Anda di halaman 1dari 8

Nama : Jeniffer Ancolina Margaretha Affar

Kelas : A

NIM : 21040121100156

BAHASA INDONESIA

TUGAS 3

JOURNAL REVIEW

JURNAL 1

Judul : Eksistensi Identitas Kultural di Tengah Masyarakat Multikultur dan Desakan


Budaya Global
Penulis : Nikmah Suryandari
Jurnal : Komunikasi
Tahun : Maret 2017
Nomor : No. 01
Volume : Vol. XI
Download : http://dx.doi.org/10.21107/ilkom.v11i1.2832

OVERVIEW

PENDAHULUAN

Tugas ini berisi overview terhadap penelitian yang dilakukan oleh Nikmah Suryandari
yang dirangkum pada jurnalnya, “Eksitensi Identitas Kulturan di Tengah Masyarakat Multikultur
dan Desakan Budaya Global” menjelaskan tentang identitas kultural di tengah masyarakat
multikultur itu sendiri.

Indonesia merupakan sebuah negara multikultural dengan keberagaman budaya yang


dimilikinya. Keberagaman tersebut terlihat dari perbedaan bahasa, etnis dan keyakinan agama.
Situasi seperti ini memang berpotensial bagi terjadinya konflik, karena masyarakat terbagai ke
dalam kelompok-kelompok bersadarkan identitas kultural mereka. Namun sebenarnya di sisi
yang lain, kemajemukan budaya dengan identitas kultural yang dimiliki masing-masing etnis,
merupakan kekayaan bangsa yang sangat bernilai apalagi di tengah desakan budaya global saat
ini. Masuknya beragam budaya asing (barat) menuntut adanya benteng budaya yang kuat dari
suatu Negara. Globalisasi seringkali dipandang sebagai unsur (agent) sekaligus bentuk dari
cultural imperialism. Pandangan demikian dapat diamati melalui kian memudarnya anasiranasir
budaya tradisional dan digantikan dengan anasir-anasir baru yang notabene dari barat, mulai dari
mode pakaian, menu makanan, corak arsitektur, musik, bahasa, system ekonomi, dan system
politik. Globalisasi mengacu kepada penyempitan dunia secara intensif dan peningkatan
kesadaran kita atas dunia, yaitu semakin meningkatnya koneksi global dan pemahaman kita atas
mereka. Globalisasi memang cenderung bertubrukan dengan identitas cultural. Identitas cultural
mengimplikasikan ”belonging” individu ke dalam kelompok-kelompok budaya atau komunitas.
Sementara globalisasi mengimplikasikan kemenyatuan atau universalitas.

RINGKASAN

Penulis menjelaskan bahwa Identitas cultural adalah rincian karakteristik atau ciri-ciri
sebuah kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas-batasnya
tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan orang lain. Beberapa
kharakteristik identitas budaya, yakni:

1. Identitas budaya merupakan pusat penampilan kepribadian kita. Kita akan menjadi lebih
sadar tentang identitas budaya sendiri manakala kita hidup di dalam kebudayaan orang
lain, berinteraksi dengan beberapa orang dari kebudayaan yang berbeda;
2. Identitas budaya kita kadang-kadang bisa bertahan dalam konteks social yang selalu
berubah;
3. Identitas budaya merupakan sesuatu yang bermuka banyak.

Makin banyak perbedaan budaya yang dihadapi maka makin banyak pula identitas
budaya orang lain yang berhadaparn dengan kita, akibatnya, makin tehar pula kita
membandingkan identitas budaya kita dengan budaya orang lain.
Konsep etnosentrisme sering kali dipakai secara bersama-sama dengan rasisme. Konsep
ini mewakili sebuah pengertian bahwa setiap kelompok etnik atau ras mempunyai semangat atau
ideology yang menyatakan bahwa kelompoknya lebih superior daripada kelompok etnik atau ras
lain. Akibat ideology ini maka setiap kelompok etnik atau yang memiliki sikap etnosentrisme
yang tinggi akan berprasangka, melakukan stereotyping, diskriminasi, dan jarak social terhadap
kelompok lain. Salah satu gagasan penting yang dapat dijadikan landasan untuk mendiskusikan
situasi mindfull dalam komunikasi antar etnis adalah dalam menjalin interaksi dengan para
anggota kelompok dominan, para anggota kelompok budaya underrepresented berusaha
mendapatkan saru dari tiga tujuan yang mereka inginkan yaitu assimilation (menjadi bagian dari
kultur dominan), accommodation (berusaha agar para anggota kelompok dominan dapat
menerima keberadaan para anggota kelompok underrepresented, atau separation (menolak
ikatan bersama dengan para anggota kelompok dominan).

Penulis juga menjelaskan Salah satu teori yang berkaitan dengan persoalan negoisasi atau
pengeloaan identitas dalam rangka mewujudkan komunikasi antar budaya yang mindfull adalah
hasil pemikiran dari Collier & Thomas, yaitu cultural identity theory . Collier & Thomas
mennyajikan sebuah teori interpretif tentang bagaimana identitas kultural dikelola dalam
interaksi antarbudaya. Teori ini dinyatakan dalam 6 asumsi, 5 aksioma, dan 1 teorema. Asumsi-
asumsi yang mendasari teori identitas cultural adalah:

1. Individu-individu menegoisasikan identitas dalam suatu wacana.


2. Komunikasi antarbudaya terjadi melalui asumsi diskursif dan pengakuan terhadap
identitas cultural yang berbeda
3. Kompetensi komunikasi antar budaya mencakup pengelolaan makna secara koheren dan
keterkaitan dalam mengikuti aturan dan hasil yang positif
4. Kompetensi komunikasi antar budaya mencakup negoisasi makna bersama, aturan-
aturan, dan hasil- hasil positif.
5. Kompetensi komunikasi antarbudaya mencakup pengesahan identitas cultural.
6. Identitas cultural berubah sebagai sebuah fungsi ruang lingkup (bagaimana identitas pada
umumnya), salience (bagaimana pentingnya identitas), dan intensitas (bagaimana kuatnya
identitas dikomunikasikan kepada orang lain)
Teorema yang diajukan oleh Collier & Thomas adalah bahwa jika identitas cultural
diakui, maka identitas kultural tersebut menjadi penting bagi identitas-identitas yang lain.

KRITIK / EVALUASI

Menurut Saya, Topik yang dibambil dan dibahas sangat berhubungan dengan keadaan
Indonesia sebagai negara multikultur, yang dengan berbagai perbedaan yang dimiliki mampu
menjaga identitas kulturalnya dan juga secara bersamaan dapat menjaga eksitensinya sebagai
Negara Kesatuan Republik Indoensia.

Saya setuju dengan pernyataan penulis, bahwa kita masih memerlukan identitas kultural
dengan mengidentifikasi budaya seseorang dan juga pernyataan mengenai pemanfaatan
etnosentrisme pada tingkat tertentu yang dapat kita manfaatkan untuk mengembangkan dalam
memiliki identitas kultural sebagai identitas seseorang ditengah masyarakat multikultural, dan
masuknya budaya global.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat saya ambil dalam Jurnal “Eksistensi Identitas Kultural di Tengah
Masyarakat Multikultur dan Desakan Budaya Global” adalah Negara Indonesia sebagai Negara
multikultur dengan segalah keanekaragaman yang dimiliki memungkinkan terjadinya perbedaan
pendapat yang menimbulkan masalah tetapi identitas Nasional tersebut menjadi kekayaan bangsa
yang bernilai dan kita harus lebih sadar mengenai perbedaan yang ada agar dapat membangun
komunikasi yang baik antar budaya dan menjaga relasi ditengah multikultur yang ada sebagai
masyarakat Bangsa Indonesia.
JURNAL 2

Judul : Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Pemahaman Agama Dan Pembentukan


Budaya
Penulis : Nina Nurmila
Jurnal : KARSA
Tahun : Juni 2015
Nomor : No. 01
Volume : Vol. 23
Download : http://dx.doi.org/10.19105/karsa.v23i1.606

OVERVIEW

PENDAHULUAN

Tugas ini berisi overview terhadap penelitian yang dilakukan oleh Nina Nurmila yang
dirangkum pada jurnalnya, “Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Pemahaman Agama Dan
Pembentukan Budaya” menjelaskan tentang patrialineal terhadap pemahaman Agama dan
pembentukan Budaya.

Sistem patrilineal adalah sistem yang menganggap bahwa keturunan itu mengikuti garis
ayah saja. Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut patriarki. Dan Saudi Arabia
merupakan salah satu negara yang sangat kental budaya patriarkinya. Di negara ini perempuan
dibatasi ruang geraknya dan lebih diharapkan untuk tinggal di rumah saja menjadi ibu rumah
tangga yang melayani suami sehingga jika kita pergi ke Arab, tidak tampak satu perempuan Arab
pun yang bekerja, misalnya menjadi penjaga toko apalagi mengendarai mobil. Kekentalan
budaya patriarki di Arab ini juga didukung oleh sistem kekeluargaan yang menganut sistem
patrilineal. Kebalikan dari sistem patrilineal ini adalah sistem matrilineal, sistem yang
menganggap bahwa keturunan itu mengikuti garis ibu atau perempuan, misalnya di
Minangkabau. Dalam sistem matrilineal, dimungkinkan adanya budaya matriarki, yaitu ketika
perempuan dewasa memiliki posisi yang paling istimewa dalam pengambilan keputusan dan
penguasaan aset keluarga. Masyarakat Indonesia pada umumnya menganut sistem kekeluargaan
bilateral. Sistem kekeluargaan bilateral adalah sistem yang menganggap bahwa baik anak laki-
laki ataupun perempuan sama pentingnya dalam melanjutkan keturunan dan mereka bisa
mendapatkan hak waris yang sama baik dari garis ibu ataupun ayahnya.

RINGKASAN

Penulisan artikel ini menggunakan metodelogi feminism. Metodelogi feminisme


mengkritik ketidakterlihatan perempuan (invisibility of women), baik sebagai objek ataupun ahli
ilmu sosial (social scientist). Dalam metodelogi feminisme, fungsi peneliti adalah menyuarakan
suara perempuan merupakan perkembangan dalam sejarah teori feminis terhadap ilmu
pengetahuan yang selama ini digunakan sebagai alat untuk menindas, agar ilmu pengetahuan
justru dapat membebaskan individu, terutama perempuan agar terbebas dari penindasan. Ini
artinya bahwa dalam penelitian feminisme, suara perempuan atau penindasan terhadap
perempuan bukan hanya dideskripsikan, melainkan juga dikritik dan ditantang.
Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah teks, baik teks fiqih atau pun tafsir
yang merupakan hasil pemahaman terhadap agama dengan menggunakan lensa patriarkis
sehingga berkontribusi terhadap pembentukan dan penguatan budaya patriarkis. Untuk
memudahkan proses analisis, digunakan indikator keadilan dan ketidakadilan gender. Setidaknya
ada lima indikator ketidakadilan gender, yaitu: subordinasi, marginalisasi, kekerasan, stereotype,
dan double atau bahkan bisa multiple burdens. Adapun indikator keadilan gender ada empat,
yaitu: akses, kontrol, partisipasi, dan manfaat.
Sejarah Islam hampir semuanya ditulis oleh laki-laki tentang laki-laki, sehingga dalam
bahasa Inggris pun sejarah disebut history. Konstruksi gender yang cenderung mendomestikasi
perempuan di antaranya dapat dilihat dalam kitab fiqih yang banyak dirujuk di Indonesia, yaitu
Syarh Uqûd al-Lujjayn. Di antara unsur positif dalam jurnal ini adalah tentang anjuran agar para
suami berhati lembut terhadap istrinya dan menunjukkan perilaku yang baik dalam bergaul
dengan istrinya. Sayangnya, anjuran ini disertai dengan alasan yang merendahkan perempuan,
yaitu bahwa anjuran itu diberikan mengingat lemahnya perempuan itu sendiri sehingga
perempuan dianggap membutuhkan keluhuran budi suami sebagai orang yang mampu
menyediakan keperluan yang dibutuhkan perempuan. Pemahaman agama bahwa laki-laki adalah
pemimpin keluarga telah melahirkan asumsi bahwa semua laki-laki secara otomatis bisa menjadi
pemimpin keluarga yang dianggap selalu lebih unggul dibanding istrinya dari segi penghasilan
dan pendidikan serta dianggap selalu mampu menafkahi keluarganya. Asumsi normatif ini
terkadang membutakan banyak masyarakat Muslim terhadap realitas bahwa tidak sedikit laki-
laki atau suami yang pendidikan dan penghasilannya lebih rendah dari istrinya atau bahkan tidak
mampu atau enggan menafkahi keluarganya.
Budaya patriarki telah menciptakan ketidakadilan dalam relasi gender, yang
menempatkan posisi perempuan selalu lebih rendah dibanding laki-laki dan laki-laki selalu
dalam posisi yang lebih tinggi dari perempuan, bukan berdasar pada usaha atau prestasi yang
diraih kedua jenis kelamin tersebut. Jika kita percaya bahwa Allah itu Maha Adil, niscaya kita
percaya bahwa tidak mungkin Allah mendukung ketidakadilan, sehingga jika ada ayat-ayat Al-
Qur’an yang dipahami secara patriarkis dan melahirkan ketidakadilan, maka yang salah pasti
bukan ayat Al-Qur’an nya melainkan pemahamannya. Kini sudah lahir tafsir-tafsir baru yang
menggunakan perspektif keadilan gender yang perlu lebih gencar disosialisasikan dalam
masyarakat Muslim agar dapat membantu mengikis budaya patriarki dan dapat mengkonstruksi
relasi gender yang adil. Di antara penafsiran tersebut ialah :
1. Perempuan bisa menjadi pemimpin keluarga
Di Indonesia, pada realitasnya, keluarga yang dipimpin oleh perempuan selalu meningkat dari
tahun ke tahun. Survei yang dilakukan PEKKA (Perempuan kepala keluarga), sebuah
perkumpulan perempuan yang menjadi kepala keluarga yang berlokasi di seantero Indonesia,
pada 2014 menunjukkan bahwa paling tidak terdapat 25,1% keluarga dipimpin oleh perempuan.
Artinya, satu dari empat kepala keluarga adalah perempuan. Mereka menjadi kepala keluarga
karena suaminya ada yang tidak mampu menafkahi keluarga, karena cacat atau sakit, ada pula
karena suaminya enggan menafkahi (melarikan diri dari tanggung jawab menafkahi, atau
menelantarkan keluarganya karena menikah lagi, atau karena perempuan tersebut bercerai
sementara mantan suaminya tidak menafkahi dirinya atau pun anaknya pasca perceraian.
2. Perempuan juga ada yang menjadi nabi
Berdasar budaya dan nilai patriarkis, kita pasti mengira bahwa semua nabi dan rasul selalu
berjenis kelamin laki-laki. Namun jika kita perhatikan lagi ayat-ayat Al-Qur’an, kisah-kisah yang
diceritakan Al-Qur’an tidaklah selalu mendominasi laki-laki, ada ruang yang diberikan pada
perempuan.
3. Islam agama yang anti budaya patriarki
Islam memang agama yang anti sistem patriarki. Dalam sistem patriarki yang diunggulkan dalam
beribadah serta mengabdi di masjid hanyalah laki-laki. Dengan kisah Maryam ini dapat dipahami
bahwa baik laki-laki ataupun perempuan sama-sama berhak mengabdi di rumah Allah. Bahkan
Maryam menerima keistimewaan yang luar biasa dengan disediakannya makanan di mihrabnya,
yang belum pernah dialami oleh nabi-nabi lain selain dirinya. Selain itu, penegasan
kemahaadilan Allah yang menjunjung tinggi kesetaraan relasi gender antara laki-laki dan
perempuan dinyatakan dalam ayat-ayat Al-Qur’an.

KRITIK / EVALUASI

Menurut Saya, topik yang diambil menimbulkan argumen yang sensitif. Kesetaraan gender
seringkali menjadi permasalahan ditengah masyarakat. Saya kurang setujuh dengan Sistem
patrilineal karena menganggap bahwa keturunan itu mengikuti garis ayah saja karena budaya
tersebut tidak seharusnya menghalangi kaum perempuan untuk berkembang terlebih lagi pada
masa sekarang yang menjadikan pendidikan lebih mudah diakses oleh kaum perempuan.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat saya ambil dari jurnal “Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap
Pemahaman Agama Dan Pembentukan Budaya” adalah Sistem patrilineal ialah sistem yang
menganggap bahwa keturunan itu mengikuti garis ayah saja. Budaya patriarki telah menciptakan
ketidakadilan dalam relasi gender, yang menempatkan posisi perempuan selalu lebih rendah
dibanding laki-laki dan laki-laki selalu dalam posisi yang lebih tinggi dari perempuan, bukan
berdasar pada usaha atau prestasi yang diraih kedua jenis kelamin tersebut. Dalam agama Islam
sendiri merupakan agama anti-patriarkis yaitu menjunjung tinggi keadilan dan menghargai
seluruh umat manusia. Pemahaman tentang kesetaraan gender sangat diperlukan di masa
sekarang agar

Anda mungkin juga menyukai