BIOGRAFI
Nama Asli : Sutomo
MULO, 1932
KARIER
Jurnalis lepas pada Harian Soeara Oemoem (Suara Umum -EYD), 1937
PENGHARGAAN
Gelar pahlawan nasional diberikan ke Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari
Kehidupan sebagai seorang jurnalis juga pernah dilalui oleh Bung Tomo dia sebuah
kantor berita Domei Tsushin. Baru setelah itu dia bergabung dengan beberapa gerakan sosial
dan politik. Pada tahun 1944, Jepang yang waktu itu menjajah Indonesia mensponsori
Gerakan Rakyat Baru dan Bung Tomo terpilih menjadi anggotanya tapi tak ada seorang pun
yang mengenal dia. Tapi, di titik inilah Bung Tomo mempersiapkan peranannya untuk
peristiwa yang sangat penting. Ketika pertempuran Oktober dan November 1945, Bung
Tomo menjadi salah satu tokoh yang menggerakkan dan membangkitkan semangat juang
rakyat Surabaya. Pada pada waktu itu, Surabaya digempur oleh pasukan Inggris yang baru
saja mendarat untuk melucuti senjata tentara Jepang yang kalah Perang Dunia Kedua dan
membebaskan tawanan Eropa yang ditawan oleh Jepang.
Bung Tomo sangat dikenang karena seruan dan teriakan semangat perjuangan melalui
banyak siaran radio. Berkat pengalaman jurnalisnya yang bekerja di kantor berita Domei
Tsushin di Surabaya, dia mendirikan Radio Pemberontakan yang berguna untuk membakar
semangat juang dan rasa persatuan di hati rakyat Surabaya. Suaranya yang lantang, berani
dan yakin terdengar penuh semangat untuk mempertahankan kemerdekaan Republik
Indonesia yang baru saja diproklamasikan tiga bulan yang lalu. Kemampuannya beorasi
dengan penuh semangat berapi-api, membuatnya menjadi orang kedua setelah Bung Karno
dalam kemampuan berorasi dan kekuatan emosionalnya. Berikut salah satu contoh pidato
Bung Tomo yang sangat terkenal yang diteriakkan pada tanggal 9 November 1945:
“Wahai tentara Inggris! Selama banteng-banteng Indonesia, pemuda Indonesia, memiliki
darah merah yang bisa menodai baju putih menjadi merah dan putih, kita tidak akan pernah
menyerah. Para teman, para pejuang dan khususnya para pemuda Indonesia, kita harus terus
bertarung, kita akan mengusir para kolonialis ini keluar dari tanah air Indonesia yang sangat
kita cintai. Sudah terlalu lama kita menderita, kita dieksploitasi, kita diinjak oleh bangsa
asing. Kini saatnya kita mempertahankan kemerdekaan negara ini. Teriakan kita adalah
merdeka atau mati. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!” Memang, waktu
itu Indonesia menderita kekalahan dalam Pertempuran 10 November itu. Tapi rakyat
Surabaya berhasil menahan serangan pasukan Inggris dan bahkan memukul mundur mereka.
Kejadian ini sangat dikenal dan menjadi catatan penting sebagai salah satu peristiwa paling
epik dan heroik dalam sejarah perjuangan Kemerdekaan Indonesia melawan bangsa Eropa.
Selain itu, perjuangan kemerdekaan di Indonesia ini juga mendapat dukungan dari dunia
internasional.
Sang orator dari Surabaya ini menikah dengan Sulistina yang merupakan orang
Malang. Bung Tomo sangat serius dalam kehidupannya sebagai seorang muslim, namun dia
tidak menganggap dirinya sebagai seorang Muslim yang sangat soleh atau calon pembaharu
dalam Islam. Sebelum kematiannya, Bung Tomo sempat menyelesaikan disertasinya tentang
peran agama di pembangunan tingkat desa.
Pada tahun 1950-an di Surabaya, Bung Tomo sempat menunjukkan kepedulian
sosialnya. Dia bergerak sebagai penolong para tukang becak dengan cara mendirikan pabrik.
Bung Tomo mengajak para tukang becak untuk mendirikan perusahaan tersebut. Dengan
bantuan Bung Tomo, pabrik tersebut didirikan oleh dan untuk para tukang becak. Tapi
kelanjutan ide pendirian pabrik sabun kurang berhasil dan cukup kesusahan juga untuk
melakukan pertanggung jawaban keuangan.
Pada tanggal 7 Oktober 1981, Bung Tomo meninggal dunia di Padang Arafah. Kala
itu Bung Tomo sedang menunaikan ibadah haji. Jenazahnya di bawah pulang kembali ke
tanah air dan tidak mengikuti tradisi untuk memakamkan para jemaah haji yang meninggal
ketika ziarah ke tanah suci. Bung Tomo memang memiliki peran yang besar dalam perjalanan
sejarah Indonesia dan layak dimakamkan di tamam makam pahlawan. Tapi jenazah Bung
Tomo dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya sesuai wasiatnya
ketika hidup. Alasannya karena taman makam pahlawan penuh dengan pahlawan yang tak
memiliki keberanian ketika musuh datang dan ketika kondisi negara dalam keadaan genting,
tapi langsung muncul ke publik ketika masa-masa damai untuk memamerkan jasa-jasanya.