Anda di halaman 1dari 38

TUGAS

PERJUANGAN PAHLAWAN NASIONAL

Nama Kelompok : - Yulia Puspita Sari


- Titi Nur Baeti
- Triana
- Nur Kholifah

SMP NEGERI 03 LARANGAN


KABUPATEN BREBES - JAWA TENGAH
TAHUN 2019/2020
1. BUNG TOMO (SUTOMO) SINGKAT

Pahlawan nasional dari jawa kita yang bernama asli Sutomo ini lahir di
Surabaya provinsi Jawa Timur pada tanggal 3 Oktober 1920 dan meninggal di
Padang Arafah negara Arab Saudi pada tanggal 7 Oktober 1981 di usia 61 tahun.
Kita mengenalnya dengan sapaan akrab oleh rakyat sebagai Bung Tomo. Bung
Tomo merupakan pahlawan yang terkenal karena jasanya ketika era
mempertahankan kemerdekaan dalam memotivasi semangat rakyat untuk melawan
kembalinya penjajahan Belanda dengan bantuan tentara NICA. Perlawanan ini
berakhir dengan penyebab pertempuran surabaya 10 November 1945 dan hingga
kini pertempuran ini diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Sejarah Partai Golkar (FPG) mendesak
pemerintah agar memberikan gelar pahlawan nasional kepada Bung Tomo pada 9
November 2007. Waktu itu era pemerintahan SBY. Gelar pahlawan nasional
diberikan ke Bung Tomo dan momennya tepat pada peringatan Hari Pahlawan
tanggal 10 November 2008.
Masa Kecil Bung Tomo
Bung Tomo dilahirkan di daerah Kampung Blauran yang berada di pusat kota
Surabaya yang waktu itu masih Hindia Belanda. Ayahnya adalah seorang kepala
keluarga yang bernama Kartawan Tjiptowidjojo yang merupakan pegawai kelas
menengah yang mengabdi di pegawai pemerintahan. Jabatannya adalah staf pribadi
di pabrik swasta di bidang impor-ekspor milik Belanda dan sebagai asisten di kantor
pelayanan pajak pemerintah. seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Ia
mengaku memiliki hubungan darah dengan beberapa sahabat dekat dari Pangeran
Diponegoro yang jasadnya dikebumikan di Malang.
Ibunda Bung Tomo memiliki darah campuran antara Jawa Tengah, Madura dan
Sunda. Sebelum ia berhijrah ke Surabaya, ibunda Bung Tomo bekerja untuk
perusahaan mesin jahit Singer di bagian distributor lokal. Masa mudanya bekerja
menjadi polisi di kotapraja dan pernah menjadi anggota asosiasi Sarekat Islam.
Bung Tomo dididik di rumah yang sangat berpendidikan. Ia berbicara penuh
semangat dan selalu berterus terang. Ia suka bekerja keras agar keadaan semakin
membaik. Di usia 12 tahun, ketika dia harus keluar dari pendidikannya di MULO,
Bung Tomo melakukan berbagai jenis usaha kecil-kecilan untuk menghidupi
keluarga. Ini terjadi karena depresi besar yang waktu itu melanda dunia. Kemudian,
dia menamatkan pendidikan HBS melalui jalur korespondensi, tapi secara resmi
Bung Tomo tidak lolos.
Bung Tomo lalu bergabung dengan KBI atau Kepanduan Bangsa Indonesia.
Belakangan Bung tomo menyimpulkan bahwa nilai filsafat yang didapatnya dari
kepanduan, ditambah dengan pemikiran berhaluan nasionalis yang didapat dari dari
kakeknya juga, adalah pengganti yang sangat baik untuk pendidikan formalnya. Di
usia 17 tahun, Bung Tomo mulai terkenal setelah berhasil menjadi orang kedua di
Hindia Belanda yang meraih peringkat Pandu Garuda. Peringkat Pandu Garuda ini
sangatlah sulit untuk mencapai. Bahkan, sebelum pendudukan Jepang yang dimulai
pada tahun 1942, orang yang mendapat peringkat Pandu Garuda hanya berhasil
diraih oleh tiga orang Indonesia.
Pemimpin Perjuangan Pertempuran 10 November 1945
Kehidupan sebagai seorang jurnalis juga pernah dilalui oleh Bung Tomo dia
sebuah kantor berita Domei Tsushin. Baru setelah itu dia  bergabung dengan
beberapa gerakan sosial dan politik. Pada tahun 1944, Jepang yang waktu itu
menjajah Indonesia mensponsori Gerakan Rakyat Baru dan Bung Tomo terpilih
menjadi anggotanya tapi tak ada seorang pun yang mengenal dia. Tapi, di titik inilah
Bung Tomo mempersiapkan peranannya untuk peristiwa yang sangat penting.
Ketika pertempuran Oktober dan November 1945, Bung Tomo menjadi salah satu
tokoh yang menggerakkan dan membangkitkan semangat juang rakyat Surabaya.
Pada pada waktu itu, Surabaya digempur oleh pasukan Inggris yang baru saja
mendarat untuk melucuti senjata tentara Jepang yang kalah Perang Dunia Kedua dan
membebaskan tawanan Eropa yang ditawan oleh Jepang.
Bung Tomo sangat dikenang karena seruan dan teriakan semangat perjuangan
melalui banyak siaran radio. Berkat pengalaman jurnalisnya yang bekerja di kantor
berita Domei Tsushin di Surabaya, dia mendirikan Radio Pemberontakan yang
berguna untuk membakar semangat juang dan rasa persatuan di hati rakyat
Surabaya. Suaranya yang lantang, berani dan yakin terdengar penuh semangat untuk
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan
tiga bulan yang lalu. Kemampuannya beorasi dengan penuh semangat berapi-api,
membuatnya menjadi orang kedua setelah Bung Karno dalam kemampuan berorasi
dan kekuatan emosionalnya. Berikut salah satu contoh pidato Bung Tomo yang
sangat terkenal yang diteriakkan pada tanggal 9 November 1945:
“Wahai tentara Inggris! Selama banteng-banteng Indonesia, pemuda Indonesia,
memiliki darah merah yang bisa menodai baju putih menjadi merah dan putih, kita
tidak akan pernah menyerah. Para teman, para pejuang dan khususnya para pemuda
Indonesia, kita harus terus bertarung, kita akan mengusir para kolonialis ini keluar
dari tanah air Indonesia yang sangat kita cintai. Sudah terlalu lama kita menderita,
kita dieksploitasi, kita diinjak oleh bangsa asing. Kini saatnya kita mempertahankan
kemerdekaan negara ini. Teriakan kita adalah merdeka atau mati. Allahu Akbar!
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!”
Memang, waktu itu Indonesia menderita kekalahan dalam Pertempuran 10
November itu. Tapi rakyat Surabaya berhasil menahan serangan pasukan Inggris
dan bahkan memukul mundur mereka. Kejadian ini sangat dikenal dan menjadi
catatan penting sebagai salah satu peristiwa paling epik dan heroik dalam sejarah
perjuangan Kemerdekaan Indonesia melawan bangsa Eropa. Selain itu, perjuangan
kemerdekaan di Indonesia ini juga mendapat dukungan dari dunia internasional.
Biografi Bung Tomo: Kehidupan Setelah Perjuangan Kemerdekaan
Setelah pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia selesai, Bung
Tomo mencoba terjun ke dalam dunia politik sekitar tahun 1950an. Beberapa
jabatan penting pernah disandang Bung Tomo. Contohnya seperti menjabat Menteri
Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran dan merangkap sebagai Meneteri
sosial Ad Interim pada tahun 1955 hingga 1956 di zaman Kabinet Burhanuddin
Harahap. Tahun 1956 hingga 1959, Bung Tomo menjadi anggota DPR yang
mewakili Partai Rakyat Indonesia. Karena merasa kurang nyaman dan bahagia di
dunia politik, dia kemudian menghilang untuk sementara dari panggung dan
kemelut dunia politik.
Ada kemungkinan dia tidak sependapat dengan Bung Karno. Ada pula yang
bilang hubungannya dengan Bung Karno sedikit retak ketika Bung Tomo
menanyakan masalah yang sedikit pribadi. Bung Tomo baru mulai muncul lagi
ketika akhir masa pemerintahan Bung Karno dan awal pemerintahan Suharto yang
mulai didukungnya, Bung Tomo muncul kembali sebagai tokoh nasional. Dia
mendukung Suharto untuk membersihkan negara ini dari orang-orang yang
memiliki pemikiran berbau kiri atau komunis. Orang-orang yang berpikiran kiri ini
tumbuh besar di rezim Bung Karno.
Namun baru beberapa tahun Suharto menjabat sebagai presiden, Bung Tomo
kembali berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru ala Suharto ini. Bung
Tomo mengkritik dengan lantang terhadap beberapa program Suharto. Sehingga
pada tanggal 11 April 1978 ia ditahan oleh rezim Suharto yang sepertinya mulai
khawatir akan beberapa kritiknya yang tajam dan keras terhadap penyalahgunaan
kekuasaan dan korupsi yang sangat parah. Dia dibebaskan setelah ditahan selama
satu tahun. Meskipun jiwanya yang tangguh tidak hancur di dalam penjara. Bung
Tomo sepertinya menghentikan sikapnya yang sangat vokal.
Bung Tomo masih tetap menjalani dan berminat pada masalah-masalah politik
kenegaraan. Tapi ia tidak pernah mengangkat-angkat jasa dan peranannya di dalam
sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Bung Tomo
adalah seorang figur ayah yang sangat dekat dengan anak dan keluarganya. Ia
berusaha keras agar kelima anaknya sukses mengejar pendidikannya.
Biografi Bung Tomo: Kehidupan Pribadi
Sang orator dari Surabaya ini menikah dengan Sulistina yang merupakan orang
Malang. Bung Tomo sangat serius dalam kehidupannya sebagai seorang muslim,
namun dia tidak menganggap dirinya sebagai seorang Muslim yang sangat soleh
atau calon pembaharu dalam Islam. Sebelum kematiannya, Bung Tomo sempat
menyelesaikan disertasinya tentang peran agama di pembangunan tingkat desa. Pada
tanggal 7 Oktober 1981, Bung Tomo meninggal dunia di Padang Arafah. Kala itu
Bung Tomo sedang menunaikan ibadah haji.
Jenazahnya di bawah pulang kembali ke tanah air dan tidak mengikuti tradisi
untuk memakamkan para jemaah haji yang meninggal ketika ziarah ke tanah suci.
Bung Tomo memang memiliki peran yang besar dalam perjalanan sejarah Indonesia
dan layak dimakamkan di tamam makam pahlawan. Tapi jenazah Bung Tomo
dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya sesuai wasiatnya
ketika hidup. Alasannya karena taman makam pahlawan penuh dengan pahlawan
yang tak memiliki keberanian ketika musuh datang dan ketika kondisi negara dalam
keadaan genting, tapi langsung muncul ke publik ketika masa-masa damai untuk
memamerkan jasa-jasanya.
Pada tahun 1950-an di Surabaya, Bung Tomo sempat menunjukkan kepedulian
sosialnya. Dia bergerak sebagai penolong para tukang becak dengan cara
mendirikan pabrik. Bung Tomo mengajak para tukang becak untuk mendirikan
untuk perusahaan tersebut. Dengan bantuan Bung Tomo, pabrik tersebut didirikan
oleh dan untuk para tukang becak. Tapi kelanjutan ide pendirian pabrik sabun
kurang berhasil dan cukup kesusahan juga untuk melakukan pertanggung jawaban
keuangan.
Demikian informasi tentang biografi Bung Tomo. Biografi Bung Tomo ini perlu
diketahui agar pembaca memahami perjuangan Bung Tomo di dunia militer maupun
politik serta mempelajari cara hidup Bung Tomo yang sangat menginspirasi. Bung
Tomo memiliki kepribadian yang low profile dan tidak menonjolkan diri. Indonesia
memiliki banyak pahlawan. Contohnya seperti pahlawan Indonesia non muslim,
pahlawan nasional dari madura, pahlawan nasional dari Jakarta, pahlawan nasional
dari Sumatera, biografi Mohammad Hatta dan biografi Cut Nyak Din
2. SULTAN AGENG TIRTAYASA

Nama lengkap : Sultan Ageng Tirtayasa (Abu al-Fath Abdulfattah)


Lahir: 1631, Banten
Meninggal: 1695, Jakarta
Masa Pemerintahan : 1651–1683
Anak Sultan Ageng Tirtayasa : Haji dari Banten, Arya Purbaya, Raden Muhsin,
LAINNYA
Orang Tua: Ratu Martakusuma (ibu), Abdul Ma’ali Ahmad (ayah).

Siapa nama asli Sultan Ageng Tirtayasa? Beliau diketahui lahir di Banten pada
tahun 1631. Sejak kecil beliau memiliki banyak nama namun nama kecil Sultan Ageng
Tirtayasa adalah Abdul Fatah atau Abu al-Fath Abdulfattah. Ayahnya bernama Sultan
Abu al-Ma’ali Ahmad yang merupakan sultan Banten dan ibunya bernama Ratu
Martakusuma.

Sultan Ageng Tirtayasa masih memiliki darah keturunan Sunan Gunung Jati dari
Cirebon melalui anaknya Sultan Maulana Hasanuddin. Diketahi bahwa Sunan Gunung
Jati merupakan pendiri dari Kesultanan Banten. Sejak kecil sebelum diberi gelar Sultan
Ageng Tirtayasa, Abdul Fatah diberi gelar Pangeran Surya.

Beliau diangkat sebagai Sultan Muda dengan gelar Pangeran Dipati ketika
ayahnya Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad wafat. Abdul Fatah atau pangeran Dipati
merupakan pewaris tahta kesultanan Banten. Namun saat ayahnya wafat belum belum
menjadi sultan sebab kesultanan Banten ketika itu kembali dipimpin oleh kakeknya
Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir.
Sultan Ageng Tirtayasa dan Kejayaan Kesultanan Banten

Ketika kakeknya Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir wafat di tahun
1651, Abdul Fatah atau pangeran Dipati kemudian naik tahta sebagai Sultan Banten ke
6 dengan nama Sultan Abul Fath Abdul Fattah atau Sultan Ageng Tirtayasa. Sewaktu
naik tahta menjadi Sultan Banten, beliau masih sangat muda.

Beliau dikenal sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan agama Islam


di daerahnya. Ia mendatangkan banyak guru agama dari Arab, Aceh dan daerah lain
untuk membina mental para pasukan Kesultanan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa juga
dikenal sebagai ahli strategi dalam perang.

Di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa pula kesultanan Banten


mencapai puncak kejayaan dan kemegahannya. Ia membuat memajukan sistem
pertanian dan irigasi baik dan juga berhasil menyusun armada perangnya. Satu hal yang
penting mengapa Kesultanan Banten ketika itu mencapai puncak kejayaannya adalah
hubungan diplomatik yang kuat antara kesultanan Banten dengan kerajaan lainnya di
Indonesia seperti Makassar, Cirebon, Indrapura dan Bangka.

Disamping itu Sultan Ageng Tirtayasa juga menjalin hubungan baik dibidang
perdagangan dan pelayaran serta diplomatik dengan negara-negara Eropa seperti
Inggris, Turki, Denmark serta Perancis. Hubungan inilah yang membuat pelabuhan
Banten sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang-pedagang dari luar seperti Persia,
Arab, India, china, melayu serta philipina.

Sultan Ageng Tirtayasa juga sempat membantu Trunojoyo dalam


pemberontakan di Mataram. Beliau bahkan membebaskan Pangeran Martawijaya dan
Pangeran Kartawijaya yang ketika itu ditahan di Mataram sebab hubungan baiknya
dengan Cirebon.

Di masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Konflik antara Kesultanan


Banten dan Belanda semakin meruncing. Persoalannya adalah ikut campurnya Belanda
dalam internal kesultanan Banten yang saat itu sedang melakukan pemisahan
pemerintahan. Belanda melalui politik adu dombanya (Devide et Impera) menghasut
Sultan Haji (Abu Nasr Abdul Kahar) melawan Pangeran Arya Purbaya yang merupakan
saudaranya sendiri.

Sultan Haji mengira bahwa pembagian tugas pemerintahan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa kepada ia dan saudaranya merupakan upaya menyingkirkan dirinya dari
pewaris tahta kesultanan Banten dan diberikan kepada adiknya, Pangeran Arya Purbaya.
Sultan Haji yang didukung oleh VOC Belanda kemudian berusaha menyingkirkan
Sultan Ageng Tirtayasa.
Biografi dan Profil Sultan Ageng Tirtayasa

Perang keluarga pun pecah. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa ketika itu
mengepung pasukan Sultan Haji di daerah Sorosowan (Banten). Namun pasukan
pimpinan Kapten Tack dan Saint-Martin yang dikirim oleh Belanda datang membantu
Sultan Haji.

Sultan Ageng Tirtayasa Tertangkap dan Wafat

Perang antar keluarga yang berlarut-larut membuat Kesultanan Banten melemah.


Akhirnya di tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan kemudian dibawa ke
Batavia dan dipenjara disana. Di tahun 1692, Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya wafat.
Beliau kemudian dimakamkan di Kompleks Pemakaman raja-raja Banten di Provinsi
Banten.

Pemerintah Indonesia kemudian memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada


Sultan Ageng Tirtayasa pada tanggal 1 agustus 1970 melalui SK Presiden Republik
Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970. Nama Sultan Ageng Tirtayasa juga diabadikan
sebagai nama salah satu universitas di Banten bernama Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
Biodata Sultan Ageng Tirtayasa
Biografi dan Profil Sultan Ageng Tirtayasa
3. SULTAN HASANUDDIN

Nama : Sultan Hasanuddin


Nama Lain : I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto
Mangepe
Julukan : Ayam Jantan Dari Timur
Lahir : Makassar, 12 Januari 1631
Wafat : Makassar, 12 Juni 1670
Orang Tua : Sultan Malikussaid (ayah), I Sabbe To’mo Lakuntu (ibu)
Saudara : Patimang Daeng Nisaking Karaeng Bonto Je’ne, Karaeng Bonto Majanang,
Karaeng Tololo
Istri : I Bate Daeng Tommi, I Mami Daeng Sangnging, I Daeng Talele dan I Hatijah I
Lo’mo Tobo
Anak : Karaeng Galesong, Sultan Amir Hamzah, Sultan Muhammad Ali.
Biografi Sultan Hasanuddin

Beliau lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 dan meninggal di


Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun, adalah Raja Gowa ke-16
dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad
Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe.

Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin


Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin
saja. Oleh Belanda ia di juluki sebagai Ayam Jantan Dari Timur atau dalam bahasa
Belanda disebut de Haav van de Oesten karena keberaniannya melawan penjajah
Belanda. Beliau diangkat menjadi Sultan ke 6 Kerajaan Gowa dalam usia 24 tahun
(tahun 1655). Menggantikan ayahnya Sultan Malikussaid yang wafat.

Selain bimbingan dari ayahnya, Sultan Hasanuddin mendapat bimbingan


mengenai pemerintahan melalui Karaeng Pattingaloang, seorang Mangkubumi kerajaan
Gowa. Beliau juga merupakan guru dari Arung Palakka, yang merupakan raja Bone.
Perjuangan Sultan Hasanuddin

Dibawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin, kerajaan Gowa mencapai puncak


kejayaannya. Beliau merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-
15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili VOC
sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah.

Dalam Biografi Sultan Hasanuddin, VOC Belanda sedang berusahan melakukan


monopoli perdagangan rempah-rempah melihat Sultan Hasanuddin dan kerajaan Gowa
sebagai penghalang mereka. Orang Makassar dapat dengan leluasa ke Maluku untuk
membeli rempah-rempah. Hal inilah yang menyebabkan Belanda tidak suka.
Reruntuhan Benteng Somba Opu

Sejak pemerintahan Sultan Alauddin hingga Sultan Hasanuddin, Kerajaaan


Gowa tetap berpendirian sama, menolak keras monopoli perdagangan yang dilakukan
oleh VOC Belanda. Saat itu Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur
Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.

Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni


berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan
Gowa yang dikenal memiliki armada laut yang tangguh. dan juga pertahanan yang kuat
melalui benteng Somba Opu.

Tak ada cara lain yang dapat ditempuh oleh Belanda selain menghancurkan
kerajaan Gowa yang dianggap mengganggu mereka. Di lain pihak, setelah Sultan
Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil
di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni Belanda. Peperangan antara VOC
dan Kerajaan Gowa (Sultan Hasanuddin) dimulai pada tahun 1660.
Sejarah Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka

Saat itu Belanda dibantu oleh Kerajaan Bone dibawah pimpinan Arung Palakka yang
merupakan kerajaan taklukan dari Kerajaan Gowa. Namun armada kerajaan Gowa yang
masih sangat kuat membuat Kerajaan Gowa tidak dapat ditaklukkan.

Pada peperangan tersebut, Panglima Bone, Tobala akhirnya tewas tetapi Arung Palakka
berhasil meloloskan diri bahkan kerajaan Gowa mencarinya hingga ke Buton. Perang
tersebut berakhir dengan perdamaian. Berbagai peperangan kemudian perdamaian
dilakukan.

Akan tetapi, perjanjian damai tersebut tidak berlangsung lama karena Sultan
Hasanuddin yang merasa dirugikan kemudian menyerang dan merompak dua kapal
Belanda , yaitu de Walvis dan Leeuwin. Belanda pun marah besar.

Arung Palakka yang dari tahun 1663 berlayar dan menetap di Batavia menghindari
kejaran kerajaan Gowa kemudian membantu VOC dalam mengalahkan kerajaaan Gowa
yang ketika itu dipimpin oleh Sang Ayam Jantan dari Timur, Sultan Hasanuddin.

VOC Belanda mengirimkan armada perangnya yang besar yang dipimpin oleh
Cornelis Speelman. Ia dibantu oleh Kapiten Jonker dan pasukan bersenjatanya dari
Maluku serta Arung Palakka, penguasa Kerajaan Bone yang ketika itu mengirimkan 400
orang sehingga total pasukan berjumlah 1000 orang yang diangkut 21 kapal perang
bertolak dari Batavia menuju kerajaan Gowa pada bulan November 1966.
Pecahnya Perang Makassar

Dalam Biografi Sultan Hasanuddin, Perang besar kemudian terjadi antara


Kerajaan Gowa melawan Belanda yang dibantu oleh Arung Palakka dari Bone yang
kemudian dikenal dengan Perang Makassar. Sultan Hasanuddin akhirnya terdesak dan
akhirnya sepakat untuk menandatangani perjanjian paling terkenal yaitu Perjanjian
Bongaya pada tanggal 18 November 1667.
Makam Sultan Hasanuddin di Gowa, Sulawesi Selatan

Pada tanggal 12 April 1668, Sultan Hasanuddin kembali melakukan serangan terhadap
Belanda. Namun karena Belanda sudah kuat maka Benteng Sombaopu yang merupakan
pertahanan terakhir Kerajaan Gowa berhasil dikuasai Belanda. Yang akhirnya membuat
Sultan Hasanuddin mengakui kekuasaan Belanda.
Sultan Hasanuddin Wafat

Walaupun begitu, Hingga akhir hidupnya, Sultan Hasanuddin tetap tidak mau
bekerjasama dengan Belanda. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari
takhta kerajaan Gowa dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670. Dan dimakamkan di
kompleks pemakaman raja-raja Gowa di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

I Bate Daeng Tommi, I Mami Daeng Sangnging, I Daeng Talele dan I Hatijah I
Lo’mo Tobo merupakan nama-nama dari Istri Sultan Hasanuddin. Ketika beliau wafat,
beliau digantikan oleh I Mappasomba Daeng Nguraga atau dikenal dengan Sultan Amir
Hamzah yang merupakan anak dari Sultan Hasanuddin, selain anak bernama Sultan
Muhammad Ali dan karaeng Galesong.
Perjuangan melawan Belanda selanjutnya dilaukan oleh Karaeng Galesong yang
berlayar hingga ke Jawa membantu perlawanan dari Trunojoyo dan Sultan Ageng
Tirtayasa di Banten melawan Belanda.

Untuk Menghormati jasa-jasanya, Pemerintah Indonesia kemudian menganugerahkan


gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Hasanuddin dengan SK Presiden Ri No
087/TK/1973.

Nama Sultan Hasanuddin juga diabadikan sebagai nama Bandar Udara di


Makassar yakni Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, selain itu namanya juga
dipakai sebagai nama Universitas Negeri di Makassar yakni Universitas Hasanuddin
dan menjadi nama jalan di berbagai daerah.
4. TUANKU IMAM BONJOL.

Beliau dikenal sebagai salah satu pahlwawan nasional yang berasal dari
minangkabau di Sumatera. Tuanku Imam Bonjol diketahui lahir pada tahun 1772 di
Bonjol. Beliau memiliki ayah bernama Bayanuddin dan ibu bernama Hamatun.
Biografi Tuanku Imam Bonjol - Pahlawan Nasional Dari Minangkabau

Ayah Tuanku Imam Bonjol terkenal sebagai seorang alim ulama asal Sungai
Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah
Muhammad Shahab, namun ketika dewasa, banyak gelar diberikan kepada Muhammad
Shahab yaitu Tuanku Imam, Malin Basa dan Peto Syarif.

Ada salah seorang pemimpin dari Kamang yang bernama Tuanku Nan Renceh, ia
merupakan Pemimpin Harimau Nan Salapan kemudian menunjuk Muhammad Shahab
sebagai seorang imam atau lebih dikenal sebagai pemimpin untuk kaum padri di Bonjol.
Sehingga dari situ ia kemudian lebih dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol.

Tuanku Imam Bonjol terkenal ketika perlawanannya melawan penjajah Belanda


dalam perang Padri. Perang Padri merupakan perang terlama yang berlangsung dari
tahun 1803 hingga 1838 yang melibatkan sesama orang Minang dan Mandailing atau
Batak.

Awalnya memang perang tersebut bisa dikatakan sebagai perang saudara di Sumatera,
Perang tersebut terjadi karena timbulnya pertentangan antara kaum padri yang terkenal
dari kalangan ulama dengan kaum ada yang merupakan masyarakat dari kerajaan
pagaruyung.
Kaum Padri sebenarnya menginginkan agar hukum di daerahnya dijalankan
sesuai dengan syariat Islam yang berpegang teguh pada Alquran dan Sunnah Nabi
Muhammad SAW, mengingat masyarakat disana masih memiliki kebiasaan buruk
seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras serta hukum
yang terlalu longgar, padahal masyarakat disana sudah banyak yang memeluk Islam.
Tidak adanya kesepakatan antara kaum Padri dan kaum ada sehingga meletuslah perang
Padri yang terkenal.

Awalnya perang padri melibatkan kaum padri yang dipimpin oleh Tuanku
Pasaman. Tuanku Pasaman kemudian menyerang kaum adat yang dipimpin oleh Sultan
Arifin Muningsyah. Serangan pertama di Pagaruyung terjadi pada tahun 1815 dan
kemudian pertempuran selanjutnya pecah di Koto Tengah dekat Batu Sangkar.
Pertempuran ini kemudian membuat Sultan Arifin Muningsyah terdesak dan terpaksa
melarikan diri dari kerajaanya di Lubukjambi.

Biografi Tuanku Imam Bonjol - Pahlawan Nasional Dari Minangkabau


Lukisan Perang Padri

Tuanku Imam Bonjol Memimpin Perang Padri


Akibat terdesaknya kaum adat ketika itu sehingga mereka kemudian meminta bantuan
Belanda, secara resmi kemudian Belanda membantu kaum adat untuk berperang
melawan kaum Padri melalui sebuah perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1821 di
Padang.

Isi perjanjian tersebut menyebutkan bahwa Belanda akan mendapatkan


penguasaan wilayah di pedalaman Minangkabau. Perjanjian tersebut dihadiri oleh
Sultan Tangkal Alam Bagagar. Adanya campur tangan Belanda membantu kaum adat
melawan kaum padri membuat situasi semakin rumit.

Meskipun Belanda turut campur dalam perang Padri tersebut, tetapi Belanda
juga cukup kesulitan dalam melawan Kaum Padri yang ketika itu sudah dipimpin oleh
Tuanku Imam Bonjol. Belanda yang kesulitan kemudian mengajak Tuanku Imam
Bonjol untuk berdamai, hal tersebut kemudian dituangkan dalam perjanjian Masang di
tahun 1824.

Perjanjian tersebut harus dilakukan oleh Belanda mengingat mereka ketika itu
kehabisan dana untuk melakukan perang sebab belanda juga harus memadamkan perang
yang terjadi di daerah lain seperti perang Diponegoro. Tetapi perjanjian tersebut tidak
berlangsung lama sebab Belanda kemudian menyerang nagari Pandai Sikek.
Hingga pada tahun 1833, parang Padri kemudian memasuki babak baru, Kaum
adat kemudian berbalik bersatu dengan kaum Padri melawan Belanda. Mengingat
perang tersebut ternyata hanya menyengsarakan rakyat Minangkabau. Bersatunya Kaum
Adat dan Kaum Padri ditandai dengan Plakat Puncak Pato di Tabek Patah.

…Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek
kalian? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita.
Bagaimana pikiran kalian?)

Kalimat diatas merupakan rasa penyesalan atas tindakan kaum Padri atas sesama orang
Minang, Mandailing dan Batak. Belanda kemudian melakukan pengepungan dan
penyerangan ke Benteng Kaum Padri. Pengepungan dan penyerangan ini berlangsung
selama enam bulan.

Agar pengepungan dan penyerangan tersebut berhasil, Belanda terus menerus


meminta bantuan pasukan dari Batavia. Hal ini kemudian membuat posisi Tuanku Imam
Bonjol menjadi terjepit. Namun Tuanku Imam Bonjol tetap melakukan perlawanan dan
tidak mau menyerah.

Akhir Perang Padri dan Penangkapan Tuanku Imam Bonjol


Pada tanggal 16 Agustus 1837 barulah benteng Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda
setelah lama dikepung. Untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol sendiri, Belanda
mengajak Tuanku Imam Bonjol untuk berunding di Palupuh pada bulan Oktober 1837.

Di tempat itu ia kemudian ditangkap oleh Belanda dan kemudian diasingkan di


Cianjur, Jawa Barat. Dari Cianjur, ia kemudian dibawa ke Ambon hingga kemudian
dipindahkan di Lotak, Minahasa, dekat Manado. Disana Tuanku Imam Bonjol
kemudian meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864 dan kemudian dimakamkan
ditempat tersebut.
Biografi Tuanku Imam Bonjol - Pahlawan Nasional Dari Minangkabau
Wajah Tuanku Imam Bonjol pada Uang Lima Ribu.

Pemerintah Indonesia kemudian mengangkat Tuanku Imam Bonjol sebgaai


Pahlawan Nasional berkat perjuangannya melawan penjajah Belanda. ia diberi gelar
sebagai pahlawan nasional pada tanggal 6 November 1973. Nama Tuanku Imam Bonjol
juga banyak diabadikan sebagai nama Jalan, selain itu ia juga digambarkan dalam uang
pecahan 5.000 rupiah. Nama Tuanku Imam Bonjol juga banyak digunakan sebagai
nama ruang publik seperti stadion dan nama universitas.

5. PANGERAN DIPONEGORO.
Ia dikenal sebagai salah satu Pahlawan Nasional Republik Indonesia yang sangat
terkenal dengan perlawanannya melawan penjajah Belanda. Pangeran Diponegoro
merupakan tokoh pejuang yang berasal dari Yogyakarta dan tokoh penting dalam
sejarah perang Diponegoro yang merupakan salah satu perang terbesar di pulau Jawa.
Bagimana kisah dan Biografi Pangeran Diponegoro?

Pangeran Diponegoro adalah putra sulung Sultan Hamengkubuwana III, seorang


raja Mataram di Yogyakarta. Pangeran Diponegoro lahir pada tanggal 11 November
1785 di Yogyakarta. Ibunya Pangeran Diponegoro bernama R.A. Mangkarawati, yaitu
seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri atau selir) yang berasal dari Pacitan.

Pangeran Diponegoro bernama kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo.


Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan
ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja.

Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro mempunyai 3 orang


istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu
Ratnaningrum.

Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih
suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I
Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton.

Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V


(1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi
Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun.
Sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen
Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.
Riwayat Perjuangan Pangeran Diponegoro

Riwayat perjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda dimulai


dari Perang Diponegoro. Perang tersebut merupakan perang besar dan menyeluruh
berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda
(sekarang Indonesia).

Perang ini antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock
melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama
Pangeran Diponegoro. Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit.

Baik korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para
ahli sejarah, disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara
itu di pihak serdadu Belanda, korban tewas berjumlah 8.000.
BACA JUGA : Biografi dan Profil Charles Darwin - Penemu Teori evolusi

Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami
oleh Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah
Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa.

Setelah kekalahannya dalam Perang Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang


berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan
memberlakukan berbagai pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda.

Selain itu, mereka juga melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk
memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat
mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.

Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai


berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di antaranya adalah
Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya,
Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa.

Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih


Danuredjo, seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda
dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton.
Awal Mula Pecahnya Perang Diponegoro
Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya
memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan,
mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah
satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro.

Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk
mengangkat senjata melawan Belanda. Beliau kemudian memerintahkan bawahannya
untuk mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut.

Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai
telah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau.

Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat
hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga
tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul.

Sementara itu, Belanda yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro


membakar habis kediaman Pangeran. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa
Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul,
sebagai basisnya.

Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga
menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang
paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya
menempati Goa Putri di sebelah Timur.

Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung
5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam
semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati“; sejari kepala sejengkal
tanah dibela sampai mati.

Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro.


Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual
pemberontakan

Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta
gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan
sayembara pun dipergunakan.

Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro.
Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.
Penangkapan Pangeran Diponegoro

Dalam biografi Pangeran Diponegoro diketahui bahwa pada tanggal 16 Februari


1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen
(sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran
dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan
Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.

28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock


memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan
perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan
penyergapan dengan teliti.

Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke
Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux
pada 5 April.

Tanggal 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang


gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur
Jenderal Van den Bosch. 30 April 1830 keputusan pun keluar.
Pangeran Diponegoro Wafat

Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan


istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai
Sotaruno akan dibuang ke Manado. tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan
diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.

1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. pada


tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.
Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus
Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo
dan Bagelen.

Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu
Citrowati Puteri Bupati Madiun Raden Ronggo.

Raden Ayu Citrowati adalah saudara satu ayah lain ibu dengan Sentot Prawiro Dirjo.
Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki Sodewo snediri telah masuk
dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem Keraton Yogyakarta.
Perjuangan Ki Sodewo untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada
kematian eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah
karena memberontak kepada Belanda.

Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan oleh Patih


Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan Sentot bersama
keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti suksesnya
penyerbuan.

Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu
dititipkan pada sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan
selalu berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda.

Belanda sendiri pada saat itu sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak
dulu terkenal sebagai penentang Belanda. Atas kehendak Pangeran Diponegoro, bayi
tersebut diberi nama Singlon yang artinya penyamaran.

Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung


perjuangan Ki Sodewo pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan restu
para sesepuh dan dimotori oleh keturunan ke 7 Pangeran Diponegoro yang bernama
Raden Roni Muryanto, Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah paguyuban dengan
nama Paguyuban Trah Sodewo.
6. I GUSTI KETUT JELANTIK

I Gusti Ketut Jelantik ( - 1849) adalah pahlawan nasional Indonesia yang berasal
dari Karangasem, Bali. Ia merupakan patih Kerajaan Buleleng. Ia berperan dalam
Perang Jagaraga yang terjadi di Bali pada tahun 1849. Perlawanan ini bermula karena
pemerintah kolonial Hindia Belanda ingin menghapuskan hak tawan karang yang
berlaku di Bali, yaitu hak bagi raja-raja yang berkuasa di Bali untuk mengambil kapal
yang kandas di perairannya beserta seluruh isinya. Pada Kala Itu,Belanda Berusaha
Memanipulasi Rempah Rempah Bali dan Melalui Pelayaran Hongi, Kapal Belanda
Karam Di Bali.

Kapal Tersebut Langsung Ditawan Oleh Kerajaan Buleleng.Ucapannya yang


terkenal ketika itu ialah "Apapun tidak akan terjadi. Selama aku hidup aku tidak akan
mengakui kekuasaan Belanda di negeri ini". Perang ini berakhir sebagai suatu puputan,
seluruh anggota kerajaan dan rakyatnya bertarung mempertahankan daerahnya sampai
titik darah penghabisan. Namun akhirnya ia harus mundur ke Gunung Batur, Kintamani.
Pada saat inilah ia gugur.Setelah Dia Wafat,Perjuangan Raja-Raja Bali Mulai
Mengalami Kemunduran.Seluruh Bali Dapat Dikuasai Dengan Mudah Hanya Bali
Selatan Saja yang masih Melakukan Perlawanan.

Kerajaan Buleleng adalah suatu kerajaan di Bali utara yang didirikan sekitar
pertengahan abad ke-17 dan jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1849. Kerajaan ini
dibangun oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti dari Wangsa Kepakisan dengan cara
menyatukan seluruh wilayah wilayah Bali Utara yang sebelumnya dikenal dengan nama
Den Bukit. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Kerajaan Buleleng berstatus
sebagai Daerah Tingkat II Buleleng.
7. CUT NYAK DHIEN

Kehidupan Sebelum Berjuang

Cut Nyak DienSelain itu juga merupakan film Indonesia pertama yang mendapat
kehormatan untuk tayang di Festival Film Cannes pada tahun 1989. Kemudian, pada
tanggal 13 April 2014, sebuah karya seni diadakan untuk mengenang perjalanan hidup,
kisah dan semangat perjuangan Cut Nyak Dhien. Karya seni ini dikemas dalam bentuk
teater monolog yang disutradarai dan dimainkan oleh Sha Ine Febriyanti. Kemudian
teater monolog ini dipentaskan di Auditorium Indonesia Kaya Kota Jakarta.

Naskah monolog yang berdurasi empat puluh menit ini kemudian dipentaskan
kembali pada 2015 di berbagai kota di Indonesia. Seperti Jakarta, Pekalongan,
Semarang, Magelang dan Banda Aceh. Rencananya, teater monolong CND juga akan
dipentaskan di Belanda dan Australia. Selain itu, ada sebuah kapal perang milik TNI-
AL yang diberi nama KRI Cut Nyak Dhien, mata uang senilai sepuluh ribu rupiah
bergambar Cut Nyak Dhien dan sebuah masjid di Aceh yang berada di dekat
makamnya.

Cut Nyak Dhien terlahir dari keluarga ningrat yang memegang teguh ajaran
Islam di Aceh Besar pada tahun 1848. Tepatnya Wilayah VI Mukim. Ayah Cut Nyak
Dhien bernama Teuku Nanta Seutia yang menjadi sebagai hulubalang VI Mukim.
Sedangkan ibunya merupakan anak dari hulubalang Lampageu. Di masa kecil, Cut
Nyak Dhien ia memperoleh pendidikan pada ilmu agama dari orang tua ataupun guru
agama dan ilmu rumah tangga seperti ilmu memasak, melayani keluarga dan yang
menyangkut rumah tangga dari orang tuanya. Pada umur 12 tahun, Cut Nyak Dhien
sudah dijodohkan oleh orangtuanya di tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga.
Putra dari hulubalang Lamnga XIII.
Cut Nyak Dhien Perang Aceh Melawan Belanda

Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh pada
tanggal 26 Maret 1873. Serangan dimulai dengan menembaki meriam ke daratan Aceh
dari kapal perang bernama Citadel van Antwerpen. Inilah awal dari Perang Aceh pun
meletus. Pada perang tahap pertama yang terjadi 1873 hingga 1874, Aceh yang
dipimpin oleh Sultan Machmud Syah dan Panglima Polim bertempur melawan Belanda
yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler. Di bawah pimpinan Johan Harmen,
Belanda berangkat dengan kekuatan 3.198 prajurit dan mendarat pada tanggal 8 April
1873. Mereka langsung menyerang serta berhasil menguasai Masjid Raya Baiturrahman
dan membakarnya. Beruntung, Kesultanan Aceh berhasil memenangkan perang
pertama. Ibrahim Lamnga yang berlaga di garis depan kembali dengan membawa
kemenangan, sementara Köhler sendiri tewas tertembak pada bulan April 1873.

Perang tahap kedua dimulai pada tahun 1874-1880. Belanda melakukan


serangan lagi di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten. Daerah VI Mukim berhasil
ditaklukkan oleh Belanda pada tahun 1873 dan Keraton Sultan berhasil ditaklukkan
pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien yang tinggal di Daerah VI Mukim dan bayinya
akhirnya mengungsi bersama para ibu rumah tangga dan rombongan lainnya pada
tanggal 24 Desember 1875. Suami Cut Nyak Dhien berangkat bertempur untuk merebut
kembali daerah VI Mukim dari tangan Belanda. Tapi sayangnya, Ibrahim Lamnga yang
bertempur di Gle Tarum, ia gugur pada tanggal 29 Juni 1878. Kematian suaminya ini
tentu membuat Cut Nyak Dhien diselimuti kemarahan dan bersumpah akan
menghancurkan para penjajah itu.

Teuku Umar, salah satu tokoh penting pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien.
Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak lamaran itu tapi akhirnya menerima setelah
Teuku Umar mengizinkan untuk ikut bertempur. Bergabungnya Cut Nyak Dhien
berhasil meningkatkan moral semangat perjuangan Aceh melawan Belanda. Perang
berlanjut secara gerilya dan berkobarlah perang fi’sabilillah. Pada tahun 1875, Teuku
Umar melakukan gerakan dengan melakukan pendekatan dengan para Belanda dan
hubungannya dengan para penjajah itu semakin kuat.

Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar yang bersam 250 orang
pasukannya pergi ke Kutaraja untuk menyerahkan diri kepada Belanda. Tentu Belanda
sangat senang karena musuh yang sangat berbahaya mau membantu mereka. Sehingga
Belanda memberikan Teuku Umar julukan bernama Teuku Umar Johan Pahlawan.
Lebih dari itu, Teuku Umar menjadi komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan
yang cukup besar. Teuku Umar sebenarnya merahasiakan rencana untuk menipu para
Belanda, meskipun ia suduh dituduh sebagai pengkhianat oleh rakyat Aceh. Cut Nyak
Dien terus berusaha menasihatinya agar kembali ke sisi rakyat Aceh untuk kembali
melawan Belanda.
Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda demi mencoba
siasatnya. Teukur Umar lalu mempelajari taktik dan strategi tentara Belanda, sementara
perlahan tapi pasti, dia mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang berada
di bawah tanggung jawabnya. Ketika jumlah tentara Aceh yang berada di pasukan
tersebut cukup, Teuku Umar menipu orang Belanda dan berencana bahwa ia ingin
menyerang basis Aceh. Sebenarnya Teuku Umar hanya mencuri semua perbekalan dan
logistik yang diberikan oleh Belanda. Dia berangkat kembali ke Aceh dan tidak pernah
kembali.

Kejadian ini membuat Belanda sangat marah dan melakukan operasi besar untuk
menangkap Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Karena sudah memiliki senjata milik
Belanda, tentara Aceh berhasil mengimbanginya. Bahkan Jenderal Jakobus Ludovicus
terbunuh. Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar terus menyerang semuanya bahkan banyak
jenderal Belanda yang harus diganti. Pasukan elit bernama De Marsose yang dikenal
tanpa ampun. Pasukan ini berhasil membuat rakyat Aceh ketakutan.

Ketakutan ini dimanfaatkan oleh Jenderal Benedcitus. Dia menyewa orang Aceh
untuk menjadi mata-mata dan berhasil mengetahui rencana Teuku Umar untuk
menyerang Meulaboh. Karena informasinya bocor, Teuku Umar gugur tertembak. Anak
Cut Nyak Dhien menangis karena kematian ayahnya. Kini giliran Cut Nyak Dhien yang
memimpin perlawanan bersama pasukan kecilnya. Hingga pasukannya hancur pada
tahun 1901 setelah Belanda mempelajari cara berperang Aceh. Cut Nyak Dhien sendiri
juga sudah tua dan sering terkena penyakit encok. Hingga dia berhasil ditangkap oleh
Belanda. Perjuangan pun diteruskan oleh Cut Gambang.

Kehidupan Cut Nyak Dhien di Hari Tua dan Meninggal

Kekalahan Aceh membuat keadaan semakin memburuk dan Cut Nyak Dhien
ditangkap. Setelah ditangkap, beliau dibawa ke Banda Aceh dan dilakukan perawatan di
situ. Dua penyakitnya seperti encok dan rabun perlahan-lahan sembuh. Karena terlihat
belum menyerah, Cut Nyak Dien akhirnya dibawa ke Sumedang di Jawa Barat. Karena
Belanda tidak mau keberadaannya di Aceh bisa mempertahankan semangat perlawanan
rakyat Aceh. Selain itu juga karena Cut Nyak Dhien terus berhubungan dengan pejuang
yang masih bertekad kuat untk meneruskan perjuangan

Bersama dengan tahanan politik Aceh yang lain, Cut Nyak Dhien dibawa ke
Sumedang. Dia menarik perhatian bupati Suriaatmaja dan para tahanan laki-laki juga
memperhatikan Cut Nyak Dhien. Tapi identitas asli Cut Nyak Dhien tetap dirahasiakan
Belanda. Ia ditahan bersama dengan seorang ulama bernama Ilyas. Ulama itu cepat
menyadari bahwa Cut Nyak Dhien adalah seorang yang cukup ahli dalam agama Islam.
Sehingga Cut Nyak Dhien mendapat nama julukan yaitu Ibu Perbu.
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien menghembuskan nafas terakhir
karena usia yang tua. Di akhir hayatnya dia lebih dikenal dengan nama Ibu Perbu dan
makamnya baru ditemukan pada tahun 1959 setelah dilakukan pencarian berdasarkan
permintaan Gubernur Aceh Ali Hasan yang menjabat saat itu. Ibu Perbu diangkat oleh
Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Makam Cut Nyak Dhien

Menurut juru kunci makam, makam Cut Nyak Dhien berhasil ditemukan di
tahun 1959 setelah Ali Hasan yang menjabat Gubernur Aceh pada saat itu meminta
untuk melakukan pencarian. Pencarian makam Cut Nyak Dhien dilakukan setelah
mendapatkan data yang ditemukan di Belanda. Masyarakat Aceh yang berada di
Sumedang sering menggelar acara pertemuan. Pada acara tersebut, para peziarah
berangkat ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak kira-kira sekitar dua kilometer.
Biasanya, masyarakat Aceh yang bermukim di Bandung sering melakukan ziarah
setelah hari pertama Lebaran yang dilakukan rutin setiap tahun. Selain itu, orang Aceh
dari Jakarta secara rutin melakukan acara haul setiap bulan November.

Makam Cut Nyak Dhien dilakukan pemugaran pertama pada 1987. Bukti
pemugaran bisa terlihat di monumen peringatan yang berada di dekat pintu masuk. Di
monumen itu tertulis peresmian makam yang ditandatangani langsung oleh Gubernur
Aceh Ibrahim Hasan yang menjabat saat it tepatnya pada tanggal 7 Desember 1987.
Makam Cut Nyak Dhien dilindungi oleh pagar besi yang digabung bersama beton
dengan luas sebesar 1.500 m2. Di sebelah kiri makam ada banyak batu makam yang
menjadi tempat peristirahatan terakhir keluarga ulama H. Sanusi. Di bagian belakang
ada musholla yang biasa digunakan para peziarah untuk sholat.

Batu nisan Cut Nyak Dhien, dihiasi tulisan riwayat hidupnya, beberapa tulisan
bahasa Arab, Surah Al-Fajr dan At-Taubah dan hikayat cerita rakyat Aceh. Jumlah
peziarah makam Cut Nyak Dhien cenderung berkurang ketika waktu itu sedang heboh
Gerakan Aceh Merdeka. Mereka melakukan perlawanan di Aceh untuk melepaskan diri
dari Republik Indonesia. Alasan lain karena aparat sering kali mengawasi daerah
makam ini. Biaya perawatan makam diperoleh dari kotak amal karena pemerintah
Sumedang tidak memberikan dana dan bantuan.

Demikian informasi tentang biografi Cut Nyak Dhien. Biografi Cut Nyak Dhien
perlu diketahui sebagai wujud penghargaan kita kepada para pahlawan yang telah
berjasa dan terus berjuang untuk membebaskan negara dari belenggu kolonialis Belanda
khususnya di tanah Aceh. Selain Cut Nyak Dhien, cukup banyak pahlawan nasional
yang wajib kita kenal dari berbagai wilayah Indonesia. Yaitu pahlawan nasional dari
Bali, pahlawan nasional dari Sumatera Utara, pahlawan nasional dari Jawa Tengah,
pahlawan nasional dari Banjarmasin, pahlawan nasional dari Jawa, pahlawan nasional
dari Yogyakarta, pahlawan nasional dari Sulawesi, pahlawan nasional dari Jawa Timur,
pahlawan nasional dari Riau dan pahlawan nasional dari Sumatera Barat.

8. SULTAN AGUNG HANYOKROKUSUMO


Nama Lengkap : Sultan Agung Hanyokrokusumo

Alias : Raden Mas Rangsang

Profesi : Pahlawan Nasional

Tempat Lahir : Kutagede, Kesultanan Mataram

Tanggal Lahir : Senin, 0 -1 1593

Warga Negara : Indonesia


Anak : Raden Mas Sayidin

Sultan Agung Hanyokrokusumo (1593 - 1645) adalah raja Kesultanan Mataram yang
memerintah pada tahun 1613-1645.

Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa


dan Nusantara pada saat itu. Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan
Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia.

Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas
Rangsang. Sultan Agung merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyokrowati dan Ratu
Mas Adi Dyah Banowati.

Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa
raja Pajang. Pada awal pemerintahannya, Mas Rangsang bergelar Panembahan Agung.
Kemudian setelah menaklukkan Madura tahun 1624, dia mengganti gelarnya menjadi
Susuhunan Agung atau disingkat Sunan Agung.

Pada 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab. Gelar tersebut adalah
Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram, yang diperolehnya dari pemimpin
Ka'bah di Makkah. Sultan Agung naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun.

Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk
mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah.

Pada tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut
melawan Surabaya. Meskipun demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama
dengan VOC.

Menyadari kekuatan bangsa Belanda tersebut, Sultan Agung mulai berpikir untuk
memanfaatkan VOC dalam persaingan menghadapi Surabaya dan Banten. Maka pada
tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC.

Kedua pihak saling mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak
membantu saat Mataram menyerang Surabaya. Sultan Agung pantang menyerah
menghadapi penjajah yang sangat kuat.

Dia mencoba menjalin hubungan dengan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan


VOC-Belanda. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena menyadari
posisi Portugis saat itu sudah lemah.

Seluruh Pulau Jawa akhirnya berada dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali
Batavia yang masih diduduki militer VOC-Belanda. Sedangkan desa Banten telah
berasimilasi melalui peleburan kebudayaan.

Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan adalah Palembang di Sumatra tahun 1636
dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan
diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.

Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar tidak hanya
dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat
yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian.

Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan,


sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor pertanian. Sultan Agung juga
menaruh perhatian pada kebudayaan.

Dia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka
yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam
sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal
sebagai penulis naskah berbau mistis, berjudul Sastra Gending.

Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa


Bagongan yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat demi untuk
menghilangkan kesenjangan satu sama lain.

Dengan demikian diharapkan dapat terciptanya rasa persatuan di antara penghuni istana.
Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat.

Dia membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja


Kesultanan Mataram mulai dari dirinya. Sultan juga menuliskan serat Sastra Gending
sebagai tuntunan hidup trah Mataram.

Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan
oleh putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram.

9. UNTUNG SURAPATI
Nama Lengkap : Untung Surapati

Gelar : Pahlawan Nasional

Tempat Lahir : Bali

Tanggal Lahir : 1660 (Umur

Meninggal : 5 Desember 1706, Bangil, Jawa Timur, Hindia Belanda

Warga Negara : Indonesia

Istri : Suzane

Untung Surapati adalah Pahlawan Nasional yang berasal dari Bali. Pulau Dewata juga
punya banyak sosok penting dalam sejarah perjuangan melawan penjajahan di masa
lalu. Untung Surapati diberikan gelar sebagai Pahlawan Nasional sesuai yang ditetapkan
pada S.K. Presiden no. 106/tk/1975 tanggal 3 November 1975. Perjalanan hidupnya bisa
dibilang unik sebab ia pertama kali ditemukan oleh seorang perwira dari VOC. Perwira
tersebut memiliki nama kapten Van Beber.

Cerita selanjutnya adalah Untung mendapati dirinya dijual kepada perwira VOC lain
yang berlokasi di Batavia. Hidup tak mudah bagi Untung karena ia harus menikmati
dinginnya dinding penjara. Saat baru menginjak usia yang ke-20 tahun, ia kedapatan
tanpa ijin menikahi putri dari Moor, perwira VOC yang telah merawatnya selama ini.
Namun di dalam tahanan ia tidak tinggal diam. Ia berusaha supaya bisa lolos dari sana,
dan ternyata usahanya tersebut membuahkan hasil.

Ia bisa kabur setelah berkoordinasi dengan tahanan lain. Setelah berhasil kabur, praktis
ia langsung menjadi buronan. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1683, VOC
mampu menundukkan Sultan Ageng Tirtayasa yang saat itu menjabat sebagai Raja
Banten. Kekalahan itu akhirnya memaksa sang putra Pangeran Purbaya untuk
mengungsi. Ia berhasil kabur dengan susah payah dan akhirnya sampai di Gunung
Gede. Namun ia berubah pikiran dan mau menyerahkan diri. Hanya saja ia menetapkan
satu syarat, yaitu dijemput oleh anggota VOC namun yang berasal dari orang pribumi.

Misi tersebut akhirnya diberikan kepada Untung. Ia merupakan orang pribumi yang
telah mendapatkan pelatihan ketentaraan dari VOC. Ia pun mendapatkan pangkat
Letnan. Segera setelah ditugaskan, ia datang untuk menjemput Pangeran Purbaya.
Untung Surapati bukan satu-satunya tokoh yang anti VOC. Ayah dari sang istri Raden
Ayu Gusik Kusuma juga punya pandangan hidup yang sama. Ia dengan kemampuan
yang dimiliki berusaha agar supaya kesepakatan dengan Belanda bisa dilanggar. Tentu
ada konsekuensi di balik pembangkangannya terhadap pihak kolonial.

Pada Februari 1686, ia ditangkap oleh Kapten François Tack yang merupakan utusan
VOC. Penangkapan tersebut tidak berakhir tanpa perlawanan. Kedua kubu bertempur
dan bermuara pada meninggalnya 75 anggota VOC. Bahkan sang Kapten Tack juga
berhasil ditaklukkan Untung. Pada tahun 1706 tepatnya bulan Desember, VOC kembali
melakukan perlawanan di bawah Komando Mayor Goovert Knole. Sayangnya perang
ini menjadi akhir kisah hidup Untung Suropati. Ia meninggal pada Oktober 1706.

10. PERJUANGAN PANGERAN TRUNOJOYO [1677 – 1680]


Berbicara tentang perjuangan Pangeran Trunojoyo atau Raden Nila Prawata, pahlawan
dari Madura ini tidaklah lengkap kiranya kalau kita tidak melihat upaya-upaya Sultan
Agung dari Kerajaan Mataram dalam memperluas pengaruhnya dan mempersatukan
kerajaan-kerajaan di Jawa dan Madura untuk bersatu-padu melawan penjajahan
kompeni Belanda pada saat itu.

Tahun 1624, Panembahan Kyai Djuru Kiting selaku panglima pasukan Mataram,
dengan kekuatan pasukan berjumlah 50.000 orang, telah berhasil mematahkan pasukan
Kraton Arosbaya – Madura yang berkekuatan hanya 2.000 orang.

Dengan bijaksana, Sultan Agung memerintahkan panglimanya Kyai Djuru Kiting,


memboyong Raden Praseno, putra Pangeran Tengah (Arosbaya) yang pada waktu itu
masih dibawah umur ke Kraton Mataram.

Setelah dewasa Raden Praseno dinikahkan dengan adik dari Sultan Agung sebagai
Permaisuri I dan diijinkan kembali ke Madura untuk memimpin Madura dengan gelar:
“Pangeran Cakraningrat I” (1624 – 1648) dimana seluruh Madura berada dibawah
pimpinannya dengan tetap tunduk dan patuh kepada kekuasaan kerajaan Mataram
Sultan Agung di Jawa.

Dari beberapa istri yang lain, Pangeran Cakraningrat I mempunyai 11 (sebelas) orang
putra dan putri, dimana putra ke-3 bernama R. Demang Mloyo Kusumo (ibunya Putri
Sumenep).
[Buku “Sejarah Caranya Pemerintahan Daerah-daerah Kepulauan Madura dengan
hubungannya” oleh Zainal Fattah, Bupati Pamekasan – hal: 201].
R. Demang Mloyo Kusumo atau Raden Maluyo (dalam buku “Raden Trunojoyo,
Panembaham Maduratna, Pahlawan Indonesia” oleh Raden Soenarto Hadiwijoyo)
adalah ayah dari Raden Trunojoyo.

Masa kecil Pangeran Trunojoyo dididik dan dibesarkan di lingkungan Kraton Mataram
yang pada waktu itu pimpinan kerajaan sudah beralih kepada putra Sultan Agung, yaitu:
Susuhunan Amangkurat I.

Tahun 1648, terjadi peristiwa menyedihkan di Kraton Mataram (masa pemerintahan


Susuhunan Amangkurat I) perselisihan keluarga yang menyebabkan jatuh korban
anggota keluarga kerajaan Mataram, yaitu:

Pangeran Cakraningrat I (Raden Praseno) sehingga disebut Pangeran Siding Magiri


(Sidho Hing Magiri).
Raden Ario Atmojonegoro putra pertama Pangeran Cakraningrat I.
Pangeran Ario atau Pangeran Alit, adik Susuhunan Amangkurat I dan
Raden Demang Mloyo Kusumo, ayah Pangeran Trunojoyo.

Terjadi perubahan kekuasan di Madura Raden Undakan putra ke-2 Pangeran


Cakraningrat I dinaikkan tahta kerajaan dengan gelar: “Pangeran Cakraningrat II” (1648
– 1707).

Pangeran Cakraningrat II dalam melaksanakan pemerintah kerajaannya ternyata tidak


sebijaksana ayahandanya, Pangeran Cakraningrat I. Kekuasaan pemerintahan Madura
pada waktu itu hanya diserahkan kepada bawahan-bawahannya yang ternyata hanya
melakukan penekanan-penekanan kepada rakyat yang dipimpinnya, sementara Raja
Cakraningrat II, terlalu sering berada di Kraton Mataram.

Pangeran Trunojoyo tumbuh sebagai seorang pemuda yang taat kepada agamanya
(Islam) dan tidak suka melihat ketidak-adilan yang terjadi baik di Madura ataupun di
Jawa.

Beliau segera kembali ke Madura dimana pengaruh kekuasaan Pangeran Cakraningrat II


(pamannya) semakin tidak mendapat simpati dari rakyat seluruh Madura. Mengakui
kepemimpinan Pangeran Trunojoyo dari Bangkalan sampai dengan Sumenep dan
bergelar: “Panembahan Madura”.

Dengan diidampingi Macan Wulung menantu dari Panembahan Sumenep, Pangeran


Trunojoyo mulai menyusun perlawanan melawan kompeni Belanda yang dinamakan
“Perang Trunojoyo” berlangsung dari tahun 1677 – 1680.
[Buku “Perlawanan Penguasa Madura atas Hegemoni Jawa” oleh: Prof. Drs. H.
Aminuddin Kasdi – hal: 146].

Pasukan Pangeran Trunojoyo bergabung dengan pelaut-pelaut Makassar dibawah


pimpinan Karaèng Galesung (yang pada akhirnya menjadi menantu Pangeran
Trunojoyo). Bantuan dari Panembahan Giri merupakan satu kekuatan yang sangat
ditakuti oleh kompeni Belanda.

Tanggal 13 Oktober 1676, terjadi pertempuran sengit di Gegodok antara pasukan


Pangeran Trunojoyo dan pasukan Mataram yang dipimpin oleh Adipati Anom. Dalam
perang dahsyat ini telah gugur pimpinan pasukan Mataram, yaitu: Pangeran Purboyo.

Satu demi satu daerah kekuasaan kerajaan Mataram berhasil ditaklukkan pasukan
Pangeran Trunojoyo.

Sementara itu Susuhunan Amangkurat I sangat bersedih atas kekalahan itu, pasukan
Mataram yang dipimpin calon Putra Mahkota Kerajaan Mataram tak berdaya
menghadapi pasukan Pangeran Trunojoyo.

Kompeni Belanda mulai turun tangan mencampuri urusan karena kalau kerajaan
Mataram ditaklukkan Pangeran Trunojoyo berarti kompeni Belanda tidak akan punya
pengaruh lagi di tanah Jawa.

Cornelis Speelman, pada tanggal 29 Desember 1676 berangkat dari Betawi dengan 5
kapal perang dan 1.900 orang pasukan gabungan dari Jepara menyerbu Surabaya.
Perang terjadi antara pasukan Pangeran Trunojoyo dan pasukan kompeni Belanda,
walaupun akhirnya Pangeran Trunojoyo harus mundur ke Kediri. Sementara pasukan
kompeni Belanda terus mendesak ke Madura ke pusat cadangan pasukan Pangeran
Trunojoyo, kompeni Belanda berhasil menaklukkan pasukan cadangan Pangeran
Trunojoyo di Madura, tapi pada lain pihak pasukan Pangeran Trunojoyo berhasil
menduduki Kraton Kartasura.

Jatuhnya ibu kota Mataram, karena tidak ada dukungan sama sekali kepada Susuhunan
Amangkurat I, bahkan dari para Pangeran dan Bangsawan Kraton Kartasura.

Dalam keadaan sakit, Susuhunan Amangkurat I terpaksa harus mengungsi dari Istana
didampingi putranya Adipati Anom.

Di desa Tegal Wangi, akhirnya Susuhunan Amangkurat I mangkat, jenasahnya


dikebumikan di desa itu, sehingga disebut “Susuhunan Tegal Wangi” tapi sebelum
mangkat, beliau masih berkesempatan menobatkan putranya menjadi penggantinya
dengan gelar: “Susuhunan Amangkurat II”.
Secara singkat dipaparkan bahwa Kraton Mataram sepeninggal Sultan Agung,
pengganti beliau baik itu Susuhunan Amangkurat I ataupun Susuhunan Amangkurat II
tidak dapat menunjukkan wibawa Kraton Mataram sebagai kerajaan besar di Jawa.

Sedikit demi sedikit, kompeni Belanda mulai bertipu-muslihat untuk memperkecil


pengaruh kekuasaan Mataram, sementara Pemimpin Kraton (Susuhunan Amangkurat II)
tidak peduli akan keadaan kerajaan Mataram dan rakyatnya. Wibawa kerajaan Mataram
dari hari ke hari mulai suram, akibat ulah Rajanya yang menjalin hubungan dengan
kompeni Belanda.

Setiap perjanjian-perjanjian kontrak yang dilakukan Kerajaan Mataram dengan kompeni


Belanda, selalu pihak Kerajaan Mataram yang dirugikan.

Cornelis Speelman, dari pihak kompeni Belanda menawarkan diri untuk ikut
memadamkan perlawanan Pangeran Trunojoyo yang sudah tentu nantinya meminta
imbalan jasa kepada Kerajaan Mataram.

2 (dua) macam perjanjian berupa kontrak tanggal 19 dan 20 Oktober 1677


digadaikannya pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Mataram senilai 310.000 uang Spanyol
dan biaya-biaya perang harus dibayar lunas yang didapat dari pelabuhan-pelabuhan itu.
Yang kedua, daerah-daerah bawahan Kerajaan Mataram seperti Karawang dan
Pamanukan dialihkan penguasaannya kepada kompeni Belanda.

Di seluruh wilayah kerajaan Mataram, perdagangan candu dan bahan pakaian menjadi
hak monopoli kompeni Belanda.

Pertempuran tetap berlangsung dengan kemenangan-kemenangan yang selalu ada pada


pihak Pangeran Trunojoyo.

Tanggal 04 Januari 1678, Cornelis Speelman mencaplok Semarang, Kaligawe dan


sekitarnya dengan ijin dari Susuhunan Amangkurat II.

Bulan Agustus 1678, dibentuk pasukan gabungan, tentara Belanda, pasukan Jakarta,
Bugis dan Ambon ditambah pasukan Mataram dengan jumlah besar dipimpin oleh
Anthonie Hurdt, anggota Raad van Indie menyerbu Kediri, pusat pertahanan Pangeran
Trunojoyo.

Pertempuran berkobar dengan dahsyatnya, setiap jengkal tanah Kediri, dipertahankan


mati-matian oleh pasukan Pangeran Trunojoyo, akhirnya 25 Nopember 1678 Kediri
jatuh ketangan kompeni Belanda.
Kompeni Belanda berhasil mengambil kembali Mahkota Majapahit dan harta-harta
yang lain dari Pangeran Trunojoyo ketika menaklukkan Kartasura.

Sangat disayangkan bahwa dalam perjalanan perjuangan Pangeran Trunojoyo, ternyata


terjadi konflik intern dalam pasukan Pangeran Trunojoyo, Angkatan Laut Makassar
memisahkan diri dari pasukan Pangeran Trunojoyo.

Dari peristiwa jatuhnya Kediri, Pangeran Trunojoyo ke Blitar dan akhirnya menuju
Malang dalam kesulitan mencari tempat pertahanan baru. Pasukan Pangeran Trunojoyo
mengalami kerugian tewasnya 400 orang prajurit akibat penyakit dan kekurangan bahan
makanan.

Lebih-lebih lagi, pengiriman bahan bantuan makanan berupa 8 perahu bahan makanan
dari Madura untuk pasukan Pangeran Trunojoyo jatuh ketangan musuh.

Tekanan dan kepungan kompeni Belanda kepada pasukan Pangeran Trunojoyo yang
sudah makin melemah karena kekurangan bahan pangan dan serangan penyakit semakin
berat. Beliau terpaksa membawa memutar pasukannya berpindah ke Batu. Dalam
keadaan prihatin, Pangeran Trunojoyo tetap berhati teguh melanjutkan perjuangan
beliau dan dukungan dari daerah-daerah seperti Kediri, Ponorogo dan Kertosono tetap
berpihak kepada Pangeran Trunojoyo dan pasukannya 500 orang prajurit Madura
dikirim melalui Wirosobo ke Malang untuk memperkuat barisan Pangeran Trunojoyo.

Suatu goncangan bathin kembali menguji sang Pangeran ketika di Batu istri beliau
meninggal dunia karena terserang penyakit menyusul kemudian satu-satunya putra
lelakinya juga berpulang ke Rahmatullah.

Dari Batu beliau beliau beserta pasukan bergeser mengatur strategi pertahanan ke
Ngantang, sementara semakin lama jumlah kekuatan pasukan semakin berkurang,
kekurangan bahan pangan dan serangan penyakit.

Masih beruntung alam dan medan pegunungan serta rimba di Ngantang menghambat
laju tekanan pasukan kompeni Belanda.

Kompeni Belanda melakukan sistem pengepungan pagar betis daerah pertahanan


pasukan Pangeran Trunojoyo dikepung dan diisolir sehingga pada tanggal 15 Desember
1679 sejumlah besar para pelaut Makassar yang bergabung ke pasukan Pangeran
Trunojoyo menyerahkan diri kepada kompeni Belanda.

Berbagai keadaan yang berat, tidak membuat Pangeran Trunojoyo dan pasukannya
menyerah. Pahlawan tangguh dan pilih tanding ini melakukan perang gerilya, bergerak
pindah ketempat yang lebih sulit dicapai oleh tentara kompeni Belanda dibawah
pimpinan Couper.

Untuk penyegaran, kompeni Belanda mengganti pimpinan pasukannya, yaitu: Kapten


Jonker. 5 hari setelah sebagian besar pelaut-pelaut Makassar menyerah maka pada
tanggal 20 Desember 1679 beberapa ratus orang Madura dan Makassar diantaranya para
wanita dan beberapa ekor kuda turun dari lereng gunung dan segera ditangkap pasukan
kompeni Belanda pimpinan Kapten Jonker.

Dengan mengorek keterangan dari para tawanan ini, Kapten Jonker berhasil mengepung
pertahanan terakhir Pangeran Trunojoyo dan sisa pasukannya di gunung Limbangan itu
terjadi pada tanggal 26 Desember 1679.

Pahlawan Besar Pangeran Trunojoyo dengan terpaksa harus menyerah dan kedua tangan
beliau diikat dengan Cinde Sutera dan pada hari Selasa Kliwon, tanggal 2 Januari 1680
disekitar tapal batas Kediri beliau gugur sebagai kusuma bangsa ditangan iparnya
sendiri (Susuhunan Amangkurat II) dengan sebilah keris yang ditusukkan tanpa
perlawanan.

Perang Trunojoyo, melawan kompeni Belanda boleh berakhir 327 tahun yang lalu tapi
semangat juang yang tinggi dan cita-cita tak berkompromi dengan penjajah (bahkan
orang-orang asing) yang merugikan bangsa Indonesia tak seharusnya pudar.

Anda mungkin juga menyukai