Disusun Oleh:
ISBN : 978-979-592-937-6
Sinopsis :
Islam memainkan peran penting dalam noktah maupun arus sejarah bangsa. Perannya
telah membentuk raut prototype eksistensi keIndonesiaan, jauh sebelum republik ini
diproklamirkan. Peran yang dimainkan itu tidak terkecuali dalam bidang politik, mengalami
pasang surut yang mengharu biru. Persaingan politik kalangan islam dengan kalangan non
islam tak terelakan. Salah satu episode yang sangat penting adalah perseteruan antara
kelompok islam (dalam hal ini NU) dan komunis (yang diwakili PKI).
Perseteruan itu terasakan hingga level akar rumput dan relung-relung budaya, yang
kemudian berujung pada pembelahan anak bangsa dan sejatinya sesama kalangan muslim itu
sendiri. Buku ini sangat baik memotret episode-episode awal berdirinya publik yang juga
momen krusial bagi bangsa kita, memahami dan melihat situasi kehidupan politik bangsa saat
ini maupun dimasa masa yang akan datang. Buku Politik ini memunculkan konsep kaum
Santri- Priyayi- Abangan.
BAGIAN 1
Raja Majapahit (bahkan juga singasari yang telah lebih dahulu ada) ternyata adalah
penganut buddisme dan bukan hindu, sebagai mana selama ini biasa ditulis dalam buku-buku
sejarah mainstream. Namun demikian, kepercayaan terhadap budha di lingkungan elit
majapahit ini pun ternyata masih terisi secara kental oleh unsur agama lokal, animisme, yang
kala itu masih dominan.
Karakter keagamaan penguasa majapahit ternyata bersifat “fanatik-ekslusif” sehingga
mereka tidak suka jika ada anggota keluarga raja majapahit pindah agama. Jika lapisan elit
majapahit sebagian besar menganut ajaran hindu dan budha, maka di level masyarakat
ternyata mayoritas penganut animisme (agama lokal). Realita bahwa agama dijawa ternyata
domin an animisme (agama lokal) ini secara tak langsung juga bisa di dapat dari interprestasi
atas karya Geertz berupa konsep abangan, Priyayi, dan Santri. Karya Geertz memang
mendiskusikan tentang jawa era islam, bahkan secara khusus mencabar pembelahan kultural
muslim jawa yang justru mayoritas statusnya. Namun, naskah itu justru memberi sebuah
reksfleksi bahwa sebelum masa islam ternyata jawa dominan dengan agama lokal, bukan
hindu budha.
Dua kelompok ini, abangan dan santri tradisionalis, inilah yang justru mayoritas
jumlah nya, sesuatu yang berbeda dengan Priyayi, kaum elit yang lebih sedikit, yang oleh
Geertz disebut masih menyisakan kesan kecenderungan bernuansa hinduistis yang bermuara
para tradisi keraton. Dari diskurus studi tampak bahwa agama yang dominan di nusantara pra
islam ternyata agama lokal, bukan hindu budha, bahkan sampai di penghujung era mojopahit
yang sering kali disebut sebagai kerajaan bercorak hindu terakhir di nusantara.
BAGIAN II
Disini, dijelaskan bahwa golongan Santri secara Sosiologis dapat dikatakan kaum
penguasa pasar yang dapat dikategorikan taat dalam menjalankan ajaran islam. Adapun
golongan abangan struktur kehidupan sosial, orientasi, sekaligus prilaku yang memancarkan
hubungan keagamaan dari kelompok sosial yang memantulkan suasana dan tahta kehidupan
pedesaan, dengan pola prilaku keagamaan yang berkecrendrungan animistis. Sementara itu
golongan priyayi mendapat kesan cenderung bernuansa Hinduistis.
Dalam tataran ini seperangkat nilai (agama dan atau ideologi) milik pemegang
otoritas akan diupayakan menjadi tolak ukur dalam menentukan kelayakan dan atau
kebaikan dari kebijakan tertentu. Pada titik inilah acapkali terejadi pencabran atau bahkan
penolakan, dan sangat mungkin menimbukan komplik. Akibatnya, Ketika kelompok tertentu
berusaha mewujudkan kelebihan relatif terhadap kelompok lain, maka yang lahir bisa berupa
komplik dalam perspektik inilah kaum santri akhirnya juga berusaha memperjuangkan nilai-
nilai yang diyakini untuk bertarung melawan kaum abangan dalam proses membangun
kebijakan (policy), apalagi kebijakan dalam membangun ideologi negara indonesia.
Tak ada yang paling ditentang kaum santri kecuali anggapan bahwa islam hanyalah
persoalan individu dengan tuhan, atau hanya doktrin meta fisik, atau bahkan kelompk upacara
(cult association) saja. Islam adalah jalan hidup utuh (kaffah). Tak ada aspek hidup yang
otonom dari islam, dan semua yang otonom dari islam berarti diluar islam. Bagi kaum santri
islam bukan sekedar ritualisme, melainkan penerimaan tuhan sebagai sasaran loyalitas
tertinggi dan pusat ketundukan.
Dalam proses menjalankan tugas dakwah diantara pendakwah islam (baca:santri) acap
kali mengalami keterbelahan dalam theoretical expression atau paham/tafsir keagamaan.
Realitas semacam ini hakekatnya merupakan fenomena global, terjadi dimanapun didunia.
Dalam komtek Indonesia misalnya, hal itu termanisfestasi dalam dua kubu, yakni: (1) santri
modernis-reformis, yang eksistensinya ingin melakukan purifikasi islam, atau mengarah pada
universalisme islam.adapun (2) santri tradisionalis, yang dalam pehamahan islam nya pada
tataran tertentu mengarah pada adaptasi kultural dengan lokalitas .
Bagi kaum tradisioanalis, teks agama tidak mudah dimengerti, sehinga untuk
memahaminya diperlukan berbagai persyaratan khusus seperti ilmu Bahasa, sejarah dan
lokal. Pembelahan antara santri tradisionalis dan modernis di indonesia misalnya
termanisfestasi dalam banyak organisasi, namun secara makau tetap dapat diklasifikasikan
dalam salah satu dari keduannya; paham modernis atau paham tradisonalis. Jejak historis
realsi santri modernis dan tradisionalis sebagaimana telah digambarkan sebelumnya
keterbelahan muslim di Indonesia faktanya bukn saja termanifestasi dalam kultur santri dan
abangan bahkan masing-masing kultur pun masih mengalami keterbelahan internal. Khusus
dilingkungan kultur santri di dalam nya terdapat keterbelahan antara santri sub kultur
tradisionalis dan santri sub kulutur modernis namun perlu digaris bawahi bahwa kedua sub
kultur santri (tradisionalis dan modernis ) tetap memiliki kesamaan tujuan yakni ontentisitas
islam.
Relasi santri dan abangan sukularis ini rangkaian pengkhianatan. BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) berhasil membangun sebuah Gentlemen’s
Agrrement berupa piagam Jakarta yang dijadikan sebagi dasar negara dan kontitusi. Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan setelah menyelesaikan tugas akhirnya di bubarkan.
Realitas itu memperlihatkan bahwa meskipun kultur santri dan abangan memiliki perbedaan
faktanya mereka bisa berpadu mempersiapkan dan atau menunjukkan kemerdekaan
Indonesia, meskipun santri tradisionalis dan santri modernis acak kali mengalami fragmentasi
namun sekali lagi penting untuk doigaris bawahi bahwa perselisihan secara umum hanya
bersarang pada level kecenderungan dalam pemaknaan atau sesekali bergeser ke level
kepentingan soal Tarik menarik posisi oleh karena itu tidak sulit untuk memahami bahwa
Ketika santri di hadapkan pada realitis politik dimana perselihan sudah mengarah pada
persoalan nilai, sehingga memperhadapkan santri Veast Abangan.
Pada saat merancang kontitusi negara misalnya tentu muncul pertanyaan mendasar
tentang landasan filosofis yang akan digunakan Indonesia merdeka. Hal ini menjadi maha
penting sebab landasan filososfis (Weltanschaung atau philopshisce Grondslag) bagi negara
adalah pondasi pundamental, sebuah filsafat, alasan mendasar, sebuah spirit yang kuat dan
hasrat yang mendalam yang akan mendasari struktur negara merdeka yang hendak di bangun.
Para santri mempunyai usulan namun usulan itu di tentang kaum nasionalis secular alias
Abangan meskipun Sebagian besar mereka secara formal adalah kaum muslim juga, bahkan
sebagian juga rajn melakukan ritual islam doktrin islam, terutama sekali penafsiran moral
sosial inilah yang membedakan kaum santri (Nasionalis islam dengan kaum Abangan)
(Nasionalis non agama).
Kekurangan : Terdapat banyaknya kata kata asing yang sulit dipahami, tapi membuat
pembaca untuk lebih mencari tahu.