Anda di halaman 1dari 19

PERBANDINGAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI MESIR

Dosen Pembimbing:

AULIL AMRI, M.H

Oleh:

Abdul Aziz (200101007)

Afif Fadhil (200101005)

Annayya Fatin (200101053)

Elvina Rizki (200101072)

Khairin Munawar suku (200101058)

PRODI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY BANDA ACEH

2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadhirat Allah SWT yang telah memberikan
kesempatan dan kesehatan, sehingga telah dapat melaksanakan tugas Makalah Perbandingan
Hukum Keluarga Islam dengan judul “Perbandingan Hukum Keluarga Islam di Mesir”
dengan selamat dan berhasil dengan baik.

Hasil yang telah kami laksanakan, kami sampaikan dalam bentuk tertulis, dengan
mengharap agar mendapatkan nilai yang semaksimal mungkin, agar lebih dapat
meningkatkan pengetahuan kami. Dalam menyusun tugas kami sangat mengharapkan adanya
kritik dan perbaikan yang bersifat membangun, serta kami mohon maaf yang sebesar-
besarnya jika sekiranya terdapat kekurangan dan kekeliruan dalam tugas ini.

Pada kesempatan ini, kami ucapkan terima kasih kepada bapak Aulil Amri, M.H
sebagai dosen mata kuliah perbandingan hukum keluarga islam yang telah memberikan tugas
ini kepada kami sehingga dapat selesai tanpa hambatan.

Demikian tugas ini yang telah kami susun untuk menjadi masukan dalam
pembelajaran dimasa yang akan datang.

Banda Aceh, 10 Februari 2023

Kelompok 6
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................ii
BAB I...........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................................3
1.3 Tujuan................................................................................................................................................4
BAB II.........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN..........................................................................................................................................5
A.Sejarah Negara Mesir...........................................................................................................................5
B.Penerapan Hukum Keluarga di Mesir...................................................................................................7
C.Reformasi Hukum Keluarga Islam Mesir 11
D.Peradilan keluarga di mesir................................................................................................................13
BAB III......................................................................................................................................................15
PENUTUP.................................................................................................................................................15
A. Kesimpulan......................................................................................................................................15
B. SARAN...........................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................16
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembaharuan hukum Islam di Mesir, khususnya dalam bidang hukum
keluarga Islam, dimulai pada tahun 1920 dengan lahirnya Undang-Undang
Keluarga Mesir, yaitu Law No. 25 tahun 1920 dan Law No. 20 tahun 1929.
Kemudian dikembangan dan dipermatang dalam aturan utuh hukum keluarga di
Mesir, terutama tentang usulan pembatasan poligami dan hak cerai sepihak oleh
suami selalu gagal di Republik Arab Mesir. Seperti pada dalam draf Undang-
Undang No. 25 Tahun 1920 meskipun juga mengalami penolakan keras oleh
ulama Mesir1.Faktor sosial dan politik tentunya juga berpengaruh besar di Mesir.
Sejak Abad ke-19, gerakan sosial Islam modernis dan gerakan sosial Islam
reformis telah bergulat dengan masalah penentuan hukum Islam. Fenomena
pergulatan ini dibenturkan dengan gerakan sosial Islam Mesir, seperti yang
dipelopori Qasim Amin yang dikenal sebagai ahli dalam bidang ilmu sosial, Amin
selain sebagai aktifis sosial, ia juga pemikir (seorang inteletual) yang konsen
dalam bidang gerakam feminisme Arab di Mesir. Karya sosial Qasim Amin yang
berjudul Tahrir al-Mar’ah (the liberation of women) adalah karya kontroversial
pada masa itu, karena dianggap terlalu liberal oleh ulama konservatif di Mesir.
Setelah mengalami penolakan oleh ulama Mesir, kemudian draf tersebut
diusulkan kembali oleh komite Mesir tahun 1927 untuk UU No. 20 Tahun 1929
yang isinya hampir sama dengan draf yang ada dalam UU No. 25 Tahun 1920,
tetapi UU No. 20 Tahun 1929 merupakan pengaruh dari pemikiran Muhammad
Abduh dan Qasim Amin penulis buku Tahrir al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan)
di Mesir. Aturan tersebut masih gagal karena waktu itu diveto oleh Raja Fu’ad.
Kemudian pada Tahun 1943 dan 1945 diusulkan lagi, tetapi juga ditolak oleh
kerajaan Mesir. Adapun pembaharuan hukum Islam yang terjadi di Sudan,
sebagaimana yang telah dilakukan Qadhi al-Qudhat dalam rentang waktu yang
cukup lama, bila dikumpulkan hasilhasil keputusan Hakim, maka peraturan
tentang hukum Islam (perkawinan dan perceraian) di Sudan diatur dalam bentuk
1
K,Nasution. Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Muslim. Tazzafa dan ACAdeMIA,2009. Hlm 285
ketetapan-ketetapan hakim (Manshurat al-Qadhi al-Qudhat) yang terpisah-pisah,
yaitu:

a) Undang-Undang tentang Nafkah dan Perceraian dalam Manshur No. 17


Tahun 1916;
b) Undang-Undang tentang Orang Hilang dalam Manshur No. 24 Tahun
1921;
c) Undang-Undang tentang Warisan dalam Manshur No. 26 Tahun 1925;
d) Undang-Undang tentang Nafkah dan Perceraian dalam Manshur No. 28
Tahun 1927;
e) Undang-Undang tentang pemeliharaan Anak dalam Manshur No. 34
Tahun 1932;
f) Undang-Undang tentang Talak, Masalah Rumah Tangga (Shiqaq dan
Nusyuz) dan Hibah dalam Manshur No. 41 Tahun 1935;
g) Undang-Undang tentang Perwalian Harta Kekayaan dalam Manshur
No. 48 Tahun 1937;
h) Undang-Undang tentang Warisan dalam Manshur No. 51 Tahun 1943,
sekaligus memperbaharuai Manshur No. 49 Tahun 1939;
i) UndangUndang tentang Wasiat dalam Manshur No. 53 Tahun 1945;

Undang-Undang tentang Wali Nikah dalam Manshur No. 54 Tahun 1960,


sekaligus memperbaharui Manshur No. 35 Tahun 1933. 2 Sementara ada beberapa
ketentuan hukum Islam (dalam hal ini hukum keluarga Islam) yang dikeluarkan
Qadhi al-Qudhat dalam rentang 1916-1960 sebagai berikut:

a) Pengadilan mengakui hak istri untuk menuntut perceraian dengan alasan-


alasan tertentu;
b) Perceraian yang tidak disengaja tidak diakui;
c) Batas waktu kehamilan maksimal satu tahun;
d) Pembatasan kekuasaan dan otoritas wali nikah;
e) Dalam hal waris, saudara besar tertua yang dianggap mewakili peradaban dan
basis ilmiah-intelektual pasca-klasik sampai modern, yang kini dianggap
masih ada dan tidak terhapus oleh keganasan perang, berbeda dengan
Universitas Nizamiyah di Bagdad yang hanya tinggal kenangan. Setelah
2
S,Safwat. Islamic Law in The Sudan. In Islamic Law: Social and Historical Contects. Routledge,
1988
keruntuhan Bagdad, Al-Azhar dapat disimbolkan sebagai khasanah pewarisan
bobot citra keagamaan yang cukup berakar di dunia Islam. Tonggak inilah
yang membawa Mesir memiliki aset potensial dikemudian hari dalam
gagasan-gagasan modernisme. Hal ini juga yang membuka mata para pemikir-
pemikir Islam untuk melakukan perubahan meninggalkan keterbelakangan
menuju modernisasi di berbagai bidang khususnya bidang pendidikan. Upaya
pembaharuan dipelopori oleh Muhammad Ali Pasya, kemudian diikuti oleh
pemikir-pemikir lainnya.3 Sementara yang sedang terjadi dan berkembang di
Mesir pada saat itu antara lain dalam bidang pendidikan sangat doktrinal,
metode penguasaan ilmu menghafal di luar kepala tanpa ada pengkajian dan
telaah pemahaman, membuat ajaran-ajaran Islam seperti dituangkan
sedemikian rupa ke kepala murid dan mahasiswa. Para murid dan mahasiswa
tinggal menerima apa adanya. Diskusi dan dialog menjadi barang langka
dalam pengkajian keislaman. Selain itu filsafat dan logika dianggap tabu
sebagai mata kuliah di perguruan tinggi dan madrasah. Sebagaimana
dikatakan Muhammad Abduh, ia merasa jenuh dengan cara menerima ilmu
dengan metode menghafal luar kepala. Kondisi sosial keagamaan juga
demikian, sebagaimana dilukiskan oleh Muhammad al-Bahy rakyat Mesir dan
dunia Islam pada umumnya lebih mementingkan tindakan individual.
Ukhuwah Islamiyah yang menekankan kepada kebersamaan, persatuan,
dinamisme hidup, rasionalitas berpikir dalam lapangan keagamaan, dan
sebagainya telah hilang dikalangan umat Islam. Termasuk di kalangan
Universitas Al-Azhar sendiri, yang digambarkan oleh Muhammad Abduh
sudah kehilangan roh intelektual dan jihad keagamaan yang berpijak kepada
kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.4
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana sejarah negara mesir ?
b. Bagaimana penerepan hukum keluarga islam di mesir ?
c. Bagaimana reformasi hukum keluarga islam di mesir ?
d. Bagaimana sistem peradilan hukum keluarga di mesir ?

3
Hopwood, D. Egypt: Politics and Society 1945-1984. Billing&Sons. Hlm 9
4
Asrizal, “Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Mesir dan Sudan”, Jurnal Integrasi Ilmu
Syari’ah,Vol 2, No.3, September-Desember 2021, Hlm 6
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui sejarah negara mesir
b. Untuk mengetahui penerapan hukum keluarga islam di mesir
c. Untuk mengetahui reformasi hukum keluarga islam di mesir
d. Untuk mengetahui sistem peradilan keluarga islam di mesir
BAB II
PEMBAHASAN

A.Sejarah Negara Mesir


Nama resmi negara ini adalah Republik Arab Mesir, dan konstitusi
menetapkan tanggal 11 September 19715. Mesir terletak di pantai timur benua
Afrika. Berbatasan dengan Mediterania di utara, Sudan di selatan, dan Libya di
barat. Luas wilayahnya kurang lebih 997.739 kilometer persegi. Jumlah penduduk
adalah 54.609.000 (1990). Sekitar 90% populasinya adalah Muslim (Sunni).
Kelompok etnis terpenting yang ada adalah Mesir, Badui, Nubia, ibu kota Kairo,
dan bahasa resminya adalah bahasa Arab6. Islam masuk ke daerah mesir pada
masa khalifah umar bin khattab selanjutnya yang memerintahnya berturut-turut
adalah dinasti umayyah dan abasiyyah, thulun pada tahun 935-969, fatimiyah
pada tahun 909-1171, ayyubiyah pada tahun 1174-1250 yang ditandai dengan
terjadinya perang salib serta dinasti mamluk pada tahun 1250-1571 kemudian
menjadi bagian dari kekuasaan kerajaan utsmani. 7 Madzhab maliki yang memiliki
madzhab negara kemudian digantikan oleh madhab Hanafi pada masa dinasti
thulun8. Akan tetapi pada masa utsmani hukum islam mulai beradaptasi dengan
hukum barat maka muncullah ide dari beberapa pakar hukum untuk mencari suatu
system hukum yang lebih sesuai dengan tuntutan masyarakat dan adat istiadat
yang telah lama berlaku dan adanya gejala yang semakin menuntut perubahan
hukum dengan Kembali kepada hukum islam yang lebih sesuai dengan watak
asyarakat mesir. Dan inilah satu-satunya hukum yang memberikan kepuasan atas
dasar keadilan yang hakiki bagi setiap individu masyarakat. 9 Hukum keluarga
dalam masyarakat muslim, khususnya masyarakat mesir, menjadi penelitian yang
menarik karena hukum keluarga menjadikan wahyu ketuhanan dan ruh suci nabi
menjadi kenyataan, sedangkan hukum muammalah berbeda-beda. Secara umum,
karena berbagai macam hal, termasuk ratusan tahun keberadaannya akibat
kolonialisme Barat. Pada masa lalu hukum keluarga dalam arti sempit yaitu

5
Muhammad Tahir Azhariy, Negara Hukum: Suatu Study Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya Pada Pariode Negara Madinah Dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan
Bintang),1992.hlm.165
6
Ensiklopedia islam, jilid III, (Jakarta: PT Ikhtiar baru van hoever),1994.hlm.226
7
Ibid,hlm.227
8
Ibid.hlm.159
9
Daud Rasyid, Islam Dalam Berbagai Dimensi, (Jakarta: Gema Insani Press),1998.hlm.199
hukum perkawinan dan perceraian banyak ditemukan dalam berbagai kitab
hukum di suatu negara. Secara kolektif, buku-buku ini adalah produk jihad
mujahidin di semua tingkatan. Memenuhi kebutuhan hukum komunitas muslim
saat itu. Saat ini, hukum keluarga ini dapat ditemukan dan ditelusuri dalam buku-
buku hukum berbagai aliran pemikiran, empat mazhab dan Sunni (Hanafi, Maliki,
Syafi'i dan Hambali) dan Tiga Syiah (Itsna Asyari, Ismail dan Zaid). Meskipun
hasil penalaran para fuqaha di masa lampau yang sesuai dan memenuhi
kebutuhan masyarakat muslim di masa itu, tetapi tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman dan kepentingan ummat Islam sekarang ini. Selain itu,
isinya pun berbeda satu dengan lain karena tingkat pengetahuan dan pengalaman
para penalarnya, kendatipun mereka berada dalam satu mazhab yang sama.
Karena itu menimbulkan rasa tidak puas terhadap isi yang dikandungnya, juga
mengakibatkan ketidakpastian hukum karena perbedaan pendapat yang terdapat
di dalamnya, sehingga masyarakat muslim ada yang lebih senang mengikuti
hukum adat yang turun temurun telah berlaku bagi mereka/atau berpaling pada
sistem hukum Kristen (barat) yang disusun secara sistematis dan jelas dalam satu
kitab atau peraturan perundang-undangan. Kini keadaan sudah berubah hukum
keluarga yang mampu bertahan dari hempasan gelombang westernisasi,
sekularisme yang dilaksanakan melalui sekularisasi di segala bidang kehidupan,
telah diperbaharui, dikembangkan selaras dengan perkembangan zaman dan
tempat serta dimodifikasikan baik secara parsial maupun secara total. Untuk
melaksanakan hukum keluarga yang telah ditetapkan di Mesir, diadakan
reorganisasi dan penyempurnaan peradilan agama dengan mengeluarkan
peraturan perundang-undangan. Dalam pada itu ada negeri Islam yang sama
sekali tidak mau melakukan pembaharuan dan masih tetap memberlakukan
hukum keluarga sebagaimana yang tertuang dalam kitab-kitab fikhi dari mashab
yang dianut. Sebaliknya ada pula negeri Islam yang sama sekali telah
meninggalkan hukum keluarga Islam dan sebagai gantinya mengambil hukum
sipil Eropa. Namun yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah negera yang
berusaha memberlakukan hukum keluarga Islam tetapi setelah mengadakan
pembaharuan di sana sini.
B.Penerapan Hukum Keluarga di Mesir
Hukum keluarga yang dimaksudkan dalam pembahasan ini ialah hukum
keluarga yang berlaku di Mesir yakni peraturan-peraturan yang oleh kalangan
hukum diharapkan agar pengadilan menerapkan dan merujuknya dalam
penyelesaian sengketa-sengketa yang menyangkut keluarga di Mesir. Isi hukum
keluarga yang berlaku bagi masyarakat Mesir dalam kodifikasi, baik parsial maupun
total; adalah merupakan pengembangan hukum keluarga Islam tradisional.
Di antara pasal-pasal yang akan dibahas ialah masalah batas umur kawin,
pencatatan perkawinan, perceraian, poligami dan masalah warisan10.

1. Masalah Batas Umur Nikah


Memang al-Quran dan hadis tidak pernah menetapkan usia minimum
untuk melangsungkan perkawinan, akan tetapi demi terciptanya kerukunan
yang abadi dalam suatu rumah tangga, maka pakar hukum Islam Mesir telah
menetapkan Undang-Undang tentang usia minimum Pasal 99 ayat 5 Tahun
1931. Bahwa usia pernikahan bagi pria minimal 18 tahun dan bagi wanita 16
tahun.
dalam ayat 5 Pasal 99 Undang-undang Susunan Pengadilan Agama
Tahun 1931, dinyatakan: "Tidak didengar gugatan perkara keluarga apabila
usia isteri kurang dari enam belas tahun atau usia suami kurang dari delapan
belas tahun. Hal tersebut dimaksudkan agar menjaga keharmonisan rumah
tangga.
2. Masalah Pencatatan Pernikahan
Pencatatan nikah adalah masala yang sangat penting dalam hal
perkawinan karena banyak masalah yang timbul akibat tidak dicatatnya
perkawinan, seperti asal usul anak, kewarisan dan nafkah. Masalah-masalah
ini pulalah yang menyebabkan Mesir melakukan usaha ini. Sejak terbitnya
ordonansi tahun 1880 tentang pegawai-pegawai pencatat nikah,
pengangkatanya seta tata cara pelaksanaannya.
Kemudian diikuti oleh ordonansi tahun 1897 dalam Pasal 31
menyatakan bahwa gugatan perkara nikah atau pengakuan adanya hubungan
perkawinan tidak akan dilavani oleh pengadilan setelah meninggalnya salah
satu pihak, apabila tidak dibuktikan dengan surat nikah yang sah dari
10
Muhammad Siraj, "Hukum Keluarga di Mesir dan Pakistan" dalam Johannes Den Heijer dan
Syamsul Anwar, (ed), Islam, Negara dan Hukum (Jakarta: INIS, 1993), h. 99-114
pemerintah. Demikian pula ordonansi tahun 1921 mengandung ketentuan
surat nikah itu harus bersifat resmi yang dibuat oleh pegawai yang
berwenang.
Lahirnya penertiban administrasi modern di Mesir telah membawa
kemudahan pencatatan akad11: Dari sini jelas bahwa pembuat UU di Mesir
mengambil prinsip "tidak mendengarkan sesuatu gugatan" dalam kasus-
kasus perkawinan dan akibat-akibat hukumnya apabila perkawinan tersebut
tidak terbukti berdasarkan suatu dokumen resmi yang diterbitkan ole pejabat
berwenang, seperti hakim, dan pegawai pencatat nikah untuk dalam neger
atau konsul (untuk luar negeri).
3. Masalah Cerai di Depan Pengadilan
Dalam hal ini Mesir tidak memberlakukan mazhab Hanafi, akan tetapi
ia memberlakukan mazhab Maliki. Hal itu ditandai dengan adanya Undang-
Undang tahun 1920 dan UU tahun 1929; istri boleh minta pemutusan
perkawinan. Dua Undang-Undang in mengakui hak wanita untuk minta cerai
karena suami tidak memberi nafkah, menghilang selama satu tahun,
dipenjara selama 3 tahun dengan berkekuatan hukum tetap dan tidak bisa
lagi melayani nafkah batin. Dalam hal ini Mesir sengaja mengambil mazhab
Maliki agar kepentingan sosial kemasyarakatn dapat teratasi dengan baik.
4. Masalah Poligami
Adapun masalah poligami yang terdapat dalam Q.S. al-Nisa
menyatakan bahwa syarat kebolehan poligami bisa berlaku adil, kalau tidak
bisa, poligami haram, karena menimbulkan kesakitan dan memberikan isteri
terdahulu hak minta pemutusan perkawinan kepada hakim sesuai dengan
mazhab Maliki. Setelah beberapa waktu sesudah dibukanya perdebatan
mengenai masalah poligami, pemikiran fiqih di Mesir sampai suatu
ketegasan bahwa:
a. Keadilan yang dituntut untuk dibolehkannya poligami dalam Al-qur'an
adalah suatu syarat moral yang pelaksanaannya lebih tepat diserahkan
kepada suami dan tidak seyogyanya dianggap sebagai suatu syarat hukum
karena sukarnya pengadilan mengukur keadilan itu.
b. Kenyataan angka-angka statistik yang riil belum sampai menunjukkan
bahwa poligami telah menjadi problem sosial, sebab belum mencapai angka
11
Ibid. h. 319.
tiga perseribu, bahkan beberapa kasus poligami justru menjadi
penanggulangan bagi beberapa masalah kesehatan dll.
c. Pemecahan hukum yang dibenarkan bagi wanita yang suaminya kawin lagi
adalah memberinya hak minta pemutusan hubungan perkawinan dengan
syarat ia dapat membuktikan adanya kesakitan yang menimpanya karena
tidak mendapat nafkah, perlakuan kejam, tidak ditiduri atau semacam itu12.
Jadi Undang-undang tahun 1929; Istri mempunyai hak minta cerai
apabila perkawinan yang kedua dari suaminya mengakibatkan penderitaan
terhadapnya dan UU tahun 1979; perkawinan lebih dari sekali hanya
dibenarkan apabila masing-masing istri dan calon istri telah diberitahu
tentang perkawinan yang lain dan mereka menyetujuinya. Apabila istri
tersebut tidak mengetahui dan tidak menyetujuinya, hal ini dianggap
membuatnya menderita dan karena itu ia berhak minta pemutusan
perkawinan.
5. Masalah Warisan
Para fagih atau fugaha di Mesir, tampaknya telah lama merasakan
bahwa memang terasa ketidak adilan tentang kewarisan cucu melalui anak
laki-laki mendapat warisan, sedangkan cucu melalui anak perempuan yang
tela meninggal lebih dahulu dari si pewaris tidak mendapat harta
peninggalan kakeknya. Demikian juga cucu melalui anak laki-laki terlarang
untuk memperoleh harta peninggalan kakek atau neneknya karena ada anak
laki-laki yang masih hidup bukan bapak dari cucu tersebut.
Oleh karena itu pemegang kekuasaan atau hakim sebagai aparat
negara tertinggi mempunyai wewenang untuk memaksa atau memerintahkan
perkara itu, karena ia berpendapat bahwa hal itu akan membawa
kemaslahatan umum. Bila penguasa memerintahkan demikian wajiblah
ditaati13.
Pengaturan tersebut dituangkan dalam kitab Undang-undang hukum
wasiat Mesir tahun 1946 nomor 71 dalam pasal 76, 77, dan 78 menetapkan
bahwa:
a. Pewaris boleh berwasiat kepada orang yang menerima pusaka
tanpa bergantung ada izin dari pada ali waris atau tidak, sebagai

12
Johannes den Heijer. Syamsul Anwar, Islam Negara dan Hukum. Jakarta : INIS. 1993).
13
Fathur Rahman, Ilmu Waris (PT. Al.Maarif, bandung. 1975) h. 66
mana halnya membolehkan wasiat kepada orang yang tidak
menerima harta peninggalan atau dzawil arham.
b. Menetapkan wasiat wajib berdasarkan hasil kompromi dari
beberapa pendapat ulama Mesir, dan tabiin ahli fighi dan ahli
hadist, antara lain Said Ibnu Musvaiyah, Hasanul Bishry Thawus,
Imam Ahmad dan Ishaq bin Rawaih serta Ibnu Hazm, bahwa
besarnya wasiat wajib kepada keluarga yang tidak memperoleh
harta peninggalan sebesar apa yang diperoleh ayahnya atau ibunya
dengan pembatasan maksimal sepertiga dari harta peninggalan14.
Maka Hukum Waris tahun 1946 menyatakan bahwa seorang anak
yang lebih dahulu meninggal dunia dan meninggalkan anak pula maka si cucu
itu menggantikan ayahnya dalam mewarisi kakek atau neneknya dengan cara
memperoleh wasiat wajibah tidak lebih dari sepertiga harta.

6. Tentang Pernikahan Beda Agama di Mesir


Mesir, sebagai negara Islam yang berlandaskan pada syariah sebagai
hukum konstitusi, memandang berbeda perkawinan beda agama. Dalam hal
ini, Mesir memberlakukan hukum, bahwa lakilaki Muslim boleh
melangsungkan perkawinan dengan wanita Ahli kitab, tapi tidak sebaliknya.
Dalam Pasal 22 dari undang-undang yang tidak terkodifikasi (unofficial
code) Qadri Pasha ]menyatakan bahwa, “Muslim women may only marry
Muslims. Any marriage they may contract to either an idolater, a Christian
or a Jew is automatically null and void,” yang artinya wanita Muslim hanya
boleh melangsungkan perkawinan dengan sesama Muslim. Perkawinan
apapun yang telah dilakukan antara wanita Muslim dengan seorang pendewa
(penyembah berhala), seorang Kristen, atau seorang Yahudi, maka batal
secara hukum dan tidak berlaku lagi.Jika ditelaah lebih dalam, sebenarnya
masyarakat Mesir tidak mempermasalahkan perkawinan beda agama antara
laki-laki Muslim dengan wanita ahli kitab. Yang menjadi persoalan
adalah,banyaknya wanita Mesir yang beragama Islam menuntut kesetaraan
gender untuk dapat menikah dengan laki-laki non-Muslim. 15 Lain di Mesir,

14
Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, (Cet. I,
Jakarta: Sinar grafika, 1995) h.103
15
Syekh Hasan Khalid, az-Zawaj Bi Gayr al-Muslimi terj. Zaenal Abidin Syamsudin, ‚Menikah Dengan Non
Muslim‛, (Jakarta: Pustaka al-Sofwa, 2004), 145.
lain pula di Indonesia. Walaupun Indonesia adalah negara dengan penduduk
Muslim terbanyak di dunia, tetapi Indonesia bukanlah negara Islam.
Indonesia adalah negara hukum yang menjadikan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pancasila sebagai dasar konstitusi
negara.12 Masyarakat Indonesia yang hendak melakukan perkawinan, wajib
tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia. Berkaitan dengan
perkawinan beda agama, undang-undang perkawinan yang diberlakukan di
Indonesia tidak membolehkan terjadinya perkawinan beda agama. Dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal yang
dijadikan sebagai landasan tidak boleh melangsungkan perkawinan beda
agama adalah Pasal 2 ayat (1), Pasal 8 huruf (f) dan Pasal 57. Dalam Pasal 2
ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan hanya sah jika dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.16

C. Reformasi Hukum Keluarga Islam Mesir


Pada pertengahan dasawarsa kedua abad ke dua puluh, reformasi hukum
keluarga baru terjadi tepatnya tahun 1915. Reformasi hukum keluarga ini dimulai dari
Turki. Setelah Turki Usmani, pada tahun 1920 Mesir melakukan kodifikasi dan
pembaruan hukum keluarga. Hal ni ditandai dengan dibuat dan diberlakukannya UU
No. 25/1920 mengenal hukum keluarga dan penjagaan (Law of Maintenance and
Personal Status/Qanun al-Ahwal al-Syakhsiyyah wa al-Siyanah). Reformasi hukum di
Mesir terus dilakukan secara berkelanjutan hingga awal tahun 1950an. Lembaga
hukum di Mesir secara bertahap mengadakan reformasi hukum yang memiliki
pengaruh penting terhadap hukum keluarga (perkawinan dan waris). UU No. 25
Tahun 1920 ini kemudian diikuti oleh undang- undang lainnya seperti UU No.
56/1923 mengenal batasan usia untuk melangsungkan perkawinan, UU No. 25/1929
mengenal aturan pertengkaran dan perceraian di dalam rumah tangga, lalu disusul
oleh kitab undang-undang sipil/perdata (civil code) tahun 1931, UU No. 77/1943
berkenaan dengan hukum waris, dan UU No. 71/1946 dalam hukum wasiat.
Setelah itu, dalam kurun waktu 1960an hingga 1970an, berbagai peristiwa
politik juga ikut menjadi penentu dilakukannya reformasi hukum keluarga. Pada
16
Kurniati, “Hukum Keluarga di Mesir”, Al-Daulah 3, no. 1 (Juni 2014), Lihat Muhammad Siraj
“Hukum
Keluarga di Mesir dan Pakistan” dalam Johannes Den Heijer dan Syamsul Anwar, [ed], Islam, Negara
dan Hukum (Jakarta: INIS, 1993), 99-114
tahun 1970an, reformasi hukum keluarga ditandai dengan aturan undang-undang
yang dikeluarkan mengenai pemberian kewenangan terhadap lembaga peradilan
untuk memaksa pihak-pihak (suami) membayar uang pemeliharaan kepada isteri-
isteri, Janda-janda, anak-anak, ataupun orang tua. Pada tahun 1976, secara sepihak
Presiden Anwar Sadat mengeluarkan dekrit darurat yang diundangkan menjadi UU
No 44/1979, setelah gagal memperoleh persetujuan untuk mengeluarkan undang-
undang dalam hukum keluarga. Undang-undang ini dikenal dengan nama undang-
undang Jihan (Jehan's Law atau Jiji's Law), karena Jehan Sadat atau Jiji Sadat sebagai
Isteri Anwar Sadat yang telah mengusulkannya. Undang-undang ini banyak
melakukan revisi terhadap undang undang hukum keluarga mesir yang dihasilkan
pada tahun 1920 dan 1929, utamanya mengenai peranan dan hak perempuan di dalam
keluarga17

Namun pada bulan Mei 1985, UU No 44/1979 ini digugat dengan adanya
pengajuan judicial review ke Mahkamah Tinggi Konstitusi (High Constitutional
Court) Pengajuan judicial review tersebut untuk menilai status undang-undang Jehan
ini. Hasilnya, Mahkamah konsitiusi Mesir menerangkan bahwa undang-undang
tersebut bertentangan (ultra vires) dengan Konstitusi Mesir. Mahkamah menolak
status dekrit undang undang ini dengan alasan dekrit darurat yang telah di keluarkan
oleh presiden anwar sadat untuk memberlakukan UU No 44 Tahun 1979
sesungguhnya dikeluarkan tidak dalam keadaan darurat. Oleh karenanya dekrit
tersebut mesti dianggap tidak valid.18 Setelah pembatalan undang-undang Jehan
tersebut setelah beberapa bulan, pemerintah Mesir mengundangkan UU No.
100/1985,sebuah amandemen hukum untuk melakukan revisi hukum keluarga tahun
1920 dan 1929. Sejumlah perubahan yang telah diundangkan sebelumnya dalam UU
tahun 1979, diundangkan ulang dalam undang-undang tahun 1985, serta ditambahkan
dengan beberapa aturan baru. Hingga pada tahun 2005, Mesir mengeluarkan UU No
4/2005 yang isinya mengamandemen Dekrit Hukum No 25 Tahun 1920 (yang
melakukan perubahan terhadap usia perwalian).

17
Muhammad amin suma,hukum keluarga islam di dunia ( jakarta,PT.Rajagrafindo persada,2004)
hlm 183
18
Ulya Hikmah Sitorus Pane dan Muhammad Rozali, Analisis Fatwa Ali Jum’ah (Mufti Agung Mesir)
Tentang Nikah Urfi Dalam Kitab “Al-Kalim Al-Thayyib” Fatawa Ashriyyah, Jurnal Al-Mizan vol. 12
no.1, juni 2016 hlm 51
D.Peradilan keluarga di mesir
Hukum keluarga mempunyai ciri khas tersendiri, yaitu proses penyelesaian
perkaranya harus mudah dan cepat. Sebelum tahun 2000, undang-undang yang
berlaku di Mesir, hanya diperuntukkan dan berlaku bagi orang Mesir, atau salah satu
pihak yang berperkara adalah orang Mesir. Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2000, ketentuan tersebut dihapus, dan sejak itu tidak lagi ada perbedaan dalam
hukum keluarga bagi penduduk Mesir maupun non-Mesir unani, dan sebagainya.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 diatur tentang: pertama, wilayah 'ala
an-nafs (hal-hal yang berkaitan dengan diri seseorang), misalnya pelamaran, talak,
rujuk, cerai, dan sebagainya. Kedua, wilayah 'ala al-mal (yang berkaitan dengan harta
benda), misalnya nafkah anak, nafkah istri, hadhanah, mutah, harta cacat mental, dan
sebagainya. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 menganut prinsip sederhana,
cepat dan mudah. Dalam undang-undang ini diatur juga tentang hukum acara
(murafaat). Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 adalah
Pasal 1, yaitu tentang Peradilan Hukum Keluarga, misalnya tentang masalah istri
yang pergi keluar negeri. Dalam hal ini Undang-Undang Mesir memberi hak kepada
Menteri Luar Negeri untuk memberi izin perempuan (istri) yang ingin pergi ke luar
negeri, dengan dua syarat berikut.
1. Seorang istri yang pergi ke luar negeri harus mendapatkan izin dari suaminya.
2. Surat izin tersebut harus dicantumkan di dalam paspor, dan apabila tidak
dicantumkan, maka paspor tersebut tidak dapat diberlakukan.19
Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka istri dilarang pergi ke
luar negeri. Sungguhpun demikian, masih didapatkan ada istri yang bersikeras untuk
tetap berpergian ke luar negeri karena alasan pekerjaan. Bila hal tersebut terjadi, istri
dapat mengajukan hukum banding ke Mahkamah Idariyah (Pengadilan Tata Usaha
Negara). Setelah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2000, ketentuan tersebut dihapus
dan masuk menjadi kewenangan Pengadilan Keluarga. Apabila istri tidak puas karena
adanya larangan pengadilan keluarga untuk pergi ke luar negeri, dan cukup alasan
misalnya untuk berobat, maka ia dapat mengajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Meskipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 memberlakukan syariat Islam bagi
semua golongan agama, akan tetapi dalam hal suami istri berbeda sekte, misalnya
Kristen dan Kopti, maka perkara tersebut diserahkan kepada Gereja. Dalam
penyelesaian perkara keluarga, pada dasarnya tidak memerlukan pengacara, tetapi
19
Siska Lis Sulistiana,Peradilan Islam (Jakarta, CV.Sinar grafika , 2020 ) Hlm 193
bagi perempuan yang mampu boleh menggunakan jasa pengacara. Dalam hal ini
gugatan istri tersebut harus ditandatangani oleh pengacara, dan seluruh biava perkara
dibebankan kepada negara. Hal tersebut dimaksudkan untuk membela kepentingan
yang lemah dalam upaya menyampaikan hak dan kepentingannya di depan
pengadilan. Dalam undang- undang ini diatur tentang pemberitahuan kepada para
pihak yang berperkara bahwa gugatan yang keluar dari koridor hukum harus
dinyatakan ditolak. Juga dianggap penting, bahwa dalam persidangan hakim dapat
menghadirkan seorang ahli sosiologi untuk didengar pendapat mereka tentang
masalah perceraian. Dalam Pasal 5 dirumuskan bahwa persidangan perceraian harus
tertutup untuk umum sebab orang lain tidak boleh mengetahui hal-hal yang
menyangkut masalah keluarga. Dalam Pasal 6 diatur tentang kemungkinan pihak
kejaksaan berperan dalam mengajukan gugatan ke peradilan Keluarga. Menurut Pasal
18, selama persidangan berlangsung pengadilan harus ikut aktif mendamaikan kedua
belah pihak yang berperkara, dan dalam upaya perdamaian hakim harus memiliki dua
hal:

1. harus cakap untuk melakukan perdamaian,


2. harus menyediakan waktu yang cukup

Oleh karena menurut ketentuan hak talak ada pada suami, maka sering timbul
permasalahan, apakah pernyataan talak terhadap istri tersebut harus dinyatakan secara
kinayah atau sharih? Untuk menjawab masalah ini, menurut Pasal 21 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2000 pernyataan talak itu harus dilakukan secara sharih,
kecuali dibarengi dengan bukti yang kuat atau dengan saksi20

20
Yusrizal, Studi Komparatif Pelaksaan Peradilan Islam di Negara Mesir dan Saudi Arabia, Jurnal
De Lega Lata. Vol. 2 No. 2 Desember 2017, hlm.345.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hukum Keluarga yang berlaku di Mesir yakni peraturan-peraturan yang oleh
kalangan hukum diharapkan agar pengadilan menerapkan dan merujuknya dalam
penyelesaian sengketa-sengketa yang menyangkut keluarga di Mesir.
2. Isi hukum keluarga yang berlaku bagi masyarakat Mesir dalam kodifikasi, baik
parsial maupun total adalah merupakan pengembangan hukum keluarga Islam
tradisional.
3. Pasal-pasal yang akan dibahas ialah masalah batas umur kawin, pencatatan
perkawinan, perceraian, poligami dan masalah warisan.
4. Pada pertengahan dasawarsa kedua abad ke dua puluh, reformasi hukum keluarga
baru terjadi tepatnya tahun 1915. Reformasi hukum keluarga ini dimulai dari
Turki. Setelah Turki Usmani, pada tahun 1920 Mesir melakukan kodifikasi dan
pembaruan hukum keluarga.
Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000, tidak lagi ada perbedaan
dalam hukum keluarga bagi penduduk Mesir maupun non-Mesir unani, dan
sebagainya
B. SARAN
Dengan demikian sebagai penulis makalah ini kami meminta saran dan kritik
karena masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki agar teman-teman mahasiswa
yang membaca ataupun Dosen yang membimbing agar memberikan masukan demi
kesempurnaan penulisan Makalah yang berjudul “Perbandingan Hukum Keluarga
Islam di Mesir”
DAFTAR PUSTAKA

Azhary, Muhammad Tahir. 1992. Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsip
dilihat dari segi hukum islam, implementasinya, pada periode negara Madinah dan
masa kini. Jakarta : bulan bintang.

Daud Rasyid, Islam Dalam Berbagai Dimensi, (Jakarta: Gema Insani Press),Ensiklopedia islam, jilid
III, (Jakarta: PT Ikhtiar baru van hoever),

Fathur Rahman, Ilmu Waris (PT. Al.Maarif, bandung. 1975)

Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum
Islam, (Cet. I, Jakarta: Sinar grafika, 1995)

Johannes den Heijer. Syamsul Anwar, Islam Negara dan Hukum.( Jakarta : INIS. 1993).

Kurniati, “Hukum Keluarga di Mesir”, Al-Daulah 3, no. 1 (Juni 2014), Lihat Muhammad Siraj
“Hukum

Muhammad amin suma,hukum keluarga islam di dunia ( jakarta,PT.Rajagrafindo persada,2004)

Siska Lis Sulistiana,peradilan islam (jakarata, CV.Sinar grafika , 2020 )

Siraj, Muhammad, Hukum Keluarga Di Mesir Dan Pakistan “Dalam Johannes Den Heijer
Dan Syamsul Anwar, (ed), Islam Negara Dan Hukum, (Jakarta: INIS),1993.

Syamsul Anwar, (ed), Islam, Negara dan Hukum (Jakarta: INIS, 1993),
Syekh Hasan Khalid, az-Zawaj Bi Gayr al-Muslimi terj. Zaenal Abidin Syamsudin, ‚Menikah
Dengan Non Muslim‛, (Jakarta: Pustaka al-Sofwa, 2004),

Tentang Nikah Urfi Dalam Kitab “Al-Kalim Al-Thayyib” Fatawa Ashriyyah, Jurnal Al-Mizan vol.
12 no.1, juni 2016

Ulya Hikmah Sitorus Pane dan Muhammad Rozali, Analisis Fatwa Ali Jum’ah (Mufti Agung Mesir)

Yusrizal, Studi Komparatif Pelaksaan Peradilan Islam di Negara Mesir dan Saudi Arabia,
Jurnal De Lega Lata. Vol. 2 No. 2 Desember 2017.

Anda mungkin juga menyukai