Anda di halaman 1dari 13

KONFLIK

Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga
kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya
masyarakat itu sendiri.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian,
pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri
individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat
dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya
masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah
siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi
yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
A. Definisi Konflik
Ada beberapa pengertian konflik menurut beberapa ahli.
Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial
yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan
ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara
berterusan.
Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan
saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing masing komponen
organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri sendiri dan tidak bekerja sama satu sama
lain.
Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi ditentukan oleh
persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam
organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka
mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah
menjadi kenyataan.
Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada tingkatan
individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini
terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres.
Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak
yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan
tujuan.
Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang sadar dan
memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak
lain yang telah atau akan menyerang secara negatif (Robbins, 1993).
Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan
kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya
perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace &
Faules, 1994:249).
Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi (Folger &
Poole: 1984).
Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang ingin dicapai,
alokasi sumber sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak
yang terlibat (Myers,1982:234-237; Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341).
Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat
disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda beda (Devito, 1995:381).
B. Teori-Teori Konflik
Ada tiga teori konflik yang menonjol dalam ilmu sosial. Pertama adalah teori konflik C.
Gerrtz, yaitu tentang primodialisme, kedua adalah teori konflik Karl. Marx, yaitu tentang
pertentangan kelas, dan ketiga adalah teori konflik James Scott, yaitu tentang Patron Klien.
1. Teori Konflik C. Greetz Tentang Primordialisme
a. Konflik politik di sebabkan oleh ikatan primordialisme yang mengalami percampur adukan
antara ke setiaan politik dengan kesetiaan primordial.
b. Solidaritas kelompok sangat mempengaruhi konflik politik dapat berkembang.
c. Sumber solidaritas kelompok adalah ikatan-ikatan primordial yang menjadi perekat kelompok
primordial bersangkutan.
d. Ikatan primordial inilah yang melahirkan sentimen primordial dan kesetiaan primordial.

2. Teori Konflik Karl Marx Tentang Pertentangan Kelas
a. Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang
pertentangan kelas, sebagaimana yang tertulis dalam kalimat pembuka dari Manifesto Komunis.
b. Kapitalisme akan berakhir karena aksi yang terorganisasi dari kelas kerja Internasional.
c. Komunisme untuk kita bukanlah hubungan yang diciptakan oleh negara, tetapi merupakan cara
ideal untuk bernegara.
d. Hasil dari pergerakan ini yang akan mengatur dirinya sendiri secara otomatis.
3. Teori Konflik James Scott Tentang Patron Klien
a. Sekelompok informal figur yang berkuasa dan memiliki posisi memberikan rasa aman, pengaruh
atau keduanya. Sebagai imbalan, pengikutnya memberikan loyalitas dan bantuan pribadi kepada
patronnya.
4. Teori Kontrol
Berbeda dengan teori-teori yang lain. Teori kontrol tidak lagi
mempertanyakan mengapa orang melakukan kejahatan tetapi mengubah
pertanyaan tersebut menjadi; mengapa tidak semua orang melanggar hukum
atau mengapa orang taat pada hukum.
Ditinjau dari sosiologi kejahatan merupakan suatu persoalan yang paling serius
atau penting dalam hal timbulnya disorganisasi sosial, karena penjahat-penjahat itu
sebenarnya melakukan perbuatan-perbuatan yang mengancam dasar-dasar dari
pemerintah, hukum, ketertiban dan kesejahteraan umum.


a. Attachment
Attachment (Kasih sayang) merupakan keterkaitan emosional yang tercipta dalam
hubungan orang lain, khususnya dengan orang-orang terdekatnya. Pada umumnya, dalam
kehidupan keluarga akan tercipta keterkaitan emosional antara anak dengan orang tuanya. Kuat
lemahnya ikatan emosional ini akan berpengaruh pada perilaku masing-masing pihak tersebut.
Menurut Hirschi, attachment merupakan pedoman/keterikatan setiap individu untuk
berperilaku conform sesuai dengan norma masyarakat. Individu akan memperhitungkan segala
kemungkinan yang mungkin terjadi sebelum dia memutuskan apakah akan berperilaku conform
atau menyimpang.
b. Commitment
Commitment (Keterikatan), sebagai pedoman bertingkah laku conform bagi individu.
Menurut Hirschi, sebelum individu memutuskan untuk melakukan penyimpangan, mereka
menghitung apa yang harus mereka hilangkan ketika mereka mendapatkan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa individu akan memperhitungkan untung dan
ruginya ketika akan melakukan perbuatan. Individu yang mempunyai keterikatan yang tinggi
dengan masyarakat dikarenakan, misalnya, mempunyai pekerjaan yang bagus, keluarga yang
membanggakan, dan mempunyai kedudukan yang terhormat dalam masyarakat, maka dia
cenderung akan berperilaku conform. Tetapi sebaliknya, bila dia mempunyai hal-hal baik yang
bisa membuatnya mempunnyai keterkaitan kuat dengan masyarakat, maka dia pun cenderung
akan melakukan penyimpangan. Seperti juga yang di ungkapkan oleh William J. Goode:
Anggota keluarga dapat menilai bagaimana pribadi itu mengatur waktu dan uangnya dalam
berbagai aktivitas. Akibatnya, keluarga berlaku sebagai suatu sumber tekanan padanya untuk
menyesuaikan diri agar bekerja lebih keras dan mengurangi bermain, atau mengurangi
kunjungan ke gereja dan lebih banyak belajar. Dalam semua itu keluarga merupakan alat atau
perantara masyarakat yang lebih besar itu tidak akan tercapai secara tepat guna.
c. Involvement
Involvement (Keterlibatan), menunjukkan seberapa banyak waktu yang digunakan oleh
individu menghabiskan aktivitas yang konvensional. Apabila seseorang secara total terlibat
dalam aktivitas conform (seperti sekolah, olahraga, gereja, pekerjaan paruh waktu), secara
sederhana mereka tidak mempunyai waktu untuk melakukan penyimpangan. Batas yang
mencegah dilakukan penyimpangan adalah bagaimana waktu menjadi bagian dari tingkah laku
seseorang.
Dengan kata lain, involvement dapat diartikan sebagai keterlibatan individu dalam kegiatan-
kegiatan yang ada dalam masyarakat. Masyarakat dapat dijadikan wahana untuk
mengekspresikan segala potensi positif yang ada dalam diri setiap individu. Semakin tinggi
keterlibatan individu dengan kegiatan dalam masyarakat, maka semakin kecil kecenderungan
individu tersebut melakukan penyimpangan. Sebaliknya, semakin sedikit individu terlibat dalam
kegiatan dalam masyarakat, maka semakin tinggi kemungkinan individu tersebut melakukan
penyimpangan.
Keterlibatan individu tersebut dapat dituangkan baik dalam kegiatan sekolah, keluarga,
teman bermain maupun kemasyarakatan. Dengan adanya keterlibatan tersebut akan
menumbuhkan keterikatan dalam diri setiap individu tersebut dengan lingkungannya yang pada
akhirnya dapat menjadi rem untuk tidak melakukan penyimpangan.
Keluarga sebagai agen sosialisasi pertama mempunyai peran yang sangat penting untuk
memberikan perhatian dan kasih sayang terhadap anak. Keluarga juga harus dapat memberikan
bimbingan terhadap anak yang notabenenya merupakan individu yang sangat labil. Dengan kasih
sayang, perhatian, dan bimbingan orang tua secara intensif maka dapat dihindarkan anak yang
berperilaku menyimpang.
d. Belief
Belief (Kepercayaan), menunjukan seberapa besar seseorang mempercayai kebenaran moral
hukum. Beberapa orang percaya bahwa hukum akan eksis apabila mereka benar. Mereka
mempresentasikan kedalam nilai moral yang seharusnya tidak dapat ditawar.
Belief dapat diartikan sebagai rasa kepercayaan individu terhadap hukum yang berlaku.
Hukum dianggap sebagai representasi dari nilai dan norma yang ada dalam masyarakat.
Keberadaan hukum dianggap sebagai sarana untuk memberi batasan tingkah laku yang boleh dan
tidak boleh dilakukan. Pelanggaran terhadap hukum akan mendapat sanksi sesuai dengan yang
telah di tetapkan.
Dengan demikian, kepercayaan terhadap hukum akan membatasi setiap individu untuk tidak
melakukan pelanggaran atau penyimpangan. Semakin tinggi kepercayaan individu terhadap
hukum, maka semakin rendah keinginan untuk melakukan pelanggaran atau penyimpangan.
Demikian juga sebaliknya, semakin rendah kepercayaan individu terhadap hukum maka akan
semakin tinggi kemungkinan untu melakukan pelanggaran atau penyimpangan.
Berkaitan dengan maraknya kasus pembunuhan yang dilakuakan oleh anak kandung
terhadap orang tuanya, berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Hirschi tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa telah terjadi hubungan yang tidak harmonis dalam keluarga. Pembunuhan
tersebut dapat disebabkan karena pelaku pembunuhan seudah menghitung untung rugi yang akan
didapatkannya (commitment), tidak adanya kasih sayang yang mampu mengikatnya
(attachment), tidak adanya keterlibatan dengan kegiatan konvensional (involvement), dan tidak
adanya kepercayaan terhadap norma hukum yang berlaku (belief).
5. Teori Konflik Ralf Dohrendorf
Dahrendorf merupakan penerus dan pengembang dari Teori Konflik Karl Marx. Dilahirkan
di Hamburg Jerman pada tahun 1929. Awalnya Dahrendorf mempelajari filsafat dan sastra klasik
di Hamburg sedangkan ilmu sosiologi dipelajarinya di London Inggris. Karyanya yang paling
popular adalah buku berjudul Class and Class Conflict in Industrial Society yang diterbitkan
pada tahun 1959. Sebagai orang dilahirkan pada masa perang dunia pertama sangat
mempengaruhi pemikiran Dahrendorf dan terlibat dalam akitivitas politik di Jerman Barat hingga
akhirnya pernah menjadi anggota parlemen Jerman Barat.Sedangkan karir akademis yang pernah
diraihnya adalah menjadi direktur London School of Economics di Inggris.
Pemikiran Dahrendorf Tentang Konflik
Tokoh yang mempengaruhi pemikiran Dahrendorf adalah Karl Marx. Dia mengambil
gagasan dasar dari teori, hipotesis, dan konsep-konsep Marx. Seperti halnya dengan ahli lainnya,
lahirnya teori konflik merupakan kritik terhadap teori struktural fungsional dimana teori ini
menekankan bahwa masyarakat disusun atas ketertiban dan keteraturan pada struktur. Para
penganut aliran teori konflik mengkritisi teori structural fungsional dengan mengatakan bahwa
teori tersebut mengabaikan konflik yang terjadi pada masyarakat. Marx sebagai tokoh utama dan
pertama teori konflik ini melihat bahwa masyarakat tersusun atas dua kelas yaitu borjuis
(penguasa dan pemilik modal) dan proletar (masyarakat kelas rendah). Kedua kelas ini saling
bertentangan terutama oleh dalam memperjuangkan sumber-sumber ekonomi.
Teori fungsionalis cenderung melihat masyarakat secara informal diikat oleh norma, nilai,
dan moral. Sedangkan teori konflik melihat bahwa seluruh keteraturan dalam masyarakat
disebabkan adanya pemaksaan terhadap anggotanya oleh para penguasa. Merujuk pada konsep
Marx hal ini berarti masyarakat proletar hidup dan bertingkah laku karena adanya pemaksaan
untuk melaksanakan aturan-aturan yang ditetapkan oleh kaum burjuis. Golongan fungsionalis
fokus pada kohesi yang diciptakan oleh nilai bersama dalam masyarakat. Sedangkan kritik teori
konflik memfokuskan pada peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam
masyarakat.
Selain mengkritik teori fungsional struktural tradisional yang dibangun oleh Talcot Parsons
karena gagal memahami masalah perubahan, Dahrendorf juga mengkritik toeri konflik Marx.
Jika Marx bersandar pada pemilikan alat produksi, maka Dahrendorf bersandar pada kontrol atas
alat produksi. Dalam terminologi Dahrendorf, pada masa pos-kapitalisme, kepemilikan akan alat
produksi (baik sosialis atau kapitalis) tidak menjamin adanya kontrol atas alat produksi.
Dia membangun teori konflik dengan separuh penolakan, separuh penerimaan, dan modifikasi
teori sosiologi Karl Marx. Dahrendorf mula-mula melihat teori konflik sebagai teori parsial,
menganggap teori itu merupakan perspektif yang dapat dipakai menganalisa fenomena sosial.
Teori kelas Marx dan teori konfliknya hanya relevan pada awal kapitalisme (awal revolusi
industri) dan tidak lagi sesuai dengan masyarakat industry post kapitalis. Dahrendorf
berpendapat bahwa pekerjaan masyarakat semakin heterogen karena adanya peningkatan
keterampilan, peningkatan persamaan, dan arti hak-hak warga dalam politik, peningkatan
kemakmuran materiil masyarakat, peningkatan upah kerja, dan berdirinya berbagai mekanisme
institusional dalam membahas isu konflik. Pemikiran Dahrendorf ini lebih bersifat umum karena
bisa diterapkan pada masyarakat kapitalis maupun sosialis yang berpusat pada struktur otoritas
perusahaan industry dari pola kepemilikan.
Dahrendorf telah melahirkan kritik penting terhadap kegagalan dalam menganalisa
masalah konflik sosial. Dia menegaskan bahwa proses konflik sosial itu merupakan kunci bagi
struktur sosial. Bersama Coser, Dahrendorf telah berperan sebagai corong teoritis utama yang
menganjurkan agar perspektif konflik di pergunakan dalam rangka memahami dengan baik
fenomena sosial.
Pemikiran Dahrendorf mengenai konflik dapat dikelompokkan dalam tiga bagian:
Dekomposisi modal, menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham
yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorangpun memiliki kontrol penuh merupakan
contoh dari dekomposisi modal.
Dekomposisi Tenaga kerja, di abad spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau
beberapa orang mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau
beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena zaman ini
adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai-
pegawai untuk memimpin perusahaanya agar berkembang dengan baik.
Timbulnya kelas menengah baru, pada akhir abad kesembilan belas, lahir kelas pekerja
dengan susunan yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh
biasa berada di bawah.
Pemikiran Dahrendorf juga dipengaruhi oleh Max Weber terutama dalam melahirkan
konsep kekuasaan dan otoritasnya. Kekuasaan diartikan sebagai kemampuan untuk memaksakan
kemauan seseorang meskipun mendapat perlawanan. Sedangkan otoritas diartikan sebagai hak
yang sah untuk mengharapkan kepatuhan. Dalam konsep otoritas disebutkan bahwa yang
menjalankan otoritas dan yang tunduk pada otoritas tersebut mempunyai kepentingan yang
bertentangan sehingga orang yang menyadari akan kepentingan kelasnya dan membentuk
kelompok konflik kelas untuk mengubah struktur otoritas tersebut. Otoritas tidak terletak dalam
diri seseorang melainkan pada posisi. Letak otoritas ini pada posisi menyebabkan sifat otoritas
tentatif dan dapat berubah pada tempat dan waktu yang berbeda. Sebagai contoh seorang wali
nagari pada satu nagari tidak memiliki otoritas di nagari lain.
Dahrendorf menunjukkan bahwa kepentingan kelas bawah menantang legitimasi struktur
otoritas yang ada. Kepentingan antara dua kelas yang berlawanan ditentukan oleh sifat struktur
otoritas dan bukan oleh orientasi individu pribadi yang terlibat di dalamnya. Individu tidak harus
sadar akan kelasnya untuk kemudian menantang kelas sosial lainnya.
Dahrendorf juga menganalisis hubungan antara kelompok, konflik, dan perubahan.
Menurutnya ada tiga tipe kelompok yaitu:
kelompok semu yaitu sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama;
kelompok kepentingan yaitu kelompok yang memiliki struktur, bentuk organisasi, tujuan atau
program dan anggota perorangan. Kelompok ini merupakan agen riil dari konflik kelompok;
kelompok konflik, yaitu kelompok yang terlibat dalam konflik kelomok actual.
Kelompok-kelompok tersebut merupakan konsep dasar untuk menjelaskan konflik sosial.
Kelompok dalam masyarakat tidak pernah berada dalam posisi ideal sehingga selalu ada factor
yang mempengaruhi terjadinya konflik sosial. Berkaitan dengan ini Dahrendorf mengatakan, jika
anggota kelompok direkrut secara acak dan ditentukan oleh peluang, kelompok kepentingan dan
kelompok konflik tidak akan muncul. Jika rekrutmen anggota kelompok berdasarkan struktur
akan sangat memungkinkan munculnya kelompok kepentingan hingga kelompok konflik.
Berkaitan dengan perubahan, Dahrendorf mengatakan bahwa konflik akan menyebabkan
perubahan dan perkembangan. Setelah konflik selesai, anggota masyarakat akan melakukan
perubahan dalam struktur sosial. Jika konflik yang terjadi sangat besar akan menyebabkan
perubahan yang radikal dan bila konflik disertai tindak kekerasan akan menyebabkan perubahan
struktur yang tiba-tiba.

PATRON-KLIEN
Para penghuni liar yang menghuni kawasan Muara Angke dalam
kehidupan kesehariannya melakukan interaksi sosial diantara mereka. Interaksi
sosial adalah aspek kelakuan dari dan yang terdapat dalam hubungan sosial.
Dalam kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat, hubungan-hubungan
sosial yang dilakukannya dengan para anggota masyarakatnya dalam
kelompok-kelompok kekerabatan, kelompok wilayah dan kelompok sosial
lainnya yaitu perkumpulan arisan, olah raga, teman sejawat dan lain-lain
tidaklah sama dalam hal interaksi sosialnya antara yang satu dengan yang lain
(Suparlan, 1985). Sebagai akibat interaksi sosial tersebut terbentuk hubungan
sosial berupa hubungan pertemanan, perantaraan (brokerage) dan patron-
klien (patron client), yang ciri-cirinya: (1) bersifat spontan dan pribadi yang
penuh dengan muatan perasaan dan emosi, (2) adanya interaksi tatap muka
diantara pelaku yang bersangkutan, (3) adanya pertukaran benda dan jasa yang
relatif tetap diantara pelaku tersebut. (Suparlan, Media IKA No. 13 Tahun XIX
1991: 1).
Peter M. Blau dalam Margaret M. Poloma (1987), memberikan pengertian
bahwa hubungan patron klien merupakan salah satu bentuk dari pertukaran
dan kekuasaan dalam kehidupan sosial manusia. Lebih jauh Blau menjelaskan
bahwa kebanyakan perilaku manusia dibimbing oleh pertimbangan pertukaran
sosial, dimana terdapat 2 (dua) persyaratan yang harus dipenuhi bagi perilaku
manusia yang menjurus kepada pertukaran-sosial, yakni: (1) perilaku tersebut
harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai melalui
interaksi dengan orang lain, dan (2) perilaku tersebut harus bertujuan untuk
memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Adapun tujuan-
tujuan yang diinginkan itu dapat berupa ganjaran ekstrinsik (seperti uang,
barang-barang atau jasa-jasa) atau intrinsik (termasuk kasih sayang,
kehormatan, atau kecantikan).[1]
Selanjutnya dijelaskan oleh James Scott (1977) dalam Suparlan (2004)
yang mengatakan bahwa hubungan patron klien mempunyai ciri-ciri yang
khusus yang berbeda dari corak hubungan-hubungan sosial lainnya, yang
disebabkan oleh adanya unsur-unsur: (1) interaksi tatap muka diantara para
pelaku yang bersangkutan; (2) adanya pertukaran benda dan jasa yang relatif
tetap berlangsung diantara para pelaku; (3) adanya ketidaksamaan dan
ketidakseimbangan dalam pertukaran benda dan jasa tersebut; dan (4)
ketidakseimbangan tersebut menghasilkan kategori patron dan klien yang
memperlihatkan ciri-ciri ketergantungan dan ikatan yang bersifat meluas dan
melentur diantara pantron dengan kliennya.[2]
Hubungan pertemanan, perantara dan patron klien selalu ada dalam
kehidupan setiap masyarakat. Khusus mengenai patron klien diberikan
pengertian lebih lanjut bahwa berbeda dengan hubungan pertemanan dan
hubungan perantaraan, ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara
patron klien yang tidak sama atau seimbang dalam hal benda dan jasa yang
dipertukarkan. Ketidak-seimbangan ini menghasilkan adanya hubungan
ketergantungan klien pada patronnya dan ketergantungan tersebut berupa
ikatan-ikatan yang meluas dan melentur serta bersifat pribadi melampui batas-
batas hubungan yang semula melandasi terwujudnya hubungan diantara
keduanya. (Suparlan, 1991: 6).
Di lingkungan permukiman liar Muara Angke, hubungan antara para
penghuni liar dengan para perwakilan penghuni yaitu para preman-preman
yang biasanya menjadi perwakilan para penghuni didasarkan pada hubungan
patron-klien. Hubungan antara warga penghuni liar dengan para preman yang
berkuasa di daerah tersebut adalah hubungan antara orang-orang yang
memiliki sumber daya disatu pihak dengan orang-orang yang membutuhkan
sumber daya tersebut.
Salah satu bentuk hubungan patron klien yang terjadi di permukiman liar
Muara Angke adalah terjadi ketika para penghuni liar di kawasan tersebut akan
menerima uang kerohiman. Dalam prakteknya, yang membagikan uang
kerohiman tersebut adalah para preman-preman yang telah diberi wewenang
oleh Unit Pelaksana Teknis Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan
Pangkalan Pendaratan Ikan (UPT PKPP & PPI) Dinas Peternakan, Perikanan dan
Kelautan Propinsi DKI Jakarta dan Polsek KP3 Pelabuhan Sunda Kelapa. Hal ini
dilakukan mengingat dengan para preman-preman tersebut para penghuni liar
justru lebih tunduk dan patuh dibandingkan dengan aparat kepolisian dan
petugas Tramtib.

Anda mungkin juga menyukai