“Permasalahan SARA”
Anggota :
1. Serly Deviyarty ( 540170004 )
2. Irene ( 540170005 )
3. Imelda Patricia ( 540170006 )
4. Denata Ferdian( 540170007 )
PENGERTIAN SARA
3. Kategori ke tiga yaitu Kultural : merupakan penyebaran mitos tradisi dan ide-
ide diskriminatif melalui struktur budaya masyarakat.
Undang-undang
yang mengatur tentang kasus SARA :
Realitas budaya nusantara yang plural menunjukkan berbagai macam perbedaan seperti
perbedaan peta geografis dan etnis-kultural yang berpotensi sebagai sumber berbagai jenis
konflik. Jenis konflik ditimbulkan, antara lain isu SARA dan oleh adanya ketegangan antara
keinginan untuk mempertahankan diri sebagai komunitas lokal pada satu sisi, dan pada sisi
lain lemahnya perekat keadilan (makna ungkapan bhinneka tunggal ika sebagai jati diri).
Konflik yang paling meresahkan ialah konflik yang bersumber dari isu SARA dan isu yang
ditimbulkan oleh kecenderungan kuat sebagian warga dan kelompok komunitas nusantara
yang menolak persatuan Indonesia (NKRI). Konflik di dalam membangun sebuah masyarakat
bangsa yang utuh, aman, dan damai ditimbulkan oleh transformasi politik yang diwujudkan
melalui pembangunan bangsa secara tak adil atau yang menyimpang dari tujuan nasional
sebagai manifestasi dari kepentingan bersama.
Secara fenomenal, sebagian kerusuhan dan pemberontakan di sejumlah
daerah bermuatan bibit konflik yang berisu SARA atau berisu separatisme
disebabkan kesenjangan dari proses pembangunan yang hasilnya antara
pusat dan daerah. Keadilan yang kurang dinikmati, baik di dalam partisipasi
pembangunan, maupun di dalam penikmatan hasil pembangunan antara pusat
dan daerah, telah melahirkan kesenjangan yang mengundang konflik dan
ketegangan yang berkembang menjadi pemberontakan seperti RMS,
PRRI/Permesta, Daud Beureu di Aceh, Kartosuwiryo di Jabar, Kahar Muzakkar
di Sulsel, dan gerakan OPM, secara militer atau secara represif tidak
menyelesaikan akar persoalan.
Bila kita mengerti dan memahami apa yang telah dijabarkan dalam butir-butir
Pancasila tentunya kasus-kasus konflik social yang menjurus pada SARA
tentunya dapat kita hindari. Dengan semangat saling menghormati perbedaan
keyakinan, toleransi beragama dan tenggang rasa tentu kita bisa mewujudkan
suasana kehidupan yang harmonis dan penuh kerukunan menuju Indonesia
yang Merdeka seutuh-utuhnya.
KONFLIK PERMASALAHAN SARA
1. Sentimen Etnis Berujung Penjarahan
Peristiwa penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998
mengakibatkan Jakarta menjadi lautan aksi massa, dimana penjarahan dan pembakaran pun tak
dapat dihindarkan. Kerusuhan yang terjadi malah menular pada konflik antar etnis pribumi dan
etnis Tionghoa. Saat itu, banyak aset milik etnis Tionghoa dijarah dan juga dibakar oleh massa
yang kalap. Massa pribumi juga melakukan tindak kekerasan dan pelecehan seksual terhadap
para wanita dari etnis Tionghoa kala itu. Konflik antar etnis itu menjadi catatan kelam di
penghujung pemerintahan rezim Soeharto.
3. Tragedi Sampit, Suku Dayak vs Madura
Tragedi Sampit melibatkan suku Dayak dengan orang Madura ini dipicu banyak
faktor, di antaranya kasus orang Dayak yang didiuga tewas dibunuh warga Madura
hingga kasus pemerkosaan gadis Dayak. Warga Madura sebagai pendatang di
sana dianggap gagal beradaptasi dengan orang Dayak selaku tuan rumah. Akibat
bentrok dua suku ini ratusan orang dikabarkan meninggal dunia. Bahkan banyak di
antaranya mengalami pemenggalan kepala oleh suku Dayak yang kalap dengan
ulah warga Madura saat itu. Pemenggalan kepala itu terpaksa dilakukan oleh suku
Dayak demi memertahankan wilayah mereka yang waktu itu mulai dikuasai warga
Madura.
2. Mengendalikan emosi
Ketika kita mendengar orang menghina kita atau sesuatu yang berhubungan
erat dengan kita, seringkali kita merasa tersinggung. Hal pertama yang harus
dilakukan ketika perasaan kita dicampur aduk oleh orang yang menyebalkan
adalah menenangkan hati.