK tidak lagi memiliki
wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara perselisihan hasil
Pilkada karena kewenangan MK sudah disebutkan secara limitatif di
dalam UUD 1945, yaitu memutus perselisihan hasil pemilu.
Di akhir tahun 2014, Perppu No 1/2014 terbit. DPR juga langsung
menyetujui Perppu tersebut dengan UU No 1/2015. Di UU tersebut,
kewenangan penyelesaian sengketa hasil ada di MA. Namun, ketentuan
tersebut ditolak MA secara institusional dan terbuka. Beberapa
argumentasi MA di antaranya adalah, pertama, masih banyak perkara
untuk diselesaikan sehingga jika ditambah lagi dengan kewajiban
menyelesaikan sengketa Pilkada, tumpukan perkara di MA akan sema
kin menggunung. Kedua, di tengah reformasi kelembagaan MA untuk
kembali menjadi lembaga peradilan yang dihormati, MA berpotensi
kembali digoyang dengan kewajiban menyelesaikan sengketa Pilkada
ini. Pertempuran politik dalam memperebutkan kekuasaan dalam
pemilihan kepala daerah bukanlah tantangan sederhana untuk peng
adilan tinggi dan MA.
Sengketa hasil pilkada di MA pun urung ditetapkan. UU No 8/2015
mengamanatkan MK sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan
sengketa hasil pilkada sebelum dibentuk badan peradilan khusus. Ke
tentuan ini selaras dengan Putusan No MK 97/PUU-XI/2013 yang
dalam amarnya juga menyatakan bahwa MK masih berwenang

PENYELENGGARAAN
286 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
memutus perkara perselisihan hasil pilkada sebelum ada lembaga yang
ditentukan oleh pembentuk undang-undang.
Melihat proses pelaksanaan perselisihan hasil pemilihan kepala
daerah yang sudah terjadi selama ini, MK dinilai oleh Perludem dan KoDe
Inisiatif sebagai lembaga yang paling ideal untuk tetap menyelesaikan
perselisihan hasil pilkada.
Ada beberapa indikator yang bisa dilihat. Pertama, secara kelem
bagaan dan supporting peradilan, MK adalah lembaga yang dinilai
jauh lebih siap dalam menyelesaikan proses perselisihan hasil Pilkada.
Kedua, setelah melihat kinerja MK selama lebih kurang 8 tahun dan
mengadili lebih 700 perselisihan hasil Pilkada, MK cukup terbuka dalam
menyelenggarakan tugas dan fungsinya. Ketiga, proses perselisihan hasil
Pilkada yang membutuhkan suatu proses peradilan yang transparan
dan akuntabel, karena merupakan panggung untuk memperebutkan
jabatan politik daerah, MK sangat memenuhi syarat sebagai peradilan
modern yang dapat menyelesaikan kewajiban tersebut.
MK memiliki teknis persidangan yang cukup rapi, dan dukungan
teknologi dan informasi yang maksimal untuk mendukung tugas dan
wewenangnya. Atas dasar itu, penyelesaian perselisihan hasil Pilkada
direkomendasikan tetap diselesaikan oleh MK.
Hanya saja, benturan dengan rekomendasi ini, UU No 10/2016
memandatkan perselisihan hasil Pilkada diselesaikan oleh suatu badan
khusus penyelesai sengketa Pilkada. Kewenangan lembaga ini yang
hanya akan menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada dinilai mubazir
jika harus dikerjakan oleh satu lembaga baru. Padahal MK sudah dengan
sangat baik melaksanakan hal ini.
Namun, jika memang hendak membuat suatu badan khusus peradilan
pemilu, maka penting untuk didiskusikan lebih jauh, bagaimana
lembaga ini akan dijalankan. Misalnya, untuk menyelesaikan sengketa
pencalonan, penanganan pelanggaran administrasi pemilu, dan pelang
garan pidana pemilu. Oleh karena itu, kedepan perlu ada kajian lebih
mendalam untuk menyiapkan alternatif penyelesaian sengketa.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 287
14.1.2. Mencari Keadilan di Sengketa Pilkada
Begitu pintu pengajuan sengketa dibuka 18-21 Desember 2015
silam, ratusan gugatan berdatangan ke MK, dengan KPU sebagai pihak
termohon. Sidang sengketa PHP tersebut tidak hanya menjadi ajang
bagi pasangan calon dalam menyampaikan keberatan atas hasil pilkada,
tetapi juga menjadi sarana bagi KPU untuk mencari keadilan.
KPU mencatat ada 151 Permohonan PHP di MK. Dari 151 permohonan
tersebut, 7 permohonan dicabut, 3 permohonan ditolak seluruhnya, 135
permohonan tidak dapat diterima, 5 permohonan diputus sela.
Dugaan pelanggaran yang dipermasalahkan apabila dijabarkan
meliputi permainan politik uang, pelibatan aparatur sipil negara,
ketidaknetralan penyelenggara, hingga manipulasi data hasil Pilkada.
Beberapa perkara yang tidak diterima permohonannya antara lain
disebabkan oleh syarat waktu pengajuan yang melewati batas 3x24
jam dari penetapan hasil (40 perkara), serta kedudukan (legal standing)
lantaran pemohon gagal memenuhi syarat selisih suara yang diatur
dalam pasal 158 UU 8/2015, pasal 6 PMK 1-5/2015 (94 perkara).
Tujuh permohonan yang dilanjutkan ke sidang pembuktian pokok
perkara antara lain Solok Selatan Sumatera Barat (syarat 2%, selisih suara
501), Kuantan Sengingi Provinsi Riau (syarat 1,5%, selisih suara 348),
Bangka Barat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (syarat 2%, selisih
suara 250), Kotabaru Kalimantan Selatan (syarat 1,5%, selisih suara 332),
Muna Sulawesi Tenggara (syarat 2%, selisih suara 33), Kepulauan Sula
Maluku Utara (2%, selisih suara 169), Halmahera Selatan Maluku Utara
(2%, selisih suara 18), Membramo Raya Provinsi Papua (2%, selisih suara
149) serta Teluk Bintuni Papua Barat (2%, selisih suara 7).
Hasil kajian Perludem dan KoDe Inisiatif mencatat enam hal penting
dalam proses penyelesaian sengketa tersebut.
Pertama soal selisih pendapat tentang syarat selisih suara. Undang-
undang tidak menjelaskan tatacara menghitung selisih suara. Akibatnya
muncul tafsir berbeda antara MK dengan pemohon. MK menafsirkan
cara penghitungan yang justru semakin mempersempit selisih suara
sehingga banyak pemohon yang gugatannya gugur.

PENYELENGGARAAN
288 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Kedua soal dalil permohonan yang banyak digunakan oleh pemohon.
Dalil permohonan dari 147 kasus terbagi menjadi 7 kelompok yakni
kesalahan penghitungan suara (22 kasus), manupulasi DPT (12 kasus),
ketidaknetralan penyelenggara Pilkada (63 kasus), penambahan suara
(5 kasus), masifnya politik uang (12 kasus) dan politisasi birokrasi (26
kasus).
Ketiga, penyelenggara yang banyak dipersoalkan paling banyak
KPU kabupaten/kota (81 kasus), KPPS (34 kasus), PPK (19 kasus), PPS/
penyelenggara tingkat desa (11 kasus), dan KPU propinsi paling sedikit
dari yang lainnya (2 kasus). Namun penting menjadi catatan bahwa
tinggi rendahnya angka itu terkait dengan tingkat penyelenggaraan.
Mengingat Pilkada paling banyak di kabupaten/kota maka daerah ini
yang paling banyak dipersoalkan.
Keempat, waktu pengajuan permohonan berlaku sangat terbatas
yakni hanya 3 x 24 jam. Waktu pengajuan permohonan ini dinilai sa
ngat terbatas sehingga mengakibatkan banyak daerah mengalami
ke
terlambatan dalam pengajuan permohonan. Keterlambatan itu
umumnya disebabkan oleh kendala geografis, transportasi, hingga ma
salah teknis diterbitkannya surat keputusan KPU yang dijadikan objek
pengajuan gugatan.
Kelima, mekanisme pemeriksaan pendahuluan berjalan tidak
sebagaimana seharusnya. Esensi pemeriksaan pendahuluan ini adalah
untuk memberikan kesempatan bagi majelis hakim memberikan nasihat
terhadap permohonan yang diajukan. Akan tetapi, pemohon tidak
diberikan kesempatan untuk memperbaiki permohonan berdasarkan
nasihat majelis hakim. Mahkamah justru menjadikannya sebagai forum
untuk pemeriksaan syarat selisih suara.
Keenam, proses pembuktian baik pemberian keterangan saksi,
ahli maupun bukti berupa surat. Mahkamah dalam proses ini justru
membatasi jumlah saksi yakni maksimal 5 orang saksi. Akibatnya, tidak
cukup ruang untuk menggali informasi mengingat masing-masing
daerah mengajukan persoalan jauh lebih banyak dari itu. Akibatnya,
tidak setiap persoalan bisa dielaborasi secara mendalam. Sebagai
proses peradilan yang mencari keadilan materil, sebaiknya tidak

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 289
ada pembatasan saksi yang diharuskan kepada pemohon. Selain itu,
ditemukan banyak penyelenggara yang justru menjadi saksi para pihak
bersengketa.
Sementara pada Pilkada 2017, dilansir dari website MK per (2/3), MK
telah menerima 49 perkara sejak dibukanya pendaftaran permohonan.
MK membuka pengajuan permohonan perselisihan hasil Pilkada
kabupaten/kota dari tanggal 2228 Februari 2017 dan perselisihan
hasil Pilkada provinsi dari tanggal 27 Februari hingga 1 Maret 2017.
Hasil kajian JPPR menunjukkan, dari 49 permohonan sengketa yang
diterima MK, ada 12 daerah yang masuk kategori pelanggaran tinggi
dan 19 masuk kategori pelanggaran sedang. Kajian ini menggunakan
tujuh indikator kuantitatif dan kualitatif, di antaranya politik uang,
logistik Pilkada, penggunaan fasilitas daerah dan mobilisasi aparatur
sipil negara, praktik intimidasi, serta proses pencalonan.
Permohonan sengketa yang masuk ke MK itu diprediksi akan
banyak yang gugur jika MK tetap berpegang pada Pasal 158 UU No
10/2016. MK menurunkan ketentuan tersebut menjadi Peraturan MK
No 1/2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan
Hasil Pilkada juncto Peraturan MK No 5/2015. Dalam pasal tersebut,
ambang batas selisih perolehan suara masih akan tetap menjadi penentu
dalam memutuskan apakah sengketa perselisihan hasil pemilihan
yang diajukan akan dihentikan atau diteruskan. Peserta Pilkada bisa
mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan
suara ke MK jika memenuhi ambang batas selisih suara paling banyak
0,5-2 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir
yang ditetapkan KPU provinsi atau kabupaten/kota. Besaran persentase
ini diatur UU sesuai dengan jumlah penduduk di daerah itu.
Berdasarkan data KPU, hanya ada tujuh daerah yang memenuhi
syarat ambang batas selisih perolehan suara untuk mengajukan sengketa
PHPU, yakni Provinsi Sulawesi Barat, Kabupaten Maybrat (Papua
Barat), Bombana (Sulawesi Tenggara), Takalar (Sulawesi Selatan), Gayo
Lues (Aceh), Kota Salatiga (Jawa Tengah), dan Kota Yogyakarta (DIY).
Berdasarkan kajian JPPR terhadap jenis pelanggaran, tidak tepat jika
MK hanya berpatokan pada selisih perolehan suara dan mengabaikan

PENYELENGGARAAN
290 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Pilkada tidak hanya soal hasil,
tetapi juga ada banyak proses yang bisa dilihat, apakah berjalan adil
atau tidak.
Hal tersebut bisa bertentangan dengan prinsip keadilan pemilu. Jika
ada persoalan substansial dan punya signifikansi suara, MK semestinya
memeriksa lebih lanjut permohonan itu walau ada selisih suara yang
jauh.
Saldi Isra, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, mengusul
kan pembatasan tersebut bisa diterobos sekiranya alasan permohonan
karena adanya pelanggaran yang bersifat TSM. Sebagai peradilan
konstitusi, MK tak boleh terbelenggu aturan-aturan keadilan prosedural
yang memasung keadilan substantif.

14.2. PEMERINTAHAN HASIL PILKADA


14.2.1. Pemerintahan Terbelah
Koalisi partai politik pengusung gubernur dan wakil gubernur
pemenang Pilkada 2015 dan 2017 dibangun dalam fondasi yang lemah.
Rata-rata, gubernur dan wakil gubernur tak didukung oleh koalisi kursi
di parlemen. Di sembilan provinsi yang melangsungkan Pilkada 2015,
tak ada satu pun gubernur yang didukung oleh koalisi mayoritas
partai politik atau gabungan partai politik dengan persentase kursi lebih
dari 50 persen.
Pasangan Irianto Lambrie dan Udin Hianggio sebagai gubernur
terpilih Provinsi Kalimantan Utara menjadi kepala daerah dengan
jumlah dukungan kursi koalisi partai politik di DPRD Provinsi paling
banyak sebesar 46 persen dari 35 kursi DPRD.
Daftar lengkap kepala daerah di provinsi yang melaksanakan Pilkada
2015 beserta partai pengusung dan persentase kursi koalisinya dapat
dilihat pada tabel berikut.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 291
TABEL 35: GUBERNUR, PARTAI KOALISI, DAN PERSENTASE KURSI
KOALISI HASIL PILKADA 2015

JUMLAH PRESENTASE
NAMA KEPALA DAERAH PARTAI
NO. KURSI KURSI
DAERAH TERPILIH KOALISI
DPRD KOALISI

Provinsi Ridwan Mukti & Nasdem, PKPI,


1. 45 22%
Bengkulu Rohidin Mersyah Hanura, PKB

Provinsi
Irawan Prayitno &
2. Sumatera PKS, Gerindra 65 23%
Nasrul Abit
Barat

Provinsi Zumi Zola & Nasdem, PKB,


3. 55 25%
Jambi Fachrori Umar PAN

Provinsi
Longki Djanggola Gerindra, PAN,
4. Sulawesi 45 29%
& Sudarto PKB, PBB
Tengah

Provinsi Demokrat,
M Sani & Nurdin
5. Kepulauan Nasdem, PKB, 45 38%
Basirun
Riau Gerindra, PPP

Provinsi PDIP, Gerindra,


Sahbirin Noor &
6. Kalimantan PKS, PAN, 55 40%
Rudy Resnawan
Selatan Hanura

Provinsi Olly
7. Sulawesi Dondakambey & PDIP 45 29%
Utara Steven O.E

Provinsi PDIP, PKS,


Irianto Lambrie &
8. Kalimantan Demokrat, PBB, 35 46%
Udin Hianggio
Utara PAN

Provinsi
Sugianto Sabran & PAN, Gerindra,
9. Kalimantan 45 42%
Habib Said Ismail PKB, Demokrat
Tengah

PENYELENGGARAAN
292 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Sementara di tujuh provinsi yang melaksanakan Pilkada 2017, hanya
Banten yang gubernur dan wakil gubernurnya diusung oleh mayoritas
kursi di DPRD. Pasangan Wahidin Halim dan Andika Hazrumy
disokong oleh 67.06 persen dari 85 kursi DPRD. Pasangan lain hanya
mengantongi dukungan di kisaran 30 persen dari kursi DPRD.
Daftar lengkap kepala daerah di provinsi yang melaksanakan Pilkada
2017 beserta partai pengusung dan persentase kursi koalisinya dapat
dilihat pada tabel berikut.

TABEL 36: GUBERNUR, PARTAI KOALISI, DAN PERSENTASE KURSI


KOALISI HASIL PILKADA 2017
JUMLAH
KEPALA DAERAH PERSENTASE
NO. DAERAH PARTAI KOALISI KURSI CATATAN
TERPILIH KURSI KOALISI
DPRD

Partai Nasional
Aceh
Data
Drh. Irwandi Yusuf, Demokrat
masuk
1. Aceh M.Sc dan Ir. H. Nova Partai Damai 81 16.05 persen
99.44(per
Iriansyah, M.T Aceh
4/3)
PKB
PDIP

Golkar
PKB
Dr. H. Wahidin
Hanura
Halim, Msi dan H.
2. Banten Gerindra 85 67.06 persen
Andika Hazrumy,
Demokrat
S.Sos., M.Ap
PKS
PAN

3. DKI Jakarta 106

Drs. H. Rusli
Habibie, M.Ap dan Golkar
4. Gorontalo 45 35.56 persen
Dr. Drs. Hi. Idris Demokrat
Rahim, Mm

Gerindra
Bangka H.Erzaldi Rosman Nasdem
5. 45 20.00 persen
Belitung dan H.Abdul Fatah PKB

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 293
Drs. Dominggus
Nasdem Data
Mandacan dan
Papua PDIP masuk
6. Mohamad Lakotani, 45 26.67 persen
Barat PAN 89.50
SH, M.Si
(per 4/3)

Gerindra
Nasdem
Drs. H. Ali Baal, PKB
Sulawesi
7. M.Si dan Hj. Enny PAN 45 44.44 persen
Barat
Anggraeny Anwar PDIP
PPP

Kondisi ini juga sering disebut dengan pemerintahan terbelah (divided


government). Pemerintahan terbelah terjadi manakala pejabat eksekutif
terpilih bukan berasal dari partai atau koalisi partai yang menguasai
mayoritas parlemen. Ini fenomena umum yang terjadi dalam sistem
pemerintahan presidensial karena anggota legislatif dan pejabat ekse
kutif sama-sama dipilih melalui pemilu. Pengalaman negara-negara
Amerika Latin menunjukkan, manakala pemilu anggota legislatif dan
pemilu pejabat eksekutif diselenggarakan secara terpisah, maka cen
derung menghasilkan pemerintahan terbelah.
Kondisi ini mau tak mau berpengaruh pada proses pengambilan ke
putusan di daerah dalam mewujudkan kehendak rakyat. Setelah meng
alami empat perubahan pada awal reformasi, UUD 1945 menempatkan
DPR dan presiden dalam posisi setara di konteks perumusan kebijakan
dan pengambilan keputusanbegitu pula di daerah. Legislatif meme
gang kekuasaan membentuk undang-undang atau peraturan daerah,
tetapi setiap undang-undang dan peraturan daerah tersebut dibahas
legislatif dan eksekutif untuk dapat persetujuan bersama. Jika tak dapat
persetujuan bersama, RUU atau Raperda tak boleh diajukan lagi dalam
persidangan legsilatif masa itu. Artinya, berapa pun RUU yang diajukan
DPR tak akan jadi UU kalau tidak disetujui eksekutif.
Pasal 101 UU No 9/2015 menegaskan setiap kebijakan publik harus
dibahas bersama-sama antara Gubernur dengan DPRD Provinsi. DPRD
Provinsi bersama gubernur membahas bersama pembentukan Perda

PENYELENGGARAAN
294 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
dan APBD. Bahkan untuk APBD, DPRD Provinsi diberi kewenangan
untuk membahas sekaligus menyetujui RAPBD yang diusulkan oleh
gubernur.
Ketentuan ambang batas pencalonan minimal 20 persen kursi DPRD
dan 25 persen suara sah partai politik bagi partai politik bagi setiap partai
politik yang akan mencalonkan kepala daerah yang diatur dalam UU
No 8/2015 seharusnya dimaknai dalam kerangka membangun koalisi
solid untuk menjalankan pemerintahan selama lima tahun ke depan.
Namun, sayangnya, pembentukan koalisi tidak didasarkan pada hal
ini. Koalisi hanya dibentuk untuk sekadar memenuhi syarat mengajukan
pasangan calon, belum sampai memikirkan pembentukan koalisi
permanen pasca-Pilkada. Dukungan partai politik terhadap pencalonan
kepala daerah sebetulnya bukan hanya penting untuk meraih suara
terbanyak dalam proses pemilu, melainkan penting pula untuk meraih
dukungan parlemen dalam setiap pengambilan keputusan. Seperti yang
diungkapkan oleh Dubes (2008) yang dikutip oleh Pamungkas (Pa
mungkas, 2011, hal. 84) bahwa partai secara tipikal memiliki satu dari
dua motif dalam berkoalisi, yaitu: berorientasi pada kekuasaan (office-
oriented approaches), atau berorientasi pada kebijakan (policy-oriented
approaches). Pada kondisi ini, bangunan koalisi partai politik pengusung
calon gubernur dan wakil gubernur lebih dilandaskan pada faktor
popularitas dan elektabilitas calon untuk meraih kekuasaan.
Padahal, dalam praktiknya, popularitas dan elektabilitas kepala dae
rah terpilih tidak sama sekali berpengaruh terhadap mekanisme peng
ambilan keputusan dalam tata kelola penyelenggaraan pemerintahan di
daerah kelak.
Didik Supriyanto (2016) menekankan koalisi mayoritas dibutuhkan
untuk menjalankan pemerintahan yang efektif. Pemerintahan efektif
atau governability adalah salah satu dari tujuan pemilu yang harus
diperhatikan karena kekecewaan publik atas demokrasi lebih sering
disebabkan karena soal ini. Governability adalah stabilitas pemerintahan
dan kemampuannya untuk memerintah. Governability dipengaruhi oleh
jumlah partai, derajat polarisasi politik antarpartai, partisipasi partai
dalam pemerintahan, serta hubungan antara mayoritas parlemen dan

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 295
eksekutif, yaitu adanya divided government atau pemerintahan terbelah
dalam sistem pemerintahan presidensial, atau kabinet minoritas dalam
sistem pemerintahan parlementer.
Menghadapi situasi demikian, kepala daerah terpilih hasil Pilkada
pada saat menjalankan pemerintahan, akan mencari dukungan dari luar
partai koalisi. Partai di luar koalisi akan melepaskan ideologinya untuk
tujuan keberlangsungan kekuasaan. Dalam pemerintahan, kekuasasn
digunakan untuk meraih sumber daya negara.
Dengan pilihan ini, pemerintahan masih bisa berjalan serta kebijakan
bisa terlahir karena terjadi kompromi politik. Tak jarang pula praktik ini
berujung pada suap bahkan korupsi.
Pemerintahan terbelah yang berpotensi berujung pada transaksi
politik dapat dicegah dengan rekayasa pemilu. Salah satu variabel
yang bisa direkayasa adalah jadwal pemilu. Jadwal Pilkada semestinya
dilaksanakan serentak dengan pemilu legislatif daerah. Jadwal pemilu
serentak ini cenderung menghasilkan pemerintahan kongruen
pemerintahan di mana pejabat eksekutif terpilih dan mayoritas anggota
legislatif terpilih berasal dari partai atau koalisi partai yang sama.
Kecenderungan itu terjadi karena dalam pemilu serentak anggota
legislatif dan pejabat eksekutif terdapat kesamaan sikap antara partai
politik dan pemilih, yakni sama-sama mengutamakan pemilu pejabat
ekseutif, baru pemilu anggota legislatif. Itulah yang menyebabkan
terjadinya coattail effect, di mana keterpilihan pejabat eksekutif akan
mempengaruhi keterpilihan anggota legislatif.
Dalam situasi politik demikian, maka pemerintahan akan efektif,
sebab semua rencana kebijakan dari pejabat eksekutif akan mudah
disetujui oleh mayoritas legislatif, atau sebaliknya.

14.2.2. Pemerintahan Terputus


Selain menciptakan pemerintahan terbelah, Pilkada 2015 dan
2017 menghasilkan pemerintahan terputuskoalisi di daerah tak
selaras dengan koalisi pusat. Relasi politik dalam membangun koalisi
pengusung calon kepala daerah relatif cair. Tidak ada dikotomi antara

PENYELENGGARAAN
296 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
partai yang ada di dalam dan di luar pemerintah.
Pola koalisi antarpartai politik pengusung kepala daerah di level
kabupaten/kota cenderung terputus dengan koalisi partai politik di
level provinsi maupun di level pusat. Di pusat, kita mengenal dua koalisi
besar: pendukung pemerintahan dan oposisi. KIH sebagai pendukung
pemerintah terdiri atas PDIP, NasDem, PKB, Hanura, PAN, PPP dan
Golkar. Sementara KMP sebagai oposisi terdiri atas Gerindra, PKS,
Demokrat, dan PBB.
Di level provinsi hasil Pilkada 2017, hanya ada tiga daerah saja yang
koalisi pendukung kepala daerah terpilihnya selaras dengan koalisi
pendukung pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Daerah tersebut
adalah Bengkulu, Jambi, dan Sulawesi Utara.
Di Provinsi Sulawesi Utara, PDIP selaku partai dari presiden Jokowi
menjadi satu-satunya partai pengusung pemerintahan gubernur dan
wakil gubernur provinsi terpilih. Di Provinsi Jambi, terdapat tiga partai
politik yakni PAN, Nasdem, dan PKB yang menjadi anggota koalisi
pengusung pemerintahan Jokowi berhasil memenangkan pasangan
Zumi Zola dan Fachrori Umar sebagai gubernur dan wakil gubernur
Jambi. Sementara di Bengkulu, Ridwan Mukti dan Rohidin Mersyah
didukung NasDem, PKPI, Hanura, dan PKB yang merupakan anggota
koalisi pendukung pemerintahan pusat.
Sementara di Sumatera Barat, Irawan Prayitno dan Nasrul Arbit didu
kung koalisi partai PKS dan Gerindra. Dua partai ini menjadi oposisi
pemerintahan pusat.
Koalisi di lima provinsi lain cenderung tidak selaras dengan koalisi
pusatbaik sebagai pendukung maupun oposisi. Kepala daerah hasil
Pilkada 2015 dan keselarasan koalisi pendukungnya dengan koalisi di
pusat dapat dilihat dalam tabel berikut.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 297
TABEL 37: KEPALA DAERAH TERPILIH, PARTAI KOALISI, DAN
KESELARAN KOALISI DENGAN PUSAT DI PROVINSI HASIL
PILKADA 2015

NAMA KEPALA DAERAH PARTAI


NO. KETERANGAN
DAERAH TERPILIH KOALISI

Provinsi Ridwan Mukti & Nasdem, PKPI, Selaras dengan koalisi pendukung
1.
Bengkulu Rohidin Mersyah Hanura, PKB pemerintahan pusat

Provinsi Irawan Prayitno & Selaras dengan koalisi oposisi


2. PKS, Gerindra
Sumatera Barat Nasrul Abit pemerintahan pusat

Zumi Zola & Fachrori Nasdem, PKB, Selaras dengan koalisi pendukung
3. Provinsi Jambi
Umar PAN pemerintahan pusat

Provinsi
Longki Djanggola & Gerindra, PAN,
4. Sulawesi Tidak selaras
Sudarto PKB, PBB
Tengah

Provinsi Demokrat,
M Sani & Nurdin
5. Kepulauan Nasdem, PKB, Tidak selaras
Basirun
Riau Gerindra, PPP

Provinsi PDIP, Gerindra,


Sahbirin Noor &
6. Kalimantan PKS, PAN, Tidak selaras
Rudy Resnawan
Selatan Hanura

Provinsi Olly Dondakambey & Selaras dengan koalisi pendukung


7. PDIP
Sulawesi Utara Steven O.E pemerintahan pusat

Provinsi PDIP, PKS,


Irianto Lambrie &
8. Kalimantan Demokrat, PBB, Tidak selaras
Udin Hianggio
Utara PAN

Provinsi
Sugianto Sabran & PAN, Gerindra,
9. Kalimantan Tidak selaras
Habib Said Ismail PKB, Demokrat
Tengah

PENYELENGGARAAN
298 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Sementara di level provinsi hasil Pilkada 2017, hanya Papua Barat
yang pemenang pilkadanya diusung oleh koalisi partai yang selaras
dengan koalisi pendukung pemerintah pusat. Dominggus Mandacan
dan Mohamad Lakotani didukung Nasdem, PDIP, dan PAN yang
merupakan partai anggota koalisi pemerintahan Jokowi-JK. Sedangkan
provinsi lainnya tidak selaras dengan koalisi di pusat.
Kepala daerah hasil Pilkada 2017 dan keselarasan koalisi pendu
kungnya dengan koalisi di pusat dapat dilihat dalam tabel berikut.

TABEL 38: KEPALA DAERAH TERPILIH, PARTAI KOALISI, DAN


KESELARAN KOALISI DENGAN PUSAT DI PROVINSI HASIL
PILKADA 2017
KEPALA DAERAH
NO. PROVINSI PARTAI KOALISI KETERANGAN
TERPILIH
1. Provinsi Drh. Irwandi Yusuf, PartaiNasionalAceh Tidak selaras
Aceh M.Sc dan Ir. H. Nova Demokrat
Iriansyah, M.T PartaiDamaiAceh
PKB
PDIP
2. Provinsi Dr. H. Wahidin Golkar Tidak selaras
Banten Halim, Msi dan H. PKB
Andika Hazrumy, Hanura
S.Sos., M.Ap Gerindra
Demokrat
PKS
PAN
3. Provinsi Drs. H. Rusli Golkar Tidak selaras
Gorontalo Habibie, M.Ap dan Demokrat
Dr. Drs. Hi. Idris
Rahim, MM

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 299
4. Provinsi H.Erzaldi Rosman Gerindra Tidak selaras
Bangka dan H.Abdul Fatah Nasdem
Belitung PKB
5. Provinsi Drs. Dominggus Nasdem Selaras
Papua Mandacan PDIP dengan koalisi
Barat Dan Mohamad PAN pendukung
Lakotani, SH, M.Si pemerintahan
pusat

6. Provinsi Drs. H. Ali Baal, Gerindra Tidak selaras


Sulawesi M.Si Dan Hj. Enny Nasdem
Barat Anggraeny Anwar PKB
PAN
PDIP
PPP

Jika kita runut lebih lanjut pada level kabupaten/kota yang


melaksanakan Pilkada serentak dengan Pilkada provinsi, keselarasan
itu juga tak terjadi.
Di Pilkada 2015, berdasarkan catatan Kompas, pasangan calon
dari koalisi campurandiusung koalisi partai yang berasal baik dari
kubu partai pendukung pemerintah maupun partai non-pendukung
pemerintahyang memenangi Pilkada mencapai 69,73 persen.
Sebagai contoh, ada Pilkada Kabupaten Padang Pariaman yang
serentak dengan Pilkada Provinsi Sumatera Barat; Pilkada Kabupaten
Natuna yang serentak dengan Pilkada Provinsi Kepulauan Riau; serta
Pilkada Kabupaten Tanah Bambu yang serentak dengan Provinsi
Kalimantan Selatan. Dari tiga daerah tersebut, tidak ada koalisi di
kabupaten/kota yang selaras dengan provinsi. Hal tersebut dapat
dilihat di tabel berikut.

PENYELENGGARAAN
300 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
TABEL 39: PERBANDINGAN KOALISI PROVINSI DAN KABUPATEN/
KOTA HASIL PILKADA 2015

PARTAI KABUPATEN/
NO. PROVINSI PARTAI KOALISI KETERANGAN
KOALISI KOTA

1. Provinsi PKS, Gerindra Kabupaten PAN, PKB, PKS, Tidak selaras


Sumatera Barat Padang Demokrat,
Pariaman Gerindra, Golkar

2. Provinsi Demokrat, Kabupaten Perseorangan Tidak selaras


Kepulauan Riau Nasdem, PKB, Natuna
Gerindra, PPP

3. Provinsi PDIP, Gerindra, Kabupaten PDIP, Nasdem, Tidak selaras


Kalimantan PKS, PAN, Tanah Bambu PKB, Demokrat, dengan provinsi,
Selatan Hanura Hanura, PAN selaras dengan
pusat

Sementara di Pilkada 2017, catatan Kompas atas hasil analisis di 84


dari 101 daerah yang menggelar Pilkada 2017 menunjukkan dominasi
pasangan calon yang diusung koalisi "campuran". Sebanyak 56 pasangan
calon yang mendapat suara terbanyak atau sekitar 66,67 persen diusung
koalisi partai yang berasal baik dari kubu partai pendukung pemerintah
maupun partai non-pendukung pemerintah.
Sebagai sampel, kita dapat melihat data kabupaten/kota yang
melaksanakan Pilkada serentak dengan provinsi. Tak ada satupun
yang dimenangkan oleh bupati dengan dukungan partai yang selaras
dengan partai pendukung gubernur. Namun, ada beberapa daerah
yang dimenangkan oleh kepala daerah yang didukung oleh partai yang
selaras dengan koalisi di pusat. Daerah tersebut di antaranya adalah
Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Singkil, Kabupaten Aceh
Tamiang, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Tenggara, Kota
Lhokseumawe (oposisi), dan Kabupaten Sorong. Hal tersebut dapat
dilihat di tabel berikut.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 301
TABEL 40: PERBANDINGAN KOALISI PROVINSI DAN KABUPATEN/
KOTA HASIL PILKADA 2017

KABUPATEN/
NO. PROVINSI PARTAI KOALISI PARTAI KOALISI KETERANGAN
KOTA

PKS
Partai Nasional Aceh Partai Damai Aceh
Demokrat Demokrat
Kabupaten Aceh
1. Provinsi Aceh Partai Damai Aceh PKB Tidak selaras
Barat Daya
PKB Nasdem
PDIP Partai Nasional Aceh

Partai Nasional Aceh


Demokrat
2. Provinsi Aceh Partai Damai Aceh Kab. Aceh Barat PartaiAceh Tidak selaras
PKB
PDIP

PAN
Partai Nasional Aceh
Partai Damai Aceh Tidak selaras
Demokrat
Kab. Aceh Besar PBB dengan provinsi,
3. Provinsi Aceh Partai Damai Aceh
Partai Nasional Aceh selaras dengan
PKB
Nasdem pusat
PDIP
Golkar

Partai Nasional Aceh


Demokrat PartaiAceh
Kab. Aceh Jaya
4. Provinsi Aceh Partai Damai Aceh Demokrat Tidak selaras
PKB
PDIP

Partai Nasional Aceh


PAN Tidak selaras
Demokrat
Kab. Aceh Singkil PKB dengan provinsi,
5. Provinsi Aceh Partai Damai Aceh
PDIP selaras dengan
PKB
pusat
PDIP

Partai Nasional Aceh


Tidak selaras
Demokrat Kab. Aceh Nasdem
dengan provinsi,
6. Provinsi Aceh Partai Damai Aceh Tamiang PAN
selaras dengan
PKB
pusat
PDIP

PENYELENGGARAAN
302 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Partai Nasional Aceh
Tidak selaras
Demokrat PDIP
Kab. Aceh Tengah dengan provinsi,
7. Provinsi Aceh Partai Damai Aceh PAN
selaras dengan
PKB
pusat
PDIP

Partai Nasional Aceh


Tidak selaras
Demokrat Kab. Aceh
Hanura dengan provinsi,
8. Provinsi Aceh Partai Damai Aceh Tenggara
selaras dengan
PKB
pusat
PDIP

Partai Nasional Aceh


Demokrat
Kab. Aceh Timur PartaiAceh
9. Provinsi Aceh Partai Damai Aceh Tidak selaras
PKB
PDIP

Partai Nasional Aceh


Demokrat
Kab. Aceh Utara PartaiAceh
10. Provinsi Aceh Partai Damai Aceh Tidak selaras
PKB
PDIP

Partai Nasional Aceh


Demokrat Golkar
Kab. Bener Meriah
11. Provinsi Aceh Partai Damai Aceh Partai Damai Aceh Tidak selaras
PKB
PDIP

Partai Nasional Aceh


Demokrat
Kab. Bireuen
12. Provinsi Aceh Partai Damai Aceh Perseorangan Tidak selaras
PKB
PDIP

Partai Nasional Aceh Gerindra


Demokrat Golkar
Kab. Gayo Lues
13. Provinsi Aceh Partai Damai Aceh PartaiAceh Tidak selaras
PKB PKB
PDIP

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 303
PartaiAceh
Partai Nasional Aceh PKB
Demokrat PBB
Kab. Nagan Raya
14. Provinsi Aceh Partai Damai Aceh PKS Tidak selaras
PKB Gerindra
PDIP Demokrat

Partai Nasional Aceh


Demokrat
Kab. Pidie
15. Provinsi Aceh Partai Damai Aceh perseorangan Tidak selaras
PKB
PDIP

Partai Nasional Aceh PBB


Demokrat Hanura
Kab. Simeulue
16. Provinsi Aceh Partai Damai Aceh PartaiAceh Tidak selaras
PKB Gerindra
PDIP

Partai Nasional Aceh Nasdem


Demokrat PAN
Kota Banda Aceh
17. Provinsi Aceh Partai Damai Aceh Golkar Tidak selaras
PKB Gerindra
PDIP

Partai Nasional Aceh PKS


Demokrat PartaiAceh
Kota Langsa
18. Provinsi Aceh Partai Damai Aceh Gerindra Tidak selaras
PKB Nasdem
PDIP

Partai Nasional Aceh


PartaiAceh Tidak selaras
Demokrat Kota
Gerindra dengan provinsi,
19. Provinsi Aceh Partai Damai Aceh Lhokseumawe
PKS selaras dengan
PKB
pusat (oposisi)
PDIP

Partai Nasional Aceh PartaiAceh


Demokrat Golkar
Kota Sabang
20. Provinsi Aceh Partai Damai Aceh Demokrat Tidak selaras
PKB PBB
PDIP

PENYELENGGARAAN
304 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Provinsi Golkar Kabupaten
21. Perseorangan Tidak Selaras
Gorontalo Demokrat Boalemo

PDIP
Nasdem
Provinsi Kab. Maybrat PKS
22. PDIP Tidak selaras
Papua Barat Golkar
PAN
Nasdem

Golkar
Tidak selaras
Nasdem Demokrat
Provinsi Kab. Sorong dengan provinsi,
23. PDIP PDIP
Papua Barat selaras dengan
PAN PAN
pusat

Nasdem
PDIP
Golkar
Nasdem
Provinsi Kab. Tambrauw Demokrat
24. PDIP Tidak selaras
Papua Barat Gerindra
PAN
PKS
PKB
Hanura

Golkar
Demokrat
PDIP
Nasdem
Provinsi Kota Sorong PAN
25. PDIP Tidak selaras
Papua Barat Nasdem
PAN
Gerindra
Hanura
PKB

Di tengah cairnya koalisi antarpartai tersebut, lantas bukan hal yang


aneh jika partai yang saling bertarung di level provinsi, namun di level
kabupaten kota bahu-membahu memenangkan pasangan calon yang
sama.
Pilkada 2015 dan 2017 menunjukkan bahwa rasionalitas pembentukan
koalisi tak mempertimbangkan koalisi di atasnyadi provinsi maupun
pusat. Pembentukan koalisi lebih berbasis pada pertimbangan taktis

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 305
strategi pemenangan untuk kekuasaan.
Kondisi ini sedikit banyak berpengaruh pada efektivitas hubungan
pemerintahan pusat dengan daerah kelak. Bahkan, sebelum pemerin
tahan berjalan, urusan pelantikan juga bisa jadi bermasalah. Gubernur
Sulawesi Tenggara, Nur Alam, enggan melantik pasangan bupati Ko
nawe Selatan terpilih, Surunuddin dan Arsalim. Dari sudut pandang
politik, hal ini terjadi karena ketidakselarasan koalisi di provinsi dan
kabupaten. Gubernur Nur Alam diusung PAN, Demokrat, PKS, PDIP,
PBB, PKB, Gerindra, dan PKPI. Sementara Bupati Surunuddin diusung
koalisi Golkar, Hanura, dan PBB. Hal ini membuat terhambatnya pe
nyelenggaran pemerintahan Kabupaten Konawe Selaten yang se
harusnya dapat langsung berjalan pascapemilihan.
Saat menjalankan pemerintahan kelak, ketidakselarasan koalisi da
pat berpengaruh pada pengambilan keputusan yang melibatkan pe
merintah pusat. UU 9/2015 telah membagi urusan pemerintah pusat de
ngan daerah. Pemerintahan provinsi akan banyak berhubungan dengan
pemerintah pusat dalam pengambilan kebijakan strategis seperti izin
eksplorasi hayati, energi, mineral, sampai dengan relasi distribusi ang
garan atau transfer pusat ke provinsi.
Relasi anggaran penyelenggaraan pemerintahan provinsi juga akan
ter
ganggu. Pusat punya kewenangan terhadap akses alokasi Dana
transfer pusat terhadap daerah baik dalam wujud DAU ataupun Dana
Alokasi Khusus DAK.
Seandainya koalisi pemerintahan provinsi selaras dengan koalisi
pemerintahan pusat, maka efektivitas hubungan pemerintahan pusat
dan daerah akan terjaga. Sedangkan jika koalisi di level provinsi tidak
selaras dengan pemerintahan pusat, kemandekan hubungan pusat dan
daerah yang efektif dan kondusif kemungkinan terjadi.

PENYELENGGARAAN
306 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
15

Partisipasi

P
enyelenggaraan pemilu yang demokratis membutuhkan
partisipasi masyarakat. Partisipasi politik masyarakat di
maknai sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang
secara sukarela untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan
politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan, secara
langsung atau tidak langsung, memengaruhi kebijakan pemerintah
(Budiarjo, 2009). Pemilu adalah sarana partisipasi politik warga ne
gara sebagai bentuk nyata kedaulatan rakyat. Dalam sebuah negara de
mokrasi, pemilihan umum yang dilakukan dengan sungguh-sungguh,
jujur, adil, dan melibatkan hak-hak masyarakat merupakan salah satu
syarat yang perlu dipenuhi.
Ada empat hal yang mengaitkan pentingnya partisipasi politik ma
syarakat dengan pemilu yang demokratis (Bjornlund, 2004). Pertama,
kehendak rakyat, sebagaimana tercantum dalam The Universal
Declaration of Human Right (UDHR), harus menjadi dasar dari
pemerintahan yang diekspresikan melalui pemilihan umum yang
jujur dan adil. Kedua, pemilu demokratis berkontribusi terhadap
penghargaan hak sipil lainnya. Demokrasi elektoral menjadi indikator
yang paling baik dari kemajuan hak sipil dan hak asasi manusia.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 307
Ketiga, pemilu, khususnya pada negara yang masih mengalami
transisi demokrasi, dapat memberikan ruang kepada warga negara
untuk terlibat dalam ruang publik karena mendorong masyarakat
untuk turut mengawasi, melakukan kajian, melakukan pendidikan
pemilih, dan melakukan advokasi. Selain memberikan ruang kepada
masyarakat umum untuk terlibat, masyarakat yang rentan seperti
kelompok minoritas, perempuan, pemilih dengan disabilitas didorong
juga untuk terlibat dalam ruang publik. Keempat, walaupun pemilu
dapat menyebabkan pemisahan kelompok masyarakat, pemilu yang
kompetitif dapat mendorong pemerintahan yang efektif dan stabil.
Di Indonesia, partisipasi memilih adalah hakbukan kewajiban
sebagaimana dianut oleh Australia. UU No 8/2015 pasal 1 ayat (6)
menegaskan, pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah tujuh
belas tahun atau sudah/pernah kawin yang terdaftar dalam pemilihan.
Untuk dapat didaftar sebagai pemilih, undang-undang tersebut
memuat pembatasan-pembatasan seperti tidak sedang terganggu jiwa/
ingatannya; dan/atau tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai keukatan hukum tetap.
Dari kerangka undang-undang tersebut, partisipasi pemilih bukan
partisipasi semua warga negara, tetapi warga negara yang memenuhi
syarat sebagaimana diatur undang-undang.
Partisipasi pemilih sering menjadi isu bersama karena berkaitan
dengan seberapa banyak warga negara hadir untuk memberikan
suara di TPS. Tingkat partisipasi seringkali dihubungkan dengan
legitimasi hasil pemilu. Pada konteks lain, partisipasi pemilih juga
berkaitan dengan kepercayaan warga negara pada demokrasi, sistem
politik, penyelenggara pemilu, dan pihak-pihak yang akan memimpin
pemerintahan.
Namun, urusan partisipasi di pemilu kemudian tidak sekadar
aktivitas demokrasi proseduraldatang ke TPS dan memilihrutin
lima tahunan, tetapi juga demokrasi substansial yang telah menggeser
posisi pemilh dari pinggir ke pusat arena persaingan politik. Perubahan
posisi pemilih ini membawa konsekuensi penting dalam hal relasi antara
masyarakat sebagai pemilih dengan aktor pemilu yaitu peserta pemilu

PENYELENGGARAAN
308 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
dan lembaga penyelenggara pemilu.
Partisipasi masyarakat di pemilu terus berkembang luas. Dimensi
partisipasi masyarakat dalam pemilu memang luas. Namun, berdasarkan
manfaatnya, jenis-jenis partisipasi dapat dibagi ke dalam tiga kelompok
besar (Surbakti & Supriyanto, 2013).
Pertama, partisipasi yang bertujuan untuk meningkatkan minat
dan kepedulian warga negara terhadap penyelenggaraan pemilu serta
pengetahuan/informasi tentang proses penyelenggaraan pemilu.
Dalam kelompok pertama ini, bentuk-bentuk partisipasi di antaranya
adalah sosialisasi pemilu; pendidikan pemilih; serta pemberitaan dan
penyiaran media massa.
Kedua, partisipasi yang bertujuan untuk melegitimasi keterpilihan.
Bentuk partisipasi yang termasuk dalam kelompok kedua ini adalah
memilih calon dan pasangan calon; musyawarah membahas rencana
visi, misi, dan program partai dalam pemilu; mendukung aktif peserta
pemilu; serta mengajak dan mengorganisasi dukungan atau keberatan
terhadap alternatif rencana kebijakan publik.
Ketiga, partisipasi yang bertujuan untuk menjamin pemilu yang adil.
Bentuk partisipasi yang termasuk dalam kelompok ketiga ini adalah
pemantauan dan pengawasan serta pelaksanaan penghitungan cepat
atas hasil pemungutan suara di TPS.
Pengelompokan partisipasi berdasarkan manfaat itu dapat
disederhanakan dalam tabel berikut.

TABEL 41: PENGELOMPOKAN JENIS PARTISIPASI BERDASAR


MANFAATNYA

MENJAMIN
MENINGKATKAN MINAT DAN MELEGITIMASI
INTEGRITAS
INFORMASI KEPEMILUAN KETERPILIHAN
HASIL PEMILU
Memilih calon dan Pemantauan dan
Sosialisasi pemilu
pasangan calon pengawasan

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 309
Pelaksanaan
Musyawarah membahas
penghitungan
rencana visi, misi, dan
Pendidikan pemilih cepat atas hasil
program partai dalam
pemungutan
pemilu
suara di TPS
Dukungan aktif kepada
Pemberitaan dan penyiaran
peserta
media massa
pemilu/calon
Mengajak dan
mengorganisasi
Survei dan penyebarluasan dukungan atau
hasil survei keberatan terhadap
alternatif rencana
kebijakan publik

Undang-undang telah mengatur bentuk-bentuk partisipasi


masyarakat dalam Pilkada. Salah satu bab yang terkandung dalam
UU No 8/2015 adalah Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan
Pemilihan (Bab XVIII). Bentuk partisipasi masyarakat yang disebut
Pasal 131 adalah pengawasan pada setiap tahapan pemilihan, sosialisasi
pemilihan, pendidikan politik bagi pemilih, survei atau jajak pendapat
tentang pemilihan, dan penghitungan cepat hasil pemilihan.
UU No 10/2016 sebagai perubahan UU No 8/2015 menyisipkan
Pasal 133A yang berbunyi, Pemerintahan Daerah bertanggung
jawab mengembangkan kehidupan demokrasi di daerah, khususnya
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih.
KPU sendiri secara khusus menyusun PKPU No 5/2015. Bab III PKPU
tersebut mengatur partisipasi masyarakat ke dalam tiga bagian. Bagian
pertama mengatur wewenang dan tanggung jawab penyelenggara
pemilihan. Bagian kedua mengatur hak dan kewajiban masyarakat.
Bagian ketiga mengatur bentuk partisipasi masyarakat.
Bab ini akan mengulas khusus soal partisipasi pemilih pada Pilkada
2015 dan 2017 yang tak mencapai target dan upaya KPU memfasilitasi

PENYELENGGARAAN
310 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
pemilih dengan disabilitasi agar mudah memilih. Selain soal partisipasi
pemilih, bab ini juga akan memaparkan bentuk partisipasi lain (di luar
partisipasi pemilih) yang terus mengalami perkembangan.

15.1. MENGAKSELERASI PARTISIPASI PEMILIH


15.1.1. Strategi Mencapai Target
Demokrasi yang baik harus termasuk di dalamnya partisipasi aktif
dari masyarakat biasa untuk menyampaikan aspirasi atau kepentingan
dan memutuskan kebijakan publik yang diambil pemerintah. Pilkada,
sebagai salah satu cara menjaring keterlibatan masyarakat dalam
memutuskan kebijakan, tentu menyaratkan kebebasan dan partisipasi
warga negara dalam memilih. Partisipasi ini berkaitan erat dengan ba
gaimana seorang warga negara biasa dapat mempengaruhi politik
termasuk bentuk partisipasi yaitu memilih dalam pemilihan umum
(voting).
Bertolak dari paham kedaulatan ada di tangan rakyat, maka partisipasi
pemilih menjadi komponen utama bagi suksesnya penyelenggaraan
pemilu. Partisipasi pemilih merupakan salah satu indikator kunci untuk
mengukur keberhasilan pelaksanaan suatu penyelenggaraan pemilu.
Semakin tinggi angka partisipasi pemilih dalam suatu penyelenggaraan
pemilu, maka pemilu tersebut memiliki tingkat legitimasi yang baik dan
penyelenggara pemilu dianggap berhasil begitupun sebaliknya.
KPU mematok target nasional tingkat partisipasi pemilih (voter turn
out) dalam Pilkada Serentak 2015 sebesar 77,5 persen. Pada awalnya
Bappenas menginginkan 80 persen, tetapi KPU menginginkan 75 persen,
sehingga disepakati bersama 77,5 persen secara nasional.
KPU melancarkan tiga strategi dalam proses sosialisasi untuk
menggenjot angka partisipasi memilih ini. Pertama, KPU masih
melancarkan sosialisasi cara lama dengan metode tatap muka dan
komunikasi massa. KPU bertemu langsung dengan masyarakat yang
sudah berhak memilih dengan memberi informasi tentang aktivitas
pemilih untuk datang ke TPS pada hari pemungutan suara. Kedua, KPU
memanfaatkan kanal media untuk sosialisasi. KPU memasang iklan

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 311
layanan masyarakat dengan media baliho, poster, televisi, media cetak,
dan elektronik. Ketiga, KPU membuat terobosan dengan membentuk
relawan demokrasi. Strategi ini melibatkan pemilih pemula, pemilih
perempuan, kelompok marjinal, penyandang disabilitas, serta tokoh
masyarakat dan tokoh agama.
KPU menurunkan tiga strategi tersebut menjadi program-program
yang disusun sebagai langkah antisipatif dan upaya untuk meningkatkan
partisipasi pemilih dalam Pilkada 2015. Program tersebut antara lain:
Konsolidasi Program Partisipasi Masyarakat;
1. Riset dan Pemetaan Tingkat Partisipasi Masyarakat pada Pemilu
untuk merumuskan strategi pendidikan pemilih dan sosialisasi
pada Pemilihan 2015;
2. Pembentukan Pusat Pendidikan Pemilih/Rumah Pintar Pemilu;
3. Fasilitasi Pendidikan Pemilih dengan 6 Segmen (Pra Pemilih,
Pemula, Agamawan, Perempuan, Marginal, Disabilitas);
4. Kerjasama di bidang Pendidikan Pemilih dengan Lembaga
Swadaya Masyarakat, Organisasi Masyarakat dan Komunitas;
5. Pendaftaran Lembaga Survei, Hitung Cepat, Visitor/Pemantau
Asing dan Akreditasi Lembaga Pemantau;
6. Penyusunan Buku Pedoman Pendidikan Pemilih;
7. Penyusunan Buku Pedoman Rumah Pintar Pemilu.
Terobosan-terobosan kreatif untuk menarik simpati pemilih juga
dilakukan. Sebagai contoh, KPU Banten (bekerja sama dengan Perludem
dan UMN) memanfaatkan teknologi dengan perlombaan Apps
Challenge. Dengan cara tersebut, KPU Banten mencoba menghadirkan
nuansa pemilu yang menyenangkan tetapi tetap mendidik terutama
untuk menyasar segmen anak-anak muda yang senang bermain TIK,
misalnya game. Cara ini rupanya dapat menarik minat segmen pemilih
muda dan pemula di mana mayoritas dari mereka adalah pengguna
teknologi internet.
Namun dengan berbagai strategi tersebut, target tinggi yang dipatok
KPU masih tak tercapai. Angka partisipasi pemilih hanya mencapai
69,20 persen saja. KPU mengukur tingkat partisipasi pemilih dengan
cara membandingkan jumlah pengguna hak pilih dengan total pemilih.

PENYELENGGARAAN
312 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Suara tidak sah tetap dihitung sebagai partisipasi pemilih, karena
pemilih telah menggunakan hak suaranya meskipun suaranya tidak sah
(invalid vote). Target dan realisasi persentase partisipasi pemilih dapat
dilihat pada tabel berikut.

TABEL 42: TARGET DAN REALISASI PARTISIPASI PEMILIH


PILKADA 2015 DAN 2017

PILKADA 2015 PILKADA 2017


INDIKATOR
TARGET REALISASI TARGET REALISASI
(PERSEN) (PERSEN) (PERSEN) (PERSEN

Persentase Partisipasi
77,5 69,20 77,5 74,5
Pemilih dalam Pilkada

Persentase Partisipasi Belum ada


75 71,15
Pemilih Perempuan data

Persentase Partisipasi 75 63,76 Belum ada


pemilih Disabilitas data

Partisipasi pemilih dalam Pilkada 2015 masih dibawah hasil rata-rata


persentase partisipasi pemilih pada Pileg dan Pilpres 2014 yang berada
di kisaran 73,21 persen. Ada beberapa daerah yang tingkat partisipasinya
lebih tinggi dari 77,5 persen atau melebihi target nasional.

TABEL 43: DAFTAR DAERAH DENGAN TINGKAT PARTISIPASI PEMILIH


TERTINGGI DALAM PILKADA 2015

NO. DAERAH TINGKAT PARTISIPASI (PERSEN)

1. Kab. Yahukimo (Papua) 100,00

2. Kab. Yalimo (Papua) 100,00

3. Kab. Pegunungan Arfak (Papua Barat) 100,00

4. Kab. Pegunungan Bintang (Papua) 99,96

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 313
5. Kab. Manokwari Selatan (Papua Barat) 98,14

6. Kab. Nabire (Papua) 92,87

7. Kab. Mamuju Tengah (Sulawesi Barat) 91,94

JPPR menilai rendahnya partisipasi pemilih dalam Pilkada serentak


2015 bukan hanya disebabkan oleh penyelenggara pemilu, tetapi juga
karena peserta dan keadaan sosial yang berlangsung.
Ada tiga faktor utama semakin rendahnya partisipasi pemilih dari
waktu ke waktu. Pertama, terbatasnya pilihan pasangan calon dari
yang diajukan partai politik. Mayoritas daerah Pilkada yang hanya
diikuti oleh dua sampai tiga pasangan calon tidak secara maksimal
mengakomodasi aspirasi masyarakat pemilih. Arah partai politik dalam
mendukung pasangan calon yang populer dan bermodal besar pada
akhirnya berujung pada jumlah pasangan calon yang terbatas sehingga
mengurangi jumlah perbincangan antara kandidat dan masyarakat.
Kedua, perbedaan antara janji kampanye dengan realitas politik
nasional. Mayoritas materi kampanye pasangan calon adalah
pemberantasan korupsi, pengelolaan pemerintahan yang transparan dan
pengalokasian anggaran yang memihak rakyat. Namun, janji kampanye
ini tidak sebangun dengan apa yang terjadi di tingkat nasional. Praktik-
praktik korupsi yang terjadi terus-menerus sepanjang tahun memberikan
keraguan tertentu kepada masyarakat akan terjadinya pemerintahan
yang benar-benar bersih.
Ketiga, turunnya aktivitas sosialisasi dan pendidikan pemilih oleh
penyelenggara Pilkada. Persepsi masyarakat terkait bahan kampanye
yang disediakan oleh KPU masih dipahami secara politis dilakukan
oleh pasangan calon, sementara jumlah kegiatan sosialisasi tatap muka
oleh penyelenggara Pilkada berkurang. Aktivitas sosialisasi dari KPU
yang berkurang berdampak kepada turunnya jumlah aktor, tokoh dan
pegiat pendidikan pemilih di masyarakat sehingga ajakan untuk datang
ke TPS menggunakan hak suaranya menjadi berkurang.

PENYELENGGARAAN
314 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
15.1.2. Menyeriusi Pemilih dengan Disabilitas
Fokus KPU tak hanya meningkatkan angka partisipasi pemilih
secara umum. KPU makin getol menggarap segmen pemilih dengan
disabilitas agar makin mudah berpartisipasi di pemilu. Prinsip
demokrasi mengatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak
dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan, begitu juga bagi para
penyandang disabilitas. Mereka punya hak politik untuk memilih dan
dipilih dalam tata pemerintahan.
Hal ini sebagaimana telah diatur dalam Pasal 28 I Ayat (2) UUD
1945 yang berbunyi: Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Selain itu dalam Pasal
28 H ayat 2 amandemen ke 2 UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap
orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan.
KPU sebagai penyelenggara pemilu dituntut untuk mampu me
nyelenggarakan pemilu yang aksesibel atau dapat diakses oleh seluruh
komponen masyarakat termasuk pemilih disabilitas. Partisipasi pemilih
disabilitas dimaknai sebagai peran serta penyandang disabilitas dalam
menggunakan hak pilihnya pada pemilu.
Partisipasi pemilih disabilitas dalam Pilkada menjadi salah satu
indikator kinerja utama yang baru karena menjadi isu strategis pada
RPJMN Tahun 20152019. Partisipasi pemilih disabilitas pada Pilkada
2015 diukur dengan cara membandingkan jumlah pengguna hak pilih
disabilitas dengan total pemilih disabilitas. Tingkat partisipasi pemilih
disabilitas dalam menggunakan hak pilih dapat diukur dari rata-rata
partisipasi pemilih disabilitas pada Pilkada 2015 yang didapat dari data
formulir model DB1 untuk tingkat kabupaten/kota dan formulir model
DC1 untuk tingkat provinsi.
Tingkat partisipasi pemilih disabilitas pada Pilkada 2015 mencapai
63,76 persen, belum bisa mencapai target tahun 2015 sebesar 75%, namun
sebagai bentuk apresiasi terhadap kinerja KPU dalam memperjuangkan

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 315
pemilu akses, KPU memperoleh penghargaan dari Presiden RI untuk
kategori Pemenuhan Hak Politik Penyandang Disabilitas Pada
Pemilihan Kepala Daerah Sejak Tahun 2004.
Beberapa kegiatan yang telah dilakukan KPU sebagai upaya untuk
meningkatkan partisipasi pemilih disabilitas antara lain:
1. Menjalin kerjasama dengan LSM, Ormas dan Komunitas yang
aktif yang aktif untuk memperjuangkan hak-hak kaum disabilitas
dalam Pemilu seperti PPUA Penca, Pertuni dan SIGAB;
2. Melaksanakan fasilitasi pendidikan pemilih untuk segmen disa
bilitas;
3. Menyelenggarakan Simulasi Pemungutan Suara untuk kelompok
disabilitas dengan menggunakan template braile (pemilih tuna
netra);
4. Daftar pemilih sementara (DPS) untuk pemilihan kepala daerah
(pilkada) serentak 2015 memuat informasi jumlah pemilih dengan
disabilitas, lengkap dengan jenis disabilitas. Dimana kolom disa
bilitas tampil dalam rekap daftar pemilih sementara (DPS) di
laman resmi KPU https://data.kpu.go.id/ dps2015.php;
5. Menyediakan Formulir Model C7 (daftar hadir peserta) yang
di dalamnya memberikan catatan informasi apabila pemilih
merupakan penyandang disabilitas dan jenis kecacatan pemilih
untuk memudahkan pelayanan/pemberian bantuan;
6. Memberikan kemudahan bagi pemilih disabilitas yang mem
butuhkan bantuan untuk didampingi oleh pendamping sendiri
atau petugas KPPS dengan cara pendamping tersebut mengisi
formulir C3.

KPU juga menjamin TPS yang ramah bagi disabilitas melalui PKPU.
Beberapa ketentuan yang mengatur akses bagi penyandang disabilitas
di antaranya adalah.
1. Pasal 19 ayat (2) PKPU 6/2015: TPS harus memberikan kemudahan
akses bagi penyandang disabilitas.
2. Pasal 17 ayat (2) PKPU 14/2016: TPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibuat di tempat yang mudah dijangkau, termasuk

PENYELENGGARAAN
316 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
oleh penyandang disabilitas, dan menjamin setiap Pemilih dapat
memberikan suaranya secara langsung, umum, bebas dan rahasia.
3. Pasal 18 ayat (1) PKPU 14/2016: TPS dibuat dengan ukuran paling
kurang panjang sepuluh meter dan lebar delapan meter
4. Pasal 18 ayat (3) PKPU 14/2016: Pintu masuk dan keluar TPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat menjamin akses
gerak bagi Pemilih penyandang disabilitas yang menggunakan
kursi roda.
5. Pasal 21 ayat (3) PKPU 14/2016: Dukungan perlengkapan lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: (l) alat bantu
tuna netra
6. Pasal 35 ayat (3) PKPU 14/2016: Ketua KPPS dapat mendahulukan
Pemilih penyandang disabilitas, ibu hamil atau orang tua untuk
memberikan suara atas persetujuan Pemilih

Lebih detail lagi, ketentuan mengenai TPS akses ada pada buku
panduan KPPS. Beberapa hal yang diatur di antaranya adalah:
1. Pembuatan TPS harus memberikan kemudahan bagi kelompok
disabilitas pengguna kursi roda dan lanjut usia, seperti di
tempat yang rata tidak berbatu-batu, tidak berbukit-bukit, tidak
berumput tebal, tidak melompati parit/got dan tidak bertangga-
tangga.
2. Pintu masuk dan keluar TPS sebaiknya lebarnya tidak kurang dari
90 cm agar dapat menjamin akses gerak bagi Pemilih penyandang
disabilitas yang menggunakan kursi roda.
3. Salah satu dari meja bilik suara, dibuat dengan ukuran tinggi
meja bilik pencoblosan sekitar 75 cm s/d 1 meter dari permukaan
lantai/tanah, dengan bagian bawah meja berongga (ruang ko
song di bawahnya) untuk memudahkan pemilih penyandang
disabilitas pengguna kursi roda.
4. Meja dengan ukuran tinggi sekitar 35 cm dari permukaan lantai/
tanah untuk meletakkan kotak suara, sehingga bagian atas kotak
suara dapat diraih oleh semua pemilih termasuk pemilih peng
guna kursi roda atau disabilitas daksa.

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 317
KPU juga telah mengingatkan dengan terbitnya surat edaran no
7 tentang Formulir Alat Bantu Periksa Pelaksanaan Pemilu Akses
bagi Penyandang Disabilitas untuk KPPS. Formulir ini sangat dapat
membantu petugas KPPS dalam mewujudkan pelaksanaan pemilu yang
akses pada pemungutan suara. Hanya dengan membaca dua lembar for
mulir alat bantu ini, petugas bisa mengetahui apa saja yang yang harus
dilakukan untuk mewujudkan pemungutan suara yang aksesibel.
AGENDA (General Election Network for Disability Access) bekerja
sama dengan JPPR, PPDI, PPUA Penca, dan IFES rutin melakukan
pemantauan aksesibilitas di TPS. Pada Pilkada 2017, mereka menurunkan
69 pemantau yang tersebar di 1001 TPS di DKI Jakarta. Aspek yang
dipantau adalah partisipasi penyandang disabilitas, jalan menuju TPS,
lokasi TPS, pintu masuk dan pintu keluar TPS, luas TPS, meja bilik
suara, tinggi meja kotak suara, dan ketersediaan alat bantu tuna netra.
Hanya 21 persen TPS yang bisa memenuhi aspek-aspek tersebut secara
akumulatif dan dapat dikatakan sebagai TPS akses.
Secara lebih rinci, pemantauan tersebut juga mencatat partisipasi
penyandang disabilitas di Pilkada DKI mencapai 99,7 persen
pengguna hak disabilitas 10.229 dari pemilih disabilitas terdaftar 10.256.
Hasil pemantauan juga menunjukkan hanya 455 (45 persen) TPS yang
jalan menuju TPS nya dapat dilalui penyandang disabilitas. Sementara
soal lokasi, hanya 577 (68 persen) TPS yang lokasinya memudahkan
penyandang disabilitas untuk memiih.
Mengenai pintu masuk dan pintu keluar TPS, terdapat 829 (83
persen) pintu masuk dan keluarnya sesuai dengan yang dianjurkan
buku panduantidak kurang dari 90 cm. Luas TPS juga kebanyakan
telah sesuai. Sebanyak 74 persen TPS cukup luas untuk pengguna kursi
roda. Jarak antara meja bilik suara dengan dinding pembatas belakan
dan samping minimal satu meter. Hal ini memberikan ruang cukup
untuk pengguna kursi roda bergerak.
Hasil pemantaun menunjukkan 130 (13 persen) meja bilik suara tidak
memiliki ruang kosong dibawahnya, sehingga menyulitkan pengguna
kursi roda bila melakukan pemungutan suara. Terlalu tingginya posisi
meja bilik suara bisa menyebabkan pemilih pengguna kursi roda tidak

PENYELENGGARAAN
318 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
bisa menjangkau meja tersebut dan akibatnya tidak bisa memberikan
hak pilihnya secara mandiri. Hasilnya terdapat 871 (87 persen) meja
bilik suara memiliki ruang kosong dibawahnya, adanya ruang kosong
di bawah meja akan sangat membantu pengguna kursi roda bergerak/
memutar kursi rodanya ketika menggunakan hak pilih. Terdapat 812 (81
persen) TPS memiliki ketinggian di bawah 35 cm, hal ini tentunya dapat
memudahkan pengguna kursi roda.
Tim pemantauan masih menemukan 14 persen TPS yang tidak ada
alat bantun tuna netra. Ketiadaan alat bantu tuna netra tersebut bisa
jadi memang tidak ada di kotak atau petugas yang tidak mengetahui
kegunaan alat bantu tuna netra tersebut. Bahkan, di beberapa TPS alat
tersebut diletakkan di bawah meja pendaftaran pemilih tidak pernah
dijelaskan kegunaannya selama proses pemugutan suara.
Sebagai bentuk upaya untuk meningkatkan partisipasi pemilih
disabilitas pada penyelenggaraan pemilu atau Pilkada berikutnya, KPU
telah menyusun rencana strategis yang lebih inovatif dan aksesible bagi
penyandang disabilitas yaitu membuat alat peraga pendidikan pemilih
yang lebih aksesible untuk penyandang disabilitas; menyelenggarakan
fasilitasi pendidikan pemilih dan simulasi pemungutan suara bagi
penyandang disabilitas yang lebih aksesible atau selalu menghadirkan
penterjemah untuk disabilitas tuna rungu; serta menyebarkan informasi
yang lebih luas antara lain dengan menyusun Buku Seri Bacaan Pintar
Pemilu untuk segmen Pra Pemilih, Pemilih Pemula, Perempuan dan
Disabilitas untuk menambah informasi dan wawasan terkait kepemiluan.

15.2. TUMBUH KEMBANG KERELAWANAN POLITIK


15.2.1. Dari Keterbukaan KPU
Partisipasi masyarakat mengalami perkembangan sejak Pemilu 2014
lalu. Keterbukaan KPU makin menyemai bentuk-bentuk partisipasi
masyarakat, terutama yang berbasis kesukarelawanan. Masyarakat
bergerak atas kehendak sendiri untuk turut menjaga integritas hasil
pemilu dan melegitimasi keterpilihan.
Langkah KPU untuk membuka data pemilu sebetulnya adalah

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 319
inisiatif yang belum sepenuhnya dilindung undang-undang. Hanya
UU 14/2008 yang menjadi landasan pengelolaan informasi publik oleh
KPU. UU Pilkada belum memuat terma mengenai keterbukaan dan
pengelolaan informasi publik.
UU KIP mengatur pengelolaan informasi publiktentang apa dan
bagaimana informasi harus disajikan oleh penyelenggara negara agar
dapat diketahui oleh masyarakat secara luas.
Sebagaimana institusi pemerintah lainnya, beban untuk melaksanakan
UU 14/2008 juga harus dipikul oleh penyelenggara pemilu. KPU
melaksanakan pengelolaan informasi publik berdasarkan empat
kategori utama, sebagaimana diatur dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal
11 UU 14/2008. Pertama, informasi yang wajib disediakan diumumkan
secara berkala. Kedua, informasi wajib diumumkan secara serta merta.
Ketiga, informasi wajib tersedia setiap saat.
KPU menyediakan informasi yang dibutuhkan publik dengan
menyediakan portal resmi dan sistem informasi dengan muatan
informasi dan data kepemiluan yang dapat diakses secara online dan
mudah oleh masyarakat. Di Pilkada, ada sistem informasi pencalonan,
sistem informasi logistik, sistem informasi tahapan, sistem informasi
daftar pemilih, dan sistem informasi lain yang dapat diakses di satu
portal pilkada2015.kpu.go.id dan pilkada2017.kpu.go.id.
Setidaknya ada dua partisipasi yang terus berkembang. Situs
kawalpemilu.org sebagai representasi partisipasi masyarakat menjaga
integritas hasil pemilu serta pengembangan API Pemilu sebagai bahan
dasar aplikasi berbasis web dan smartphone untuk informasi bagi pemilih.
Kawalpemilu.org mulai muncul pada Pemilu 2014. Situs ini memuat
tabulasi dari hasil rekapitulasi data formulir C1 untuk pemilihan
presiden 2014. Data hasil pindaian formulir C1 ditabulasi, diunggah dan
diperbarui pada server kawalpemilu.org setiap sekitar sepuluh menit.
Di Pilkada, Kawal Pemilu bertransformasi jadi Kawal Pilkada.
Kawal Pilkada bergerak dengan tenaga relawan. Relawan-relawan
tersebut akan mengambil foto formulir C1 di masing-masing TPS.
Setelah mengambil foto, para relawan harus mengunggah foto tersebut
melalui aplikasi Kawal Pilkada yang dapat diunduh diGoogle Play

PENYELENGGARAAN
320 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
StoredanApple AppStore. Berikutnya, giliran para administrator
mengambil alih. Administrator akan memvalidasi foto dan angka yang
diisi oleh relawan. Hasilnya dapat dilihat di situskawalPilkada.id.
Data tersebut kemudian akan diolah oleh para administrator dan
ditampilkan dalam bentuk peta, beserta keterangan persentase perolehan
suara masing-masing pasangan calon. Kawal Pilkada melakukan
penghitungan suara menggunakan dua sumber data. Pertama, hasil foto
para relawan. Kedua, sumber data dari KPU berupa gambar formulir C1
plano yang harus diakses melalui situs KPU.
Selain Kawal Pilkada, ada juga inisiatif pengembangan API Pemilu.
Data riwayat hidup pendaftar Pilkada 2015 dan 2017 yang dibuka KPU
didigitalisasi oleh Perludem dalam bentuk API agar mudah dibaca
mesin. API Pemilu juga mendigitalisasi aspek lain Pilkada dan jadi bank
data pemilu digital yang menyediakan berbagai endpoint.
Perludem kemudian menjajal kerja sama dengan KPU di daerah
yang melaksanakan Pilkada. Di 2015, Perludem bekerja sama dengan
KPU Kota Surabaya menggelar Pahlawan Muda Apps Challenge, Code
for Vote 3.0. Di Pilkada 2017, giliran KPU Provinsi Banten menggelar
Pilkada Banten Apps Chalenge 2016.
Dua acara tersebut menantang para pengembang (developer) aplikasi
dan programmer IT dalam sebuah kompetisi pembuatan aplikasi atau
sohor dengan sebutan hackathon. Acara ini memaksimalkan upaya
mendekatkan informasi kepemiluan pada masyarakat yang dekat
dengan gadget dan teknologi.
Dua bentuk partisipasi ini menunjukkan bahwa aktivitas relawan ini
bersifat independen. Aktivitasnya dalam menghimpun data kepemiluan
terlihat sebagai suatu upaya untuk ikut menjaga integritas pemilu.
Kawal Pemilu menjaga integritas hasil pemilu, API Pemilu melakukan
pendidikan politik yang mulai menggerakkan warga pada pencarian
informasi sebelum memilih.
Jika suatu kelompok turut melakukan partisipasi yang bersifat
nonpartisan (tidak terlibat dalam upaya pemenangan kandidat), ia
mesti tunduk pada regulasi yang mengatur partisipasi masyarakat. Ia
wajib menjaga independensinya dan juga melaporkan profil organisasi,

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 321
susunan kepengurusan, sumber dana, rencana aktivitas serta wilayah
kerja,dan alat serta metodologi yang digunakan dalam berkegiatan.
Partisipasi yang independen dan nonpartisan sangat penting.
Sebagai pihak yang netral, masyarakat dapat menjadi saksi yang dapat
memberikan penilaian yang juga netral dan tidak memihak salah satu
kandidat atau partai politik tentang proses pemilu. Sehingga, apapun
hasil dari pemilu dan siapapun pemenangnya, apabila masyarakat
berpartisipasisecara netral, nonpartisan, dan independenmereka
tidak akan gaduh.

15.2.2. Relawan Politik Penyokong Peserta Pemilu


Selain relawan independen, muncul juga relawan yang bergotong
royong atas kemauan sendiri untuk mendukung salah satu kandidat.
Relawan ini lepas dari tim kampanye yang didanai dan bagian dari
agenda partai. Beragam agenda politik dilakukan oleh para relawan,
salah satunya yaitu melakukan mobilisasi massa. Hal ini bertujuan untuk
menghimpun masyarakat dengan harapan dapat bersama mendukung
calon yang dikehendaki. Dalam hal ini, ada dua ciri relawan yang
memobilisasi massa untuk pemenangan ini. Pertama, dalam gerakannya,
massa tidak bergantung dan berafiliasi dengan struktur partai. Kedua,
uang sebagai modal memobilisasi datang dari sumbangan sukarela.
Keterlibatan dalam upaya pemenangan kandidat berkonsekuensi
pada mobilisasi massa yang kemudian juga tak bisa mengelak dari
kebutuhan mengonsolidasikan ongkos politikaktivitas mobilisasi
finansial untuk keperluan logistik (pemasangan atribut, penyebaran alat
peraga, dll).
Marcin Walecki, doktor hukum dan ilmu politik lulusan Oxford,
menyebut relawan ini sebagai partai ketigaorganisasi yang meme
ngaruhi hasil pemilu, tapi dia bukan pelaku atau partai politik peserta
pemilu. Praktik ini memang lazim terjadi di negara-negara yang
berdemokrasi.
Bentuk-bentuk partisipasi tersebut sering tumpang tindih antara
keterlibatan kelompok masyarakat yang mendukung peserta pemilu,

PENYELENGGARAAN
322 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
dengan keterlibatan kelompok masyarakat nonpartisan yang menjaga
pemilu luber dan jurdil.
Namun, jika kita cermati, fenomena relawan yang terlibat dalam
pemenangan ini senada dengan kategori-kategori kampanye. Kampanye
didefinisikan sebagai kerja terkelola yang berusaha agar calon dipilih
atau dipilih kembali dalam suatu jabatan. Bedanya, kampanye menjadi
cara yang digunakan oleh para calon untuk merayu pemilih agar
pemilih mau memberikan suaranya untuk mereka dengan sumber dana
yang berasal dari partai politik dan calon, sumbangan perseorangan,
dan perusahaan.
Dari kesamaan kategori ini, sudah sepatutnya pengaturan soal
relawan tak luput dalam pengaturan soal kampanye. Apalagi, di Indo
nesia, relawan terorganisir membangun komunikasi intens dengan
kandidat. Berbeda dengan relawan terorganisir di Amerika yang tidak
berkomunikasi dengan kandidat. Oleh karena itu, semua yang bekerja
untuk kandidat dan untuk kemenangan kandidat harus terdaftar di
KPU. Sumber dana dan keanggotaan termasuk yang diverifikasi dalam
pendaftaran ini.
Ada wilayah kelabu regulasi pemilu yang belum mengatur relawan
politik yang turut membantu pemenangan calon. UU 8/2015 belum
mengenal istilah relawan. Relawan baru ditemukan pada UU 10/2016.
Di UU tersebut, Pasal 73 ayat (4) mengatur relawan juga dilarang
melakukan politik uang. Sementara pengaturan yang menegaskan
bahwa fenomena relawan yang terlibat dalam pemenangan ini senada
dengan kategori-kategori kampanye belum ada di aras undang-undang.
Undang-undang belum memuat distingsi yang jelas mengenai par
tisipasi partisan dan nonpartisan. Penegasan kembali mengenai par
tisipasi yang partisan dan partisipasi non partisan dalam peraturan
diperlukan. Garis tegas partisan/nonpartisan mesti jadi titik awal
pengaturan.
Jika suatu kelompok bersifat partisan (terlibat dalam upaya peme
nangan kandidat), ia mesti ikut pada regulasi yang mengatur tim
kampanye atau tim sukses. Ia harus transparan dan akuntabel soal
susunan anggota serta metodologi yang digunakan dalam melakukan

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 323
kegiatan. Laporan keuangan juga mesti transparan dan akuntabel serta
diaudit oleh akuntan independen. Batas sumbangan dan belanja juga
diberlakukan pada kelompok ini.
Pengaturan tersebut justru ada pada aras peraturan KPU. PKPU
7/2015 menyebut secara jelas bahwa kampanye dapat dilaksanakan
oleh relawan. Relawan didefinisikan sebagai pendukung pasangan
calon yang menjalankan program-program kampanye secara sukarela.
Pasangan calon dan/atau tim kampanye mendaftarkan orang-
seorang dan relawan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada KPU
Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota 1 (satu) hari setelah
penetapan Pasangan Calon sampai dengan paling lambat 1 (satu) hari
sebelum penyelenggaraan kampanye.
Berseraknya pengaturan tentang partisipasi ini telah membuka
celah bagi masuknya kepentingan politik peserta pemilu menunggangi
partisipasi masyarakat yang seharusnya bersifat independen. Survei
dan penghitungan cepat, misalnya, lebih marak dilakukan sebagai
penggiring opini publik dalam menentukan pilihan. Padahal, survei
ini juga penting untuk teguh bersifat independen dalam memastikan
proses dan hasil pemilu berjalan jujur dan adil.
Pengaturan ini tentu diperlukan agar tidak ada pihak-pihak yang
menancapkan kepentingannya dengan memberi modal pada kelompok
ini untuk mendapat keuntungan pribadi. Lebih jauh, jika ini tak diatur,
relawan bisa jadi menjadi arena baru tempat oligarki menginvestasikan
modalnya dan menyamarkan kepentingan-kepentingannya.

PENYELENGGARAAN
324 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Daftar Pustaka

AGENDA. (2017). Hasil Pemantauan Pelaksanaan Pemilu Akses Pilkada


DKI Jakarta. Jakarta: AGENDA.
AGENDA, dkk. (2015). Observation Results on Electoral Access for
People with Disabilities in Five Local Election in Indonesia.
Jakarta: AGENDA.
Agust, R. L. (2014, Desember 1). Mencari Format Ideal Uji Publik. Suara
KPU, III, p. 5.
Agust, R. L. (2016, Januari 1). Keadilan di Sengketa Pilkada.Suara KPU,
5.
Anggoro, A. P. (2016, September 5). Hak Suara Pemilih Bisa Hilang.
Kompas.
Anggraini, T. (2016, Juni 9). Ambiguitas Pengaturan Politik Uang.
Kompas, 6.
Bjornlund, E. C. (2004). Beyond Free and Fair: Monitoring Elections and
Building Democracy. Amerika: John Hopkins Univesity Press.
Gaffar, J. M. (2015, September 23). Perselisihan Hasil Pilkada Serentak.
Retrieved Maret 6, 2017, from Sindonews: https://nasional.
sindonews.com/read/1047430/18/perselisihan-hasil-pilkada-
serentak-1442987130/13

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 325
Hafidz, M. (2016, Oktober 1). Mengukur Representasi Rakyat dalam
Tahapan Pencalonan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota
2017. Retrieved Februari 20, 2017, from Nusantaranews:
http://nusantaranews.co/mengukur-representasi-rakyat-
dalam-tahapan-pencalonan-pemilihan-gubernur-bupati-dan-
walikota-2017-artikel-masykurudin-hafidz/
Husein, H. (2014). Pemilu Indonesia. Jakarta: Perludem.
Husein, H. (2017, Februari 13). E-Voting untuk Pemilu 2019? Republika,
24-25.
Irawan, A., Dahlan, A., Fariz, D., & Putri, A. G. (2014). Panduan
Pemantauan Korupsi Pemilu. Jakarta: ICW.
Katharina, R. (2016, September). KTP Elektronik dan Pemilihan Kepala
Daerah Serentak 2017. Majalah Info Singkat Pemerintahan
Dalam Negeri, VIII, No. 17/P3DI/September/2016, 17.
Lee, A. (2015, September 30). Sistem Informasi Logistik Wujud
Transparansi Pilkada. Retrieved Maret 12, 2017, from Kompas:
http://print.kompas.com/baca/polhuk/politik/2015/09/30/
Sistem-Informasi-Logistik-Wujud-Transparansi-Pilka
Lee, A. (2017, Maret 2). Koalisi Cair, Koalisi Kekuasaan. Kompas, 5.
Lee, A. (2017, Februari 28). Selisih Perolehan Suara Tetap Menentukan.
Kompas, 4.
Maharddhika. (2015, Desember 16). Serba Salah Sosialisasi. Retrieved
Maret 6, 2017, from Rumah Pemilu: http://rumahpemilu.org/
id/serba-salah-sosialisasi/
Maharddhika, & Pratama, H. M. (2016, April). Perbaikan Pilkada Bercalon
Tunggal: Desain Surat Suara, Metode Pemberian Suara, dan
Metode Kampanye. Jurnal Pemilu dan Demokrasi, 109.
Mainwaring, S. (1990). Presisentialism, Multiparty Systems, And
Democracy: The Difficult Equation. Kellogg Institute.
Manik, H. K. (2016). Evaluasi Pilkada 2015: Catatan Terhadap Pilkada
Serentak Transisi Gelombang Pertama Menuju Pilkada Serentak
Nasional. Jakarta: KPU.
Pamungkas, S. (2011). Partai Politik: Teori dan Praktek di Indonesia .
Yogyakarta: Institutte for Democracy and Walfarism .

PENYELENGGARAAN
326 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Pamungkas, S. (2016, Desember 30). Potensi dan Antisipasi Permasalahan
Pemungutan dan Penghitungan Suara. Retrieved February
25, 2017, from KPU: http://jdih.kpu.go.id/data/data_
artikel/3.%20Paparan%20Pungut%20&%20Tungsura%20-%20
Konsolnas%20Hukum%20Bali%202016.ppt
Perludem dan KoDe Inisiatif. (2016). Kembalinya Mahkamah Kalkulator:
Evaluasi atas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada Serentak
2015. Jakarta: Perludem dan KoDe Inisiatif.
Pratama, H. M., & Maharddhika. (2016). Prospek Pemerintahan Hasil
Pilkada Serentak 2015. Jakarta: Perludem.
Purnamasari, D. D., & Bimantara, J. G. (2017, Februari 18). Sumber
Kepanikan Antusiasme Warga Bernama DPTb. Kompas.
Ramadhanil, F. (2015, Agustus 31). Sengketa Pemilihan Kepala
Daerah. Retrieved Maret 6, 2017, from Republika: http://
www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/08/31/
ntxnc63-sengketa-pemilihan-kepala-daerah
Ramadhanil, F. (2016, April). Catatan Proses Pencalonan Pemilihan
Kepala Daerah Tahun 2015 dan Sengketa Kepengurusan Partai
Politik. Jurnal Pemilu dan Demokrasi, 63.
Sadikin, U. H. (2015, September 8). Calon Tunggal Bukan Soal Kaderisasi
Partai Politik. Retrieved Maret 3, 2017, from Rumah Pemilu:
http://arsip.rumahpemilu.org/in/read/9742/Calon-Tunggal-
Bukan-Soal-Kaderisasi-Partai-Politik-OLEH-USEP-HASAN-
SADIKIN
Sadikin, U. H. (2015, April 15). Yenny Soetjipto: Fiskal Daerah Terbatas,
Pilkada Harus dari APBN. Retrieved Februari 27, 2017, from
Rumah Pemilu: http://rumahpemilu.org/id/yenny-soetjipto-
fiskal-daerah-terbatas-pilkada-harus-dari-apbn/
Seknas Fitra. (Jakarta). Naskah Rekomendasi: Kebijakan Anggaran
Pemilihan Umum Kepala Daerah, Efisien dan Demokratis.
Jakarta: Seknas Fitra.
Sinambela, D. B. (2015, Mei 23). Masih Menanti Kejelasan Anggaran.
Retrieved Februari 25, 2017, from Rumah Pemilu: http://
rumahpemilu.org/id/masih-menanti-kejelasan-anggaran/

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 327
Supriyanto, D., Agustyati, K. N., & Mellaz, A. (2013). Menata Ulang
Jadwal Pilkada Menuju Pemilu Nasional dan Daerah. Jakarta:
Perludem.
Surbakti, R. (2014, Oktober 21). Pemerintahan Terbelah. Kompas, 6.
Surbakti, R., & Supriyanto, D. (2013). Partisipasi Warga Masyarakat
dalam Proses Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Jakarta:
Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan.
Tim Kompas. (2015, Desember 1). KPU Siapkan Pesawat dan Kapal
Khusus. Kompas, 22.
Tim Kompas. (2016, September 26). Ketentuan Terpidana Percobaan
Digugat. Kompas, 5.
Tim Kompas. (2016, September 6). Selamatkan Hak Pilih Warga. Kompas,
2.
Tim Kompas. (2017, Februari 12). Kampanye Usai, Masa Tenang Dimulai.
Kompas, 1.
Tim Kompas. (2017, Februari 2). Negara Harus Jamin Hak Pilih Warga.
Kompas, 1.
Tim Kompas. (2017, Januari 31). Politik Uang Tetap Jadi Masalah.
Kompas, 2.
Tim Kompas. (2017, Februari 14). Terhalang Gelombang Tinggi. Kompas,
22.
Tim KPU. (2014). Laporan Evaluasi Penyelenggaraan Tahapan Pemilu
Tahun 2014. Jakarta: KPU.
Tim Peneliti ICW. (2017). Dinasti Politik, Korupsi Kepala Daerah, dan
Pilkada Serentak 2017. Jakarta: ICW.
Tim Peneliti Perludem. (2011). Menata Kembali Pengaturan Pemilukada.
Jakarta: Perludem.
Wall, A. (2006). Electoral Management Design: The New International
IDEA Handbook. Stockholm: Intenational Institute for
Democracy and Electoral Assistance.
Wirawan, J. (2015, Desember 7). Pengiriman Surat Suara Pilkada di
Papua Kurang Satu Distrik. Retrieved Maret 12, 2017, from
BBC Indonesia: http://www.bbc.com/indonesia/berita_
indonesia/2015/12/151207_indonesia_pilkada_logistik

PENYELENGGARAAN
328 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Regulasi
Peraturan MA No. 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya
Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan
Pilwakada Dari KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/ Kota
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota
Peraturan Komisi Pemilihan UmumNomor 12 Tahun 2015
TentangPerubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur
Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau
Walikota Dan Wakil Walikota
Peraturan Komisi Pemilihan UmumNomor 12 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7
Tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan
Wakil Walikota
Peraturan Komisi Pemilihan UmumNomor 14 Tahun 2015 Tentang
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan Satu
Pasangan Calon
Peraturan Komisi Pemilihan UmumNomor 14 Tahun 2016
TentangPerubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 10 Tahun 2015 tentang Pemungutan dan Penghitungan
Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
Peraturan Komisi Pemilihan UmumNomor 2 Tahun 2015 Tentang
Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/
atau Walikota dan Wakil Walikota
Peraturan Komisi Pemilihan UmumNomor 3 Tahun 2016 Tentang
Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/
atau Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2017

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 329
Peraturan Komisi Pemilihan UmumNomor 4 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum RI
Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal
Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil
Walikota Tahun 2017
Peraturan Komisi Pemilihan UmumNomor 5 Tahun 2015 Tentang
Sosialisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/
atau Walikota dan Wakil Walikota
Peraturan Komisi Pemilihan UmumNomor 5 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
Peraturan Komisi Pemilihan UmumNomor 7 Tahun 2015 Tentang
Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
Peraturan Komisi Pemilihan UmumNomor 7 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan KPU RI Nomor 3 Tahun
2016 tentang Tahapan, Progam dan Jadwal Penyelenggaraan
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2017
Peraturan Komisi Pemilihan UmumNomor 8 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor
4 Tahun 2015 tentang Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih
dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
Peraturan Komisi Pemilihan UmumNomor 9 Tahun 2015 Tentang
Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
Peraturan Komisi Pemilihan UmumNomor 9 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur

PENYELENGGARAAN
330 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau
Walikota dan Wakil Walikota
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 TAHUN 2015 Tentang
Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota
Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 05 Tahun 2015 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
1 Tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara
Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 Tentang
Pemilihan, Pengesahan pengangkatan, dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan
Walikota Menjadi Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
Menjadi Undang-Undang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang
Keterbukaan Informasi Publik
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang
Partai Politik
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
Tentang Administrasi Kependudukan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah

PENYELENGGARAAN
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 331
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi
Undang-undang

PENYELENGGARAAN
332 Pilkada Serentak 2015 dan 2017
Jln. Imam Bonjol No. 29 Jakarta 10310
Telp. 021- 31937223, Faks. 021-3157759

KPU Republik Indonesia www.kpu.go.id @KPURI2015

Anda mungkin juga menyukai