Anda di halaman 1dari 4

Cakrawala -Tan Po Goan

Sekilas Tentang Tan Po Goan


Oleh: J Anto

Tan Po Goan adalah orang Tionghoa peranakan pertama yang menjadi Menteri
dalam Kabinet Sjahrir. Saat menjadi anggota parlemen dari Partai Sosialis Indonesia
(PSI), ia secara berani mengungkap kasus suap yang dilakukan Menteri Kehakiman
hingga sang menteri dipenjara.
Suatu hari pada1946, tak lama setelah dibebaskan dari tahanan Jepang, Direktur Sin Po,
surat kabar Tionghoa berhaluan nasionalisme Tiongkok yang juga pro pada perjuangan
kemerdekaan republik, Ang Yan Goan menemani Li Din Jun, wakil pemerintah Tiongkok
mengadakan kunjungan tidak resmi bertemu Presiden Soekarno di Yogyakarta. Pada 3 Januari
1946 ibu kota republik dipindahkan dari Jakarta menuju ke Yogyakarta. Pemindahan ibukota
dilakukan karena alasan keamanan. Peningkatan aksi teror yang dilakukan militer Belanda
menjadi alasan utama.
Sejak Jepang mengakui kekalahannya kepada Sekutu, Indonesia menjadi wilayah status
quo yang dijaga Jepang sampai tentara Sekutu berlabuh ke Indonesia. Namun, kedatangan
Sekutu, ternyata dibarengi tentara Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) Belanda,
yang ingin menguasai Indonesia kembali. Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia, dan
menganggap Indonesia masih bagian dari wilayah jajahan mereka. Jakarta menjadi wilayah yang
kacau dan genting. Beberapa pejabat tinggi kala itu mulai mendapat teror dan gangguan dari
tentara NICA Belanda.
Ancaman pembunuhan terus menerus datang. Presiden Soekarno lalu mengadakan rapat
terbatas pada 1 Januari 1946. Solusinya, untuk mengendalikan pemerintahan dilakukan harus
dari daerah. Tercetuslah ide memindahkan ibukota republik ke Yogyakarta.
Saat menemani Li Di Jun di Yogyakarta, Ang Yan Goan dibawa seorang perwira militer
ke sebuah gedung yang dijadikan kantor pemerintahan RI. Yan Goan berkeliling melihat
beberapa ruang kerja. "Ada beberapa meja tulis, kursi dan rak buku, tapi tak ada orang yang
bekerja."
Tulis Yan Goan dalam buku Memoarnya. Perwira itu lalu menjelaskan kepada Yan Goan
bahwa Republik membutuhkan banyak orang muda untuk menangani administrasi dalam segala
bidang, dan perwira tersebut meminta bantuan Yang Goan untuk mencarikan beberapa orang
yang cocok untuk pekerjaan tersebut. Dan yang cocok untuk pekerjaan tersebut adalah orang
yang masih muda, berpendidikan menengah dan menaruh simpati pada perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Yan Goan berjanji membantunya.

Karena Mereka Pro Republik


Semula Yan Goan berpikir akan mudah mendapatkan pemuda yang memenuhi syarat
dan bersedia bekerja untuk membantu republik. Namun sekembalinya ke Jakarta, ternyata tak
segampang itu urusannya. Beberapa orang mernolak. Ada banyak alasan, tapi terutama lebih
karena alasan takut terlibat politik. Menghadapi masalah itu, Yang Goan lalu melakukan
bertukar pikiran dengan para redaktur Sin Po edisi bahasa Indonesia. Waktu itu kertas koran
hanya bisa didapat dari pasar gelap, dan jumlahnya juga terbatas, jadi koran setiap hari hanya
terbit dengan 4 halaman. Artinya para redaktur masih punya waktu luang banyak.

1
Akhirnya diambil keputusan, Sin Po akan mengutus seorang redakturnya untuk
membantu urusan administrasi pemerintah Republik. Utusan itu statusnya tetap sebagai
karyawan Sin Po, dan gajinya juga tetap dibayarkan oleh Sin Po. Seorang redaktur Sin Po yang
ditawari, tak menolak tawaran tersebut. Namanya Tan Po Goan. Satu orang lagi lalu diambil
dari Keng Po, berdasar lobi Yan Goan dengan Pemimpin Perusahaan Keng Po, Khoe Wan Sioe.
Nama redaktur Keng Po itu, Injo Beng Gwat.
Akhirnya pada 1946 Tan Po Goan diperbantukan di departemen Penerangan RI di
Yogyakarta sesuai dengan kapasitas sebagai wartawan. Pada 2 Oktober 1946, Tan Po Goan
bahkan diangkat sebagai Menteri Urusan Tionghoa dalam Kabinet Sutan Sjahrir III (1946-1947).
Pengangkatan Tan Po Goan dilakukan tak lama setelah terjadi pembunuhan terhadap 653 orang
Tionghoa di sebelah barat Sungai Tangerang (Cisadane) pada 3 Juni 1946 karena tuduhan
terlibat kerja sama dengan Belanda. Menurut The New York Times, mayat-mayat itu ditumpuk
dan hartanya dijarah dan rumahnya dibakar. (Benny G. Setiono: 2002, hlm., 581). Kekerasan
terhadap masyarakat Tionghoa ini kemudian menyebar ke berbagai daerah lain di Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara.
Kekerasan itu sendiri merupakan ekses saat tentara Belanda melakukan aksi polisional
tahun 1946 ke wilayah-wilayah yang diduduki pasukan republik. Dalam keadaan terjepit pasukan
republik melakukan gerak mundur ke pedalaman dengan melakukan aksi bumi hangus untuk
menghambat laju gerakan pasukan Belanda.
Mengomentari pengangkatan Tan Po Goan sebagai Menteri Urusan Orang Tionghoa, Sin
Po menyebut hal itu sebagai upaya tulus Republik untuk menyelesaikan masalah kasus-kasus
kekerasan yang dialami orang-orang Tionghoa di daerah. Tionghoa. Sin Po menambahkan bahwa
Tan Po Goan menerima jabatan itu bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi karena kecintaannya
terhadap republik.
Namun kurang dari setahun, pada Juli 1947 Kabinet Sjahrir jatuh dan digantikan Kabinet
Amir Sjarifoedin. Jabatan Menteri Negara Urusan Tionghoa lalu digantikan Siauw Giok Tjhan.
Siapa Tan Po Goan?
Dalam buku Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa (Samm Setya Utama: 2008), disebutkan Tan
Po Goan lahir di Cianjur, Jawa Barat, 24 Oktober 1911. Ia lulus dari Rechtshoogescchool di
Batavia tahun 1937. Ia lalu mendapatkan gelar Meester in de Rechten. Setelah lulus ia bekerja
sebagai pengacara di Makasar (1937-1938). Hanya kurang lebih dua tahun, pada 1939, ia
kemudian pindah ke Surabaya. Lalu pada Oktober 1939 ia bekerja sebagai redaktur Sin Po edisi
Bahasa Indonesia. Tahun 1942, karena haluan Sin Po yang anti Jepang, bersama sejumlah tokoh
Tionghoa lain, termasuk Ang Yan Goan, Tan Po Goan dipenjara Jepang selama kurang lebih 2,5
tahun.

Wakil Partai Sosialis Indonesia


Pada 1953, ia bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Tan Po Goan juga
termasuk salah seorang pendiri Sin Ming Hui, yang pada Peristiwa Rasialisme anti Tionghoa di
Tangerang banyak menolong orang-orang Tionghoa yang mengungsi ke Jakarta. Pada Pemilu
1955, awalnya Tan Po Goan mencalonkan diri dari Baperki untuk Daerah Pemilihan Jakarta
Raya dan Jawa Tengah. Namun karena perbedaan pandangan politik dan penentuan ranking
tokoh-tokoh yang dicalonkan di dalamnya berakibat mundurnya, beberapa tokoh Baperki seperti
dirinya, Khoe Woen Sioe dan Injo Beng Goat, ketiganya simpatisan PSI. (Sri Bintang

2
Pamungkas: 2014). Hasil Pemilu 1955, ternyata tak banyak calon Tionghoa yang terpilih. Dari
Baperki hanya Siauw Giok Tjhan yang terpilih, dan Tan Ling Djie dari PKI.

Berseteru dengan Menteri Kehakiman


Partai-partai politik saat itu lalu berusaha menambah keterwakilan kelompok minoritas
itu setelah ada kompromi di antara anggota dewan dan dipandang tidak bertentangan dengan UU
Pemilu dan sesuai semangat Dekrit Presiden No. 6/1946 untuk menjamin keterwakilan golongan
kecil, peranakan yang dipilih masing-masing partai politik. (Siauw Giok Tjhan: 1988: hlm., 268).
Tan Po Goan lalu terpilih sebagai anggota DPR RIS mewakili golongan minoritas dari PSI.
Kiprah Tan Po Goan sebagai anggota dewan tergolong fenomenal. Pada bulan Mei
1955, dalam sebuah sidang di parlemen, ia secara lugas mengatakan bahwa, Menteri Kehakiman
RI, Mr Djody Gondokusuma, telah menerima uang suap sebesar Rp 40.000 dari seorang
Tionghoa bernama Bong Kim Tjong. Uang itu menurut Tan Po Goan telah diterima oleh
Subagio, sekretaris pribadinya yang tinggal serumah dengan menteri. Mr. Djody membantah
semua tuduhan Tan Po Goan, bahkan melaporkan kasus itu dalam sidang kabinet yang kemudian
menyetujui untuk melakukan penuntutan terhadap Tan Po Goan. Saat itu, nama Menteri
Kehakiman memang tengah mendapat apresiasi publik karena baru saja memberhentikan kepala
jawatan reserse kriminal dengan tuduhan telah melakukan hal-hal yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan. (Kedaulatan Rakjat, 13/5/1955).
Mr Djody Gondokusumo adalah Menteri Kehakiman pada Kabinet Ali Sastrowijoyo. Ia
sendiri Ketua Umum Partai Rakyat Nasional (PRN). Tan Po Goan sendiri, mengutip situs
merdeka.com, mendapat laporan dari Tjong Hoen Nie, seorang warga asing yang diusir oleh
pihak imigrasi karena visanya sudah habis. Sementara itu, terdapat salah seorang warga asing
juga yang bernama Bong Kim Tjong mendapat perpanjangan visa sedang Tjong Hoen Nie
ditolak.
Setelah diteliti, Bong Kim Tjong ternyata menyuap petugas imigrasi dengan uang
Rp6.000 untuk mendapatkan dokumen terkait permohonan perpanjangan visa yang
ditandatangani lengkap oleh Mr. Djodi Gondokusumo. Bahkan, dalam berkas itu terlampir
kuitansi uang sebesar Rp 20.000 sebagai sumbangan untuk Partai Rakyat Nasional milik Djodi
Gondokusumo.
Lalu bagaimana sikap surat kabar melihat "gebrakan" Tan Po Goan?"
Menurut PK Ojong, yang mengasuh rubrik "Timbangan" mingguan Star Weekly, surat
kabar saat itu cenderung negatif terhadap Tan Po Goan. Dalam pengertian mengait-ngaitkan
tingkah laku orang dengan identitas etnis orang tersebut.

Seolah “Dosa” Menyerang Menteri dari Keturunan “Asli”


Dalam Star Weekly edisi 3 September 1955, Ojong semisal menyebut Bintang Timur,
yang menggambarkan seolah-olah Tan Po Goan telah berbuat suatu “dosa” karena menyerang
seorang menteri dari keturunan “asli”. Dan kemudian “dosa” Tan Po Goan itu dianggap oleh
koran itu sebagai “dosa” seluruh golongan keturunan Tionghoa terhadap seluruh golongan yang
dinamakan ”asli”. Tan Po Goan menyerang Djody sebagai wakil PSI, tapi dibalas Bintang Timur
bukan PSI yang memberi mandat, melainkan orang-orang lain yang seketurunan dengan Tan Po
Goan, meski orang-orang itu tidak mempunyai sangkut-paut sedikit pun dengan Tan Po Goan.
(Helen Iswara: 2001, hlm 120).

3
Ada juga surat kabar yang mendukung sikap pemerintah untuk menuntut Tan Po Goan
agar kehormatan pemerintah tidak tercemar karena tuduhan menterinya menerima suap.
(Kedaulatan Rakyat, 13/5/1955).
Akhir dari kasus itu, Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo akhirnya divonis hakim 1
tahun penjara potong masa tahanan. Karena mengajukan grasi, Presiden Soekarno akhirnya
mengurangi masa tahanan Djody menjadi 6 bulan. Jelang peralihan rezim Orde Lama ke Orde
Baru,Tan Po Goan pada 1959 meninggalkan Indonesia. Ia pindah ke Australia. Pada 1977 ia
banyak menulis di Majalah Intisari. Tahun 1985 ia meninggal dunia di Australia.

Anda mungkin juga menyukai