Anda di halaman 1dari 5

BUNG TOMO

BIOGRAFI
Nama Asli : Sutomo

Nama Ganti : Bung Tomo

Lahir : 3 Oktober 1920, Surabaya

Meninggal : 7 Oktober 1981, Arafah, Mekkah, Arab Saudi

Dimakamkan : Tempat Pemakaman Umum Ngagel, Surabaya

Pasangan : Sulistina Sutomo 

Anak : Bambang Sulistomo

Orang Tua : Kartawan Tjiptowidjojo (Ayah), Subastita (Ibu)


PENDIDIKAN

MULO, 1932

HBS, tidak selesai

KARIER

Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), 1937

Jurnalis lepas pada Harian Soeara Oemoem (Suara Umum -EYD), 1937

Redaktur Mingguan Pembela Rakyat, 1938

Jurnalis dan penulis pojok harian berbahasa Jawa, Ekspres, 1939

Kepala kantor berita Antara di Surabaya, 1942

Anggota Gerakan Rakyat Baru, 1944

Pengurus Pemuda Republik Indonesia (PRI) di Surabaya, 1944

Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata, Kabinet Perdana Menteri

Burhanuddin Harahap, 1955-1956

Menteri Sosial Ad Interim, Kabinet Perdana Menteri, Kabinet Perdana Menteri

Burhanuddin Harahap, 1955-1956

Anggota DPR dari Partai Rakyat Indonesia,1956-1959

PENGHARGAAN

Gelar pahlawan nasional diberikan ke Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari

Pahlawan tanggal 10 November 2008


Bung Tomo dilahirkan di daerah Kampung Blauran yang berada di pusat kota
Surabaya yang waktu itu masih Hindia Belanda. Ayahnya adalah seorang kepala keluarga
yang bernama Kartawan Tjiptowidjojo yang merupakan pegawai kelas menengah yang
mengabdi di pegawai pemerintahan. Jabatannya adalah staf pribadi di pabrik swasta di bidang
impor-ekspor milik Belanda dan sebagai asisten di kantor pelayanan pajak pemerintah.
seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Ia mengaku memiliki hubungan darah dengan
beberapa sahabat dekat dari Pangeran Diponegoro yang jasadnya dikebumikan di
Malang.Ibunda Bung Tomo memiliki darah campuran antara Jawa Tengah, Madura dan
Sunda. Sebelum ia berhijrah ke Surabaya, ibunda Bung Tomo bekerja untuk perusahaan
mesin jahit Singer di bagian distributor lokal. Masa mudanya bekerja menjadi polisi di
kotapraja dan pernah menjadi anggota asosiasi Sarekat Islam.

Bung Tomo dididik di rumah yang sangat berpendidikan. Ia berbicara penuh


semangat dan selalu berterus terang. Ia suka bekerja keras agar keadaan semakin membaik.
Di usia 12 tahun, ketika dia harus keluar dari pendidikannya di MULO, Bung Tomo
melakukan berbagai jenis usaha kecil-kecilan untuk menghidupi keluarga. Ini terjadi karena
depresi besar yang waktu itu melanda dunia. Kemudian, dia menamatkan pendidikan HBS
melalui jalur korespondensi, tapi secara resmi Bung Tomo tidak lolos. Bung Tomo lalu
bergabung dengan KBI atau Kepanduan Bangsa Indonesia. Belakangan Bung tomo
menyimpulkan bahwa nilai filsafat yang didapatnya dari kepanduan, ditambah dengan
pemikiran berhaluan nasionalis yang didapat dari dari kakeknya juga, adalah pengganti yang
sangat baik untuk pendidikan formalnya. Di usia 17 tahun, Bung Tomo mulai terkenal setelah
berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang meraih peringkat Pandu Garuda.
Peringkat Pandu Garuda ini sangatlah sulit untuk mencapai. Bahkan, sebelum pendudukan
Jepang yang dimulai pada tahun 1942, orang yang mendapat peringkat Pandu Garuda hanya
berhasil diraih oleh tiga orang Indonesia.

Pemimpin Perjuangan Pertempuran 10 November 1945

Kehidupan sebagai seorang jurnalis juga pernah dilalui oleh Bung Tomo dia sebuah
kantor berita Domei Tsushin. Baru setelah itu dia  bergabung dengan beberapa gerakan sosial
dan politik. Pada tahun 1944, Jepang yang waktu itu menjajah Indonesia mensponsori
Gerakan Rakyat Baru dan Bung Tomo terpilih menjadi anggotanya tapi tak ada seorang pun
yang mengenal dia. Tapi, di titik inilah Bung Tomo mempersiapkan peranannya untuk
peristiwa yang sangat penting. Ketika pertempuran Oktober dan November 1945, Bung
Tomo menjadi salah satu tokoh yang menggerakkan dan membangkitkan semangat juang
rakyat Surabaya. Pada pada waktu itu, Surabaya digempur oleh pasukan Inggris yang baru
saja mendarat untuk melucuti senjata tentara Jepang yang kalah Perang Dunia Kedua dan
membebaskan tawanan Eropa yang ditawan oleh Jepang.

Bung Tomo sangat dikenang karena seruan dan teriakan semangat perjuangan melalui
banyak siaran radio. Berkat pengalaman jurnalisnya yang bekerja di kantor berita Domei
Tsushin di Surabaya, dia mendirikan Radio Pemberontakan yang berguna untuk membakar
semangat juang dan rasa persatuan di hati rakyat Surabaya. Suaranya yang lantang, berani
dan yakin terdengar penuh semangat untuk mempertahankan kemerdekaan Republik
Indonesia yang baru saja diproklamasikan tiga bulan yang lalu. Kemampuannya beorasi
dengan penuh semangat berapi-api, membuatnya menjadi orang kedua setelah Bung Karno
dalam kemampuan berorasi dan kekuatan emosionalnya. Berikut salah satu contoh pidato
Bung Tomo yang sangat terkenal yang diteriakkan pada tanggal 9 November 1945:
“Wahai tentara Inggris! Selama banteng-banteng Indonesia, pemuda Indonesia, memiliki
darah merah yang bisa menodai baju putih menjadi merah dan putih, kita tidak akan pernah
menyerah. Para teman, para pejuang dan khususnya para pemuda Indonesia, kita harus terus
bertarung, kita akan mengusir para kolonialis ini keluar dari tanah air Indonesia yang sangat
kita cintai. Sudah terlalu lama kita menderita, kita dieksploitasi, kita diinjak oleh bangsa
asing. Kini saatnya kita mempertahankan kemerdekaan negara ini. Teriakan kita adalah
merdeka atau mati. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!” Memang, waktu
itu Indonesia menderita kekalahan dalam Pertempuran 10 November itu. Tapi rakyat
Surabaya berhasil menahan serangan pasukan Inggris dan bahkan memukul mundur mereka.
Kejadian ini sangat dikenal dan menjadi catatan penting sebagai salah satu peristiwa paling
epik dan heroik dalam sejarah perjuangan Kemerdekaan Indonesia melawan bangsa Eropa.
Selain itu, perjuangan kemerdekaan di Indonesia ini juga mendapat dukungan dari dunia
internasional.

Biografi Bung Tomo: Kehidupan Setelah Perjuangan Kemerdekaan

Setelah pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia selesai, Bung


Tomo mencoba terjun ke dalam dunia politik sekitar tahun 1950an. Beberapa jabatan penting
pernah disandang Bung Tomo. Contohnya seperti menjabat Menteri Negara Urusan Bekas
Pejuang Bersenjata/Veteran dan merangkap sebagai Meneteri sosial Ad Interim pada tahun
1955 hingga 1956 di zaman Kabinet Burhanuddin Harahap. Tahun 1956 hingga 1959, Bung
Tomo menjadi anggota DPR yang mewakili Partai Rakyat Indonesia. Karena merasa kurang
nyaman dan bahagia di dunia politik, dia kemudian menghilang untuk sementara dari
panggung dan kemelut dunia politik. Ada kemungkinan dia tidak sependapat dengan Bung
Karno. Ada pula yang bilang hubungannya dengan Bung Karno sedikit retak ketika Bung
Tomo menanyakan masalah yang sedikit pribadi. Bung Tomo baru mulai muncul lagi ketika
akhir masa pemerintahan Bung Karno dan awal pemerintahan Suharto yang mulai
didukungnya, Bung Tomo muncul kembali sebagai tokoh nasional. Dia mendukung Suharto
untuk membersihkan negara ini dari orang-orang yang memiliki pemikiran berbau kiri atau
komunis. Orang-orang yang berpikiran kiri ini tumbuh besar di rezim Bung Karno. Namun
baru beberapa tahun Suharto menjabat sebagai presiden, Bung Tomo kembali berbeda
pendapat dengan pemerintahan Orde Baru ala Suharto ini. Bung Tomo mengkritik dengan
lantang terhadap beberapa program Suharto. Sehingga pada tanggal 11 April 1978 ia ditahan
oleh rezim Suharto yang sepertinya mulai khawatir akan beberapa kritiknya yang tajam dan
keras terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi yang sangat parah. Dia dibebaskan
setelah ditahan selama satu tahun. Meskipun jiwanya yang tangguh tidak hancur di dalam
penjara. Bung Tomo sepertinya menghentikan sikapnya yang sangat vokal. Bung Tomo
masih tetap menjalani dan berminat pada masalah-masalah politik kenegaraan. Tapi ia tidak
pernah mengangkat-angkat jasa dan peranannya di dalam sejarah perjuangan
mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Bung Tomo adalah seorang figur ayah
yang sangat dekat dengan anak dan keluarganya. Ia berusaha keras agar kelima anaknya
sukses mengejar pendidikannya.

Biografi Bung Tomo: Kehidupan Pribadi

Sang orator dari Surabaya ini menikah dengan Sulistina yang merupakan orang
Malang. Bung Tomo sangat serius dalam kehidupannya sebagai seorang muslim, namun dia
tidak menganggap dirinya sebagai seorang Muslim yang sangat soleh atau calon pembaharu
dalam Islam. Sebelum kematiannya, Bung Tomo sempat menyelesaikan disertasinya tentang
peran agama di pembangunan tingkat desa.
Pada tahun 1950-an di Surabaya, Bung Tomo sempat menunjukkan kepedulian
sosialnya. Dia bergerak sebagai penolong para tukang becak dengan cara mendirikan pabrik.
Bung Tomo mengajak para tukang becak untuk mendirikan perusahaan tersebut. Dengan
bantuan Bung Tomo, pabrik tersebut didirikan oleh dan untuk para tukang becak. Tapi
kelanjutan ide pendirian pabrik sabun kurang berhasil dan cukup kesusahan juga untuk
melakukan pertanggung jawaban keuangan.

Wafatnya Bung Tomo

Pada tanggal 7 Oktober 1981, Bung Tomo meninggal dunia di Padang Arafah. Kala
itu Bung Tomo sedang menunaikan ibadah haji. Jenazahnya di bawah pulang kembali ke
tanah air dan tidak mengikuti tradisi untuk memakamkan para jemaah haji yang meninggal
ketika ziarah ke tanah suci. Bung Tomo memang memiliki peran yang besar dalam perjalanan
sejarah Indonesia dan layak dimakamkan di tamam makam pahlawan. Tapi jenazah Bung
Tomo dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya sesuai wasiatnya
ketika hidup. Alasannya karena taman makam pahlawan penuh dengan pahlawan yang tak
memiliki keberanian ketika musuh datang dan ketika kondisi negara dalam keadaan genting,
tapi langsung muncul ke publik ketika masa-masa damai untuk memamerkan jasa-jasanya.

Anda mungkin juga menyukai