L.N. Palar dilahirkan di Rurukan, Tomohon, Minahasa, Sulawesi Utara pada 5 Juni
1900. Setelah tamat sekolah dasar di kampung halamannya dan sekolah menengah
di Tondano, ia lantas merantau ke luar pulau dengan melanjutkan studi di
Yogyakarta (hlm. 125).
Ia memilih kabur ke luar negeri karena pilihan politiknya sebagai aktivis kiri. Ketika
kuliah di Batavia, ia bergabung dengan kelompok kiri melalui J.E. Stokvis, Ketua
Indische Sociaal-Democratische Partij (ISDP) atau Partai Sosialis-Demokrat Hindia,
yang juga seorang anggota Volksraad (dewan rakyat).
Di negeri Belanda yang lebih terbuka menerima paham kiri, Palar melanjutkan
pendidikan tingginya di Amsterdam. Nantinya, pada 1945, menurut Mestika Zed
dalam buku Pemerintah Darurat Republik Indonesia (1997), ia meraih gelar doktor di
Rotterdam (hlm. 331).
Palar menjadi semakin merah di negeri penjajah. Pada 1930, ia menjadi anggota
Sociaal-Democratische Arbeiders Partij (SDAP) atau Partai Buruh Sosial-Demokrat
Belanda. Dari situ, ia turut memperjuangkan hak kemerdekaan nasional untuk Hindia
(Indonesia) tanpa syarat.
Di Belanda, karier politik Palar semakin cerah. Harry A. Poeze dalam Tan Malaka,
Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid 2 (2008), menuliskan, Palar terpilih
menjadi anggota Tweede Kamer (hlm. 326). Ia mewakili Partij van de Arbeid (PvdA),
partai politik baru sempalan SDAP. Ada dua orang Indonesia lainnya yang juga
duduk di parlemen rendah Belanda itu, yakni Roestam Effendi dan Setiadjit.
Namun, relasi Palar dengan partainya merenggang setelah Indonesia merdeka pada
17 Agustus 1945. Palar tegas mendukung proklamasi RI, bahkan
mempromosikannya di Belanda, termasuk di parlemen. Ini membuat para petinggi
PvdA—yang ternyata belum bisa menerima kemerdekaan bangsa Indonesia—tidak
suka.
Orang-orang PvdA semakin kesal karena Palar terus mendesak untuk mendukung
kemerdekaan RI sekaligus mengakui kepemimpinan Sukarno. “Jika kita mengakui
kenyataan adanya Republik (Indonesia), maka kita harus juga mengakui Sukarno
sebagai presidennya!” lantang Palar dalam kongres partai, seperti dikutip
Pramoedya Ananta Toer dan kawan-kawan dalam Kronik Revolusi Indonesia (1999:
390).
Tidak lagi duduk di parlemen Belanda sekaligus berstatus non-partai, langkah Palar
untuk memperjuangkan kedaulatan negaranya menjadi relatif lebih nyaman, meski
bahaya senantiasa mengintipnya. Palar akhirnya balik ke Indonesia usai Agresi
Militer Belanda I yang berakhir pada 4 Agustus 1947. Kepulangannya disambut
secara protokoler oleh pemerintah RI.
Namun, Palar tidak bisa berlama-lama di tanah airnya. Di tahun yang sama, Palar
dikirim ke markas PBB di New York, Amerika Serikat. Ia kemudian menjadi wakil RI
pertama di PBB meskipun Indonesia saat itu belum bergabung dengan organisasi
internasional tersebut.
Sinyal bakal terjadinya Agresi Militer Belanda II membuat Palar harus segera
bergerak untuk menggalang dukungan dari negara-negara lain demi tetap tegaknya
NKRI. Dan yang dikhawatirkan pun terjadi. Belanda menyerang Indonesia lagi dan
menangkap para pemimpin Republik. Ini kemudian memicu lahirnya pemerintahan
darurat yang digalang Syafruddin Prawiranegara dan kawan-kawan di Sumatra
Barat.
Palar tidak sendiri berjuang di luar sana. Ada pula Dr. Soedarsono (wakil RI di India)
dan A.A. Maramis (Menteri Luar Negeri PDRI). Selain itu, Palar bersama Soemitro
Djojohadikoesoemo yang sedang berada di New York juga berusaha menjalin
kerjasama ekonomi dengan Amerika Serikat.
Atas undangan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Palar dan delegasi RI
lainnya menghadiri Konferensi Inter-Asia di New Delhi pada 20-23 Januari 1949
yang khusus membahas persoalan Indonesia. Forum sepakat meminta PBB untuk
secepatnya turun-tangan.
Palar sendiri terus melobi PBB di New York dan di berbagai kesempatan. Harry
Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-
1950 (2008) mencatat bahwa atas desakan-desakan itu, Dewan Keamanan (DK)
PBB menyerukan kepada pihak-pihak yang bertikai agar meletakkan senjata.
Dengan demikian, salah satunya berkat peran Palar, masalah Indonesia dibawa ke
tingkat internasional (hlm. 380).
KMB menjadi rangkaian awal bagi Indonesia untuk menjadi negara yang berdaulat
seutuhnya. Dan, sejak 27 Desember 1949, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan
Indonesia secara penuh.
Berjasa Besar Tanpa Tenar
Indonesia secara resmi menjadi anggota PBB ke-60 pada 28 September 1950. Palar
hadir langsung dalam momen bersejarah itu, bahkan ia didapuk menyampaikan
pidato. Dalam pernyataannya, Palar berjanji bahwa Indonesia akan menjadi anggota
PBB yang baik, kendati nantinya RI justru keluar dari forum internasional itu atas
perintah Sukarno pada 7 Januari 1965.
Karier Palar sebagai pengibar bendera NKRI di luar negeri sendiri terus berlanjut.
Sejarawan A.B. Lapian dalam Terminologi Sejarah 1945-1950 & 1950-1959 (1996)
mengemukakan bahwa selain menjadi Duta Besar RI untuk PBB yang pertama,
putra daerah Minahasa ini juga melakoni tugas serupa di India pada 1953 hingga
1956 (hlm. 51).
Setelah sempat pulang guna mempersiapkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-
Afrika tahun 1955, Palar melanjutkan tugas diplomatiknya. Ia ditunjuk sebagai Duta
Besar RI untuk Jerman Timur dan Uni Soviet sejak 1956, kemudian untuk Kanada
(1957-1962), juga Amerika Serikat (1964-1967).
Jasa besar yang telah diguratkan Palar sejak menjadi anggota partai beraliran kiri
sekaligus sebagai anggota parlemen di Belanda, hingga sepak terjangnya di
berbagai forum internasional, termasuk melobi PBB juga sebagai duta besar RI
untuk banyak negara, seolah terlupakan.
Nama L.N. Palar jauh dari gemerlap ketenaran seperti yang sudah didapatkan para
bapak bangsa lainnya. Boleh jadi lantaran ia pernah lekat sebagai bagian dari kaum
kiri yang selama rezim Soeharto amat terlarang. Orang pertama yang mewakili
Indonesia di forum resmi internasional itu baru ditetapkan sebagai Pahlawan
Nasional pada 2013, berselang 32 warsa setelah wafatnya. Palar meninggal pada
13 Februari 1981, tepat hari ini 38 tahun lalu.