Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kehidupan Beragama di Indonesia


Indonesia adalah sebuah negara yang penduduknya majemuk dari segi suku
bangsa, budaya dan agama. Realitas kemajemukan tersebut, disadari oleh para
pemimpin bangsa, yang memperjuangkan kemerdekaan negeri ini, dari penjajahan
asing. Mereka memandang bahwa kemajemukan tersebut bukanlah halangan untuk
mewujudkan persatuan dan kesatuan, serta untuk mewujudkan cita-cita nasional
dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Kemajemukan tersebut termasuk
kekayaan bangsa Indonesia.
Para pemimpin bangsa tersebut mempunyai cara pandang yang positif tentang
kemajemukan. Cara pandang seperti ini selaras dengan ajaran agama yang
menjelaskan bahwa kemajemukan itu, bagian dari sunnatullah. Agama mengingatkan
bahwa kemajemukan terjadi atas kehendak Tuhan yang Maha Kuasa, sehingga harus
diterima dengan lapang dada dan dihargai, termasuk di dalamnya perbedaan konsepsi
keagamaan.
Perbedaan konsepsi di antara agama-agama yang ada adalah sebuah realitas,
yang tidak dapat dimungkiri oleh siapa pun. Perbedaan –bahkan benturan konsepsi
itu- terjadi pada hampir semua aspek agama, baik di bidang konsepsi tentang Tuhan
maupun konsepsi pengaturan kehidupan. Hal ini dalam prakteknya, cukup sering
memicu konflik fisik antara umat berbeda agama.
Sebagian kalangan berpendapat bahwa perbedaan konsep keagamaanlah yang
menjadi sumber konflik utama antara umat manusia. Tidak dapat dimungkiri bahwa
sejumlah teks keagamaan memang mengatur masalah kekerasan dan peperangan.
Jika dilihat Indonesia adalah negara yang mempunyai keragaman dalam
banyak hal, dari Suku, Bahasa, Budaya, dan tidak terlepas dengan agama. Bahkan
agama yang di Indonesia yang diakui oleh negara ada 5 yaitu, Islam, Kristen, Hindu,
Budha, dan Katoli, bahkan pada saat pemerintahan mantan presiden KH. Abdul
Rahman Wakhid, yang sering dipanggil dengan sebutan Gusdur, beliau mengakui
keberadaan aliran Konghucu di Indonesia, yang dulu tidak diakui keberadaannya,
maka dari itu semakin bertambah pula beragam agama di Indonesia. Tetapi yang
sering terjadi di Indonesia adalah konflik antara umat agama Islam dan Kristen.

1
Jika kita menelaah lebih dalam jika konflik itu mengenai konflik agama maka
yag banyak terjadi adalah konflik antara agama Islam-Kristen, karena sudah banyak
yang menguatkan tentang ini. Ini dikarenakan Di Indonesia, fundamentalisme agama
masih begitu kelihatan, terutama bagi golongan Kristen dan Islam. Konflik berdarah
antara Islam Kristen di Ambon, Poso, dan beberapa wilayah lain yang berbuntut
pengrusakan dan penghancuran rumah ibadat serta pembunuhan menjadi indikasi
adanya kelompok-kelompok fundamentalis sempit ini. Walaupun sebenarnya tidak
sepenuhnya benar jika meletakkan kesalahan pada sikap fundamentalis ini sebagai
satu-satunya motif dari konflik tersebut, tetapi sikap ini dapat menjadi pemicu
terjadinya konflik tersebut.

B. Faktor Penyebab Terjadinya Konflik


1. Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental
Konflik sebagai kategori sosiologi bertolak belakang dengan pengertian
perdamaian dan kerukunan. Yang terakhir ini merupakan hasil dari proses
assosiatif, sedangkan yang pertama dari proses dissosiatif. Proses assosiatif adalah
proses yang mempersatukan; dan proses dissosiatif sifatnya menceraikan atau
memecah. Fokus kita tertuju kepada masalah konflik atau bentrokan yang berkisar
pada agama. Dalam konteks ini konflik sebagai fakta social melibatkan minimal
dua pihak (golongan) yang berbeda agama bukannya sebagai konstruksi kayal
(konsepsional) melainkan sebagai fakta sejarah yang masih sering terjadi pada
zaman sekarang juga. Misalnya; bentrokan antara umat Kristen Gereja Purba,
benturan umat Kristen dengan penganut agama Romawi (agama kekaisaran)
dalam abad pertama sampai dengan ketiga. Dalam penyorotan sekarang ini kita
hanya ingin mengkhususkan pada satu sumber bentrokan saja, yaitu perbedaan
iman.
2. Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama
Bahwa perbedaan suku dan ras berkat adanya agama bukan menjadi penghalang
untuk menciptakan hidup persaudaraan yang rukun hal itu sudah terbukti oleh
kenyataan yang menggembirakan dan hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Yang
menjadi masalah disini ialah, apakah perbedaan suku dan ras ditambah dengan
perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan
antar umat manusia. Khususnya apakah dalam satu Negara yang terdiri dari

2
berbagai suku bangsa dan yang menerima adanya agama yang berbeda-beda
bukannya membina dan memperkuat unsur penyebab yang lebih kuat untuk
menimbulkan perpecahan bangsa dan Negara itu. Bahwa faktor ras itu sendiri
terlepas dari agama sudah membuktikan bertambahnya permusuhan dan pencarian
jalan keluarnya, dan kesemuannya itu menjadi bahan menarik dalam diskusi
ilmiah maupun dalam kalngan kaum politisi, adalah merupakan masalah yang
tetap actual yang tidak dijadikan sasaran dari pembicaraan kita sekarang ini.
3. Perbedaan Tingkat Kebudayaan
Fenomena agama sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan
membuktikan bahwa tingkat kemajuan budaya berbagai bangsa didunia ini tidak
sama. Demi mudahnya pendekatan kita bedakan saja dua tingkat kebudayaan,
yaitu kebudayaan tinggi dan kebudayaan rendah, meskipun pembagian dikhotomis
dan simplistic ini menanggelamkan nuansa kekayaan kultural yang memang ada
diantara ujung yang tinggi dan rendah. Tolak ukur untuk menilai dan
membedakan kebudayaan dalam dua kategori itu berupa asumsi yang sudah
umum, pertama akumulasi ilmu pengetahuan positif dan teknologis disatu pihak
dan hasil pembangunan fisik di lain pihak dan kedua yaitu bahwa agama itu
merupakan motor penting dalam usaha manusia menciptakan tangga-tangga
kemajuan.

C. Contoh Konflik Antar Agama di Indonesia


Faktor Pemicu Konflik Poso
Dalam laporan Pemda Poso tertanggal 7 Agustus 2001 dinyatakan antara lain bahwa
kerusuhan Poso diawali sebuah kasus kriminalitas biasa (perkelahian) antara beberapa
oknum pemuda. Namun dalam waktu singkat berkembang sedemikian rupa menadi
isu SARA, sehingga mengundang konflik massa yang tidak terkendali dan
mengakibatkan timbulnya kerusuhan. Berkembangnya masalah kriminalitas tersebut
menadi isu SARA tidak berjalan dengan sendirinya, tetapi telah dimananfaatkan dan
direkayasa sedemikian rupa menadi sebuah isu SARA oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab dengan latar belakang kepentingan tertentu. Karena itu persoalan
yang memicu timbulnya kerusuhan bukanlah masalah SARA, tetapi masalah
kriminalitas yang dikemas dalam simbol-simbol SARA.

3
Dari laporan jurnalistis, konflik Poso disebut sebagai tragedi tiga babak. Kerusuhan
pertama berlangsung tanggal 25-30 Desember 1998, yang kedua 15-21 April 2000,
sedangkan kerusuhan ketiga tanggal 23 Mei-10 Juni 2001. Rentetan peristiwa
kerusuhan Poso menurut paparan Sinansari Ecip dan Darwin Daru, konflik Poso
dimulai dari kerusuhan pertama pada tanggal 25 Desember 1998 (kebetulan Natal dan
bulan puasa) karena pertikaian dua pemuda yaang berbeda agama. Pertikaian itu terus
berlanjut hingga mengundang kelompok massa untuk melakukan aksi yang anarkis.
Konflik individual ini kemudian melibatkan kelompok pemuda agama (masing-
masing perwakilan dari korban dan pelaku yang berbeda agama) yang berlanjut ke
pembakaran toko dan rumah-rumah warga yang sebelumnya tidak terlibat.
Terjadinya konflik dan perilaku kekerasan dalam masyarakat tergantung dari sumber
potensi konflik yang ada. Ada beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya konflik,
selain agama, yaitu ketidakadilan ekonomi, ketidakstabilan politik, serta ketimpangan
sosial. Untuk itulah, dibutuhkan pemahaman terlebih dahulu mengenai kondisi
masyarakat Poso yang menjadi poin terjadinya konflik.
a. Faktor Politik
Meskipun pemicu awal munculnya konflik di Poso ini adalah karena pertikaian
pemuda namun sebenarnya terdapat muatan politik berkaitan dengan suksesi
bupati. Ketidakpuasan politik inilah yang menjadi akar permasalah konflik. Pada
1998, ketika mantan Bupati Poso Arief Patanga akan mengakhiri masa
Meskipun konflik Poso mengatasnamakan ‘agama’ sebagai penyebab
konfliknya, namun harus dilihat terlebih dahulu apakah benar agama sebagai
faktor dibalik konflik tersebut. kepemimpinannya, terlihat sinyalemen terjadinya
gesekan di tingkat politisi partai yang menginginkan perubahan kepemimpinan.
Pergesekan antara politisi partai akhirnya merambah hingga ke tingkat akar
rumput. Akhirnya muncullah kelompok-kelompok di masyarakat yang
berlawanan haluan dengan kebijakan politisi partai. Terendusnya praktik korupsi
yang dilakukan oleh kroni-kroni Bupati Arief Patanga membuat yang
bersangkutan berupaya mengalihkan isu. Korupsi Korupsi bermula dari
pemberian dana kredit usaha tani (KUT) sebesar Rp 5 miliar pada 1998 oleh
pemerintah pusat. Saat ada upaya pengungkapan kasus korupsi itu, orang-orang
yang terlibat korupsi menggalang massa untuk melakukan aksi untuk
mengalihkan isu korupsi yang berkembang. Bahkan ada selebaran yang berisi
penyerangan tokoh Kristen yang sengaja diedarkan ke masyarakat. Hal itu

4
kemudian semakin memperuncing konflik masyarakat yang beragama Islam dan
Kristen. Kekerasan yang terjadi tersebut tidak mendapat respons yang memadai
dari aparat keamanan. Kegiatan itu terlihat dibiarkan sehingga terus terjadi dan
meluas. Karena pembiaran oleh aparat, eskalasi kekerasannya meningkat hingga
terjadi pembakaran rumah penduduk, gereja, dan masjid. Bahkan terjadi
pembantaian di Pesantren Walisongo, Sintuwelemba, yang lokasinya di tengah-
tengah komunitas Kristen.
b. Faktor Ekonomi
Poso telah dimasuki pendatang Kristen dan Islam sejak masa pra-kolonial,
namun proporsi migrasi yang signifikan baru terjadi pada masa orde baru. Hal
itu terjadi sejak dibangunnya prasara jalan trans-Sulawesi dan pembangunan
berbagai pelabuhan laut dan udara yang semakin memudahkan perpindahan
penduduk. Tanpa disadari proses pembangunan ekonomi di Poso membawa
dampak bagi orang Kristen setempat yakni proses Islamisasi yang cepat dan
kesenjangan ekonomi. Keadaan ini lebih dipertajam lagi dengan banyaknya
angka pengangguran kaum terpelajar karena sempitnya atau langkanya lapangan
konflik yang sesuai dengan pendidikan yang pernah ditempuh. Akibat urbanisasi
dan kesenjangan ekonomi, politik dan budaya antara umat beragama ini
menyebabkan perubahan pola-pola hubungan antar umat beragama terutama
antara Muslim dan Kristiani.
Pertumbuhan urbanisasi yang cepat akan mengantarkan masyarakat ke arah
modernisasi sering terjadi konflik nilai-nilai tradisional yang masih kuat dengan nilai-
nilai baru yang belum mapan di masyarakat. Konflik nilai tersebut berpengaruh besar
terhadap perilaku masyarakat dan dapat mendorong masyarakat ke proses desintegrasi
alienasi, disorienttasi, disorganisasi, segmentasi dan lain sebagainya.
Umat Islam yang hidup di Poso tidak rela dan tidak senang kalau melihat
pemuda-pemuda Kristen yang minum-minuman keras serta mabuk-mabukan di jalan,
apalagi di bulan suci Ramadhan. Oleh karena itu sasaran pengrusakan atau amuk
massa Islam tatkala gagal mencari pemuda Kristen yang memukul pemuda Islam di
masjid adalah Toko Lima, tempat penjualan minuman keras terbesar di Poso.
Peristiwa inilah merupakan awal mula bentrok fisik antara massa Islam dan Kristen.
Peristiwa hari Jum’at tanggal 26 Desember 1998 inilah yang merupakan pelampiasan
emosi keagamaan antara Islam dan Kristen yang berpangkal pada perbedaan dan
kesenjangan sistem nilai budaya antara komunitas tersebut.

5
D. STRATEGI PENANGANAN KONFLIK
Adapun cara mengatasi konflik dapat dilakukan dengan cara-cara berikut:
1. Mempelajari penyebab utama konflik.
2. Bersikap toleransi
Memberi kesempatan dan kebebasan antar umat beragama untuk melakukan
ibadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing agama.
3. Bersikap saling menghargai
Tidak saling melecehkan antara satu agama dengan agama yang lain .
4. Pengawasan lebih aparat keamanan
Pengawasan lebih bagi aparat keamanan baik pada hari raya maupun tidak untuk
menjaga kenyamanan masyarakat dalam beribadah.
5. Menguatkan ideologis nasionalis sebagai bangsa yang sama dan negara yang
sama.
6. Harus adanya kesepakatan dari kedua belah pihak untuk saling menghargai dan
saling percaya.
7. Menjalin komunikasi antar umat beragama

6
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Potensi konflik merupakan suatu kemungkinan akan timbulnya pertentangan yang
terjadi atas dasar perbedaan antara pihak yang satu dengan pihak lain . Pertentangan tersebut
pada umumnya akan berakhir pada tindak anarkis antar pihak yang bertentangan . Salah satu
keanekaragaman Indonesia yang dapat berpotensi konflik adalah agama. Faktor-faktor
penyebab konflik diantaranya perbedaan doktrin dan sikap mental, perbedaan suku dan ras
beragama dan perbedaan tingkat kebudayaan. Perbedaan iman menimbulkan bentrokan.
Contoh konflik antar umat agama adalah konflik di Poso, dan konflik. Untuk mengatasi
konflik antar umat beragama tersebut diperlukan cara mengatasi yang sederhana namun
berguna seperti bersikap toleransi , saling menghargai , dan penambahan pengawasan oleh
aparat keamanan .

B. SARAN
Kemajemukan agama seharusnya juga tidak menjadi penghalang untuk hidup bersama,
berdampingan secara damai dan aman. Bahkan, kemajemukan agama tidak menghalangi
umat beragama untuk membangun suatu  negara yang bisa mengayomi dan menghargai
keberadaan agama-agama tersebut. Adanya saling pengertian dan pemahaman yang dalam
akan keberadaan masing-masing menjadi modal dasar yang sangat menentukan. Pengalaman-
pengalaman Nabi di atas mengandung dimensi moral dan etis. Di antara dimensi moral dan
etis agama-agama adalah saling menghormati dan menghargai agama atau pemeluk agama
lain. Jika masing-masing pemeluk agama memegang moralitas dan etikanya masing-masing,
maka kerukunan, perdamaian dan persaudaran bisa terwujud.

7
DAFTAR PUSTAKA

Th. Sumartana, dkk. 2001. Pluralisme Konflik & Pendidikan Agama di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

M. Aziz, Imam, dkk. 1993. Agama Demokrasi & Keadilan. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama

Anda mungkin juga menyukai