Anda di halaman 1dari 8

RESENSI BUKU POLITIK KAUM SANTRI DAN ABANGAN

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Ujian Akhir Semester


Pengantar Ilmu Politik
Dosen Pengampu : Aang Rahmatullah, S.IP., MM., M.Si

Disusun Oleh:

Ade Julia Ningsih Pua Dawe 21010221


Cahya Nur Aulia 21010197
Fitria Dewi Kusumah 21010215
Gibran Tanjung 21010204
Hafiza Tul’ain 21010212
Tazkia Aulia 21010214

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA


STISIP SYAMSUL’ULUM SUKABUMI
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
Judul Buku : POLITIK KAUM SANTRI DAN ABANGAN

Pengarang : Dhurorudin Mashad

Penerbit : Pustaka Al-Kautsar

Tanggal Penerbit : Pertama, Juni 2021

ISBN : 978-979-592-937-6

Tebal Haaman : 255 Halaman

Sinopsis :

Islam memainkan peran penting dalam noktah maupun arus sejarah bangsa. Perannya
telah membentuk raut prototype eksistensi keIndonesiaan, jauh sebelum republik ini
diproklamirkan. Peran yang dimainkan itu tidak terkecuali dalam bidang politik, mengalami
pasang surut yang mengharu biru. Persaingan politik kalangan islam dengan kalangan non
islam tak terelakan. Salah satu episode yang sangat penting adalah perseteruan antara
kelompok islam (dalam hal ini NU) dan komunis (yang diwakili PKI).

Perseteruan itu terasakan hingga level akar rumput dan relung-relung budaya, yang
kemudian berujung pada pembelahan anak bangsa dan sejatinya sesama kalangan muslim itu
sendiri. Buku ini sangat baik memotret episode-episode awal berdirinya publik yang juga
momen krusial bagi bangsa kita, memahami dan melihat situasi kehidupan politik bangsa saat
ini maupun dimasa masa yang akan datang. Buku Politik ini memunculkan konsep kaum
Santri- Priyayi- Abangan.
BAGIAN 1

Pada bagian ini, penulis menelaah ulang Realitas Sejarah di Nusantara.

Dimana hadirnya konsep Santri-Priyayi-Abangan yang memang memberikan kontribusi besar


dalam konstelasi keilmuan di Indonesia. Santri adalah kelompok masyarakat yang
dipengaruhi secara dominan oleh nilai nilai Islam. Priyayi merupakan kelompok kecil elit
yang dipengaruhi Hinduisme dari tradisi Kraton. Sedangkan Abangan adalah rakyat kecil
yang mayoritas jumlahnya yang dipengaruhi nilai nilai animisme, kepercayaan lokal.

Nusantara pra Islam; Hindu-Budha ataukah agama lokal ?

Sejarahwan Nu,Agus Sanyoto menyatakan bahwa Nusantara Pra Islam Sebagian


penduduknya adalah penganut agama lokal. Satu lini dengan pendapat Sanyoto, Filolog
Prancis L.C. Damais di tahu 1960-an bahkan sudah lebih dahulu menggugat berbagai tesis
sejarah Nusantara yang disebutnya sebagai karya sejarahwan kolonial.

Disini disebutkan bahwa sansekerta adalah bahasa internasional untuk menyebutkan


berbagai hal yang luhur-agung-tinggi-suci-mulia, sebagai mana tertera dalam kitab-kitab
sanskerta kuno yang tidak semuanya merupakan ajaran hindu ataupun budha. Bahasa
peradaban sanskerta atau sanskertam banyak dipakai di jawa dan bali sejak ribuan tahun,
sehingga literasi kata Bahasa (bahasa) menunjukkan bahwa sanskerta merupakan logat bicara
asli leluhur bangsa Indonesia. Bahasa sanskerta ini pula yang diserab dan dipergunakan di
nusantara, bahkan sampai termasuk muslim dikawasan ini, seperti dalam gelar-gelar
kesultanan islam di era berikut (pada era itu telah menguasai nusantara) seperti
Hamengkubuwono, Pakubuwono, Mangkunegoro, Pakualam.

Raja Majapahit (bahkan juga singasari yang telah lebih dahulu ada) ternyata adalah
penganut buddisme dan bukan hindu, sebagai mana selama ini biasa ditulis dalam buku-buku
sejarah mainstream. Namun demikian, kepercayaan terhadap budha di lingkungan elit
majapahit ini pun ternyata masih terisi secara kental oleh unsur agama lokal, animisme, yang
kala itu masih dominan.
Karakter keagamaan penguasa majapahit ternyata bersifat “fanatik-ekslusif” sehingga
mereka tidak suka jika ada anggota keluarga raja majapahit pindah agama. Jika lapisan elit
majapahit sebagian besar menganut ajaran hindu dan budha, maka di level masyarakat
ternyata mayoritas penganut animisme (agama lokal). Realita bahwa agama dijawa ternyata
domin an animisme (agama lokal) ini secara tak langsung juga bisa di dapat dari interprestasi
atas karya Geertz berupa konsep abangan, Priyayi, dan Santri. Karya Geertz memang
mendiskusikan tentang jawa era islam, bahkan secara khusus mencabar pembelahan kultural
muslim jawa yang justru mayoritas statusnya. Namun, naskah itu justru memberi sebuah
reksfleksi bahwa sebelum masa islam ternyata jawa dominan dengan agama lokal, bukan
hindu budha.

Dua kelompok ini, abangan dan santri tradisionalis, inilah yang justru mayoritas
jumlah nya, sesuatu yang berbeda dengan Priyayi, kaum elit yang lebih sedikit, yang oleh
Geertz disebut masih menyisakan kesan kecenderungan bernuansa hinduistis yang bermuara
para tradisi keraton. Dari diskurus studi tampak bahwa agama yang dominan di nusantara pra
islam ternyata agama lokal, bukan hindu budha, bahkan sampai di penghujung era mojopahit
yang sering kali disebut sebagai kerajaan bercorak hindu terakhir di nusantara.

BAGIAN II

Di bagian ini berisi, Antara Paham Keagaamaan Dan Identitas Kultural.

Disini, dijelaskan bahwa golongan Santri secara Sosiologis dapat dikatakan kaum
penguasa pasar yang dapat dikategorikan taat dalam menjalankan ajaran islam. Adapun
golongan abangan struktur kehidupan sosial, orientasi, sekaligus prilaku yang memancarkan
hubungan keagamaan dari kelompok sosial yang memantulkan suasana dan tahta kehidupan
pedesaan, dengan pola prilaku keagamaan yang berkecrendrungan animistis. Sementara itu
golongan priyayi mendapat kesan cenderung bernuansa Hinduistis.

-Paham Keagamaan Sebagai Basis Lahirnya


Identitas dan Kepentingan

Dalam tataran ini seperangkat nilai (agama dan atau ideologi) milik pemegang
otoritas akan diupayakan menjadi tolak ukur dalam menentukan kelayakan dan atau
kebaikan dari kebijakan tertentu. Pada titik inilah acapkali terejadi pencabran atau bahkan
penolakan, dan sangat mungkin menimbukan komplik. Akibatnya, Ketika kelompok tertentu
berusaha mewujudkan kelebihan relatif terhadap kelompok lain, maka yang lahir bisa berupa
komplik dalam perspektik inilah kaum santri akhirnya juga berusaha memperjuangkan nilai-
nilai yang diyakini untuk bertarung melawan kaum abangan dalam proses membangun
kebijakan (policy), apalagi kebijakan dalam membangun ideologi negara indonesia.

Tak ada yang paling ditentang kaum santri kecuali anggapan bahwa islam hanyalah
persoalan individu dengan tuhan, atau hanya doktrin meta fisik, atau bahkan kelompk upacara
(cult association) saja. Islam adalah jalan hidup utuh (kaffah). Tak ada aspek hidup yang
otonom dari islam, dan semua yang otonom dari islam berarti diluar islam. Bagi kaum santri
islam bukan sekedar ritualisme, melainkan penerimaan tuhan sebagai sasaran loyalitas
tertinggi dan pusat ketundukan.

Dalam proses menjalankan tugas dakwah diantara pendakwah islam (baca:santri) acap
kali mengalami keterbelahan dalam theoretical expression atau paham/tafsir keagamaan.
Realitas semacam ini hakekatnya merupakan fenomena global, terjadi dimanapun didunia.
Dalam komtek Indonesia misalnya, hal itu termanisfestasi dalam dua kubu, yakni: (1) santri
modernis-reformis, yang eksistensinya ingin melakukan purifikasi islam, atau mengarah pada
universalisme islam.adapun (2) santri tradisionalis, yang dalam pehamahan islam nya pada
tataran tertentu mengarah pada adaptasi kultural dengan lokalitas .

Bagi kaum tradisioanalis, teks agama tidak mudah dimengerti, sehinga untuk
memahaminya diperlukan berbagai persyaratan khusus seperti ilmu Bahasa, sejarah dan
lokal. Pembelahan antara santri tradisionalis dan modernis di indonesia misalnya
termanisfestasi dalam banyak organisasi, namun secara makau tetap dapat diklasifikasikan
dalam salah satu dari keduannya; paham modernis atau paham tradisonalis. Jejak historis
realsi santri modernis dan tradisionalis sebagaimana telah digambarkan sebelumnya
keterbelahan muslim di Indonesia faktanya bukn saja termanifestasi dalam kultur santri dan
abangan bahkan masing-masing kultur pun masih mengalami keterbelahan internal. Khusus
dilingkungan kultur santri di dalam nya terdapat keterbelahan antara santri sub kultur
tradisionalis dan santri sub kulutur modernis namun perlu digaris bawahi bahwa kedua sub
kultur santri (tradisionalis dan modernis ) tetap memiliki kesamaan tujuan yakni ontentisitas
islam.

Relasi santri dan abangan sukularis ini rangkaian pengkhianatan. BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) berhasil membangun sebuah Gentlemen’s
Agrrement berupa piagam Jakarta yang dijadikan sebagi dasar negara dan kontitusi. Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan setelah menyelesaikan tugas akhirnya di bubarkan.
Realitas itu memperlihatkan bahwa meskipun kultur santri dan abangan memiliki perbedaan
faktanya mereka bisa berpadu mempersiapkan dan atau menunjukkan kemerdekaan
Indonesia, meskipun santri tradisionalis dan santri modernis acak kali mengalami fragmentasi
namun sekali lagi penting untuk doigaris bawahi bahwa perselisihan secara umum hanya
bersarang pada level kecenderungan dalam pemaknaan atau sesekali bergeser ke level
kepentingan soal Tarik menarik posisi oleh karena itu tidak sulit untuk memahami bahwa
Ketika santri di hadapkan pada realitis politik dimana perselihan sudah mengarah pada
persoalan nilai, sehingga memperhadapkan santri Veast Abangan.

Pada saat merancang kontitusi negara misalnya tentu muncul pertanyaan mendasar
tentang landasan filosofis yang akan digunakan Indonesia merdeka. Hal ini menjadi maha
penting sebab landasan filososfis (Weltanschaung atau philopshisce Grondslag) bagi negara
adalah pondasi pundamental, sebuah filsafat, alasan mendasar, sebuah spirit yang kuat dan
hasrat yang mendalam yang akan mendasari struktur negara merdeka yang hendak di bangun.
Para santri mempunyai usulan namun usulan itu di tentang kaum nasionalis secular alias
Abangan meskipun Sebagian besar mereka secara formal adalah kaum muslim juga, bahkan
sebagian juga rajn melakukan ritual islam doktrin islam, terutama sekali penafsiran moral
sosial inilah yang membedakan kaum santri (Nasionalis islam dengan kaum Abangan)
(Nasionalis non agama).

Terjadi tragedi di Madiun 1948 : imanivestasi kerusuhan historis-ideologis

Diawal kemerdekaan Indonesia ekstitensi kaum komunis telah menjadi trauma


tersendiri terutama bagi kaum santri. Sebab kekejaman kaum komunis telah dirasakan sejak
awal kemerdekaan terutama di wilayah Jawa Timur. Ketika pemerintah mengeluarkan
maklumat X pada November 1945 tentang seruan mendirikan partai politik, PKI langsung
mendeklerasikan diri sebagai partai politik terbuka. Sebagai partai ber ideologi proletariat
propaganda kaum komunis diarahkan ke wilayah minus secara ekonomi ditambah wilayah
yang keislamannya masih terbelakang. Dengan posisi seperti itu PKI mulai berani melakukan
provokasi. Di berbagai wilayah Basis untuk membuat kecemasan dan disintegrasi sosial,
mereka melakukan terror memunculkan berbagai perampokan. Secara pembukaan seperti
kriminal biasa, tetapi setelah diselidiki akhirnya kelihatan bahwa para gromocorah itu adalah
anggota (atau minimal mendapat restu pimpinan) PKI setempat. Bagi orang yang ingin
selamat dari perampkan, pencuarian, penganiayaan maka dia harus menjauhi tokoh agama
dan akan lebih baik bila gabung dengan PKI. Realitas ini menjadi bukti bahwa kaum santri
menjadi target dan agama menjadi sangat dimusuhi.

Dalam rangka membangun ketenangan umat sekaligus mencegah perluasan manuver


PKI, NU (kala itu masih menjadi bagian dalam partai Masiumi) menyelenggarakan muktamar
ke 17 di Madiun pada 24 Mei 1947. Menyikapi gebrakan NU ini Muso dan Amer Syarifudin
Harahap pada Agustus 1948 mengadakan serangkaian raopat umum di berbagai kota dijawa
timur-jawa tengah sementara penjagaan madiun di percayakan kepada kader PSI-PESindo
Soemarsono dan kawan kawan. Pertama sekali PKI menemukan markas tentara, kantor polisi
lalu menyerang kantor-kantor pemerinntahan. Langkah berikutnya menjebol penjara untuk
membebaskan para bromocorah untuk dijadikan pasukan PKI, berikutnya perhatian PKI
tertuju pada melumpuhkan Kyai dan pesantren PKI sadar bahwa: pesantren merupakan
saingan terberat dalam melakukan revolusi sosial, karena mereka laebih dipercaya di banding
PKI yang cenderung ditakuti, yaitu; pesantren merupakan benteng strategis untuk
mempertahankan NKRI darin perspektif kaum santri ada indikasi kuat pemberontakan PKI
ini di dukung belanda sebagai wujud politik devide at impera. Terbukti pada ahad 19
Desember1948 ketika PKI sedang berontak Belanda melakukan agresi 2 menduduki Ibu Kota
RI Yogyakarta dan menangkap Presiden dan Wakil Presiden Moh. Hatta. Sejak Mei 1947 NU
sebenarnya sudah mulai berkonsulidasi namun gerak cepat dan besarnya ppendukung PKI
tampaknya menyebabkan pemberontaakan kaun komunis ini sulit dibendung. Yusuf
Hasimyang kala itu di Madiun bahkan terpaksa harus keluar sebab PKI berkeliaran dengan
senjata. Konsulidasi di Ngawi oleh Kyai Waha Hasbullah juga terpaksa ditutup sebab
anggota Hizbulloh harus segera kembali ke daerah masing-masing untuk memimpin jihad,
pesantren dan kyai yang tidak mendapat pengawalan telah menjadi sasaran PKI. Banyak kyai
kos menjadi korban disamping masih banyak kyai kampung menjadi sasaran pembantaian.
Kelebihan : Buku ini sangat baik dan bagus untuk dibaca karena memotret episode-
episode awal berdirinya Republik yang juga momenkrusial bagi bangsa kita, bahasanya yang
mengalir disertai kekayaan data dan kekuatan analisis membuat buku ini menaarik dan patut
dibaca oleh siapa saja.

Kekurangan : Terdapat banyaknya kata kata asing yang sulit dipahami, tapi membuat
pembaca untuk lebih mencari tahu.

Anda mungkin juga menyukai