Anda di halaman 1dari 10

JPW (Jurnal Politik Walisongo) – Vol 2, No 1 (2020), 37--46

ISSN: 2503-3190 (p); 2503-3204 (e)


DOI: 10.21580/jpw.2020.2.1.3631

Nilai Kearifan Lokal dalam Perilaku Politik Studi


Analitis tentang Etika dan Sikap Berpolitik Santri di
Madura
Mohammad Suhaidi 1 Sihabuddin2
STKIP PGRI Sumenep, Madura - Indonesia

Abstract

The advantage of Islamic Boarding politicians is their ability to preserve the typical Islamic characteristics values; those
are ethics and modesty towards the Kiai and Ulama as their teachers. The majority of the Madurese people make
Ulama as a role model. Obedience to the Kiai is a form of respect that becomes the identity of Santri, including santri
who are involved in practical politics. The uniqueness of santri (santri politicians) when determining the political
decision cannot be separated from the blessing from the Kiai, even though they participated in different political party
The Kiai's blessing is essentially a political capital that can strengthen its existence in the political competition.The
characteristics of santri are to remain istiqomah in the making of local wisdom value as the basis of politics. Buppa
'Bappu', Gurur, ratoh has become an integral part of every political taken step. Getting the blessing from the Kiai who
has been united in pesantren becomes a necessity made by bhindara. There are two things to get the blessing from Kiai,
First, a direct approval from Kiai by acabis or sowan to the Kiai.Second, an approval through Kiai's sons, by
communicating to the Kiai's son about his political choice.

Salah satu kelebihan politisi pesantren adalah kemampuannya dalam menjaga karakteristik nilai-nilai pesantren yang
khas, yaitu etika dan kesopanan terhadap kiai dan ulama yang menjadi gurunya. Sebagaimana masyarakat Madura
secara umum, ulama adalah panutan yang diposisikan cukup terhormat. Taat dan patuh kepada kiai adalah bentuk
penghormatan yang menjadi identitas kalangan santri, termasuk santri yang terlibat dalam politik praktis. Keunikan
politisi pesantren dalam menentukan arah politik tidak lepas dari upaya mendapatkan restu dari sang kiai, sekalipun ia
harus berbeda partai dengan kiai. Restu kiai pada hakikatnya menjadi modal politik yang bisa memperkuat
eksistensinya dalam pergulatan politik yang dilakukan. Karakteristik santri adalah tetap istiqomah dalam menjadikan
nilai kearifan lokal sebagai dasar berpolitik. Buppa’ Bappu’,guruh, ratoh telah menjadi bagian integral dalam setiap
langkah politik yang dilakukan. Mendapatkan restu dari seorang kiai yang telah membesarkannya di pesantren,
menjadi keniscayaan dilakukan oleh politisi pesantren. Upaya mendapatkan restu tersebut dilakukan dengan dua hal.
Pertama, restu langsung dari kiai dengan cara acabis dan sowan dengan kiai. Kedua, restu melalui putra-putra kiai, yang
dilakukan dengan cara menyampaikan kepada putra kiai tentang pilihan politik yang diyakininya.

Keywords: Values, Local Wisdom, Kiai and Bhindhara

__________
1Korespondensi: Mohammad Suhaidi (emsuhaidi27@gmail.com), Jl. Trunojoyo, Gedungan Barat, Gedungan, Batuan,
Kabupaten Sumenep, Jawa Timur 69451.
2 Korespondensi: Sihabuddin, Jl. Trunojoyo, Gedungan Barat, Gedungan, Batuan, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur

69451.

Copyright © 2020 JPW (Jurnal Politik Walisongo) │ 37


Mohammad Suhaidi & Sihabudin

Pendahuluan telah sepakat untuk menolak kekerasan,


tapi kekerasan tetap dilakukan, maka
Dominasi santri dalam pergulatan lokal telah keputusan itu adalah tidak demokratis dan
memberikan warna baru dalam dinamika sosial sekaligus bertentangan dengan nilai-nilai
politik yang ada. Santri yang pada awalnya moral yang humanistik” (A’la, 2009, 135).
dianggap sebagai masyarakat tradisional dan Banyak penelitian mengenai hubungan
hanya memiliki pemahaman yang kuat, ternyata santri dan Kiai di dalam Politik sebelumnya dari
telah membalikkan fakta, karena ternyata yang tergolong klasik hingga yang kontemporer
kalangan santri telah menjadi pihak yang paling antara lain karya Zamroni (2016), (Syarif
dominan dalam kekuasaan politik, secara khusus 2016),(Ma’arif 2004),(Mas’ud 2004). Dari
dalam pergulatan politik lokal Madura. Para berbagai kajian di atas, kajian mengenai pola
santri tidak lagi menjadi penonton dari aksi para hubungan santri dan Kiai yang ada dirasa perlu
politisi yang lain, tetapi telah menjadi bagian dari ditambahkan narasi mengenai etika acabis yang
permainan politik yang dilakukan. Bahkan, tidak merupakan kearifan lokal asli santri Madura
jarang, para santri menjadi pemain penting yang saat ini menjadi politikus di berbagai partai
dalam sebuah pergulatan politik yang politik yang ada di Indonesia ke dalam karya-
berlangsung. karya. Setiap keputusan yang diambil oleh setiap
Pasca reformasi, dimana kran politik dibuka warga pesantren bergantung pada restu Kiai,
sangat lebar, kalangan santri telah melakukan mereka berusaha tidak melakukan hal –hal yang
penyebaran peran politik yang tidak terbatas, tidak berkenan dihadapan Kiai (Ma’arif
bukan hanya dalam partai berbasis pesantren 2004,276). Istilah acabis (sowan) adalah
(Islam), tetapi juga dalam partai nasionalis dan perwujudan sikap ‘tawadhu’ dan menghormati
partai-partai yang tidak se-ideologi dengan kiai yang menjadi ajaran pesantren, restu dari
ajaran pesantren, seperti Partai Golkar, Nasdem, Kiai dibutuhkan agar selamat dunia akhirat
PDI-P, Hanura dan termasuk juga PKS yang termasuk dalam berpraktik politik.
merepresentasikan sebagai partai Islam dengan Sejarah perpolitikan kyai Indonesia sangat
pola keagamaan yang berbeda dengan pola berpengaruh didalam perselisihan partai politik
keagamaan ala pesantren. Namun demikian, tahun 1980 an, maka aspirasi politik Kiai di
keterlibatan kalangan pesantren tersebut, dalam partai politik dapat mempengaruhi
diharapkan akan memberikan kontribusi yang pengikutnya sebagai fatwa politik(Maunah
positif dalam mengawal demokrasi yang 2009). Namun saat ini, perilaku Politik santri
bermoral, karena pesantren telah memberikan berubah seiring dengan perkembangan jaman.
pencerahan dengan pendidikan moral yang Globalisasi informasi mengakibatkan perubahan
sangat kuat. Di tangan kalangan politisi perilaku kepatuhan santri terhadap Kyai. Santri
pesantren, demokrasi akan berjalan sesuai saat ini hanya mengikuti fatwa Kyai dalam
dengan semangat oleh rakyat, untuk rakyat dari bidang agama dan bukan politik. Fatwa politik
rakyat. Inilah demokrasi yang substansial, dan kyai menjadi lemah disebabkan kasus-kasus
bhindhara memiliki tanggungjawab untuk pemilu Indonesia, baik pemilu legislatif maupun
mewujudkannya. Menurut Abd. A’la bahwa: Pemilihan Presiden yang merubah persepsi
“Demokrasi yang substansial adalah santri (Maunah 2009). Meski berbeda dalam
demokrasi yang mampu menangkap pilihan politik namun tradisi acabis (sowan)
kearifan dan pandangan-pandangan moral masih ada sebagai bentuk ‘takdzim’ kepada
seluruh masyarakat, bahkan seluruh umat gurunya sesuai dengan falsafah Madura Bhuppa’
manusia sehingga menjadi proses Bhâbhu’ Ghuru Rato. Kepatuhan terhadap
pemanusiaan manusia. Ketika masyarakay

38 │ JPW (Jurnal Politik Walisongo) – Vol. 2, No. 1 (2020)


Nilai Kearifan Lokal

seorang ghuru (guru) di Madura atau Kyai menunjukkan bahwa kiai dianggap istimewa
(bindhara) tidak dapat dipisahkan sesuai dengan karena mereka pilihan Allah SWT. Istilah Kiai
ayat Alqur’an Ati’ullaha wa ati’ur rasula wa ulil adalah sebutan yang digunakan untuk
amri minkum yang bermakna: “Taatilah Allah dan menunjukkan sesuatu atau seseorang yang
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara memiliki kualitasdi atas rata-rata (Bull dan
kamu.(Al- Qur’an, An Nisa, 59). Lukens, 2004). Terdapat dua faktor utama yang
Budaya acabis (sowan) kepada kiai yang menjadikan kiai mendapatkan derajat sosial atau
dilakukan oleh santri yang telah menjabat status penghormatan tinggi di dalam suatu masyarakat.
sosial tertentu, sebagai tokoh masyarakat, Pertama, kiai memiliki pengetahuan dalam
birokrat, pejabat publik, maupun politisi, dalam bidang agama yang luas sehingga menjadikan
prakteknya tetap dilakukan dengan penuh mereka sebagai sumber pemahaman keagamaan
andhap asor dan penuh keikhlasan yang sangat masyarakat. Kedua, Pada umumnya para kiai
dalam. Acabis yang dilakukan oleh santri biasanya dari kalangan menengah ke atas.
sejatinya tidak hanya menjadi momentum, santri Mereka memiliki sumber daya ekonomi yang
bertemu kiai, melainkan lebih dari sekedar itu, melebihi penduduk desa pada umumnya. Dua
kedatangan santri kerapkali untuk meminta doa’ faktor ini saling mendukung kiai menjadi elit di
nasehat ataupun pertimbangan untuk satu
Desa (Turmudi 2004). Di Madura pengakuan
aktivitas tertentu yan akan dilakukan. Petunjuk
masyarakat memiliki peran yang lebih
Kiai, biasanya dijadikan sebagai pertimbangan
menentukan berkaitan dengan keulamaan
utama sebelum dilakukan keputusan atas
masalah yang dihadapi. seseorang daripada sekedar faktor geneologis.
Dengan demikian tingkatan kiai didasarkan
Kearifan lokal dan tradisi budaya Madura bukan pada keturunan tetapi pada
sangat penting untuk direkonstruksi dalam
kualitas(Turmudi 2004).
rangka menemukan ke aslian budaya yang saat
ini di dominasi oleh modernisme. Tradisi lokal Perbedaan pilihan politik praktis yang
menjadi terasingkan bahkan terkubur, sehingga dilakukan oleh santri dalam konteks politik
demikian banyak orang Madura yang tidak dengan kiai, tentu saja menjadi fenomena lain
mengenal jati diri asli budaya lokalnya. ketika dihubungkan dengan logika kepatuhan
Masyarakat Madura pun tidak luput dari terhadap guru sebagaimana telah diajarkan
fenomena demikian. Secara kasat mata, sudah dalam tradisi pesantren dan masyarakat Madura
sedemikian banyak nilai-nilai luhur Madura secara umum. Karena bagaimanapun,
hilang dari sosok kepribadian generasi muda mengambil jalan berbeda antara santri dengan
(Hidayat 2012). Berdasarkan penelitian- kiai, sejatinya merupakan gambaran dari
penelitan di atas, kajian ini akan memfokuskan perilaku yang kurang lumrah, karena santri telah
perhatian pada beberapa hal. Pertama, adalah memiliki kaidah-kaidah kepatuhan yang tidak
pada santri yang berpolitik yang tetap tertulis untuk patuh terhadap kiai sebagai bentuk
mengedepankan acabis (sowan) kepada Kiai penghormatan terhadap guru yang telah
sebagai penasihat didalam relasinya dalam membesarkannya dengan ilmu pengetahuan ala
berpolitik didalam kebudayaan Madura.Kedua pesantren. Artinya, sehebat apapun seorang
sikap dan cara politisi pesantren memposisikan
santri setelah kembali ke masyarakat,
kiai memperkuat posisi dirinya sebagai politisi
penghormatan terhadap guru di pesantren tetap
berlatar belakang pesantren.
terjaga dengan baik, sehingga tradisi acabis
Kiai secara etimologis berasal dari kata‘iki (sowan) dalam kondisi tertentu kepada kiainya,
wae’,yang dapat diartikan ‘orang terpilih’. Ini

JPW (Jurnal Politik Walisongo) – Vol. 2, No. 1 (2020) │ 39


Mohammad Suhaidi & Sihabudin

menggambarkan tentang ikatan emosi yang kuat model pengumpulan data, yang meliputi
antara kiai dengan santri. observasi (pengamatan), wawancara mendalam
Dalam konteks itu, memahami perilaku (indepth interview), dan metode dokumentasi.
politik politisi pesantren memiliki relevansi, Penentuan populasi dan sampel ditetapkan
ketika dihadapkan pada masalah ikatan sebagai narasumber dilakukan dengan
emosional antara guru-murid dalam konteks menggunakan teknik snow-ball, yaitu penggalian
pergulatan politik. Etika dan kaidah-kaidah data melalui wawancara mendalam dari satu
penghormatan terhadap guru menjadi penting responden ke responden lainnya dan seterusnya
dimaknai, karena keterlibatan politisi pesantren sampai peneliti tidak menemukan informasi
dalam “rimba politik” bisa menyebabkan baru lagi (Vismaia dan Syamsudin 2007, 75).
perubahan paradigma tentang hubungan kiai- Penelitan ini menggunakan metode penelitian
santri yang sangat fatal. Atas dasar gambaran kualitatif dimana peneliti berpartisipasi secara
tersebut, kajian ini dapat dipetakan menjadi langsung di dalam penelitian skala sosial kecil
beberapa masalah. Pertama, bagaimana konsep dan mengamati budaya setempat(Maros 2016).
etis relasi guru-murid dalam konteks pesantren Sementara, teknik analisis isi (content analysis)
dan kebudayaan Madura? Kedua, Bagaimana digunakan untuk menggambarkan tentang
sikap dan cara politisi pesantren memposisikan kategori-kategori yang ditemukan dan muncul
kiai memperkuat posisi dirinya sebagai politisi dari data yang ada sehingga dapat melahirkan
berlatar belakang pesantren? analisis yang obyektif tentang upaya santri politik
guna menginternalisasi nilai-nilai pesantren
Tradisi acabis ( Sowan ) merupakan salah
dalam dunia politik yang dilakukannya.Teknik
satu bentuk persepsi etis dari suatu tindakan
penggalian data yang digunakan dalam
politik seseorag yang di dalam kajian ini adalah
penelitian ini adalah observasi partisipasi
santri. Norma-norma yang berlaku dalam
(participant observation), dan wawancara
pesantren yaitu takdzim atau hormat terhadap
mendalam (indept interview) Dalam hal ini,
Kyai merupakan suatu keniscayaan yang tidak
peneliti terlibat secara langsung dalam
bisa dipisahkan menurut relasi Ghuru dan murid.
melakukan interview kepada praktisi politik
Tradisi etika acabis (sowan) akan menjelaskan
yang dahulu merupakan santri pesantren.
kearifan politisi pesantren Madura yang berbeda
sehingga menjadi politisi moral bukan moralitas Acabis untuk Restu Politik : Legitimasi Sang
politik yang hanya mengedepankan kepentingan Kiai untuk Sang Murid
politik (Hidayat 2012). Dunia politik dan etika
sangat berkaitan untuk mewujudkan nilai norma Politik identik dengan perebutan kekuasan
yang ada di masyarakat yang dianggap ideal. dan kompetisi memenangkan kepentingan.
Tingkah laku yang sesuai norma merupakan Dalam politik kerapkali diberlakukan hukum
cerminan dari apa yang ada dalam alam pikiran “yang cerdik, ia yang menang”, walaupun dengan
seseorang, maka acabis merupakan bagian dari menggunakan cara-cara yang berlawanan
karakter santri Madura yang sebenarnya juga dengan moralitas agama. Moralitas politik
berdimensi etis dalam konteks kehidupan memiliki cara pandangnya sendiri dan pada
bermasyarakat dalam konteks perilaku politik gilirannya mampu mengalahkan moralitas
santri Madura (Hidayat 2012) agama. Akibatnya, dunia politik selalu
Penelitian ini merupakan penelitian field diibaratkan sebagai dunia kotor yang sulit
research (penelitian lapangan), dengan beberapa disucikan, tetapi bukan berarti tidak bisa

40 │ JPW (Jurnal Politik Walisongo) – Vol. 2, No. 1 (2020)


Nilai Kearifan Lokal

disucikan, karena kotor dan tidaknya dunia menjadi fenomena di kalangan masyarakat
politik, sangat ditentukan oleh perilaku para pesantren di tanah Jawa, bahkan juga di Madura.
politisi di dalamnya. Maka, kehadiran santri Abdurrahman Mas’ud menulis bahwa Jawa pada
dalam dinamika politik praktis, pada gilirannya abad XIX M. Menyaksikan kepemimpinan kiai
memberikan harapan baru tentang dunia kelam dalam pesantren demikian unik, dalam arti
politik, karena santri telah dibentuk melalui menjaga ciri-ciri tradisional pramodern seperti
proses pendidikan keagamaan yang kuat. hubungan intim guru-murid yang didasarkan
lebih pada suatu sistem kepercayaan daripada
Kondisi tersebut semakin menegaskan hubungan patron-client yang berkembang luas di
bahwa santri di Madura memang selalu menjadi masyarakat. Para santri menerima
aktor penting dalam dinamika sosial politik yang kepemimpinan kai karena percaya pada konsep
berkembang, seperti yang pernah diungkapkan dalam masyarakat Jawa, yaitu berkah atau
oleh Heather Sutherland, bahwa kalangan santri baraka yang didasarkan atas doktrin
adalah sumber terpenting (pembentukan) opini keistimewaan status seseorang alim dan wali
dan kepemimpinan dalam masyarakat (Mas’ud 2004).
Nusantara, terutama di daerah-daerah yang kuat
Islamnya di Pesisir [utara Jawa], Banten dan Secara garis besar, restu politik yang
Madura di Jawa Timur (Baso 2012, 191) . didapatkan oleh politisi pesatren dari kiainya,
dapat dipetakan menjadi dua hal, yaitu restu
Yang menarik, pergulatan politik kalangan
langsung kiai dan restu melalui putra kiai.
politisi pesantren telah membuka cakrawala
baru perpolitikan yang terjadi, karena kehadiran Restu Langsung Kiai
politisi pesantren telah berhasil meruntuhkan
dominasi politisi di luar pesantren. Jabatan elit Bagi kalangan masyarakat pesantren,
partai, secara faktual telah banyak yang dipegang berkomunikasi dengan kiai dalam setiap
oleh politisi pesantren, sehingga perilaku partai aktivitas yang dilakukan atau yang akan
seyognnya dapat dikendalikan oleh cara pandang dilakukan, hal yang sudah menjadi karakteristik
santri. Nyaris, jabatan stretagis semua partai yang tidak bisa dipisahkan. Sebagaimana banyak
yang ada di Madura, berada di tangan kalangan teori yang menjelaskan bahwa kiai pesantren
politisi pesantren. menjadi teladan dan panutan dalam kehidupan
Namun demikian, karakter politisi pesantren sosial keagamaan masyarakat, sehingga
memang berbeda dengan politisi lainnya, penghormatan terhadap mereka, menjadi
terutama ketika di hadapkan pada pilihan politik sesuatu yang niscaya dilakukan, termasuk oleh
yang berbeda dengan kiai (gurunya ketika masih politisi pesantren. Jadi, menghargai dan
di pesantren). Bahkan untuk memastikan pilihan menghormati kiai tetap menjadi bagian integral
politik akan menjadi tempat berlabuh, kalangan dalam kehidupan mereka.
politisi pesantren, terlebih dahulu meminta
resttu dan masukan kepada kiainya di pesantren. Salah seorang politisi pesantren, Alanwari
Hal itu dilakukan, bukan hanya sekedar untuk misalnya, sebelum pindah dari PKB ke PKS, ia
memantapkan keyakinan atas pilihan politiknya, terlebih dahulu sowan ke pesantren yang
melainkan juga untuk mendapatkan barokah menjadi tempat dirinya digembleng dulu untuk
dari kiai yang bersangkutan. Sebab, pola meminta petunjuk terhadap guru spritualnya,
hubungan antara kiai dengan santri, lebih sehingga partai politik yang akan dijadikan
didasarkan pada pola hubungan guru-murid tempat untuk berjuang, bisa relevan dengan
yang sangat esensial dan unik, sebagaimana telah pilihan hatinya. Yang jauh lebih penting adalah, ia

JPW (Jurnal Politik Walisongo) – Vol. 2, No. 1 (2020) │ 41


Mohammad Suhaidi & Sihabudin

tidak salah dalam memilih partai, sehingga dapat sebagai partainya, padahal gurunya di pesantren
mengantarkannya mencapai impian politiknya. memilih PPP sebagai wadah perjuangannya,
Menurutnya, hijrah politik yang dilakukannya tidak bisa dilepaskan dari restu yang telah
dari PKB ke PKS, sejatinya dilakukan setelah diberikan oleh gurunya tersebut. Khalqi aktif di
berkonsultasi dengan kiainya. PKB, telah mendapatkan legitimasi melalui restu
“Ini saya juga hasil konsultasi, ketika saya yang diberikan oleh KH. A. Waris Ilyas sebagai
sudah ruwet akibat Pilkada Pamekasan 2013 tokoh PPP di Kabupaten Sumenep. Menurutnya :
dan saya harus menunujukkan eksistensi “Ketika saya ijin masuk PKB, beliau merestui
bahwa Anwari bukan orang yang tak layak saya. Beliau berpesan kepada saya “berpolitik,
untuk dijual, saya harus keluar dari barisan jangan main-main”. (wawancara, 26 Juni
saya (PKB, pen), kalau saya jadi anggota 2017) (Anwari 2017)
dewan lagi, orang akan menyatakan macam- Ungkapan Khalqi di atas, jelas memberikan
macam dan lain sebagainya. Jadi, saya harus isyarat tentang sebuah restu yang diberikan oleh
keluar, kemudian saya konsultasi dengan gurunya kepada santri. Bahwa menjadi politisi
guru spritual saya almarhum Kiai Basyir di itu, tidak hanya sekedar berpolitik, melainkan
Pesantren Guluk-Guluk. Saya mator ke beliau, dibutuhkan keseriusan, sebagaimana pesan KH.
saya bilang “abdina kakdintoh mau keluar dari A. Warist Ilyas terhadap santrinya yang secara
PKB,mohon dhabu”. Kemudian, beliau bilang politik berbeda arah. Ikatan emosional guru-
sama saya “dhe’emma’ah bekna”. Abdina murid sebagaimana dialami oleh kalangan
sudah ada ketidaksamaan sikap dengan politisi pesantren tersebut, menegaskan dengan
teman-teman yang ada di dalam, sehingga nyata tentang karakter khas pesantren yang
abdina merasa tidak kerasan. Waktu beliau tetap dipegang dengan kuat oleh kalangan santri
bilang “nyare partai Islam”. Setelah itu, saya yang memilih jalur politik, sekalipun harus
hitung-hitung partai-partai Islam yang ada, berbeda partai dengan kiai yang telah
tetapi setelah saya juga konsultasi dengan memberikan ilmu dan keteladanan selama
tokoh spritual saya yang lain, beliau berada di pesantren.
menyarankan saya pindah ke PKS, tetapi saya Restu Melalui Putra Kiai
tetap orang NU”. (Anwari 2017)
Ungkapan di atas mengisyaratkan dengan Berbeda hal dengan cara yang dilakukan oleh
jelas bahwa keputusan politik yang dilakukan kedua politisi di atas, yang secara langsung acabis
oleh santri, dilakukan setelah dirinya secara fisik dengan kiainya di pesantren untuk
mendapatkan masukan dan petunjuk dari kiai mendapatkan petunjuk. Pada bagian ini, politisi
sebagai guru spritualnya. Apa yang dilakukan pesantren yang lain memiliki pengalaman
oleh Alanwari sebagai santri, tetap menjadikan bentuk lain untuk memperkuat keyakinannya
budaya acabis sebagai jalan menemukan dalam memilih partai politik yang akan menjadi
kejelasan arah politik yang akan dilakoninya. kendaraan politiknya. Khusus dalam bagian ini,
Keputusannya, hijrah politik dari PKB yang politik restu kiai dilakukan tidak secara langsung
notabene partai berbasis pesantren ke PKS, meminta ijin kepada kiai, melain melalaui putra
dilakukan setelah telebih dahulu mendapatkan kiai (lora) di pesantren. Artinya, politisi
arahan penting dari kiainya. pesantren ini, tetap mengkomunikasikan pilihan
politiknya dengan unsur pesantren sebagai
M. Khalq Kr, juga mengakui bahwa pilihan tempat menimba ilmu, karena bisa jadi dalam
politik yang dilakukannya dengan memilih PKB keyakinan politisi ini, putra kiai juga merupakan

42 │ JPW (Jurnal Politik Walisongo) – Vol. 2, No. 1 (2020)


Nilai Kearifan Lokal

bagian dari kiai. Apalagi, dalan ajaran pendidikan dengan sikap yang halus dari keluarga kiainya di
pesantren, diyakini bahwa guru yang harus pesantren. Ia menyatakan bahwa :
dihormati, bukan hanya kiai saja, tetapi putra kiai
“Sampai hari ini, hubungan saya dengan
juga secara otomatis terposisikan sebagai guru
keluarga dhalem (keluarga kiai, pen),
yang harus dihormati.
misalnya putra kiai, justru masih sangat dekat
Di mata kalangan politisi pesantren tersebut, sekali. Bahkan, setiap kali bertemu saya,
kharisma dan kewibawaan kiai tetap memiliki bahkan salah satu putra kiai selalu tanya,
daya tarik yang luar biasa.Oleh karena itu, dalam minggu ini, saya ketemua kiai, beliau
sebagai bentuk bagian dari etika politik seorang menyampaikan pertanyaan “kadiponapa
santri terhadap guru, perilaku politik dan pilihan
terros sampean di Partai Nasdem”. Maksud
partai politik yang menjadi keyakinannya, tetap
istilah “terros” ini, terkait dengan informasi
terkomunikasikan dengan baik terhadap putra
yang disampaikan oleh seorang tokoh tentang
kiai. Hal itu dilakukan bahwa jalan politik yang
kemungkinan saya menjadi ketua DPD
dijalaninya, telah mendapatkan restu dari
kalangan pesantren yang telah Nasdem Sumenep. Jadi, beliau sangat
membesarkannya. welcome. Saya tidak mau mengatakan beliau
telah mengijinkan arah politik saya, tetapi
Hal itu misalnya diakui oleh A. Tirmidzi
tidak ada kata perintah maupun larangan dari
Mas’ud dan Abrari yang sama-sama pernah
beliau. Justru beliau berharap, Sumenep
belajar di pesantren An-Nuqayah Guluk-Guluk.
harus dipegang oleh masyarakat pesantren”.
Kedua politisi ini memiliki jalan politik yang
berbeda, termasuk berbeda dengan kiai yang (Anwari 2017)
telah meyakini partai politik lain sebagai sarana Restu kiai dalam konteks itu menjadi salah
perjuangannya. A. Tirmidzi Mas’ud memilih satu karakteristik santri yang sangat substansial
partai Nasdem, sementara gurunya KH.A. Waris dan telah mendarah daging dalam masyarakat
Ilyas, termasuk tokoh PPP di Kabupaten santri, baik di dalam kompleks pesantren sendiri,
Sumenep. Sementara Abrari memilih PDIP, maupun masyarakat santri di luar pesantren.
berbeda jalan politik denan KH. Ahmad Basyir AS Dengan acabis atau berkomunikasi dengan
(alm) yang notabene gurunya yang telah keluarga kiai, seorang politisi pesantren telah
membesarkannya di PP. An-Nuayah Latee. memastikan jati dirinya sebagai individu yang
Menurut Abrari, bahwa : tetap menjaga ikatan keilmuan dengan kiai.
“Kalau dengan almarhum (KH. Ahmad Basyir Bahkan, dengan acabis kepada kiai, seorang
AS, pen) tidak (pernah mengkomunikasikan, santri politik telah melakukan langkah yang tepat
pen), tapi kalau dengan putra-putranya, saya untuk mendapatkan legitimasi dari kiai akan
berkmunikasi. Dengan KH. A. Waris Ilyas, politik yang akan geluti. Apalagi, posisi kiai dalam
saya komunikasi, dengan putranya KH. konteks masyarakat Indonesia memang
Ahmad Basyir, saya juga komunikasi. Saya kerapkali dapat memberikan legitimasi yang
menyampaikan maaf sekiranya keyakinan kuat, termasuk legitimasi dalam pemerintahan
politik saya dianggap keliru, tetapi ini semua dan kekuasaan. Tentang legitimasi sosial kiai,
adalah pilihan saya”. (Anwari 2017). tergambarkan dalam tulisam Yatimul Ainun :
Demikian juga yang dialami oleh A.Tirmidzi “Dari perspektif pemerintahan, kekuasaan
Mas’ud, bahwa pilihan politik yang dipilihnya, kiai cukup kuat untuk mempengaruhi
sudah mendapatkan “restu” dari kiainya di tindakan sosial politik masyarakat. Seperti di
pesantren,walaupun restu tersebut ia dapatkan Indonesia, membutuhkan legitiasi kiai untuk

JPW (Jurnal Politik Walisongo) – Vol. 2, No. 1 (2020) │ 43


Mohammad Suhaidi & Sihabudin

melakukan hal-hal duniawi mereka karena “Figur ghuru dalam konteks kehidupan
kiai telah memegang posisi penting sejak budaya Madura berfungsi dan berperan
kedatangan Islam di Indonesia bebera kiai sebagai figur panutan sekaligus rujukan
terkenal sudah terlibat dalam masalah- tentang segala hal yang berkaitan dengan
masalah pemerintahan. Hubungan antara kiai aspek-aspek moralitas dan keagamaan.
dengan masyarakat telah terlembaga melalui Dengan demikian, dalam pandangan dunia
norma-norma patron-klien (Hidayat (world view) orang Madura figur ghuru lebih
2012,53). merupakan representasi tentang kehidupan
Konsep Moralitas dalam Terminologi “ukhrowi” (sacred world) (Wiyata 2013,13).
Kebudayaan Madura Posisi kiai sebagai guru di mata kalangan
politisi pesantren, secara faktual memberikan
penjelasan tentang karakteristik perilaku politik
Perilaku politik yang dibangun oleh kalangan kalangan politisi pesantren dalam memposisikan
politisi pesantren tersebut memberikan kiai-nya, bukan hanya sebatas guru, melainkan
gambaran tentang pola komunikasi yang secara sebagai pegangan dalam menjalankan arah
substansial tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai politiknya. Dhabu seorang kiai, tetap dijadikan
luhur kebudayaan Madura. Sebuah perilaku sebagai pertimbangan khusus oleh kalangan
politik yang menempatkan seorang guru politisi pesantren tanpa harus memikirkan
pesantren sebagai kiblat dan rujukan dari perbedaan arah politik. Hal itu juga menegaskan
tindakan politik yang akan dilakukan. Ikatan bahwa politisi pesanten, sejatinya tidak bisa
emosi guru-murid telah menjadi kekuatan dalam dilepaskan dari eksistensi kiai sebagai guru dan
prakteknnya tetap melandasi aksi-aksi politik panutan yang harus dihormati dan dhabu-nya
yang dilakukan. Bahkan, perbedaan arah politik sebagai petunjuk sangat penting.
antara santri dan guru, tidak menjadikannya Dalam konteks itu, tradisi acabis dengan
sebagai penghalang untuk saling menjauh. Santri segala tujuannya yang dilakukan secara khusus
tetap datang menghadap kiai dan meminta restu oleh kalangan politisi pesantren, bukan hanya
atas arah politik yang dilakukannya, sekalipun sebatas silaturrahim antara seorang murid
harus berbeda dengan kiai. dengan guru, melainkan yang sangat substansial
Penghormatan terhadap kiai oleh kalangan adalah bahwa politisi pesantren tetap memiliki
politisi tersebut, jelas menunjukkan tentang keyakinan bahwa sosok kiai masih menjadi idola
kehidupan bagi mereka. Arah politik bisa saja
kuatnya nilai-nilai kearifan lokal yang dipegang
berbeda, tetapi ikatan emosional dan ikatan
dan dijadikan sebagai kekuatan dalam relasi
keilmuan, tidak bisa dibatasi oleh posisi, jabatan
guru-murid. Kiai adalah guru yang harus
dan partai apapun. Terkait dengan budaya
diposisikan sebagai pijakan dalam beraktifitas,
acabis, A. Latif Wiyata menulis :
termasuk aktivitas politik. Hal itu relevan dengan
ajaran dalam khazanah kebudayaan Madura, “Setiap saat kiai (keyae) selalu mendapatkan
yang tertuang dalam sebuah narasi penuh kunjungan orang-orang (nyabis), baik dari
makna, yaitu “ bhuppa’ bhabhu’, ghuru, rato’. dalam lingkungan desa setempat maupun
Orang Madura menempatkan kiai (guru) pada dari berbagai wilayah Kabupaten lain,
posisi kedua setelah kedua orang tua untuk termasuk dari luar Madura yang minta
dita’ati dan dihormati, setelah itu berulah berkah untuk keselamatan”(Wiyata 2013:49)
seorang penguasa. Oleh karena itu, yang dilakukan oleh politisi
pesantren tersebut, di satu sisi menjadi

44 │ JPW (Jurnal Politik Walisongo) – Vol. 2, No. 1 (2020)


Nilai Kearifan Lokal

gambaran tentang sikap kesopnan dan andhap mashlahah (kebijakan dan penyelenggaraan
asor seorang santri terhadap kiai yang telah pemerintahan atas rakyat haruslah
memberikan banyak pengetahuan dan agama. senantiasa mengedepankan kemaslahatan).
Apalagi, dalam tradisi masyarakat Madura, Dengan demikian, dinamika kehidupan suatu
kesopanan harus dijunjung setinggi-tingginya. negara, standarnya dilihat dari efektivias
Bahkan, ajaran kesopanan dijadikan sebagai penyelenggara negara dalam
ajaran yang sangat dominan ditanamkan dalam mengimplementasikan aspirasi warganya”
kehidupan keluarga masyarakat Madura. Karena (Siroj 2006,125-126).
kesopanan pada hakikatnya tidak bisa Penutup
dilepaskan dari kontekstualisasi ajaran agama Dalam kerangka itu, politisi pesantren dalam
yang sangat serius menjadikan akhlak dan melakukan kegiatan politik, memang memiliki
kesopanan sebagai ajaran luhur. karakteristik yang khas, terutama dalam menjaga
“Salah satu tradisi yang amat penting bagi kesopanan dalam berpolitik. Pertama, politisi
masyarakat Madura adalah menjunjung pesantren adalah tetap istiqomah dalam
tinggi kesopanan. Seseorang dituntut bersifat menjadikan nilai kearifan lokal sebagai dasar
“ andhap asor”, rendah hati terhadap sesama. berpolitik, sesuai dengan konsep Buppa’ Bappu’,
Walau beredar anggapan tentang masyarakat guruh, ratoh telah menjadi bagian integral dalam
Madura sebagai orang-orang yang sangat setiap langkah politik yang dilakukan. Relasi
kasar, namun mereka sebetulnya sangat guru-murid tetap menjadi pijakan bagi kalangan
menghormati dan menjunjung tinggi nilai- politisi pesantren dan tidak ternafikan, walaupun
nilai kesopanan”(Djauhari 2008,17). antara santri tersebut memiliki ketidaksamaan
Dalam kerangka itu, politik kalangan politik dengan kiainya. Akan tetapi, hubungan
bhindhara sejatinya merupakan ekspresi dari guru-murid tetap terjalin dengan baik, karena
politik Islam yang genuine, yaitu perilaku politik karena politik santri ternyata tetap diikat oleh
yang didasarkan pada landasan moralitas tradisi kesopanan yang sangat tinggi.
keagamaan yang kuat, sehingga arah politik yang Kedua, kalangan politisi pesantren
dilakukan tidak hanya sekedar untuk mencapai memposisikan seorang kiai tetap sebagai guru
sesuatu yang bersifat duniawi, melainkan yang yang bisa menganyomi dan memberikan
jauh lebih penting adalah untuk menjalankan bimbingan dalam menjalani kehidupan,
perintah Allah dan Rasul-Nya. Politik Islam termasuk dalam kehidupan berpolitik. Kalangan
adalah politik yang benar-benar mengadopsi politisi pesantren, tetap menjadikan restu kiai
segala ajaran yang menjadi misi kedatangan sebagai kekuatan dalam setiap langkah dan
Islam. gerak politik yang dilakukan. Hal itu dalam
“Politik yang dimaksudkan Islam jelas adalah derajat tertentu, semakin menunjukkan tentang
politik yang berperadaban, bermoral, tingkat kepatuhan seorang santri terhadap kiai,
humanis, dan tidak menghalalkan segala sehingga perilaku politik yang geluti tetap
cara. Seperti inilah yang dirumuskan oleh didasarkan pada arahan dan pertimbangan
para ulama sebagai kaidah fiqhiyah seorang kiai yang telah membesarkannya selama
“tasharraful imam ala al-ra’iyah mantuhun bil berada di pesantren.

JPW (Jurnal Politik Walisongo) – Vol. 2, No. 1 (2020) │ 45


Mohammad Suhaidi & Sihabudin

DAFTAR PUSTAKA
A’la, Abd. 2009. Agama tanpa penganut : memudarnya nilai-nilai moralitas dan
signifikansi pengembangan teologi kritis. Penerbit Kanisius.

Al- Qur’an, An Nisa.

Baso, Ahmad. 2012. “Pesantren Studies 2a; Buku II: Kosmopolitanisme Peradaban Kaum
Santri di Masa Kolonial; Juz Pertama: Pesantren, Jaringan Pengetahuan dan Karakter
Kosmopolitan-Kebangsaannya.”

Bull, Ronald, dan Alan Lukens. 2004. Jihad Ala Pesantren Di mata Antropolog Amerika.
Yogyakarta: LKiS.

Djauhari, MT. 2008. “Membangun Madura.”

Hidayat, Ainurohman. 2012. “Karakter Orang Madura Dan Falsafah Politik Lokal.” Karsa:
The journal of Social and Islamic Culture 15(1): 1–14.

Ma’arif, Syamsul. 2004. “Pola Hubungan Patron-Client Kiai Dan Santri Di Pesantren.”
Ta’Dib 6(2): 87–104.

Maros, Fadlun. 2016. “PENELITIAN LAPANGAN (FIELD RESEARCH) PADA METODE


KUALITATIF.”

Mas’ud, Abdurahman. 2004. “Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi.”


Maunah, Binti. 2009. Tradisi Intelektual Santri. I. Yogyakarta: Penerbit Teras.
Siroj, SA. 2006. Tasawuf sebagai kritik sosial: mengedepankan Islam sebagai inspirasi,
bukan aspirasi.

Syarif, Zainuddin. 2016. “Pergeseran Perilaku Politik Kiai dan Santri di Pamekasan
Madura.” Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam 16(2): 293.

Turmudi, Endang. 2004. “Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan.” : 348.

Vismaia, DS, dan AR Syamsudin. 2007. “Metode Penelitian Pendidikan Bahasa.”

Wiyata, AL. 2013. Mencari Madura.

Zamroni, Imam. 2016. “Juragan, Kiai dan Politik di Madura.” Unisia 30(65): 264–76.

46 │ JPW (Jurnal Politik Walisongo) – Vol. 2, No. 1 (2020)

Anda mungkin juga menyukai