Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

POLITIK ISLAM DAN MASYARAKAT MADANI

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam


Dosen Pengampu : Sigit Tri Utomo, SPd.I.,MPd.I

Disusun oleh:
Mirza Suci Mubarokah (2120303040)
Witantri Yuliani (2120303056)
Ernawati Widiastuti (2140303104)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TIDAR
2022
KATA PENGANTAR
Puji Syukur yang kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam, dengan judul “Politik
Islam dan Masyarakat Madani”.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran, dan kritik
sehingga makalah ini dapat terselesaikan..
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki. Oleh
karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik
yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya, kami berharap semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

Karanganyar, 07 April 2022

Tim Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu negara yang mayoritas penduduknya yang menganut agama
Islam yaitu Negara Indonesia. Jumlah umat Islam di Indonesia merupakan yang
terbanyak di antara negara-negara yang lain dalam konteks politik. Dalam
membangun hubungan politik antar Agama Islam, Indonesia mengalami
kesulitan yang cukup serius. Tidak hanya di Indonesia saja, tetapi hal ini juga
terjadi di berbagai negara lain yang mayoritas penduduknya juga menganut
agama islam, seperti Pakistan, Turki, Maroko, Aljazair, dan Libia. Hubungan
politik antara Islam dan Negara di negara-negara tersebut ditandai oleh berbagai
ketegangan-ketegangan yang tajam. (Bahtiar Effendy, 1998:2)
Kesulitas hubungan politik tersebut dapat dilihat dalam dua perdebatan
pokok. Pertama, kelompok yang menghendaki adanya kaitan formal antara
Islam dan negara baik dalam bentuk negara Islam, dimana Islam dianggap
sebagai agama negara atau negara yang memberlakukan ajaran Islam. Kedua,
kelompok yang menentang kaitan antara Islam dan negara dalam bentuk
apapun. Sistem aplikasi dalam konteks politik yang berbeda dapat dibentuk
akibat kontruksi paradigma keagamaan yang berbeda tersebut. Selanjutnya,
terdapat perkembangan yang memunculkan dua kelompok lagi yakni kelompok
tradisional dan kelompok modernis. Hal tersebutlah yang menjadi
permasalahan penting mengenai sistem negara atau sistem politik Islam.
Politik Islam di Indonesia sekarang juga di sertai dengan implementasi
model masyarakat yaitu “masyarakat madani”. Masyarakat madani juga dapat
dipahami sebagai masyarakat sipil. Sejak masa reformasi, masyarakat sipil
boleh berkiprah di pemerintahan dan boleh menduduki berbagai jabatan
penting. Tetapi, dalam pencapaiannya, masyarakat madani dalam menyusun
pencanangan sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip awalnya. Dimana,
kebebasan warga sipil dapat melakukan apa saja tanpa harus memperhatikan
prinsip-prinsip masyarakat madani yang sebenarnya.
Oleh karena itu, dalam pembahasan ini akan di kaji mengenai politik
islam lebih dalam serta prinsip-prinsipnya. Selanjutnya akan di kemukakan juga
mengani konsep masyarakat Madina beserta prinsip-prinsipnya serta
bagaimana mewujudkan masyarakat madani di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang permasalahan yang ada maka dikemukakan
perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari politik ?
2. Bagaimana politik dalam perspektif Islam?
3. Apa saja prinsip-prinsip dasar politik Islam?
4. Apa pengertian masyarakat madani ?
5. Apa karakteristik dan prinsip masyarakat madani ?
6. Apa konstelasi politik Islam di Indonesia?
1.3 Tujuan
Adapun tujuannya yaitu sebagai berikut :
1. Mengetahui pengertian politik
2. Mengetahui politik dalam perspektif Islam.
3. Mengetahui prinsip-prinsip dasar politik Islam.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Politik


Secara etimologi, politik berasal dari bahasa Belandaa “politiek” dan
bahasa inggris “politics”, yang artinya masing-masing bersumber dari bahasa
Yunani (politika) dengan akar katanya (polities). “Politik” masih berhubungan
dengan polisi, kebijakan sedangkan politis yaitu hal yang berhubungan dengan
politik. Kata “politis” yaitu orang yang menekuni hal politik.
Secara terminologi politik merupakan proses pembentukan dan
pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses
pembuatan keputusan, khusunya dalam negara. Pengertian ini merupakan
upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat
politik yang dikenal dalam ilmu politik.

2.2 Politik dalam Perspektif Islam


Politik adalah suatu proses pembentukan dan pembagian kekuasaan
dalam masyarakat, yang dapat berwujud berupa proses pembuatan keputusan
khususnya dalam bernegara. Selain itu, politik dapat diartikan sebagai seni
untuk meraih kesuksesan secara konstitusional maupun non konstitusional.
Dalam konteks berpolitik, terdapat beberapa kunci seperti konsep politik,
partisipasi politik, proses bahkan partai.
Begitu pula dengan islam, definisi politik dalam islam tidak jauh berbeda
dengan definisi politik secara umumnya, namun dengan menitikberatkan pada
sumbernya yaitu Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber utama. Selain itu,
adanya hukum-hukum atau yang disebut dengan syariat dan pentingnya kepala
berkonsultasi dengan dewan syura mengenai permasalahan syariat dan adanya
kewajiban menggulingkan kepala negara yang tidak berbuat adil. Sehingga,
politik dalam islam sangat dianjurkan bahkan diwajibkan untuk sesuai dengan
syariat islam dan bertujuan untuk memperbaiki akhlaq manusia dengan cara
memperkenalkan agama dalam politik.
Politik Islam memberikan pegurusan atas urusan seluruh umat Muslim.
Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum
masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya menyimpang dari
kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka yang beraqidah sekularisme, baik
dari kalangan non muslim atau dari kalangan umat muslim. Jadilah politik
disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang dilakukan oleh para
politisi maupun penguasa. Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam,
kezaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono mereka
dalam mengurusi masyarakat memalingkan makna lurus politik tadi. Bahkan,
dengan pandangan seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya bukan
sebagai pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini, akan memicu
proganda kaum sekularis bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam).
Sebab, orang yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga
tidak cocok berkecimpung dalam politik yang merupakan dusta, kezhaliman.
Cara pandang inilah yang akan mempengaruhi sebagian kaum musmilin yang
juga sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan Islam. Padahal proganda
tersebut merupakan kebenaran yang digunakan untuk kebaikan. Jadi, secara
ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.

2.3 Prinsip-Prinsip dasar Politik Islam


1. Teori Politik Islam dan Tokoh-Tokohnya
Pemahaman Islam baik dalam masalah teologi, fikih, maupun
filsafat menunjukkan adanya variasi interpretasi (multi interpretatif). Hal
ini ditunjukkan dengan munculnya berbagai aliran (mahzab) dalam ketiga
domain Islam tersebut.
Munawir Sadzali mengklasifikasikan pemikiran berbagai tokoh
tentang politik Islam menjadi tiga aliran pemikiran, yaitu :
a. Berpenderian bahwa Islam bukanlah semata-mata menyangkut
hubungan manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu
agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala
aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Tokohnya :
Ilasanal-Banna, Sayyied Quthub, Muhammad Rasyid Ridla, at-
Maududi.
b. Berpendirian bahwa Islam tidak berhubungan dengan ketatanegaraan.
Tokohnya : Ahmad Luffi Sayyid, Ali Abdul Raziq, dan Thaha Husain.
c. Berpendirian bahwa Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan tetapi
terdapat nilai etika. Didalam Islam terdapat seperangkat prinsip dan
tata nilai etika bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti
yang dietmukan dalam al-Qur’an memiliki kelenturan dalam
pelaksanaan dan penerapannya dengan memperhatikan perbedaan
situasi dan kondisi antara satu zaman dengan zaman lainnya, antara
satu budaya dengan budaya yang lain. Tokohnya: Muhammad Hisain
Haikal.
Terlepas dari ketiga aliran tersebut, ada dua bentuk praktik politik
Islam di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam :

a. Ada yang secara legal-formal menjadikan Islam sebagai dasar


negaranya. Syariah (hukum Islam) dijadikan sebagai konstitusi
negara. Sebagai contoh, bisa dilihat praktik politik Islam di Iran dan
beberapa negara Islam di Timur Tengah.
b. Tidak secara legal-formal menjadikan Islam sebagai dasar negaranya
dan syariah sebagai konstitusinya, tetapi prinsip-prinsip atau nilai-
nilai Islam yang umum dan universal ikut mewarnai praktik-praktik
politik di negara-negara tersebut. Aliran ini lebih menekankan
substansi daripada bentuk negara yang legal-formal. Indonesia secara
umum menerapkan praktik politik dengan model aturan aliran yang
kedua dengan kekhasan yang tentunya berbeda dari negara-negara
yang lain.

2. Prinsip-Prinsip Politik dalam Islam


Prinsip-prinsip politik Islam, terutama terkait dengan kepemimpinan
di tinjau dari perspektif al-Qur’an dan hadist bisa dijelaskan sebagai
berikut :
a. Tidak memilih orang kafir sebagai pemimpin (Q.S. An-Nisa’ (4);144),
orang-orang Yahudi dan nasrani (Q.S. Al-Maidah (5):51-53), orang-
orang yang mempermainkan agama dan mempermainkan shalat (Q.S.
Al-Maidah (5):56-57), musuh Allah SWT dan musuh orang mukmin
(QS. Al-Mumtahanah (60):1), dan orang-orang yang lebih mencintai
kekufuran daripada iman (QS. At-Taubah (9):23).
b. Setiap kelompok harus memilih pemimpin,sebagaimana dijelaskan
dalam hadist : “jika tiga orang melakukan suatu perjalanan, angkat
salah seorang di antara merek sebagai pemimpin” (HR. Abu Daud).
c. Pemimpin harus dapat diterima ummatnya, sebagiamana dijelaskan
dalam hadist :”sebaik-baiknya pemimpin adalah mereka yang kamu
cintai dan mencintai kamu, kamu berdoa untuk mereka dan mereka
berdoa untukmu. Seburuk-buruknya pemimpinmu adalah mereka yang
kamu benci dan mereka membencimu, kamu melaknati mereka dan
melaknati kamu” (HR. Muslim).
d. Pemimpin mengerti bahwa status kepemimpinannya adalah amanah
dari Allah Swt. Yang sweaktu-waktu diberikan kepada seseorang dan
diambil dari seseorang. “Katakanlah Wahai Tuhan yang mempunyai
kerajaan Engkau berikan kerajaan kepada orang yang engkau
kehendaki.” (QS. Ali- Imran (3):26).
e. Pemimpin yang memperhatikan kepentingan kaum muslim. Prinsip ini
didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW :”siapa yang
memimpin, sedangkan ia tidak memperhatikan urusan kaum muslimin,
tidaklah ia termasuk dalam golongan mereka.” (HR. Al-Bukhari).

Dasar-dasar kepemimpinan dalam Islam menurut Shalahuddin


Sanusi (1964) :
a. Persamaan dan persaudaraan.
b. Dalam kehidupan masyarakat yang dipimpinnya harus menegakkan
dan memelihara hubungan persaudaraan.
c. Kepemimpinan merupakan amanat, tugas, atau kewajiban yang harus
dilaksanakan pemimpin.
d. Dalam melaksanakan kepemimpinan, ia harus bermusyawarah untuk
mengambil keputusan.
e. Hukum itu hayalah pada Allah SWT.
f. Ketaatan ummat kepada pemimpin.
g. Ummat wajib taat kepada pemimpin yang mereka amanati untuk
melaksanakan tugas dan kewajiban yang dipercayakan kepadanya.

2.4 . Masyarakat Madani

1. Pengertian Masyarakat Madani

Istilah "Madani" berasal dari bahasa Arab 'madaniy'. Kata "madaniy'


berakar pada kata kerja madana' yang artinya mendiami, tinggal, atau
membangun. Dalam bahasa Arab kata 'madaniy' mempunyai beberapa arti,
di antaranya yang beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil
atau perdata (Munawwir, 1997:1320). Dari kata 'madana' juga muncul kata
'madany' yang berarti urbanisme (paham masyarakat kota). Secara
kebetulan atau dengan sengaja bahasa arab menangkap persamaan yang
sangat esensial di antara peradaban dan urbanisme. Dengan mengetahui
makna kata 'madani' maka istilah masyarakat madani (al-mujtama' al-
madniy) secara mudah bisa dipahami sebagai masyarakat yang beradab,
masayarakat sipil, dan masyarakat yang tinggal di suatu kota atau yang
berpaham masyarakat kota yang akrab dengan masalah pluralisme. Dengan
demikian masyarakat madani merupakan suatu bentuk tatanan masyarakat
yang bercirikan hal-hal seperti itu yang tercermin dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Istilah masyarakat madani dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah civil
society pertama kali dikemukan oleh Cicero dalam filsafat politiknya
dengan istilah societies civilis yang identik dengan negara. Dalam
perkembangannya istilah civil society dipahami sebagai organisasi-
organisasi masyarakat yang terutama bercirikan kesukarelaan dan
kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara serta keterikatan
dengan nilai-nilai atau norma hukum yang dipatuhi masyarakat. Bangsa
Indonesia berusaha untuk mencari bentuk masyarakat madani yang pada
dasarnya adalah masyarakat sipil yang demokrasi dan agamis/religius.
Dalam kaitannya pembentukan masyarakat madani di Indonesia, maka
warga negara Indonesia perlu dikembangkan untuk menjadi warga negara
yang cerdas, demokratis, dan religius dengan bercirikan imtak, kritis
argumentatif, dan kreatif. berfikir dan berperasaan secara jernih sesuai
dengan aturan, menerima semangat Bhineka Tunggal Ika, berorganisasi
secara sadar dan bertanggung jawab, memilih calon pemimpin secara jujur-
adil, menyikapi mass media secara kritis dan objektif, berani tampil dan
kemasyarakatan secara profesionalis,berani dan mampu menjadi saksi,
memiliki pengertian kesejagatan, mampu dan mau silih asah-asih-asuh
antara sejawat, memahami daerah Indonesia saat ini, mengenal cita-cita
Indonesia di masa mendatang dan sebagainya.

2.5 Karakteristik dan Prinsip Masyarakat Madani

1. Karakteristik Masyarakat Madani

Karakteristik masyarakat madani adalah sebagai berikut:

a) Free public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat


memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak
melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat,
berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada
publik.
b) Demokratisasi, yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip
demokrasi sehingga muwujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk
menumbuhkan demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat
berupa kesadaran pribadi. kesetaraan, dan kemandirian serta
kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada orang lain dan
menerima perlakuan demokratis dari orang lain. Demokratisasi dapat
terwujud melalui penegakkan pilar-pilar demokrasi yang meliputi:
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pers yang bebas, Supermasi
Hukum. Prguruan Tinggi, Partai Politik.
c) Toleransi, yaitu kesediaan individu untuk menerima pandangan
pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda dalam masyarakat,
sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang
dilakukan oleh orang/kelompok lain.
d) Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat
yang majemuk disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai
nilai kesetaraan, dan kemandirian serta kemampuan untuk berperilaku
demokratis kepada orang lain dan menerima perlakuan demokratis dari
orang lain. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan pilar-
pilar demokrasi yang meliputi: Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
Pers yang bebas, Supermasi Hukum, Prguruan Tinggi, Partai Politik.
e) Toleransi, yaitu kesediaan individu untuk menerima pandangan
pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda dalam masyarakat,
sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang
dilakukan oleh orang/kelompok lain.
f) Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat
yang majemuk disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai
nilai positif dan merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
g) Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian
yang proporsional antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab
individu terhadap lingkungannya.
h) Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih
dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain,
sehingga masyarakat memiliki kedewasaan dan kemandirian berpolitik
yang bertanggungjawab.
i) Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya
keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang
memiliki dan perlakuan hukum yang sama kedudukan tanpa kecuali.
Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat
madani di Indonesia diantaranya:
1. Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum
merata
2. Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat
3. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis masyarakat
moneter
4. Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan
kerja yang terbatas.
5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang
besar
6. Kondisi sosial politik yang belum pulih pasca reformasi

2. Prinsip-Prinsip Dasar Masyarakat Madani

Prinsip dasar masyarakat madani dalam konsep politik Islam sebenarnya di


dasarkan pada prinsip kenegaraan yang dijalankan pada masyarakat
Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Masyarakat
madinah adalah masyarakat yang plural yang terdiri dari berbagai suku,
golongan, dan Agama Islam datang ke Madinah dengan bangunan konsep
ketatanegaraan yang mengikat aneka ragam suku, konflik, dan perpecahan.
Islam mampu membawa perubahan radikal dalam kehidupan individual dan
sosial Madinah karena kemampuannya mempengaruhi kualitas seluruh
aspek kehidupan (al-Umari, 1995:51).

Menurut al-Umari (1995:63-120), ada beberapa prinsip dasar yang bisa di


identifikasi dalam pembentukan masyarakat Madani, dimana ke lima
prinsip dasar ini di buat oleh Nabi untuk mengatur masyarakat Madinah
yang tertuang dalam suatu piagam yang kemudian dikenal dengan piagam
Madinah, di antaranya adalah (1) adanya sistem Muakhah (persaudaraan),
(2) ikatan Iman, (3) ikatan cinta, (4) persamaan si kaya dan si miskin, dan
(5) toleransi umat beragama. Prinsip-prinsip masyarakat madani seperti itu
sangat ideal untuk di terapkan di negara dan masyrarakat manapun, tetnunya
dengan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi dengan kondisi lokal dan
keyakinan serta budaya yang di miliki oleh masyarakat tersebut.

2.6. Hubungan Islam Dan Negara Pada Masa Orde Baru

Partai Islam yang dinemtuk pasca kemerdekaan adalah Masyumi, Perti,


PSII, dan NU. Masyumi dibentuk dalam Mukhtamar Islam Indonesia di
Yogyakarta tanggal 7-8 November 1945. Dalam mukhtamar ini diputuskan
bahwa Masyumi merupakan satu-satunya partai politik Islam di Indonesia,
dan Masyumilah yang akan memperjuangkan nasib politik umat Islam di
Indonesia (A. Syafi’i Ma’arif, 1985:111-112). Naiknya Presiden Soeharto
melahirkan babak baru hubungan Islam dan Negara di Indonesia. Menurut
Imam Aziz, pola hubungan antara keduanya secara umum dapat
digolongkan ke dalam 3 pola :
1. hubungan yang bersifat antagonistik (1966-1981)
2. hubungan yang bersifat resiprokal-kritis (1982-1985)
3. hubunngan yang bersifat akomodatif (1986-1998)

Antagonistik dan Akomodatif. Hubungan antagonistik merupakan sifat


hubungan yang mencirikan adanya ketengangan antara Islam dan Negara
orde baru bahkan terdapat kesamaan untuk mengurangi konflik antara
keduanya.Namun Thaba, telah terjadi hubungan agama dan Negara Orde
Baru yang bersifat resiprokal-kritis yakni awal dimulainya penurunan
ketegangan antara agama dan Negara di Indonesia.

Hubungan antagonis antara Negara orde dengan kelompok Islam dapat


dilihat dari kecurigaan yang lebih dan pengekangan kekuatan Islam yang
berlebihan yang dilakukan Presiden Soeharto.Sikap serupa merupakan
kelanjutan dari sikap kalangan nasionalis sekuler terhadap Islam, khususnya
di era 1950an.

Sikap curiga dan kekhawatiran terhadap Islam membawa implikasi terhadap


keinginan Negara untuk berusaha mengahalangi dan melakukan
domestikasi (pengdangkalan dan penyempitan) gerak politik Islam, baik
semasa Orde Lama dan orde Baru.

2.6. Perwujudan Masyarakat Madani di Indonesia

Masyarakat madani ditegakkan atas dasar dua semangat, yakni:


1. Semangat rabbaniyah
2. Semangat insaniyah
Terbentuknya masyarakat madani merupakan bagian mutlak dari wujud
cita-cita kenegaraan, yakni mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Masyarakat madani tidak akan terwujud jika hukum tidak ditegakkan
dengan adil, yang dimulai dengan ketulusan komitmen pribadi.
BAB III

KESIMPULAN

Politik dan moral. Bagi kebanyakan kita, mungkin dua kata itu terkesan
kontradiktif. saling bertentangan. Politik, pada satu sisi menurut pandanga
kebanyakan orang merupakan sesuatu yang rendah, kotor, penuh intrik, dan
menghalalkan segalah cara. Sedangkan moral, di sisi lain, merupakan sesuatu agung
yang luhur.

Di tangan Imam Ali, politik dan moral adalah merupakan saudara kembar, tak
terpisahkan satu sama lain. Kepemimpinannya adalah politik, sedangkan dirinya
adalah moral. Politiknya adalah produk dari moralnya, tentunya Ali mentauladani
cara berpolitik Rasulullah Muhammad SAW. Di mata Ali pemerintah dan
kekuasaan yang tidak mempraktikkan kebenaran dan tidak melenyapkan
kebohongan adalah makhluk terburuk di dunia.

Masyarakat madani yang merupakan satu tatanan masyarakat ideal di tegakkan


atas dasar dua semangat, yakni semangat rabbaniyah dan semangat insaniyah. Hal
lain yang di tuntut demi tegaknya masyarakat madani adalah masalah keterbukaan
dan kebersamaan serta persamaan hak bagi semua orang untuk terlibat dalam
urusan kenegaraan dan pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA

Belakang, A. L. (1950). “Bhineka Tunggal Ika.” 1–17.


Mayssara A. Abo Hassanin Supervised, A. (2014). Sejarah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Paper Knowledge . Toward a Media History of
Documents.

Anda mungkin juga menyukai