Anda di halaman 1dari 16

SISTEM POLITIK ISLAM DAN MASYARAKAT MADANI

TUGAS INDIVIDU
MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Dosen Pengampu : Yuliatun S. Pd. I M.Si.

Disusun oleh:
Hasry Wyanda
202101376
Jl. Duku 1 No. 54, Kramat Sel., Kec. Magelang Utara, Kota Magelang, Jawa
Tengah 56
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan
makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.

Agama sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji
melalui berbagai sudut pandang. Islam sebagai Agama telah berkembang selama empat belas
abad lebih menyimpan banyak masalah yang perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan
pemikiran keagamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang saya hadapi.
Namun saya menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi
teratasi.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Sistem Politik
Islam dan Masyarakat Madani, yang saya sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai
sumber informasi, referensi, dan berita.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Akatirta. Saya sadar
bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada
dosen pembimbing saya meminta masukannya demi perbaikan makalah di masa yang akan
datang dan mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.

Pangkalan Bun, 25 November 2021

Hasry Wyanda

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................ii
BAB I......................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.......................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.................................................................................................................2
1.3. Tujuan Penulisan...................................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................3
2.1. Definisi Politik secara Umum..................................................................................................3
2.2. Politik dalam Prespektif Islam.................................................................................................3
2.3. Prinsip-Prinsip Dasar Politik Islam.........................................................................................5
2.4. Pengertian Masyarakat Madani..............................................................................................7
2.5. Karakteristik Masyarakat Madani..........................................................................................8
2.6. Prinsip-prinsip Dasar Masyarakat Madani.............................................................................9
2.7. Piagam Madinah...................................................................................................................10
BAB III..................................................................................................................................................12
PENUTUP.............................................................................................................................................12
3.1. Kesimpulan...........................................................................................................................12
3.2. Saran....................................................................................................................................13
3.3. Daftar Pustaka......................................................................................................................14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia merupakan sebuah Negara yang mayoritas penduduknya memeluk
Agama Islam. Bahkan jumlah umat Islam di Indonesia merupakan yang terbanyak
diantara negara-negara di dunia sekarang ini. Dalam konteks politik, Indonesia
mengalami kesulitan yang cukup serius dalam membangun hubungan politik antar
Agama (Islam) dengan Negara. Hal ini juga terjadi di negara-negara lain yang
mayoritas penduduknya agama Islam, seperti Maroko, Aljazair, Libia, Pakistan, dan
Turki. Hubungan politik antara Islam dan Negara di negara-negara tersebut ditandai
oleh ketegangan-ketegangan yang tajam, jika bukan permusuhan (Bahtiar Effendy,
1998:2).
Secara umum kesulitan hubungan tersebut dapat di lihat dalam dua perdebatan
pokok. Pertama, kelompok yang menghendaki adanya kaitan formal antara Islam dan
negara baik dalam bentuk negara Islam, Islam sebagai agama negara, atau negara
yang memberlakukan ajaran Islam. Kedua, kelompok yang menentang kaitan antara
Islam dan negara dalam bentuk apapun. Konstruksi paradigma keagamaan yang
berbeda tersebut dapat membentuk sistem aplikasi dalam konteks politik yang
berbeda pula. Perkembangan selanjutnya muncul dua kelompok yang dikenal dengan
kelompok tradisional dan kelompok modernis. Itulah permasalahan penting ketika
kita berbicara tentang sitem negara atau sistem politik Islam.
Sementara itu, politik Islam di Indonesia sekarang diwarnai dengan
implementasi model masyarakat yang disebut “masyarakat madani”. Sejak kekuasaan
Soeharto memasuki masa-masa akhir pemerintahannya, istilah masyarakat madani
cukup populer dikalangan masyarakat Indonesia. Konsep itu lebih populer lagi setelah
pemerintahan Soeharto tumbang dan diganti dengan masa baru yang bertekad ingin
mewujudkan masyarakat madani di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Secara umum masyarakat madani sering di pahami sebagai masyarakat sipil
(civil society). Memang sejak masa reformasi, masyarakat sipil mulai mendapatkan
angin segar untuk banyak berkiprah di pemerintahan dan dapat menduduki berbagai
jabatan penting di negara ini. Namun, di sisi lain hasil yang dicapai dari pencanangan

1
masyarakat madani ini sudah tidak sesuai dengan prinsip awalnya. Yang tampak
hanyalah kebebasan warga sipil untuk melakukan apa saja tanpa harus memperhatikan
prinsip-prinsip masyarakat madani yang sesungguhnya, yakni yang memiliki prinsip-
prinsip dasar tersendiri.
Karena itu, pada bagian ini akan di kaji apa sebenarnya politik Islam itu dan
bagaimana dasar-dasarnya serta siapa saja tokoh-tokoh yang banyak menyumbangkan
pemikirannya tentang politik Islam. Selanjutnya akan di kemukakan juga konsep
masyarakat Madinah pada masa Nabi Muhammad Saw. Dan bagaimana mewujudkan
masyarakat madani di Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah


Beberapa pokok yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana Definisi Politik secara umum ?
2. Bagaimana Politik dalam Prespektif Islam ?
3. Bagaimana Prinsip-prinsip dasar Politik Islam ?
4. Bagaimana Masyarakat Madani ?
5. Bagaimana karakteristik Masyarakat Madani ?
6. Bagaimana Prinsip-prinsip dasar Masyarakat Madani ?
7. Bagaimana Isi Piagam Madinah?

1.3. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui Definisi Politik secara umum.
2. Mengetahui Politik dalam Prespektif Islam.
3. Mengetahui Prinsip-prinsip dasar Politik Islam.
4. Mengetahui Bagaimana Masyarakat Madani.
5. Mengetahui Karakteristik Masyarakat Madani.
6. Mengetahui Prinsip-prinsip dasar Masyarakat Madani.
7. Mengetahui Isi Piagam Madinah

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi Politik secara Umum

Secara Etimologi (bahasa) Politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan
bahasa Inggris politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani τα
πολιτικά (politika – yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya πολίτης
(polites – warga negara) dan πόλις (polis – negara kota). Kata “politisi” berarti orang-
orang yang menekuni hal poltik.
Secara Teminologi politik merupakan proses pembentukan dan pembagiaan
kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan,
khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara
berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu
politik.

2.2. Politik dalam Prespektif Islam

Politik didalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu,
didalam buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah,
misalnya dalam Al Muhith. Siyasah berakar kata sâsa – yasûsu. Dalam kalimat Sasa
adaawaba yasusuha siyasatan berarti Qama’alaiha wa radlaha wa adabbaha
(mengurusinya, melatihnya dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya
dabbarahu (mengurusi / mengatur perkara).
Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan
pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan
manusia dan orang yang mengurusi urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus
(siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri saat mengurusi
urusan rakyatnya, mengaturnya, dan menjaganya.
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya :
"Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya).
Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi
setelahku, namun akan ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim). Dengan

3
demikian politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan
masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum
muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan
melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu kita perlu mengetahui apa
yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin,
mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta
memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti
ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui
Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah
(hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan
urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim).

Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa yang paling utama. Ia menjawab :
"Kalimat haq yang disampaikan pada penguasa" (HR. Ahmad).

Berarti secara ringkas Politik Islam memberikan pengurusan atas urusan


seluruh umat Muslim. Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat terjadi
kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya
menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan
sekularisme, baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan umat Islam. Jadilah
politik yang disertai dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang dilakukan oleh
para politisi maupun penguasa. Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam,
kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono mereka dalam
mengurusi masyarakat memalingkan makna lurus politik tadi. Bahkan dengan
pandangan seperti itu, pengusasa justru menganggap rakyat sebagai musuhnya bukan
sebagai pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu propaganda kaum
sekularis bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam). Sebab, orang yang
paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok berkecimpung
dalam politik yang merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu daya. Cara
pandang demikian, sayangnya, sadar atau tidak memengaruhi sebagian kaum
muslimin yang juga sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan Islam. Padahal
propaganda tadi merupakan kebenaran yang digunakan untuk kebathilan (Samih

4
‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad Dauliyyah, hal. 31-33). Jadi secara
ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.

2.3. Prinsip-Prinsip Dasar Politik Islam

1. Teori Politik Islam dan Tokoh-tokohnya

Sebagian pemeluk Islam mempercayai bahwa Islam mencakup cara hidup


yang total, bahkan sebagian lagi melangkah lebih jauh dari hal ini. mereka
menekankan bahwa Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan
pemecahan terhadap semua masalah. Nazi Ayubi (dalam Bahtiar Effendy, 1988:7)
mengatakan bahwa umat Islam percaya akan sifat Islam yang sempurna dan
menyeluruh, sehingga menurut mereka Islam meliputi din (agama), dunya (dunia),
dan dalwah (negara). Karena itu, Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang
menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan. Islam harus diterima
dalam keseluruhannya dan harus di terapkan dalam kehidupan keluarga, ekonomi, dan
politik.
Pandangan seperti itu mengemuka dalam praktiknya di berbagai Negara yang
penduduknya mayoritas Islam terutama di Indonesia, namun gerakan-gerakan
mengenai pandangan yang di bawakan oleh sebagain golongan tersebut masih bersifat
eksklusif. Karena kendala bahwa di Indonesia memiliki dasar Negara Pancasila yang
mengakomodasi semua agama yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, sehingga
sangatlah sulit untuk mengekspresikan ajaran suatu agama dalam pentas politik secara
total dan mengabaikan kepentingan agama-agama lainnya.
Politik Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah Islam yang multi interpretatif.
Dari perjalanan wacana intelektual dan historis pemikiran dan praktek politik Islam,
ada beberapa pendapat yang berbeda-beda, beberapa bahkan saling bertentangan
mengenai hubungan yang sesuai antara Islam dan Negara. Dalam satu bukunya, Islam
dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (1993), Munawir Sadzali
menguraikan pemikiran politik Islam dari beberapa pemikir Muslim mulai dari masa
klasik sampai dengan masa modern, seperti pemikiran Ibnu Abi Rabi’, al-Farabi, al-
Mawardi, al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun (masa klasik dan pertengahan),
Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridla, Ali Abdul

5
Raziq, al-Ikhwan al-Muslimun, al-Maududi, dan Muhammad Husain Haikal (Masa
Modern).
Dari pikiran-pikiran mereka, Munawir Sadzali mengklasifikasikannya menjadi
tiga model atau aliran pemikiran. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah
semata-mata agama dalam pengertian barat, yakni hanya menyangkut hubungan
antara manusia dan Tuhan, akan tetapi sebaliknya Islam adalah suatu agama yang
sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segalah aspek kehidupan manusia,
termasuk kehidupan ber Negara. Tokoh-tokoh utama aliran ini antara lain adalah
Hasan Al-Banna, Sayyid Quttub, Muhammad Rasyid Ridla, Al-Maududi. Aliran
kedua berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat, yakni agama
tidak mempunyai hubungan dengan urusan kenegaraan. Tokoh-tokoh terkemuka dari
aliran ini antara lain Ahmad Lutfi Sayyid, Ali Abdul Raziq, dan thaha Husain. Sedang
aliran ketiga berpendirian bahwa dalam islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan,
tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan ber Negara. Aliran ketiga
ini menolak pendirian kedua aliran sebelumnya yang sangat ekstrim. Di antara tokoh
dari aliran ini adalah Muhammad Husain Haikal (Munawwir sadzali, 1993:1-2)
Terlepas dari ketiga bentuk aliran pemikiran di atas, kenyataannya ada dua
bentuk praktek politik Islam di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama
Islam, yaitu ada yang secara legal-formal menjadikan Islam sebagai dasar Negara.
Syariah (hukum Islam) di jadikan sebagai konstitusi negara. Sebagai contih, bisa di
lihat praktik politik Islam di Iran dan beberapa negara Islam di Timur Tengah. Di
samping itu, ada juga negara-negara yang tidak secara legal-formal menjadikan islam
sebagai dasar negaranya dan syariah sebagai konstitusinya, tetapi prinsip-prinsip atau
nilai-nilai Islam yang umum dan universal ikut mewarnai praktik politik di negara-
negara tersebut. Aliran ini lebih menekankan substansi daripada bentuk Negara yang
legal-formal. Indonesia secara umum menerapkan praktik politik dengan model aturan
aliran yang ke dua dengan kekhasan yang tentunya berbeda dari negara-negara lain.

2. Prinsip-prinsip Politik dalam Islam

Prinsip-prinsip politik Islam, terutama terkait dengan kepemimpinan, di tinjau


dari perspektif Al-Quran dan Hadist bisa dijelaskan seperti berikut ini:
a. Tidak memilih orang kafir sebagai pemimpin (QS. An-Nisa’ (4):144),
orang-orang yahudi dan nasrani (QS. Al-Maidah (5):51-53), orang-

6
orang yang mempermainkan agama dan mempermainkan shalat (QS.
Al-Maidah (5):56-57), musuh Allah Swt. Dan musuh orang mukmin
(QS. Al-Mumtahanah (60):1), dan orang-orang yang lebih mencintai
kekufuran dari pada iman (QS. At-Taubah (9):23).
b. Setiap kelompok harus memilih pemimpin sebagaimana di jelaskan
dalam hadist: “jika tiga orang melakukan suatu perjalanan, angkat
salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin” (HR. Abu Daud).
c. Pemimpin haruslah orang-orang yang dapat diterima, sebagaimana di
jelaskan dalam hadist :” sebaik-baiknya pemimpin adalah mereka
yang kamu cintai dan mencintai kamu, kamu berdoa untuk mereka dan
mereka berdoa untukmu. Seburuk-buruk pemimpinmu adalah mereka
yang kamu benci dan mereka membencimu, kamu melaknati mereka
dan melaknati kamu” (HR. Muslim).
d. Pemimpin yang maha mutlak hanyalah Allah Swt. Sebagaimana di
jelaskan dalam Al-Quran: “Maha Suci Tuhan yang di tangan-nyalah
segalah kerajaan dan Dia maha kuasa atas segalah sesuatu” (QS. Al-
Mulk (67):1); “dan kepunyaan Allah lah kerajaan antar keduanya”
(QS. Al-Maidah (5):18).
e. Kepemimpinan Allah Swt. Terhadap alam ini sebagian di delegasikan
kepada manusia, sesuai yang dikehendakiNya:” Katakanlah Wahai
Tuhan yang mempunyai kerajaan Engkau berikan kerajaan kepada
orang yang engkau kehendaki” (QS. Ali Imran (3):26). Status
kepemimpinan manusia hanya sebagai amanah dari Allah Swt. Yang
sewaktu-waktu diberikan kepada seseorang dan diambil dari seseorang.
f. Memperhatikan kepentingan kaum Muslimin. Prinsip ini di dasarkan
pada sabda Nabi Saw. : “siapa yang memimpin, sedangkan ia tidak
memperhatikan urusan kaum muslimin, tidaklah ia termasuk dalam
golongan mereka” (HR. Al-Bukhari).

2.4. Pengertian Masyarakat Madani

Istilah ‘Madani” berasal dari bahasa Arab ‘madaniy’. Kata ‘madaniy’


merupakan kata kerja ‘madana’ yang artinya mendiami, tinggal, atau membangun.

7
Dalam bahasa Arab kata ‘madaniy’ mempunyai beberapa arti, di antaranya yang
beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil atau perdata (Munawwir,
1997:1320). Dari kata ‘madana’ ini juga berarti urbanisme. Dengan mengetahui
makna dari kata ‘madani’ maka istilah masyarakat madani ( al-mujtama’ al-madniy)
bisa dipahami sebagai masyarakat yang beradab, masayarakat sipil, dan masyarakat
yang tinggal di suatu kota atau yang berpaham masyarakat kota yang akrab dengan
masalah pluralisme. Dengan demikian masyarakat madani merupakan suatu bentuk
tatanan masyarakat yang bercirikan hal-hal seperti itu yang tercermin dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Istilah masyarakat madani dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah civil
society pertama kali dikemukan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah
societies civilis yang identik dengan negara. Dalam perkembangannya istilah civil
society dipahami sebagai organisasi-organisasi masyarakat yang terutama bercirikan
kesukarelaan dan kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara serta
keterikatan dengan nilai-nilai atau norma hukum yang dipatuhi masyarakat.
Bangsa Indonesia sendiri berusaha untuk mencari bentuk masyarakat madani
yang pada dasarnya adalah masyarakat sipil yang demokrasi dan agamis/religius.
Dalam pembentukan masyarakat madani di Indonesia, maka warga negara Indonesia
perlu dikembangkan untuk menjadi warga negara yang cerdas, demokratis, dan
religius , menerima semangat Bhineka Tunggal Ika, mengenal cita-cita Indonesia di
masa mendatang dan sebagainya.

2.5. Karakteristik Masyarakat Madani

Karakteristik masyarakat madani adalah sebagai berikut :


Free public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat berhak untuk
memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik (bebas berpendapat, berserikat,
berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik).
Demokratisasi, yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi
sehingga muwujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk menumbuhkan
demokratisasi ini dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi,
kesetaraan, dan kemandirian serta kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada
orang lain dan menerima perlakuan demokratis dari orang lain. Demokratisasi dapat
terwujud melalui penegakkan pilar-pilar demokrasi yang meliputi : Lembaga

8
Swadaya Masyarakat (LSM), Pers yang bebas, Supermasi Hukum, Prguruan Tinggi,
Partai Politik.
Toleransi, yaitu kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan
politik dan sikap sosial yang berbeda dalam masyarakat, sikap saling menghargai dan
menghormati pendapat dari orang/kelompok lain.
Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang
majemuk disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai positif.
Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian yang
proporsiaonal antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap
lingkungannya.
Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang tanpa adanya rekayasa,
intimidasi, ataupun intervensi penguasa / pihak lain, sehingga masyarakat memiliki
kesadaran dalam berpolitik.
Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya
keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki
kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa terkecuali. Adapun yang masih
menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia diantaranya:
1. Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum merata.
2. Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat.
3. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter.
4. Tingginya angkatan keja yang belum teserap karena jumlah lapangan kerja
yang terbatas.
5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar.
6. Kondisi sosial politik yang belum puluh pasca reformasi.pandanglah sekali
lagi, niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak
menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah.”
(QS. 67:3,4)

2.6. Prinsip-prinsip Dasar Masyarakat Madani

Prinsip dasar masyarakat madani dalam konsep politik Islam di dasarkan pada
prinsip kenegaraan yang dijalankan pada masyarakat Madinah di bawah
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Masyarakat madinah adalah masyarakat yang
plural, yang terdiri dari berbagai suku, golongan, dan Agama. Islam datang ke

9
Madinah dengan bangunan konsep ketatanegaraan yang mengikat aneka ragam suku,
konflik, dan perpecahan. Islam mampu membawa perubahan radikal dalam kehidupan
individual dan sosial Madinah karena kemampuannya mempengaruhi kualitas seluruh
aspek kehidupan masyarakat (al-Umari, 1995:51).
Menurut al-Umari (1995:63-120), ada beberapa prinsip dasar yang bisa di
identifikasikan kedalam pembentukan masyarakat Madani, dimana ke lima prinsip
dasar ini di buat oleh Nabi untuk mengatur masyarakat Madinah yang tertuang dalam
suatu piagam yang kemudian dikenal dengan piagam Madinah, di antaranya adalah
(1) adanya sistem Muakhah (persaudaraan), (2) ikatan Iman, (3) ikatan cinta, (4)
persamaan si kaya dan si miskin, dan (5) toleransi umat beragama. Prinsip-prinsip
masyarakat madani seperti itu sangat ideal untuk di terapkan di negara dan
masyrarakat manapun, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian denga kondisi
dengan kondisi lokal dan keyakinan serta budaya yang di miliki oleh masyarakat
tersebut.

2.7. Piagam Madinah

Hidayah (Tuntunan dan Bimbingan) (QS. 20:50)


Allah memberikan hidayah (tuntunan dan petunjuk) kepada makhluk-Nya
untuk dapat menjalankan hidupnya dengan mudah, sesuai dengan karakteristiknya
masing-masing. Pada manusia sering disebut sebagai ilham dan pada hewan disebut
insting/naluri.
Eksistensi Allah terlihat dalam banyak sekali fenomena-fenomena kehidupan.
Barangsiapa yang membaca alam yang maha luas ini dan memperhatikan penciptaan
langit dan bumi serta dirinya sendiri, pasti ia akan menemukan bukti-bukti yang jelas
tentang adanya Allah SWT. Firman Allah :
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-
Quran itu adalah benar.” (QS.41:53)
a. Dalil Akhlaq
Secara fitrah manusia memiliki moral (akhlaq). Dengan adanya moral (akhlaq)
inilah, ia secar naluriah mau tunduk dan menerima kebenaran agar hidupnya lurus dan
urusannya berjalan teratur dan baik. Zat yang dapat menanamkan akhlaq dalam jiwa
manusia adalah Allah, sumber dari segala sumber kebaikan, cinta dan keindahan.

10
Keberadaan ‘moral’ yang mendominasi jiwa manusia merupakan bukti eksistensi
Allah. (QS. 91:7-8)
b. Dalil Wahyu
Para rasul diutus ke berbagai umat yang berbeda pada zaman yang berbeda.
Semua rasul menjalankan misi dari langit dengan perantaraan wahtu. Dengan
membawa bukti yang nyata (kitab/wahyu dan mukzijat) mengajak umatnya agar
beriman kepada Allah, mengesakan-Nya dan menjalin hubungan baik dengan-Nya,
serta memberi peringatan akan akibat buruk dari syirik/berpaling dari-Nya (QS.6:91).
Siapa yang mengutus mereka dengan tugas yang persis sama? Siapa yang
memberikan kekuatan, mendukung dan mempersenjatai mereka dengan mukzijat?
Tentu suatu zat yang eksis (maujud), Yang Maha Kuat dan Perkasa, yaitu Allah.
Keberadaan para rasul ini merupakan bukti eksistensi Allah.
c. Dalil Sejarah
Semua umat manusia di berbagai budaya, suku, bangsa dan zaman, percaya
akan adanya Tuhan yang patut disembah dan diagungkan. Semuanya telah mengenal
iman kepada Allah menurut cara masing-masing. Konsensus sejarah ini merupakan
bukti yang memperkuat eksistensi Allah. (QS.47:10; perkataan ahli sejarah Yunani
kuno bernama Plutarch).
Terdapat beberapa cara mengenal Tuhan menurut ajaran selain Islam,
diantaranya yaitu dengan hanya mengandalkan panca indera dan sedikit akal,
sehingga timbul perkiraan-perkiraan yang membentuk filsafat-filsafat atau pemikiran
tentang ketuhanan. Filsafat dan pemikiran tersebut justru mendatangkan keguncangan
dan kebingungan dalam jiwa. Sehingga hanya menanamkan keraguan dan kesangsian
terhadap keberadaan Allah.
Adapun jalan yang ditempuh Islam untuk mengenal Allah ialah dengan
menggunakan keimanan dan dilengkapi dengan akal. Kedua potensi tersebut
dioptimalkan dengan proses tafakkur dan tadabbur. Tafakkur artinya memikirkan
ciptaan atau tanda-tanda kebesaran Allah (ayat kauniyah). Tadabbur berarti
merenungkan ayat-ayat Allah yang tertulis dalam al-Qur’an (ayat qauliyah). Sehingga
timbul keyakinan di dalam hati tentang keberadaan dan kekuasaan Allah (QS.3:190-
191; 12:105; 10:101).

11
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Politik secara umum berarti proses pembentukan dan pembagiaan kekuasaan


dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya
dalam negara. Dalam islam, politik (siyasah) makna awalnya adalah mengurusi
urusan masyarakat. Jadi, pengertian dari politik dalam islam adalah mengurusi urusan
rakyatnya, mengaturnya, dan menjaganya.
Politik Islam pun memiliki prinsip-prinsip. Prinsip prinsip Politik Islam ada 6,
yaitu :
a. Tidak memilih orang kafir sebagai pemimpin orang-orang yahudi dan
nasrani orang-orang yang mempermainkan agama dan
mempermainkan shalat musuh Allah Swt. Dan musuh orang mukmin
(dan orang-orang yang lebih mencintai kekufuran dari pada iman
b. Setiap kelompok harus memilih pemimpin
c. Pemimpin haruslah orang-orang yang dapat diterima
d. Pemimpin yang maha mutlak hanyalah Allah Swt.
e. Kepemimpinan Allah Swt. Terhadap alam ini sebagian di delegasikan
kepada manusia
f. Memperhatikan kepentingan kaum Muslimin.
Masyarakat madani merupakan suatu bentuk tatanan masyarakat yang
bercirikan hal-hal seperti itu yang tercermin dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Dengan mengetahui makna dari kata ‘madani’ maka istilah
masyarakat madani bisa dipahami sebagai masyarakat yang beradab, masayarakat
sipil, dan masyarakat yang tinggal di suatu kota atau yang berpaham masyarakat kota
yang akrab dengan masalah pluralisme.
Prinsip-prinsip dasar dari masyarakat madani yang juga tertuang pada piagam
madinah adalah sebagai berikut :
a. Adanya sistem Muakhah (persaudaraan)
b. Ikatan Iman

12
c. Ikatan cinta
d. Persamaan si kaya dan si miskin
e. Toleransi umat beragama.

3.2. Saran

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa kenyataan yang ada ternyata
masih jauh dengan politik islam yang bersumber pada al Quran dan Sunnah.
Indonesia, yang merupakan negara yang memiliki penduduk mayoritas
muslim, memang sudah tepat memilih prinsip masyarakat madani sebagai cita-
cita dalam mewujudkan bentuk masyarakat. Namun demikian, kita perlu
menegakkan keterbukaan, kebersamaan, dan persamaan hak bagi semua
orang.

3.3. Daftar Pustaka


1. http://www.crayonpedia.org/mw/Ciri-Ciri_Masyarakat_Madani
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Politik
3. http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam

13

Anda mungkin juga menyukai