Anda di halaman 1dari 10

EL-DARISA: Jurnal Pendidikan Islam

Volume 1 Nomor 1 Tahun 2022


http://ejournal.staihwduri.ac.id/index.php/eldarisa/index

Aliran Islam

Tiara Nur Jannah


STAI Hubbulwathan Duri
Email: Kekeduri4@gmail.com

Moh.Fikri Azhari
STAI Hubbulwathan Duri
Email: mohdfikriazhari2791@gmail.com

Abstract: For the first time, the cause of the birth of sects in Islam could not be
separated from political problems after the death of the Prophet Muhammad.
So the syi'ah, khawarij, mu'tazilah, and so on were born, which later influenced
other countries, including the State of Indonesia. Shia in Indonesia is actually
much older than the independence of the Republic of Indonesia. The Islamic
empire was first established in Indonesia, namely in Perlak in 225 H or 845 AD,
it can be said that the Shia Kingdom. Then around 457 H or 1065 AD the growth
and revival of Sunni scholarship began which encouraged the growth of Islamic
education, such as the education of the Sunni Islamic boarding school (Ahlu
Sunnah wal Jama'ah). From these pesantren, later Islamic social organizations
were born, such as Nahdhatul Ulama (NU). In its history of growth, NU was
the first mass organization to accept Pancasila as the only principle, and one of
the implementations of Pancasila ideological values in social life in Indonesia is
to foster brotherhood and respect between Muslims and people of other faiths.
This proves that religious tolerance has a place in the Ahlu Sunnah, NU and
Pancasila Islamic boarding schools

Abstrak:Pertama kali penyebab lahirnya  aliran-aliran  dalam Islam tidak bisa


dipisahkan dari masalah politik setelah wafatnya Nabi  Muhamad SAW. Maka
lahiralah aliran-aliran syi’ah, khawarij, mu’tazilah, dan sebagainya di
kemudian hari berpengaruh ke negara-negara, termasuk Negara Indonesia.
Syi’ah di Indonesia sebenarnya jauh lebih tua dari kemerdekaan RI. Kerajaan
Islam pertama kali berdiri di Indonesia yaitu di Perlak tahun 225 H atau 845 M,
boleh dikatakan Kerajaan Syi’ah. Kemudian kira-kira pada tahun 457 H atau
1065 M mulailah pertumbuhan dan kebangkitan keilmuan Sunni yang
mendorong pertumbuhan pendidikan Islam, seperti pendidikan pesantren
yang berhaluan Sunni (Ahlu Sunnah wal Jama’ah). Dari pesantren-pesantren
ini maka lahirlah organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam di kemudian

1
Aliran Islam

hari, seperti Nahdhatul Ulama (NU). Dalam sejarah pertumbuhannya, NU


adalah ormas pertama kali yang menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas,
dan salah satu implementasi nilai ideologi Pancasila dalam hidup
bermasyarakat di Indonesia adalah memupuk persaudaraan dan harga-
menghargai antar umat Islam dan umat yang beragama lain. Hal ini
membuktikan bahwa toleransi umat beragama mempunyai tempat dalam
pesantren Ahlu Sunnah, NU dan pancasila.

2 El-Darisa: Jurnal Pendidikan Islam Volume 1 Nomor 1 Tahun 2022


Tiara Nurjannah, Mohd.Fikri Azhari, M.Pd

PENDAHULUAN
Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad
SAW, berupa keyakinan perintah dan larangan yang menjamin kebahagiaan di
dunia dan di akhirat. Lantaran disampaikan Nabi Muhammad SAW kepada
manusia dalam masa mereka sebagai khalifah yang diserahkan kepadanya
untuk mengurus isi dunia dan keselamatan. Islam sebagai agama samawi
tarakhir, berfungsi sebagai rahmat dan nikmat bagi manusia seluruhnya. Allah
SWT telah mewahyukan agama ini dalam nilai kesempurnaan yang tinggi,
kesempurnaan meliputi segi-segi fundamental tentang dunia dan ukhawi, guna
menghantarkan manusia kepada kebahagiaan lahir dan batin serta dunia dan
akhirat. Inti dari ajaran Islam sendiri adalah keyakinan terhadap adanya Dzat
yang Maha segalagalanya, yaitu Allah Azza wa Jalla.
Sebagai agama tauhid, selain mengajarkan tentang keimanan
(kepercayaan) kepada Allah, Islam juga mengajarkan tentang moralitas. Setiap
pemeluk Islam (Muslim) dituntut memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan.
Setiap perilaku harus senantiasa dilandasi kaidah etika, mawas diri, serta
pandai dalam membawa dan memperhatikan diri dalam lingkungan sekitar.
Al-Qur’an sebagai dasar utama Islam yang menunjukkan bahwa Islam
tidak dapat menemukan jalannya ke dalam lubuk hati dan pikiran tanpa
penerimaan dua lubuk utama, yaitu iman dan syari’ah. Dan yang pertama-
tama diwajibkan oleh Islam adalah kepercayaan yang mendalam kepada Allah
tanpa keraguan maupun kesangsian
Aliran-aliran yang timbul dalam Islam ialah aliran Khawarij, Murji’ah,
Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Aliran-aliran Khawarij, Murji’ah,
Mu’tazilah sudah tidak ada wujud lagi, kecuali dalam sejarah, sedangkan
Asy’ariyah dan Maturidiyah masih ada hingga saat ini. Keduanya disebut ahl
Sunnah wa al- Jamaah. 4 Banyaknya aliran-aliran hingga saat ini yang
mengaku-ngaku bahwa dirinyalah yang tergolong ahl Sunnah wa alJamaah,
misalnya Muhammadiyah, NU (Nahdlotul Ulama), (Lembaga Dakwah Islam
Indonesia) LDII, Majlis Tafsir al-Qur’an (MTA), Ahmadiyah, dll. Hingga saat
ini, berbagai aliran yang ada di Indonesia tumbuh dan mengikuti pengikut di
daerahnya masing-masing. Salah satu aliran dalam Islam yang ada di Indonesia
adalah Majlis Tafsir al-Qur’an (MTA).

METODE PENELITIAN
Artikel ini ditulis dengan mengacu pada metode tinjauan
pustaka (literature review) yang menitikberatkan pada aspek kajian melalui
kepustakaan yang relevan (Wijaya, 2018). Dalam artikel ini, pengumpulan
data dilakukan dengan cara menelaah berbagai literatur dengan tujuan utama
memperoleh data
dan informasi tentang objek pembahasan baik melalui buku atau alat
visual
lainnya. Data dan informasi juga dapat diperoleh melalui buku-buku referensi,
jurnal, berbagai jenis laporan dan dokumen baik yang sudah
dipublikasikan secara cetak ataupun digital.

El-Darisa: Jurnal Pendidikan Islam Volume 1 Nomor 1 Tahun 2022 3


Aliran Islam

Sejalan dengan fokus tujuan penulisan artikel ini, studi literatur


dilakukan untuk memperoleh akurasi data. Berbagai macam literatur baik
dalam bentuk media cetak dan digital seperti artikel jurnal dan buku atau
media visual lainnya semisal arsip, ringkasan, atau berita yang merupakan
sumber data yang cocok untuk dibahas dalam artikel ini.
Metode yang digunakan ini merupakan studi tekstual sebuah naskah
dan tulisan kemudian dilakukan analisis kontekstual berdasarkan
pendekatan kualitatif terkait dengan integrasi dan islamisasi ilmu
pengetahuan. Literatur yang dipilih hanya yang terkait dan sesuai dengan
focus tinjauan atau yang mendukung teori-teori dalam pembahasan artikel ini.
Diharapkan dengan penerapan metode tinjauan pustaka yang
diterapkan dalam penulisan artikel ini, hasil pembahasannya dapat
bermanfaat untuk penelitian-penelitian berbasis pemikiran, filsafat pendidikan,
dan penelitian kualitatif lainnya sebagai sumber data utama dan pendukung.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


1. Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan
Menurut teori Ibnu Khaldun, di dalam kehidupan ini ada dua
bentuk komunitas yang saling berlawanan; yaitu, komunitas pedesaan
dan komunitas perkotaan.
Masyarakat pedesaan identik dengan masyarakat yang penuh
dengan keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan, sementara
masyarakat perkotaan identik dengan kemajuan.
Dalam masyarakat pedesaan, tokoh masyarakat, para orang tua,
dan sesepuh desa menduduki status sosial yang tinggi dan superior.
Kelompok ini menjadi panutan masyarakat dan menentukan corak
hubungan kehidupan masyarakat desa. Di sisi lain, kelompok yang
jumlahnya lebih besar, terdiri atas anggota masyarakat secara
keseluruhan dan kalangan muda, menduduki posisi status sosial lebih
rendah atau subordinat.
Dalam hal memahami ajaran Agama (Islam), dua komunitas
(perkotaan dan pedesaan) di atas ternyata juga memiliki perbedaan
(kalau tidak kontradiktif). Masyarakat desa bersifat tradisional,
sementara masyarakat kota lebih modern.Hasil penelitian dan
pembahasan meliputi deskripsi data hasil penelitian serta diskusi hasil
penelitian yang dilakukan dengan teori dan penelitian relevan yang
diacu pada bagian 209 Peran tokoh agama di masyarakat desa tidak
hanya sebagai ahli ilmu keagamaan, melainkan juga menjadi pemimpin
masyarakat yang seringkali dimintai pertimbangan dalam menjaga
stabilitas keamanan desa.
Oleh karena itu para pemimpin formal yang terdiri dari Kepala
Desa dan Pamong Desa, hampir semua merupakan kepanjangan dari
peranan kiai atau ulama’. Mereka menduduki posisi yang sekarang ini
tidak lepas dari pengaruh kiai desa tersebut.
Di masyarakat muslim pedesaan, kiai atau tokoh Agama
dijadikan imam dalam bidang ubudiyah, upacara keagamaan dan sering

4 El-Darisa: Jurnal Pendidikan Islam Volume 1 Nomor 1 Tahun 2022


Tiara Nurjannah, Mohd.Fikri Azhari, M.Pd

diminta kehadirannya untuk menyelesaikan kesulitan-kesuitan yang


menimpa masyarakat. Peran mereka semakin kuat di dalam masyarakat
ketika kehadirannya diyakini membawa berkah, misalnya tidak jarang
kiai diminta mengobati orang sakit, memberikan ceramah agama dan
dimintai do’a untuk melariskan barang dagangan mereka.
Ibnu Khaldun menyatakan bahwa setiap bentuk kota awalnya
adalah desa dan setiap desa di suatu masa akan berubah menjadi kota. 6
Artinya, peralihan bentuk pedesaan menjadi perkotaan masih
merupakan salah satu proses perubahan-perubahan sosial di seluruh
dunia. Berarti, kota menjadi pusat perubahan sosial dan modernisasi.
Hal ini terjadi karena, menurut Stnislaw Wellisz, perpindahan
penduduk dari desa ke kota (urbanisasi).
ditentukan oleh faktor-faktor dorong dan tarik (push and pull
factors). Faktor-faktor pendorong, di antaranya, adalah keinginan untuk
mencapai perubahan ekonomi dan keinginan untuk mengikuti
kehidupan kota atau status sosial yang lebih maju. Daniel Lerner pada
tahun 1958 menyatakan bahwa urbanisasi merupakan prakondisi untuk
modernisasi dan pembangunan atau kemajuan.
Modernisasi berimplikasi pada munculnya industrialisasi, dan
ketika terjadi proses industrialisasi, terjadilah urbanisasi dalam
masyarakat tersebut. Menurut teori Boeke, ketika budaya-budaya impor
yang unsur-unsurnya lebih maju, berwatak kapitalis, berhadapan
dengan budaya lokal yang berwatak tradisional, bersifat komunal,
terjadi pergulatan antara budaya luar dengan budaya lokal.
Pertarungan kedua budaya tersebut tidak selalu berakhir dengan model
antagonistik, tetapi unsur yang tersisih akhirnya tidak berfungsi dan
diganti unsur baru yang kemungkinan besar dimenangkan oleh unsur
impor. Unsur lokal berangsur-angsur menurun dan tidak lagi diminati
oleh masyarakat tradisional10 dan secara radikal akan merubah tatanan
hubungan tradisional antara masyarakat, pemerintah dan agama.
Dari proses modernisasi itu terjadi sekularisasi dan melunturkan
tradisi keagamaan dan dunia Islam merasa diganggu oleh proses
modernisasi. Dalam merespon arus modernisasi, umat Islam tidak
memperoleh kesepakatan. Ada yang memandang positif, ada yang
memandang negatif.
Jika kita pilah antara yang menerima dan menolak pemikiran
modern, umat Islam, dalam menghadapi modernitas, terbagi menjadi
dua; sekularis, dan Islami. Kelompok Islamis terbagi lagi menjadi tiga;
tradisionalis-normatif (ortodoks), fundamentalis/revivalis (neo-
normatifis), dan modernis.
Kelompok sekularis memandang bahwa urusan Agama harus
dipisahkan dari urusan dunia. Kelompok tradisionalis, ingin berpegang
pada ajaran tradisional meskipun dunia telah berubah. Kelompok
fundamentalis juga ingin tetap berpegang pada ajaran tradisional,
menolak modernisasi pemikiran keagamaan, hanya saja ia juga ingin
mereformasi pemahaman keagamaan tradisional yang dipenuhi oleh

El-Darisa: Jurnal Pendidikan Islam Volume 1 Nomor 1 Tahun 2022 5


Aliran Islam

hal-hal yang dianggap bid’ah. Kelompok modernis memandang bahwa


modernisasi tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Dari cara pandang yang berbeda tersebut, di dunia Islam muncul
berbagai macam bentuk pemikiran ideologis, antara kelompok yang
memandang Islam sebagai model dari sebuah realitas (model of reality)
dan kelompok yang memandang Islam sebagai model untuk sebuah
realitas (models for reality).
Yang pertama mengisyaratkan bahwa Agama adalah representasi
dari sebuah realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa
Agama merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia.
Dalam pemahaman yang kedua ini Agama mencakup teori-teori, dogma
atau doktrin bagi sebuah realitas.
Menurut Roland Robertson ada banyak ragam sikap dari gerakan-
gerakan berbasis Agama dalam menyikapi modernisasi dan sekularisasi.
Pertama, mereka yang menunjukkan sikap skeptis dan protes terhadap
perubahan mendasar dalam struktur kehidupan sosial yang diakibatkan
oleh modernisasi dan sekularisasi. Kedua, yang mengikuti modernisasi
tapi menentang sekularisasi. Ketiga, yang melakukan penyesuaian
terhadap lingkungan modern, bahkan secara implisit menjadi agen
penyebar sekularisasi.
Karen Amstrong menyatakan bahwa kita tidak bisa menjadi
religius dalam cara yang sama seperti para pendahulu kita di dunia pra
modern yang konservatif. Betapapun kerasnya kita berusaha menerima
dan melaksanakan warisan tradisi Agama pada masa keemasannya, kita
memiliki kecenderungan alami untuk melihat kebenaran secara faktual,
historis, dan empiris. Sebuah kebenaran Agama tidak cukup hanya
diyakini dan diceramahkan berulang-ulang, tetapi harus dibuktikan
secara nyata dan fungsional dalam kehidupan riil. Baik konservatisme
maupun modernisme, lanjutnya, bukanlah pilihan yang tepat. Keduanya
produk historis yang perlu dikaji ulang validitasnya.
2. Aliran Pemikiran Islam Tradisional dan Modern
Marilyn R. Waldman mengatakan bahwa pemahaman manusia
tentang tradisi agama, baik milik sendiri maupun milik orang lain, itu
terbatas. Bisa jadi pemahaman orang luar (outsider) lebih baik dari orang
dalam (insider).
Sejarah agama-agama dapat diajarkan melalui dua cara; teologis-
normatif dan humanis-antropologis. Teologis oleh insider, bersifat
theistic-subjectivism. Sementara humanis oleh outsider, bersifat
scientific-objectivism. Kedua bentuk pendekatan ini disebut sebagai
mode of thought.
Antara kedua pendekatan di atas terjadi ketegangan atau gap
yang sangat kuat. Antara budaya primitf dan modern. Maka untuk
menyikapi gap yang terjadi antara dua tradisi di atas, Peter Connoly
menyatakan perlunya orang dalam (insider) untuk belajar bagaimana
melangkah secara imajinatif di luar perspektif religius yang dimiliki agar

6 El-Darisa: Jurnal Pendidikan Islam Volume 1 Nomor 1 Tahun 2022


Tiara Nurjannah, Mohd.Fikri Azhari, M.Pd

memperoleh banyak ide sama seperti yang mungkin diperoleh orang


lain (outsider).
Sebaliknya, orang luar (outsider) juga perlu memiliki pandangan
dunia nonreligius, memiliki kewajiban mengimajinasikan bagaimana
bentuk suatu dunia ketika di dalamnya terdapat wilayah suci. Harus
terjadi timbal balik antara kedua pendekatan di atas (teologis dan
humanis).
Marlyn R. Waldman dalam kajiannya, terpengaruh oleh Jack
Goody dalamkaryanya, the Domestication of the Savage Mind. Temuan
Goody merupakan reaksi atas berbagai hal yang disebut pemikiran
“chotomous” tentang sejarah kebudayaan yang mengijinkan studi
agama; penjelasan dikotomi tentang sejarah pemikiran merupakan
jawaban atas problem seperti “primitif/modern”, “tradisi besar/tradisi
kecil”, “budaya agung/budaya rendah”, atau trikotomi tentang
“primitive/tradisional/modern”. Budaya primitive merupakan illeterate
society, sementara budaya modern merupakan literate society.
Tetapi teori ini mendapatkan kritik, karena ditemukan bahwa
dalam budaya modern masih terdapat budaya primitif, artinya budaya
modern tidak berarti kemajuan dari budaya primitif. Sebagai contoh,
agresi Amerika ke Irak, menunjukkan budaya primitive dalam
masyarakat modern, yaitu mental agresi.
Jika kita teliti lebih cermat, secara global, di kalangan umat Islam
terdapat empat orientasi pemikiran ideologis yang dianggap mewakili
kelompok-kelompok yang ada: tradisionalis-konservatif, reformis-
modernis, radikal-puritan, dan sekuler-liberal.
Kelompok tradisionalis-konservatif adalah mereka yang
menentang kecenderungan pembaratan (westernizing) yang terjadi pada
beberapa abad yang lalu atas nama Islam, seperti yang dipahami dan
dipraktikkan di kawasan-kawasan tertentu.
Kelompok ini juga ingin mempertahankan beberapa tradisi ritual
yang diperaktekkan oleh beberapa ulama’ salaf. Para pendukung
orientasi ideologis semacam ini bisa ditemukan khususnya di kalangan
penduduk desa dan kelas bawah.
Kelompok reformis-modernis adalah kelompok yang memandang
Islam sangat relevan untuk semua lapangan kehidupan, publik, dan
pribadi. Bahkan mereka menyatakan bahwa pandangan-pandangan dan
praktik tradisional harus direformasi berdasarkan sumber-sumber asli
yang otoritatif, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah (purifikasi Agama),
dalam konteks situasi dan kebutuhan kontemporer.
Pemikiran Islam modern ini merupakan pemikiran yang memiliki
kecenderungan untuk mengambil beberapa pemikiran Barat yang
modern, rasional bahkan liberal, atau menafsirkan 215 Islam melalui
pendekatan rasional untuk menyesuaikan dengan perkembangan
zaman.
Kelompok modernis ingin menjadikan Agama sebagai landasan
dalam menghadapi modernitas. Menurutnya, Agama tidak bertentangan

El-Darisa: Jurnal Pendidikan Islam Volume 1 Nomor 1 Tahun 2022 7


Aliran Islam

dengan perkembangan zaman modern, sehingga mereka ingin


menginterpretasikan ajaran-ajaran Agama sesuai dengan kebutuhan
modern. Mereka menyatakan bahwa tidak ada pertentangan antara
Islam dan modernitas. Menurut mereka, hukum Islam tidak baku, tapi
harus dirubah sesuai dengan situasi sosial yang sedang berkembang.
Kelompok ini menganjurkan penafsiran ulang atas Islam secara
fleksibel dan bekelanjutan, sehingga umat Islam dapat mengembangkan
pemikiran keagamaan yang sesuai dengan kondisi modern. 24
Kelompok ini ada yang menyebutnya sebagai neo-mu’tazila, 25 karena
pemikiran Mu’tazilah yang rasional memiliki peran dalam membentuk
pola berpikirnya kelompok ini.
Kecenderungan modernisasi pemikiran Islam muncul pada
dekade akhir abad ke-19 sebagai tanggapan atas pembaratan rezim dan
pemerintahan Eropa. Kultur elit muslim saat itu terbagi menjadi
kelompok yang terbaratkan dan kelompok tradisional, dan kelompok
modernis mencoba untuk mempersatukannya
3. NU dan Muhammadiyah di Indonesia
Meskipun, dalam wujudnya, pemahaman ideologi keagamaan
sangat beragam, di Indonesia, terutama di dalam masyarakat Jawa,
hanya dikenal adanya Islam NU dan Islam Muhammadiyyah. NU sering
dilihat sebagai kelompok tradisionalis, sementara Muhammadiyyah,
sebagai kelompok modernis.
Namun dikotomi ini kemudian dianggap tidak layak lagi, karena
dalam perkembangan selanjutnya, NU bersifat lebih terbuka terhadap
modernitas. Bahkan dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Arbiyah Lubis, ditemukan bahwa Muhammadiyyah termasuk dalam
kelompok tradisionalis modernis.
Di mana Muhammadiyyah tampil sebagai modernis hanya dalam
dunia pendidikan. Akan tetapi dalam memahami teks al Qur’an dan
Hadith sebagai sumber ijtihad, Muhammadiyyah berada dalam
kelompok tradisonalis.
Paham tradisionalisme yang dianut oleh organisasi
Muhammadiyyah, menurut Arbiyah Lubis, tercermin dalam teologi
yang dianutnya, yaitu paham jabariyyah yang mengaku kehendak
mutlak Tuhan, ketidakbebasan manusia dalam memilih perbuatannya
dana memberikan daya yang kecil kepada akal untuk memamahmi
masalah-masalah akidah.
Meskipun demikian, kelompok tradisionalis, di Indonesia,
biasanya bergabung dengan organisasi bernama NU, sementara
kelompok modernis, reformis, radikalis, puritan dan fundamentalis,
lebih memilih Muhammadiyyah sebagai organisasi keagamaannya. Dari
itu, untuk lebih memudahkan pembagian kelompok umat Islam di
Indesia, seringkali hanya digunakan dua organisasi ternama di atas.
Beberapa hal yang menjadi perbedaan antara NU dan
Muhammadiyyah adalah bahwa NU tidak menolak beberapa praktik
ritual yang tidak tertulis dalam Hadith sahih, atau tidak sesuai dengan

8 El-Darisa: Jurnal Pendidikan Islam Volume 1 Nomor 1 Tahun 2022


Tiara Nurjannah, Mohd.Fikri Azhari, M.Pd

pemikiran modern, karena, menurut mereka, tidak berarti sesuatu yang


tidak tercantum dalam Hadith sahih itu bertentangan dengan Islam
selama masih belum menyangkut masalah akidah. Prinsip kaum
tradisionalis adalah ‘adam al-wujûd lâ yadullu ‘alâ ‘adam al-wujdân.
Sebaliknya, Muhammadiyyah menganggap sesuatu yang tidak
tercantum di dalam hadith saheh dianggap sebagai sesuatu yang
menyimpang dari ajaran Islam dan tidak boleh diamalkan, karena akan
berdosa dan berimplikasi buruk terhadap akidah.
Dalam bentuk praktik ritual di waktu sholat jum’at, NU
menggunakan dua adzan, sementara Muhammadiyyah menggunakan
dua adzan. Bentuk mimbar yang digunakan juga berbeda, NU
menggunakan mimbar bertongkar, sementara Muhammadiyyah
menggunakan bentuk mimbar modern.
Perbedaan lain yang sangat mencolok adalah dalam penetapan
awal puasa dan hari raya, pelaksanaan sholat tarawih dan sholat Id.
Kelompok NU dalam menetapkan awal bulan puasa dan hari raya (Id)
berpegang pada konsep ru’yah, sementara Muhammadiyyah berpegang
pada hisâb. Dalam pelaksanaan sholat tarawih, kelompok NU berpegang
pada jumlah 20 raka’at, sementara Muhammadiyyah berpegang pada
jumlah 8 raka’at.
Dalam pelaksanaan shholat Id, kelompok NU melakukannya di
masjid, sementara orang Muhammadiyyah di lapangan terbuka.
Dalam bidang pendidikan, NU menggunakan gaya sorogan,
menggunakan kitab kuning sebagai bahan kajian, yaitu kitab-kitab karya
al-Ghazali dan beberapa pemikir lainnya, yang muncul pada abad Islam
klasik. Sementara dalam pendidikan yang dikelolah Muhammadiyyah,
menggunakan sistem klasikal, menggunakan kitab putih sebagai ganti
dari kitab kuning. Dan masih banyak lagi beberapa bentuk perbedaan
yang lain, yang bisa dijadikan sebagai dasar dalam memilah masyarakat
Islam di Indonesia, menjadi NU dan Muhammadiyyah
SIMPULAN
Sejarah merekam bahwa Islam sebagai agama Universal justru mendapat
tantangan dari dirinya sendiri (Universalitas). Setiap pemeluk islam jika
melihat ke dalam keluasan aspek dan pembahasannya maka meniscayakan
beragamnya pendapat dan pandangan , tak ayalnya samudera tak bertepi,
islam berusaha untuk selalu “diarungi” sejauh dan sedalam mungkin. Maka
dari itu, kita melihat banyaknya kaum muslimin baik perorangan atau
kelompok yang senantiasa berusaha sekuat mungkin untuk menemukan
hakikat ajarannya yang Universal. Tak heran jika terjadi gesekan pandangan
dan perbedaan pendapat yang mengemuka. Namun, bagi kami justru hal ini
merupakan anugerah yang memperkaya khazanah keilmuan islam.

El-Darisa: Jurnal Pendidikan Islam Volume 1 Nomor 1 Tahun 2022 9


Aliran Islam

Perbedaan yang terjadi pada ranah teologi, politik, tasawuf, hukum


hingga bangunan filsafat dan yang lainnya memberi warna dan corak tersendiri
bagi dinamika peradaban Islam. Dari pemaparan kami di atas, dapat pembaca
bayangkan betapa kayanya peradaban yang dibangun oleh Islam dan semua
hal itu adalah buah hasil dari pergesekan, perbedaan dan dialektika yang
terjadi di sepanjang sejarah islam.
Terlalu naif rasanya jika kami harus menyimpulkan ( menyempitkan )
keluasan khazanah yang dimiliki Islam. Namun, jika diizinkan kami ingin
memberi catatan akhir bagi pemaparan pembahasan kami bahwasanya jika kita
tarik ke kehidupan beragama kita saat ini, tentu kita seharusnya meneladani
semangat yang diwariskan oleh para penyambung keagungan pesan yang
terkandung dalam Islam.
REFERENSI
Thahir, Lukman S. Studi Islam Interdisipliner. Aplikasi Pendekatan Filsafat,
Sosiologi dan Sejarah. Yogyakarta: Qalam, 2004

Tim Penyusun. Pengantar Studi Islam. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press,
2006.

Mustofa, M. Luthfi. Pendekatan dalam Studi Islam. Makalah Kelas Program


Doktor IAIN Sunan Ampel Surabaya, angkatan 2003

http://ejournal.kopertais4.or.id/tapalkuda/index.php/tarbawi/article/
view/3996

https://journal.uny.ac.id/index.php/jpka/article/view/2796

https://journal.uny.ac.id/index.php/jpka/article/view/2796

10 El-Darisa: Jurnal Pendidikan Islam Volume 1 Nomor 1 Tahun 2022

Anda mungkin juga menyukai