Anda di halaman 1dari 151

PENULIS

Yayah Khisbiyah
M.A. Fattah Santoso
Ahmad Muhibbin
Achmad Mutholi’in
Agus Prasetyo
Eko Prasetyo
Danang Tunjung Laksono
Arief Maulana

KONTRIBUTOR
Mu’arif
Sri Lestari

EDITOR
Editor
Yayah Khisbiyah
M. Thoyibi
Yanuar Ihtiyarso
Mohammad Ali Yafi

ILUSTRATOR & LAYOUT


Muhammad Ni'malmaula
Lukman Fathurrohman

NOMOR HAKI
000441003
buku ajar Pancasila ini.

Buku ajar ini disusun sebagai panduan bagi dosen mata kuliah

buku aja ini bisa menjadi salah satu referensi

Januari 2023
Tim Penyusun
Pengantar Koordinator
Tim Penyusun Buku Ajar Pancasila

Setelah reformasi politik 1998, Indonesia mengalami kegamangan orientasi


kebangsaan. Pergantian para pemimpin bangsa pasca Orde Baru melalui pemilihan
umum dan pemilihan kepala daerah secara demokratis nampaknya belum cukup
konsisten membawa Indonesia ke arah lebih baik. Ketidakadilan hukum dan politik
serta ketimpangan sosial-ekonomi masih mendera berbagai komunitas anak
bangsa. Korupsi “berjamaah” yang sistemik, kemiskinan struktural, perusakan
lingkungan hidup, serta diskriminasi akses layanan publik terutama di bidang
kesehatan, pendidikan berkualitas, perumahan dan transportasi, telah
memperparah ketidakadilan dan ketimpangan yang terjadi dalam berbagai ranah
kehidupan berbangsa dan bernegara. Akumulasi permasalahan ini menciptakan
kenestapaan bagi sebagian warga negeri, yang pada gilirannya menorehkan
kekecewan psikososial dan mengekskalasi kemarahan sosiopolitik. Rasa marah dan
kecewa individual maupun kolektif kerap disalurkan melalui kanal media sosial dan
digital, dan sesewaktu mewujud dalam letupan kekerasan bernuansa suku, agama,
ras (SARA), dan kelas sosial-ekonomi.

Rajutan harmoni sosial mudah dirusak saat muncul tantangan-tantangan baru


seperti maraknya populisme, politisasi agama, hasutan kebencian seperti terjadi saat
ini. “Imaji musuh” (enemy image) terhadap pihak yang berbeda atau berlawanan
mudah dikonstruksi, baik melalui media sosial maupun berbagai forum
perkumpulan massa. Kondisi demikian makin memperparah intoleransi dan
mempertajam segregasi, eksklusi, polarisasi serta fragmentasi sosial berbasis SARA.
Atmosfir ini memengaruhi pula eskalasi ekstremisme kekerasan (violent extremism)
yang menjustifikasi spiral kekerasan yang sulit diurai. Upaya meredakan ketegangan
dan kekerasan yang manifes maupun yang laten oleh pemerintah maupun
kelompok masyarakat sipil cukup menguras energi bangsa, yang seharusnya
dimanfaatkan untuk bergotongroyong menguatkan persatuan dan kemajuan
negeri.

Di bagian dunia lainnya, negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura,


bahkan Vietnam telah bangkit untuk menjadi pesaing-pesaing di kawasan Asia yang
liat dan lenting. Indonesia, sebuah negara yang jauh lebih kaya akan sumber daya
alam dan sumber daya budaya ragam Nusantara, bisa jadi hanya menjadi bangsa
inferior, “kuli dan jongos” di negaranya sendiri, jika arah kebudayaan, politik dan
perekonomian kita tetap dikendalikan oleh oligarki kuasa dan ketamakan vested
interests hegemon. Fenomena inferioritas ini merupakan tantangan nyata dalam hal
persaingan peradaban baru di kawasan Asia maupun global, dan terlebih di dalam
negeri sendiri.
Berbagai kondisi suram internal dan eksternal yang membuat rapuh bangsa juga
terjadi di kalangan generasi muda, termasuk mahasiswa. Sebagai garda terdepan
generasi baru, mahasiswa mengalami krisis dalam pemahaman dan praktik
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Salah satu penyebabnya
adalah kurangnya keteladanan dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila di
ranah publik. Sulit mencari keteladanan dari sesama anak muda, terlebih dari orang-
orang dewasa utamanya pejabat dan penyelenggara negara, politisi, pengusaha,
pendidik, tokoh masyarakat, serta tokoh agama. Mahasiswa mengalami defisit
keteladanan, panutan, dan cermin jernih untuk bangga menjadi manusia Indonesia,
menjadi bangsa Indonesia. Mahasiswa juga kurang mendapatkan penguatan praksis
keadaban berlandaskan nilai-nilai Pancasila, melalui transfer of values pada ranah
pendidikan di dunia akademik-kampus. Nilai-nilai yang membentuk budi pekerti
dan karakter berkeadaban universal dalam Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi
belum terinternalisasikan sampai ke ranah afektif dan perilaku, namun ditengarai
banyak riset sebagai sekadar berada di lapisan superfisial ranah kognitif.

Pancasila sebagai dasar negara dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan
bangsa memang ditengarai mengalami kelunturan, karena ketidakseriusan kita
membumikan Pancasila selama 2 dekade terakhir. Nilai-nilai dan praksis Pancasila
belum menjadi habituasi atau pembiasaan pada masyarakat Indonesia. Habitus ber-
Pancasila belum tertanam kokoh dalam pelembagaan di bidang politik, hukum,
ekonomi, dan budaya, termasuk di lembaga-lembaga pendidikan dan organisasi-
organisasi keagamaan. Akibatnya, mahasiswa mencari “kiblat lain” diluar Pancasila
yang diyakini mampu memulihkan kedaulatan negara yang dipersepsikan gagal
membahagiakan seluruh rakyat Indonesia. Kelompok-kelompok ekstrem-intoleran
dan ideologi takfiri kemudian mudah mengintrusi ke dalam dunia pendidikan
melalui doktrin ideologi alternatif yang diyakini mampu memecahkan berbagai
persoalan bangsa dan negara.

Di tengah berbagai pertimbangan dan pemikiran di atas, Pusat Studi Budaya dan
Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta (PSBPS UMS) turut
terpanggil untuk menguatkan kembali ideologi Pancasila ke dalam kesadaran
berbangsa dan bernegara, melalui alam pikiran (pengetahuan), keyakinan dan
penghayatan (afektif dan sikap), serta praktik hidup (pengamalan dalam perilaku
nyata) di kalangan dosen pengampu dan mahasiswa peserta mata kuliah wajib
Pancasila. Pendekatan melalui pendidikan Pancasila di universitas dipilih, karena
bersifat strategis jangka panjang dan berkesinambungan dalam membentuk mind-
set mahasiswa. Setelah lulus, mereka akan menjadi penerus bangsa. Program
bertajuk “Revitalisasi dan Institusionalisai Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi”
(RIPPT) ini tidak hanya merespon bermacam permasalahan sosial di atas, tetapi juga
sejalan dengan amanah pelaksanaan Kepdirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud
Nomor 84/E/KPT/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Mata Kuliah Wajib pada
Kurikulum Pendidikan Tinggi.
Salah satu luaran dari program RIPPT adalah berupa buku ajar hasil revitalisasi
pembelajaran Pancasila, yang kini berada di tangan para pembaca yang budiman.
Buku ajar didesain oleh tim PSBPS bekerjasama dengan tim Lembaga Bahasa dan
Ilmu Pengetahuan Umum (LBIPU) UMS, berisi muatan materi dan metode yang
terbaharukan, kontekstual, kreatif, adaptif dengan berbagai platform pembelajaran,
serta mendorong daya kritis dan sensibilitas mahasiswa terhadap isu-isu toleransi
keragaman, keadilan sosial, kebangsaan, dan kemanusiaan universal. Hal ini sejalan
dengan amanat dalam surat keputusan di atas, yaitu bahwa Mata Kuliah Wajib
Pancasila “berfungsi untuk membentuk watak dan keadaban mahasiswa yang
bermartabat serta mengandung muatan yang aktual dan kontekstual”.

Program RIPPT dimaksudkan sebagai upaya untuk membantu pemerintah


khususnya DIKTI KEMENDIKBUD dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
oleh masyarakat sipil --dalam hal ini Persyarikatan Muhammadiyah--, melalui jalur
pendidikan. Program RIPPT dilakukan sebelum pandemi, tepatnya sejak 2019.
Pandemi Covid-19 memberikan tantangan berupa penundaan dan perubahan
pelaksanaan kegiatan pelatihan dan pembelajaran klasikal di ruang kelas. Namun,
pandemi Covid-19 juga membawa blessings in disguise tersendiri, yaitu kesadaran
tentang tak terhindarkannya metode online atau daring dalam proses belajar-
mengajar era digital, dan perolehan capacity building berupa keterampilan baru
tentang sistem manajemen pembelajaran berbasis online untuk jangkauan dan
replikasi PMB mata kuliah Pancasila yang lebih luas. Alhamdulillah, program pilot
Revitalisasi dan Institusionalisasi Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi yang
diinisiasi oleh PSBPS UMS telah diakui oleh berbagai pihak sebagai success stories.
Melalui penerbitan buku ajar ini, kami berharap agar cerita keberhasilan program
kami bisa direplikasi untuk institusi pendidikan tinggi lainnya, khususnya di lingkup
perguruan tinggi swasta di seluruh Indonesia. Buku ajar ini disusun sebagai panduan
bagi dosen mata kuliah Pancasila dalam mengajar mata kuliah Pancasila, dengan
tujuan utama menggugah kesadaran berbangsa dan bernegara di kalangan
mahasiswa selaku garda depan bangsa melalui pemahaman, penghayatan dan
pengamalan Pancasila dengan model Pendidikan baru.

Pendekatan yang dipakai oleh buku ajar ini diinspirasi pedagogi andragogis,
interaktif-refleksif, berorientasi problem solving, dan berpusat-pada-pembelajar.
Latihan dan penugasan dalam buku ajar didesain untuk menumbuhkan kesadaran
dan menguatkan komitmen peserta didik untuk melakukan tindak lanjut dan
mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila secara konkret dalam kehidupan keluarga,
pertetanggaan, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Buku ajar ini diharapkan
menjadi panduan dosen pengampu dan mahasiswa Pendidikan Pancasila dalam
menerapkan materi dan metode Proses Belajar-Mengajar (PBM). Desain buku ajar
dengan menggunakan ilustrasi grafis a la anime oleh illustrator berusia milenial dari
kalangan mahasiswa sendiri, juga diharapkan menarik perhatian mahasiswa dalam

v
berpartisipasi aktif di perkuliahan sehingga tujuan pembelajaran tercapai lebih
efektif. Buku ajar ini menyajikan ulasan teoretis historis tentang Pancasila, mulai
sejarah lahirnya, peran dan fungsi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta
bagaimana urgensinya di institusi pendidikan, khususnya di perguruan tinggi. Selain
itu, yang lebih signifikan, pembekalan praksis pengamalan Pancasila di masing-
masing Sila disajikan secara terinci sehingga nilai-nilai Pancasila diharapkan dapat
terinternalisasi secara baik ke dalam laku perbuatan mahasiswa dalam konteks
lingkungan sosial.

Buku ajar ini dilengkapi dengan Learning Management System (LMS) dengan
aplikasi yang berbasis Modular Object-Oriented Dynamic Learning Environment
(MOODLE). Dengan demikian, aplikasi LMS Pendidikan Pancasila di Perguruan
Tinggi ini memudahkan pengelolaan pembelajaran dan pengelolaan kelas, serta
memungkinkan pelaksanaan kegiatan proses-belajar mengajar secara daring.
Aplikasi ini juga memungkinkan pelaksanaan pembelajaran lintas perguruan tinggi,
yang menawarkan peluang pengalaman kebhinekaan lebih tinggi untuk latar
belakang mahasiswa dan dosen yang beranekaragam.

Program RIPPT ini didukung oleh lembaga-lembaga pemangku kepentingan


yang relevan dalam mendesain buku ajar ini beserta implementasi standarisasinya di
perguruan tinggi: BELMAWA DIKTI KEMENDIKBUD RI, Majelis DIKTI-LITBANG
Muhammadiyah, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila BPIP), dan tentu afirmasi kuat secara internal kelembagaan oleh Rektor
serta Lembaga Riset dan Inovasi Universitas Muhammadiyah Surakarta sendiri,
dengan pendampingan oleh lembaga donor HARMONI-MSI USAid. Program RIPPT
ini juga disokong oleh partisipasi dan kontribusi 15 perguruan tinggi swasta yang
tersebar di 6 kota sebagai mitra penggerak sekaligus sebagai penerima manfaat:
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Universitas Aisyiyah Surakarta, Universitas
Batik, Universitas Veteran, Universitas Duta Bangsa, Universitas Slamet Riyadi (Solo
Raya); Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Aisyiyah Yogya, Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, dan Universitas Cokroaminoto (Yogyakarta);
Universitas Paramadina dan Universitas Muhammadiyah Jakarta (Jakarta),
Universitas Muhammadiyah Cirebon, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, dan
Universitas Muhammadiyah Semarang. Pada mulanya, gagasan kami hanyalah
berlingkup di perguruan tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah. Namun ternyata
program RIPPT ini disambut secara antusias oleh perguruan tinggi swasta lainnya.

Untuk semua dukungan dan kontribusi ini, PSBPS UMS menghaturkan terima
kasih kepada seluruh lembaga penyokong dan universitas mitra yang telah berperan
instrumental bagi kesuksesan, amplifikasi dan sustainabilitas program RIPPT. Kami
berharap program RIPPT melalui buku ajar “Pancasila Dalam Laku” dan kegiatan
Standarisasi Dosen Pendidikan Pancasila (yang on-going sedang difinalisasi oleh

v
PSBPS bekerjasama dengan LBIPU UMS) dapat disambut hangat pula oleh PTMA
dan universitas-universitas swasta lain dari seluruh Indonesia.

Menyadari di dunia ini tidak ada yang sempurna, tim penyusun sangat terbuka
atas segala kritik, saran, dan juga masukan dari semua pihak untuk perbaikan buku
ajar ke depan. Semoga buku ajar ini bisa menjadi salah satu referensi utama bagi
dosen dan mahasiswa dalam mempelajari dan mengamalkan nilai-nilai luhur
Pancasila.

Jakarta-Surakarta, 31 Januari 2023.


Koordinator Tim Penyusun,
Dra. Yayah Khisbiyah, M.A. (Fakultas Psikologi UMS & PSBPS UMS)
Dr. M. Thoyibi (FKIP UMS & LBIPU UMS)

v
PANCASILA DALAM KEHIDUPAN KEBANGSAAN
DAN PENDIDIKAN TINGGI
Sambutan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si.

Pancasila adalah dasar negara Republik Indonesia. Soekarno dalam Pidato 1 Juni
1945 di BPUPKI menempatkan Pancasila sebagai philosophische grondslag yaitu
“fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-
dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan
abadi.” Soekarno juga menyebut Pancasila sebagai Weltanschauung atau
“pandangan dunia”, yaitu konsep dasar filsafat dan epistemologi Jerman dan
mengacu pada persepsi dunia luas yang mengacu pada keranga kerja ide dan
kepercayaan ketika suatu individu, kelompok, atau budaya menafsirkan dunia dan
berinteraksi dengannya. Artinya, Pancasila itu suatu dasar filosofis atau pandangan
dunia hasil pemikiran manusia.

Pancasila secara official (resmi) dan konstitusional terkandung dalam Pembukaan


UUD 1945, yang ditetapkan pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Kelima Sila
Pancasila tersebut ialah: “Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesa, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan, serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.”.

Perumusan Pancasila dalam kesejarahannya mengalami proses dinamis sejak


Pidato 1 Juni 1945, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan rumusan final 18 Agustus 1945.
Rumusan final Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 itu merupakan konsensus nasional
dari seluruh golongan bangsa Indonesia yang majemuk, yang mengandung
rumusan resmi dan konstitusional mengikat seluruh warga dan institusi negara.
Pemahaman Pancasila tersebut tentu saja tidak lagi bersifat tafsir perseorangan, atau
hanya buah Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, atau milik golongan tertentu, tetapi
merupakan hasil pemahaman dan konsensus kolektif sebagaimana terkandung
dalam Pembukaan UUD 1945.

Pancasila sebagai dasar negara memiliki fungsi sebagai hasil konsensus nasional,
yang oleh para ahli disebut sebagai titik persetujuan (common denominator)
segenap elemen bangsa. Kelima prinsip itu disebut Soekarno sebagai Pancasila.
Tawaran lima prinsip mendapat respon dan masukan-masukan yang beragam dari
anggota BPUPKI hingga akhirnya lima prinsip Pancasila itu menjadi seperti sekarang.
Sila yang berarti dasar, atas dasar lima prinsip Pancasila bangsa ini mendirikan
negara (Latif, 2011).

Konsensus seluruh komponen bangsa untuk menerima Pancasila sebagai dasar


negara dihasilkan dari jiwa kenegarawanan para pendiri negara. Peran krusial Ki

v
Bagus Hadikusumo (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1942-1953)
bersama tokoh Islam lain dalam konsensus yang bersejarah itu sangatlah besar,
dengan kesediaan melepas “tujuh kata” Piagam Jakarta dikonversi menjadi sila
pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Menurut Menteri Agama Alamsjah Ratu
Perwiranegara, itulah “hadiah terbesar dari umat Islam”.

Pancasila sebagai titik temu dari kemajemukan terjadi atas jiwa kenegarawanan
para tokoh bangsa melalui proses musyawarah-mufakat. Kontribusi dan
pengorbanan umat Islam sangatlah besar. Muhammadiyah memandang konsensus
Pancasila dan berdirinya negara Indonesia yang bersejarah itu sebagai “Negara
Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah.” Negara hasil “gentlemen's agreement” atau
konsensus nasional yang harus dipegang kuat sebagai janji bersejarah. Indonesia
juga harus dibangun agar menjadi negara dan bangsa yang bersatu, berdaulat,
maju, adil, dan makmur sebagaimana cita-cita pendiri Indonesia.

Karenanya Pancasila harus menjadi milik bersama seluruh rakyat dan komponen
bangsa, serta tidak boleh dimiliki dan ditafsirkan sendiri oleh pihak manapun, yang
keluar atau tidak sejalan dengan hakikat Pancasila itu sendiri. Jangan ada yang
menganggap diri atau kelompok sendiri paling Pancasilais, sementara yang lain
dianggap kurang ber-Pancasila atau radikal atau malah dipandang mengancam
Pancasila dan NKRI, UUD 1945, dan Kebhinekaan. Pancasila sebagai pandangan
dunia tidak perlu disakralkan, lebih dari itu penting untuk dipraktikkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan segala hal-ihwalnya diselenggarakan dan dikelola dengan lima nilai dasar
tersebut, serta Indonesia tidak berjalan secara pragmatis tanpa pijakan dan arah
tujuan.

Pancasila dan Agama


Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan konstitusi UUD 1945
mengakui keberadaan agama. Sila pertama Pancasila ialah “Ketuhanan Yang Maha
Esa”, yang dalam ajaran agama sangatlah esensial karena mengandung keyakinan,
yang dalam Islam disebut tauhid, yakni ajaran tentang keesaan Tuhan. Pada pasal 29
UUD 1945 negara mengakui secara resmi agama sebagai ajaran yang dipeluk oleh
warga negara sebagai pedoman kehidupan serta menjadi jiwa dalam berbangsa dan
bernegara. Pasal 29 UUD 1945 terdiri atas dua ayat yang berbunyi: “(1) Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa". (2) "Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaan itu." Pancasila jangan dipertentangkan dengan
agama. Keduanya dalam tataran yang berbeda secara historis dan sosiologis telah
menyatu dalam perikehidupan bangsa Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara,
sedangkan Agama sebagai ajaran Tuhan yang menjadi pedoman hidup
fundamental bangsa yang dipeluk oleh setiap penganut agama sesuai

v
keyakinannya.

Karenanya bagi yang berpaham nasionalisme, jangan sekali-sakali


mempertentangkan agama dengan Pancasila, apalagi menempatkan agama
sebagai nilai pinggiran dan dianggap sebagai sumber masalah dalam kehidupan
bangsa dan negara Indonesia. Agama juga jangan dipinggirkan atau dianggap
bukan menjadi urusan bangsa dan negara Indonesia, serta harus dijauhkan dari
negara, sebagaimana pandangan kaum sekuler yang tentu saja bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945. Bagi umat beragama sebaliknya, jangan
mempertentangkan agama dengan Pancasila, serta menganggap Pancasila sebagai
tidak penting bagi umat beragama, apalagi ingin mendirikan negara berdasarkan
agama. Semua pihak mesti proporsional dan konstitusional dalam menempatkan
agama dan Pancasila sesuai posisi dan fungsinya.

Agama sebagai sumber nilai utama yang fundamental berfungsi sebagai kekuatan
transendental yang luhur dan mulia bagi kehidupan bangsa. Posisi agama sebagai
Way of Life yang absolut dan nilai utama kehidupan umat manusia di atas nilai-nilai
lainnya. Nilai-nilai intrinsik agama telah memberi inspirasi bagi para pendiri bangsa
dan perumus cita-cita negara dalam mewujudkan kehidupan kebangsaan yang
berbasis pada ajaran agama. Nilai-nilai agama bahkan tercermin dalam Pancasila
sebagai ideologi negara, terutama pada Sila Pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia secara substantif sejalan dengan nilai-nilai
agama. Nilai-nilai agama menyatu dalam Pancasila. Negara Indonesia bahkan
disebutkan “berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana termaktub
dalam pasal 29 UUD 1945.

Agama bersifat suci karena bersumber dari Wahyu Allah yang termaktub dalam
Kitab Suci dan dibawa oleh para Nabi utusan Tuhan. Agama tidak memaksa manusia
untuk memeluknya, tetapi setelah menganutnya harus diyakini, dipahami, dan
diamalkan dalam kehidupan untuk menebarkan rahmat bagi semesta alam. Dalam
hubungan dengan umat beragama yang berbeda keyakinan, Islam mengajarkan
prinsip Lakum dinukum waliya din, yakni “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”
(QS Al-Kafirun: 5). Agama harus diamalkan dengan benar dan baik secara autentik
oleh pemeluknya sehingga menciptakan kehidupan yang rahmatan lil-‘alamin.
Agama harus dipahami dengan benar, mendalam, luas, dan komprehensif agar tidak
melahirkan sikap keberagamaan yang sempit, picik, statis, dan ekstrem. Agama juga
jangan dipolitisasi untuk kepentingan-kepentingan duniawi yang ambisius dan
oportunistik guna mencari keuntungan sesaat, sehingga terjadi penyalahgunaan
ajaran agama.

x
Agama juga jangan disalahpahami sebagai sumber radikalisme dan politik
identitas. Radikal dalam makna keras dan membenarkan kekerasan dapat
bersumber dari segala paham, baik dari agama maupun ideologi dan pemikiran
keduniawian atau pandangan dunia, sehingga bersifat umum atau universal.
Radikalisme yang melahirkan ekstremisme sering disebabkan oleh banyak faktor,
sehingga terjadi saling-silang kepentingan (cross cutting of interests). Dalam
menghadapi fenomena radikalisme apapun diperlukan antitesis moderasi yang
moderat, sehingga radikal tidak dapat dilawan dengan bentuk radikal lain
(deradikalisasi) sebab yang akan terjadi adalah radikal baru. Menanamkan paham
dan sikap hidup wasathiyyah atau tengahan atau moderat memerlukan proses
pendidikan dan pembudayaan yang intensif dan berkelanjutan, tidak dapat instan.
Di sinilah pentingnya pendidikan agama, Pancasila, dan nilai kehidupan lainnya yang
bersifat moderat atau tengahan.

Melaksanakan Pancasila
Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan dunia bagi bangsa Indonesia
haruslah dilaksanakan jika kehidupan keindonesiaan ingin berjalan sebagaimana
jiwa, pemikiran, dan cita-cita luhur yang diletakkan oleh para pendiri negara. Nilai-
nilai dasar Pancasila dan kebudayaan yang hidup dalam masyarakat Indonesia juga
penting terus ditransformasikan dalam kehidupan kebangsaan, terutama dalam
perwujudan atau implementasinya. Setiap sila dalam Pancasila harus teraktualisasi
dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari serta menjadi alam pikiran
para elite dan warga bangsa.

Pancasila harus dipahami moderat dan diletakkan sebagai milik bersama, bukan
secara ekstrem dan milik orang perorang secara sepihak. Kontroversi seputar Tes
Wawasan Kebangsaan (TWK), Survei Lingkungan Belajar (SLB), Lomba Pidato
tentang hukum menghormat bendera, dan pemikiran-pemikiran pro-kontra lainnya
mesti dihindari. Bila ada perbedaan paham harus didialogkan dan dicarikan titik
temu dengan rujukan konstitusi. Semua pihak harus meletakkan Pancasila bersama
tiga pilar lainnya yaitu NKRI, UUD 1945, dan Kebhinekaan sebagai ideologi moderat
serta menjadi milik bersama. Pancasila tidak dapat dipahami dan dikonstruksi secara
radikal-ekstrem, sebaliknya memerlukan pemahaman yang moderat karena
hakikatnya Pancasila itu sendiri berwatak moderat.

Seluruh institusi negara dan bangsa penting menjalankan Pancasila dalam


kehidupan keindonesiaan. Kepentingan mendesak dan prioritas bagi DPR,
pemerintah, lembaga yudikatif, dan seluruh institusi negara dan rakyat saat ini ialah
menjalankan dan memraktikkan Pancasila dalam sistem ketatanegaraan dan
kehidupan kebangsaan. Kelima sila dari Pancasila harus dilaksanakan secara
mendalam, luas, dan menyeluruh sehingga Indonesia benar-benar menjadi Negara
dan Bangsa yang ber-Pancasila. Pancasila harus tercermin dalam seluruh kebijakan

x
negara dan perilaku warga negara. Kebijakan politik, ekonomi, budaya, dan
kebijakan lainnya termasuk di bidang pendidikan dan kesehatan mesti dijiwai
Pancasila dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip dan nilai Pancasila.
Penyusunan dan penetapan seluruh perundang-undangan menjadi Undang-
undang semestinya mencerminkan dan berfondasikan Pancasila serta tidak boleh
menyalahi Pancasila. Demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, serta segala paham
kebangsaan dan kenegaraan mesti sejalan dengan Pancasila dan mencerminkan
nilai dasar negara itu. Perilaku elite dan warga Indonesia dalam berbangsa dan
bernegara juga mesti mengaktualisasikan Pancasila. Pancasila jangan indah dalam
jargon, kata-kata, dan retorika tetapi harus tercermin dalam kehidupan nyata ber-
Indonesia. Sistem politik dan Pemilu harus dijiwai Pancasila sehingga bebas dari
absolutisme kekuasaan, korupsi, oligarki, politik uang, dan segala transaksi
pragmatis yang merusak kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Semua energi
politik, ekonomi, sosial, intelektual, dan sumberdaya semestinya dkerahkan untuk
mengimplementasikan Pancasila, termasuk dalam kehidupan para pejabat negara
sebagai teladan bagi rakyat.

Pendidikan Pancasila
Bangsa Indonesia memiliki sejarah dan kebudayaan yang terbilang positif, bahkan
merasa dirinya sebagai masyarakat dengan kebudayaan yang luhur terutama dalam
tatakrama dan pergaulan antarsesama. Warisan kebudayaan fisik seperti masjid,
candi, keraton, kain batik, keris, dan peninggalan-peninggalan budaya lainnya
(heritage) mendukung kebudayaan masa lampau bangsa ini. Berbagai kerajaan yang
pernah jaya di Nusantara seperti Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Kutai, Sriwijaya,
Singosari, Demak, Pajang, Banten, Majapahit, Mataram, dan lain-lain menunjukkan
jejak kebudayaan dan peradaban bangsa Indonesia yang gemilang. Kendati diakui,
bangsa ini juga mengalami masa penjajahan yang terbilang lama dan berat sejak
Portugis hingga Belanda dan pendudukan Jepang, yang berujung pada
kemerdekaan tahun 1945.

Perkembangan sejarah dan kebudayaan Indonesia tersebut menunjukkan


kemampuan bangsa Indonesia yang sebenarnya memiliki potensi tradisi besar (the
great tradition), seberapapun tingkatan kualitasnya. Dalam kehidupan sehari-hari
(everyday life) masyarakat Indonesia memiliki pengalaman yang positif sebagai
manusia-manusia yang damai, toleran, ramah, rukun, kerja keras, dan sifat-sifat baik
lainnya. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman kadang mengalami masalah-
masalah yang berkaitan dengan mentalitas akibat berbagai pengaruh, sehingga
mengalami pelemahan atau penurunan karakter sebagai bangsa yang besar.
Karenanya diperlukan transformasi atau rancang-bangun perubahan yang lebih
sistematis dalam membangkitkan kembali karakter bangsa atau manusia Indonesia
menuju masa depan yang lebih maju dan unggul. Keunggulan kualitas manusia akan

x
mementukan masa depan kebudayaan dan peradaban bangsa.

Dalam pembangunan kebudayaan yang berkarakter keindonesiaan dan


terkoneksi dengan universalitas global diperlukan pendidikan nilai, yakni Pendidikan
Pancasila sekaligus pendidikan yang berbasis dan berwawasan Pancasila. Pendidikan
karakter dalam konteks membangun karakter bangsa memiliki pertautan erat
dengan basis kebudayaan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berkepribadian
luhur. Dalam konteks kebudayaan yang lebih luas, pendidikan karakter tentu
merupakan pranata penting dan strategis untuk membangun kebudayaan dan
peradaban bangsa. Pendidikan termasuk bentuk institusi atau pranata sosial untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia yang berhubungan dengan pencerahan akal-
budi, sehingga terbentuk manusia yang berkebudayaan dan berkeadaban mulia. Di
sinilah pentingnya pendidikan karakter sebagai proses dan strategi untuk
transformasi kebudayaan bangsa menuju masa depan yang lebih maju, adil,
makmur, bermartabat, dan berdaulat.

Pendidikan karakter bagi bangsa Indonesia mesti berbasis pada Pancasila, selain
pada agama yang hidup di negeri ini. Di sinilah pentingnya pendidikan Pancasila
untuk mengenalkan, memahamkan, dan mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila
kepada subjek didik di lembaga pendidikan melalui proses edukasi dan
pembudayaan yang tersistem dan berkelanjutan. Sejak dini Pancasila diperkenalkan
kepada generasi bangsa secara keilmuan dan pembudayaan, sehingga melekat atau
mendarah-daging dalam kehidupan mereka khususnya sebagai acuan nilai dasar
dalam berbangsa dan bernegara. Sedangkan untuk membina pandangan hidup
yang lebih menyeluruh dan fundamental ditanamkan nilai-nilai agama sesuai agama
dan kepercayaan subjek didik. Dalam kaitan nilai yang fundamental itulah antara
nilai agama dan Pancasila serta kebudayaan luhur bangsa senantiasa terkoneksi dan
terintegrasi dalam dunia pendidikan maupun kehidupan kebangsaan di Indonesia.
Pendidikan Nasional tidak terlepas dari nilai kehidupan yang mendasar seperti iman,
takwa, akhlak mulia, dan nilai agama sebagaimana diperintahkan konstitusi. Pasal
31 Ayat 1 - 5 UUD 1945: (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (2)
Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya; (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-
undang; (4) Negara memrioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua
puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional; (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi

x
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Khusus dalam perspektif Muhammadiyah, Pimpinan Pusat Muhammadiyah


mendorong transformasi pendidikan nasional yang mencerahkan sebagaimana
terkandung dalam pokok pikiran “Indonesia Berkemajuan”. Dalam pandangan
Muhammdiyah, “Manusia yang cerdas adalah manusia Indonesia seutuhnya yang
memiliki kekuatan akal budi, moral, dan ilmu pengetahuan yang unggul untuk
memahami realitas persoalan serta mampu membangun kehidupan kebangsaan
yang bermakna bagi terwujudnya cita-cita nasional. Manusia Indonesia yang cerdas
memiliki fondasi iman dan taqwa yang kokoh, kekuatan intelektual yang berkualitas,
kepribadian yang utama, dan menjadi pelaku kehidupan kebangsaan yang positif
sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.”

Disebutkan lebih lanjut, bahwa sumberdaya manusia Indonesia yang cerdas dan
berkarakter utama hanya dapat dihasilkan oleh sistem pendidikan yang
"mencerdaskan kehidupan bangsa" sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD
1945. Pendidikan tersebut dalam prosesnya tidak hanya menekankan pada
kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, tetapi sekaligus sebagai proses
aktualisasi diri yang mendorong peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan
tinggi dan berkeadaban mulia. Pendidikan nasional yang selama ini berlaku sejalan
dengan UU Nomor 20 tahun 2003 harus ditransformasikan menjadi sistem
pendidikan yang mencerahkan, dengan visi terbentuknya manusia pembelajar yang
bertakwa, berakhlak mulia, dan berkemajuan. Sedangkan misinya ialah: (1) Mendidik
manusia agar memiliki kesadaran ilahiah, jujur, dan berkepribadian mulia; (2)
Membentuk manusia berkemajuan yang memiliki jiwa pembaruan, berfikir cerdas,
kreatif, inovatif, dan berwawasan luas; (3) Mengembangkan potensi manusia berjiwa
mandiri, beretos kerja keras, wira usaha, dan kompetitif; (4) Membina peserta didik
agar menjadi manusia yang memiliki kecakapan hidup dan ketrampilan sosial,
teknologi, informasi, dan komunikasi; (5) Membimbing peserta didik agar menjadi
manusia yang memiliki jiwa, daya-cipta, dan kemampuan mengapresiasi karya seni-
budaya; dan (6) Membentuk kader bangsa yang ikhlas, bermoral, peka, peduli, serta
bertanggungjawab terhadap kemanusiaan dan lingkungan. Pendidikan nasional
yang holistik tersebut melibatkan seluruh elemen bangsa, sehingga menjadi
gerakan dan strategi kebudayaan nasional yang menyeluruh menuju kemajuan
hidup bangsa yang bermartabat berdasarkan Pancasila, agama, dan kebudayaan
luhur Indonesia (PP Muhammadiyah, 2014).

Karenanya pendidikan Pancasila tidak lepas dari pendidikan yang mencerahkan


yang terkait dengan pendidikan agama dan pendidikan kebudayaan sebagai satu
kesatuan sehingga menjadi pendidikan holistik dalam sistem pendidikan nasional.
Dengan demikian insan Indonesia yang dihasilkan dari lembaga dan sistem

x
pendidikan nasional, baik yang diselenggarakan oleh negeri maupun swasta,
merupakan sosok manusia Indonesia yang utuh. Jika tujuan pendidikan nasional
secara makro terkait dengan usaha “mencerdaskan kehidupan bangsa”, maka
manusia Indonesia yang utuh niscaya menjadi insan yang cerdas secara menyeluruh,
yakni kecerdasan rohani, spiritual, intelektual, sikap, tindakan, dan kehidupan sosial
yang holistik. Pendidikan Pancasila dalam substansi konstitusi UUD 1945 pasal 31
bahkan memiliki tautan dengan pendidikan iman dan takwa, akhlak mulia, dan nilai
agama untuk membangun peradaban bangsa sebagaimana dicita-citakan para
pendiri Indonesia.

xv
BAB I
URGENSI DAN
DASAR HUKUM
PENDIDIKAN PANCASILA
URGENSI DAN DASAR HUKUM
PENDIDIKAN PANCASILA
INTRODUKSI

Materi “Urgensi dan Dasar Hukum Pendidikan Pancasila” pada bab ini penting
sebagai pengantar, sebelum masuk pada materi yang lebih spesifik pada bab-bab
berikutnya. Mahasiswa dapat dikatakan menguasai materi pada Bab I jika capaian
pembelajaran sebagaimana berikut ini terpenuhi,

1. 3.
Mampu mendeskripsikan urgensi Mampu membuktikan kedudukan
penyelenggaraan Pendidikan Pancasila sebagai kesepakatan
Pancasila di Perguruan Tinggi. dan persaksian bangsa.

2. 4.
Mampu memberikan argumen
Mampu menguraikan visi, misi,
dasar hukum dan sumber
dan tujuan Pendidikan Pancasila.
penyelenggaraan Pendidikan
Pancasila.

Mata kuliah pendidikan Pancasila merupakan usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran agar mahasiswa secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki pengetahuan, kepribadian, dan
keahlian, sesuai dengan program
studinya (Kemenristek Dikti, 2016).

Dengan menempuh mata kuliah


pendidikan Pancasila, mahasiswa
diharapkan dapat memberikan
kontribusi yang konstruktif dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara dengan mengacu kepada
nilai-nilai Pancasila.

Monumen Pancasila
sumber gambar:
https://www.bankjim.com
/2016/06/museum-monumen-
pancasila-sakti.html

2
STIMULAN

Bagian ini berisi contoh kasus-kasus yang terjadi dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia. Mahasiswa diminta untuk memahami kasus yang
dipaparkan kemudian memberikan tanggapan. Selain itu, mahasiswa juga diminta
untuk menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan dari kasus-kasus tersebut.

Kasus Pertama
Kasus Pertama
Pendidikan Pancasila telah dilakukan sejak siswa duduk di bangku Sekolah Dasar
hingga Sekolah Menengah Atas. Tujuan Pendidikan Pancasila adalah menanamkan
nilai-nilai Pancasila agar menjadi panduan dalam berperilaku bagi peserta didik.
Dengan cara tersebut, idealnya warga negara Indonesia mampu mempraktikkan
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari di berbagai aktivitas yang
dilakukan. Namun realitas menunjukkan tindakan-tindakan yang bertentangan
dengan nilai-nilai Pancasila masih mudah dijumpai di masyarakat.
Pertanyaan untuk mahasiswa:
1. Bagaimana pengalaman belajar tentang Pancasila yang pernah Saudara jalani
sejak SD hingga SMA?
2. Belajar dari pengalaman tersebut, apa saran dan harapan Saudara untuk
Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi?

Kasus Kedua
Masyarakat seharusnya bahu-membahu dalam
membangun bangsa ini agar Indonesia menjadi negara
yang maju, makmur, adil, dan bermartabat. Beberapa
daerah sudah menunjukkan kerukunan antarkelompok
masyarakat, namun di sebagian wilayah yang lain
terkadang masih muncul adanya konflik. Perselisihan tidak
hanya terjadi secara horizontal antargolongan, namun
juga vertikal antara masyarakat dengan pemerintah.

Pertanyaan untuk mahasiswa:


1. Bagaimana menurut Saudara tentang konflik horizontal dan
vertikal yang terjadi di masyarakat Indonesia?
2. Jika Saudara berada di dalam masyarakat yang mengalami konflik,
apa yang akan Saudara lakukan?

3
Kasus Ketiga
Negara menjamin kebebasan bagi warga negara di dalam Undang-Undang
Dasar NRI 1945 untuk memilih agama yang diakui. Masyarakat pun saling
menghormati perbedaan agama dan keyakinan tersebut dalam kehidupan sehari-
hari. Namun, terkadang terjadi gesekan-gesekan di masyarakat terkait masalah
keyakinan.
Pertanyaan untuk mahasiswa:
1. Bagaimana menurut Saudara tentang gesekan antarumat beragama pada
masyarakat Indonesia?
2. Jika di tempat Saudara terjadi perselisihan antarumat beragama, apa yang
akan Saudara lakukan?

BAHASAN
Metode perkuliahan adalah bagian dari strategi pembelajaran yang berfungsi
sebagai cara untuk menyajikan, menguraikan, memberi contoh, dan memberi
latihan kepada mahasiswa untuk mencapai tujuan tertentu. Penyajian materi pada
bab ini berupa:

Alat, bahan
Metode pembelajaran Alokasi waktu dan sumber belajar

ceramah, brainstorming, 100 menit alat tulis, papan tulis,


Focus group discussion, LCD, dan lembar kerja
dan tanya jawab. kelompok.

ASUPAN

1. Urgensi Penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi


Pendidikan Pancasila sangat penting diberikan kepada mahasiswa di Perguruan
Tinggi. Pendidikan Pancasila diharapkan dapat memperkokoh modalitas akademik
dalam berperan serta membangun pemahaman masyarakat.
Setelah mendapatkan perkuliahan Pendidikan Pancasila, mahasiswa diharapkan
memiliki sikap:

4
a. Kesadaran gaya hidup sederhana dan cinta
produk dalam negeri.
b. Kesadaran pentingnya kelangsungan
hidup generasi mendatang;
c. Kesadaran pentingnya semangat kesatuan
persatuan (solidaritas ) nasional.
d. Kesadaran pentingnya norma-norma
dalam pergaulan;
e. Kesadaran pentingnya kesahatan mental
bangsa.
f. Kesadaran tentang pentingnya penegakan
hukum.
g. Menanamkan pentingnya kesadaran
terhadap ideologi Pancasila.
(Kemenristek Dikti, 2016).

Urgensi Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi juga tidak bisa dilepaskan dari
beberapa alasan yakni historis, sosiologis, dan politis.

2. Dasar Hukum dan Sumber Penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di


Perguruan Tinggi
Undang-Undang Dasar NRI 1945 yang diamandemen dalam pasal 31
mengamanatkan negara untuk menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Penyelenggaraan Pendidikan Pancasila sebagai mata kuliah di Perguruan
Tinggi ditegaskan dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor
914/E/T/2011, tertanggal 30 Juni 2011. Selanjutnya, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 tahun 2012 tentang
Pe n d i d i k a n T i n g g i , m e m u a t p e n e g a s a n
ketentuan pentingnya penyelenggaraan
Pendidikan Pancasila sebagaimana termaktub
dalam pasal 2 dan 35 ayat 1 dan 3. Dasar hukum
penyelenggaraan Pendidikan Pancasila juga
dipertegas dengan Surat Edaran Ristek Dikti
Nomor: 435/B/SE/2016 terkait bahan ajar mata
kuliah wajib umum yang memuat Pendidikan
Pancasila. Dasar hukum lainnya adalah
Permendikbud nomor 3 tahun 2020 tentang
St a n d a r N a s i o n a l Pe n d i d i k a n T i n g g i ,
sebagaimana termaktub dalam rumusan sikap
pada poin c yang berbunyi berkontribusi dalam
peningkatan mutu kehidupan bermasyarakat,

5
berbangsa, bernegara, dan kemajuan peradaban berdasarkan Pancasila. Di samping
itu, Kepdirjendikti nomor 84/E/KPT/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Mata Kuliah
Wajib pada Kurikulum Pendidikan Tinggi yang menyatakan bahwa mata kuliah
Pancasila merupakan pendidikan untuk memberikan pemahaman dan penghayatan
kepada mahasiswa mengenai ideologi bangsa Indonesia.Dengan demikian,
keberadaan mata kuliah Pendidikan Pancasila merupakan kehendak negara, bukan
kehendak perseorangan atau golongan, demi terwujudnya tujuan negara.

3. Pancasila sebagai Kesepakatan dan Persaksian Bangsa


Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah telah diputuskan dalam
Muktamar Muhammadiyah ke 47 pada 3-7 Agustus 2015 di Makassar. Darul ahdi
dapat diartikan sebagai negara tempat masyarakat Indonesia melakukan konsensus
nasional. Negara Indonesia berdiri karena seluruh kemajemukan bangsa, golongan,
daerah, hingga kekuatan politik yang kemudian mencapai kesepakatan. Di satu sisi
darul syahadah dapat diartikan tempat pembuktian atau kesaksian untuk menjadi
negeri yang aman dan damai menuju kehidupan yang maju, adil, makmur,
bermartabat, dan berdaulat.

Pada bagian pengantar PP Muhammadiyah (2015) terhadap buku “Negara


Pancasila: Darul ahdi wa Syahadah”, disebutkan bahwa konsep Negara Pancasila
sebagai Darul Ahdi wa Syahadah didasarkan pada pemikiran-pemikiran resmi yang
selama ini telah menjadi pedoman dan rujukan organisasi. Di antaranya Matan
Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH), Kepribadian
Muhammadiyah, Khittah-khittah Muhammadiyah, Membangun Visi dan Karakter
Bangsa, serta hasil Tanwir Muhammadiyah di Bandung tahun 2012 dan Tanwir
Samarinda tahun 2014. Pemikiran tentang Negara Pancasila itu dimaksudkan untuk
menjadi rujukan dan orientasi pemikiran serta tindakan bagi seluruh anggota
Muhammadiyah dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara secara kontekstual
berdasarkan pandangan Islam Berkemajuan yang selama ini menjadi perspektif ke-
Islam-an Muhammadiyah.

4. Visi, Misi, dan Tujuan Pendidikan Pancasila


Visi pendidikan Pancasila adalah “Terwujudnya kepribadian sivitas akademika
yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila”. Kemudian misi pendidikan Pancasila
sebagai berikut:
a.Mengembangkan potensi akademik peserta didik (misi psikopedagogis)
b.Menyiapkan peserta didik untuk hidup dan berkehidupan dalam
masyarakat, bangsa dan negara (misi psikososial)
c.Membangun budaya ber-Pancasila sebagai salah satu determinan kehidupan
(misi sosiokultural)
d.Mengkaji dan mengembangkan pendidikan Pancasila sebagai sistem
pengetahuan terintegrasi atau disiplin ilmu sintetik (synthetic discipline), sebagai
misi akademik (Kemenristek Dikti, 2016)

6
Empat pilar pendidikan menurut UNESCO digunakan sebagai rujukan pada
proses pembelajaran Pendidikan Pancasila. Empat pilar ini terdiri dari: learning to
know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Penekanan
Pendidikan Pancasila melalui empat pilar tersebut penting untuk membangun
kehidupan bersama atas dasar kesadaran akan realitas keragaman yang saling
membutuhkan.
5. Capaian Pembelajaran Pendidikan Pancasila
Capaian pembelajaran mengandung maksud kumpulan kompetensi yang
diharapkan diperoleh oleh mahasiswa setelah mengikuti perkuliahan dalam satu
semester. Berdasarkan urgensi, visi, misi, dan tujuan Pendidikan Pancasila
diharapkan dapat memenuhi capaian pembelajaran sebagaimana berikut:

Memiliki kemampuan analisis, berpikir rasional, bersikap


a. kritis dalam menghadapi persoalan-persoalan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Mampu berkontribusi dengan mengenali masalah-masalah


b. dan memberikan solusi berdasarkan nilai-nilai Pancasila.

Mampu menjelaskan dasar-dasar kebenaran bahwa Pancasila


c. adalah ideologi yang sesuai bagi bangsa Indonesia yang
majemuk (Bineka Tunggal Ika)

Mampu mengimplementasikan secara konsisten nilai-nilai


d. Pancasila dalam kehidupan

Memiliki rasa ingin tahu dan karakter pemelajar yang

Bangku di Ruang Kelas


sumber gambar:
e. berkomitmen terhadap nilai-nilai Pancasila dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
www.pexels.com

7
TES

1. Tugas Individu
Mahasiswa diminta untuk mencari minimal 3 permasalahan
dari berita di internet, siaran di televisi, atau surat kabar
terkait lemahnya proses Pendidikan Pancasila berikut juga
mencarikan solusi dari persoalan tersebut. Tugas ditulis di
kertas folio bergaris, dikumpulkan paling lambat 3 hari
setelah pemberian tugas di meja dosen pengampu.

2. Tugas Kelompok
Dosen pengampu membagi seluruh mahasiswa menjadi 5 (lima) kelompok besar
kemudian meminta membuat poster dengan ketentuan:
a.) Tema “Indonesia sebagai darul syahadah”
b.) Poster dapat dibuat berwarna ataupun hitam putih
c.) Tugas dikumpulkan paling lambat 7 hari setelah pembagian tugas melalui
LMS Spada

8
SUMBER BACAAN
Cogan, J.J. & Derricott, R.. 1998. Citizenship Education for The 21st Century: Setting the
........Contex. In: R. Derricott, ed. Citizenship For The 21st Century: An International
........Perspective on Education. New York: Routledge Taylor & Francis Group, pp. 1-22.

Kaelan. 2000. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Kemenristek Dikti. 2016. Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:


........Direktorat Jenderal Pembelajaran & Kemahasiswaan Kemenristek Dikti.

Nurdin, Encep S. 2015. Pengaruh Implementasi Kebijakan Pendidikan


........Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi terhadap Nasionalisme dan Patriotisme
........Mahasiswa. Penelitian Mandiri. Bandung: Tidak diterbitkan.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2015. Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa


........Syahadah. Disampaikan pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar 3-7
........Agustus 2015.

Surat Edaran Ristek Dikti Nomor: 435/B/SE/2016.

Undang-Undang Dasar NRI.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012.

9
BAB II
KEDUDUKAN DAN
FUNGSI
PANCASILA
KEDUDUKAN DAN FUNGSI
PANCASILA
INTRODUKSI

Materi “Kedudukan dan Fungsi Pancasila” pada bab ini memusatkan perhatian
pada pokok bahasan terkait Pancasila sebagai dasar negara, ideologi negara, sistem
filsafat, dan sistem etika. Mahasiswa dapat dinyatakan menguasai materi Bab II ini
apabila mampu memenuhi capaian pembelajaran sebagaimana berikut ini:

1. Mampu menguraikan kedudukan


Pancasila sebagai dasar negara
3. Mampu memerinci kedudukan
Pancasila sebagai sistem filsafat

2.
Mampu memperbandingkan
kedudukan Pancasila sebagai
ideologi negara 4. Mampu menelaah kedudukan
Pancasila sebagai sistem etika

Begitu kuat dan mengakarnya


Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Sistem
Pancasila terus berjaya sepanjang masa. Etika
Hal tersebut disebabkan ideologi
Pancasila tidak sekadar confirm and
deepen identitas bangsa Indonesia, lebih
dari itu Pancasila adalah identitas
Bangsa Indonesia sepanjang masa. Sejak Sistem Dasar
digali menjadi dasar dan ideologi Filsafat Negara
negara, Pancasila mampu
membangkitkan identitas yang
“tertidur” dan “terbius” selama
kolonialisme (Abdulgani, 1979:22).
Berdasarkan kenyataan itulah Ideologi
kedudukan dan fungsi Pancasila bagi Negara
masyarakat Indonesia harus terus
disosialisasikan pada generasi muda.

12
STIMULAN

Pada bagian ini, berisi contoh kasus yang terjadi dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia. Mahasiswa diminta untuk memahami kasus yang
dipaparkan kemudian memberikan tanggapan. Selain itu, mahasiswa juga diminta
untuk menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan dari kasus-kasus tersebut.

Kasus Pertama
Pancasila adalah ideologi bangsa Indonesia. Berdasarkan hal tersebut setiap
warga negara harus menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman hidup
berbangsa dan bernegara. Realitasnya banyak pihak yang sudah menjadikan
Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa, namun ada pula yang mengambil
sikap berbeda dengan menerapkan ideologi komunis di Indonesia.
Pertanyaan untuk mahasiswa:
1. Bagaimana pendapat Saudara dengan berkembangnya ideologi komunis di
Indonesia?
2. Jika Saudara melihat ada pihak-pihak yang menyebarkan ajaran komunis, apa
yang akan Saudara lakukan?
3. Apa yang akan Saudara lakukan jika ada pihak-pihak yang ingin mengganti
ideologi Pancasila dengan ideologi khilafah?

Kasus Kedua
Pancasila selain menjadi ideologi, juga memiliki
kedudukan sebagai dasar negara Indonesia yang tertuang
dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Dilihat dari kacamata
hukum positif, Pancasila adalah sumber hukum tertinggi
dalam ketatanegaraan yang menjadi rujukan peraturan di
bawahnya. Ada pemimpin atau pejabat yang sudah
menjalankan praktik pemerintahannya sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila, namun ada pula yang menyimpang
sehingga harus berurusan dengan hukum.

Pertanyaan untuk mahasiswa:


1. Bagaimana pendapat Saudara mengenai perilaku
para pemimpin atau pejabat yang menyimpang
dari nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara?
2. Jika Saudara melihat praktik pemimpin atau
pejabat yang menyimpang dari nilai-nilai
Pancasila, apa yang akan Saudara lakukan?

13
Kasus Ketiga
Bagaimana pendapat Saudara tentang stigma dan pengucilan yang dilakukan
terhadap warga yang menderita gangguan jiwa atau penyakit HIV/AIDS?

BAHASAN
Metode perkuliahan adalah bagian dari strategi pembelajaran yang berfungsi
sebagai cara untuk menyajikan, menguraikan, memberi contoh, dan memberi
latihan kepada mahasiswa untuk mencapai tujuan tertentu. Penyajian materi pada
bab ini berupa:

Alat, bahan
Metode pembelajaran Alokasi waktu dan sumber belajar

Debat 200 menit alat tulis, papan tulis, LCD, dan


(Kelompok Pro dan Kontra) lembar kerja individu
dan lembar kerja kelompok.

ASUPAN

1. Pancasila sebagai Dasar Negara


Dasar negara Indonesia dalam pengertian historisnya merupakan hasil
pergumulan pemikiran para pendiri negara untuk menemukan landasan atau
pijakan yang kokoh untuk di atasnya didirikan negara Indonesia merdeka. Walaupun
rumusan dasar negara itu baru mengemuka pada masa persidangan Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), namun bahan-bahannya
telah dipersiapkan sejak awal pergerakan kebangsaan Indonesia. Semenjak UUD NRI
Tahun 1945 ditetapkan dalam sidang PPKI pertama menjadi konstitusi Indonesia,
pada saat itu telah terdapat rumusan dasar Negara Indonesia yang terdapat dalam
pembukaan alinea ke-4.

14
a.Hubungan Pancasila dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945
Pancasila menjiwai seluruh bidang kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila
sebagai cerminan dari jiwa dan cita-cita hukum bangsa Indonesia tersebut
merupakan norma dasar dalam penyelenggaraan bernegara dan yang menjadi
sumber dari segala sumber hukum sekaligus sebagai cita hukum, baik tertulis
maupun tidak tertulis di Indonesia. Kedudukan Pancasila inilah yang
mengarahkan hukum pada cita-cita bersama bangsa Indonesia. Cita-cita ini
secara langsung merupakan cerminan kesamaan kepentingan di antara sesama
warga bangsa. Dalam pengertian yang bersifat yuridis kenegaraan Pancasila
yang berfungsi sebagai dasar negara tercantum dalam Alinea Keempat


Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yang dengan jelas menyatakan:

“...maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu


Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”

b.Penjabaran Pancasila dalam Pasal-Pasal UUD NRI Tahun 1945


Pembukaan UUD NRI tahun 1945 mengandung pokok-pokok pikiran yang
meliputi suasana kebatinan, cita-cita hukum dan cita-cita moral bangsa
Indonesia. Pokok-pokok pikiran yang bersumber dari Pancasila itulah yang
dijabarkan ke dalam pasal-pasal UUD NRI tahun 1945. Hubungan Pembukaan
UUD NRI tahun 1945 yang memuat Pancasila dengan pasal-pasal UUD NRI
tahun 1945 bersifat kausal dan organis. Hubungan kausal mengandung
pengertian Pembukaan UUD NRI tahun 1945 merupakan penyebab keberadaan
pasal-pasal UUD NRI tahun 1945, sedangkan hubungan organis berarti
Pembukaan dan pasal-pasal UUD NRI tahun 1945 merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan. Pembukaan mengandung pokok-pokok pikiran yang
diciptakan dan dijelaskan dalam pasal-pasal.

15
MPR RI telah melakukan amandemen UUD NRI tahun 1945 sebanyak empat
kali yang secara berturut-turut terjadi pada 19 Oktober 1999, 18 Agustus 2000, 9
November 2001, dan 10 Agustus 2002. Beberapa contoh penjabaran Pancasila
ke dalam pasal-pasal UUD NRI tahun 1945 hasil amandemen antara lain terkait
sistem pemerintahan negara dan kelembagaan negara (Pasal 1 ayat 3 serta Pasal
3 Ayat 1, 2, dan 3), dan hubungan antara negara dengan penduduknya (pasal 26
ayat 2, pasal 27 ayat 3, pasal 29 ayat 2, pasal 26 ayat 2, serta pasal 27 ayat 3).

c. Implementasi Pancasila dalam Pembuatan Kebijakan Negara di Bidang


Politik, Ekonomi, Sosial Budaya dan Hankam
Penjabaran keempat pokok pikiran Pembukaan ke dalam pasal-pasal UUD
NRI tahun 1945 mencakup empat aspek kehidupan bernegara yaitu: politik,
ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan yang disingkat menjadi
POLEKSOSBUD HANKAM. Aspek politik dituangkan dalam pasal 26, pasal 27
ayat 1, dan pasal 28. Aspek ekonomi dituangkan dalam pasal 27 ayat 2, pasal 33,
dan pasal 34. Aspek sosial budaya dituangkan dalam pasal 29, pasal 31, dan
pasal 32. Aspek pertahanan keamanan dituangkan dalam pasal 27 ayat 3 dan
pasal 30 (Bakry, 2010: 276).

Implementasi Pancasila dalam pembuatan kebijakan negara dalam bidang


sosial budaya mengandung pengertian bahwa nilai-nilai yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat Indonesia harus diwujudkan dalam proses
pembangunan masyarakat dan kebudayaan di Indonesia. Menurut
Koentowijoyo, sebagaimana dikutip oleh Kaelan (2000:240), kerangka
kesadaran Pancasila dapat merupakan dorongan untuk: 1) universalisasi, yaitu
melepaskan simbol-simbol dari keterkaitan struktur; dan 2) transendentalisasi,
yaitu meningkatkan derajat kemerdekaan, manusia, dan kebebasan spiritual.
Dengan demikian, Pancasila sebagai sumber nilai dapat menjadi arah bagi
kebijakan negara dalam mengembangkan bidang kehidupan sosial budaya
Indonesia yang beradab, sesuai dengan sila kedua, kemanusiaan yang adil dan
beradab.

16
2. Pancasila sebagai Ideologi Negara
Ideologi merupakan alat untuk mendefinisikan aktivitas politik yang berkuasa
atau untuk menjalankan suatu politik “cultural management”, suatu muslihat
manajemen budaya (Abdulgani, 1979: 20). Menurut Oesman dan Alfian (1990: 6),
ideologi berintikan serangkaian nilai (norma) atau sistem nilai dasar yang bersifat
menyeluruh dan mendalam yang dimiliki dan dipegang oleh suatu masyarakat atau
bangsa sebagai wawasan atau pandangan hidup bangsa mereka. Ideologi
merupakan kerangka penyelenggaraan negara untuk mewujudkan cita-cita bangsa.
Ideologi bangsa adalah cara pandang suatu bangsa dalam menyelenggarakan
negaranya.
Pancasila sebagai ideologi Indonesia mempunyai ajaran-ajaran yang memang
mengandung nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi lain. Ajaran yang
dikandung Pancasila bahkan dipuji oleh seorang filsuf Inggris, Bertrand Russel, yang
menyatakan bahwa Pancasila merupakan sintesis kreatif antara Declaration of
American Independence (yang merepresentasikan ideologi demokrasi kapitalis)
dengan Manifesto Komunis (yang mereprensentasikan ideologi komunis). Lebih dari
itu seorang ahli sejarah, Rutgers, beranggapan dari semua negara Asia Tenggara,
Indonesia-lah yang dalam konstitusinya pertama-tama dan paling tegas melakukan
latar belakang psikologis yang sesungguhnya daripada revolusi melawan penjajah.
Dalam filsafat negaranya, yaitu Pancasila, dilukiskan alasan-alasan secara lebih
mendalam dari revolusi-revolusi itu (Latif, 2011: 47).

a.Pancasila dan Liberalisme


Indonesia tidak menerima liberalisme
karena individualisme Barat yang
mengutamakan kebebasan makhluknya,
sedangkan paham integralistik yang kita
anut memandang manusia sebagai
individu dan sekaligus juga makhluk sosial
(Oesman dan Alfian, 1990:201). Negara
demokrasi model Barat lazimnya bersifat
sekuler, hal ini tidak dikehendaki oleh
segenap elemen bangsa Indonesia
(Kaelan, 2012: 254). Hal tersebut diperkuat
dengan pendapat Kaelan yang
menyebutkan bahwa negara liberal
memberi kebebasan kepada warganya
untuk memeluk agama dan menjalankan
ibadah sesuai dengan agamanya masing-
masing, namun juga diberikan kebebasan
Adam Smith
Tokoh Liberal untuk tidak percaya terhadap Tuhan atau
sumber gambar:
https://id.wikipedia.org/wiki/Adam_Smith atheis.

17
Berdasarkan pandangan tersebut hampir dapat dipastikan bahwa sistem
negara liberal membedakan dan memisahkan antara negara dan agama atau
bersifat sekuler (Kaelan, 2000: 231). Akan tetapi, Pancasila Sila Pertama berbunyi
Ketuhanan Yang Maha Esa, telah memberikan sifat yang khas kepada negara
Indonesia, yaitu bukan merupakan negara sekuler yang memisah-misahkan
agama dengan negara (Kaelan, 2000:220). Karena alasan-alasan seperti itulah
antara lain kenapa Indonesia tidak cocok menggunakan ideologi liberalisme.

b.Pancasila dan Komunisme


Komunisme tidak pernah diterima dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini
D.N. Aidit
disebabkan negara komunisme lazimnya Tokoh Komunis
bersifat atheis yang menolak agama dalam Sumber gambar:
Wikipedia
suatu negara. Selain itu, ideologi komunis
juga tidak menghormati manusia sebagai
makhluk individu. Prestasi dan hak milik
individu tidak diakui. Ideologi komunis
bersifat totaliter karena tidak membuka
pintu sedikit pun terhadap alam pikiran lain.
Ideologi semacam ini bersifat otoriter dan
menuntut penganutnya bersikap dogmatis,
suatu ideologi yang bersifat tertutup.

Berbeda dengan Pancasila yang bersifat terbuka, Pancasila memberikan


kemungkinan dan bahkan menuntut sikap kritis dan rasional. Pancasila bersifat
dinamis yang mampu memberikan jawaban atas tantangan yang berbeda-beda
dalam zaman sekarang (Poespowardojo, 1989:203-204). Sementara Indonesia
sebagai negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan
pilihan kreatif dan merupakan proses elektis inkorporatif. Artinya pilihan negara
yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa adalah khas dan tampaknya sesuai
dengan kondisi objektif bangsa Indonesia (Kaelan, 2012: 254-255).

c. Pancasila dan Agama


Pancasila yang di dalamnya terkandung dasar filsafat hubungan negara dan
agama merupakan karya besar bangsa Indonesia. Begitu pentingnya
memantapkan kedudukan Pancasila, sehingga Pancasila pun mengisyaratkan
bahwa kesadaran adanya Tuhan milik semua orang dan berbagai agama. Tuhan
menurut terminologi Pancasila adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang tak terbagi,
yang maknanya sejalan dengan agama Islam, Kristen, Budha, Hindu dan bahkan
juga Animisme (Chaidar, 1998:36). Menurut Notonegoro (Kaelan, 2012: 47), asal

18
mula Pancasila secara langsung salah satunya asal mula bahan (Kausa
Materialis). Maksudnya adalah bangsa Indonesia sebagai asal dari nilai-nilai
Pancasila yang digali dari nilai-nilai adat-istiadat kebudayaan serta nilai-nilai
religius yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.

Dalam hubungan antara agama Islam dan Pancasila, keduanya dapat


berjalan saling menunjang dan saling mengokohkan. Keduanya tidak
bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Juga tidak harus dipilih salah
satu dengan sekaligus membuang dan menanggalkan yang lain.Para tokoh
Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo, Kahar Muzakir, dan Kasman
Singodimedjo sebagai perwakilan dari kaum Nasionalis Islam, dalam sidang PPKI
pada 18 Agustus 1945, menyepakati perubahan rumusan Sila pertama Pancasila
dengan menghilangkan 7 kata dari rumusan Sila I pada Piagam Jakarta, yang
berbunyi “… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya.” Kiai Achmad Siddiq menyatakan bahwa salah satu hambatan
utama bagi proporsionalisasi ini berwujud hambatan psikologis, yaitu
kecurigaan dan kekhawatiran yang datang dari kaum Nasionalis Islam dan kaum
Nasionalis sekuler (Zada dan Sjadzili (ed), 2010:79). Pancasila menjamin umat
beragama dalam menjalankan ibadah mereka.

3. Pancasila sebagai Sistem Filsafat


Pancasila merupakan filsafat bangsa Indonesia mengandung pengertian sebagai
hasil perenungan mendalam dari para tokoh pendiri negara ketika berusaha
menggali nilai-nilai dasar dan merumuskan dasar negara untuk di atasnya didirikan
negara Republik Indonesia. Pengertian suatu sistem, sebagaimana dikutip oleh

19
Kaelan (2000:66) dari Shrode dan Don Voich, memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1)
suatu kesatuan bagian-bagian; 2) bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi
sendiri-sendiri; 3) saling berhubungan, saling ketergantungan; 4) kesemuanya
dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama (tujuan sistem); dan 5) terjadi
dalam suatu lingkungan yang kompleks. Berdasarkan pengertian tersebut Pancasila
yang berisi lima sila saling berhubungan membentuk satu kesatuan sistem yang
dalam proses bekerjanya saling melengkapi dalam mencapai tujuan. Meskipun
setiap sila pada hakikatnya merupakan suatu asas sendiri dan memiliki fungsi
sendiri-sendiri, namun memiliki tujuan tertentu yang sama yaitu mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Pancasila sebagai sistem filsafat mengandung pemikiran tentang manusia yang
berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan
masyarakat bangsa yang semua itu dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh sebab itu,
sebagai sistem filsafat Pancasila memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem-
sistem filsafat lain yang ada di dunia seperti materialisme, idealisme, rasionalisme,
liberalisme, komunisme dan lain sebagainya. Kekhasan nilai filsafat yang terkandung
dalam Pancasila berkembang dalam budaya dan peradaban Indonesia, terutama
sebagai jiwa dan asas kerohanian bangsa dalam perjuangan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Selanjutnya nilai filsafat Pancasila, baik sebagai pandangan hidup atau
filsafat hidup (Weltanschauung) bangsa maupun sebagai jiwa bangsa atau jati diri
(Volksgeist) nasional memberikan identitas dan integritas serta martabat bangsa
dalam menghadapi budaya dan peradaban dunia.

a.Filsafat Pancasila
Filsafat Pancasila dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis dan rasional
tentang Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan
tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar dan
menyeluruh. Pancasila dikatakan sebagai filsafat, karena Pancasila merupakan
hasil permenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the founding
fathers Indonesia, yang dituangkan dalam suatu sistem. Pengertian filsafat
Pancasila secara umum adalah hasil berpikir atau pemikiran yang sedalam-
dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya, dan diyakini sebagai
kenyataan, norma-norma dan nilai-nilai yang benar, adil, bijaksana, dan paling
sesuai dengan kehidupan dan kepribadian bangsa Indonesia.
Filsafat Pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat praktis sehingga filsafat
Pancasila tidak hanya mengandung pemikiran yang sedalam-dalamnya atau
tidak hanya bertujuan mencari, tetapi hasil pemikiran yang berwujud filsafat
Pancasila tersebut dipergunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari (way of life
atau weltanschauung) agar hidup bangsa Indonesia dapat mencapai
kebahagiaan lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat (Salam, 1988: 23-
24). Pancasila secara filsafat memiliki dasar ontologis, epistemologis, dan

20
aksiologis.

b.Hakikat Sila-Sila Pancasila


Kata “hakikat” dapat diartikan sebagai suatu inti yang terdalam dari segala
sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur tertentu dan yang mewujudkan sesuatu
itu, sehingga terpisah dengan sesuatu lain (bersifat mutlak). Terkait dengan
hakikat sila-sila Pancasila, pengertian kata hakikat dapat dipahami dalam tiga
kategori.
1) Hakikat abstrak yang disebut juga sebagai hakikat jenis atau hakikat umum
yang mengandung unsur-unsur yang sama, tetap dan tidak berubah.
Hakikat abstrak sila-sila Pancasila menunjuk pada kata ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
2) Hakikat pribadi sebagai hakikat yang memiliki sifat khusus, artinya terikat
kepada barang sesuatu. Hakikat pribadi Pancasila menunjuk pada ciri-ciri
khusus sila-sila Pancasila yang ada pada bangsa Indonesia seperti adat
istiadat, nilai-nilai agama, nilai-nilai kebudayaan, sifat dan karakter yang
melekat pada bangsa Indonesia sehingga membedakan bangsa Indonesia
dengan bangsa yang lain di dunia.
3) Hakikat konkret yang bersifat nyata sebagaimana dalam kenyataannya.
Hakikat konkret Pancasila terletak pada fungsi Pancasila sebagai dasar
filsafat negara. Dalam realisasinya Pancasila adalah pedoman praktis yaitu
dalam wujud pelaksanaan praktis dalam kehidupan negara, bangsa dan
negara Indonesia yang sesuai dengan kenyataan sehari-hari, tempat,
keadaan dan waktu.
Pancasila yang berisi lima sila, menurut Notonagoro (1967: 32) merupakan
satu kesatuan utuh. Kesatuan sila-sila Pancasila tersebut diuraikan sebagai
berikut:
1) Kesatuan sila-sila Pancasila dalam struktur yang bersifat hierarkis dan
berbentuk piramidal. Susunan secara hierarkis mengandung pengertian
bahwa sila-sila Pancasila memiliki tingkatan berjenjang yaitu sila yang ada di
atas menjadi landasan sila yang ada di bawahnya
2) Hubungan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan saling
mengualifikasi. Sila-sila Pancasila sebagai kesatuan dapat dirumuskan pula
dalam hubungannya saling mengisi atau mengualifikasi dalam kerangka
hubungan hierarkis piramidal seperti di atas.

Hakikat
dia ikan sebagai suatu inti yang terdalam dari segala sesuatu

21
4. Pancasila sebagai Sistem Etika
a.Makna Etika
Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani yakni ethos, yang artinya
watak kesusilaan atau adat. Istilah ini identik dengan moral yang berasal dari
bahasa Latin, mos yang jamaknya mores, yang juga berarti adat atau cara hidup.

Meskipun kata etika dan


moral memiliki kesamaan
arti, dalam pemakaian
sehari-hari dua kata ini
digunakan secara berbeda.
Pada pengertian lain, etika
berbeda dengan etiket.
Etika adalah kajian ilmiah
terkait dengan etiket atau
moralitas. Etiket secara
sederhana dapat diartikan
sebagai aturan kesusilaan
atau sopan-santun.

Sungkeman
Sumber gambar:
https://www.learnreligions.com/

b.Aliran Besar dalam Etika


1) Etika deontologi. Aliran ini memandang bahwa penilaian baik atau buruk
berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban.
2) Etika teleologi. Pandangan etika teleologi berkebalikan dengan etika
deontologi, yaitu baik buruk suatu tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau
akibat dari perbuatan itu. Etika teleologi membantu kesulitan etika
deontologi ketika menjawab apabila dihadapkan pada situasi konkret yang
bertentangan satu dengan yang lain. Etika teleologi dapat digolongkan
menjadi dua, yakni:
a) egoisme etis memandang bahwa tindakan yang baik adalah
tindakan yang berakibat baik untuk pelakunya;
b) utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan
tergantung bagaimana akibatnya terhadap banyak orang.
3) Etika Keutamaan. Etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak
juga mendasarkan pada penilaian moral pada kewajiban, tetapi didasarkan
atas hukum moral universal.

22
c. Etika Pancasila
Nilai yang pertama adalah ketuhanan. Secara hierarkis nilai ini bisa dikatakan
sebagai nilai yang tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak.
Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini. Suatu perbuatan dikatakan baik
apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaidah dan hukum Tuhan. Pandangan
demikian secara empiris bisa dibuktikan bahwa setiap perbuatan yang
melanggar nilai, kaidah dan hukum Tuhan, baik itu kaitannya dengan hubungan
antara manusia maupun alam pasti akan berdampak buruk. Misalnya
pelanggaran akan kaidah Tuhan tentang menjalin hubungan kasih sayang antar-
sesama akan menghasilkan konflik dan permusuhan. Pelanggaran kaidah Tuhan
untuk melestarikan alam akan menghasilkan bencana alam, dan lain-lain.

Gotong Royong
Sumber gambar:
https://quizizz.com/admin/quiz/5dc7af357f951c001b2c2043/
kerjasama-dalam-berbagai-bidang-kehidupan

Gotong Royong
Sumber gambar:
https://blogsierikson.blogspot.com/2012/04/4-hal-
budaya-yang-kebablasan-di.html?m=1

Nilai yang kedua adalah kemanusiaan. Suatu perbuatan dikatakan baik


apabila sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Prinsip pokok dalam nilai
kemanusiaan Pancasila adalah keadilan dan keadaban. Keadilan menyaratkan
keseimbangan antara lahir dan batin, jasmani dan rohani, individu dan sosial,
makhluk bebas mandiri dan makhluk Tuhan yang terikat hukum-hukum Tuhan.
Keadaban mengindikasikan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk
lain yaitu hewan, tumbuhan, dan benda tak hidup. Karena itu perbuatan itu
dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang didasarkan
pada konsep keadilan dan keadaban.

23
Nilai yang ketiga adalah persatuan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila
dapat memperkuat persatuan dan kesatuan. Sikap egois dan menang sendiri
merupakan perbuatan buruk, demikian pula sikap yang memecah belah
persatuan. Sangat mungkin seseorang seakan-akan mendasarkan
perbuatannya atas nama agama (sila ke-1), namun apabila perbuatan tersebut
dapat memecah persatuan dan kesatuan maka menurut pandangan etika
Pancasila bukan merupakan perbuatan baik.

Nilai yang keempat adalah kerakyatan. Dalam kaitan dengan kerakyatan ini
terkandung nilai lain yang sangat penting yaitu nilai hikmat/kebijaksanaan dan
permusyawaratan. Kata hikmat/kebijaksanaan berorientasi pada tindakan yang
mengandung nilai kebaikan tertinggi. Atas nama mencari kebaikan, pandangan
minoritas belum tentu kalah dibanding mayoritas.

Nilai yang kelima adalah keadilan. Apabila dalam sila kedua disebutkan kata
adil, maka kata tersebut lebih dilihat dalam konteks manusia selaku individu.
Adapun nilai keadilan pada sila kelima lebih diarahkan pada konteks sosial.
Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan prinsip keadilan
masyarakat banyak. Menurut Kohlberg (1995:37), keadilan merupakan kebajikan
utama bagi setiap pribadi dan masyarakat. Keadilan mengandaikan sesama
sebagai partner yang bebas dan sama derajatnya dengan orang lain.

d.Etika Pancasila sebagai Solusi Persoalan Bangsa dan Negara


Moralitas individu lebih merupakan kesadaran tentang prinsip baik yang
bersifat ke dalam, tertanam dalam diri manusia yang akan memengaruhi cara
berpikir dan bertindak. Seorang yang memiliki moralitas individu yang baik akan
muncul dalam sikap dan perilaku seperti sopan, rendah hati, tidak suka
menyakiti orang lain, toleran, suka menolong, bekerja keras, rajin belajar, rajin
ibadah, dan lain-lain. Moralitas ini muncul dari dalam, bukan karena dipaksa dari
luar. Dalam situasi amoral yang terjadi di luar dirinya, seseorang yang memiliki
moralitas individu kuat akan tidak terpengaruh. Moralitas individu ini
terakumulasi menjadi moralitas sosial, sehingga akan tampak perbedaan antara
masyarakat yang bermoral tinggi dan rendah. Adapun moralitas mondial adalah
moralitas yang bersifat universal yang berlaku di manapun dan kapanpun,
moralitas yang terkait dengan keadilan, kemanusiaan, kemerdekaan, dan
sebagainya.

Moralitas sosial juga tercermin dari moralitas individu dalam melihat


kenyataan sosial. Bisa jadi seorang yang moral individunya baik tapi moral
sosialnya kurang, hal ini terutama terlihat pada bagaimana mereka berinteraksi
dengan masyarakat yang majemuk. Sikap toleran atau suka membantu
seringkali hanya ditujukan kepada orang lain yang menjadi bagian

24
kelompoknya, namun tidak toleran kepada orang di luar kelompoknya. Bisa
dikatakan bahwa moral sosial tidak cukup sebagai kumpulan dari moralitas
individu, namun sesungguhnya lebih pada bagaimana individu melihat orang
lain sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat kemanusiaan yang
sama.

Moralitas individu dan sosial memiliki hubungan sangat erat bahkan tarik-
menarik dan saling memengaruhi. Moralitas individu dapat dipengaruhi
moralitas sosial, demikian pula sebaliknya. Seseorang yang moralitas
individunya baik ketika hidup di lingkungan masyarakat yang bermoral buruk
dapat terpengaruh menjadi amoral. Kenyataan seperti ini seringkali terjadi pada
lingkungan pekerjaan. Ketika lingkungan pekerjaan berisi orang-orang yang
bermoral buruk, orang yang bermoral baik akan dikucilkan atau diperlakukan
tidak adil. Seorang yang moralitas individunya lemah akan terpengaruh untuk
menyesuaikan diri dan mengikuti. Namun sebaliknya, seseorang yang memiliki
moralitas individu baik tidak akan terpengaruh bahkan dapat mempengaruhi
lingkungan yang bermoral buruk tersebut.

Apabila ditilik dari Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945
tampak jelas bahwa moralitas sangat mendasari perjuangan merebut
kemerdekaan dan bagaimana mengisinya. Alasan dasar mengapa bangsa ini
harus merebut kemerdekaan karena penjajahan bertentangan dengan nilai
kemanusiaan dan keadilan (alinea I). Secara eksplisit pendiri bangsa menyatakan
bahwa kemerdekaan dapat diraih karena rahmat Allah dan adanya keinginan
luhur bangsa (alinea III). Ada perpaduan antara nilai ilahiah dan nilai humanitas
yang saling berkelindan. Selanjutnya, di dalam membangun negara ke depan
diperlukan dasar-dasar nilai yang bersifat universal, yaitu nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.

Toleransi dalam beragama


25
Sumber gambar:
Doc pribadi milik
Topsi Wansiri Rongrongmuang
TES

1. Tugas Individu
Mahasiswa diminta menulis essai, refleksi, feature, atau tulisan kreatif lainnya
dengan menggunakan salah satu tema berikut: Pancasila sebagai dasar negara,
Pancasila sebagai ideologi negara, Pancasila sebagai sistem filsafat, Pancasila
sebagai sistem etika. Hasil tulisan diunggah di media sosial Facebook, Instagram,
Twitter, Youtube, atau media sosial lainnya, kemudian mahasiswa menandai (tag)
akun media sosial dosen pengampu selambat-lambatnya tiga hari setelah
pembagian tugas.

2. Tugas Kelompok
Mahasiswa dibagi menjadi 4 (empat) kelompok, masing-masing membahas
salah satu dari 4 (empat) pokok bahasan berikut: Pancasila sebagai dasar Negara,
Pancasila sebagai ideologi Negara, Pancasila sebagai sistem filsafat, dan Pancasila
sebagai sistem etika. Kelompok mahasiswa membuat video dengan ketentuan:
Durasi video selama 3-5 menit yang berisikan pesan-pesan penting dari pokok
bahasan tersebut

a. Setiap kelompok mengirimkan file video ke email dosen pengampu dalam


waktu 7 hari sejak tugas diberikan
b. c.Setiap kelompok juga mengunggah video tersebut di akun media sosial
atau YouTube dengan menyertakan hastag #tugaspancasila #kuliahpancasila
#pancasilalahirbatin

26
SUMBER BACAAN
Abdullah, Rozali. 1984. Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa.
........Jakarta: CV. Rajawali.

Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan


........Pancasila. 1994. Bahan Penataran P-4, Pancasila/P-4, BP-7 Pusat Jakarta.

Bakry, Noor MS. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia.

Chaidar, Al. 1998. Reformasi Prematur: Jawaban Islam terhadap Reformasi Total.
........Jakarta: Darul Falah.

Dirjen Pendidikan Tinggi. 2012. Panduan Training of Trainers Pendidikan Anti Korupsi
........untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dodo, Surono dan Endah (ed.). 2010. Konsistensi Nilai-Nilai Pancasila dalam UUD
........1945 dan Implementasinya. Yogyakarta: PSP-Press.

Haryatmoko. 2011. Etika Publik: Untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi. Jakarta:
........Gramedia Pustaka Utama.

Hidayat, Arief, 2012, “Negara Hukum Pancasila (Suatu Model Ideal Penyelenggaraan
........Negara Hukum”, Makalah pada Kongres Pancasila IV di UGM Yogyakarta tanggal
........31 Mei- 1 Juni 2012.

Kemenristek Dikti. 2016. Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:


........Direktorat Jenderal Pembelajaran & Kemahasiswaan Kemenristek Dikti.

Kevin Evans. 2010. Menuju Sistem Integritas Kokoh. Surakarta: UNS.

Kusuma, A.B.. 2004. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Fakultas Hukum
........Universitas Indonesia.

Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila.
........Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

27
9
BAB III
PANCASILA
DALAM LINTASAN
MASA KE MASA
KEDUDUKAN DAN FUNGSI
PANCASILA
INTRODUKSI

Materi “Pancasila dalam Lintasan Masa ke Masa” pada bab ini memusatkan
perhatian pada pelaksanaan Pancasila dalam setiap fase perjalanan kehidupan
Bangsa dan Negara Indonesia. Mahasiswa dapat dikatakan menguasai materi pada
Bab III ini apabila telah mampu mencapai capaian pembelajaran sebagaimana
berikut ini:

1.
Menjelaskan sejarah perumusan

3.
pancasila sebagai dasar Negara Menyimpulkan hikmah setiap
Indonesia. peristiwa sejarah pelaksanaan
Pancasila pada setiap fase

2.
pemerintahan Indonesia.
Mempolakan pelaksanaan
Pancasila dari masa ke masa. Memposisikan sumbangsih peran

4. tokoh-tokoh Islam, khususnya


Muhammadiyah dalam perumusan
pancasila sebagai dasar negara.

Secara khusus pembahasan dalam bab ini menekankan pada usaha


mengungkap sejarah lahirnya Pancasila secara utuh yang dimulai dari proses
pembentukan pihak-pihak perumus dasar negara sampai dengan penetapan
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Bab ini juga berisi pemaparan mengenai
pelaksanaan Pancasila dalam rentetan sejarah nasional, dimulai dari pemerintahan
pada awal kemerdekaan sampai dengan pemerintahan Indonesia pada era
reformasi.

STIMULAN

Bagian ini berisi contoh kasus yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia. Mahasiswa diminta memahami kasus yang dipaparkan
kemudian memberikan tanggapan. Selain itu, mahasiswa juga diminta untuk
menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan berdasarkan kasus-kasus yang
disajikan.

Kasus Pertama
Pancasila merupakan suatu konsep yang luar biasa dahsyat. Sejarah kelahirannya
menjadi mozaik sejarah yang dramatis dan monumental. Setidaknya ada tiga
momentum penting yang mengiringi kelahiran Pancasila. Tanggal 1 Juni 1945
menjadi sangat bersejarah karena kata “Pancasila” pertama kali terucap di sidang

30
BPUPK dan mendapat sambutan yang hangat. Selanjutnya tanggal 22 Juni 1945,
tanggal awal dirumuskannya Pancasila, setelah digodhog oleh Panitia Sembilan,
disepakati dalam rapat BPUPK. Rumusan awal tersebut dikenal dengan Piagam
Jakarta. Momentum finalnya terjadi satu hari setelah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, yaitu saat sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Pada tanggal ini UUD
1945 ditetapkan, dan di dalam pembukaan UUD tersebut terdapat rumusan
Pancasila.

Hari lahir Pancasila disepakati untuk diperingati setiap tanggal 1 Juni. Artinya
setiap setahun sekali pada tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia selalu memperingati hari
lahir Pancasila.
Pertanyaan untuk mahasiswa:
1. Menurut pendapat Saudara, apa dasar pertimbangan yang melandasi
tercapainya kesepakatan tentang tanggal peringatan hari lahir Pancasila?
2. Seandainya Saudara memiliki kesempatan untuk mengusulkan peringatan hari
lahir Pancasila, tanggal berapa yang Saudara usulkan? Berikan alasannya!

Kasus Kedua
Terdapat perbedaan yang signifikan mengenai peran negara terhadap
pelaksanaan Pancasila dalam kehidupan bernegara, terutama apabila dibandingkan
antara zaman Orde Baru dan Era Reformasi. Pada era antara 1970-an hingga
menjelang akhir 1990-an, terdapat program Penataran P4 (Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila). Program ini menjadi ritual wajib bagi setiap elemen
masyarakat, baik di konteks pendidikan sekolah maupun di dunia kerja.

31
Akan tetapi program tersebut seperti hilang ditelan bumi setelah lengsernya
Orde Baru. Muncul kesan bahwa ada fobia terhadap Orde Baru yang berimplikasi
pada “hilangnya” program-program yang dilaksanakan selama Orde Baru, termasuk
program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Sosialisasi untuk
mengenal Pancasila menjadi sangat minim (atau bahkan tidak ada) sehingga
generasi muda terjauhkan dari Pancasila.
Pertanyaan untuk mahasiswa:
1. Bagaimana pendapat Saudara dengan fenomena anak muda sekarang yang
jauh dari Pancasila, yang bahkan tidak hafal sila-sila dalam Pancasila?
2. Menurut Saudara, masih pentingkah kita mengenal Pancasila? Berikan alasan!
3. Menurut Saudara, bagaimana cara mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari?

BAHASAN
Metode perkuliahan adalah bagian dari strategi pembelajaran yang berfungsi
sebagai cara untuk menyajikan, menguraikan, memberi contoh, dan memberi
latihan kepada mahasiswa untuk mencapai tujuan tertentu. Penyajian materi pada
bab ini berupa:

Alat, bahan
Metode pembelajaran Alokasi waktu dan sumber belajar

Ceramah, 100 menit LCD, laptop,


PBL (Problem Based Learning), papan tulis, video,
Diskusi dan Tanya Jawab dan Buku

ASUPAN

Begitu kuat dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa Indonesia sehingga
Pancasila terus berjaya sepanjang masa. Hal tersebut disebabkan ideologi Pancasila
tidak sekadar “confirm and deepen” identitas bangsa Indonesia. Lebih dari itu,
Pancasila adalah identitas Bangsa Indonesia sepanjang masa. Sejak digali dan
dilahirkan kembali menjadi Dasar dan Ideologi Negara, Pancasila membangunkan
dan membangkitkan identitas yang dormant, yang “tertidur” dan yang “terbius”
selama kolonialisme” (Abdulgani, 1979: 22).

32
1.Sejarah Lahirnya Pancasila
Sejarah Indonesia modern sejak awal tumbuhnya kesadaran nasionalisme
(kebangkitan nasional) hingga memasuki fase revolusi fisik, bahkan sampai
memasuki tahapan pembentukan negara, perumusan dasar negara, dan
penyusunan sistem konstitusi nasional (1945) memang tidak bisa lepas dari
peran mayoritas umat Islam (Maarif, 2017: 173-174). Sebagai mayoritas, umat
Islam di Indonesia terbentuk dalam komunitas-komunitas besar yang diikat
secara ideologis dan kultural dalam wadah organisasi atau perkumpulan yang
telah tumbuh jauh sebelum Indonesia merdeka. Beberapa organisasi atau
perkumpulan umat Islam yang tumbuh sejak zaman kolonial dan sampai saat ini
masih eksis, seperti: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Islam
(Persis), Al-Irsyad, dan lain-lain.

Eksistensi organisasi atau perkumpulan tersebut menjadi


bukti historis bahwa umat Islam selama ini sejalan dengan visi
kebangsaan Indonesia. Masing-masing organisasi atau
perkumpulan tersebut telah beradaptasi dengan konstelasi
perpolitikan di tanah air, sejak zaman kolonial, memasuki masa
kemerdekaan, hingga pascareformasi. Ketika bangsa Indonesia
memasuki tahapan krusial pembentukan negara, perumusan
dasar negara, dan penyusunan sistem konstitusi nasional pada
tahun 1945, dapat dikatakan nyaris tidak ditemukan pandangan
atau konsepsi yang berseberangan tentang visi kebangsaan
antara organisasi-organisasi Islam tersebut dengan pemerintah
Indonesia yang direpresentasikan lewat Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

MR. Muh. Yamin Ir. Soekarno


29 Mei 1945 1 Juni 1945
1. Peri kebangsaan 1. Kebangsaan Indonesia
2. Peri kemanusiaan 2. Internasionalisme dan
perikemanusiaan
3. Peri ketuhanan 3. Mufakat atau demokrasi
4. Peri kerakyatan 4. Kesejahteraan sosial
5, Kesejahteraan rakyat 5. Ketuhanan yang Maha Esa
RUMUSAN
Piagam Jaka a UUD 1945
RUMUSAN
22 Juni 1945 18 Agustus 1945
PANCASILA
1. Ketuhanan, dengan kewajiban
PADA TAHUN 1945
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
menjalankan syariat Islam bagi
2. Kemanusiaan yang adil dan
pemeluk-pemeluknya
2, Kemanusiaan yang adil dan beradab
beradab 3. Persatuan Indonesia
3. Persatuan Indonesia 4.Kerakyatan yang dipimpin oleh
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
hikmat, kebijaksanaan dalam
pemusyawaratan/perwakilan
permusyawaratan/perwakilan
5 Keadilan sosial bagi seluruh 5. Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia rakyat Indonesia
33
Muhammadiyah yang didirikan pada 18 November 1912 merupakan
organisasi Islam modernis di Indonesia yang masih eksis hingga kini. Sewaktu
Muhammadiyah dideklarasikan, nusantara masih dalam kondisi tercerai-berai.
bangsa dan negara Indonesia belum terbentuk. Filosofi dasar negara dan sistem
konstitusi nasional juga belum dirumuskan. Pada masa awal pertumbuhan
Muhammadiyah belum dikenal konsep ”bangsa” (nation) dan ”negara” (state),
apalagi ”negara-bangsa” (nation-state). Rumusan dasar negara yang menjadi
menjadi falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara juga belum terwujud.
Namun demikian, pemikiran kebangsaan yang tumbuh di Muhammadiyah yang
direpresentasikan lewat tokoh-tokohnya, sejalan dengan dinamika politik
kebangsaan dan tuntutan zaman pada waktu itu. Sebagai organisasi Islam yang
lahir paralel dengan semangat kebangkitan nasional, menurut sejarawan Anhar
Gonggong, Muhammadiyah sebenarnya merupakan gerakan kebangsaan yang
menempatkan jalur pendidikan sebagai instrumen perlawanan terhadap
kolonialisme yang akan mengantarkan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.

KH.A. Dahlan
Pendiri Muhammadiyah
sumber gambar:
suaramuhammadiyah.id

Logo Muhammadiyah
sumber gambar:
suaramuhammadiyah.id

Fase kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat krusial adalah ketika
pembentukan dua badan khusus untuk mempersiapkan kemerdekaan
Indonesia, yaitu BPUPK dan PPKI. Tokoh-tokoh yang mewakili kelompok Muslim
dalam sidang-sidang BPUPK, meliputi: Sukiman Wiryosanjoyo, Ki Bagus
Hadikusumo, Prof. K.H.A. Kahar Muzakkir, K.H.A. Wahid Hasyim, Abikusno
Cokrosuyoso, Mr. Ahmad Subarjo, Agus Salim, dan lain-lain. Dalam
keanggotaan BPUPK, setidak-tidaknya beberapa tokoh telah merepresentasikan
organisasi Muhammadiyah, seperti: Ki Bagus Hadikusuma, Sukiman
Wiryosanjoyo, dan Prof. K.H.A. Kahar Muzakkir.

34
Pasca pembubaran BPUPK yang diiringi
dengan pembentukan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), lembaga
baru tersebut langsung menggelar sidang-
sidang maraton pada 7-19 Agustus.
Keanggotaan PPKI ditambah 6 (enam) orang
anggota baru tanpa sepengetahuan
pemerintah Jepang. Dari anggota tambahan
tersebut terdapat satu tokoh yang
dipandang merepresentasikan kelompok
Muslim modernis (Muhammadiyah), yaitu Rapat BPUK
Mr. Kasman Singodimedjo. Tokoh inilah yang sumber gambar:
https://www.freedomsiana.id/hasil-sidang-ppki-1-2-3-
menjadi juru kunci pemecah kebuntuan lengkap-18-19-22-agustus-1945/

Ki Bagus Hadikusumo Abdul Kahar Muzakir


sumber gambar: sumber gambar:
Mr. Kasman Singodimedjo https://pwmu.co/ https://minews.id
sumber gambar:
https://deals.weku.io/

dialog antara kelompok muslim dengan nasionalis pada detik-detik akhir


sidang-sidang PPKI yang menghendaki penghapusan “7 (tujuh) kata” dalam
Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Kegigihan Kasman meyakinkan Ki Bagus untuk
menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta sebenarnya merupakan suatu
bentuk afirmasi terhadap konsep Dasar Negara Indonesia tanpa harus
memasukkan ajaran Islam secara formal-eksplisit. Inilah bentuk “kesepakatan
bersama” (konsensus)—yang dalam bahasa Kasman disebut sebagai
gentlemen's agreement—dari para pendiri bangsa, terutama dari kelompok
Muslim (Bajasut dan Hakiem, 2014: 210). Negara Indonesia bukan “negara
agama” yang berdasarkan Pancasila, tetapi juga bukan “negara sekuler” yang
memisahkan agama dalam kehidupan politik-kenegaraan. Akan tetapi, ajaran-
ajaran Islam diakomodasi dalam sistem konstitusi negara dan umat Islam
dijamin kebebasannya untuk menjalankan ajaran agama Islam.

Dengan pendekatan arkeologi pemikiran, bab ini bermaksud mengungkap


jejak-jejak pemikiran para tokoh Muhammadiyah sejak 1912-1945 yang menjadi
embrio nasionalisme Indonesia. Dengan meminjam teori arkeologi pengetahuan
Michel Foucault (Ritzer, 2015: 574), penjabaran ini bertujuan untuk menemukan

35
17
jejak-jejak konseptual dalam Muhammadiyah yang turut memengaruhi
pembentukan rumusan Pancasila. Dalam konteks ini, Pancasila diletakkan
sebagai diskursus utama yang lahir dari khazanah pemikiran dan budaya
bangsa, sedangkan Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi pilar pendiri
bangsa diletakkan sebagai perangkat aturan dan kondisi-kondisi khas yang
turut memengaruhi kemunculan sebuah diskursus utama. Titik singgung
terpenting dalam kajian sejarah pemikiran ini adalah konsep-konsep atau nilai-
nilai keislaman dari tokoh-tokoh Muhammadiyah yang sejalan dengan falsafah
Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.
2.Pancasila pada Era Awal Kemerdekaan
Pada tanggal 6 Agustus 1945 bom atom
dijatuhkan di kota Hiroshima oleh Amerika
Serikat yang mulai menurunkan moral
semangat tentara Jepang. Sehari kemudian
BPUPK, yang berganti nama menjadi PPKI,
menegaskan keinginan dan tujuan
mencapai kemerdekaan Indonesia. Bom
atom kedua dijatuhkan di Nagasaki yang
membuat Jepang menyerah kepada
Amerika dan sekutunya. Peristiwa ini pun Proklamasi
dimanfaatkan oleh Indonesia untuk Sumber gambar:
https://www.goodnewsfromindonesia.id/uploads/
memproklamasikan kemerdekaannya. post/large-hei-ade44e82b4378e2a758ead071c234dce.jpg

Untuk merealisasikan tekad tersebut, pada tanggal 16 Agustus 1945


golongan muda berunding dengan golongan tua untuk menyusun teks
proklamasi yang berlangsung singkat, mulai pukul 02.00-04.00 WIB dini hari.
Teks proklamasi disusun oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Mr. Ahmad
Soebardjo di ruang makan rumah Laksamana Tadashi Maeda di jalan Imam
Bonjol Nomor 1. Konsepnya ditulis oleh Ir. Soekarno. Sukarni (dari golongan
muda) mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir.
Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Kemudian teks
proklamasi Indonesia tersebut diketik oleh Sayuti Melik.

Isi Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17


Agustus 1945 sesuai dengan semangat yang
tertuang dalam Piagam Jakarta tanggal 22
Juni 1945. Piagam ini berisi garis-garis
pemberontakan melawan imperialisme-
kapitalisme dan fasisme serta memuat dasar
pembentukan Negara Republik Indonesia.
Piagam Jakarta yang lebih tua dari Piagam
Naskah Proklamasi
Sumber gambar: Perjanjian San Francisco (26 Juni 1945) dan
https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Proklamasi.png Kapitulasi Tokyo (15 Agustus 1945) itu ialah

36
sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia (Yamin, 1954: 16). Piagam Jakarta ini kemudian disahkan oleh sidang
PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi pembentukan UUD 1945, setelah
terlebih dahulu dihapus 7 (tujuh) kata dari kalimat “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya”, diubah
menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Awal dekade 1950-an muncul inisiatif dari sejumlah tokoh yang hendak
melakukan interpretasi ulang terhadap Pancasila. Saat itu muncul perbedaan
perspektif yang dikelompokkan dalam dua kubu. Pertama, beberapa tokoh
berusaha menempatkan Pancasila lebih dari sekedar kompromi politik atau
kontrak sosial. Mereka memandang Pancasila tidak hanya kompromi politik
melainkan sebuah filsafat sosial atau weltanschauung bangsa. Kedua, mereka
yang menempatkan Pancasila sebagai sebuah kompromi politik. Dasar
argumentasinya adalah fakta yang muncul dalam sidang-sidang BPUPK dan
PPKI. Pancasila pada saat itu benar-benar merupakan kompromi politik di antara
golongan nasionalis netral agama (Sidik Djojosukarto dan Sutan Takdir
Alisyahbana dkk) dan nasionalis Islam (Hamka, Syaifuddin Zuhri sampai
Muhammad Natsir dkk) mengenai dasar negara.

3.Pancasila pada Era Orde Lama


Terdapat dua pandangan besar terhadap
Dasar Negara yang berpengaruh terhadap
munculnya Dekrit Presiden. Pandangan
tersebut yaitu mereka yang memenuhi
“anjuran” Presiden/Pemerintah untuk
“kembali ke Undang- Undang Dasar 1945”
dengan Pancasila sebagaimana dirumuskan
dalam Piagam Jakarta sebagai Dasar Negara.
Sedangkan pihak lainnya menyetujui
“kembali ke Undang-Undang Dasar 1945”,
tanpa cadangan. Artinya dengan Pancasila
seperti yang dirumuskan dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar yang disahkan PPKI
tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Dasar
Negara. Namun, kedua usulan tersebut tidak
mencapai kuorum keputusan sidang
Konstituante (Anshari, 1981: 99).
Majelis (Konstituante) ini menemui jalan Ir. Soekarno
Sumber gambar:
https://id.berita.yahoo.com/25-kata-bijak-
soekarno-tentang

37
buntu pada bulan Juni 1959. Kejadian ini menyebabkan Presiden Soekarno turun
tangan dengan usulan Dekrit Presiden yang disetujui oleh kabinet tanggal 3 Juli
1959 konsepnya dirumuskan di Istana Bogor pada tanggal 4 Juli 1959. Dekrit ini
kemudian diumumkan secara resmi oleh presiden pada tanggal 5 Juli 1959 pukul
17.00 di depan Istana Merdeka (Anshari, 1981: 99-100). Dekrit Presiden tersebut
berisi:

a b c

Pembentukan
Undang-Undang
Pembubaran Majelis
Dasar 1945
Konstituante Permusyawaratan
kembali berlaku
Rakyat Sementara.

Sosialisasi terhadap paham Pancasila yang konklusif menjadi prelude


penting bagi upaya selanjutnya; Pancasila dijadikan “ideologi negara” yang
tampil hegemonik. Ikhtiar tersebut tercapai ketika Ir. Soekarno memberi tafsir
Pancasila sebagai satu kesatuan paham dalam doktrin “Manipol/USDEK”.
Manifesto politik (manipol) adalah materi pokok dari pidato Soekarno tanggal
17 Agustus 1959 berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang kemudian
ditetapkan oleh Dewan Pertimbangan Agung (DPA) menjadi Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN). Selanjutnya, materi pidato tersebut dikukuhkan dalam
Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 tahun 1960 dan Ketetapan MPRS No.
1/MPRS1960 tentang GBHN (Ali, 2009: 30). Manifesto politik Republik Indonesia
tersebut merupakan hasil perumusan suatu panitia yang dipimpin oleh D.N.
Aidit yang disetujui oleh DPA pada tanggal 30 September 1959 sebagai haluan
negara (Ismaun, 1978: 105).
Oleh karena itu, tokoh-tokoh yang berseberangan paham memilih taktik
“gerilya” di dalam kekuasaan Ir. Soekarno. Mereka menggunakan jargon-jargon
Ir. Soekarno dengan agenda yang berbeda. Taktik demikian digunakan oleh
sebagian besar kekuatan politik, baik oleh PKI maupun kelompok-kelompok
yang antikomunisme (Ali, 2009: 33). Walaupun kepentingan politik mereka
berbeda, kedua arus tersebut sama-sama menggunakan Pancasila sebagai
justifikasi. Ir. Soekarno menghendaki persatuan di antara beragam golongan
dan ideologi termasuk komunis, di bawah satu payung besar, bernama Pancasila
(doktrin Manipol/USDEK), sementara golongan antikomunis berkonsolidasi diri
sebagai kekuatan berpaham Pancasila yang lebih “murni” dengan
menyingkirkan paham komunisme yang tidak ber-Tuhan (ateisme) (Ali, 2009:
34).Dengan adanya pertentangan yang sangat kuat ditambah carut marutnya
perpolitikan saat itu, maka Ir. Soekarno pun dilengserkan sebagai Presiden
Indonesia, melalui sidang MPRS.

38
4. Wajah Perempuan dalam Pancasila
Peranan kaum perempuan dalam perjuangan mewujudkan cita-cita
kemerdekaan telah diakui luas. Nama-nama Tjut Nyak Dien, Christina Martha
Tiahahu, Maria Walanda Maramis, Raden Ajeng Kartini, Dewi Sartika, dituliskan
dalam sejarah Indonesia sebagai tokoh kemerdekaan dan pendidikan. Namun,
peran perempuan dalam perumusan Pancasila dan gagasan pembetukan
Negara-Bangsa kurang dikenal oleh ingatan publik. Tak heran jika kita sering
menyebutkan “founding fathers” yang hanya merujuk pada jenis kelamin lelaki
yaitu “para bapak pendiri bangsa”. Padahal, dalam perumusan pembentukan
Negara Indonesia menjelang proklamasi kemerdekaan melalui BPUPKI, ada
peran 2 orang perempuan: Maria Ulfah, dan Raden Ayu Sukaptinah Sunaryo.
Dengan itu, semestinya penyebutan yang tepat bagi para pendiri bangsa
bukanlah founding fathers, melainkan founding parents karena ada kiprah dan
sumbangsih dari perempuan dan para ibu.

Siti Munjiyah

Siti Walidah

Raden Nganten
Siti Sukaptinah Sunaryo

Raden Ayu Maria Ulfa

Banyak perempuan Indonesia turut berjuang melawan keterbelakangan, dan


meningkatkan kedudukan serta martabat perempuan dalam semangat
menghapuskan feodalisme, kolonialisme, otoritarianisme, dan patriarki. Di masa
ketika kawin paksa, poligami, kekerasan terhadap perempuan, adat dipingit, dan
larangan sekolah bagi perempuan menjadi kultur dominan, pejuang perempuan
seperti Nyai Siti Walidah, Raden Ajeng Kartini, dan Siti Munjiyah melakukan
terobosan gerakan literasi pendidikan dan gerakan sosial untuk meningkatkan
harkat dan martabat kaum perempuan.
Perempuan berjuang bersama laki-laki bahu-membahu untuk mencapai
persatuan bangsa, meraih kemerdekaan, dan mengisi pembangunan untuk
kemajuan bangsa. Kesadaran dari keterbelakangan menuju kemajuan
perempuan bagi umat dan bangsa ini diilhami ide pencerahan, egalitarianisme,
liberasi dari penindasan, dan emansipasi untuk humanisasi perempuan yang
setara dengan kaum lelaki. Sebagai contoh, Raden Ajeng Kartini dan Nyai Siti
Walidah melakukan perubahan kultural penting melalui pendidikan untuk
menghapuskan kebodohan, untuk meningkatkan derajat dan martabat
perempuan. Siti Munjiyah memperjuangkan hak suara perempuan di ruang
publik melalui kiprah dan kepemimpinannya di Aisyiyah dan Kongres
Perempuan: ia turut mengubah dunia perempuan dan memperluas peran
perempuan yang semula hanya di ruang domestik ke kancah publik.
39
5. Pancasila pada Era Orde Baru
Setelah lengsernya Ir. Soekarno sebagai presiden, selanjutnya Jenderal
Soeharto yang memegang kendali terhadap negeri ini. Dengan berpindahnya
kursi kepresidenan tersebut, arah pemahaman terhadap Pancasila pun mulai
diperbaiki.
Pada peringatan hari lahir
Pancasila, 1 Juni 1967 Presiden
Soeharto mengatakan, “Pancasila
makin banyak mengalami ujian
zaman dan makin bulat tekad kita
mempertahankan Pancasila”. Selain
itu, Presiden Soeharto juga
mengatakan, “Pancasila sama sekali
bukan sekadar semboyan untuk
dikumandangkan, Pancasila bukan
dasar falsafah negara yang sekadar
dikeramatkan dalam naskah UUD,
melainkan Pancasila harus
diamalkan (Setiardja, 1994: 5).
Pancasila dijadikan sebagai political force di samping sebagai kekuatan ritual.
Untuk memperkuat Pancasila sebagai dasar negara, pada 1 Juni 1968 Presiden
Soeharto mengatakan bahwa jika Pancasila sebagai pegangan hidup bangsa
akan membuat bangsa Indonesia tidak loyo, bahkan jika ada pihak-pihak
tertentu mau mengganti, merubah Pancasila dan menyimpang dari Pancasila
pasti dapat digagalkan (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010:42).
Selanjutnya, pada tahun 1968 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi
Presiden Nomor 12 tahun 1968 yang menjadi panduan dalam mengucapkan
Pancasila sebagai dasar negara, yaitu:

Satu: Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa


Dua: Kemanusiaan yang adil dan beradab
Tiga: Persatuan Indonesia
Empat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan
Lima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Instruksi Presiden tersebut mulai berlaku pada tanggal 13 April 1968. Pada
tanggal 22 Maret 1978 ditetapkan ketetapan (disingkat TAP) MPR Nomor
II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetya Pancakarsa) yang salah satu pasalnya, Pasal 4, menjelaskan,
“Pedoman Penghayatan dan Pengamalan pancasila merupakan penuntun dan
pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara

40 39
bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap
lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik Pusat maupun di
Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh”. Adapun nilai dan norma-
norma yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) berdasarkan ketetapan tersebut meliputi 36
butir kemudian pada tahun 1994 disarikan/dijabarkan kembali oleh BP-7 Pusat
menjadi 45 butir P4. Perbedaan yang dapat digambarkan yaitu: Sila Kesatu,
menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Kedua, menjadi 10 (sepuluh) butir; Sila Ketiga,
menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Keempat, menjadi 10 (sepuluh) butir; dan Sila Kelima,
menjadi 11 (sebelas) butir. Sumber hukum dan tata urutan peraturan
perundang- undangan di negara Indonesia diatur dalam Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966. Ketetapan ini menegaskan, “Amanat penderitaan rakyat hanya
dapat diberikan dengan pengamalan Pancasila secara paripurna dalam segala
segi kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan dan dengan pelaksanaan
secara murni dan konsekuen jiwa serta ketentuan-ketentuan UUD 1945, untuk
menegakkan Republik Indonesia sebagai suatu negara hukum yang
konstitusional sebagaimana yang dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945” (Ali,
2009:37). Pada masa Orde Baru, dasar negara itu berubah menjadi ideologi
tunggal dan satu-satunya sumber nilai serta kebenaran. Negara menjadi maha
tahu mana yang benar dan mana yang salah. Nilai-nilai itu selalu ditanam ke
benak masyarakat melalui indoktrinasi (Ali, 2009: 50).

Presiden Soeharto meresmikan Monumen


Pancasila Sakti di Lubang Buaya.
Sumber gambar:
FOTO/Antara Foto

41
ASAS
TUNGGAL

Ketika itu, sebagian golongan Islam menolak desakan oleh pemerintah


dengan menyatakan bahwa pemerintah akan mengagamakan Pancasila. Hal itu
membuat Presiden Soeharto marah sehingga Presiden Soeharto berbicara keras
pada Rapim ABRI di Pekanbaru 27 Maret 1980. Intinya, Pemerintah Orde Baru
tidak akan mengubah Pancasila dan UUD 1945, tetapi justru memperkuatnya
menjadi comparatist ideology. Jelas sekali MPR pemerintah Orde Baru merasa
perlu membentengi Pancasila dan TAP MPR itu meski dengan gaya militer. Tak
seorang pun warga negara berani keluar dari Pancasila (Pranoto dalam Dodo
dan Endah (ed.), 2010: 43). Selanjutnya pada bulan Agustus 1982 Pemerintahan
Orde Baru menjalankan “Asas Tunggal” yaitu pengakuan terhadap Pancasila
sebagai Asas Tunggal, bahwa setiap partai politik harus mengakui posisi
Pancasila sebagai pemersatu bangsa (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.),
2010: 43-44).

Dengan semakin terbukanya informasi dunia, pada


akhirnya pengaruh luar masuk Indonesia pada akhir
1990-an yang secara tidak langsung mengancam
aplikasi Pancasila yang dilakukan oleh pemerintah
Orde Baru. Demikian pula, gerakan demokratisasi
semakin santer mengkritik praktik pemerintah Orde
Baru yang tidak transparan dan otoriter, represif, korup
dan manipulasi politik yang sekaligus mengkritik
praktik Pancasila. Meski demikian, kondisi ini bertahan
sampai dengan lengsernya Presiden Soeharto pada 21
Mei 1998 (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed), 2010:
45.

42
6. Pancasila pada Era Reformasi
Pancasila yang seharusnya sebagai nilai serta dasar moral etik bagi negara
dan aparat pelaksana negara, dalam kenyataannya digunakan sebagai alat
legitimasi politik. Puncak dari keadaan tersebut ditandai dengan hancurnya
ekonomi nasional, sehingga timbullah berbagai gerakan masyarakat yang
dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan dan masyarakat sebagai gerakan
moral politik yang menuntut adanya “reformasi” di segala bidang, terutama
politik, ekonomi dan hukum (Kaelan, 2000:245).

Mahasiswa Menduduki
Gedung MPR
Sumber gambar:
https://sangpencerah.id/2017/
06/sebelum-reformasi-amien-
rais-dilarang-berkumpul-
lebih-3-orang/

Mahasiswa Berdemo
Sumber gambar:
https://www.matamatapolitik.com/wp-
content/uploads/sites/2/2018/05/Pasca-
Reformasi-Indonesia-Era-Ketidakpastian.
jpg

Saat Orde Baru tumbang, muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar negara itu
untuk sementara waktu seolah dilupakan karena hampir selalu identik dengan
rezim Orde Baru. Pengesampingan Pancasila pada Era Reformasi ini, pada
awalnya memang tidak menunjukkan suatu dampak negatif yang berarti, namun
semakin hari semakin terasa dampak negatif tersebut pada kehidupan
berbangsa dan bernegara Indonesia. Dalam kehidupan sosial, sebagian
masyarakat kehilangan kendali atas dirinya, akibatnya terjadi konflik-konflik
horizontal dan vertikal secara masif dan pada akhirnya melemahkan sendi-sendi
persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Dalam bidang budaya,
kesadaran masyarakat atas keluhuran budaya bangsa Indonesia mulai luntur,
yang pada akhirnya terjadi disorientasi kepribadian bangsa yang diikuti dengan
rusaknya moral generasi muda. Dalam bidang ekonomi, terjadi ketimpangan-
ketimpangan di berbagai sektor diperparah lagi dengan cengkeraman modal

43
asing dalam perekonomian Indonesia. Dalam bidang politik, terjadi disorientasi
politik kebangsaan, seluruh aktivitas politik seolah-olah hanya tertuju pada
kepentingan kelompok dan golongan. Lebih dari itu, aktivitas politik sekadar
libido dominandi atas hasrat untuk berkuasa, bukannya sebagai suatu aktivitas
memperjuangkan kepentingan nasional yang pada akhirnya menimbulkan carut
marut kehidupan bernegara seperti dewasa ini (Hidayat, 2012).

Namun demikian, kesepakatan Pancasila menjadi dasar Negara Republik


Indonesia secara normatif, tercantum dalam ketetapan MPR. Ketetapan MPR
Nomor XVIII/MPR/1998 Pasal 1 menyebutkan bahwa “Pancasila sebagaimana
dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam
kehidupan bernegara” (MD, 2011). Ketetapan ini terus dipertahankan, meskipun
ketika itu Indonesia akan menghadapi Amendemen Undang-Undang Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.
Selain kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila pun menjadi
sumber hukum yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000
Pasal 1 Ayat (3) yang menyebutkan, “Sumber hukum dasar nasional adalah
Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan
sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang- Undang Dasar
1945”.

Semakin memudarnya Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,


berbangsa dan bernegara membuat khawatir berbagai lapisan elemen
masyarakat. Oleh sebab itu, sekitar tahun 2004 Azyumardi Azra menggagas
perlunya rejuvenasi Pancasila sebagai faktor integratif dan salah satu fundamen
identitas nasional. Seruan demikian tampak signifikan karena proses
amendemen UUD 1945 saat itu sempat memunculkan gagasan menghidupkan
kembali Piagam Jakarta (Ali, 2009:51). Selain keadaan di atas, juga terjadi
terorisme yang mengatasnamakan agama. Tidak lama kemudian muncul gejala
Perda Syariah di sejumlah daerah. Rangkaian gejala tersebut seakan melengkapi
kegelisahan publik selama reformasi yang mempertanyakan arah gerakan
reformasi dan demokratisasi. Seruan Azyumardi Azra direspon sejumlah
kalangan. Diskursus tentang Pancasila kembali menghangat dan meluas seusai
Simposium Peringatan Hari Lahir Pancasila yang diselenggarakan FISIP-UI pada
tanggal 31 Mei 2006 (Ali, 2009: 52).
Sekretariat Wapres Republik Indonesia, pada tahun 2008/2009 secara
intensif melakukan diskusi-diskusi untuk merevitalisasi sosialisasi nilai-nilai

44
Pancasila. Tahun 2009 Dirjen Dikti, juga membentuk Tim Pengkajian Pendidikan
Pancasila di Perguruan Tinggi. Sementara itu, beberapa perguruan tinggi telah
menyelenggarakan kegiatan sejenis, yaitu antara lain: Kongres Pancasila di
Universitas Gadjah Mada, Simposium Nasional Pancasila dan Wawasan
Kebangsaan di Universitas Pendidikan Indonesia, dan Kongres Pancasila di
Universitas Udayana. Lebih dari itu MPR-RI melakukan kegiatan sosialisasi nilai-
nilai Pancasila yang dikenal dengan sebutan “Empat Pilar Kebangsaan”, yang
terdiri dari: Pancasila, Undang-Undang Dasar tahun 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.
Akan tetapi, istilah “Empat Pilar Kebangsaan” ini menurut Kaelan (2012: 249-252)
dianggap: 1) mengandung linguistic mistake (kesalahan linguistik) atau dapat
pula dikatakan kesalahan terminologi; 2) tidak mengacu pada realitas empiris
sebagaimana terkandung dalam ungkapan bahasa, melainkan mengacu pada
suatu pengertian atau ide, 'berbangsa dan bernegara' itu dianalogikan
bangunan besar (gedung yang besar); 3) mengandung kesalahan kategori
(category mistake), karena secara epistemologis kategori pengetahuan
Pancasila, Undang- Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan Bhinneka Tunggal Ika bukanlah merupakan kategori yang sama.
Ketidaksamaan itu berkaitan dengan realitas atau hakikat, wujud, kebenaran
serta koherensi pengetahuannya.

Sosialiasi 4 Pilar
Sumber gambar:
https://muktamar-imm.org/sosialisasi-
empat-pilar-mpr-ri-zulkifli-hasan-dorong-
semangat-perubahan-bagi-kader-imm/

45
Selain TAP MPR dan berbagai aktivitas untuk menyosialisasikan kembali
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan juga merupakan produk perundangan yang
memberikan kedudukan penting Pancasila dalam sistem perundangan di
Indonesia.

Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun


2011 menyebutkan pokok-pokok pikiran sebagai berikut.
Pertama, penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kedua, menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta
sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan
Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.

Hal tersebut berkorelasi bahwa Undang-Undang No 12 tahun 2011 ini


penekanannya pada kedudukan Pancasila sebagai dasar negara. Sudah barang
tentu hal tersebut tidak cukup. Pancasila dalam kedudukannya sebagai
pandangan hidup bangsa perlu dihayati dan diamalkan oleh seluruh komponen
bangsa. Kesadaran ini mulai tumbuh kembali, sehingga cukup banyak lembaga
pemerintah di pusat yang melakukan kegiatan pengkajian sosialisasi nilai-nilai
Pancasila. Salah satu kebijakan nasional yang sejalan dengan semangat
melestarikan Pancasila di kalangan mahasiswa adalah Pasal 35 Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan bahwa
Kurikulum Pendidikan Tinggi wajib memuat mata kuliah Agama, Pancasila,
Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia.
Makna penting dari kajian historis Pancasila ini ialah untuk menjaga
eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu seluruh komponen
bangsa harus secara imperatif kategoris menghayati dan melaksanakan
Pancasila baik sebagai dasar negara maupun sebagai pandangan hidup bangsa,
dengan berpedoman kepada nilai-nilai Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dan
secara konsisten menaati ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal UUD 1945.

46
TES

1. Tugas Individu
Buatlah suatu proyek penelitian kecil tentang pengamalan Pancasila pada masa
awal kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, atau Orde Reformasi. Tentukan
narasumber yang sesuai, galilah informasi dari narasumber itu, kemudian buatlah
laporan hasil penggalian informasi itu menjadi sebuah laporan proyek. Laporan
projek diunggah ke akun media sosial masing-masing dengan menandai akun
dosen pengampu selambat-lambatnya tujuh hari setelah penugasan.

2. Tugas Kelompok
•Mahasiswa membuat kelompok terdiri dari 4-5 anggota. Masing-masing
kelompok membuat poster tentang sejarah kelahiran Pancasila sejak
pembentukan BPUPK hingga dicapainya kesepakatan Panitia Sembilan tentang
rumusan Pancasaila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tugas diunggah ke akun media
sosial masing-masing anggota kelompok dengan menandai akun media sosial
dosen pengampu.

•Carilah rujukan tentang tokoh-tokoh perempuan dari berbagai sumber bacaan


cetak maupun online, kemudian buatlah rangkuman profil keempat tokoh
perempuan yang digambarkan di halaman ini: Nyai Siti Walidah, Maria Ulfah, Siti
Munjiyah, dan Raden Ayu Sukaptinah Sunaryo. Tuliskan kesan Anda terhadap
masing-masing dari keempat tokoh ini.

•Berilah contoh dengan deskripsi terinci tentang figur yang Anda kenal langsung
di lingkungan keluarga atau masyarakat Anda, yang berkiprah memperjuangkan
kedudukan perempuan yang sederajat lelaki. Apakah dalam kiprah mereka
tersebut mengandung arogansi? Apakah ada diskriminasi terhadap perbedaan
gender, ras/suku dan status sosial? Berikan pendapat Anda secara kritis,

•Ungkapkan rekomendasi tentang kontribusi perempuan usia mahasiswa


(generasi milenial dan Y) untuk masyarakat dan bangsa di masa sekarang.

47
SUMBER BACAAN
Abdulgani, R1979. Pengembangan Pancasila di Indonesia. Jakarta: Yayasan Idayu.

Maarif, A S. 2017. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Perdebatan dalam
........Konstituante. Bandung: Mizan.

Ali, A S. 2009. Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta: Pustaka LP3ES.

Anshari, E S. 1981. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara
........Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekular” tentang Dasar Negara Republik Indonesia
........1945-1959. Bandung: Pustaka-Perpustakaan Salman ITB.

Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan


........Pancasila, 1994, Bahan Penataran P-4, Pancasila/P-4, BP-7 Pusat, Jakarta.

Bahar, S. 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan


........Indonesia (BPUPK), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22
........Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Darmodihardjo, D. dkk. 1991. Santiaji Pancasila Edisi Revisi. Surabaya: Usaha Nasional.

Darmodihardjo, D. 1978. Orientasi Singkat Pancasila. Jakarta: PT. Gita Karya.

Dodo, Surono dan Endah (ed.). 2010. Konsistensi Nilai-Nilai Pancasila dalam UUD 1945
dan Implementasinya. Yogyakarta: PSP-Press.

Anies, H.M.J. 1930. Toean Hadji Fachrodin. Djokjakarta: Bintang Islam.

Hidayat, Arief. 2012. “Negara Hukum Pancasila (Suatu Model Ideal Penyelenggaraan
........Negara Hukum”. Makalah pada Kongres Pancasila IV di UGM Yogyakarta tanggal 31
........Mei-1 Juni 2012.

Ismaun. 1978. Tinjauan Pancasila: Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia. Bandung:
........Carya Remadja.

Kaelan. 2000. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

_______. 2012, Problem Epistemologis Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara. Yogyakarta:
........Paradigma.

Latif, Y. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila.


........Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

48
Mahfud, M. 2011. “Implementasi Nilai-nilai Pancasila dalam Menegakkan
........Konstitusionalitas Indonesia”. Makalah pada Sarasehan Nasional 2011 di Universitas
........Gajah Mada Yogyakarta tanggal 2-3 Mei 2011.

Nakamura, M. 1983. Agama dan Lingkungan Kultural Indonesia: Pengaruh Gerakan


........Muhammadiyah dalam Pemurnian Agama Islam. Surakarta: Hapsara.

Notosusanto, Nugroho. 1981. Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara. Jakarta:


........PN Balai Pustaka.

Ritzer, G. 2015. Teori Sosiologi Modern terj. Triwibowo B.S. Jakarta: Prenada Media
........Group.

Bajasut, S.U. dan Hakiem, L. 2014. Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto
........Mangkusasmito: Ketua Umum (Terakhir) Partai Masyumi. Jakarta: Penerbit Buku
........Kompas.

Setiardja, A. Gunawan. 1994. Filsafat Pancasila Bagian II: Moral Pancasila, Universitas
........Diponegoro, Semarang.

Soekarno, 1989. Pancasila dan Perdamaian Dunia. Jakarta: CV Haji Masagung.

Masruri, S. 2005. Ki Bagus Hadikusuma: Etika dan Regenerasi Kepemimpinan.


........Yogyakarta: Pilar Media.

Suara Muhammadiyah. 1968. No. 17-18/Th ke-48/September.

Suwarno. 1993. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Yamin, Muhammad. 1954. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta:


........Djambatan.

49
9
BAB Iv
INTERNALISASI
NILAI KETUHANAN
DALAM PANCASILA
INTERNALISASI NILAI-NILAI
KETUHANAN DALAM PANCASILA
INTRODUKSI

Materi “Internalisasi Nilai-Nilai Ketuhanan dalam Pancasila” pada bab ini penting
sebagai pengantar, sebelum masuk pada materi yang lebih spesifik pada bab-bab
berikutnya. Mahasiswa dapat dikatakan menguasai materi pada Bab IV tercermin
pada terpenuhinya capaian pembelajaran sebagaimana berikut ini.

1.
Menguraikan makna Ketuhanan
Yang Maha Esa dalam Pancasila

3.
Membangun kerukunan hidup
di antara sesama umat beragama

2.
Mempraktikkan nilai Ketuhanan dan kepercayaan terhadap
Yang Maha Esa dalam kehidupan Tuhan Yang Maha Esa
sehari-hari

Latar belakang pembahasan materi pada bab


ini murujuk pada kondisi bangsa dan negara
Indonesia pada akhir-akhir ini yang dirasa
memprihatinkan, terutama dalam hubungan antar
warga negara terkait dengan permasalahan
keyakinan terhadap Tuhan YME. Pembahasan
difokuskan pada makna sila pertama serta
implementasi nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. Harapannya, dengan
terimplementasikannya nilai-nilai ketuhanan YME
pada kehidupan sehari-hari, bangsa Indonesia
dapat menjadi bangsa yang religius dalam
kehidupan kenegaraan, bangsa yang
berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan
(demokrasi), serta berkeadilan sosial.

52
STIMULAN

Bagian ini berisi contoh kasus terkait sila ke-1 Pancasila yang terjadi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Mahasiswa diminta untuk
memahami kasus yang dipaparkan kemudian memberikan tanggapan. Selain itu,
mahasiswa juga diminta untuk menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan dari
kasus-kasus tersebut.

Kasus Pertama
Tidak ada satupun agama yang mengajarkan
seseorang untuk berbuat korupsi. Para pejabat
disumpah untuk menjunjung integritas dengan ajaran
agamanya. Tetapi yang terjadi pada saat ini, masih
banyak pejabat negara yang terjaring OTT (Operasi
Tangkap Tangan) oleh KPK karena melakukan tindakan
suap-menyuap jabatan atau tindakan lainnya yang
terkait dengan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Pertanyaan bagi mahasiswa
1. Bagaimana sikap Saudara dalam memandang
kasus tersebut?
2. Menurut Saudara, bagaimana cara agar
masyarakat Indonesia tidak melakukan
tindakan KKN?

Kasus Kedua
Kerukunan antarumat beragama yang sering
terganggu karena keberadaan tempat ibadah agama
kelompok minoritas dipersoalkan oleh kelompok
mayoritas yang berbeda. Gangguan terhadap hubungan
antarumat beragama tersebut berupa penolakan
pembanguan tempat ibadah, desakan pembongkaran
tempat ibadah yang sudah ada, perusakan dan
pembakaran rumah ibadah, maupun melecehkan simbol
agama

Pertanyaan bagi mahasiswa


1. Bagaimana tanggapan Saudara terhadap kasus pembakaran masjid di Tolikara,
Papua, pada Juli 2015 dan pembakaran gereja di Singkil, Aceh, pada Oktober
2015?
2. Bagaimana sikap Saudara jika ada di lingkungan tempat tinggal Saudara akan
dibangun tempat ibadah agama lain? Apa yang akan Saudara lakukan untuk
menjadi penganut agama dan sekaligus warga negara yang baik?

53
BAHASAN
Metode perkuliahan adalah bagian dari strategi pembelajaran yang berfungsi
sebagai cara untuk menyajikan, menguraikan, memberi contoh, dan memberi
latihan kepada mahasiswa untuk mencapai tujuan tertentu. Penyajian materi pada
bab ini berupa:

Alat, bahan
Metode pembelajaran Alokasi waktu dan sumber belajar

Debat 100 menit alat tulis, papan tulis,


(Kelompok Pro dan Kontra) LCD, dan lembar kerja
kelompok.

ASUPAN

Terjadinya permasalahan bangsa akibat ketersinggungan keyakinan dan


kepercayaan terhadap Tuhan YME memberikan bukti bahwa segenap elemen
bangsa belum memahami ideologi Pancasila secara tepat. Telah diketahui bersama
bahwa bangsa Indonesia telah menentukan suatu pilihan melalui The Founding
parent bangsa Indonesia, bahwa dalam hidup kenegaraan dan kebangsaan
mengangkat dan merumuskan core philosophy bangsa Indonesia sebagai dasar
filsafat negara yang secara yuridis tercantum dalam tertib hukum Indonesia. Oleh
karena itu, nilai-nilai Pancasila merupakan sumber nilai dalam realisasi normatif dan
praksis dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.

Dalam pengertian seperti ini, nilai-nilai Pancasila merupan das sollen bagi bangsa
Indonesia, sehingga seluruh derivasi normatif dan praksis berbasis pada nilai-nilai
Pancasila. Dalam implementasi, kontektualisasi secara praksis atau das sein dalam
kehidupan kenegaraan dan kebangsaan berbasis pada nilai-nilai Pancasila. Oleh
karena itu, yang perlu dipahami oleh seluruh elemen bangsa adalah bahwa
implementasi Pancasila bukan hanya pada tingkat das sollen, melainkan juga pada
tingkat das sein, yaitu realisasi bidang keagamaan, kenegaraan, pemerintahan,
kebijakan, politik, hukum serta etika politik dalam kehidupan kenegaraan. Bab ini
memfokuskan pada makna Ketuhanan Yang Maha Esa pada Sila Ke-1 Pancasila dan
implementasi Pancasila khususnya sila ke-1 dalam kehidupan sehari-hari.

54
1.Makna Ketuhanan Yang Maha Esa Pada Sila Ke-1 Pancasila
Mengurai makna Ketuhanan Yang Maha Esa dimulai dengan menemukan
arti kata dari dua unsur yaitu “Ketuhanan” dan “Yang Maha Esa”. Kata
“Ketuhanan” berasal dari kata Tuhan yang memiliki arti pencipta alam semesta,
dengan segala isinya. Sedangkan “Yang Maha Esa”, berarti Yang Maha satu atau
Yang Maha Tunggal dan tidak ada pembanding-Nya, tidak ada yang menyamai-
Nya.
Menurut Kartawinata, kepercayaan mempunyai asas sebagai berikut
(Kartawinata, 1985).
a. Tuhan Yang Maha Esa itu Wujud ada-Nya.
b. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan
perwujudan segala keadaan yang berasal dari
Tuhan Yang Maha Esa.
c. Patokan semesta adalah kuasa-Nya Tuhan
Yang Maha Esa kekal dan tidak berubah atas
segala penghidupan dan kehidupan.
d. Kebatinan akan persaksian tentang adanya
Tuhan Yang Maha Esa. Ke-Tuhanan Yang Maha
Esa sebagai perwujudan cara kumawula
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Patokan alam

Ketuhanan yang
semesta yang kekal dan tidak berubah adalah

Maha Esa
Maha Kuasanya Tuhan Yang Maha Esa. Insan
sebagai kawula (abdi) Tuhan yang wajib
kumawula (mengabdi) terhadap Tuhannya
yang akan menjadi/mempunyai kenyataan
setelah dilakukan dalam tekad, ucap, dan
lampah.
Kepercayaan masyarakat Indonesia yang tertuang dalam Pancasila sila
Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung nilai-nilai religius antara lain (Yusuf
Ahmat, 2011: 24):
a. Keyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan sifat-sifatnya
Yang Maha sempurna, yakni: Maha Kasih, Maha Kuasa, Maha Adil, Maha
Bijaksana, dan sifat suci lainnya.
b. Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yakni menjalankan semua
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
c. Memiliki keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah hal penting yang
harus dimiliki oleh setiap orang. Karena orang yang tidak memiliki keyakinan
dan kepercayaan akan keberadaan Tuhan maka hidupnya selalu dihantui
oleh perasaan bimbang dan ragu, tidak aman dan tidak mempunyai
kepastian dalam dirinya. Dengan keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa mendorong diri seseorang dapat memaknai bahwa segala
yang ada baik alam semesta maupun isinya adalah bersumber dari Tuhan.

55
Menurut Rukiyati (2008), arti dan makna sila Ketuhanan Yang
Maha Esa adalah sebagai berikut:
a. Pengakuan adanya kausa prima (sebab pertama) yaitu Tuhan Yang Maha
Esa.
b. Menjamin penduduk untuk memeluk agama masing-masing
dan beribadat menurut agamanya.
c. Tidak memaksa warga negara untuk beragama, tetapi memeluk agama
sesuai dengan hukum yang berlaku.
d. Ateisme dilarang hidup dan berkembang di Indonesia.
e. Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan
beragama, toleransi antarumat dan dalam beragama.
f. Negara menjadi fasilitator bagi tumbuh kembangnya agama dan iman
warga negara menjadi mediator ketika terjadi konflik.
Makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut di atas, hendaknya dipahami
oleh setiap manusia Indonesia. Dimulai dengan menumbuhkan keyakinan dan
kepercayaan kepada Tuhan. Salah satu caranya, generasi muda diajak berdiskusi
mengenai hukum sebab-akibat (causalitet) seperti: saya ada karena ayah dan
ibu, ayah dan ibu ada karena kakek dan nenek, kakek dan nenek ada karena ada
kumpi, kumpi ada karena ada buyut, buyut ada karena kelewaran, kelewaran ada
karena dan seterusnya sehingga kita tidak bisa menjawabnya sampai jawaban
terakhir adalah semua diciptakan oleh Tuhan sebagai penyebab pertama dari
segala yang ada di dunia. Inilah yang disebut causaprima.
Apabila telah tumbuh rasa keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa. generasi muda memiliki pemahaman sebagai makhluk ciptaan Tuhan
yang dikaruniai akal, budi luhur, rasa karsa, hidup, dan kehidupan di dunia, wajib
percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena setiap agama selalu
mengajarkan keimanan dan ketakwaan pada setiap umatnya. Keimanan sendiri
dapat diartikan sebagai kepercayaan secara penuh kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Sedangkan menurut istilah, iman adalah membenarkan dengan hati,
mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan tindakan (perbuatan)
setiap ajaran agama. Adapun tentang ketakwaan, takwa berasal dari bahasa arab
yang berarti: hati-hati, takut, atau rasa malu untuk melaksanakan perbuatan

56
yang dilarang Tuhan. Dengan kata lain, Ahmat (2011:24) menyimpulkan
ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berarti menjalankan semua
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan bertakwa orang
akan selalu berhati-hati dalam setiap ucapan dan melakukan perbuatan
dalam kehidupannya karena rasa keyakinan kepada kebenaran ajaran Tuhan.

Keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada diri
seseorang akan mendorong menjadi pribadi yang beradab. Tidak ada
satupun agama di dunia ini yang memperbolehkan untuk merugikan orang
lain dalam berbagai bentuk perkataan dan perbuatan. Semua agama di
dunia ini mengajarkan kedamaian, keadilan, dan menjanjikan keselamatan
bagi setiap umat yang taat kepada ajaran kebaikan yang diajarkan oleh
Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari itu, keimanan dan ketakwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa tercermin pada suatu perilaku seseorang yang rajin
beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta mampu rukun terhadap
sesama pemeluk agama, maupun antarpemeluk agama dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2.Implementasi Pancasila Khususnya Sila


Ke-1 dalam Kehidupan Sehari-Hari
Sila pertama dasar bagi sila-sila
lainnya. Dikuatkan oleh pendapat Kaelan
(2010:35) “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
ini nilai-nilainya meliputi dan menjiwai
keempat sila lainnya. Dalam sila ini
terkandung nilai bahwa negara yang
didirikan adalah pengejawantahan tujuan
Berdoa
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
sumber gambar: Maha Esa”. Apabila disederhanakan, sila
Sam Scholes/flickr.com
ke-2, 3, 4, dan 5 dijiwai oleh Sila ke-1. Tidak
mengherankan bahwa sila Ketuhanan
Yang Maha Esa menjadi penentu segala
aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia.

Dalam kaitannya dengan implementasi


nilai-nilai Pancasila khususnya sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, Baharun
Berdoa
sumber gambar: (2011:40) menjelaskan bahwa:
www.freepik.com/free-photos-vectors/man

57
a. Tuhan Yang Maha Esa adalah Pencipta alam semesta dengan segala sifat-
sifat-Nya yang sempurna. Tuhan YME menciptakan manusia dalam fitrahnya
yang suci, dan menganugerahkan potensi kebaikan yang bersemayam di
dalam hati berupa potensi intelektual, moral, estetis dan transendental.
Dengan bermodalkan keempat potensi tersebut, manusia diberi amanat
untuk mengemban tugas dan fungsi sebagai khalifah guna membina
kemakmuran di atas bumi, membangun peradilan kebudayaan, dan
kesejahteraan hidup bersama sesuai dengan aturan-aturannya.

b. bagi para pemeluknya berarti bahwa setiap orang mempunyai kebebasan


untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agama yang
dianutnya. Kebebasan beragama dalam prespektif hukum positif di
Indonesia, menurut Hijrah Adhyanti Mirzana (2012: 152) haruslah dimaknai
secara luas sebagaimana dijamin di dalam UUD 1945 Amendemen IV Pasal
28 E ayat (1) dan (2) yang menyebutkan bahwa: “setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan
dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali; dan setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”; kemudian,
disebutkan pula dalam Pasal 29 Ayat (1) dan (2) bahwa: “Negara berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa; dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agama dan kepercayaanya itu.”

Kebebasan beragama, meyakini kepercayaan, dan berekspresi dalam


menyampaikan pendapat di Indonesia dilindungi dan dijamin oleh UUD
1945 agama tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan
Tuhannya, tetapi juga hubungannya dengan sesama manusia, dan agama
memiliki pengaruh pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.

Tokoh lintas agama


sumber gambar:
Kompas.com/Iqbal Fahmi

58
c. Kebebasan untuk menghormati aliran-aliran keagamaan atau organisasi
keagamaan yang berbeda dalam menafsirkan kitab suci harus mendapat
perhatian serius dari pemerintah. Pembiaran kelompok atau organisasi
tertentu untuk menghakimi secara sepihak harus dihindari. Kasus
penyerangan kepada penganut Ahmadiyah dan perusakan tempat ibadah
Ahmadiyah di beberapa tempat adalah realitas yang menunjukkan bahwa
tokoh agama dan ormas Islam belum mampu menyelesaikan perbedaan
aliran agama melalui berbagai dialog, diskusi dengan kepala dingin,
sehingga kekerasan menjadi pilihan penyelesaian masalah. Kondisi subjektif
tersebut menyebabkan agama yang seharusnya menjadi penyejuk justru
dijadikan alat dan menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat.

d. Peranan agama bagi Indonesia sangat penting dalam menjaga moral


bangsa.
e. Perilaku menyimpang yang dilakukan sebagian masyarakat Indonesia tidak
lepas dari terjadinya degradasi moral dan pemahaman keaagamaan yang
dangkal.
f. Para pemuka agama dituntut untuk mampu menjawab tantangan zaman
dan pengaruh paham-paham asing yang tidak seluruhnya memiliki
kesamaan dengan budaya dan masyarakat Indonesia.

Seseorang dapat dikatakan menjalankan nilai ketuhanan yang


terkandung dalam Sila Ke-1 Pancasila jika pemahaman dan implementasi
perilaku kehidupannya sesuai dengan indikator berikut ini.
a. Perilaku yang didasari keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di
lingkungan keluarga dapat kita tunjukkan sikap-sikap:
1) Saling mengingatkan untuk selalu taat
pada ajaran agama.
2) Berusaha dengan sekuat tenaga menjauhi
larangan Tuhan.
3) Selalu meningkatkan iman dan takwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
4) Saling menghargai dan menghormati
anggota keluarga lain yang berbeda
agama ketika sedang beribadah.
5) Memanfaatkan nikmat yang diberikan
Tuhan untuk kebaikan.

Kunjungan TK ABA aisyah ke


TK Katholik
sumber gambar:
Bagas Bimantara/Radar Madiun

59
b. Perilaku yang didasari keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di
lingkungan kampus dapat ditunjukkan tujukkan sikap-sikap berikut:

1) Saling menghormati sesama teman, baik seagama maupun


berlainan agama.
2) Mengamalkan perintah agama di kampus dengan praktik ibadah.
3) Memperingati hari-hari besar agama di kampus.
4) Mendorong dan memfasilitasi mahasiswa rajin beribadah sesuai
agama dan keyakinan masing-masing.
5) Menyelenggarakan hari besar keagamaan untuk memupuk
toleransi.
6) Mendorong mahasiswa untuk menyampaikan opini kepada publik
berupa kecaman terhadap tindakan pelanggaran perbuatan
kekerasan dan intoleran yang dilakukan atas dasar keyakinan yang
berbeda.
7) Memiliki motivasi yang tinggi untuk belajar (menuntut ilmu), karena
belajar merupakan salah satu kewajiban agama baik belajar bidang
agama maupun bidang umum.
8) Memelihara kebersihan dan kesehatan, termasuk juga memelihara
lingkungan kampus, seperti tidak membuang sampah
sembarangan, karena meyakini bahwa menjaga kebersihan
merupakan sebagian dari iman.
9) Menghormati dosen karena dosen merupakan pembimbing yang
diharapkan bisa membantu mahasiswa dalam mengembangkan diri.
10) Menghormati teman dan tidak bersikap sombong apabila diberi
kelebihan. Setiap mahasiswa harus menyadari bahwa setiap orang
tidak diciptakan sama dan setiap orang harus menghargai
perbedaan.
11) Berusaha untuk tidak melanggar tata tertib kampus, karena tata
tertib kampus diciptakan sebagai rambu-rambu untuk membentuk
perilaku mahasiswa yang baik agar mahasiswa terbiasa berbuat baik
dalam kehidupan sehari-hari

c. Perilaku yang didasari keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa di


lingkungan masyarakat dapat kita tunjukkan sikap-sikap:

1) Keluarga masyarakat dapat merayakan hari besar agama dan


menjalankan kewajiban agamanya secara bebas karena telah terbina
sikap saling menghargai.
2) Warga yang satu ikut bergembira atas nasib baik yang dialami
warga lainnya dengan ikut memberikan ucapan syukur kepada
Tuhan YME.

60
3) Warga masyarakat berupaya mempererat tali dharmasanti atau
silaturahmi, antara lain dengan saling mengunjungi dan
mengucapkan salam sapaan.
4) Jujur, tidak suka berbohong, dan tidak suka mengingkari janji.
Kesemua contoh perilaku di atas adalah bentuk implementasi sila
Ketuhanan Yang Maha Esa. Mahasiswa diharapkan dapat menjalankannya
dengan baik, dan selanjutnya mahasiswa agar ringan menjalankan
perilaku tersebut harus melakukannya atas dasar kebutuhan sebagai
makhluk ciptaan Tuhan. Mahasiswa harus membiasakan diri dan
memaksa diri sendiri agar implementasi sila-sila Pancasila menjadi laku
kehidupan. Jika semua itu dijalankan secara konsisten, niscaya mahasiswa
akan menjadi pribadi yang Pancasilais, sekaligus teguh mengimani
agamanya masing-masing

3.Baharudin Lopa: Tokoh Bangsa Pelaksana Nilai-Nilai Ketuhanan


Baharuddin Lopa, pria kelahiran Mandar, Sulawesi Selatan, 27 Agustus
1935, menjabat sebagai Bupati Majene saat baru berumur 25 tahun. Pria ini
bisa disapa dengan sapaan Barlop (akronim dari namanya). Pada masa
jabatannya, ia tak segan berkonfrontasi dengan Komandan Batalyon 710 yang
melakukan penyelundupan.

Karier Barlop awalnya bukanlah


sebagai birokrat, melainkan penegak
hukum. Selepas SMA, Barlop memilih
masuk Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin. Ia mempertajam
pendidikannya dengan mengikuti
Kursus Reguler Lemhanas pada 1979
dan meraih gelar doktor di Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro pada
1982.
Baharudin Lopa
sumber gambar:
https://www.liputan6.com/

Kariernya diawali sebagai jaksa di Kejaksaan Negeri Makassar pada


1958–1960. Usai menjabat Bupati Majene, ia menjadi Kepala Kejaksaan Negeri
Ternate pada 1964. Dua tahun kemudian, Barlop menjadi Kepala Kejaksaan
Tinggi Aceh hingga pindah ke Kalimantan Barat pada 1974. Berikutnya, ia
menjabat Kepala Pusdiklat Kejaksaan Agung RI (1976–1982), dan Kepala
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (1982–1986). Sempat menjadi Duta Besar RI
untuk Arab Saudi, Barlop akhirnya menjadi Jaksa Agung RI sekaligus Menteri
Kehakiman dan Perundang-undangan pada 2001. Sayang, hanya sebentar ia
bertugas. Pada 3 Juli 2001, saat melakukan perjalanan dinas ke Arab Saudi, ia
mengembuskan napas terakhir karena serangan jantung dan kelelahan.

61
Kejujuran merupakan kebiasaan yang dijalankan oleh Baharudin Lopa.
Salah satu peristiwa yang membuktikan kejujurannya yaitu bahwa segala
sesuatu harus sesuai peruntukannya. Mobil dinas hanya untuk keperluan
dinas, tidak akan ia pakai untuk kepentingan pribadi. Bagi Baharuddin Lopa,
itu prinsip yang sangat mendasar. Itu sebabnya, dia melarang istri dan ketujuh
anaknya menggunakan mobil dinas untuk keperluan sehari-hari.

Ada kejadian menarik tentang penggunaan mobil dinas Barlop yang


membuat seorang kerabatnya kecele. Saat itu, pada 1983, Barlop diundang
untuk menjadi saksi pernikahan. Tuan rumah yang juga kerabatnya, Riri Amin
Daud, dan pagar ayu telah menunggu kedatangannya. Mereka menanti mobil
dinas berpelat DD-3 berhenti di depan pintu. Namun, lama ditunggu, mobil
itu tak jua tiba. Ketika sedang resah menanti, tiba-tiba saja suara Barlop
terdengar dari dalam rumah. Rupanya, ia bersama sang istri datang ke sana
dengan menumpang “pete-pete”, angkutan kota khas Makassar. “Ini hari
Minggu. Ini juga bukan acara dinas. Jadi, Saya tak boleh datang dengan mobil
kantor,” begitu penjelasan Barlop (KPK, 2015:20).

62
TES

1. Tugas Individu
Mahasiswa menulis essai tentang salah satu isu terjadi di Indonesia berkaitan
dengan implementasi Pancasila khususnya sila Ke-1 dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Hasil tugas diunggah ke media sosial untuk mendapatkan respon
dari netizen dan menandai akun dosen pengampu selambat-lambatnya 5 hari
sesudah tanggal penugasan. Pilihan isu adalah sebagai berikut.
1) Meningkatnya angka hamil di luar nikah serta free sex di kalangan remaja.
2) Meningkatnya angka korupsi para pejabat negara dari tingkat terbawah
sampai dengan atas.
3) Meningkatnya konflik agama antar kelompok masyarakat di Indonesia.

2. Tugas Kelompok
Dosen pengampu membuat kelompok terdiri dari 4-5 anggota untuk diminta
membuat video pendek mengenai kampanye toleransi umat beragama.
Ketentuan video:
a) Durasi video selama 3-5 menit
b) Setiap kelompok mengirimkan file video ke email dosen pengampu dalam
waktu 7 hari sejak tugas diberikan
c) Setiap kelompok juga mengunggah video tersebut di akun media sosial
atau YouTube dengan menyertakan hastag #tugaspancasila
#kuliahpancasila #pancasilalahirbatin

63
SUMBER BACAAN
Baharun, M. 2011. Implementasi Nilai-Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa Pancasila Guna
........Menanggulangi Kekerasan. Malang: Pustaka Bayan.

Chaidar-Al. 1998.Reformasi Prematur: Jawaban Islam Terhadap Reformasi Total.


........Jakarta: Darul Fallah.

Mirzana, H A. Volume 7 Nomor 2 Juli 2012. Kebijakan Kriminalisasi Delik Penodaan


........Agama. Jurnal Pandecta.

Kaelan. 2010. Dosenan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Kartawinata, I.R. 1985. Budaya Spirtual. Aliran Kebatinan “PERJALANAN”.

KPK. 2015. Orange Juice for Integrity Belajar Integritas Kepada Tokoh Bangsa. Jakarta:
........KPK

Rukiyati. 2008. Dosenan Pancasila. Yogyakarta: UNY press.

Sukarno. 2007. Revolusi Indonesia: Nasionalisme, Marhaen, dan


........Pancasila.Yogyakarta: Penerbit Galangpress (Anggota IKAPI).

Ahmat, Y. 2011. Pengaplikasian Nilai-nilai Dasar Pancasila. Jakarta: PT. Sinar Jaya.

64
BAB v
MELATIH
MANUSIA YANG
BERMARTABAT
MELATIH MANUSIA
YANG BERMARTABAT
INTRODUKSI

Materi “Melatih Manusia yang Bermartabat” pada bab ini memfokuskan kajian
mengenai upaya-upaya mengatasi masalah kemanusian di Indonesia sebagai
bentuk implementasi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Mahasiswa
dapat dikatakan menguasai materi pada bab V tercermin pada terpenuhinya capaian
pembelajaran sebagaimana berikut ini:

1. Menelaah makna kemanusiaan

3.
yang adil dan beradab
Mengkoordinir proyek
kemanusiaan
Mempraktikkan nilai-nilai

2. kemanusian dan menerapkannya


kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab mengandung makna bahwa warga Negara
Indonesia mengakui adanya manusia yang bermartabat, memperlakukan manusia
secara adil dan beradab dengan daya cipta, rasa, dan karsa. Nilai-nilai budaya yang
terkandung dalam sila ini membentuk watak bangsa kita menjadi bangsa yang
lemah lembut, sopan santun, tenggang rasa, saling mencintai, bergotong royong
dalam kebaikan, dan lain sebagainya.

Diharapkan dengan adanya materi ini, dapat mendorong mahasiswa agar


senantiasa menghormati harkat dan martabat orang lain sebagai pribadi dan
anggota masyarakat. Sikap ini merupakan cerminan kesadaran bahwa manusia
merupakan makhluk sosial yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama.

66
STIMULAN

Bagian ini berisi contoh kasus yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia. Mahasiswa diminta untuk memahami kasus yang
dipaparkan kemudian memberikan tanggapan. Selain itu, mahasiswa juga diminta
untuk menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan dari kasus-kasus tersebut.

Kasus Pertama
Surat kabar The Guardian pada tanggal 26 Desember 2018 menyoroti fenomena
yang cukup miris dengan mengangkat berita tentang anak muda yang asyik
berswafoto dengan latar wilayah terdampak Tsunami di pantai Anyer. Dalam
artikelnya, The Guardian menulis tindakan tersebut sebagai bentuk egoisme yang
mengabaikan kesengsaraan korban sesama warga bangsa demi memburu pujian
individu semata.

Pertanyaan bagi mahasiswa:


1. Bagaimana pandangan Saudara tentang adanya
fenomena tersebut?
2. Menurut pandangan Saudara, faktor-faktor apa yang
menyebabkan peristiwa tersebut dapat terjadi?
3. Tulislah contoh lain yang serupa dengan peristiwa di
atas?

Kasus Kedua
Alumni Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 4 Surakarta mengambil tema
Go Green dalam kegiatan Lustrum mereka dan menyelenggarakan berbagai
program dalam rangka reservasi lingkungan. Program-program tersebut meliputi
kampanye pengurangan penggunaan plastik, pengurangan produksi sampah
harian, dan tidak merusak ekosistem. Kegiatan lain adalah penanaman bibit pohon
baru yang dilakukan di daerah Karanganyar. Apa yang dilakukan oleh alumni
SMAN 4 Surakarta merupakan salah satu contoh semakin menguatnya kesadaran
akan pentingnya menjaga kelestarian alam.

Pertanyaan bagi mahasiswa


1. Bagaimana pendapat Saudara tentang hal
tersebut?
2. Menurut Saudara seberapa penting kita harus
menjaga kelestarian alam?

Menanam pohon
sumber gambar:
https://www.energibaik.com/kesehatan/
memperjuangkan-kesehatan- 67
manusia-lewat-keseimbangan-ekologis/
BAHASAN
Metode perkuliahan adalah bagian dari strategi pembelajaran yang berfungsi
sebagai cara untuk menyajikan, menguraikan, memberi contoh, dan memberi
latihan kepada mahasiswa untuk mencapai tujuan tertentu. Penyajian materi pada
bab ini berupa:

Alat, bahan
Metode pembelajaran Alokasi waktu dan sumber belajar

ceramah, brainstrorming, 100 menit alat tulis, papan tulis, LCD,


Focus group discussion lembar kerja individu
dan lembar kerja kelompok.

ASUPAN

1.Pokok Pikiran Sila Kedua Pancasila


Sila kemanusiaan yang adil dan beradab Pancasila memiliki pengertian
sebagai pandangan dunia, pandangan hidup, pegangan hidup, pedoman hidup,
dan petunjuk hidup. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, penjelmaan
falsafah hidup bangsa, dalam pelaksanaan hidup sehari-hari tidak boleh
bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, norma sopan santun,
dan tidak bertentangan dengan norma-norma hukum yang berlaku. Nilai-nilai
budaya yang terkandung dalam sila ini membentuk watak bangsa menjadi
bangsa yang lemah lembut, sopan santun, tenggang rasa, saling mencintai,
bergotong royong dalam kebaikan, dan lain sebagainya.

Sila kedua Pancasila ini mengandung makna bahwa warga Negara Indonesia
mengakui adanya manusia yang bermartabat. Manusia yang memiliki
kedudukan, dan derajat yang tinggi dan harus dipertahankan dengan
kehidupan yang layak. Memperlakukan manusia secara adil dan beradab
memiliki daya cipta, rasa, karsa, niat dan keinginan sehingga jelas perbedaannya
antara manusia dan hewan.

68
Pada akhirnya, sila kedua ini menghendaki warga Negara Indonesia untuk
menghormati kedudukan setiap manusia dengan kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Setiap warga berhak mempunyai kehidupan yang layak dan
bertindak jujur serta menggunakan norma sopan santun dalam pergaulan
sesama manusia.

2.Upaya Melatih Manusia yang Bermartabat


Sila perikemanusiaan memiliki makna yang sangat penting sebagai landasan
kehidupan manusia. Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam sila ini
membentuk watak bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lemah lembut, sopan
santun, tenggang rasa, saling mencintai, bergotong royong dalam kebaikan,
dan lain sebagainya. Nilai-nilai kemanusiaan ini dapat dilatih dengan cara:

a. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban


antara sesama manusia. Butir ini menghendaki kesadaraan bahwa setiap
manusia mempunyai martabat, sehingga tidak boleh melecehkan manusia
yang lain, atau menghalangi manusia lain untuk hidup secara layak, serta
menghormati hak atau milik sesama berupa harta, sifat, dan karakter orang
lain (Sri, 2008:26-28).
b. Saling mencintai sesama manusia. Kata cinta menghendaki adanya suatu
keinginan yang sangat besar untuk memperoleh sesuatu dan rasa untuk
memiliki serta bila perlu pengorbanan untuk mempertahankannya. Muzayin
(1990:40) berpendapat bahwa dengan perasaan cinta pula manusia dapat
mempergiat hubungan sosial seperti kerja sama, gotong royong, dan
solidaritas. Dengan rasa cinta kasih itu pula orang akan berbuat ikhlas, saling
membesarkan hati, saling berlaku setia dan jujur, saling menghargai harkat
dan derajat satu sama lain.

69
c. Mengembangkan sikap tenggang rasa. Sikap ini menghendaki adanya
usaha dan kemauan dari setiap manusia Indonesia untuk menghargai dan
menghormati perasaan orang lain. Harusnya dalam bertingkah laku baik
lisan maupun perbuatan kepada orang lain, hendaknya diukur dengan diri
sendiri; bilamana diri sendiri tidak senang disakiti hatinya, maka janganlah
menyakiti orang lain. Sikap tenggang rasa juga dapat kita wujudkan dalam
toleransi dalam beragama.

Sembako gantung
sumber gambar:
BAPPEDA jateng

d. Tidak semena-mena terhadap orang lain. Semena-mena berarti sewenang-


wenang, berat sebelah, dan tidak berimbang. Oleh sebab itu butir ini
menghendaki, perilaku setiap manusia terhadap orang tidak boleh
sewenang-wenang, harus menjunjung tinggi hak dan kewajiban.
e. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Setiap warga negara harus
menjunjung tinggi dan melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan dengan baik,
seperti:

1) Mengakui adanya masyarakat yang bersifat majemuk.


2) Melakukan musyawarah dengan dasar kesadaran dan
kedewasaan untuk menerima kompromi.
3) Melakukan sesuatu dengan pertimbangan moral dan
ketentuan agama.
4) Melakukan sesuatu dengan jujur dan kompetisi yang
sehat.
5) Memerhatikan kehidupan yang layak antarsesama
6) Melakukan kerja sama dengan iktikad baik dan tidak
curang.

70
f. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan. Sikap gemar melakukan kegiatan
kemanusiaan ini bertujuan agar setiap manusia dapat hidup layak, bebas,
dan aman. Kegiatan ini dapat dilakukan seperti kegiatan donor darah,
memberikan santunan anak yatim piatu, orang yang tertimpa musibah dan
orang yang tidak mampu.
g. Berani membela kebenaran dan keadilan. Butir ini menghendaki manusia
Indonesia untuk mempunyai hati yang mantap dan percaya diri dalam
menegakkan kebenaran dan keadilan.
h. Merasa sebagai bagian dari seluruh umat manusia. Butir ini menganjurkan
untuk saling menghormati, sikap saling menghormati ini dapat dilakukan
dengan menghormati sesama manusia, bahkan sampai pada penghormatan
kepada kedaulatan suatu bangsa agar dapat menjalin kerja sama yang saling
menguntungkan satu sama lain.

71
3. Keteladanan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX
Sri Sultan Hamengku lahir di Yogyakarta
pada 12 April 1912, Sri Sultan sejak kanak-
kanak mendapatkan pendidikan bercorak
Belanda. Selepas tamat dari Algemeene
Middelbare School (AMS) di Bandung, ia
melanjutkan studi di Faculteit Indologie
Universiteit Leiden, Belanda. Meski begitu, ia
tak tercerabut dari akarnya. Saat pulang ke
Indonesia dan diangkat sebagai sultan, ia
menegaskan bahwa dirinya tetaplah
seorang Jawa.

Sejak Indonesia merdeka, Sri Sultan ditetapkan sebagai Gubernur Daerah


Istimewa Yogyakarta. Selain itu, ia beberapa kali diangkat sebagai menteri.
Jabatan menteri yang diamanatkan antara lain: Menteri negara dalam Kabinet
Syahrir III dan Kabinet Hatta, Deputi Perdana Menteri dalam Kabinet Natsir,
Menteri Pertahanan di Kabinet Wilopo, serta Menteri Koordinator Bidang
Ekonomi, Keuangan, dan Industri Kabinet Ampera. Puncaknya, ia menduduki
kursi Wakil Presiden pada 1972– 1978.
Dikisahkan pada waktu itu, sebuah Jip Willys berhenti seketika kala seorang
mbok bakul (wanita pedagang gendong hasil desa), memintanya menepi untuk
ikut tumpangan. Pengemudinya lantas turun dan membantu menaikkan
karung-karung yang hendak dibawa Si Mbok ke Pasar Kranggan, Jetis,
Yogyakarta. Si Mbok memang terbiasa menyetop oplet yang lewat dan
membayar satu rupiah untuk sekali jalan.

Jeep willys
sumber gambar:
https://commons.wikimedia.org/

72
Di sepanjang perjalanan, tak ada hal aneh. Si mbok berbincang santai
dengan sopir jip itu. Keanehan baru terlihat saat mobil tiba di pasar. Sejumlah
pedagang terperangah melihat si mbok turun dari jip itu. Apalagi ketika
menyaksikan sopirnya ikut menurunkan karung- karung milik si mbok.
Meski begitu, Si Mbok yang fokus pada barang-barang bawaannya tak
memperhatikan hal tersebut. Begitu seluruh bawaannya turun dari mobil, Si
Mbok mengeluarkan uang dari balik kembennya untuk diberikan kepada sopir
yang telah mengantarkannya itu.
“Berapa ongkosnya, Pak Sopir?”
“Wah... ndak usah, Bu.”
“Walah ..., Pak Sopir. Kayak ndak butuh uang saja.”
“Sudah tidak, Bu, terima kasih.”
“Lho, kurang to? Biasanya saya kasihnya juga segini.”
“Ndak apa-apa, Bu... Saya cuma mau membantu.”
“Sudah merasa kaya to, Pak Sopir ndak mau terima uang?”
Sang sopir hanya tersenyum, lalu pamit keluar dari pasar. Si Mbok terus
mengumpat dan menggerutu meski sang sopir jip telah berlalu dari
hadapannya. Tiba-tiba saja, seseorang menegurnya. “Mbok tahu siapa orang
yang tadi itu? Beliau adalah Sampeyan Dalem!” katanya. Mendengar itu, Si Mbok
seperti disambar petir, pingsan. Pasalnya, Sampeyan Dalem adalah sebutan para
kawula Ngayogyakarta bagi Sang Raja, Sultan Hamengku Buwono IX.
Cerita itu sangat populer di kalangan kawula Ngayogyakarta. Sebuah kisah
yang membuktikan sikap mulia Sultan Hamengku Buwono IX. Meski menjadi
raja, ia tak lantas besar kepala dan gila hormat (KPK, 2015: 30-31).

73
TES

1. Tugas Individu
Mahasiswa diminta untuk menulis esai pada
kertas bergaris hasil identifikasi sikap interaksi
sosial di kampus yang mencerminkan
implementasi sila kedua Pancasila. Tulisan
dikumpulkan kepada dosen pengampu 3 hari
setelah tugas diberikan.

2. Tugas Kelompok
Dosen pengampu memberikan tugas
mendesain poster dengan tema “Manusia
yang Bermartabat” kepada kelompok
mahasiswa yang terdiri dari 4-5 anggota.
Tugas dikumpulkan kepada dosen
pengampu maksimal 7 hari setelah
pemberian tugas.

74
SUMBER BACAAN
Kamaruddin, S. 2012. Character Education and Students Social Behavior. Journal of
Education and Learning (EduLearn), 6 (4), 223. Tersedia pada:
https://doi.org/10.11591/edulearn.v6i4.166.

Herman, dkk. 1986. Panorama Jiwa dan Kepribadian Bangsa Pancasila. Jakarta: CV
Indrajaya.

KPK. 2015. Orange Juice For Integrity Belajar Integritas Kepada Tokoh Bangsa. Jakarta:
KPK.

Lickona, Thomas. 1992. Educating For Character How Our School Can Teach Respect
and Responsibility. New York: Bantam Books.

Malihah, E. 2015. An ideal Indonesian in an increasingly competitive world: Personal


character and values required to realise a projected 2045 ‘Golden Indonesia.’
Citizenship, Social and Economics Education, 14(2), 148–156. Tersedia pada:
https://doi.org/10.1177/2047173415597143.

Muzayin. 1990. Ideologi Pancasila. Jakarta: Golden Terayon Press.

Nurwardani, P. dkk. 2016. Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:


Kemeristekdikti.

Rianto, H. 2016. Implementasi Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab di


Lingkungan Sekolah. Jurnal Pendidikan Sosial, 3(1), 80–91. Tersedia pada:
https://journal.ikippgriptk.ac.id/index.php/sosial/article/view/268.

Rukiyati, dkk. 2008. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: UNY Press.

Janti, S. dkk. 2008. Etika berwarga Negara. Jakarta: Salemba Empat

75
BAB v
NILAI-NILAI
PERSATUAN INDONESIA
DALAM KONSEP DAN
PRAKTIK
NILAI-NILAI PERSATUAN INDONESIA
DALAM KONSEP DAN PRAKTIK
INTRODUKSI

Materi “Nilai-Nilai Persatuan Indonesia dalam Konsep dan Praktik” pada bab ini
memusatkan perhatian terhadap upaya mewujudkan nilai persatuan Indonesia
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Mahasiswa dapat
dikatakan menguasai materi pada bab VI ini melalui terpenuhinya capaian
pembelajaran sebagaimana berikut ini:

1. Menguraikan konsep

3.
persatuan Indonesia.
Mendesain program penerapan
nilai-nilai Persatuan Indonesia.

2.
Mempraktikkan nilai-nilai
persatuan dalam
kehidupan sehari-hari.

Materi pada bab ini memberikan gambaran mengenai keberagaman bangsa


Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, agama maupun keyakinan,
kebudayaan, dan adat istiadat. Keberagaman yang dimiliki memberikan keuntungan
sekaligus ancaman khususnya dalam mewujudkan integrasi nasional
antarperbedaan yang ada di dalamnya. Keberadaan Pancasila sebagai ideologi
negara menjadi poin penting, mengingat terdapat satu sila yaitu yang mengandung
nilai-nilai persatuan antar anak bangsa tertuang dalam Pancasila sila ke-3 yakni
“Persatuan Indonesia”.
Nilai-nilai persatuan merupakan formula ampuh mewujudkan tujuan nasional.
Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus mampu mengimplementasikan secara
konsep dan praktik, agar dalam diri generasi bangsa tertanam paham bahwa
perbedaan adalah kekuatan bukan sebagai pemantik permusuhan.

STIMULAN

Pada bagian ini, berisi contoh kasus yang terjadi dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia. Mahasiswa diminta untuk memahami kasus yang
dipaparkan kemudian memberikan tanggapan. Sealin itu, mahasiswa juga diminta
untuk menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan dari kasus-kasus tersebut.

78
Kasus Pertama
Media sosial dapat diibaratkan laksana dua sisi mata uang; dia bisa membawa
pengaruh positif kepada masyarakat, pun juga bisa membawa dampak negatif
dalam kehidupan. Media sosial dapat menjadi media kampanye persatuan, akan
tetapi juga bisa menjadi alat propaganda kekerasan dan perpecahan.
Tagar #gejayanmemanggil pada tahun 2019 adalah bukti empiris efektivitas
media sosial dalam menggerakkan massa. Gerakan ini mampu menggerakkan lebih
dari 20 ribu mahasiswa Yogyakarta dan sekitarnya untuk melakukan demonstrasi
mengkritisi berbagai langkah pemerintah terkait UU KPK, RUU KUHP, penanganan
kebakaran hutan dan lahan, kinerja DPR, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang
tak juga disahkan, masalah Papua, hingga kekerasan yang kerap timbul antara
aparat negara dan rakyat.
Di sisi yang lain, saat ini marak terjadi perkelahian antarpelajar yang awalnya
dipicu oleh 'konflik' yang muncul di media sosial. Saling caci, saling maki dan
kemudian mengarah ke saling menantang duel terjadi di media sosial lebih dahulu
sebelum akhirnya terjadi di dunia nyata.
Pertanyaan bagi mahasiswa:
1. Bagaimana pendapat Anda tentang dua contoh
peristiwa tersebut?
2. Menurut Anda, bagaimana upaya untuk
mengoptimalkan peran media sosial dalam menjaga
persatuan Bangsa?
Kasus Kedua
Pada tahun 2019 terdapat agenda demokrasi berupa pelaksanaan pemilu
eksekutif (pemilihan presiden dan wakil presiden). Serangkaian tahapan pemilu
telah selesai dilaksanakan, namun ada peristiwa yang cukup disayangkan, yaitu
kerusuhan. Tragedi kerusuhan ini terjadi di wilayah Jati Baru Tanah Abang. Sebanyak
6 orang meninggal dan 200 luka-luka akibat kerusahan yang terjadi. Kerusuhan
terjadi karena menolak keputusan KPU yang memenangkan paslon 01. Massa
berdatangan dari berbagai penjuru daerah untuk melakukan demo, namun massa
bertindak anarkis sehingga timbullah korban jiwa.

Pertanyaan bagi mahasiswa


1. Bagaimana sikap Saudara sebagai
mahasiswa ketika melihat situasi seperti
itu?
kerusuhan
2. Bagaimana upaya yang bisa dilakukan
pemerintah untuk meredam konflik
pemilu
ketika pelaksanaan pemilihan umum?

Kerusuhan Pasca Pemilu


sumber gambar:
Tirto.id/Andrey Gromico

79
Kasus Ketiga
Juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Surya Anta
bersuara terkait peristiwa penyerangan dan pengepungan asrama mahasiswa Papua
di Surabaya, Jawa Timur. Surya menjelaskan, awal mula pengepungan itu disebabkan
oleh perusakan bendera Pusaka yang terletak di depan asrama. Pihak Aparat pun
menduga perusakan bendera pusaka dilakukan oleh oknum mahasiswa di asrama.
Surya menyayangkan pengepunagan tersebut. Menurutnya, aparat tidak melakukan
investigasi mendalam terlebih dahulu terkait perusakan Bendera pusaka. Selain itu,
aparat juga “membiarkan” ormas reaksioner yang turut melakukan pengepungan.
Para pengepung juga beberapa kali melontarkan makian bernada rasis kepada
mahasiswa Papua. Penembakan gas air mata berkali-kali, dan juga perusakan fiber di
pagar asrama. Makian bernada rasis pun terus dilakukan.

Pertanyaan untuk mahasiswa:


1. Bagaimana tanggapan Saudara sebagai
mahasiswa mengenai kasus tersebut?
2. Bagaimana upaya yang harus dilakukan
pemeritah agar kasus tersebut tidak terulang
kembali?

BAHASAN
Metode perkuliahan adalah bagian dari strategi pembelajaran yang berfungsi
sebagai cara untuk menyajikan, menguraikan, memberi contoh, dan memberi
latihan kepada mahasiswa untuk mencapai tujuan tertentu. Penyajian materi pada
bab ini berupa:

Alat, bahan
Metode pembelajaran Alokasi waktu dan sumber belajar

ceramah, brainstrorming, 100 menit alat tulis, papan tulis, LCD,


Focus group discussion lembar kerja individu
dan lembar kerja kelompok.

80
ASUPAN

1.Konsep Persatuan Indonesia


Menurut Kaelan (2009:117) Sila Persatuan Indonesia mengandung
pengertian sebagai berikut:
a.
b. Negara melindungi segenap
Negara Indonesia yang bersatu adalah
bangsa dan seluruh tumpah
hasil perjuangan gerakan kemerdekaan
darah Indonesia (Pokok pikiran I)
Indonesia yang telah sampai kepada saat
yang berbahagia dan selamat sentosa c. Negara Indonesia adalah Negara
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan kesatuan yang berbentuk Republik
pintu gerbang kemerdekaan Indonesia, (Pasal 1 UUD 1945)
serta terlaksananya cita-cita kemerdekaan
d. Negara melindungi segenap bangsa
(Pembukaan UUD 1945 alinea II)
dan seluruh tumpah darah Indonesia
e. dengan berdasarkan atas persatuan
Warga Negara ialah orang-orang Indonesia
Indonesia asli dan orang-orang asing (Pembukaan UUD 1945 alinea IV)
yang disahkan dengan undang-undang
h.
sebagai warga Negara Indonesia
(Pasal 26 ayat (1) UUD 1945) Wawasan dalam mencapai tujuan
pembangunan negara wawasan
f. Bahasa negara adalah bahasa persatuan nusantara mencakup:
adalah bahasa Indonesia a) Perwujudan kepulauan nusantara
(Pasal 36 UUD 1945) sebagai satu kesatuan politik,
g. b) Perwujudan kepulauan nusantara
sebagai satu kesatuan budaya,
Lambang persatuan dan kesatuan bangsa
c) Perwujudan kepulauan nusantara
dan negara Indonesia adalah
sebagai satu kesatuan ekonomi,
Bhinneka Tunggal Ika
d) Perwujudan kepulauan nusantara
sebagai satu pertahanan dan keamanan.

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan bentuk negara yang dipilih


sebagai komitmen bersama. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah pilihan
yang tepat untuk mewadahi kemajemukan bangsa. Oleh karena itu komitmen
kebangsaan untuk keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi
suatu “keniscayaan” yang harus dipahami oleh seluruh komponen bangsa.
Dalam Pasal 37 ayat (5) secara tegas menyatakan bahwa khusus mengenai
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan
karena merupakan landasan hukum yang kuat bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia tidak dapat diganggu gugat.

81
Bineka Tunggal Ika adalah semboyan negara sebagai modal untuk bersatu.
Kemajemukan bangsa merupakan kekayaan kita, kekuatan kita, yang sekaligus
juga menjadi tantangan bagi kita bangsa Indonesia, baik kini maupun yang akan
datang. Oleh karena itu, kemajemukan itu harus kita hargai, kita junjung tinggi,
kita terima dan kita hormati serta kita wujudkan dalam semboyan Bineka
Tunggal Ika (Tim Kerja Sosialisasi MPR, 2012:7).
Dengan Pancasila, perpecahan bangsa Indonesia akan mudah dihindari
karena pandangan Pancasila bertumpu pada pola hidup yang berdasarkan
keseimbangan, keselarasan, dan keserasian sehingga perbedaan apapun yang
ada dapat dibina menjadi suatu pola kehidupan yang dinamis, penuh dengan
keanekaragaman yang berada dalam satu keseragaman yang kokoh (Muzayin,
1992: 16).

2.Implementasikan nilai-nilai persatuan dalam konsep dan praktik


Implementasi nilai-nilai persatuan Indonesia dapat tercermin melalui sikap
dan perbuatan sebagai berikut:
a. Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan
keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas
kepentingan pribadi dan golongan
Muatan ini menghendaki warga negara Indonesia menempatkan
persatuan kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara
sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Oleh sebab itu, perang antarsuku, dan agama tidak perlu lagi terjadi, kita
harus saling menghormati dan bersatu demi Indonesia. Pemain politik dan
ekonomi tidak boleh mengorbankan kepentingan negara demi
kelompoknya seperti penjualan aset negara dan masyarakat dirugikan. Oleh
sebab itu, setiap warga negara harus melakukan pengawasan yang bersifat
aktif terhadap penyelamatan kepentingan negara.

82
Persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan
negara sebagai kepentingan bersama harus ditempatkan di atas
kepentingan pribadi dan golongan. Misalnya di Indonesia ada suatu
masalah, bukan sikap yang baik untuk lari dari masalah tersebut. Seyogya
kita harus berbuat sesuatu yang bisa kita lakukan agar masalah tersebut
dapat terselesaikan. Misalnya: untuk menyelesaikan masalah
pengangguran, sebagai warga yang baik bisa membuka lapangan pekerjaan
untuk orang lain. Dalam dunia pendidikan, contohnya dengan membuat
yayasan atau sekolah, dalam dunia garmen bisa membuka pabrik kaos, baju,
dsb, bisnis kuliner dengan membuka gerai atau warung makan, restoran,
dsb.

b. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa


apabila diperlukan
Sanggup dan rela berkorban merupakan salah satu sikap mulia yang
harus kita miliki dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sikap rela
berkorban pada dasarnya dapat diartikan sebagai kerelaan kita untuk
mendahulukan kepentingan pihak lain daripada kepentingan diri kita
sendiri. Dalam hal sikap rela berkorban untuk kepentingan bangsa, maka kita
harus mengutamakan kepentingan bangsa daripada kepentingan diri kita
sendiri. Jika ditinjau dari manfaat dan tujuannya, sikap rela berkorban
bahkan dapat dikategorikan sebagai salah satu sikap bela negara dalam
bentuk yang sederhana.
Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila
diperlukan. Sebagai contoh:
1)Perlu ikut berpatisipasi berjuang apabila negara Indonesia terancam
keamanannya.
2)Senang membantu tanpa mengharap imbalan.
3)Mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi
4)Toleransi sesama umat beragama.

c. Mengembangkan rasa cinta dan kebanggaan kebangsaan kepada


tanah air dan bangsa
Kebangsaan Indonesia merefleksikan suatu kesatuan dalam keragaman
serta kebaruan dan kesilaman. Indonesia adalah bangsa majemuk paripurna
yang menakjubkan karena kemajemukan sosial, kultural, dan teritorial dapat
menyatu dalam suatu komunitas politik kebangsaan Indonesia. Indonesia
adalah sebuah bangsa besar yang mewadahi warisan peradaban Nusantara
dan kerajaan-kerajaan bahari terbesar di muka bumi. Jika di tanah dan air
yang kurang lebih sama, nenek moyang bangsa Indonesia pernah
menorehkan tinta keemasannya, maka tidak ada alasan bagi manusia baru
Indonesia untuk tidak dapat mengukir kegemilangan (Latif, 2011: 377).

83
Mengembangkan rasa cinta dan kebanggaan kebangsaan kepada tanah air
dan bangsa. Berikut contoh sikap cinta tanah air yang bisa kita lakukan:

1) Bangga sebagai bangsa Indonesia


Kita sebagai warga negara harus merasa bangga terhadap tanah
air Indonesia. Rasa bangga itu tentu saja tidak akan muncul tanpa
adanya rasa memiliki. Siapa lagi yang akan merasa memiliki tanah
air jika bukan rakyatnya sendiri? Sebagai wujud dari rasa bangga
itu, kita harus menampilkan identitas kita sebagai rakyat Indonesia
yang cinta tanah air. Tidak perlu merasa malu atau
menyembunyikan asal kita di mata dunia.
2) Hargailah produk-produk dalam negeri, jangan semua produk
menggunakan buatan dari luar untuk mensejahterakan
perekonomian nasional.
3) Menjaga nama baik tanah air Indonesia.
4) Menggunakan hak pilih dalam pemilu.
5) Menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan.
6) Melestarikan kebudayaan Indonesia.
7) Menjaga kelestarian lingkungan.
Made in
8) Menciptakan kerukunan antar umat beragama.
9) Hidup rukun dan gotong royong. PRIDE

d. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,


perdamaian abadi, dan keadilan sosial
Tujuan Negara Indonesia terdapat dalam pembukaan UUD 1945 alinea
keempat. Salah satu tujuan Negara Indonesia yaitu: Ikut mewujudkan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial. Pemerintah Indonesia terpilih sebagai anggota tidak tetap
Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal tersebut
merupakan prestasi yang sangat gemilang dan patut dibanggakan. Wakil
Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid Sa'adi mengatakan meskipun terpilihnya
Indonesia bukanlah untuk pertama kalinya, tapi harus disyukuri di tengah
kondisi dunia yang semakin mencemaskan. Diharapkan negara Indonesia
dapat memainkan peran strategis di Dewan Keamanan PBB.
Posisi keanggotaan Indonesia di Dewan Keamanan PBB harus
dimanfaatkan secara optimal. Untuk perjuangan menjaga keutuhan wilayah
dan kedaulatan NKRI. Serta untuk membantu perjuangan bangsa-bangsa
lain yang nasibnya masih terjajah dan dirundung konflik. Indonesia harus
ikut terlibat dalam isu-isu keamanan dan perdamaian global, seperti
penjajahan Israel atas negara Palestina, konflik di Afghanistan, Rohingya,
Suriah, Sudan Selatan dan di berbagai belahan negara lainnya. Selanjutnya

84
tidak kalah penting adalah ikut terlibat dalam mengatasi ancaman bahaya
terorisme global. Sebab terorisme mengancam perdamaian dunia. Posisi
Indonesia harus dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia untuk
menggalang dukungan dunia, melakukan pembelaan negara, misalnya
untuk Palestina.

Kunjungan TK ABA aisyah ke


TK Katholik
sumber gambar:
Bagas Bimantara/Radar Madiun

Posisi Indonesia di DK PBB juga bisa menjadi sarana melakukan


pembelaan terhadap negara Islam dan negara lain yang mengalami
penindasan. Menjadi anggota tidak tetap DK PBB juga bisa menjadi
kesempatan Indonesia untuk turut berkontribusi mewujudkan perdamaian
dunia. Posisi strategis ini bisa dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia,
terutama di dunia internasional (Intan, 2018).

e. Memajukan pergaulan dan mengembangkan persatuan kesatuan


bangsa Indonesia atas dasar Bineka Tunggal Eka
Akar nasionalisme Indonesia sejak awal justru didasarkan pada tekad
yang menekankan pada pentingnya cita-cita bersama, di samping
pengakuan sekaligus penghargaan pada perbedaan sebagaipengikat
kebangsaan. Kesadaran semacam itu jelas terlihat pada semboyan Bineka
Tunggal Ika yang menekankan pada pentingnya cita-cita yang sama dan
sekaligus kemajemukan sebagai perekat kebangsaan. Pada prinsipnya etika
ini meneguhkan pada pentingnya komitmen negara untuk memberi ruang
bagi kemajemukan pada satu pihak dan pada pihak lain tercapainya cita-cita
kemakmuran dan keadilan sebagai wujud dari tujuan nasionalisme
Indonesia (Sparringa, 2006).

85
Sejarah bangsa kita sangat jelas memberikan pelajaran bahwa bangsa
Indonesia menjadi kenyataan karena dua kali ada komponen bangsa yang
merelakan kedudukan dominannya demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam sumpah pemuda 1928 para pemuda Jong Djava merelakan bahasa
melayu menjadi bahasa Indonesia. Seandainya saja bahasa jawa yang
dijadikan bahasa Indonesia, maka republik Indonesia akan dipahamai
sebagai republik jawa raya dengan akibat bahwa kaum sunda, minang,
batak, bugis, ambon, bali, aceh dan daerah lain sangat mungkin tidak akan
ikut terintegrasi. Peristiwa yang kedua adalah dalam sidang penetapan sila
Pancasila sebagai dasar negara dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
1945. Kesepakatan itu memastikan bahwa Indonesia menjadi milik seluruh
rakyat Indonesia tanpa adanya perbedaan berdasarkan atas agama
mayoritas atau minoritas, agama yang superior atau inferior. Kesediaan para
wakil umat Islam dalam kepanitiaan untuk tidak menuntut kedudukan
khusus dalam Undang-Undang Dasar meski mereka secara realitas adalah
agama yang terbesar di Indonesia memungkinkan terciptanya persatuan
dan kesatuan bangsa dalam bingkai Bineka Tunggal Ika. Bisa dibayangkan
dalam catatan sejarah seandainya saja sila pertama dalam Pancasila itu
masih mencantumkan nilai dari satu agama tertentu, maka bisa dipastikan
masyarakat Indonesia di bagian timur tidak akan masuk dalam wilayah
kesatuan republik Indonesia.

Indonesia dikenal oleh dunia sebagai


satu negara kepulauan yang memiliki
pluralitas, kemajemukan, dan heterogenitas
suku bangsa. Dalam penelitian etnologi
diketahui bahwa Indonesia memiliki
kurang lebih 1.340 suku bangsa dengan
perbedaan identitasnya masing-masing dan
dengan kebudayaan yang berbeda. Dari
catatan sensus tahun 2020, menunjukkan
bahwa Indonesia memiliki 101 suku bangsa berbeda beda tapi tetap satu
sumber gambar:
dengan jumlah penduduk 270.203.917 jiwa https://id.wikipedia.org/

sebagai warga negara. Dari sisi agama, kepulauan di Indonesia yang dalam
sejarahnya memanglah jalur perdagangan internasional membawa dampak
langsung bagi penyebaran agama-agama besar di dunia. Sejak zaman
prakemerdekaan sampai sekarang setidaknya ada 6 agama yang diakui oleh
negara sebagai agama yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia yaitu
Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Tentunya masih
banyak lagi agama agama lokal dan aliran kepercayaan yang diyakini oleh
masyarakat Indonesia.

86
Secara substansi, sesanti Bineka Tunggal Ika adalah sesanti yang
mengingatkan kita semua untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Sesanti
ini lengkapnya berbunyi Bineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrva.
Yang artinya berbeda-beda atau beragam, namun tetap satu, karena tidak
ada kebenaran yang mendua. Di dalam Kakawin Sutasoma Mpu Tantular
secara lengkap menyinggung Bineka Tunggal Ika yang pada awalnya karena
adanya perbedaan antara agama Budha dan Hindu (Siwa). Hal tersebut
dimaksudkan untuk menghindari konflik. Kemudian dalam sejarah bangsa
Indonesia dipilihnya kata-kata Bhinneka Tunggal Ika dalam pita lambang
burung garuda dimaksudkan karena kata tersebut sangat bermakna dalam
menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia. Keberagaman yang dimiliki
bangsa Indonesia dengan multietnisnya, agamanya, rasnya,
antargolongannya adalah suatu keberagaman yang sejatinya berada dalam
satu bangsa dan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila sebagai falsafah
bangsa (Shofa, 2016:37-38).

Pancasila adalah common platform sekaligus rasionalitas publik,


keberagaman dari budaya, agama, etnis dan ras bertemu dan terbentuk
suatu negara bangsa. Di dalam negara bangsa kita identitas kedaerahan,
identitas keagamaan semua merasa terwakili. Tidak berlaku yang namanya
mayoritas minoritas atau superior inferior karena semua diakomodasi oleh
konstitusi dengan sama. Demokrasi yang berlaku bukanlah demokrasi
mayoritarian tetapi demokrasi Pancasila (Oentoro, 2010). Adat istiadat yang
beragam pun juga dihormati dan diabadikan dalam semangat Bhineka
Tunggal Ika. Pancasila adalah suatu sistem nilai yang digali dari nilai dan
identitas bangsa yang berdasarkan atas kehidupan sosial, kultural, dan
religiusitas yang beragam dan majemuk. Nilai-nilai tersebut tidak dapat
dipisah-pisahkan. Kerukunan umat beragama, keberagaman etinistas,
budaya dan bahasa akan terjaga apabila kita dapat menjaga konsistensi dan
komitmen terhadap nilai-nilai Pancasila. Fakta kemajemukan dan
multikulturalitas dalam masyarakat harus dihormati, dilestarikan, dan
dikembangkan berdasarkan atas nilai-nilai luhur yang terkandung dalam sila
Pancasila (Shofa, 2016:39).

87
3.Ki Hajar Dewantara: Tokoh Bangsa yang Cinta Tanah Air Indonesia
Terlahir dari keluarga bangsawan, putra GPH Soerjaningrat dan cucu
Pakualam III, R. Soewardi Soerjaningrat bersama Douwes Dekker dan dr. Cipto
Mangoenkoesoemo lantas mendirikan Indische Partij pada 25 Desember 1912.
Karena penanya yang tajam dan kiprah politiknya, pria yang memutuskan
menanggalkan gelar kebangsawanannya dengan mengganti nama menjadi Ki
Hadjar Dewantara pada umur 40 tahun tersebut sangat dimusuhi pemerintah
kolonial Belanda. Bersama dua sahabatnya sesama pendiri Indische Partij, Ki
Hadjar dijatuhi hukuman tanpa proses pengadilan. Mereka harus menjalani
masa pembuangan. Atas hukuman itu, ketiganya mengajukan permohonan
untuk dibuang ke Belanda, sebuah tempat terpencil di negeri sendiri. Pada 1913,
pemerintah kolonial menyetujui hal itu. Selama lima tahun, Ki Hadjar menjalani
masa pembuangan di Negeri Kincir Angin. Kesempatan itu digunakan untuk
mendalami masalah pendidikan dan pengajaran hingga akhirnya Ki Hadjar
mendapatkan Europeesche Akte yang memungkinkannya mendirikan lembaga
pendidikan.
Itulah titik balik perjuangan Ki Hadjar. Sepulang ke tanah air, beliau
mendirikan Perguruan Taman Siswa pada 1922. Perjuangan penanya pun
bergeser dari masalah politik ke pendidikan. Tulisan-tulisan itulah yang lantas
menjadi dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia. Saat Indonesia
merdeka, ia pun dipercaya menjabat menteri pendidikan dan pengajaran. Berkat
perjuangan dan komitmennya terhadap pendidikan, Ki Hadjar mendapat gelar
doktor honoris causa dari Universitas Gajah Mada pada 1957. Dua tahun
berselang, tepatnya 28 April 1959, Ki Hadjar meninggal dunia dan dimakamkan
di Yogyakarta.

Ki Hajar Dewantara
sumber gambar:
https://id.wikipedia.org/

88
Bagi seorang petinggi negeri, kenikmatan duniawi bukanlah hal yang
sukar untuk dirasakan dan didapatkan. Pesta besar usai pelantikan sebagai
pejabat adalah hal lumrah dengan dalih sebagai bentuk syukur kepada
Tuhan atas kepercayaan yang diembankan. Namun, hal itu tak berlaku bagi
Ki Hadjar Dewantara.
Setelah ditetapkan menjadi orang pertama yang menjabat Menteri
Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia, Ki Hadjar
pulang larut malam. Tak ada pesta atau makan besar istimewa yang
menyambut kedatangannya. Bahkan sekadar lauk- pauk pun tak tersedia di
meja makan. Nyi Hadjar lantas menyuruh salah satu anak mereka untuk
membeli mie godhok di pinggir jalan. Bagi Ki Hadjar, itu bukan masalah
besar. Meski berasal dari keluarga bangsawan, kesederhanaan memang
telah menjadi bagian dari sikap hidupnya. Kesederhanaan inilah yang
membuat Ki Hadjar tak silau memandang dunia walaupun jabatan prestisius
disandangnya.
Seperti terpampang di Museum Sumpah Pemuda, Ki Hadjar pernah
berujar: “Aku hanya orang biasa yang bekerja untuk bangsa Indonesia,
dengan cara Indonesia. Namun, yang penting untuk kalian yakini, sesaat pun
aku tak pernah mengkhianati tanah air dan bangsaku, lahir maupun batin
aku tak pernah mengkorup kekayaan negara. Aku bersyukur kepada Tuhan
yang telah menyelamatkan langkah perjuanganku.” (KPK, 2015: 39).

89
TES

1. Tugas Individu
Mahasiswa menulis esai pada kertas bergaris mengenai salah satu tema:
a. Gaya hidup masyarakat yang lebih condong menyukai produk luar negeri
dibandingkan produk dalam negeri.
b. Masyarakat Indonesia yang mementingkan kepentingan pribadi
dibandingkan kepentingan bangsa.
c. Lunturnya penggunaan bahasa Indonesia, karena pengaruh globalisasi.
Tugas dikumpulkan kepada dosen pengampu 3 hari setelah tugas
diberikan.

2. Tugas Kelompok
Dosen pengampu memberikan tugas kelompok berupa pembuatan: poster,
video, puisi dengan ketentuan:
a. Anggota kelompok 4-5 mahasiswa
b. Tema “Persatuan Indonesia”
c. Poster dapat dibuat berwarna ataupun hitam putih
d. Tugas dikumpulkan paling lambat 7 hari setelah pembagian tugas di LMS
Spada

90
SUMBER BACAAN
Darmodihardjo, D. 1979. Orientasi Singkat Pancasila. Dalam Santiaji Pancasila, 9-132.
........Surabaya: Usaha Nasional.

Dewantara, AW. 2017. Alangkah Hebatnya Negara Gotong Royong: Indonesia dalam
........Kacamata Soekarno. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan. 2016. Buku Ajar Mata Kuliah
........Wajib Umum Pendidikan Pancasila. Jakarta: Kementerian Riset, Teknologi, dan
........Pendidikan Tinggi RI.

Tilaar, HAR. 2004. Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam


........Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Kaelan. 2009. Filsafat Pancasila “Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. Yogyakarta:


........Paradigma.

Kaisiepo, Manuel. 2006. Pancasila dan Keadilan Sosial: Peran Negara. Dalam Restorasi
........Pancasila, peny. Irfan Nasution dan Ronny Agustinus, 176-194. Bogor: Brighten
........Press.

Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

KPK. 2015. Orange Juice For Integrity Belajar Integritas Kepada Tokoh Bangsa. Jakarta:
........KPK.

Latif, Y 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan aktualitas Pancasila.


........Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Muzayin. 1992. Ideologi Pancasila: Bimbingan ke Arah Penghayatan dan Pengamalan


........bagi Remaja. Jakarta: Golden Terayon Press.

Oentoro, J. 2010, Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia Bisa: Membangun Bhineka
........Tunggal Ika di Bumi Nusantara. Jakarta: Kompas Gramedia.

Shofa, AMA. 2016. Memaknai Kembali Multikulturalisme Indonesia Dalam Bingkai


........Pancasila. JPK: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 1, No. 1, Juli 2016
........ISSN 2527-7057.

91
BAB v
KEDAULATAN RAKYAT
BERBASIS KESETARAAN
DALAM MUSYAWARAH
KEDAULATAN RAKYAT BERBASIS
KESETARAAN DALAM MUSYAWARAH
INTRODUKSI

Materi “Kedaulatan Rakyat Berbasis Kesetaraan dalam Musyawarah” memfokuskan


pembahasan mengenai pentingnya musyawarah dalam menyelesaikan
permasalahan bangsa. Mahasiswa dapat dikatakan menguasai materi pada bab VII
tercermin pada terpenuhinya capaian pembelajaran sebagaimana berikut ini:

1. Menelaah makna

3.
Pancasila sila ke-4. Ikut serta dalam
kegiatan implementasi

2.
Pancasila sila ke-4.
Mempraktikkan nilai
Pancasila sila ke-4.

94
Ketiga capaian pembelajaran tersebut merupakan bentuk cerminan dari
pengamalan sila keempat Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang Dipimpin
oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan” sehingga
diharapkan dengan adanya materi ini memberikan tambahan pengetahuan dan
pengalaman agar mahasiswa membiasakan bermusyawarah setiap
menyelesaikan permasalahan kehidupannya.

STIMULAN

Pada bagian ini, berisi contoh kasus yang terjadi dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia. Mahasiswa diminta untuk memahami kasus yang
dipaparkan kemudian memberikan tanggapan. Selain itu, mahasiswa juga diminta
untuk menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan dari kasus-kasus tersebut.

Kasus Pertama
Berbagai media massa sering memberitakan terjadinya tawuran, perkelahian yang
berujung pada kerugian fisik maupun material antarmahasiswa di perguruaan tinggi
yang dilatarbelakangi permasalahan yang sederhana. Memberikan gambaran
bahwa masih ada kalangan terdidik yang menggunakan cara kekerasan dalam
menyelesaikan masalah.

Pertanyaan bagi mahasiswa:


1. Bagaimana pandangan Saudara mengenai persoalan mahasiswa tersebut jika
dilihat dari aspek psikologi maupun aspek lainnya yang mendorong mahasiswa
melakukan tindakan tersebut?
2. Bagaimana cara pencegahan agar tindakan serupa tidak terjadi kembali?
3. Bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut apabila menggunakan
pendekatan nilai Pancasila sila keempat?

Kasus Kedua
Dapat diketahui bersama bahwa pelaksanaan pemilu di Indonesia sering
didapati tindak kecurangan berupa penyuapan. Tindakan penyuapan ini dilakukan
oleh beberapa oknum demokrasi dengan cara pemberian berupa uang atau
barang tertentu kepada calon pemilih. Pemberian ini dilakukan agar calon
pemimpin tersebut memenangkan kompetisi pemilihan umum.

95
Pertanyaan bagi mahasiswa:
1. Bagaimana tanggapan Saudara mengenai tindakan
oknum-oknum perusak demokrasi tersebut?
2. Bagaiman cara menciptakan suatu lingkungan agar
pemilihan umum yang dilaksanakan di daerah
Saudara tidak dicederai oleh praktek pelanggaran
pemilu seperti contoh kasus tersebut?
3. Bagaimana sikap calon pemilih yang seharusnya
dilakukan apabila terjadi kasus penyuapan seperti
pada kasus tersebut?

Kasus Ketiga
Akibat kegagalan mencapai hasil mufakat dalam suatu konggres atau
musyawarah. Akhirnya, kelompok yang menolak hasil keputusan musyawarah sering
kali membentuk forum atau organisasi baru sebagai bentuk protes terhadap hasil
keputusan yang telah disepakati. Permasalahan tersebut pernah terjadi di Indonesia
seperti pada bidang organisasi sepak bola Indonesia, partai politik, dan organisasi
masyarakat.

Pertanyaan bagi mahasiswa:


1. Bagaimana tanggapan Saudara mengenai kelompok-kelompok yang membuat
organisasi tandingan akibat tidak sepakat dengan hasil musyawarah?
2. Bagaimana caranya agar dalam musyawarah menghasilkan keputusan yang
dapat diterima oleh berbagai pihak?

BAHASAN
Metode perkuliahan adalah bagian dari strategi pembelajaran yang berfungsi
sebagai cara untuk menyajikan, menguraikan, memberi contoh, dan memberi
latihan kepada mahasiswa untuk mencapai tujuan tertentu. Penyajian materi pada
bab ini berupa:
Alat, bahan
Metode pembelajaran Alokasi waktu dan sumber belajar

ceramah, brainstorming, 100 menit alat tulis, papan tulis, LCD,


PBL (Problem Based Learning), lembar kerja individu
dan tanya jawab dan lembar kerja kelompok.

96
ASUPAN

1. Pentingnya Musyawarah Mufakat dalam Menyelesaikan Permasalahan


dalam Kehidupan Sehari-hari
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia diartikan bahwa sila-
sila yang terkandung di dalamnya menjadi sandaran/pengangan hidup seluruh
rakyat Indonesia. Menurut Kaelan (2002:248), realisasi dari internalisasi nilai-nilai
Pancasila dapat diperoleh hasil sebagai berikut: 1) pengetahuan, meliputi
aktualisasi biasa, pengetahuan ilmiah dan pengetahuan filsafat, 2) kesadaran,
selalu mengetahui pertumbuhan keadaan yang ada dalam diri sendiri, 3)
ketaatan yaitu selalu dalam keadaan sedia untuk memenuhi wajib lahir dan
batin, 4) kemampuan kehendak, yang cukup kuat sebagai pendorong untuk
melakukan perbuatan, 5) watak dan hati nurani agar orang selalu mawas diri.
Internalisasi nilai-nilai Pancasila hendaknya dimulai dengan pemahaman
yang tinggi mengenai makna dari Pancasila maupun setiap sila-sila dalam
Pancasila. Mengingat bahwa setiap sila dalam Pancasila memiliki fungsi dan
makna masing-masing, salah satunya yang memiliki makna penting sebagai
dasar menyelesaikan masalah bangsa yaitu sila ke-4 “Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Yusdianto
(2016:21) menyebutkan bahwa arti dan makna Sila ke-4 sebagai berikut.

Musyawarah
sumber gambar:
https://www.goodnews
fromindonesia.id/

53
97
Hakikat sila ini adalah Pemusyawaratan, artinya
demokrasi, bermakna membuat putusan secara
pemerintahan dari rakyat, bulat, dengan dilakukan
oleh rakyat, dan untuk secara bersama melalui
rakyat jalan kebikjasanaan

A B

C E
Melaksanakan keputusan Asas musyawarah untuk

D
berdasarkan kejujuran. mufakat yang
Keputusan secara bulat memperhatikan dan
sehingga membawa menghargai aspirasi
konsekuensi kejujuran seluruh rakyat melalui
bersama. Nilai identitas Terkandung asas forum permusyawaratan,
adalah permusyawaratan kerakyatan yang bermakna menghargai perbedaan,
rasa kecintaan terhadap mengedepankan
rakyat, memperjuangkan kepentingan rakyat, bangsa
cita-cita rakyat, dan dan negara.
memiliki jiwa kerakyatan

Tegasnya, sila keempat merupakan sistem demokrasi-perwakilan yang


dipimpin oleh orang-orang yang profesional-berintergritas melalui sistem
musyawarah (government by discussion).

Musyawarah sebaiknya juga harus dijalankan suatu pemerintahan dalam


negara dengan tujuan untuk mencegah lahirnya keputusan yang merugikan
kepentingan umum atau rakyat. Namun, yang perlu dipahami bahwa tujuan dari
musyawarah relatif akan tercapai apabila mengandung unsur-unsur sebagai
berikut:

98
a. Musyawarah adalah ciri khas pengambilan keputusan berdasarkan gagasan
kerakyatan yang berpegang pada hikmah kebijaksanaan. Maksudnya, dalam
pengambilan keputusan berasal dari himpunan gagasan rakyat yang didasari
“hikmah kebijaksanaan”. Dengan kata lain, hasil yang diputuskan
memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Pernyataan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan adalah pemimpin yang berakal sehat, rasional, cerdas,
terampil, berhati-nurani, arif, bijaksana, jujur, dan adil.
b. Masalah yang diperbincangkan adalah masalah yang menyangkut
kehidupan orang banyak dan pelu segera dicari solusinya.
c. Menggunakan pikiran sehat untuk memutuskan kesejahteraan umum.
Seluruh peserta harus memiliki sikap dan pandangan yang sama dengan
menggunakan akal sehat dan kepala dingin dalam bermusyawarah, karena
keputusan yang dibuat nantinya agar mampu memberikan kesejahteraan
umum, bukan hanya kepada kepentingan pribadi maupun golongan.
d. Menghimpun pendapat peserta musyawarah untuk menghasilkan
keputusan yang bulat. Meskipun dalam proses musyawarah para peserta
berhak menyampaikan gagasan maupun pendapatnya, hasil yang disepakati
hendaknya merupakan hasil yang bulat atau final dari berbagai pendapat
yang disampaikan para peserta musyawarah.
Semua peserta (termasuk mereka yang memberi amanat) harus menjalankan
keputusan ini dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab.

Mengingat bahwa pentingnya proses musyawarah sebagai cara mengambil


sebuah keputusan, perlu kiranya sejak dini generasi muda dikenalkan metode
diskusi dalam berpendapat sebagai mekanisme dalam musyawarah.

2.Pengambilan Keputusan Melalui Suara Terbanyak


Bagian dari Pelaksanaan Demokrasi Pancasila
Menyadari bahwa kemungkinan mufakat akan
mengalami kesukaran dalam praktik yang disebabkan
oleh heterogennya masyarakat Indonesia, maka
Undang-Undang Dasar 1945 memberikan berbagai
pilihan dalam mengambil keputusan seperti
dirumuskan dalam pasal 2 ayat 3, pasal 6a dan pasal 37.
Peraturan ini mengemukakan bahwa suatu keputusan
yang diambil dapat dilakukan dengan suara terbanyak.
Merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 tersebut,
maka saat ini Indonesia mengenal dua macam cara
mengambil keputusan dalam rangka pelaksanaan
demokrasi, yaitu dengan musyawarah untuk mufakat
dan dengan suara yang terbanyak. Penghitungan suara
sumber gambar:
https://www.liputan6.com/

99
Berbagai tindakan penghancuran terhadap nilai demokrasi yang terjadi di
Indonesia saat ini, memberikan gambaran bahwa pelaksanaan demokrasi yang
diamanatkan oleh Pancasila khususnya Sila Ke-4 maupun UUD 1945 belum
dijalankan dengan baik. Seharusnya jika Negara Indonesia menjalankan
demokrasi Pancasila maka harus mampu menjalankan sesuai dengan
pengertian dan makna demokrasi Pancasila yang diharapkan. Menurut
Yusdianto (2016:225) Demokrasi Pancasila diartikan demokrasi yang
pelaksanaannya mengutamakan asas musyawarah mufakat untuk kepentingan
bersama (seluruh rakyat). Bangsa Indonesia adalah bangsa berideologi
Pancasila, oleh karena itu setiap nilai-nilai sila harus dapat diaplikasikan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara (baik negara dan warga negara). Secara
spesifik, demokrasi pancasila dapat dimaknai:
1. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berdasarkan pada asas
kekeluargaan dan gotong-royong. Ditujukan demi kesejahteraan rakyat,
yang mengandung unsur-unsur berkesadaran religius, yang berdasarkan
kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia
dan berkesinambungan.
2. Dalam demokrasi Pancasila, sistem pengorganisasian negara dilakukan
oleh rakyat sendiri atau dengan persetujuan rakyat.
3. Dalam demokrasi Pancasila kebebasan individu tidaklah bersifat mutlak,
tetapi harus diselaraskan atau disesuaikan dengan tanggung jawab
sosial.
4. Dalam demokrasi Pancasila, keuniversalan cita-cita demokrasi dipadukan
dengan cita-cita hidup bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat
kekeluargaan sehingga tidak ada dominasi mayoritas atau minoritas.

Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang berkedaulatan rakyat yang


dijiwai dan diintegrasikan dalam sila-sila yang lainnya. Hal ini berarti bahwa
dalam menggunakan hak-hak demokrasi haruslah selalu disertai dengan rasa
tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, menurut keyakinan agama
masing-masing, haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesuai
dengan martabat dan harkat kemanusiaan, haruslah menjamin dan
memperkokoh persatuan bangsa dan harus dimanfaatkan untuk mewujudkan
keadilan sosial.

100
Pengambilan keputusan melalui suara terbanyak yang dipraktikkan dalam
pemilihan umum di Indonesia, memiliki banyak kebaikan namun juga
kelemahan. Kedaulatan rakyat terjamin dan setiap orang punya hak yang sama
dalam pemilihan umum adalah beberapa bukti bahwa pemilu memberikan
kebaikan bagi rakyat. Namun, pada sisi lainnya memiliki dampak negatif karena
perilaku beberapa oknum yang begitu tampak dalam setiap penyelenggaraan
pemilihan umum berupa politik transaksional. Jual beli suara, serangan fajar
(pemberian sejumlah uang kepada calon pemilih) merupakan contoh dari politik
transaksional yang mencederai demokrasi. Dengan dalih mendapatkan
kemenangan pada setiap pemilihan umum, maka oknum perusak tatanan
demokrasi tersebut melakukan tindakan sebagai berikut:

1. Adanya manipulasi pemilih (manipulasi


demografi, penghilangan hak pilih,
6. Coblos ganda
memecah dukungan oposisi)
7. Manipulasi dalam rekapitulasi
2. Intimidasi
8. Penggunaan pemilih semu
3. Jual beli suara
9. Merusak kertas suara
4. Penyesatan informasi
10. Pembajakan sistem teknologi
5. Manipulasi kertas suara
informasi dalam pemungutan suara
11. Pembajakan hak pilih.

3. Penyelesaian Masalah Versi Widodo Budidarmo


Widodo Budidarmo lahir di Kapas Krampung, Surabaya, pada 1 September
1927. Seandainya tak ada tawaran bergabung dengan Heiho pada 1945,
mungkin saja langkahnya akan berbeda. Pasalnya, selepas dari Christelijk
Hollandsche Inlandsche School (HIS Kristen), ia justru memilih masuk sekolah
teknik Koningen Emma School (KES).
Seorang pemimpin harus tegas kepada siapa pun. Tak peduli anak, istri,
kerabat, maupun sahabat, bila melanggar hukum haruslah diproses. Prinsip itu
dipegang teguh oleh Widodo Budidarmo yang pada 1973 menyeret anaknya ke
pengadilan. Kisahnya bermula dari insiden yang melibatkan Agus Aditono, anak
Widodo. Suatu hari, Tono panggilan akrab Agus Aditono yang saat itu masih
duduk di bangku kelas II SMP, bermain- main dengan pistol. Tak sengaja, pistol
itu meletup dan peluru menyambar sopir mereka. Sang sopir pun tewas karena
insiden tersebut.

101
Tidak pandang bulu
sumber gambar:
https://radarsolo.jawapos.com/

foto

Sebagai Kepala Daerah Kepolisian (Kadapol) Metropolitan Jaya, Widodo


bisa saja menyembunyikan kasus itu. Anak buah dan stafnya pun
menyarankan hal tersebut. Menurut mereka, ada baiknya peristiwa itu
ditutupi demi menjaga nama baik Widodo. Namun, Widodo justru
mengambil langkah sebaliknya. Ia membuka peristiwa penembakan itu
kepada publik dalam sebuah jumpa pers. Widodo lantas menyerahkan
putranya kepada Kepolisian Sektor (Polsek) Kebayoran Baru untuk diproses
secara hukum. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
Tono dijatuhi hukuman percobaan. “Bapak bilang, meskipun kamu anak
polisi, tetap harus bertanggung jawab. Akhirnya, Saya disidang di
pengadilan dan dihukum setahun masa percobaan. Sebagai seorang anak,
saat itu saya merasakan betul ketegasan Bapak,” kenang Tono. (KPK,
2015:84)

102
TES

1. Tugas Individu
Mahasiswa menulis essai pada kertas bergaris mengenai penerapan sila
keempat Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tulisan
dikumpulkan kepada dosen pengampu 3 hari setelah pemberian tugas.
Dosen pengampu memberikan tugas membuat poster dengan tema “Manusia
yang Bermartabat” kepada kelompok mahasiswa yang terdiri dari 4-5 anggota.
Tugas dikumpulkan kepada dosen pengampu maksimal 7 hari setelah
pemberian tugas.

2. Tugas Kelompok
Dosen pengampu membuat kelompok mahasiswa terdiri dari 4-5 anggota.
Kemudian meminta masing-masing kelompok membuat video pendek
mengenai mekanisme yang tepat dalam menyelenggarakan musyawarah
mufakat. Ketentuan video:

a. Durasi video selama 3-5 menit


b. Setiap kelompok mengirimkan file video ke email dosen pengampu dalam
waktu 7 hari sejak tugas diberikan
c. Setiap kelompok juga mengunggah video tersebut di akun media sosial
atau YouTube dengan menyertakan hastag #tugaspancasila
#kuliahpancasila #pancasilalahirbatin

103
SUMBER BACAAN
Asshiddiqie, J. (2009). Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta: PT Bhuana
........Ilmu Populer Kelompok Gramedia.

Budiyono, B. and Feriandi, Y.A., 2017. Menggali Nilai Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa
........Sebagai Sumber Pendidikan Karakter. In Prosiding Seminar Nasional Bimbingan
........dan Konseling (Vol. 1, No. 1, pp. 92-103).

Kaelan. (2002). Filsafat Pancasila Pandangan hidup Bangsa Indonesia. Yogyakarta:


........Paradigma

KPK. 2015. Orange Juice For Integrity Belajar Integritas Kepada Tokoh Bangsa. Jakarta:
........KPK

Ramayulis. 1994. Metodologis Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Ranadireksa, H. 2007. Visi Bernegara Arsitektur Konstitusi Demokratik, Cet. 1.


........Fokusmedia. Bandung.

Sohrah. “Konsep Syura dan Gagasan Demokrasi (Telaah Ayat-Ayat al Qur'an)”.


........dalam Jurnal Al Daulah: Jurnal Syariah dan Hukum. Vol. 4 No. 1. Juni 2015

Suwanto dan Indratno. 2009. Ayo Belajar Pendidikan Kewarganegaraan (PKn Kelas 5).
........Yogyakarta: Kanisius.

Wirosardjo, S. 1995. Dialog dengan Kekuasaan. Bandung: Mizan

Yusdiyanto. 2016. Makna Filosofis Nilai-Nilai Sila Ke-Empat Pancasila Dalam Sistem
........Demokrasi Di Indonesia. Jurnal Fiat Justisia. Faculty Of Law, Lampung University,
........Bandarlampung, Lampung, Indonesia. Volume 10 Issue 2, April-June 2016 .

104
BAB v

MENGIMPLEMENTASI
-KAN KEADILAN
SOSIAL
MENGIMPLEMENTASIKAN
KEADILAN SOSIAL
INTRODUKSI

Materi “Mengimplementasikan Keadilan Sosial” pada bab ini memusatkan


perhatian mengenai nilai-nilai keadilan sosial secara teoretis maupun praktis dalam
kehidupan di masyarakat, berbangsa dan bernegara. Mahasiswa dapat dikatakan
menguasai materi pada bab VIII tercermin pada terpenuhinya capaian pembelajaran
sebagaimana berikut ini:

1. Menguraikan konsep
keadilan sosial.
3. Memodifikasi praktik keadilan
sosial dalam kehidupan sehari-hari.

2. Mempraktikkan nilai keadilan


sosial dalam kehidupan sehari-hari.

Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat


Indonesia mengandung nilai-nilai bahwa setiap
peraturan hukum baik undang-undang maupun
putusan pengadilan mencerminkan semangat
keadilan. Keadilan yang dimaksudkan adalah
semangat keadilan sosial bukan keadilan yang
berpusat pada semangat individu. Keadilan
tersebut haruslah dapat dirasakan oleh sebagian
besar masyarakat Indonesia, bukan oleh segelintir
golongan tertentu. Nilai keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia mengandung makna
sebagai dasar sekaligus tujuan, yaitu tercapainya
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur
secara lahiriah maupun batiniah.
Beberapa kasus perlakuan yang tidak adil, baik
dalam bidang hukum, politik, ekonomi,
kebudayaan, maupun kebutuhan spiritual dan
rohani antaranak bangsa yang diwartakan oleh
media cetak maupun televisi memberikan bukti
bahwa makna nilai keadilan sosial yang tertuang

106
dalam sila kelima Pancasila belum terimplementasi keseluruhan di setiap diri anak
bangsa Indonesia. Sila ke-5 Pancasila memberikan penegasan makna adanya
persamaan manusia di dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak ada perbedaan
kedudukan ataupun strata di dalamnya, semua masyarakat mendapatkan hak-hak
yang seharusnya diperoleh dengan adil. Ketimpangan teori dan praktik nilai-nilai
keadilan tersebut, menjadi landasan penjabaran materi pada bab ini.

STIMULAN

Pada bagian ini, berisi contoh kasus yang terjadi dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia. Mahasiswa diminta untuk memahami kasus yang
dipaparkan kemudian memberikan tanggapan. Salin itu, mahasiswa juga diminta
untuk menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan dari kasus-kasus tersebut.

Kasus Pertama
Peristiwa kecelakaan tabrak-lari yang terjadi di Flyover Manahan Solo pada hari
senin (1/7/2019) sekitar pukul 02.30 WIB menjadi viral setelah video tabrak lari itu
tersebar di media sosial. Korban kecelakaan langsung dibawa ke rumah sakit untuk
secepatnya mendapatkan perawatan dan pertolongan. Namun nahas, korban tidak
dapat diselamatkan, pengendara sepeda motor tersebut meninggal dunia. Peristiwa
ini semakin runyam karena sampai saat ini pelaku penabrakan belum terkangkap
meski peristiwa tersebut terekam di CCTV jalan.

Pertanyaan untuk mahasiswa:


1. Bagaimana sikap Saudara sebagai mahasiswa menanggapi kasus tersebut?
2. Bagaimana cara yang perlu ditempuh agar keadilan dapat diperoleh bagi korban
atau keluarga korban?
3. Bagaimana cara penanggulangan yang perlu dilakukan agar kejadian yang
serupa tidak terjadi kembali?

Kasus Kedua
Adigum “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” tampaknya masih
menjadi gambaran kondisi sosial di DKI Jakarta saat ini. Di satu sisi, Jakarta
menyuguhkan kemewahan bagi sebagian orang berduit. Di sisi lainnya,
masyarakatnya masih hidup dalam kemiskinan. Banyak pengamat mengatakan
bahwa ketidakadilan sosial yang terjadi di Jakarta sudah berlangsung sangat lama.
Oleh karenanya, masyarakat Jakarta akhirnya mengganggap ketidakadilan sosial
tersebut sebagai realitas sosial yang tidak perlu dipersoalkan dan diributkan.

107
Pertanyaan untuk mahasiswa:
1. Bagaimana sikap Saudara sebagai mahasiswa dalam memandang
kasus tersebut?
2. Bagaimana upaya pemerintah untuk menegakkan keadilan bagi
masyarakat DKI Jakarta?

Kasus Ketiga
Seorang karuptor mendapat vonis hukum yang
dianggap tidak setimpal dengan perbuatannya yang
merugikan negara dengan proses persidangan yang
sangat lama. Pada kasus lain, seorang nenek mengambil
buah kakao yang terjatuh, dijatuhi hukuman yang
memberatkan sang nenek dalam proses persidangan yang
relatif cepat.
Pertanyaan untuk mahasiswa:
1. Bagaimana tanggapan Saudara sebagai mahasiswa
mengenai kasus korupsi, dan kasus pengambilan
buah kakao tersebut?
2. Bagaimana cara yang bijak dalam memandang dan
menyelesaikan kasus korupsi dan kasus pengambilan
buah kakao tersebut?

BAHASAN
Metode perkuliahan adalah bagian dari strategi pembelajaran yang berfungsi
sebagai cara untuk menyajikan, menguraikan, memberi contoh, dan memberi
latihan kepada mahasiswa untuk mencapai tujuan tertentu. Penyajian materi pada
bab ini berupa:

Alat, bahan
Metode pembelajaran Alokasi waktu dan sumber belajar

ceramah, brainstorming, 100 menit alat tulis, papan tulis,


Focus group discussion, LCD, dan lembar kerja
dan tanya jawab. kelompok.

108
ASUPAN MATERI

1. Konsep Keadilan Sosial


Secara umum, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berarti bahwa
setiap orang Indonesia mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum,
politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Keadilan sosial juga mengandung arti
tercapainya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan
masyarakat. Kehidupan manusia meliputi kehidupan jasmani dan kehidupan
rohani, maka keadilan pun meliputi keadilan di dalam pemenuhan tuntutan
hakiki kehidupan jasmani serta keadilan di dalam pemenuhan tuntutan hakiki
kehidupan rohani secara seimbang.

Prinsip keadilan adalah inti dari moral ketuhanan, landasan pokok perikema-
nusiaan, simpul persatuan, matra kedaulatan rakyat. Di satu sisi, perwujudan
keadilan sosial itu harus mencerminkan imperatif etis keempat sila lainnya.
Notonagoro menyatakan, “Sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia diliputi dan dijiwai oleh sila-sila Ketuhanan Yang Maha
Esa,kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Di
sisi lain, otentisitas pengamalan sila-sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan
keadilan sosial dalam perikehidupan kebangsaan. Kesungguhan negara dalam
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia berdasarkan
persatuan bisa dinilai dari usaha nyatanya dalam mewujudkan keadilan sosial

2. Implementasi Keadilan Sosial


Implementasi nilai-nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dapat
tercermin melalui sikap dan perbuatan sebagai berikut :

109
a. Mengembangkan perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan
suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan
Jiwa gotongroyong dan semangat kekeluargaan adalah nilai potensial
yang ada di bumi Indonesia. Semangat kegotong-royongan ada karena
terdorong oleh panggilan dan kodrat manusia Indonesia karena balutan
pengalaman sejarah yang sama. Gotong royong merupakan keseimbangan
antara kebutuhan/kepentingan individu dalam hubungannya dengan
kebutuhan masyarakat yang terjadi secara timbal balik. Mengapa demikian?
Karena hidup manusiawi (terutama manusia Indonesia) mengalami
kepenuhannya dalam relasi dengan masyarakatnya. Hal demikian tercermin
secara mengagumkan lewat mekanisme musyawarah untuk mencapai
mufakat dalam mengatasi setiap masalah supaya tidak terjadi benturan
antarindividu (Dewantara, 2017:20). Gotong royong yang “sehat” dan
didasari semangat solidaritas, saling percaya dan menghargai, bisa menjadi
wujudnya. Gotongroyong berdasarkan prinsip solidaritas dan saling percaya
ini akan menjadi sehat jika ditempatkan dalam kerangka keadaban publik
yang lebih luas. Keadaban publik ini terjadi jika ada keseimbangan relasi
antarketiga “poros” sosial, yaitu badan publik (negara), badan bisnis (pasar),
dan masyarakat warga. Gotong royong perlu dikedepankan sebagai unsur
keadaban publik (Dewantara, 2017: 61-62)

b. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama dan menjaga


keseimbangan antara hak dan kewajiban
Adil mempunyai arti meletakkan sesuatu pada tempatnya, tidak memihak ke
salah satu pihak, bersikap proporsional, dan memihak kepada yang benar.
Kata adil berarti tengah, memberikan apa saja sesuai dengan haknya.
Sedangkan keadilan secara umum yaitu suatu hal-hal yang berkenaan pada
sikap dan suatu tindakan dalam hubungan antar manusia yang berisi sebuah
tuntutan agar sesamanya bisa memperlakukan sesuai hak dan kewajibannya.
Adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya, tidak memihak ke salah
satu pihak, memberikan sesuatu sesuai dengan haknya. Macam-macam
perilaku adil, sebagai berikut: 1) Berlaku adil kepada Allah Swt. 2) Berlaku adil
kepada diri sendiri. 3) Berlaku adil kepada orang lain. 4) Berlaku adil kepada
makhluk hidup yang lain (hewan dan tumbuhan) serta lingkungan.

110
c. Menghormati hak orang lain dan suka memberikan pertolongan kepada
orang lain agar dapat berdiri sendiri
Rasa hormat berarti “menunjukkan penghargaan kita terhadap harga diri
orang lain ataupun hal lain selain diri kita” (Lickona, 2012: 70). Memenuhi dan
menghormati hak sesama manusia adalah kewajiban setiap manusia. Sedikitnya
ada lima hak asasi manusia yang telah mendapat pengakuan masyarakat dunia,
yakni: (1) kebebasan berbicara, berpendapat dan pers; (2) kebebasan beragama;
(3) kebebasan berkumpul dan berserikat; (4) hak atas perlindungan yang sama di
depan hokum; dan (5) hak atas pendidikan dan penghidupan yang layak
(Sapriya, dkk, 2017: 110). Tolong menolong adalah sikap saling membantu untuk
meringankan beban (penderitaan, kesulitan) orang lain dengan melakukan
sesuatu. Bantuan yang dimaksud dapat berbentuk bantuan tenaga, waktu,
ataupun dana. Sementara itu definisi tolong menolong menurut Dovidio dan
Penner adalah suatu tindakan yang bertujuan menghasilkan keuntungan untuk
pihak lain.

d. Sikap suka bekerja keras, tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal
yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah
Pancasila yang berisi lima nilai dasar itu ditetapkan oleh bangsa Indonesia
sebagai dasar negara dan ideologi nasional Indonesia sejak tahun 1945 yaitu
ketika ditetapkan Pembukaan UUD NRI oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia. Kedudukannya sebagai dasar negara dan ideologi nasional ini
dikuatkan kembali melalui Ketetapan MPR RI No. XVIII/ MPR/1998 yang
mencabut Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang P4 sekaligus secara
eksplisit menetapkan Pancasila sebagai dasar negara (Yudhoyono, 2006: xvi).
Pancasila sebagai dasar negara berkonotasi yuridis, sedang Pancasila
sebagai ideologi dikonotasikan sebagai program sosial politik. Pancasila
telah menjadi dasar filsafat negara baik secara yuridis dan politis (Kaelan,
2007: 12).
Pancasila pada hakikatnya adalah nilai. Salah satu nilai yang merupakan
implementasi Pancasila yaitu sikap suka bekerja keras. Kerjakeras artinya
melakukan suatu usaha atau pekerjaan secara terus menerus
tanpamengenal lelah. Kerja keras juga dapat diartikan suatu tindakan atau
perbuatan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan serius sampai
tercapai suatu tujuan.Segala sesuatu yang dilakukan tidak dengan kerja
keras, hasilnya tidak akan sempurna.Sebaliknya,seberat apa pun suatu
pekerjaan jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, niscaya hasilnya akan
dapat diraih dengan baik. Pentingnya bekerja keras dan berdoa bagi
manusia, disebabkan antara lain sebagai berikut:

111
1)Manusia sadar akan adanya kebutuhan
hidupnya yang harus dipenuhi, agar hiup
menjadi bahagia, baik di dunia maupun di 2)Manusia dituntut untuk bersikap kreatif
akhirat. dan rajin bekerja, sebab tanpa bekerja
seseorang tidak dapat memenuhi
3)Manusia menyadari bahwa tidak ada kebutuhan hidupnya.
rezeki dan kebahagiaan yang datangnya
dari langit, melainkan harus diraih dengan 4)M a n u s i a m e n y a d a r i b a h w a a d a
kerja keras, banting tulang, dan peras kekuatan lain di luar kekuatan yang
keringat. dimilikinya, sehingga hasil dari kerja
kerasnya harus dipasrahkan sepenuhnya
kepada keagungan Allah Swt. Oleh karena
5)Manusia semakin kuat keimanannya, itu, manusia wajib berdoa atas semua
karena di samping kerja kerasnya juga kerja kerasnya.
kepasrahannya kepada kehendak terbaik
Allah Swt. 6)Manusia tidak memilih salah satunya,
bekerja atau berdoa, melainkan kedua-
duanya sangat penting dilakukan. Bekerja
keras terlebih dahulu, kemudian berdoa
memohon perlindungan dan
keberhasilan.

Pada sisi yang lain, kecenderungan manusia berperilaku boros terhadap


harta sudah ada di dalam dirinya. Hal ini dapat kita perhatikan dalam hidup
keseharian. Orang yang punya harta, kecenderungan untuk menjadi pecinta
harta akan lebih besar. Makin bagus, makin mahal, makin unik, makin senang,
maka makin dicintalah hartanya. Ditambah perilaku boros adalah salah satu
tipu daya setan yang membuat harta kita tidak efektif mengangkat derajat
kita. Harta yang dimiliki justru efektif menjerumuskan, membelenggu, dan
menjebak dalam kubangan tipu daya (Zein, 2012: 1-2).

112
e. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi
kemajuan dan kesejahteraan bersama
Maksud menghargai hasil karya orang lain. Kata ”menghargai” menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti bermacam-macam,
diantaranya memberi, menentukan, menilai, membubuhi harga, menaksir
harga, memandang penting (bermanfaat, berguna), menghormati. Karya
orang lain adalah hasil perbuatan manusia berupa suatu karya baik yang
(positif) yaitu hasil dari ide, gagasan manusia seperti seni, karya budaya, cipta
lagu, mesin atau sesuatu produk yang bermanfaat atau berguna bagi orang
lain. Di era global dengan ciri dunia yang seakan tanpa batas, dunia datar
(dunia maya) secara langsung maupun tidak langsung banyak ideologi asing
yang menerpa masyarakat kita, bahkan mereka menganggap bahwa nilai-
nilai dan ideologi asing menjadi pandangan hidup dan ideologi mereka.
Demikian juga bentuk- bentuk pencitraan dan apresiasi terhadap suatu karya
dari orang lain, saat ini pun banyak dipengaruhi nilai-nilai dari asing
khususnya bangsa barat yang liberal dan sekuler, sehingga seakan nilai-nilai
dari bangsa sendiri seperti Pancasila tersisihkan.

Menghargai hasil karya orang lain artinya menghormati hasil usaha,


ciptaan, dan pemikiran orang lain. Kita wajib menghargai dan menghormati
hasil karya orang lain, karena dengan sikap seperti itu kehidupan akan
berjalan dengan tenteram dan damai karena setiap orang akan menyadari
pentingnya sikap saling menghormati dan menghargai tersebut.Peran
pemerintah dalam menghasilkan karya yang unggul dapat dilakukan dengan
cara: (1) Meningkatkan IPTEK dan fasilitas lainnya untuk menunjang bakat
prestasi dan meningkatkan intelektual anak bangsa sehinga pemikiran-
pemikiran yang dihasilkan dapat diterapkan dengan sebaik mungkin. (2)
Pemerintah harus lebih bisa bangga terhadap hasil karya anak bangsa,
sehingga anak bangsa bisa lebih baik dalam menghasilkan sebuah karya. (3)
Harus ada perencanaan ke depannya untuk pemerintah misalnya, cara untuk
mempromosikan karya anak bangsa kepada negara-negara lain.

f. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang


merata dan berkeadilan sosial
Alinea IV Pembukaan UUD 1945 tertulis, “…. susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusywaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, memiliki makna: Pertama, keadilan

113
sosial itu dirumuskan sebagai “suatu” yang sifatnya konkret, bukan hanya
abstrak-filosofis yang tidak sekadar dijadikan jargon politik tanpa makna. Kedua,
keadilan sosial itu bukan hanya sebagai subjek dasar negara yang bersifat final
dan statis, tetapi merupakan sesuatu yang harus diwujudkan secara dinamis
dalam suatu bentuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kemajuan yang merata adalah kemajuan yang selaras serasi dan seimbang
antara hak dan kewajiban pemerataan dalam bidang pendidikan. Selanjutnya
bentuk-bentuk kegiatan kerja sama dalam kehidupan antara lain:

Kerja sama dalam bidang ekonomi


1. Menurut penjelasan pasal 33 UUD 1945, koperasi merupakan bangunan
perusahaan yang sesuai dengan asas kekeluargaan. Selain koperasi,
pelaku ekonomi dalam sistem demokrasi ekonomi pancasila adalah
BUMN dan usaha swasta.

Kerja sama dalam bidang politik

2. Di bidang politik, kerja sama dijadikan landasan bagi pelaksanaan


sistem politik demokrasi berdasarkan pancasila. Sistem demokrasi
berdasarkan pancasila memang bertolak pangkal dari paham
kekeluargaan dan gotong royong. Sistem ini mengutamakan
penggunaan prinsip musyawarah dalam mengambil keputusan-
keputusan untuk kepentingan bersama.

Kerjasama dalam bidang hukum


3. Di dalam bidang hukum, kegiatan kekeluargaan dan kerja sama
nampak dalam penggunaan sistem pertahanan keamanan rakyat.
Penerapan sistem itu melibatkan kerja sama segenap komponen
kekuatan pertahanan keamanan negara, yang terdiri atas komponen
dasar (rakyat terlatih), komponen utama (TNI beserta cadangan tentara
nasional), komponen khusus (pelindung masyarakat) dan komponen
pendukung (berupa sumber daya alam, sumber daya buatan)

Kerja sama dengan negara lain


4. Politik luar negeri Indonesia telah tampak dalam berbagai wujud hubungan
internasional. Di antaranya adalah:
Penyelenggaraan Konferensi Asia - Afrika pada tahun 1955
Ikut serta mendirikan gerakan non-Blok
Ikut aktif dalam merintis dan mengembangkan ASEAN
Ikut aktif membantu penyelesaian konflik
Ikut aktif dalam G-20
Ikut aktif dalam APEC.
114
gantiii

Konfrensi Asia - Afrika


sumber gambar:
https://www.blj.co.id/

Warga Muhammadiyah dinilai tak ingin sejahtera sendiri saat


mengembangkan ekonominya. Zulkifli Hasan ketua MPR 2014-2019
menganggap keluarga besar Muhammadiyah sudah menerapkan nilai-nilai
yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, khususnya dalam pengembangan
ekonomi umat. Ia mengapresiasi warga Muhammadiyah yang
mengembangkan ekonominya bukan semata karena ingin kaya dan
sejahtera sendiri. Zulkifli melihat warga Muhammadiyah terpacu ingin maju
dan sejahtera dengan harapan bisa bersedekah, membantu sesamanya yang
belum beruntung. Artinya, ada nilai keadilan sosial, yang ingin dicapai dan
diusahakan oleh warga Muhammadiyah.Sikap warga Muhammadiyah
sangat sesuai dengan kondisi sekarang. Ia menilai sudah saatnya bangsa
Indonesia melaksanakan segala aktivitasnya untuk kepentingan bersama,
bukan hanya untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu saja. Kalau
masyarakatnya terangkat, sudah pasti individunya pun terangkat (Republika,
2018).

3.Kesederhanaan Agus Salim


Agus Salim lahir dengan nama asli Musyudul Haq di Koto Gadang, Sumatera
Barat, 8 Oktober 1884. Ia menimba ilmu di sekolah khusus anak-anak Eropa,
Europeesche Lagere School (ELS). Kiprah Agus Salim dalam perjuangan
kemerdekaan dimulai bersama Serikat Islam (SI) pada 1915. Saat menjadi
anggota Volskraad periode 1921–1924, ia dikenal sebagai sosok yang bersuara
keras. Kiprahnya lantas berlanjut di Jong Islamieten Bond (JIB). Selain bergerak di
jalur politik, Agus Salim juga seorang jurnalis. Ia sempat berkiprah bersama
Harian Neratja, Hindia Baroe, dan mendirikan surat kabar Fadjar Asia.

115
Setelah Indonesia merdeka, karena
kompetensinya yang baik, Agus Salim
dipercaya menjabat menteri dalam beberapa
kabinet. Di Kabinet Sjahrir I dan II, Agus Salim
adalah menteri muda luar negeri. Sementara
itu, di Kabinet Amir Sjarifuddin (1947) dan
Kabinet Hatta (1948–1949), ia menjabat
menteri luar negeri. Agus Salim meninggal di
Jakarta pada 4 November 1954 dan
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata.
Agus Salim
sumber gambar:
https://id.wikipedia.org/

Rumah mewah atau setidaknya salah satu yang terbagus di


lingkungannya. Begitulah bayangan awam ketika
memperkirakan kediaman seorang pesohor, apalagi pejabat
negara yang berpengaruh. Tapi, membayangkan rumah H. Agus
Salim seperti itu adalah kekeliruan besar. Walaupun sempat
menduduki jabatan menteri dalam beberapa kabinet
pemerintahan di negeri ini, Agus Salim ternyata sempat tak
memiliki rumah kediaman tetap. Semasa tinggal di Jakarta, ia
berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain. Agus
Salim sempat tinggal di Gang Tanah Tinggi, lalu ke Gang
Taopekong, ke Jatinegara, dan beberapa tempat lain.

Kesederhanaan lain ia tampilkan pada


penampilannya. Suatu ketika, di sebuah
tempat di dataran Eropa, para diplomat
berkumpul dari pelbagai negara. Agus Salim
mengenakan jas berhiaskan beberapa jahitan
di sana-sini, sangat kontras dengan diplomat
yang lain (KPK, 2015: 14)

116
4. Keadilan Sosial bagi Penyandang Disabilitas
Nilai keadilan sosial yang terkandung dalam Pancasila bermakna bahwa
seluruh rakyat, termasuk penyandang disabilitas, wajib memeroleh hak asasi
manusia di berbagai aspek kehidupan, baik di bidang pendidikan, ekonomi,
agama, sosial budaya dan politik.
Namun, diskriminasi dan perlakuan tidak adil atau membedakan terhadap
individu yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, maupun sensorik
masih banyak terjadi. Komnas Perempuan menyatakan pada 2021, 79% dari dari
2.134 kasus diskriminasi gender merupakan kekerasan seksual pada perempuan
disabilitas. Artinya, perempuan penyandang disabilitas mengalami double
discriminations: pertama karena jenis kelaminnya sebagai perempuan, dan
kedua karena kondisi disabilitasnya. Selain kekerasan seksual, penyandang
disabilitas juga kerap kesulitan menggunakan fasilitas umum termasuk akses
pendidikan yang dirancang tanpa mempertimbangkan tantangan fisik dan
mental yang dialaminya.
Pemerintah telah menetapkan UU No. 8 Tahun 2006 dengan tujuan
menciptakan kesamaan hak bagi penyandang disabilitas sebagai warga negara
Indonesia. Tetapi pada praktiknya, kesadaran masyakarat dan penerapan
kebijakan pemerintah masih belum koheren dan konsisten dalam melindungi
dan memenuhi hak-hak asasi kelompok
penyandang disabilitas. Diskriminasi disabilitas
terjadi karena mayoritas pengambil kebijakan
dan masyarakat memiliki pandangan ableisme,
yaitu stigma sebagai individu yang lebih rendah
kemampuannya sehingga dipersepsikan sebagai
ketidaksempurnaan dan bahkan penyakit atau
kutukan.

117
TES

A. Tugas Individu
1. Mahasiswa menulis esai pada kertas bergaris tentang tentang permasalah
dan solusi yang ditawarkan pada tema berikut ini:
a. Meningkatnya angka kemiskinan di Indonesia
b. Banyaknya pengangguran yang ada di Indonesia.
Tulisan dikumpulkan kepada dosen pengampu 3 hari setelah tugas diberikan.

2. Carilah contoh kasus yang Anda saksikan atau alami sendiri, tentang
diskriminasi disabilitas berupa kesulitan bersekolah atau kuliah, akses pekerjaan,
pengucilan sosial, ejekan, pelecehan, dll.

3. Berikan pendapat Anda tentang usulan dan rekomendasi untuk


meningkatkan keadilan sosial bagi penyandang disabilitas.

B. Tugas Kelompok
Mendesain ulang praktik implementasi nilai-nilai Pancasila

Ketentuan Tugas :
a.) Tugas dikerjakan oleh kelompok beranggotakan 4-5 mahasiswa
b.) Tugas dikumpulkan kepada dosen pengampu 7 hari setelah tugas diberikan.

118
SUMBER BACAAN
Dewantara, AW. 2017. Alangkah Hebatnya Negara Gotong Royong” (Indonesia
dalam Kacamata Soekarno). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Kaelan. 2007. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

KPK. 2015. Orange Juice For Integrity Belajar Integritas Kepada Tokoh Bangsa.
Jakarta: KPK.

Lickona, Thomas. 2012. Education for Character: How Our Schools Can Teach Respect
and Responsibility.

RI. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Yogyakarta: Anggota


Ikapi.

Republika. 2018. Aktivitas Ekonomi Muhammadiyah Dinilai Berkeadilan Sosial.


Jakarta: https://khasanah.republika.co.id.

Sapriya, dkk. 2017. Konsep Dasar Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung:


Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia.

Tim Kerja Sosialisasi MPR. 2012. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara.
Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.

Yudhoyono, SB. (2006). Pidato Peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2006. dalam
Nasution, Irfan dan Agustinus, Rony (ed) Restorasi Pancasila: Mendamaikan
Politik Identitas dan Modernitas. Bogor: Brighten Press.

119
BAB Ix
PANCASILA SEBAGAI
DASAR NILAI
PENGEMBANGAN
ILMU PENGETAHUAN
PANCASILA SEBAGAI DASAR NILAI
PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
INTRODUKSI

Materi “Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu Pengetahuan” pada


bab ini memfokuskan kajian mengenai Nilai-nilai Pancasila yang tidak hanya menjadi
pedoman dalam bertindak di masyarakat, namun juga harus menjadi dasar dalam
bidang keilmuan dan profesi. Mahasiswa dapat dikatakan menguasai materi pada
bab IX tercermin pada terpenuhinya capaian pembelajaran sebagaimana berikut ini:

1. Menjelaskan konsep ilmu

3.
pengetahuan dan teknologi dalam Merancang pengembangan ilmu
kehidupan pengetahuan dan teknologi yang
berlandaskan Pancasila

2.
Mengaitkan Pancasila dengan
pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi

Ilmu pengetahuan merupakan salah


satu pilar penting dalam membangun
peradaban manusia. Tidak ada kemajuan
suatu peradaban tanpa kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai
terapannya. Padahal kemampuan literasi
pelajar Indonesia (mencakup kemampuan
membaca, kemampuan penguasaan
matematika dan sains), sebagai salah satu prasyarat penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi, berada pada peringkat 70 hasil tes PISA (Program for International
Student Assesment) dari 78 negara yang dilakukan OECD (Organization for
Economic Cooperation and Development) pada 2018 (Schleicher, 2019). Melihat
realita ini, mahasiswa diharapat dapat terpacu untuk lebih giat lagi untuk membaca
sebagai syarat penguasaan ilmu serta mampu menerapkan ilmu yang telah didapat
di bangku perkuliahan dalam kehidupan sehari-hari yang berlandaskan nilai-nilai
Pancasila.

120
STIMULAN

Pada bagian ini, berisi contoh kasus yang terjadi dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia. Mahasiswa diminta untuk memahami kasus yang
dipaparkan kemudian memberikan tanggapan. Salin itu, mahasiswa juga diminta
untuk menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan dari kasus-kasus tersebut.

Kasus Pertama
Andre adalah seorang tenaga medis yang baru saja lulus. Andre kemudian
mendaftarkan diri pada sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kelapa sawit
sebagai tenaga medis yang bertugas menangani karyawan serta masyarakat sekitar
tempat bertugas. Setelah lulus tes dan diterima, pihak perusahaan akhirnya
menempatkan Andrea di daerah luar Jawa untuk menjadi tenaga medis pada salah
satu anak perusahaan. Hanya saja setelah mengetahui akan ditempatkan di luar
Jawa, Andre justru mengundurkan diri. Andre beralasan jika daerah yang akan
menjadi tempat tugasnya masih terpencil, sekaligus sangat berbeda dengan
lingkungan tempat tinggalnya di kota. Padahal perusahaan yang akan ditempati
Andre sangat membutuhkan tenaga medis, termasuk masyarakat sekitar
perusahaan tersebut. Pihak perusahaan padahal siap untuk memberikan berbagai
fasilitas mulai dari tempat tinggal, kendaraan, hingga gaji yang sesuai.

Pertanyaan untuk mahasiswa:


1. Apa pendapat Saudara terkait munculnya
persoalan tersebut?
2. Apakah keputusan Andre yang menolak
untuk ditempatkan di daerah terpencil
bertentangan dengan semangat nilai-nilai
Pancasila?
3. Apakah keputusan perusahaan yang bersedia
memberikan berbagai fasilitas dan gaji yang
sesuai pada Andre sudah tepat?
4. Apakah nilai-nilai Pancasila diperlukan bagi
setiap profesi, tidak terkecuali tenaga medis?

121
Kasus Kedua
Ekploitasi kekayaan alam yang merusak lingkungan masih kerap muncul di
masyarakat Indonesia. Seperti yang dilansir liputan6.com (2019), Walhi beranggapan
bahwa aktivitas tambang menjadi salah satu faktor kerusakan lingkungan di Jawa
Barat. Aktivitas pertambangan yang dilakukan tanpa adanya kesadaran sosial,
memang bisa menimbulkan dampak negatif. Kalangan profesionalisme selain
mencari keuntungan dari segi bisnis, seharusnya juga memperhatikan dampak
negatif dari lingkungan masyarakat tempatnya beraktivitas.

Pertanyaan untuk mahasiswa:


1. Apa pendapat Saudara terkait munculnya persoalan
tersebut?
2. Apakah aktivitas pertambangan yang dilakukan kalangan
profesional yang tidak mengindahkan dampak
lingkungan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila?
3. Bagaimana sikap yang seharusnya ditunjukkan
masyarakat, aparat penegak hukum, dan pemerintah
dalam menghadapi problematika di atas?
4. Apakah di daerahmu juga muncul kasus serupa?

Freeport
sumber gambar:
https://tajukonline.com/

122
BAHASAN
Metode perkuliahan adalah bagian dari strategi pembelajaran yang berfungsi
sebagai cara untuk menyajikan, menguraikan, memberi contoh, dan memberi
latihan kepada mahasiswa untuk mencapai tujuan tertentu. Penyajian materi pada
bab ini berupa:

Alat, bahan
Metode pembelajaran Alokasi waktu dan sumber belajar

Ceramah, brainstorming, 100 menit alat tulis, papan tulis,


focus group discussion LCD, lembar kerja individu,
dan tanya jawab dan lembar kerja kelompok.

ASUPAN

Ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai terapannya telah merambah berbagai


bidang kehidupan manusia secara ekstensif dan mempengaruhi sendi-sendi
kehidupan manusia secara intensif, termasuk mengubah pola pikir dan budaya
manusia (Iriyanto, 2005). Dampak dari perubahan yang terjadi, terutama yang negatif
seperti manipulasi kemajuan teknologi pada tumbuh dan kembang dimensi
psikologis anak yang menjadikan mereka lebih individualis di tengah kebutuhan
mengenali lingkungan sosialnya, telah menjadikan reorientasi pengembangan ilmu
pengetahuan menjadi penting. Dalam konteks reorientasi inilah Pancasila sebagai
sumber pengembangan ilmu pengetahuan diwacanakan.

Wacana Pancasila sebagai sumber pengembangan ilmu pengetahuan dan


teknologi menggambarkan Pancasila sebagai suatu sumber orientasi dan arah
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dimulai dari 1) ilmu pengetahuan
dalam perspektif historis, 2) komponen-komponen dalam sistem ilmu pengetahuan,
3) pilar-pilar penyangga eksistensi ilmu pengetahuan, 4) prinsip-prinsip berpikir
ilmiah, dan 5) Pancasila sebagai dasar bagi pilar-pilar penyangga eksistensi ilmu
pengetahuan.

123
1.Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Historis
Problematika keilmuan dalam era millenium ketiga ini tidak terlepas dari
sejarah perkembangan ilmu pada masa-masa sebelumnya. Karena itu, untuk
mendapatkan pemahaman yang komprehensif, perlu dikaji aspek kesejarahan
dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari sini problematika
keilmuan dapat diantisipasi dengan merumuskan kembali kerangka dasar nilai
bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Kerangka dasar nilai ini harus
menggambarkan suatu sistem filosofi kehidupan yang dijadikan prinsip
kehidupan masyarakat, yang sudah mengakar dan membudaya dalam
kehidupan masyarakat Indonesia, yaitu nilai-nilai Pancasila.
Ilmu pengetahuan berkembang melangkah secara bertahap menurut
dekade waktu dan menciptakan jamannya. Dimulai dari jaman Yunani Kuno,
Abad Tengah, Abad Modern, sampai Abad Kontemporer. Pada masa Yunani
Kuno (abad ke-6 SM - 6M)—saat ilmu pengetahuan lahir, kedudukan ilmu
pengetahuan identik dengan filsafat yang memiliki corak mitologis. Alam
dengan berbagai aturannya diterangkan secara theogoni bahwa ada peranan
para dewa yang merupakan unsur penentu segala sesuatu yang ada. Bagaimana
pun corak mitologis ini telah mendorong upaya manusia terus menerobos lebih
jauh dunia pergejalaan untuk mengetahui adanya sesuatu yang eka, tetap, dan
abadi, di balik yang bineka, berubah, dan sementara.

Socrates
sumber gambar:
https://www.lampost.co/

Setelah itu timbul gerakan demitologisasi yang


dipelopori filsuf pra-Sokrates dengan kemampuan
rasionalitasnya, sehingga filsafat mencapai puncak
perkembangannya, seperti yang ditunjukkan oleh
trio filsuf besar Socrates, Plato dan Aristoteles.
Filsafat yang semula bersifat mitologis berkembang
menjadi ilmu pengetahuan yang meliputi berbagai
macam bidang. Aristoteles membagi pembidangan
ilmu menjadi ilmu pengetahuan poietis (terapan),
ilmu pengetahuan praktis (etika, politik), dan ilmu
pengetahuan teoretik (ilmu alam, ilmu pasti, dan
filsafat pertama atau kemudian disebut metafisika).
Namun, perlu dicatat bahwa ilmu pengetahuan yang
dibangun filsuf Yunani bersifat spekulatif, karena
murni hasil olah pikir (dikenal dengan pola berpikir
deduktif) dan belum diuji secara empiris (
Kartanegara, 2002: 66).

124
Memasuki Abad Tengah (abad ke-5 M) pasca Aristoteles filsafat Yunani Kuno
menjadi ajaran praksis yaitu sebagaimana diajarkan oleh Stoa, Epicuri, dan
Plotinus. Semua hal tersebut bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Romawi
yang mengisyaratkan akan datangnya tahapan baru, yaitu filsafat yang harus
mengabdi kepada agama (Ancilla Theologiae). Filsuf besar yang berpengaruh
saat itu, yaitu Augustinus dan Thomas Aquinas, pemikiran mereka memberi ciri
khas pada filsafat Abad Tengah. Filsafat Yunani Kuno yang sekuler kini dicairkan
dari antinominya dengan doktrin gerejani, sehingga filsafat menjadi bercorak
teologis. Biara tidak hanya menjadi pusat kegiatan agama, tetapi juga menjadi
pusat kegiatan intelektual—walau masih berfokus pada pola berpikir deduktif
(Santoso, 2016).

Bersamaan dengan itu kehadiran para


filsuf Muslim tidak kalah penting seperti
Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd,
hingga Al-Gazali yang telah menyebarkan
filsafat Aristoteles dengan
merevitalisasinya di Bagdad (Irak) dan
membawanya ke Cordova (Spanyol) untuk
kemudian diwarisi oleh dunia Barat
melalui kaum Patristik dan kaum Skolastik.
Revitalisasi filsafat warisan Yunani di dunia
Muslim lebih jauh melahirkan ilmu
pengetahuan yang berbasis empiri.
Termotivasi oleh nilai-nilai Islam, para
ilmuwan Muslim mengenalkan sumber

pengetahuan baru, tidak saja empirik (alam dan manusia), namun juga wahyu
(teks ajaran) yang ketika digunakan sebagai sumber pengetahuan untuk
memahami Islam sebagai system of religion (hubungan manusia dengan
Tuhannya—aqidah dan ibadah) telah melahirkan, misalnya, Ilmu Kalam dan Ilmu
Fikih. Sementara itu, empirik (alam dan manusia) telah digunakan ilmuwan
Muslim waktu itu untuk memahami Islam sebagai system of life sehingga mereka
melanjutkan pengembangan ilmu-ilmu matematika dan alam, bahkan merintis
ilmu sosial, melalui penerapan metode baru, yaitu observasi dan eksperimentasi.
(Santoso, 2016).

125
Jabir ibn Hayyan Al-Khawârijmî Ibn Al-Haytsâm

Ibnu Sina Abu Al-Qâsim al-Zahrâwî Ibn Khaldun

Metode empiris, baik eksperimentasi maupun observasi, dengan demikian,


lahir dari peradaban Islam. Sebagai konsekuensi, peradaban Islam mengalami
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sehingga era itu
disebut dengan golden era. (Ahmed, 2013). Beberapa nama ilmuwan yang
namanya relatif abadi sampai sekarang karena kontribusi ilmunya adalah Jabir
ibn Hayyan (721-815 M), bapak Ilmu Kimia; Al-Khawârijmî (780-850 M), bapak
Aljabar dan logaritma diambil dari namanya Algorithm (versi bahasa Latin); Ibn
Al-Haytsâm (965-1040), matematikawan dan ahli astronomi yang lebih dikenal
dengan bapak Ilmu Optik dan perintis metode ilmiah dengan delapan langkah
yang dikenal sekarang; Ibn Sînâ (980-1037), bapak Ilmu Kedokteran dan Ilmu
Farmasi; dan Abu Al-Qâsim al-Zahrâwî (936-1013), bapak pembedahan modern;
dan Ibn Khaldun (1332-1406), bapak Filsafat Sejarah dan bapak Ilmu al-`Umrân
(Sosiologi dan Antropologi).

Prestasi ilmuwan Muslim di abad pertengahan telah menginspirasi dan


menjadi landasan bagi lahirnya Abad Modern (abad ke-18-19 M) di Barat yang
dipelopori oleh gerakan Renaissance di abad ke-15 dan dimatangkan oleh
gerakan Aufklaerung di abad ke-18, dan melalui langkah-langkah
revolusionernya filsafat dan ilmu pengetahuan memasuki tahap baru atau
modern. Kepeloporan revolusioner yang telah dilakukan oleh anak-anak
Renaissance dan Aufklaerung seperti Copernicus, Galileo Galilei, Kepler,
Descartes dan Immanuel Kant, telah memberikan implikasi yang amat luas dan
mendalam (Santoso, 2016).

126
Ilmu pengetahuan berkembang melangkah secara bertahap menurut
dekade waktu dan menciptakan zamannya. Dimulai dari zaman Yunani Kuno,
Abad Tengah, Abad Modern, sampai Abad Kontemporer. Pada masa Yunani
Kuno (abad ke-6 SM - 6M)—saat ilmu pengetahuan lahir, kedudukan ilmu
pengetahuan identik dengan filsafat yang memiliki corak mitologis. Alam
dengan berbagai aturannya diterangkan secara theogoni bahwa ada peranan
para dewa yang merupakan unsur penentu segala sesuatu yang ada. Bagaimana
pun corak mitologis ini telah mendorong upaya manusia terus menerobos lebih
jauh dunia pergejalaan untuk mengetahui adanya sesuatu yang eka, tetap, dan
abadi, di balik yang bineka, berubah, dan sementara (Yacob, 1993).

2.Beberapa Aspek Penting dalam Ilmu Pengetahuan


Melalui kajian sejarah kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan di atas,
dapat dikonstatasikan bahwa ilmu pengetahuan itu mengandung dua aspek
yaitu aspek fenomenal dan aspek struktural. Aspek fenomenal menunjukkan
bahwa ilmu pengetahuan mewujud dalam bentuk masyarakat, proses, dan
produk. Aspek struktural menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan di dalamnya
terdapat unsur-unsur sebagai berikut:

Ada alasan dan motivasi


a. Sasaran yang dijadikan objek
untuk diketahui (Gegenstand). c. mengapa gegenstand itu terus-
menerus dipertanyakan.

Objek sasaran ini terus-menerus


Jawaban-jawaban yang
dipertanyakan dengan suatu
b. cara (metode) tertentu tanpa
mengenal titik henti.
d. diperoleh kemudian disusun
dalam suatu kesatuan sistem

(Wibisono, 1985).

Socrates
sumber gambar:
https://www.pexels.com/

127
Ciri khas yang terkandung dalam ilmu pengetahuan adalah rasional,
antroposentris, dan cenderung sekuler, dengan suatu etos kebebasan (akademis
dan mimbar akademis). Konsekuensi yang timbul adalah dampak positif dan
negatif. Positif dalam arti kemajuan ilmu pengetahuan telah mendorong
kehidupan manusia ke suatu kemajuan (progress, improvement) dengan
teknologi yang dikembangkan dan telah menghasilkan kemudahan-
kemudahan yang semakin canggih bagi upaya manusia untuk meningkatkan
kemakmuran hidupnya secara fisik-material. Negatif dalam arti ilmu
pengetahuan telah mendorong berkembangnya arogansi ilmiah dengan
menjauhi nilai-nilai agama, etika, yang akibatnya dapat menghancurkan.

3.Pilar-pilar Penyangga bagi Eksistensi Ilmu Pengetahuan


Kekuatan bangunan ilmu terletak pada sejumlah pilar-pilarnya yaitu pilar
ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga pilar tersebut dinamakan pilar-pilar
filosofis keilmuan. Ketiganya berfungsi sebagai penyangga, penguat, dan
bersifat integratif serta prerequisite (saling mempersyaratkan). Pengembangan
ilmu selalu dihadapkan pada persoalan ontologi, epistemologi dan aksiologi.

PILAR
a. Pilar ontologi (ontology). Pilar ini selalu menyangkut problematika tentang
keberadaan (eksistensi) yang terkait dengan aspek kuantitas dan kualitas.
Pengalaman ontologis dapat memberikan landasan bagi penyusunan
asumsi, dasar-dasar teoretis, dan membantu terciptanya komunikasi
interdisipliner dan multidisipliner. Pengalaman ontologis juga membantu
pemetaan masalah, kenyataan, batas-batas ilmu dan kemungkinan
kombinasi antar ilmu. Misal, masalah kemakmuran sebagai tujuan
kemerdekaan bangsa Indonesia berbasis Pancasila, tidak dapat hanya
ditangani oleh ilmu ekonomi saja. Ontologi menyadarkan bahwa ada
kenyataan lain yang tidak mampu dijangkau oleh ilmu ekonomi, maka perlu
bantuan ilmu lain seperti ilmu politik, sosiologi, dan ilmu budaya.

128
b. Pilar epistemologi (epistemology). Pilar ini selalu menyangkut
problematika tentang sumber pengetahuan, sumber kebenaran, cara
memperoleh kebenaran, kriteria kebenaran, proses, sarana, dasar-dasar
kebenaran, sistem, prosedur, hingga strategi. Pengalaman epistemologis
dapat memberikan sumbangan bagi kita berupa: (a) sarana legitimasi bagi
ilmu atau menentukan keabsahan disiplin ilmu tertentu; (b) memberi
kerangka acuan metodologis pengembangan ilmu; (c) mengembangkan
ketrampilan proses; dan (d) mengembangkan daya kreatif dan inovatif.

c. Pilar aksiologi (axiology). Pilar ini selalu berkaitan dengan problematika


pertimbangan nilai (etis, moral, religius) dalam setiap penemuan,
pengembangan atau penerapan ilmu. Pengalaman aksiologis dapat
memberikan dasar dan arah pengembangan ilmu, serta mengembangkan
etos keilmuan seorang profesional dan ilmuwan (Iriyanto Widisuseno,
2009).

4.Prinsip-prinsip Berpikir Ilmiah

a.Objektif
Cara memandang masalah apa adanya,
terlepas dari faktor-faktor subjektif
d.Metodelogis
(misal: perasaan, keinginan, emosi, sistem
keyakinan, otoritas) Selalu menggunakan cara dan metode
keilmuan yang khas dalam setiap berfikir
b.Rasional
dan bertindak (misal: induktif, dekutif,
Menggunakan akal sehat yang dapat sintesis, hermeneutik, intuitif)
dipahami dan diterima oleh orang lain.
Mencoba melepaskan unsur perasaan, e.Logis
emosi, sistem keyakinan dan otoritas Setiap cara berpikir dan bertindak
menggunakan tahapan langkah prioritas
c.Logis
yang jelas dan saling terkait satu sama
Berpikir dengan menggunakan azas lain, serta memiliki target dan arah tujuan
logika/runtut/ konsisten, implikatif. Tidak yang jelas.
mengandung unsur pemikiran yang
kontradiktif. Setiap pemikiran logis selalu
rasional, begitu sebaliknya yang rasional
pasti logis

129
5.Nilai-nilai Dasar Pancasila bagi Strategi Pengembangan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi
Bangsa Indonesia meletakkan Pancasila sebagai nilai dasar pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengertian nilai dasar menggambarkan
Pancasila sebagai suatu sumber orientasi dan arah pengembangan ilmu. Dalam
konteks sebagai nilai dasar, Pancasila mengandung dimensi ontologis,
epistemologis, dan aksiologis. Dimensi ontologis berarti ilmu pengetahuan
sebagai upaya manusia untuk mencari kebenaran yang tidak mengenal titik
henti atau “an unfinished journey”. Ilmu tampil dalam fenomenanya sebagai
masyarakat, proses dan produk. Dimensi epistemologis, nilai-nilai Pancasila
dijadikan pisau analisis/metode berpikir dan tolok ukur kebenaran. Dimensi
aksiologis, mengandung nilai-nilai imperatif dalam mengembangkan ilmu
adalah sila-sila Pancasila sebagai satu keutuhan. Untuk itu ilmuwan dituntut
memahami Pancasila secara utuh, mendasar, dan kritis, maka diperlukan suatu
situasi kondusif baik struktural maupun kultural.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus senantiasa
berorientasi pada nilai-nilai Pancasila. Peran nilai-nilai dalam setiap sila dalam
Pancasila adalah sebagai berikut:

a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa: melengkapi ilmu pengetahuan menciptakan


perimbangan antara yang rasional dan irasional, antara rasa dan akal. Sila ini
menempatkan manusia dalam alam sebagai bagiannya dan bukan pusatnya.

b. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: memberi arah pada dan
mengendalikan perkembangan ilmu pengetahuan. Ilmu dikembalikan pada
fungsinya semula, yaitu untuk kemanusiaan, tidak hanya untuk kelompok,
lapisan tertentu.

c. Sila Persatuan Indonesia: mengkomplementasikan universalisme dalam sila-


sila yang lain, sehingga suprasistem tidak mengabaikan sistem dan
subsistem. Solidaritas dalam subsistem sangat penting untuk kelangsungan
keseluruhan individualitas, tetapi tidak mengganggu integrasi.

d. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam


Permusyawaratan/Perwakilan: mengimbangi otodinamika ilmu
pengetahuan dan teknologi berevolusi sendiri dengan leluasa.
Eksperimentasi penerapan dan penyebaran ilmu pengetahuan harus
demokratis dapat dimusyawarahkan secara perwakilan, sejak dari kebijakan,
penelitian sampai penerapan massal.

130
e. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menekankan ketiga
keadilan Aristoteles: keadilan distributif, keadilan kontributif, dan keadilan
komutatif. Keadilan sosial juga menjaga keseimbangan antara
kepentingan individu dan masyarakat, karena kepentingan individu tidak
boleh terinjak oleh kepentingan semu. Individualitas merupakan landasan
yang memungkinkan timbulnya kreativitas dan inovasi.

5.Implementasi Hidup Ber-Pancasila Sesuai dengan


Bidang Ilmu
Pusat Kurikulum Depdiknas (2010) menyatakan bahwa
dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan
pendidikan karakter pada satuan pendidikan telah
teridentifikasi delapan belas nilai yang bersumber dari
agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan
nasional. Pengembangan iptek harus senantiasa
didasarkan atas sikap human-religius. Implementasi
nilai-nilai Pancasila dalam 12 bidang pembagian
rumpun ilmu oleh DIKTI (simlitabmas) adalah sebagai
berikut:

a. Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. MIPA merupakan ilmu dasar yang
penting untuk dikuasai sebagai pijakan untuk pengembangan ilmu dasar
maupu ilmu terapan. Tentu saja nilai-nilai Pancasila harus menjadi dasar
dalam pengembangan ilmu MIPA. Termasuk para kalangan profesional yang
bergerak dalam bidang MIPA juga harus mengimplementasikan nilai-nilai
Pancasila dalam berbagai aktivitas di dunia kerja. Misalnya saja berdoa
sebelum dan sesudah melakukan pekerjaan, sebagai bentuk penerapan Sila
Pertama. Selain itu mengeksplorasi kondisi alam dan lingkungan sebagai
sarana menyadarkan umat manusia bahwa kekuasaan Tuhan YME di atas
segala-galanya.

b. Ilmu tanaman. Bidang kajian ini di antaranya meliputi pengembangan


varietas tanaman lokal, kepedulian lingkungan, pemenuhan ketahanan
pangan, keberpihakan pada petani, hingga pemanfaatan teknologi
pertanian. Kalangan profesional di bidang ini salah satunya bisa ikut
berperan dalam menciptakan keadilan sosial bagi seluruh Indonesia sebagai
pengamalan sila kelima Pancasila. Dengan mengembangkan keilmuan di
bidang pangan yang berkualitas unggul, maka akan berdampak positif pada
ketahanan NKRI.

131
c. Ilmu hewani. Bidang kajian ini di antaranya meliputi pengembangan
peternakan modern yang berwawasan lingkungan, pengembangan varietas
ternak, menjaga hewan-hewan langka yang dilindungi, hingga pemanfaatan
biota laut berwawasan lingkungan. Sama seperti bidang ilmu tanaman,
kalangan profesional di bidang ini bisa ikut berperan dalam menciptakan
dalam menciptakan keadilan sosial bagi seluruh Indonesia sebagai
pengamalan sila kelima Pancasila. Dengan mengembangkan keilmuan di
bidang hewani, setidaknya bisa memberikan kontribusi positif bagi
ketahanan masyarakat.

d. Ilmu kedokteran. Bidang kajian ini di antaranya meliputi mengembangkan


jiwa helper yang lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan
membantu memudahkan akses terhadap layanan kesehatan. Kalangan
profesional ini bisa ikut berperan dalam dalam menciptakan kemanusiaan
yang adil dan beradab sebagai pengamalan sila kedua Pancasila. Dengan
bekerja di daerah-daerah terpencil, setidaknya akan memberikan kontribusi
positif pada masyarakat yang membutuhkan bantuan medis. Menolong
orang tanpa memandang suku, ras, dan agama menjadi perwujudan
pengamalan sila kedua Pancasila.

e. Ilmu kesehatan. Bidang kajian ini di antaranya meliputi memberikan layanan


kesehatan mental, mencegah munculnya kasus-kasus gangguan mental,
hingga memberikan layanan perawatan kesehatan yang dilandasi kasih
sayang. Serupa dengan bidang ilmu kedokteran, ilmu kesehatan juga bisa
ikut berperan dalam dalam pengamalan nilai-nilai kemanusiaan yang adil
dan beradab sebagai perwujduan sila kedua Pancasila

f. Ilmu Teknik. Bidang kajian ini di antaranya meliputi pengembangan


teknologi yang menyejahterakan masyarakat, kepedulian lingkungan,
sehingga tidak sekadar eksploitasi kekayaan alam untuk kepentingan
manusia semata. Profesionalisme di bidang ini harus memahami nilai-nilai
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Berbagai aktivitas yang menyangkut
eksploitasi kekayaan alam harus benar-benar dipertimbangkan dengan
melibatkan saran dari berbagai pihak, sehingga penerapan sila keempat
Pancasila harus dilaksanakan.

132
g. Ilmu Bahasa. Bidang kajian ini di antaranya meliputi berkontribusi pada
pengembangan bahasa nasional agar menjadi tuan rumah di negeri sendiri,
ikut menjaga kekayaan bahasa daerah, hingga pemanfaatan bahasa yang
santun sebagai alat komunikasi. Kalangan profesional di bidang ini sangat
memiliki peran dalam menciptakan persatuan Indonesia. Pengembangan
bahasa Indonesia hingga bisa diterima dengan mudah oleh berbagai pihak
di daerah-daerah, setidak menjadi salah satu bentuk dari pengamalan sila
ketiga Pancasila.

h. Ilmu ekonomi. Bidang kajian ini di antaranya meliputi pengembangan


ekonomi kerakyatan, keperpihakan pada usaha kecil dan menengah, hingga
kemudahan akses permodalan bagi masyarakat kecil. Kalangan
profesionalisme ini memiliki peran sangat besar dalam menciptakan
keadlian sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kesenjangan sosial yang
Rp terjadi di masyarakat harus bisa diminimalisasi dengan berbagai terobosan-
terobosan keilmuan di bidang ekonomi. Namun jangan lupakan juga nilai-
nilai Ketuhanan dalam setiap aktivitas perekonomian, sehingga memiliki
nilai ibadah.

Ilmu sosial humaniora. Bidang kajian ini di antaranya meliputi politik yang
beradab, keadilan hukum, hingga pengembangan budaya yang
meneguhkan budaya lokal/nasional. Kalangan profesionalisme ini memiliki
peran dalam meletakan konsep-konsep nilai kemanusiaan, persatuan, dan
kerakyatan sehingga mudah dipahami oleh masyarakat Indonesia. Tentu
saja dalam beraktivitas di dunia kerja, kalangan profesionalisme harus bisa
menjadi contoh teladan bagi masyarakat dalam menerapkan nilai-nilai
sosial.

j. Filsafat dan agama. Bidang kajian ini di antaranya meliputi penguatan nilai-
nilai moral dan etika dalam kehidupan masyarakat. Kalangan profesional ini
memiliki peran yang cukup sentral dalam meletakan nilai-nilai Ketuhanan di
masyarakat. Menciptakan konsep-konsep penyelasaran antara agama
dengan filsafat yang mudah dipahami, menjadi salah satu contoh
pengalaman nilai-nilai Pancasila.

133
k. Ilmu seni, desain, dan media. Bidang kajian ini di antaranya meliputi
menghasilkan seni yang dapat menjadi sarana utnuk memperhalus budi,
menghasilkan desain yang mengangkat kekayaan budaya lokal dan
berwawasan lingkungan, memanfaatkan media sebagai sarana untuk
berkomunikasi yang santun dan mempersatukan segenap lapisan
masyarakat. Kalangan profesional ini juga harus mengamalkan nilai-nilai
Pancasila dalam aktivitas di dunia kerja dan kehidupan sehari-hari. Salah
satunya dengan menciptakan karya seni, desain atau media yang selaras
dengan nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan
keadilan.
l. Ilmu Pendidikan. Bidang kajian ini di antaranya meliputi berkontribusi pada
meratanya akses pendidikan bagi segenap lapisan masyarakat, pendidikan
yang mengedepankan akhlak peserta didik, mengembangkan pendidikan
yang mampu membangun kompetensi peserta didik/tidak sekadar transfer
ilmu pengetahuan, meningkatkan minat baca/mengembangkan budaya
membaca/literasi di masyarakat, hingga pemanfaatan teknologi dalam
pembelajaran.

Perpustakaan
sumber gambar:
Pexel.com

134
TES

1. Tugas Individu
Mahasiswa menulis esai pada kertas bergaris mengenai permasalahan terkait
Pancasila dalam bidang keilmuan yang diambil saat ini. Tulisan dikumpulkan
kepada dosen pengampu 3 hari setelah tugas diberikan.

2. Tugas Kelompok
Mahasiswa membuat kelompok terdiri dari 4-5 anggota, kemudian membuat
video dengan ketentuan:

a) Durasi video selama 3-5 menit berkenaan penerapan nilai Pancasila pada
bidang ilmu dan profesi dalam kehidupan sehari-hari.
b) Setiap kelompok mengirimkan file video ke email dosen pengampu dalam
waktu 7 hari sejak tugas diberikan.
c) Setiap kelompok juga mengunggah video tersebut di akun media sosial
atau YouTube dengan menyertakan hastag #tugaspancasila
#kuliahpancasila #pancasilalahirbatin

135
SUMBER BACAAN
Iriyanto, Ws. 2009. Bahan Kuliah Filsafat Ilmu Pascasarjana. Semarang.

Keraf, Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas.

Oesman, O dan Alfian (Ed.). 1990. Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7 Pusat.

Mulyadhi, K. 2002. Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam. Bandung, Mizan.

Santoso, F. 2016. “Rekons-truksi Epistemologi Keilmuan Islam: Tinjauan Sumber,


Tujuan, dan Metode Keilmuan,” dalam Prosiding Seminar Internasional
Reconstruction of Islamic Epistemology, diselenggarakan oleh Fakultas Agama
Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) bekerja sama dengan
International Institute of Islamic Thought (IIIT) Kantor East and Southeast Asia, 24
Mei, di UMS.

136

Anda mungkin juga menyukai