NIM : 06081382227094
Mata Kuliah : Pancasila
Dalam Ajaran Hindu diajarkan 4 Jalan untuk meyakini dan mempercayai keberadaan
Brahman/Jiwa Semesta (Tuhan), yaitu:
1. Agama Pramana: Berdasarkan Ajaran-Ajaran dalam Kitab Suci.
2. Pratiyaksa Pramana: Dengan merasakan atau mengalami langsung dengan jelas dan
nyata.
3. Anumana Pramana: Menarik kesimpulan berdasarkan Logika, dari unsur-unsur, gerakan,
sebab-akibat, keharusan, kesempurnaan dan keteraturan.
Agama Hindu merupakan salah satu agama tertua di dunia. Banyak agama kuno bisa
dilacak dari agama ini. Agama primitif dunia, menyembah matahari, masih dilakukan oleh
para Brahmana. Mereka menyambut matahari pagi setelah mandi di sungai dan disucikan
dengan sinarnya yang mengilhami. Di samping matahari mereka memuja bulan, planet,
menentukan benda-benda tersebut sebagai dewa dan melambangkan kekuatan tertentu yang
ada pada Tuhan. Mitos dalam agama Yunani kuno dan dewa-dewi dalam agama Mesir kuno
ditemukan dalam agama Hindu. Mereka mengajarkan manusia untuk melihat keberadaan
Tuhan dalam segalanya. Kekuatan Tuhan yang Maha Kuasa digambarkan dalam berbagai
bentuk dewa-dewi yang dihubungkan dengan kekuaan khusus. Hewan liar seperti singa,
gajah atau pun ular kobra dianggap sakral. Inilah ajaran moral untuk mencintai musuh (Khan,
2003). Salah seorang manusia yang dianggap sempurna dan dipuja dalam agama Hindu
adalah Krishna. Arti kata Krishna adalah Tuhan, dia adalah orang yang sadar akan Tuhan
yang memenuhi panggilan-Nya untuk menyampaikan pesan ajaran-Nya. Orang Hindu
memuja banyak dewa, tetapi pemujaan terhadap Krishna lebih banyak.
Dalam agama Katolik/Protestan, keberadaan Tuhan tidak dapat dibuktikan ada atau
tidak ada. Alkitab menyatakan bahwa kita harus menerima fakta bahwa Tuhan itu ada melalui
iman: "Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa
berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah
kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia" (Ibrani 11:6). Jika Tuhan
menghendakinya, Ia dapat muncul dan membuktikan kepada seluruh dunia bahwa Ia benar-
benar ada. Tetapi jika Ia berlaku demikian, tidak akan ada kebutuhan beriman. "Kata Yesus
kepadanya: 'Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka
yang tidak melihat, namun percaya'" (Yohanes 20:29). ni tidak berarti bahwa sama sekali
tidak ada bukti tentang keberadaan Allah. Alkitab menyatakan, "Langit menceritakan
kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita
itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam. Tidak ada berita
dan tidak ada kata, suara mereka tidak terdengar; tetapi gema mereka terpencar ke seluruh
dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi" (Mazmur 19:1-4a). Ketika kita melihat
bintang-bintang, memperhatikan luasnya alam semesta, mengamati keajaiban alam, melihat
keindahan matahari terbenam - semuanya ini menunjuk kepada Allah Sang Pencipta. Jika
semua ini belum cukup, adapula bukti tentang keberadaan Allah dalam hati kita. Pengkhotbah
3:11 menyatakan, "...Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka." Di dalam diri kita ada
kesadaran tentang sesuatu yang menanti di luar kehidupan ini dan di luar bumi ini. Kita dapat
menolak pengetahuan ini secara intelektual, tetapi kehadiran Allah di dalam dan di sekitar
diri kita terlalu jelas. Namun, Alkitab menghimbau bahwa akan ada orang yang masih
menolak keberadaan Allah: "Orang bebal berkata dalam hatinya: 'Tidak ada Allah'" (Mazmur
14:1). Karena sebagian besar manusia di sepanjang sejarah, berbagai kebudayaan, dan di
setiap belahan dunia mempercayai keberadaan Allah, maka tentunya ada sesuatu yang
menyebabkan keyakinan tersebut.
Selain argumen alkitabiah tentang keberadaan Allah, adapun argumentasi logika.
Pertama, argumen ontologis yang menyangkut filsafat keberadaan dan realita harus
dipertimbangkan. Argumen ontologis yang paling populer menggunakan konsep Allah untuk
membuktikan keberadaan Allah. Ia dimulai dengan definisi Allah sebagai "sosok yang
terbesar yang tandingannya tidak ada." Alur argumentasinya adalah bahwa keberadaan adalah
lebih agung daripada ke-tidakberadaan, sehingga sosok terbesar yang dapat dibayangkan
harus ada. Jika Allah tidak ada, maka Allah tidak mungkin menjadi sosok terbesar yang dapat
dibayangkan, dan itu berkontradiksi dengan definisi Allah. Argumen kedua adalah argumen
teleologis, yang mencakup pelajaran tentang sifat segala sesuatu menurut tujuan atau perintah
terhadapnya. Argumen teleologis menyatakan bahwa alam semesta menunjukkan sebuah
rancangan yang begitu luar biasa sehingga pastilah ada seorang Perancang illahi. Sebagai
contoh, jika bumi lebih dekat atau lebih jauh jaraknya dari matahari, maka bumi tidak dapat
mendukung banyaknya kehidupan di atasnya seperti saat ini. Jika elemen dalam atmosfir kita
berbeda sedikit, maka hampir setiap makhluk hidup di bumi ini akan mati. Kemungkinan
sebuah molekul protein tunggal tercipta secara acak adalah 1:10243 (yakni angka 1 diikuti
oleh 243 angka nol). Satu sel tunggal terdiri dari jutaan molekul protein. Argumen logika
ketika bagi keberadaan Allah adalah argumen kosmologis. Setiap akibat harus ada sebabnya.
Inilah alam semesta dan semua di dalamnya adalah akibat. Dengan demikian haruslah ada
sebuah sebab yang mengkibatkan segala sesuatu itu hadir. Dan haruslah ada pula suatu faktor
yang "tanpa sebab" yang mengakibatkan adanya segala sesuatu. Faktor "tanpa sebab" itu
dikenal sebagai Allah. Argumen keempat dikenal sebagai argumen moralita. Setiap
kebudayaan sepanjang sejarah masing-masing mempunyai suatu bentuk hukum. Semua orang
mempunyai kesadaran akan hal yang benar dan salah. Membunuh, berdusta, mencuri, dan
tindakan asusila secara umum ditolak.
Dalam agama Islam, keyakinan akan keberadaan Allah Ta’ala merupakan hal yang
bersifat naluri atau fitrah. Seseorang tidak perlu berfikir atau belajar untuk menunjukan
keberadaan Allah Ta’ala. Karena pengetahuan tersebut sudah ada sejak dia diciptakan. Sama
hal nya dengan pengetahuan seseorang bahwa kue yang telah di potong lebih sedikit dari kue
yang masih utuh. Atau pengetahuan bahwasanya suatu perbuatan pasti ada pelakunya.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa segala ciptaan mengharuskan adanya yang
menciptakan dan segala perbuatan mengharuskan adanya pelaku. Dikarenakan alam semesta
merupakan hasil penciptaan, maka menjadi sebuah keharusan bahwa disana ada Zat yang
telah menciptakannya.
Ketika seorang arab badui ditanya, “bagaimana engkau mengetahui Tuhan mu?”, dia
menjawab, “jejak kaki onta menunjukan adanya onta, jejak perjalanan menunjukan adanya
orang yang melakukan perjalanan, langit yang memiliki bintang bintang, bumi yang memiliki
jalanan yang lapang, lautan yang berombak, bukankah (semua itu) menunjukan kepada (Zat)
Yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui?” [Maarijul Qobul (1/136)].
Ketika Abu Hanifah di tanya oleh orang-orang yang menolak adanya Allah, beliau berkata,
“sebentar, sesungguhnya saya sedang berpikir tentang suatu hal yang saya telah diberi tahu
akan keberadaannya, mereka mengatakan kepadaku bahwa ada sebuah kapal di lautan yang
berisi berbagai macam barang dagangan, tanpa ada orang yang menjaga dan
mengemudikannya, akan tetapi meskipun begitu kapal tersebut pergi dan kembali dengan
sendirinya menerjang ombak yang besar, sampai selamat darinya, kemudian kapal tersebut
berjalan kemana saja sesukanya tanpa ada seorangpun yang mengemudikannya” mereka pun
berkata, “perkataan tersebut tidak ada seorang berakal pun yang mengatakannya”
Maka berkata Abu Hanifah Rahimahullah, “celaka kalian! alam semesta baik yang di atas
maupun yang di bahwah dengan segala sesuatu yang berada di dalamnya dengan kokoh dan
teratur tidak ada yang menciptakannya!” [Ma’arijul Qobul (1/135)].
Allah ta’ala dalam beberapa ayat dalam Al Qur’an mengajak manusia untuk berfikir
akan penciptaan manusia. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan tidakkah manusia itu memikirkan bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya
dahulu, sedang ia tidak ada sama sekali?” (QS. Maryam : 37)
Juga dalam firman Nya (yang artinya),
“dan sesunguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum
ada sama sekali.” (QS. Maryam : 9)
Artinya keberadaan manusia setelah sebelumnya tiada menunjukan keberadaan Allah yang
telah menciptakannya.
Begitu juga dengan firman Allah ta’ala (yang artinya),
“Apakah mereka tidak ada yang menciptakan atau apakah mereka menciptakan diri mereka
sendiri?!” (QS. At Thur : 35)
Dalam ayat di atas, Allah ta’ala mengingatkan kita untuk berfikir dengan akal sehat kita,
bersandarkan kepada hal yang kita ketahui secara naluri. Bahwasanya penciptaan manusia
tidak terlepas dari tiga hal:
1. Manusia tidak ada yang menciptakan, dia ada dengan sendirinya.
2. Manusia ada karena diciptakan, dan manusia sendirilah yang menciptakannya.
3. Manusia ada karena diciptakan, dan yang menciptakannya adalah Zat selain manusia.
Selain dalam pandangan agama, kita juga dapat mengetahui bahwa Tuhan itu ada
berdasarkan hal-hal sederhana, contohnya jika bukan Tuhan siapa yang akan menciptakan
kita, lalu siapa yang akan menciptakan dunia dimana kita tinggal. Bahkan segala keajaiban,
tanah, bumi, lautan, samudera, dan sebagainya yang menciptakan adalah Tuhan. Tuhan
menciptakan kita menurut gambar dan rupa-Nya. Di setiap Alkitab tentuya akan tertulis saat
Tuhan menciptakan dunia dan manusia. Tuhan akan selalu ada disetiap langkah hidup kita.