Anda di halaman 1dari 6

Biografi Bung

Tomo Nama : Sutomo (Bung Tomo)

Tempat Tanggal Lahir : Surabaya, 3 Oktober


1920

Wafat : 7 Oktober 1981 di


Padang Arafah.

Tempat makam : Dimakamkan di Tempat


Pemakaman Umum
Ngagel di Surabaya.

Ayah : Kartawan Tjiptowidjoj

Agama : Islam

Kita mengenalnya dengan sapaan akrab oleh rakyat sebagai Bung Tomo. Bung Tomo merupakan
pahlawan yang terkenal karena jasanya ketika era mempertahankan kemerdekaan dalam
memotivasi semangat rakyat untuk melawan kembalinya penjajahan Belanda dengan bantuan
tentara NICA. Perlawanan ini berakhir dengan penyebab pertempuran surabaya 10 November 1945
dan hingga kini pertempuran ini diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Sejarah Partai Golkar (FPG) mendesak pemerintah agar
memberikan gelar pahlawan nasional kepada Bung Tomo pada 9 November 2007. Waktu itu era
pemerintahan SBY. Gelar pahlawan nasional diberikan ke Bung Tomo dan momennya tepat pada
peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008.

Masa Kecil Bung Tomo


Biografi Bung TomoBung Tomo dilahirkan di daerah Kampung Blauran yang berada di pusat kota
Surabaya yang waktu itu masih Hindia Belanda. Ayahnya adalah seorang kepala keluarga yang
bernama Kartawan Tjiptowidjojo yang merupakan pegawai kelas menengah yang mengabdi di
pegawai pemerintahan. Jabatannya adalah staf pribadi di pabrik swasta di bidang impor-ekspor
milik Belanda dan sebagai asisten di kantor pelayanan pajak pemerintah. seorang kepala keluarga
dari kelas menengah. Ia mengaku memiliki hubungan darah dengan beberapa sahabat dekat dari
Pangeran Diponegoro yang jasadnya dikebumikan di Malang.
Ibunda Bung Tomo memiliki darah campuran antara Jawa Tengah, Madura dan Sunda. Sebelum
ia berhijrah ke Surabaya, ibunda Bung Tomo bekerja untuk perusahaan mesin jahit Singer di
bagian distributor lokal. Masa mudanya bekerja menjadi polisi di kotapraja dan pernah menjadi
anggota asosiasi Sarekat Islam.

Bung Tomo dididik di rumah yang sangat berpendidikan. Ia berbicara penuh semangat dan
selalu berterus terang. Ia suka bekerja keras agar keadaan semakin membaik. Di usia 12 tahun,
ketika dia harus keluar dari pendidikannya di MULO, Bung Tomo melakukan berbagai jenis
usaha kecil-kecilan untuk menghidupi keluarga. Ini terjadi karena depresi besar yang waktu itu
melanda dunia. Kemudian, dia menamatkan pendidikan HBS melalui jalur korespondensi, tapi
secara resmi Bung Tomo tidak lolos.

Bung Tomo lalu bergabung dengan KBI atau Kepanduan Bangsa Indonesia. Belakangan Bung
tomo menyimpulkan bahwa nilai filsafat yang didapatnya dari kepanduan, ditambah dengan
pemikiran berhaluan nasionalis yang didapat dari dari kakeknya juga, adalah pengganti yang
sangat baik untuk pendidikan formalnya. Di usia 17 tahun, Bung Tomo mulai terkenal setelah
berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang meraih peringkat Pandu Garuda.
Peringkat Pandu Garuda ini sangatlah sulit untuk mencapai. Bahkan, sebelum pendudukan
Jepang yang dimulai pada tahun 1942, orang yang mendapat peringkat Pandu Garuda hanya
berhasil diraih oleh tiga orang Indonesia.

Bung Tomo dididik di rumah yang sangat berpendidikan. Ia berbicara penuh semangat dan
selalu berterus terang. Ia suka bekerja keras agar keadaan semakin membaik. Di usia 12 tahun,
ketika dia harus keluar dari pendidikannya di MULO, Bung Tomo melakukan berbagai jenis
usaha kecil-kecilan untuk menghidupi keluarga. Ini terjadi karena depresi besar yang waktu itu
melanda dunia. Kemudian, dia menamatkan pendidikan HBS melalui jalur korespondensi, tapi
secara resmi Bung Tomo tidak lolos.

Bung Tomo lalu bergabung dengan KBI atau Kepanduan Bangsa Indonesia. Belakangan Bung
tomo menyimpulkan bahwa nilai filsafat yang didapatnya dari kepanduan, ditambah dengan
pemikiran berhaluan nasionalis yang didapat dari dari kakeknya juga, adalah pengganti yang
sangat baik untuk pendidikan formalnya. Di usia 17 tahun, Bung Tomo mulai terkenal setelah
berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang meraih peringkat Pandu Garuda.
Peringkat Pandu Garuda ini sangatlah sulit untuk mencapai. Bahkan, sebelum pendudukan
Jepang yang dimulai pada tahun 1942, orang yang mendapat peringkat Pandu Garuda hanya
berhasil diraih oleh tiga orang Indonesia.
Pemimpin Perjuangan Pertempuran 10 November 1945
Kehidupan sebagai seorang jurnalis juga pernah dilalui oleh Bung Tomo dia sebuah kantor
berita Domei Tsushin. Baru setelah itu dia bergabung dengan beberapa gerakan sosial dan
politik. Pada tahun 1944, Jepang yang waktu itu menjajah Indonesia mensponsori Gerakan
Rakyat Baru dan Bung Tomo terpilih menjadi anggotanya tapi tak ada seorang pun yang
mengenal dia. Tapi, di titik inilah Bung Tomo mempersiapkan peranannya untuk peristiwa yang
sangat penting. Ketika pertempuran Oktober dan November 1945, Bung Tomo menjadi salah
satu tokoh yang menggerakkan dan membangkitkan semangat juang rakyat Surabaya. Pada
pada waktu itu, Surabaya digempur oleh pasukan Inggris yang baru saja mendarat untuk
melucuti senjata tentara Jepang yang kalah Perang Dunia Kedua dan membebaskan tawanan
Eropa yang ditawan oleh Jepang.

Bung Tomo sangat dikenang karena seruan dan teriakan semangat perjuangan melalui banyak
siaran radio. Berkat pengalaman jurnalisnya yang bekerja di kantor berita Domei Tsushin di
Surabaya, dia mendirikan Radio Pemberontakan yang berguna untuk membakar semangat
juang dan rasa persatuan di hati rakyat Surabaya. Suaranya yang lantang, berani dan yakin
terdengar penuh semangat untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang
baru saja diproklamasikan tiga bulan yang lalu. Kemampuannya beorasi dengan penuh
semangat berapi-api, membuatnya menjadi orang kedua setelah Bung Karno dalam
kemampuan berorasi dan kekuatan emosionalnya. Berikut salah satu contoh pidato Bung Tomo
yang sangat terkenal yang diteriakkan pada tanggal 9 November 1945:

“Wahai tentara Inggris! Selama banteng-banteng Indonesia, pemuda Indonesia, memiliki darah
merah yang bisa menodai baju putih menjadi merah dan putih, kita tidak akan pernah
menyerah. Para teman, para pejuang dan khususnya para pemuda Indonesia, kita harus terus
bertarung, kita akan mengusir para kolonialis ini keluar dari tanah air Indonesia yang sangat kita
cintai. Sudah terlalu lama kita menderita, kita dieksploitasi, kita diinjak oleh bangsa asing. Kini
saatnya kita mempertahankan kemerdekaan negara ini. Teriakan kita adalah merdeka atau
mati. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!”

Memang, waktu itu Indonesia menderita kekalahan dalam Pertempuran 10 November itu. Tapi
rakyat Surabaya berhasil menahan serangan pasukan Inggris dan bahkan memukul mundur
mereka. Kejadian ini sangat dikenal dan menjadi catatan penting sebagai salah satu peristiwa
paling epik dan heroik dalam sejarah perjuangan Kemerdekaan Indonesia melawan bangsa
Eropa. Selain itu, perjuangan kemerdekaan di Indonesia ini juga mendapat dukungan dari dunia
internasional.
Kehidupan Setelah Perjuangan Kemerdekaan
Setelah pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia selesai, Bung Tomo
mencoba terjun ke dalam dunia politik sekitar tahun 1950an. Beberapa jabatan penting pernah
disandang Bung Tomo. Contohnya seperti menjabat Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang
Bersenjata/Veteran dan merangkap sebagai Meneteri sosial Ad Interim pada tahun 1955 hingga
1956 di zaman Kabinet Burhanuddin Harahap. Tahun 1956 hingga 1959, Bung Tomo menjadi
anggota DPR yang mewakili Partai Rakyat Indonesia. Karena merasa kurang nyaman dan
bahagia di dunia politik, dia kemudian menghilang untuk sementara dari panggung dan kemelut
dunia politik.

Ada kemungkinan dia tidak sependapat dengan Bung Karno. Ada pula yang bilang hubungannya
dengan Bung Karno sedikit retak ketika Bung Tomo menanyakan masalah yang sedikit pribadi.
Bung Tomo baru mulai muncul lagi ketika akhir masa pemerintahan Bung Karno dan awal
pemerintahan Suharto yang mulai didukungnya, Bung Tomo muncul kembali sebagai tokoh
nasional. Dia mendukung Suharto untuk membersihkan negara ini dari orang-orang yang
memiliki pemikiran berbau kiri atau komunis. Orang-orang yang berpikiran kiri ini tumbuh besar
di rezim Bung Karno.

Namun baru beberapa tahun Suharto menjabat sebagai presiden, Bung Tomo kembali berbeda
pendapat dengan pemerintahan Orde Baru ala Suharto ini. Bung Tomo mengkritik dengan
lantang terhadap beberapa program Suharto. Sehingga pada tanggal 11 April 1978 ia ditahan
oleh rezim Suharto yang sepertinya mulai khawatir akan beberapa kritiknya yang tajam dan
keras terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi yang sangat parah. Dia dibebaskan
setelah ditahan selama satu tahun. Meskipun jiwanya yang tangguh tidak hancur di dalam
penjara. Bung Tomo sepertinya menghentikan sikapnya yang sangat vokal.

Bung Tomo masih tetap menjalani dan berminat pada masalah-masalah politik kenegaraan.
Tapi ia tidak pernah mengangkat-angkat jasa dan peranannya di dalam sejarah perjuangan
mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Bung Tomo adalah seorang figur ayah yang
sangat dekat dengan anak dan keluarganya. Ia berusaha keras agar kelima anaknya sukses
mengejar pendidikannya.
Kehidupan Pribadi
Sang orator dari Surabaya ini menikah dengan Sulistina yang merupakan orang Malang. Bung
Tomo sangat serius dalam kehidupannya sebagai seorang muslim, namun dia tidak
menganggap dirinya sebagai seorang Muslim yang sangat soleh atau calon pembaharu dalam
Islam. Sebelum kematiannya, Bung Tomo sempat menyelesaikan disertasinya tentang peran
agama di pembangunan tingkat desa. Pada tanggal 7 Oktober 1981, Bung Tomo meninggal
dunia di Padang Arafah. Kala itu Bung Tomo sedang menunaikan ibadah haji.

Jenazahnya di bawah pulang kembali ke tanah air dan tidak mengikuti tradisi untuk
memakamkan para jemaah haji yang meninggal ketika ziarah ke tanah suci. Bung Tomo
memang memiliki peran yang besar dalam perjalanan sejarah Indonesia dan layak dimakamkan
di tamam makam pahlawan. Tapi jenazah Bung Tomo dimakamkan di Tempat Pemakaman
Umum Ngagel di Surabaya sesuai wasiatnya ketika hidup. Alasannya karena taman makam
pahlawan penuh dengan pahlawan yang tak memiliki keberanian ketika musuh datang dan
ketika kondisi negara dalam keadaan genting, tapi langsung muncul ke publik ketika masa-masa
damai untuk memamerkan jasa-jasanya.

Pada tahun 1950-an di Surabaya, Bung Tomo sempat menunjukkan kepedulian sosialnya. Dia
bergerak sebagai penolong para tukang becak dengan cara mendirikan pabrik. Bung Tomo
mengajak para tukang becak untuk mendirikan untuk perusahaan tersebut. Dengan bantuan
Bung Tomo, pabrik tersebut didirikan oleh dan untuk para tukang becak. Tapi kelanjutan ide
pendirian pabrik sabun kurang berhasil dan cukup kesusahan juga untuk melakukan
pertanggung jawaban keuangan.

Anda mungkin juga menyukai