TUGAS INDIVIDU
MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Disusun oleh:
Hasry Wyanda
202101376
Jl. Duku 1 No. 54, Kramat Sel., Kec. Magelang Utara, Kota Magelang, Jawa
Tengah 56
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan
makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Agama sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji
melalui berbagai sudut pandang. Islam sebagai Agama telah berkembang selama empat belas
abad lebih menyimpan banyak masalah yang perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan
pemikiran keagamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang saya hadapi.
Namun saya menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi
teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Sistem Politik
Islam dan Masyarakat Madani, yang saya sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai
sumber informasi, referensi, dan berita.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Akatirta. Saya sadar
bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada
dosen pembimbing saya meminta masukannya demi perbaikan makalah di masa yang akan
datang dan mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Hasry Wyanda
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................ii
BAB I......................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.......................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.................................................................................................................2
1.3. Tujuan Penulisan...................................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................3
2.1. Definisi Politik secara Umum..................................................................................................3
2.2. Politik dalam Prespektif Islam.................................................................................................3
2.3. Prinsip-Prinsip Dasar Politik Islam.........................................................................................5
2.4. Pengertian Masyarakat Madani..............................................................................................7
2.5. Karakteristik Masyarakat Madani..........................................................................................8
2.6. Prinsip-prinsip Dasar Masyarakat Madani.............................................................................9
2.7. Piagam Madinah...................................................................................................................10
BAB III..................................................................................................................................................12
PENUTUP.............................................................................................................................................12
3.1. Kesimpulan...........................................................................................................................12
3.2. Saran....................................................................................................................................13
3.3. Daftar Pustaka......................................................................................................................14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
masyarakat madani ini sudah tidak sesuai dengan prinsip awalnya. Yang tampak
hanyalah kebebasan warga sipil untuk melakukan apa saja tanpa harus memperhatikan
prinsip-prinsip masyarakat madani yang sesungguhnya, yakni yang memiliki prinsip-
prinsip dasar tersendiri.
Karena itu, pada bagian ini akan di kaji apa sebenarnya politik Islam itu dan
bagaimana dasar-dasarnya serta siapa saja tokoh-tokoh yang banyak menyumbangkan
pemikirannya tentang politik Islam. Selanjutnya akan di kemukakan juga konsep
masyarakat Madinah pada masa Nabi Muhammad Saw. Dan bagaimana mewujudkan
masyarakat madani di Indonesia.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Secara Etimologi (bahasa) Politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan
bahasa Inggris politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani τα
πολιτικά (politika – yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya πολίτης
(polites – warga negara) dan πόλις (polis – negara kota). Kata “politisi” berarti orang-
orang yang menekuni hal poltik.
Secara Teminologi politik merupakan proses pembentukan dan pembagiaan
kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan,
khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara
berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu
politik.
Politik didalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu,
didalam buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah,
misalnya dalam Al Muhith. Siyasah berakar kata sâsa – yasûsu. Dalam kalimat Sasa
adaawaba yasusuha siyasatan berarti Qama’alaiha wa radlaha wa adabbaha
(mengurusinya, melatihnya dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya
dabbarahu (mengurusi / mengatur perkara).
Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan
pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan
manusia dan orang yang mengurusi urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus
(siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri saat mengurusi
urusan rakyatnya, mengaturnya, dan menjaganya.
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya :
"Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya).
Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi
setelahku, namun akan ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim). Dengan
3
demikian politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan
masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum
muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan
melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu kita perlu mengetahui apa
yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin,
mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta
memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti
ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui
Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah
(hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan
urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim).
Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa yang paling utama. Ia menjawab :
"Kalimat haq yang disampaikan pada penguasa" (HR. Ahmad).
4
‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad Dauliyyah, hal. 31-33). Jadi secara
ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.
5
Raziq, al-Ikhwan al-Muslimun, al-Maududi, dan Muhammad Husain Haikal (Masa
Modern).
Dari pikiran-pikiran mereka, Munawir Sadzali mengklasifikasikannya menjadi
tiga model atau aliran pemikiran. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah
semata-mata agama dalam pengertian barat, yakni hanya menyangkut hubungan
antara manusia dan Tuhan, akan tetapi sebaliknya Islam adalah suatu agama yang
sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segalah aspek kehidupan manusia,
termasuk kehidupan ber Negara. Tokoh-tokoh utama aliran ini antara lain adalah
Hasan Al-Banna, Sayyid Quttub, Muhammad Rasyid Ridla, Al-Maududi. Aliran
kedua berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat, yakni agama
tidak mempunyai hubungan dengan urusan kenegaraan. Tokoh-tokoh terkemuka dari
aliran ini antara lain Ahmad Lutfi Sayyid, Ali Abdul Raziq, dan thaha Husain. Sedang
aliran ketiga berpendirian bahwa dalam islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan,
tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan ber Negara. Aliran ketiga
ini menolak pendirian kedua aliran sebelumnya yang sangat ekstrim. Di antara tokoh
dari aliran ini adalah Muhammad Husain Haikal (Munawwir sadzali, 1993:1-2)
Terlepas dari ketiga bentuk aliran pemikiran di atas, kenyataannya ada dua
bentuk praktek politik Islam di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama
Islam, yaitu ada yang secara legal-formal menjadikan Islam sebagai dasar Negara.
Syariah (hukum Islam) di jadikan sebagai konstitusi negara. Sebagai contih, bisa di
lihat praktik politik Islam di Iran dan beberapa negara Islam di Timur Tengah. Di
samping itu, ada juga negara-negara yang tidak secara legal-formal menjadikan islam
sebagai dasar negaranya dan syariah sebagai konstitusinya, tetapi prinsip-prinsip atau
nilai-nilai Islam yang umum dan universal ikut mewarnai praktik politik di negara-
negara tersebut. Aliran ini lebih menekankan substansi daripada bentuk Negara yang
legal-formal. Indonesia secara umum menerapkan praktik politik dengan model aturan
aliran yang ke dua dengan kekhasan yang tentunya berbeda dari negara-negara lain.
6
orang yang mempermainkan agama dan mempermainkan shalat (QS.
Al-Maidah (5):56-57), musuh Allah Swt. Dan musuh orang mukmin
(QS. Al-Mumtahanah (60):1), dan orang-orang yang lebih mencintai
kekufuran dari pada iman (QS. At-Taubah (9):23).
b. Setiap kelompok harus memilih pemimpin sebagaimana di jelaskan
dalam hadist: “jika tiga orang melakukan suatu perjalanan, angkat
salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin” (HR. Abu Daud).
c. Pemimpin haruslah orang-orang yang dapat diterima, sebagaimana di
jelaskan dalam hadist :” sebaik-baiknya pemimpin adalah mereka
yang kamu cintai dan mencintai kamu, kamu berdoa untuk mereka dan
mereka berdoa untukmu. Seburuk-buruk pemimpinmu adalah mereka
yang kamu benci dan mereka membencimu, kamu melaknati mereka
dan melaknati kamu” (HR. Muslim).
d. Pemimpin yang maha mutlak hanyalah Allah Swt. Sebagaimana di
jelaskan dalam Al-Quran: “Maha Suci Tuhan yang di tangan-nyalah
segalah kerajaan dan Dia maha kuasa atas segalah sesuatu” (QS. Al-
Mulk (67):1); “dan kepunyaan Allah lah kerajaan antar keduanya”
(QS. Al-Maidah (5):18).
e. Kepemimpinan Allah Swt. Terhadap alam ini sebagian di delegasikan
kepada manusia, sesuai yang dikehendakiNya:” Katakanlah Wahai
Tuhan yang mempunyai kerajaan Engkau berikan kerajaan kepada
orang yang engkau kehendaki” (QS. Ali Imran (3):26). Status
kepemimpinan manusia hanya sebagai amanah dari Allah Swt. Yang
sewaktu-waktu diberikan kepada seseorang dan diambil dari seseorang.
f. Memperhatikan kepentingan kaum Muslimin. Prinsip ini di dasarkan
pada sabda Nabi Saw. : “siapa yang memimpin, sedangkan ia tidak
memperhatikan urusan kaum muslimin, tidaklah ia termasuk dalam
golongan mereka” (HR. Al-Bukhari).
7
Dalam bahasa Arab kata ‘madaniy’ mempunyai beberapa arti, di antaranya yang
beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil atau perdata (Munawwir,
1997:1320). Dari kata ‘madana’ ini juga berarti urbanisme. Dengan mengetahui
makna dari kata ‘madani’ maka istilah masyarakat madani ( al-mujtama’ al-madniy)
bisa dipahami sebagai masyarakat yang beradab, masayarakat sipil, dan masyarakat
yang tinggal di suatu kota atau yang berpaham masyarakat kota yang akrab dengan
masalah pluralisme. Dengan demikian masyarakat madani merupakan suatu bentuk
tatanan masyarakat yang bercirikan hal-hal seperti itu yang tercermin dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Istilah masyarakat madani dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah civil
society pertama kali dikemukan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah
societies civilis yang identik dengan negara. Dalam perkembangannya istilah civil
society dipahami sebagai organisasi-organisasi masyarakat yang terutama bercirikan
kesukarelaan dan kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara serta
keterikatan dengan nilai-nilai atau norma hukum yang dipatuhi masyarakat.
Bangsa Indonesia sendiri berusaha untuk mencari bentuk masyarakat madani
yang pada dasarnya adalah masyarakat sipil yang demokrasi dan agamis/religius.
Dalam pembentukan masyarakat madani di Indonesia, maka warga negara Indonesia
perlu dikembangkan untuk menjadi warga negara yang cerdas, demokratis, dan
religius , menerima semangat Bhineka Tunggal Ika, mengenal cita-cita Indonesia di
masa mendatang dan sebagainya.
8
Swadaya Masyarakat (LSM), Pers yang bebas, Supermasi Hukum, Prguruan Tinggi,
Partai Politik.
Toleransi, yaitu kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan
politik dan sikap sosial yang berbeda dalam masyarakat, sikap saling menghargai dan
menghormati pendapat dari orang/kelompok lain.
Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang
majemuk disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai positif.
Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian yang
proporsiaonal antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap
lingkungannya.
Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang tanpa adanya rekayasa,
intimidasi, ataupun intervensi penguasa / pihak lain, sehingga masyarakat memiliki
kesadaran dalam berpolitik.
Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya
keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki
kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa terkecuali. Adapun yang masih
menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia diantaranya:
1. Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum merata.
2. Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat.
3. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter.
4. Tingginya angkatan keja yang belum teserap karena jumlah lapangan kerja
yang terbatas.
5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar.
6. Kondisi sosial politik yang belum puluh pasca reformasi.pandanglah sekali
lagi, niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak
menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah.”
(QS. 67:3,4)
Prinsip dasar masyarakat madani dalam konsep politik Islam di dasarkan pada
prinsip kenegaraan yang dijalankan pada masyarakat Madinah di bawah
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Masyarakat madinah adalah masyarakat yang
plural, yang terdiri dari berbagai suku, golongan, dan Agama. Islam datang ke
9
Madinah dengan bangunan konsep ketatanegaraan yang mengikat aneka ragam suku,
konflik, dan perpecahan. Islam mampu membawa perubahan radikal dalam kehidupan
individual dan sosial Madinah karena kemampuannya mempengaruhi kualitas seluruh
aspek kehidupan masyarakat (al-Umari, 1995:51).
Menurut al-Umari (1995:63-120), ada beberapa prinsip dasar yang bisa di
identifikasikan kedalam pembentukan masyarakat Madani, dimana ke lima prinsip
dasar ini di buat oleh Nabi untuk mengatur masyarakat Madinah yang tertuang dalam
suatu piagam yang kemudian dikenal dengan piagam Madinah, di antaranya adalah
(1) adanya sistem Muakhah (persaudaraan), (2) ikatan Iman, (3) ikatan cinta, (4)
persamaan si kaya dan si miskin, dan (5) toleransi umat beragama. Prinsip-prinsip
masyarakat madani seperti itu sangat ideal untuk di terapkan di negara dan
masyrarakat manapun, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian denga kondisi
dengan kondisi lokal dan keyakinan serta budaya yang di miliki oleh masyarakat
tersebut.
10
Keberadaan ‘moral’ yang mendominasi jiwa manusia merupakan bukti eksistensi
Allah. (QS. 91:7-8)
b. Dalil Wahyu
Para rasul diutus ke berbagai umat yang berbeda pada zaman yang berbeda.
Semua rasul menjalankan misi dari langit dengan perantaraan wahtu. Dengan
membawa bukti yang nyata (kitab/wahyu dan mukzijat) mengajak umatnya agar
beriman kepada Allah, mengesakan-Nya dan menjalin hubungan baik dengan-Nya,
serta memberi peringatan akan akibat buruk dari syirik/berpaling dari-Nya (QS.6:91).
Siapa yang mengutus mereka dengan tugas yang persis sama? Siapa yang
memberikan kekuatan, mendukung dan mempersenjatai mereka dengan mukzijat?
Tentu suatu zat yang eksis (maujud), Yang Maha Kuat dan Perkasa, yaitu Allah.
Keberadaan para rasul ini merupakan bukti eksistensi Allah.
c. Dalil Sejarah
Semua umat manusia di berbagai budaya, suku, bangsa dan zaman, percaya
akan adanya Tuhan yang patut disembah dan diagungkan. Semuanya telah mengenal
iman kepada Allah menurut cara masing-masing. Konsensus sejarah ini merupakan
bukti yang memperkuat eksistensi Allah. (QS.47:10; perkataan ahli sejarah Yunani
kuno bernama Plutarch).
Terdapat beberapa cara mengenal Tuhan menurut ajaran selain Islam,
diantaranya yaitu dengan hanya mengandalkan panca indera dan sedikit akal,
sehingga timbul perkiraan-perkiraan yang membentuk filsafat-filsafat atau pemikiran
tentang ketuhanan. Filsafat dan pemikiran tersebut justru mendatangkan keguncangan
dan kebingungan dalam jiwa. Sehingga hanya menanamkan keraguan dan kesangsian
terhadap keberadaan Allah.
Adapun jalan yang ditempuh Islam untuk mengenal Allah ialah dengan
menggunakan keimanan dan dilengkapi dengan akal. Kedua potensi tersebut
dioptimalkan dengan proses tafakkur dan tadabbur. Tafakkur artinya memikirkan
ciptaan atau tanda-tanda kebesaran Allah (ayat kauniyah). Tadabbur berarti
merenungkan ayat-ayat Allah yang tertulis dalam al-Qur’an (ayat qauliyah). Sehingga
timbul keyakinan di dalam hati tentang keberadaan dan kekuasaan Allah (QS.3:190-
191; 12:105; 10:101).
11
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
12
c. Ikatan cinta
d. Persamaan si kaya dan si miskin
e. Toleransi umat beragama.
3.2. Saran
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa kenyataan yang ada ternyata
masih jauh dengan politik islam yang bersumber pada al Quran dan Sunnah.
Indonesia, yang merupakan negara yang memiliki penduduk mayoritas
muslim, memang sudah tepat memilih prinsip masyarakat madani sebagai cita-
cita dalam mewujudkan bentuk masyarakat. Namun demikian, kita perlu
menegakkan keterbukaan, kebersamaan, dan persamaan hak bagi semua
orang.
13