Anda di halaman 1dari 13

Makna Kebudayaan dan Peradaban

Makalah

Disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah Kajian Multi Kultural
dalam Bimbingan dan Konseling

Dosen Pengampu:

1. Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd., Kons


2. Dr. Heru Mugiarso, M. Pd., Kons

Disusun oleh:

Nur Fajrina Arifah 0106522003

Fransiska Xaferia Genezy Ken S 0106522024

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan
seseorang tentang ragam kehidupan di dunia ataupun kebijakana kebudayaan yang
menekankan tentang oenerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam
budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat. Istilah multikulturalisme
sebenarnya belum lama menjadi objek pembicaraan dalam berbagai kalangan, namun
dengan cepat berkembang sebagai objek perdebatan yang menarik untuk dikaji dan
didiskusikan.
Konseling sebagai profesi selalu depengaruhi oleh masyarakat dimana itu
dipraktekkan, untuk memahami nuansa konseling perlu bagi seseorang menghargai
konteks sosial yang berlaku (teori dan praktek). Adanya keragaman yang luas ini
khususnya di Indonesia harus menjadi dasar untuk konseling multikultural yang efektif.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dari Kebudayaan dan Peradaban ?
2. Apa Pengertian dari Konseling Multikultural ?
3. Bagaimana Konseling Multikultural sebagai Paradigma Baru ?

C. Tujuan
1. Mengetahui makna kebudayaan dan perdaban
2. Mengetahui pengertian konseling multikultural
3. Mengetahui makna konseling multikultural sebagai paradigma baru
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebudayaan dan Peradaban


Para penulis dan pemikir telah banyak memberikan teori mengenai peradaban. Malik
Bennabi menuliskan ‘civilization is the sum total those moral and material means that
enable a society to provide each of it's members with all the social service needed for
him to progress’ (Peradaban merupakan keseluruhan total dari unsur material dan moral
yang memungkinkan suatu masyarakat untuk menyediakan masing-masing anggotanya
dengan semua layanan sosial yang diperlukan untuk mencapai kemajuan). Sementara
menurut Huntington, peradaban adalah suatu entitas budaya. Ia dipahami sebagai
entitas sosial yang sangat besar dan komprehensif yang timbul melebihi individu,
keluarga, atau bahkan negara. Secara panjang lebar Huntington menuliskan: “Desa-
desa, daerah-daerah, kelompok-kelompok keagamaan, semuanya mempunyai budaya
yang berbeda-beda pada tingkat keragaman budaya yang berbeda-beda pula”. Budaya
di Italia Selatan mungkin berbeda dari budaya Italia Utara, tapi keduanya sama-sama
berbudaya Italia sehingga membedakan mereka dari desa-desa di Jerman. Masyarakat
Eropa yang berbeda-beda itu mempunyai budaya yang sama, yaitu budaya Barat, yang
membedakan mereka dari masyarakat Arab atau Cina. Karena itu, suatu peradaban
adalah pengelompokan tertinggi dari orang-orang dan tingkat identitas budaya yang
paling luas yang dimiliki orang sehingga membedakannya dari spesies lainnya. Ia
dibatasi oleh unsur-unsur objektif berupa bahasa, sejarah, agama, adat-istiadat,
lembaga-lembaga; dan juga dibatasi oleh unsur subjektif, yaitu identifikasi-diri dari
orang-orang itu. Masyarakat mempunyai tingkatan identitas: penduduk Roma mungkin
mendefenisikan dirinya dengan derajad intensitas yang bervariasi sebagai orang
Romawi, Italia, Katolik, Kristen, Eropa, dan akhirnya Barat.
Peradaban adalah tingkat identifikasi yang paling luas yang dimiliki orang, dan
dengan perdaban itu ia mengidentifikasi dirinya secara intens. Orang-orang atau
bangsa-bangsa bisa dan dapat melakukan redefenisi identitas mereka. Karena redefenisi
ini, komposisi dan batas-batas peradaban dapat berubah. Peradaban bisa mencakup
sejumlah besar orang atau masyarakat, misalnya Cina (Suatu peradaban yang menjadi
negara), atau sejumlah kecil orang atau masyarakat, seperti orang-orang Caribia
Anglophone. Suatu perdaban bisa mencakup sejumlah negara-bangsa, seperti
peradaban Barat, Latin Amerika dan Arab, atau hanya satu, misalnya peradaban Jepang
atau Cina.
Peradaban-peradaban jelas bercampur-aduk dan tumpang tindih, dan bisa mencakup
sub-peradaban: Arab, Turki, dan Melayu. Peradaban merupakan entitas yang jelas, dan
kalaupun garis-garis pemisah antara peradaban-peradaban itu biasanya tidak tajam,
tetapi nyata. Peradaban-peradaban itu dinamis, mengalami pasang dan surut, bisa
terpilah-pilah dan memencar. Seperti dikatakan para ahli sejarah, peradaban-peradaban
menghilang dan terkubur zaman. Perbedaan antara peradaban tidak hanya riil, tapi juga
mendasar. Peradaban terbedakan oleh sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan yang lebih
penting lagi, agama. Perbedaan peradaban melahirkan perbedaan dalam memandang
hubungan manusia dengan Tuhan, individu dan kelompok, warga dan negara, orang tua
dan anak, suami dan istri, hak dan kewajiban, kebebasan dan kekuasaan, dan
kesejajaran atau kesamaan dan hirarki. Perbedaan ini hasil proses berabad-abad.
Mereka tidak mudah hilang, dan jauh lebih mendasar daripada ideologi atau rezim
politik. Perbedaan tidak mesti melahirkan konflik, dan konflik tidak dengan sendirinya
melahirkan kekerasan. Tapi selama berabad-abad, perbedaan telah menimbulkan
konflik yang paling keras dan lama”.
Istilah peradaban sering juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan
‘Kebudayaan’. Sementara ‘kebudayaan’ dalam bahasa Arab adalah al-saqafah (Inggris:
culture). Dalam ilmu Antropologi, kedua istilah ini jelas dibedakan. Menurut
Koentjaraningrat kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud, (1) wujud ideal,
yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-
norma, peraturan dan sebagainya. (2) wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai
suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3)
wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya. Adapun Istilah
peradaban biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang
halus dan indah. Menurutnya, peradaban sering juga dipakai untuk menyebut suatu
kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem
kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks. Kalau kebudayaan lebih
banyak direflksikan dengan dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral, maka
peradaban terrefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi.
Pernyataan Koentjaraningrat di atas, sebenarnya bertentangan dengan konsepsi yang
dikemukakan Huntington sebelumya. Koentjaraningrat telah memasukkan konsep
peradaban ke dalam kebudayaan dan menyatakan bahwa peradaban sebuah masyarakat
lebih tercermin pada sistem teknologi, politik, ekonomi, seni bangunan, seni rupa, dan
ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks. Jadi baginya, peradaban adalah bagian dari
kebudayaan. Sementara Huntington menyatakan bahwa peradaban adalah sekumpulan
budaya-budaya dan merupakan identifikasi pada tingkat tertinggi dari suatu bangsa atau
masyarakat. Dari hal tersebut dapat dinilai bahwa konsep peradaban itu bisa
bertentangan dan tidak bersesuaian. Hal ini lebih disebabkan oleh perbedaan sudut
pandang dalam melihat konsep peradaban tersebut. jika Koentjaraningrat
mendefenisikan peradaban dari sudut pandang antropologi, maka Huntington
melihatnya dari sudut pandang politik.
Yusuf al-Qardawi, seorang ulama modern Mesir, cenderung menyamakan
kebudayaan dengan peradaban, konsep kebudayaan atau peradaban menurutnya adalah
berbagai pemikiran, pengetahuan dan pencapaian yang dicampur dengan nilai-nilai,
keyakinan dan perasaan yang sering disebut dengan akhlak dan ibadah, adab dan
perilaku, juga ilmu pengetahuan, berbagai jenis seni, serta hal-hal yang bersifat materi
dan spiritual.
Kita mendapati beberapa Ilmuan dan pemikir ternyata memiliki konsep-konsep yang
berbeda mengenai peradaban. Di sisi lain juga ditemukan para ahli yang membedakan
kebudayaan dengan peradaban, ataupun menyamakan kedua konsep tersebut. Terlepas
dari persoalan-persoalan tersebut, suatu hal yang mungkin dapat menyeragamkan
pemikiran kita mengenai konsep peradaban adalah bahwa sebuah peradaban itu
dibentuk oleh teori pengetahuannya, atau dengan kata lain disebut epistimologi.
Epistimologi begitu penting dalam mengatur segala aspek studi tentang manusia, mulai
dari filsafat, ilmu pengetahuan murni, hingga ilmu-ilmu sosial. Sementara ide utama
tentang sejarah kebudayaan, yakni apa yang menjadi nilai instrinsik dalam sejarah
manusia dan apa yang telah dihasilkan manusia dalam hal kepercayaan, sistem
pemikiran, bentuk dan intuisi seni, dan bahwa setiap fase sejarah ditandai oleh
semangat tertentu, seperti halnya dengan semua produk kebudayaan yang mempunyai
kesamaan satu sama lain dan merupakan manifestasi dari realitas yang sama. Peradaban
atau kebudayaan manusia tidak bisa dilepaskan dan diawali oleh perubahan yang terjadi
dalam sistem pemikiran, epistemologi, kepercayaan dan nilai-nilai instrinsik lainnya,
sehingga akhirnya memunculkan suatu peradaban dan kebudayaan tertentu pada suatu
masyarakat atau bangsa. Jadi, hal terpenting dari sebuah peradaban bukanlah diukur
dari aspek yang bersifat lahiriyah, seperti struktur bangunan dan teknologi, namun
aspek-aspek batiniyah atau nilai-nilai instrinsik, seperti sistem kepercayaan, sistem
pemikiran, epistemologi, dan agama adalah sebagai motor penggerak utama bagi
munculnya sebuah peradaban.

B. Definisi Multikultural
Multikulturalisme masih sangat relevan untuk didiskusikan seiring dangan Era
Reformasi yang sedang bergulir di Indonesia. Reformasi mengharapkan masyarakat
yang demokratis, mengakui bahwa martabat manusia yang sama, menghormati
perbedaan yang ada dalam masyrakat. Mengingat bahwa keadaan masyarakat Indonesia
adalah masyarakat yang heterogen. Kesadaran penghormatan dan toleransi terhadap
kebaragaman dan perbedaan ini didasarkan pada peristiwa-peristiwa kelam dalam
sejarah di Indonesia. Melihat latar belakang sejarah Indonesia, jika dibandingkan
dengan Amerika yang telah mengembangkan multikulturalisme memiliki perbedaan.
Membincang persoalan tentang multikulturalisme bukan hanya toleransi moral mupun
kebersamaan pasif semata, melainkan kesediaan untuk melindungi dan mengakui
kesetaraan dan rasa persaudaraan diantara sesama manusia, terlepas dari perbedaan
asal-usul etnis, keyakinan, kepercayaan dan agama yang dianut. Multikulturalisme
memandang identitas yang tidak pernah tunggal. Hal ini dapat dicontohkan dalam
kehidupan sehari-hari, dalam diri seseorang terdapat identitas kebangsaan.
Lahirnya paham multikulturalisme berlatar belakang kebutuhan akan pengakuan (the
need of recognition) terhadap kemajemukan budaya, yang menjadi realitas sehari-hari
banyak bangsa, termasuk Indonesia(Irhandayaningsih, 2013, hlm. 5). Oleh karena itu,
sejak semula multikulturalisme harus disadari sebagai suatu ideologi, menjadi alat atau
wahana untuk meningkatkan penghargaan atas kesetaraan semua manusia dan
kemanusiaannya yang secara operasional mewujud melalui pranatapranata sosialnya,
yakni budaya sebagai pemandu kehidupan sekelompok manusia sehari-hari.
Dalam konteks ini, multikulturalisme adalah konsep yang melegitimasi
keanekaragaman budaya. Kita melihat kuatnya prinsip kesetaraan (egality) dan prinsip
pengakuan (recognition) pada berbagai definisi multikulturalisme: Multikulturalisme
pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam
berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap realitas
keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.
Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian
diwujudkan dalam kesadaran politik (Azyumardi Azra, 2007). Masyarakat
multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komunitas
budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai
dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan
(Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007). Multikulturalisme mencakup suatu
pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu
penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lawrence Blum,
dikutip Lubis, 2006:174), sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan
perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan
(Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000).
Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan
tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama
dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat
kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan
kemajemukan tersebut (A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho‘ Muzhar).

C. Konseling Multikultural sebagai Paradigma Baru


Menurut Von-Tress konseling berwawasan lintas budaya adalah konseling di mana
penasihat (konselor) dan kliennya adalah berbeda secara budaya (kultural) oleh karena
secara sosialisasi berbeda dalam memperoleh budayanya, subkulturnya, racial etnic,
atau lingkungan sosial-ekonominya. Sedangkan Dedi Supriadi menyatakan, konseling
lintas budaya adalah konseling yang melibatkan konselor dan klien yang berasal dari
latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan
terjadi bias–bias budaya (cultural biases) pada pihak konselor, sehingga konseling
berjalan tidak efektif.
Definisi konseling multikultural dan empat prinsip dasar menunjukkan paradigma
baru. Untuk sebagian besar dari empat dekade terakhir, konseling multikultural telah
dianggap disiplin fokus pada kesehatan mental dan perkembangan populasi etnis
minoritas. Konselor yang responsif yang efektif dengan klien dari warna, khususnya,
Afrika Amerika, Hispanik Amerika, Asia Amerika, dan asli orang Amerika. Konseling
untuk klien yang membutuhkan kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan yang
berbeda dari tradisi profesi secara resmi dikembangkan pada tahun 1960 dan 1970-an.
Pada dekade itu masa gejolak sosial dan politik di Amerika, melihat munculnya
generasi para sarjana dari corak yang membuat kontribusi besar untuk profesi. Banyak
pemikir seperti Carl Rogers, Albert Ellis, dan Fritz Pels, menyatakan bahwa budaya
orang kulit berwarna secara kualitatif berbeda dari budaya kulit putihberbasis eropa.
Oleh karena itu, validitas teori dan teknik didasarkan pada tradisi budaya Amerika
Eropa dan Eropa harus dipertanyakan ketika diterapkan interaksi konseling dengan
orang kulit berwarna. Ini dipelopori oleh sarjana yang mapan pada teori baru teori dan
praktek baru sebagai pembenaran pada konseling multibudaya. Dua dekade terakhir
abad ke-20 adalah masa yang penting, kelompok lain dari orang-orang yang
terpinggirkan, kehilangan haknya, atau tertindas dengan cara yang berbeda tapi mirip
dengan kebiasaan orang untuk menjadi corak yangdiberdayakan dan ditekan untuk
akses ke hakhak sosial dan hak-hak istimewa. Mutasi di kalangan perempuan, gay,
lesbian,biseksual, transgender, penyandang cacat, dan orang yang lebih tua telah
menggarisbawahi pentingnya keragaman dan inklusivitas dalam masyarakat Amerika.
Hal ini tidak mengherankan bahwa gerakan ini telah mempengaruhi teori dan praktek
konseling.
Ide-ide baru tentang konseling individu dari kelompok-kelompok yang berbeda telah
muncul dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu tema yang jelas dalam literatur pada
konseling dengan individu dari kelompok-kelompok ini adalah bahwa efektivitas terapi
harus dipertimbangkan dalam konteks yang mencakup prinsip-prinsip konseling
multikultural. Mengingat tema ini penting, paradigma konseling multikultural baru
telah muncul. Paradigma ini didasarkan pada pertimbangan keragaman dari perspektif
multifaset. Tidak lagi bisa konseling multikultural difokuskan secara eksklusif pada
konsep ras dan etnis, melainkan harus mempertimbangkan isu-isu yang lebih luas dari
keanekaragaman. Dalam paradigma baru, konseling multikultural diperluas melampaui
pengertian tentang ras dan etnis untuk memasukkan aspek-aspek penting lain dari
keragaman budaya, seperti orientasi seksual, kecacatan, dan kerugian sosial ekonomi.
Mengingat urgensinya peran budaya dalam proses konseling upaya memaksimalkan
konseling, maka konselor perlu memahami bahwa bantuan atau intervensi yang
berwawasan lintas budaya dalam konseling adalah bantuan yang didasarkan atas
nilai/keyakinan, moral, sikap dan perilaku individu sebagai refleksi masyarakatnya, dan
tidak semata-mata mendasarkan teori belaka dengan anggapan bahwa pendekatan terapi
yang sama bisa secara efektif diterapkan pada semua klien dari berbagai budaya.
Sue dan kawan-kawan mengusulkan sejumlah kompetensi minimum yang harus
dimiliki konselor yang memiliki wawasan lintas budaya, yaitu :
a. Keyakinan dan sikap konselor yang efektif secara kultural
1) Mereka sadar akan sistim nilai, sikap dan bias yang mereka miliki dan sadar
batapa ini semua mungkin mempengaruhi klien dari kelompok minoritas
2) Mereka mau menghargai kebinekaan budaya, mereka merasa tidak terganggu
kalau klien mereka adalah berbeda ras dan menganut keyakinan yang berbeda
dengan mereka
3) Mereka percaya bahwa integrasi berbagai sistem nilai dapat memberi
sumbangan baik terhadap pertumbuhan terapis maupun klien
4) Mereka ada kapasitas untuk berbagai pandangan dengan kliennya tentang
dunia tanpa menilai pandangan itu sendiri secara kritis
5) Mereka peka terhadap keadaan (seperti bias personal dan keadaan identitas
etnik) yang menuntut adanya acuan klien pada kelompok ras atau budaya
masing-masing

b. Pengetahuan konselor yang efektif secara multikultural


1) Mereka mengerti tentang dampak konsep penindasan dan rasial pada profesi
kesehatan mental dan pada kehidupan pribadi dan kehidupan profesional
mereka
2) Mereka sadar akan hambatan institutional yang tidak memberi peluang kepada
kelompok minoritas untuk memanfaatkan pelayanan psikologi secara penuh di
masyarakat
3) Mereka tahu betapa asumsi nilai dari teori utama konseling mungkin
berinteraksi dengan nilai dari kelompok budaya yang berbeda
4) Mereka sadar akan ciri dasar dari konseling lintas kelas/ budaya/ berwawasan
budaya dan yang mempengaruhi proses konseling
5) Mereka sadar akan metoda pemberian bantuan yang khas budaya (indegenous)
6) Mereka memilki pengetahuan yang khas tentang latar belakang sejarah,
tradisi, dan nilai dari kelompok yang ditanganinya.

c. Keterampilan konselor yang efektif secara kultural


1) Mereka mampu menggunakan gaya konseling yang luas yang sesuai dengan
sistem nilai dari kelompok minoritas yang berbeda
2) Mereka dapat memodifikasi dan mengadaptasi pendekatan konvensional pada
konseling dan psikoterapi untuk bisa mengakomodasi perbedaanperbedaan
kultural
3) Mereka mampu menyampaikan dan menerima pesan baik verbal maupun non-
verbal secara akurat dan sesuai.
4) Mereka mampu melakukan intervensi “di luar dinas” apabila perlu dengan
berasumsi pada peranan sebagai konsultan dan agen pembaharuan.
Dalam paradigma ini, budaya konselor responsif harus memiliki kesadaran,
pengetahuan, dan keterampilan untuk secara efektif menangani banyak aspek
keragaman budaya yang klien mungkin hadir. Tidak hanya harus budaya konselor
responsif memiliki kompetensi untuk menangani ras dan etnis, tetapi mereka juga
harus memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah yang lebih luas dari
keanekaragaman budaya. Menurut Supriyatna sedikitnya ada tiga pendekatan
dalam konseling lintas budaya, pertama, pendekatan universal atau etik yang
menekankan inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok.
Kedua, pendekatan emik (Kekhususanbudaya) yang menyoroti karakteristik khas
dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus
mereka. Ketiga, pendekatan inklusif atau transcultural. Mereka mengunakan
istilah trans sebagai lawan dari inter atau cross cultural counseling untuk
menekankan bahwa keterlibatan dalam konseling merupakan proses yang aktif
dan resiprokal.
Di sisi lain Palmer membagi ke dalam beberapa model konseling lintas budaya
yaitu: a. Model berpusat pada budaya Model berpusat pada budaya didasarkan
pada suatu kerangka pikir koresponndensi budaya konselor dan konseli. Diyakini,
seringkali terjadi ketidakjelasan antara asumsi konselor dengan kelompok-
kelompok konseli tentang budaya, bahkan dalam budayanya sendiri. Konseli tidak
mengerti keyakinan-keyakinan budaya yang fundamental konselornya demikian
pula konselor tidak memahami keyakinankeyakinan budaya konselinya. Atau
bahkan keduannya tidak memahami dan tidak mau berbagi keyakinan-keyakinan
budaya mereka. Oleh sebab itu, pada model ini budaya menjadi pusat perhatian.
Artinya, fokus utama model ini adalah pemahaman yang tepat atau nilai-nilai
budaya yang telah menjadi keyakinan dan menjadi pola prilaku individu. Dalam
konseling ini penemuan dan pemahaman konselor dan konseli terhadap akar
budaya menjadi sangat penting. Dengan cara ini mereka dapat mengevaluasi diri
masing-masing sehingga terjadi pemahaman terhadap identitas dan keunikan cara
pandang masingmasing. b. Model Integratif Ada beberapa variabel sebagai suatu
panduan konseptual dalam konseling model integrative, yaitu: 1) Reaksi terhadap
tekanan-tekanan rasial 2) Pengaruh budaya mayoritas 3) Pengaruh budaya
tradisional 4) Pengalaman dan anugerah individu dan keluarga.6 Pada
kenyataannya memang sulit untuk memisahkan pengaruh semua kelas variabel
tersebut karena yang justru yang menjadi kunci keberhadil konseling adalah
asesmen yang tepat terhadap pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai
suatu sumber perkembangan pribadi. Budaya tradisional yang dimaksud adalah
segala pengalaman yang memfasilitasi individu berkembangnya baik secara
disadari atapun tidak.
BAB III
PENUTUP

Peradaban atau kebudayaan manusia tidak bisa dilepaskan dan diawali oleh perubahan yang
terjadi dalam sistem pemikiran, epistemologi, kepercayaan dan nilai-nilai instrinsik lainnya,
sehingga akhirnya memunculkan suatu peradaban dan kebudayaan tertentu pada suatu
masyarakat atau bangsa. Multikulturalisme adalah pandangan dunia yang dapat
diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap
realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.
Multikulturalisme merupakan pandangan dunia yang diwujudkan dalam kesadaran politik.
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam
komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai
dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan. Ide-ide
baru tentang konseling individu dari kelompok-kelompok yang berbeda telah muncul
Paradigma konseling multikultural baru telah muncul. Paradigma ini didasarkan pada
pertimbangan keragaman dari perspektif multifaset. Tidak lagi bisa konseling multikultural
difokuskan secara eksklusif pada konsep ras dan etnis, melainkan harus mempertimbangkan
isu-isu yang lebih luas dari keanekaragaman. Dalam paradigma baru, konseling multikultural
diperluas melampaui pengertian tentang ras dan etnis untuk memasukkan aspek-aspek
penting lain dari keragaman budaya, seperti orientasi seksual, kecacatan, dan kerugian sosial
ekonomi. Mengingat urgensinya peran budaya dalam proses konseling upaya
memaksimalkan konseling, maka konselor perlu memahami bahwa bantuan atau intervensi
yang berwawasan lintas budaya dalam konseling adalah bantuan yang didasarkan atas
nilai/keyakinan, moral, sikap dan perilaku individu sebagai refleksi masyarakatnya, dan tidak
semata-mata mendasarkan teori belaka dengan anggapan bahwa pendekatan terapi yang sama
bisa secara efektif diterapkan pada semua klien dari berbagai budaya.
DAFTAR PUSTAKA

Albert Hourani. 1970. Islam Dalam Pandangan Eropa, Terj. Imam Baihaqi & Ahmad
Baidlowi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).

Corey, G. 1991. Theory and Practice of Group Counseling. (California: Brooks/ Cole
Publishing Company)

Dayakisni, Tri &SalisYuniardi. 2004. Psikologi Lintas Budaya. (Malang: UMM


Press)
Dedi Supriadi. 2001. Konseling Lintas Budaya: Isu – isu dan relevansinya di
Indonesia. (Bandung: UPI)

Effat al-Syarqawi. 1986. Filsafat Kebudayaan Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka).

Samuel P. Huntington. 1996. Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia,
dalam: M. Nasir Tamara & Elza Peldi Taher (ed.), (Jakarta: Paramadina).

Supriyatna, M. 2011. Bimbingan dan Konseling Berbasis Kompetensi. (Jakarta: PT.


Raja Grafindo Persada)

Yusuf Qardawi. 2001. Kebudayaan Islam: Eksklusif atau Inklusif, terj. Jasiman (Solo:
Era Intermedia).

Ziauddin Sardar & Merryl Wyn Davies (ed.). 1989. Wajah-Wajah Islam, terj. A.E.
Priono dan Ade Armando, (Bandung: Mizan).

Ziauddin Sardar. 1985. Masa Depan Peradaban Islam. Alih Bahasa: Mochtar Zoerni
& Ach. Hafas Sn. (Surabaya: Bina Ilmu).

Anda mungkin juga menyukai